EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN KAMPUNG (PPK) DI KAMPUNG URUMUSU Deskripsi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) Gambaran Umum PPK Model pembangunan yang menonjolkan konsep pemberdayaan adalah model yang didasarkan oleh respons terhadap kebutuhan pembangunan di wilayah tertinggal dan kebutuhan untuk mensejahterakan multi-pihak (stakeholders) secara merata. Berdasarkan asumsi di atas, maka diperlukan usaha-usaha perlindungan (jaminan sosial) bagi penduduk yang berkategori fakir miskin, pemberdayaan bagi penduduk yang berkatogori miskin dan penguatan bagi penduduk yang berkatogori setengah miskin. Ketiga kategori di atas membutuhkan konsep penanganan yang berbeda pula. Bagi penduduk miskin agar mempunyai usaha atau melakukan atau memiliki suatu pekerjaan tertentu maka dapat di tempu dengan cara memberi peluang atau pekerjaan yang dapat menambah atau memberikan tambahan penghasilan. Sedangkan bagi yang fakir miskin disertai dengan jaminan sosial (jaminan hidup) dan perlindungan sosial. Bagi yang setengah miskin dapat ditempuh dengan penguatan kapasitas usaha agar usahanya tetap berkelanjutan. Berdasarkan asumsi di atas, Program Pemberdayaan Kampung (PPK) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Nabire berkolaborasi dengan Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab) dari Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua pada tahun 2005. Sesuai nota kesepahaman, Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab) dan seluruh tenaga pendamping PPD Provinsi Papua di Kabupaten Nabire bertanggung jawab memberikan pendampingan di tingkat kampung. Anggaran tidak langsung (biaya operasional) dalam pelaksanaan PPK seperti biaya transportasi, honor dan lainnya dibiayai langsung dari PPD Provinsi Papua. Pemda Kabupaten Nabire hanya bertanggung jawab menyediakan anggaran pemberdayaan langsung. Kolaborasi kedua institusi dalam program ini berawal dari hasil evaluasi yang menunjukkan keberhasilan pelaksanaan PPD Provinsi Papua selama 3 tahun di Kabupaten Nabire dalam memberdayakan masyarakat miskin. Kampung Urumusu menjadi salah satu lokasi sasaran program PPD yang hasilnya dapat dilihat sampai saat ini adalah masih 74 berdirinya 1 unit Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Sembako, Pusat Kegiatan Pos Yandu yang pada tahun 2007 ditingkatkan menjadi Polindes serta terbentuknya 3 kelompok tani. Dengan ditunjuknya pelaksana Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua di Kabupaten Nabire sebagai pendamping lapangan (di kampung) maka disepakati pula bahwa semua aturan (norma), pengorganisasian masyarakat di tingkat kampung dan prosedur pelaksanaan disesuaikan dengan semua aturan (norma), pengorganisasian masyarakat di tingkat kampung dan prosedur pelaksanaan yang berlaku dalam Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua. Tujuan PPK Tujuan dari pada Program Pemberdayaan Kampung (PPK) yang dirumuskan oleh Pemda Kabupaten Nabire dan Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KMKab), Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua di Kabupaten Nabire adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan peranserta multi-pihak (stakeholders) terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pemanfaatan dan pelestarian pembangunan; 2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal yang telah dirintis PPD; 3. Mengembangkan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan kampung yang berkelanjutan; 4. Menyediakan sarana dan prasarana sosial dasar serta ekonomi yang diprioritaskan oleh multi-pihak (stakeholders); dan 5. Melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Strategi dan Sasaran PPK Strategi dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pemberdayaan melalui kelompok. Lokasi sasaran adalah distrik yang memiliki kampung miskin relatif lebih banyak. Dalam menentukan lokasi yang dianggap kampung miskin, PPK menggunakan dasar pemikiran yang sama dengan PPD yakni: 1) Ketersediaan infrastruktur sosial dasar; 2) Ketersedian infrastruktur ekonomi; 75 dan 3) Kondisi Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan 3 (tiga) pertimbangan di atas maka Pemda Kabupaten Nabire menetapkan kriteria lokasi sasaran PPK sebagai berikut: 1) Distrik yang pernah dan telah selesai mendapatkan bantuan Program Pengembangan Distrik (PPD); 2) Distrik yang termasuk dalam kategori "distrik bermasalah" yang diukur berdasarkan ketersediaan Kebutuhan Sosial Dasar Minimum. Kelompok sasaran PPK adalah masyarakat miskin di kampung sasaran PPK. Kriteria miskin dan warga ketegori miskin ditentukan oleh masyarakat kampung melalui forum kampung. Program Bantuan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Melalui PPK Lembaga pelaksana adalah Lembaga Kemasyakatan yang berjenjang dari tingkat kelompok masyarakat, marga, dusun hingga kampung. Hal-hal lain yang dilaksanakan dalam rangka penguatan kelembangaan Kampung yaitu: Bantuan Tenaga Pendamping secara Berjenjang Kelompok masyarakat miskin yang telah teridentifikasi mendapatkan bantuan teknis dari para personel tenaga pendamping PPD secara berjenjang selama dua tahun. Bantuan personil tenaga pendamping secara berjenjang adalah sebagai berikut: 1) Koordinator Provinsi (Korprov) beserta personel Regional Management Unit (RMU); 2) Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab); 3) Fasilitator Distrik (FD) untuk memfasitasi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pemeliharaan; 4) Asisten Fasilitator Distrik (AFD)/Pendamping Lapangan (PL); dan 5) Fasilitator Kampung (FK); setiap kampung disediakan 2 personel. Bantuan Pelembagaan Unit Pengelola Kegiatan Unit Pengelola Keuangan atau Unit Pengelola Kegiatan (UPK) merupakan lembaga yang bertanggung jawab menandatangani kuitansi pada Bendahara Proyek di Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK). UPK selanjutnya menyalurkan dana tersebut kepada kelompok masyarakat miskin sesuai petunjuk teknis bupati. Usulan-usulan berupa kegiatan pembangunan prasarana atau sarana fisik, kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) atau Simpan Pinjam 76 Kelompok Perempuan (SPP), Kesehatan, Keimanan dan ketaqwaan, Kepemudaan dan lainnya. Forum-Forum Pengambilan Keputusan dalam PPK dan Pelembagaan Tim Pemelihara Hasil Kegiatan Forum atau media musyawarah untuk mengambil keputusan yang lebih dikenal dengan Lembaga Kemasyarakatan (LK). LK yang berjenjang dari tingkat kelompok, marga, dusun hingga kampung. Di tingkat kampung ada Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) yang terdiri dari 5 orang. Mereka bertugas menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Tim Pemelihara Hasil Kegiatan (TPHK) merupakan lembaga yang bertanggung jawab menjamin pemeliharaan. Pelembagaan TPHK diperlukan agar fasilitas yang telah terbangun dapat dipertahankan daya manfaat atau usia produktifnya selama mungkin. Siklus Pelaksanaan PPK Siklus kegiatan diawali dari penggalian gagasan di tingkat kelompok, marga, dusun hingga kampung. Dalam setiap jenjang, masing-masing usulan telah melewati kompetisi secara demokratis. Hal ini dianggap penting untuk memberi ruang agar kegiatan yang didanai betul-betul kebutuhan riil masyarakat dan telah melewati tahapan proses penyaringan secara demokratis. 1. Tahapan proses pelaksanaan kegiatan dalam program PPK adalah satu kesatuan dari pada proses pembangunan Daerah. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut sebagai berikut: 1) Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kampung; 2) Musyawarah Rencana Pembangunan tingkat Distrik; 3) Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten; 4) BPK lewat Lembaga Kemasyarakatan maupun secara langsung kepada masyarakat melalui usaha menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada kepala kampung; 5) Kepala kampung menyusun rancangan APB Kampung berdasarkan aspirasi masyarakat yang diterima lewat BPK; 6) Kepala Kampung dan BPK membahas dan menetapkan APB Kampung melalui Peraturan Kampung; 7) Lembaga Pemberdayaan Kampung (LPK) melaksanakan kegiatan dan di lain pihak BPK bersama masyarakat mengawasi pelaksanaan APB Kampung; 77 dan 8) Kepala Kampung melaporkan pertangungjawaban penyelenggaraan pemerintahan kepada Bupati dan kepada BPK dalam musyawarah BPK. Secara konseptual sesuai petunjuk teknis bupati bahwa pelaksanaan program PPK mengikuti 13 (tiga belas) tahapan kegiatan sebagaimana diringkas dalam tabel 10 berikut ini. Tabel 10 : Tahapan Kegiatan Program Pemberdayaan Kampung (PPK) No 01 Tahap Kegiatan 02 Uraian Kegiatan 03 1. Musyawarah Kampung 1 Memilih Fasilitator Kampung, Tim Teknis, dan sebagainya. 2. Pelatihan Kampung Pelatihan bagi fasilitator pelaksana PPK 3. Penggalian gagasan 4. Musyawarah perempuan 5. Musyawarah Kampung 2 Memutuskan usulan Kampung 6. Penulisan usulan Persiapan usulan kampung dan kelompok perempuan dengan/tanpa desain serta rencana anggaran. 7. Verifikasi usulan kegiatan Kunjungan verifikasi atau kelayakan masukan kepada masyarakat kampung. Fasilitator Menggali, menampung, menghimpun dan merumuskan aspirasi oleh Fasilitator Kampung. khusus Musyawarah Kampung khusus perempuan untuk memutuskan usulan kelompok perempuan di tingkat organisasi masyarakat setempat. untuk memberi • Merangking usulan kegiatan. 8. Musyawarah Kampung 2 • Fasilitator Kampung (FK) dan Pendamping Teknis (TK) membantu persiapan desain dan anggaran bagi usulan yang diprioritaskan. • Alat Bantu: Formulir Village Visioning. • Memilih kegiatan kampung yang akan didanai. • Pembentukan Tim Pelaksanaan dan Pemantau kegiatan. 9. Musyawarah Kampung 3 10. Pencairan dana di BPD via Kepala Bagian Keuangan SETDA Kab. Nabire 11. Monitoring dan evaluasi • Supervise pelaksanaan kampung-kampung. 12. Musyawarah Kampung Serah Terima Musyawarah serah terima pekerjaan dan pertanggungjawaban pengeluaran keuangan. 13. Pembentukan Tim Pemelihara • Persiapan dan Pelaksanaan Kegiatan rekrutmen tenaga kerja, pengadaan bahan, dan sebagainya. Penyaluran Dana dan Pelaksanaan Kegiatan kepada kelompok masing-masing. • Musyawarah Pertanggungjawaban Keuangan. kegiatan, kunjungan • Pemeliharaan (untuk kegiatan pembangunan prasarana/sarana fisik) • Pengembalian pinjaman (khusus UEP/SPP). Sumber: Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung Kabupaten Nabire, 2006 ke 78 Jenis Kegiatan dan Jumlah Anggaran Yang Didanai PPK Dana PPK disediakan lewat APBD. Pemda sebesar Rp 35.000.000,00 bagi setiap kampung yang menjadi lokasi sasaran PPK dengan rincian sebagai berikut: 1. Iman dan Ketaqwaan Rp 5. 250. 000, 00 2. Pendidikan Rp 5. 250. 000, 00 3. Kesehatan Rp 7. 000. 000, 00 4. Ekonomi Kerakyatan Rp 7. 000. 000, 00 5. Pembangunan Infrastruktur Rp 8. 700. 000, 00 6. Operasional Kampung Rp 1. 800. 000, 00 Evaluasi Umum Realisasi Program Pemberdayaan Kampung Penyelenggaraan program PPK adalah kolaborasi antara PPD Papua dan Pemda Kabupaten Nabire. Namun kenyataan tidak demikian, seperti yang diunggapkan oleh mantan Fasilitator PPD Distik Uwapa, Frids Agapa berikut ini. ”Pencairan dana dan pendampingan masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan yang disepakati Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab), Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua di Kabupaten Nabire dan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) sebagai penanggung jawab program, sangat tertutup dan tidak ingin ada kerjasama dengan pendamping PPD di distrik. Pencairan dana dilakukan sekali, yang seharusnya dilakukan tiga kali secara bertahap. Setiap tahapan dilakukan proses perencanaan, pengawasan dan pengendalian program. Khusus Kampung Urumusu, saya mengumpulkan masyarakat untuk mengarahkan bahwa melaksanakan program didahului dengan perencanaan penggunaan anggaran. Namun sebelum rapat, dana sudah terbagi sama rata secara tunai bagi setiap Kepala Rumah Tangga. Pada saat pengarahan maupun pembagian dana, BPMK tidak mengarahkan maupun memberi informasi kepada aparat kampung bahwa penggunaan dana tersebut akan didampingi oleh PPD. Disini saya melihat bahwa Kepala Kantor BPMK berkeinginan menghilangkan sebagian anggaran. Distrik Uwapa tidak terjadi demikian, tetapi di Distrik Kamu, Kamu Utara, Sukikai dan Siriwo, setiap kampung menerima jauh di bawah jumlah anggaran yang ditetapkan Pemda Kabupaten Nabire. Alasan yang digunakan adalah sebagian uang kas yang dibawakan dalam kantong terbawah arus sungai pada saat menyeberangi di Sungai Kasuari. Hal ini tidak logis karena saat itu musim kemarau panjang dan tidak ada laporan kecelakaan dari Kepolisian Resort Mapia”. 79 Realisasi atas daya pemberdayaan yang berasal dari APBD sebesar Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) bagi Kampung Urumusu di realisaikan sebagaimana disajikan pada tabel 11 berikut ini. Tabel: 11 Perbandingan Rencana dan Realisasi Dana Kegiatan PPK NO 1 2 3 4 5 6 RENCANA BIDANG Keimanan dan Ketaqwaan Pendidikan Kesehatan Ekonomi Kerakyatan Pemb. Infrastruktur Operasional Kampung TOTAL REALISASI ALOKASI % 5,250,000 15 5,250,000 7,000,000 15 20 7,000,000 20 7000,000 25 1,800,000 5 35,000,000 100 BIDANG Keimanan dan Ketaqwaan Pendidikan Kesehatan Ekonomi Kerakyatan Pemb. Infrastruktur Operasional Kampung TOTAL ALOKASI % 3,000,000 9 - - 31,200,000 89 - - 800,000 2 35,000,000 100 Sumber: Olahan hasil wawancara dari berbagai sumber, 2006 Evaluasi Ketepatan Sasaran Program Pemberdayaan Kampung Realisasi penetapan kelompok sasaran (target group) PPK tidak tepat sasaran karena program yang dikhususnya untuk kelompok marginal di kampung tidak terlaksana karena dana dibagi sama rata kepada 78 Kepala Keluarga di Kampung Urumusu. Menanggapi realisasi tersebut, Agapetus Gobay, Sekretaris Kampung Urumusu mengatakan bahwa: ”Masyarakat takut bahwa uang tersebut kalau tertahan lebih dari satu hari maka akan hilang karena ada pengalaman sebelumnya. Dengan demikian penggunaan dana dalam bentuk kelompok (kolektif) tidak memungkinkan. Apararat Kampung ingin melaksanakan sesuai petunjuk teknis namun keingin masyarakat juga didukung oleh Badan Permusyawaratan Kampung. Pos lain kami hilangkan, karena kalau hanya membagi dari pos ekonomi kerakyatan hanya tersedia dana Rp 7. 000.000. Setiap Kepala Keluarga mendapat dana sebesar Rp 400.000. Kami sudah sarankan untuk setiap Kepala Keluarga menambah unit usaha baru namun saya yakin sebagian besar dana tersebut sudah digunakan untuk kepentingan konsumsi”. Menanggapi kegagalan PPK dalam mencapai sasaran, Petrus Petege dari LSM-Project Concern International (PCI) yang sedang melakukan pendampingan bidang kesehatan di Distik Uwapa, termasuk di Kampung Urumusu berkomentar sebagai berikut: 80 ”PPK belum ada model pendampingan terpadu dan berkelanjutan sampai ke masyarakat kampung. Tidak ada usaha untuk memandirikan masyarakat. Masalah pokok yang dihadapi di jajaran Pemda yakni lingkaran pengambil keputusan di bawah Bupati belum sepenuhnya memahami pemperdayaan, partisipasi, penguatan kapasitas dan kemandirian masyarakat. Banyak penjabat yang menganggap bahwa pemberdayaan adalah memberikan uang kepada masyarakat. Akibatnya adalah Program Pemberdayaan Kampung (PPK) ini pun banyak salah sasaran. Seharusnya masyarakat harus diarahkankan untuk mendorong kemauan dan penyadaran, kemudian barulah pengetahuan dan ketrampilan. Mengajarkan masyarakat mengikuti proses hingga mencapai keberdayaan jauh lebih penting daripada mempraktekkan program pemberdayaan yang bernuasa politik namun tidak ada hasilnya. Program pemberdayaan dikatakan berhasil jika dapat merubah pola dan prilaku masyarakat secara terencana sehingga masyarakat yang konsumtif menjadi masyarakat yang produktif”. Evaluasi Pencapaian Tujuan Program Pemberdayaan Kampung Evaluasi pencapaian program diukur menurut masing-masing point tujuan pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung adalah sebagai berikut: Evaluasi Tujuan PPK Dalam Meningkatkan Peranserta Masyarakat. Tujuan meningkatkan peranserta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pemanfaatan dan pelestarian pembangunan tidak tercapai dalam realisasi program ini. Bukti kegagalan pencapaian tujuan ini terlihat jelas dari tahapan proses perencanaan dimana tidak dilaksanakannya proses-proses yang seharusnya dilalui seperti: 1) Musyawarah Rencana Pembangunan Kampung secara partisipatif; 2) Badan Permusyawatan Kampung (BPK) lewat Lembaga Kemasyarakatan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada kepala kampung; 3) Kepala Kampung tidak pernah menyusun rancangan APB Kampung secara partisipatif; dan 4) Kepala Kampung bersama BPK tidak pernah menetapkan APB Kampung melalui Peraturan Kampung. Sedangkan pada tahapan proses pengawasan dapat dilihat dari tidak terlaksananya proses seperti:1) BPK bersama masyarakat tidak diberikan ruang untuk mengawasi pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan PPK; 2) Kepala Kampung tidak pernah mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Bupati dan kepada BPK dalam musyawarah BPK dan 81 3) BPK tidak pernah memanfaatkan haknya dalam mengajukan pertanyaan, mengajukan usul dan pendapat. Evaluasi Tujuan PPK Dalam Pelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Lokal Tujuan PPK dalam melembagakan pengelolaan pembangunan secara partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal yang telah dirintis PPD tidak tercapai karena dana belum adanya peningkatan pendapatan, penambahan unit usaha baru serta belum teratasinya masalah hama dan penyakit yang menyerang kakao sebagai sumber pendapatan utama masyarakat kampung. Selain itu belum ada penambahan unit usaha ekonomi produktif milik kampung. Evaluasi Tujuan PPK Dalam Pengembangan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Yang Berkelanjutan Tujuan pengembangan kapasitas Pemerintahan Kampung dalam penyelenggaran tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang berkelanjutan tidak tercapai karena: a. Pemerintah Kampung tidak dapat mengotimalkan pelaksanaan kewenangan teknis Kampung untuk mengsingkronisasikan dengan visi, misi dan Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten. b. Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui optimalisasi ketatalaksanaan adminitrasi dan pengembangan budaya organisasi pada Pemerintahan Kampung Urumusu. c. Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas SDM aparat pemerintahan dan masyarakat kampung karena pelaksanaan PPK tidak menjadi sarana proses belajar kepemimpinan dan pengorganisasian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bagi aparat kampung dan masyarakat di kampung. d. Tidak dapat mengoptimalkan penerimaan dan pengelolaan keuangan kampung melalui pelaksanaan PPK untuk mengatasi kebutuhan nyata masyarakat, penyempurnaan manajemen keuangan, penyempurnaan sistem penganggaran serta melaksanakan pertanggungjawaban keuangan kampung. e. Tidak dapat mengoptimalkan pelaksanaan PPK untuk meningkatkan ketersedian sarana dan prasarana pemerintahan kampung dalam rangka menunjang Urumusu. pelayanan kepada multi-pihak (stakeholders) di Kampung 82 f. Tidak dapat meningkatkan efektivitas fungsi perencanaan, melalui proses Musrenbang dan APB Kampung secara partisipatif serta mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) dan lembaga kemasyarakatan lainnya sebagai lembaga perencana dan pelaksana dalam kegiatan PPK. g. Tidak mengalami peningkatan efektivitas fungsi pengawasan Pemda Kabupaten Nabire, masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung dalam pelaksanaan PPK. h. Tidak mengalami peningkatan kualitas ketatalaksanaan dan ketatausahaan administrasi kampung melalui pelaksanaan PPK. i. Tidak dapat mengoptimalkan fungsi artikulasi dan agregasi Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) sebagai lembaga permusyawaratan yang bertugas menggali, menyaring, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam pelaksanaan PPK kepada pemerintah kampung. j. Tidak dapat mengoptimalkan fungsi legislasi BPK sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kampung, seperti membahas dan menetapkan berbagai Peraturan Kampung yang berhubungan dengan PPK bersama Kepala Kampung. Evaluasi Tujuan PPK Dalam Penyediaan Sarana dan Prasarana Ekonomi serta Sarana dan Prasarana Sosial Dasar. Tujuan PPK untuk menyediakan sarana dan prasarana sosial dasar serta ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat melalui pelaksanaan PPK tidak terlaksana karena 89 persen dana PPK digunakan untuk membagi secara tunai untuk kepentingan pengembangan ekonomi kerakyatan dengan mengorbankan penyediaan kebutuhan sarana sosial lainnya. Evaluasi Tujuan PPK Dalam Melembagakan Pengelolaan Keuangan Mikro Tujuan PPK dalam melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin tidak tercapai karena tidak terbentuk Unit Pengelola Keuangan atau Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang diharapan adanya pengelolaan dana bergulir. Menanggapi kegagalan pencapaian tujuan PPK, mantan Fasilitator PPD Distik Uwapa, Frids Agapa mengatakan bahwa: 83 ”Saya dan masyarakat, khususnya masyarakat Kampung Urumusu tidak berdaya menghadapi pola-pola pemberdayaan yang dilakukan setahun sebelumnya sudah mengajarkan cara perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan pemeliharaan secara partisipatif. Namun hal ini tidak perlu dipersalahkan kepada masyarakat karena pengalaman saya, masyarakat di kampung-kampung, termasuk aparat kampung, sangat patuh kepada pemerintah. Dengan demikian, yang salah adalah yang mengarahan, yakni BPMK. Kasus kehilangan di beberapa distrik, sudah diketahui oleh aparat kampung sehingga Pemerintah Kabupaten Nabire ikut merusak mentalitas aparat kampung yang lugu dengan tindakan-tindakan tidak terpuji yang diperlihatkan di depan mata aparat dan masyarakat kampung. Dari sistem yang dikembangkan, saya melihat bahwa ada pembiaran dan malahan diajari bertumbuhnya mental korupsi di tingkat aparat kampung. Sebernarnya hal yang paling penting adalah mengubah mentalitas konsumtif orang Papua, termasuk masyarakat di Kampung Urumusu melalui proses yang memberdayakan. Segalanya sudah disiapkan oleh alam. Kami dimanjakan oleh sumber daya alam yang berlimpah. Alam Papua yang serba tersedia, kami terbiasa berpikir untuk makan hari ini. Mentalitas ini sangat berpengaruh terhadap semua program pemberdayaan. Seharusnya Pemda sebagai yang empunya program hanya ikut mendampingi dan memberikan tools bukan ikut mengambil kabijakan yang bersifat teknis. Biarlah masyarakat yang menetapkan program yang sesuai kebutuhannya. Inikan hal teknis. Kita memberikan kail untuk mencari ikan, kita tidak memberdayakan jika kita hanya memberikan ikan. Program pemberdayaan seperti ini tetap dipertahankan maka tidak menutup kemungkinan menciptakan masyakakat bermental pengemis. Kerena keinginan hati ingin menolong masyarakat miskin malahan akan kehilangan kreasi untuk mempertahan hidup dan menjadi tidak berdaya. Kalau sudah tidak berdaya, maka selanjutnya akan selalu mengharapkan bantuan dari Pemerintah ”. Evaluasi Realisasi Siklus Pelaksanaan PPK Pelaksanaan program PPK mengikuti 13 (tiga belas) tahap kegiatan namun pada kenyataan tidak terrealisasi. Hal ini menggindikasikan bahwa masyarakat kampung kehilangan kesempatan untuk membangun demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengatasi masalah sosial dikampungnya secara demokratis. Menanggapi kegagalan menerapkan siklus pelaksanaan PPK, Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Nabire, Thomas Tigi mengatakan bahwa: Pada tingkat Distrik sudah kami mengatakan tentang perubahan paradigma perencanaan bahwa perencanaan dimulai dari bawah. Tetapi jajaran di distrik belum menyesuaikan diri dengan paradigma baru tersebut. Masalah yang dihadapi dalam hal penerapan PPK adalah kemampuan SDM pada kantor distrik dan Kampung. Kebijakan Bupati cukup tepat, implementasinya yang perlu dibina lebih lanjut. Selain masalah SDM di tingkat kampung dan distrik, masalah lain yang tidak kalah pentingnnya adalah kurang adanya kerjasama antar instansi terkait, yakni Bappeda, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung, Bagian Keuangan Setda dan Kantor Distrik. Kita jalan 84 masing-masing dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Program Pemberdayaan Kampung yang dilakukan di Kabupaten Nabire, saya menilai baik tapi belum ada koordinasi yang baik antar instansi teknis. Evaluasi PPK Terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal Evaluasi Dampak PPK Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat. Peningkatan Pendapatan Keluarga secara berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak begitu nampak kerena pembagian dana PPK diperkirakan digunakan untuk konsumsi. Dampak yang ditimbulkan dari keputusan di atas adalah antara lain: 1. Hilangnya kesempatan mengakumulai modal usaha secara kolektif dan hilangnya sarana mengakses modal secara berkelanjutan. 2. Hilangnya kesempatan menambah unit usaha baru (investasi) maupun perawatan dan perluasan unit usaha yang lama. 3. Tingkat produksi tanaman kakao terus mengalami penurunan karena tidak dapat membelanjakan obat hama dan penyakit serta pembersihan lahan kakao melalui bantuan dana PPK. Menanggapi adanya anggapan bahwa PPK tidak memberikan dampak positif terhadap pengembangan ekonomi lokal, menurut Kepala Distrik Uwapa, Yunus Wenda, bahwa: ”Saya melihat penyelewengan dana dalam jumlah yang tidak banyak tetapi proyek salah sasaran jauh lebih banyak. Masalah pokok yang dihadapi dalam pelaksanaan PPK ialah minimnya kualitas SDM aparat pemerintahan kampung yang berdampak pada pengelolaan dana PPK, pertanggungjawaban administrasi dan pelaporan penggunaan dana. Setiap usaha transformasi, termasuk PPK menjalani tahap perkembangan, mulai dari pengenalan, penerapan, pembelajaran dari pengalaman, pengambilan keputusan untuk perbaikan. Menurut saya Program PPK baru memasuki tahap pengenalan. Saya kurang setuju kalau dikatakan bahwa PPK tidak berhasil. Ini merupakan tahun pertama dan tahun pengenalan. PPK harus diadakan secara berkelanjutan. Masyarakat dan pemerintah akan memperbaikinya dari kesalahan”. 85 Evaluasi Modal Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat Kampung Urumusu Dalam PPK Lemahnya kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya sendiri dalam PPK adalah cerminan lemahnya modal sosial untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif. Lemahnya modal sosial seperti lemahnya nilai dan norma, tidak saling percaya, kelemahan dalam membangun jaringan secara vertikal dan horizontal mempunyai kontribisi besar dalam kegagalan program PPK di Kampung Urumusu. Kelemahan kapasitas modal sosial ini terkoreksi di dalam aktualisasi dari lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada seperti PKK, Pos Yandu, Kelompok Tani, Organisasi Kepemudaan, Keagamaan dan Pemerintahan Kampung. Kelemahan kapasitas modal sosial ini mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengambil keputusan secara kolektif dan demokratis pada saat menghadapi masalah seperti yang terjadi pada pelaksanaan PPK. Lembagalembaga kemasyarakatan yang menaungi dan mengkoordinir masyarakat pun kurang berwibawa. PPK merupakan peluang yang tersia-siakan untuk memperkuat kembali kualitas modal sosial pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu yang mulai menurun. Lemahnya kapasitas multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam mengorganisir dirinya sendiri, tidak terlepas dari lemahnya kapasitas kepemimpinan. Kepala Kampung sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai pembina lembaga-lembaga kemasyarakan di kampung belum mampu mengaktualisasi dirinya sebagai pemimpin yang baik. Beberapa indikator lain yang menjadi ukuran bahwa kapasitas kepemimpin Kepala Kampung masih lemah dalam pelaksanan PPK adalah: 1. Kurang mampu mengamankan kebijakan daerah (perintah atasan). Realisasi PPK, khususnya dalam pembagian dana menurut bidang-bidang tertentu tidak direalisasikan sesuai Petunjuk Pelaksanaan PPK dari Bupati. Hal ini sebagai bukti ketidakmampuan mengambil kebijakan teknis berdasarkan petunjuk Bupati. Akibatnya adalah kekegagalan menerapakan prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan), seperti fakir miskin, cacat fisik permanen, janda dan jompo miskin dan penyandan masalah sosial lainnya. 2. Kurang mampu berpikir realitis, inisiatif dan kreatif. Kejanggalan berawal dari ketidakpatutan BPMK Kabupaten Nabire dalam merealisasikan PPK sesuai dengan kontrak kerjasama di antara Bupati Nabire 86 dan PPD Papua. Namun demikian Kepala Kampung kurang berinisiatif dalam meminta saran dan pendapat kepada koodinator PPD Distrik Uwapa. Selain itu kurang realistis dan kurang kreatif dalam menterjemahkan tujuan pelaksanaan PPK. Dengan demikian ia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya menjadi agen pembahuruan dan agen pembangunan yang baik. 3. Kurang mampu membangun tim kerja. Realisasi PPK di Kampung Urumusu tidak dilaksanakan atau dikoordinir oleh satu tim kerja yang solit. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang kurang jelas. Hal ini ini berhubungan erat dengan kurangnya intensitas rapat aparat kampung sendiri maupun dengan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu untuk melaksanakan koordinasi kerja. Dengan demikian Kepala Kampung tidak dapat menjadi komunikator, fasilitator dan penasehat yang baik dalam mengoptimalkan hasil dari PPK. 4. Kurang Percaya Diri. Kurangnya rasa percaya diri pada Kepala Kampung telah membuatnya menjadi pemimpin yang selalu tidak tegas dan ragu-ragu dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu ia tidak dapat mengkoordinir dan mengarahkan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dengan penuh wibawah sebagai seorang pemimpin. Rangkuman Evaluasi PPK di Kampung Urumusu Program PPK dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Nabire bekerjasama dengan PPD Papua pada tahun 2005. Kampung Urumusu menjadi salah satu lokasi sasaran program PPK. Secara konsepsi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) mengandung pengertian suatu gerakan yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya belum menerapkan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat secara optimal. Pelaksanaan PPK yang tidak demokratis, tidak prosedural dan tidak terorganisir sehingga telah memberikan kontribusi yang besar dalam kekegagalan program PPK di Kampung Urumusu. PPK menjadi program yang sia-sia jika diukur menurut tujuan yang ingin dicapai, artinya PPK tidak membawa dampak yang berarti bagi pengembangan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan, memperkuat modal sosial serta penguatan kelembagaan pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan di kampung. 87 Dampak PPK terhadap pengembangan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan tidak tercapai dana yang dikucurkan Pemda menjadi sia-sia karena: 1) Multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan kesempatan mengakumulasikan modal usaha secara kolektif dan hilangnya sarana mengakses modal secara berkelanjutan; 2) multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan kesempatan menambah unit usaha baru (investasi) maupun perawatan dan perluasan unit usaha yang lama; dan 3) multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan kesempatan mengatasi masalah hama dan penyakit kakao melalui bantuan dana PPK. Begitupun halnya dengan pengembangan modal sosial tidak tercapai karena lemahnya kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya sendiri dalam PPK. Hal ini juga merupakan cerminan lemahnya modal sosial untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif. Lemahnya modal sosial seperti lemahnya nilai dan norma, tidak saling percaya, kelemahan dalam membangun jaringan secara vertikal dan horizontal mempunyai kontribisi besar dalam kegagalan program PPK di Kampung Urumusu. PPK menjadi peluang yang tersia-siakan untuk memperkuat kembali kualitas modal sosial yang mulai menurun. Secara politik adanya indikasi proses pembiaran dan pembodohan karena multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu kehilangan kesempatan belajar mengatasi masalah secara mandiri serta PPK telah mengabaikan roh (prinsip) dari konsep pemberdayaan, yakni keberpihakan pada peningkatan kualitas hidup, keterbukaan (transparansi), keterlibatan aktif dalam berbagai kegiatan (partisipasi), bersaing secara baik (kompetisi sehat atau demokrasi), pembagian wewenang dan tanggung jawab (desentralisasi), pertanggungjawaban pekerjaan (akuntabilitas) dan keberlanjutan (pelestarian) sehingga pengembangan kapasitas pemerintahan, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat kampung tidak tercapai. Kepentingan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung juga tidak tercapai karena: 1) Pemerintah Kampung tidak dapat mengotimalkan kewenangan teknisnya untuk mengsingkronisasikan dengan visi, misi dan Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten, 2) Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui optimalisasi ketatalaksanaan adminitrasi dan pengembangan budaya organisasi pada pemerintahan kampung; 3) Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas SDM aparat pemerintahan dan masyarakat kampung karena pelaksanaan PPK tidak menjadi sarana proses belajar kepemimpinan bagi aparat kampung dan masyarakat di kampung; 4) Tidak 88 dapat mengoptimalkan penerimaan dan pengelolaan keuangan kampung melalui pelaksanaan PPK untuk mengatasi kebutuhan nyata masyarakat, penyempurnaan manajemen melaksanakan keuangan, penyempurnaan pertanggungjawaban sistem keuangan penganggaran kampung; 5) Tidak serta dapat mengoptimalkan pelaksanaan PPK untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan kampung dalam rangka menunjang pelayanan kepada masyarakat; 6) Tidak dapat meningkatkan efektivitas fungsi perencanaan, melalui proses Musrenbang dan APB Kampung secara partisipatif serta mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) dan lembaga kemasyarakatan lainnya sebagai lembaga perencana dan pelaksana dalam kegiatan PPK; 7) Tidak mengalami peningkatan efektivitas fungsi pengawasan Pemda Kabupaten Nabire, dan multi-pihak di Kampung Urumusu dalam pelaksanaan PPK; 8) Tidak mengalami peningkatan kualitas ketatalaksanaan dan ketatausahaan administrasi kampung (pelayanan publik) melalui pelaksanaan PPK; 9) Tidak dapat mengoptimalkan fungsi artikulasi dan agregasi BPK sebagai lembaga permusyawaratan yang bertugas menggali, menyaring, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi multi-pihak di Kampung Urumusu dalam pelaksanaan PPK kepada pemerintah kampung; dan 10) Tidak dapat mengoptimalkan fungsi legislasi Badan Permusyawaran Kampung sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kampung, seperti merancang, membahas dan menetapkan berbagai Peraturan Kampung yang berhubungan dengan PPK bersama kepala kampung.