1 PENDAHULUAN Latar Belakang Antibiotik β-laktam termasuk ke dalam antibiotik peptida dengan asam amino yang memiliki cincin β-laktam. Antibiotik ini banyak digunakan karena mempunyai spektrum yang luas dan bersifat selektif, yaitu hanya menghambat pertumbuhan bakteri target tanpa membahayakan sel inang sehingga pemakaiannya aman bila dibandingkan antibiotik jenis lain. Penghambatan antibiotik β-laktam terjadi pada sel yang sedang tumbuh, dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri target (Crueger & Crueger 1984). Penggunaan antibiotik β-laktam berspektrum luas menjadi tidak efektif karena banyak bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik ini. Neu & Gootz (1993) melaporkan pada tahun 1977 ditemukan strain Streptococcus pneumoniae resisten penisilin G di Afrika Selatan. Resistensi pada semua jenis penisilin dan sefalosporin terjadi pada kelompok stafilokokus, sedangkan kelompok enterokokus dan N. gonorrhoeae resisten terhadap semua jenis penisilin. Triatmojo (1996) menemukan di Jawa Barat Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) resisten terhadap ampisilin dan tetrasiklin. Budiarti (1998) menemukan Enteropatogenic Escherichia coli (EPEC) K1-1 yang diisolasi dari feses anak-anak penderita diare memiliki resistensi terhadap ampisilin. Bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik β-laktam karena dapat menghasilkan enzim β-laktamase yang bekerja memecah cincin β-laktam (Doran et al. 1990) dan menghidrolisis ikatan amida pada cincin tersebut (Kang et al. 2000) sehingga antibiotik dari kelas β-laktam tidak efektif untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen (Nataro & Kaper 1998). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan data resmi yang menyatakan bahwa diare merupakan penyebab utama kematian balita di seluruh dunia, sementara di Indonesia diare adalah pembunuh balita nomor dua. Unicef memperkirakan setiap 30 detik, terdapat anak yang meninggal dunia. Di Indonesia, setiap tahunnya sekitar 300 ribu-500 ribu balita meninggal karena penyakit kekurangan cairan tubuh tersebut (Serambi Indonesia 2007). EPEC dan Shigella merupakan penyebab diare pada balita hanya sebesar 20% tetapi kedua bakteri tersebut menyebabkan 60% kematian dari kasus diare yang dilaporkan. Pada bayi, pelekatan EPEC dengan lapisan mukosa usus 2 halus dapat menginduksi terjadinya diare dengan gejala diare tanpa darah atau lendir, demam dan muntah yang berlanjut dengan dehidrasi yang akhirnya menyebabkan kematian (Afset et al. 2004). Diare yang disebabkan oleh kedua bakteri tersebut jika tidak menyebabkan kematian dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat pulih dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan balita (Medical News Today 2006). Streptomyces clavuligerus selain dapat menghasilkan β-laktamase, diketahui menghasilkan senyawa anti β-laktamase yang berupa senyawaan non protein seperti asam klavulanat ataupun senyawaan protein seperti β-laktamase Inhibitory Protein (BLIP). Beberapa BLIP telah ditemukan diantaranya berbobot molekul 17 kDa dari Streptomyces clavuligerus (Doran et al. 1990), BLIP I dan BLIP II dengan bobot molekul 48 kDa dan 33 kDa yang diisolasi dari S. Exfoliatus SMF 19 (Kim & Lee 1994). Desriani (2004) menemukan BLIP dari Streptomyces isolat lokal berbobot 1445 kDa. Senyawa anti β-laktamase berfungsi menghambat kerja β-laktamase dalam memecah cincin β-laktam pada antibiotik β-laktam. Beberapa penelitian tentang aktivitas senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan Streptomyces lokal telah dikaji. Elsie (2006) melakukan pengujian terhadap aktivitas senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan oleh Streptomyces isolat indigenos dan diketahui isolat IVNF1-1 memiliki aktivitas penghambatan β-laktamase 1.946 x 10-4 U/ml sebesar 84.12%. Fadhilah (2007) melakukan optimasi produksi senyawa anti βlaktamase dari Streptomyces sp IVNF1-1. Optimasi produksi terhadap senyawa anti β-laktamase dapat meningkatkan aktivitasnya hingga 3 kali lipat. Zona penghambatan sebelum optimasi yang hanya sebesar 4 mm dapat menjadi 12.6 mm setelah optimasi. Hasil identifikasi senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan isolat IVNF1-1, menunjukkan bahwa isolat tersebut dapat menghasilkan asam klavulanat dan protein penghambat β-laktamase (BLIP) dengan kandungan asam amino yang dominan adalah aspartat dan fenilalanin (Wahyuni 2006). Aktivitas asam klavulanat dan BLIP dari Streptomyces lavendulae IVNF1-1 dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian ini. 3 Tujuan Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas senyawa anti β-laktamase dari Streptomyces lavendulae IVNF1-1 yaitu asam klavulanat dan BLIP (β-Lactamase Inhibitory Protein) terhadap viabilitas EPEC K1-1 resisten ampisilin. Manfaat Hasil kajian aktivitas senyawa anti β-laktamase dari Streptomyces lavendulae IVNF1-1 yaitu asam klavulanat dan BLIP terhadap viabilitas EPEC K1-1 diharapkan nantinya dapat menjadi masukan dalam pengembangan produk berbasis Streptomyces lavendulae untuk pencegahan dan pengendalian bakteri EPEC resisten antibiotik β-laktam.