5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Perkembangan telinga dimulai pada minggu ke-3 kehidupan intra-uteri dan berakhir pada dewasa. Prosesnya mencakup perkembangan bagian dalam, tengah, dan luar telinga yang kompleks. Telinga tengah terdiri atas kavum telinga tengah, osikel, additus, resesus antrum yang menghubungkan kavum telinga tengah dengan kavum mastoid, kompartemen superior atik dengan tegmentum timpanikum pada atapnya. Tuba eustakius menhubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Fungsi telinga tengah mencakup transformasi, transmisi, dan amplifikasi suara dalam proses mendengar. Fungsi ini mrnurun pada otitis media (Rask, 2008). 2.1.1. Telinga Bagian Luar Gambar 2.1. Gambaran Umum Telinga (Ellis, 2006) Telinga luar terdiri dari daun telinga dan meatus auditori eksterna. Daun telinga terdiri atas tulang keras dan tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan kulit, lemak, dan fibrosa. Otot-otot intrinsik dan ekstrinsik tidak memiliki fungsi yang berarti bagi manusia. Meatus auditori eksternal Universitas Sumatera Utara 6 meluas ke dalam sampai ke membran timpani. Panjangnya sekitar 1,5 inchi (37 mm), dan memiliki bidang unik berbentuk S yang mengarah ke medial atas dan ke depan, kemudian ke medial belakang dan ke medial depan dan bawah. Membran timpani, atau gendang telinga, memisahkan telinga tengah dari meatus auditori eksterna. Membran timpani terdiri dari lapisan kulit luar, bersambung dengan kulit pada meatus auditori eksterna yang berupa lapisan mukoperiosteum dari kavum timpani. Bentuknya oval di bagian luar dan sedikit cekung ke luar, dan tembus pandang sehinga memungkinkan pada pemeriksaan untuk melihat dasar maleus dan bagian dari inkus . Bagian yang lebih besar dikenal sebagai pars tensa. Di atas proses lateral malleus ada area segitiga kecil di mana membran tipis dan longgar yang disebut pars flaccida (Ellis, 2006). 2.1.2. Telinga tengah Telinga tengah, atau kavum timpani, adalah rongga yang menyerupai celah sempit di bagian petrosa tulang temporal yang berisi tiga tulang pendengaran. Dinding lateral dibentuk terutama oleh membran timpani, yang memisahkannya dari meatus auditori eksternal, dan di bagian atasnya adalah bagian skuamosa tulang temporal. Bagian atas dari kavum timpani dikenal sebagai resesus epitimpani; pada bagian ini terdapat inkus dan kepala maleus. Dinding medial, yang memisahkan kavum dari telinga interna terlihat cochleae fenestra ( jendela bulat ), ditutupi oleh membran timpani sekunder membran; vestibule fenestra (jendela oval), ditempati oleh dasar dari stapes yaitu promontorium. Di bagian anterior, kavum berhubungan dengan faring melalui pharyngotympanic atau tuba Eustakius. Di bagian posterior, kavum berhubungan dengan mastoid atau antrum timpani dan sel-sel udara mastoid. Antrum mastoid adalah rongga kecil di bagian posterior tulang temporal, terhubung ke reses epitympanic dari telinga tengah melalui aditus. Tuba Eustakius memiliki panjang sekitar 1.5 inchi (37mm) dengan 0.5 inchi (12mm) pertama merupakan tulang keras, dan sisanya adalah tulang rawan.Tuba dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia Membran Universitas Sumatera Utara 7 mukosanya tipis pada baguan yang keras, tetapi pada bagian kartilago banyak mengandung kelenjar mukus, dan pada bagian orifisium faring terdapat banyak jaringan limfoid yang disebut tubal tonsil, yang bisa membengkak bila terjadi infeksi (Ellis, 2006). Telinga tengah terdiri dari: membran timpani, kavum timpani, tuba Eustakius, prosesus mastoideus dengan sellule mastoidea. Tuba Eustakius memiliki tiga fungsi, yaitu: ventilasi, proteksi, dan drainase kavum timpani. Ketiga fungsi ini sangat vital guna menunjang agar telinga tengah tidak mengalami patologi dan dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Ventilasi memungkinkan terjadinya aerasi dan penyeimbangan tekanan kavum timpani dengan atmosfer. Aerasi atau pengudaraan adalah pemberian udara segar (kaya oksigen) dari nasofaring yang selalu sama dengan atmosfer ke kavum timpani melalui tuba. Mengingat tuba hanya membuka pada waktu tertentu saja (menguap, menelan), yaitu sekitar 3 menit sekali waktu terjaga dan 5 menit sekali waktu tidur, maka aerasi pun hanya terjadi pada waktu tertentu saja. Bersamaan dengan aerasi terjadi pula penyeimbangan tekanan udara di kavum timpani dengan di dinding nasofaring. Kedua proses ini (aerasi dan penyaimbangan tekanan) pada dasarnya adalah upaya mengkoreksi penurunan oksigen dan tekanan udara di kavum timpani akibat resorbsi oleh mukosa. Proteksi bertujuan agar proses infeksi di saluran nafas atas tidak mudah meluas ke kevum timpani. Sementara itu drainase berfungsi untuk membuang sekret yang ada di cavum timpani ke nasofaring. Drainase ini terjadi melalui mekanisme transport mukosiliar yang dimiliki tuba (Philip, 1997). Universitas Sumatera Utara 8 Gambar 2.2. Labirin Membranosa (Ellis, 2006) Gambar 2.3. Membran Timpani Dilihat dengan Auroskop (Ellis, 2006) 2.1.3. Telinga dalam Telinga dalam terdiri atas tulang labirin yang keras yang disusun oleh vestibula sentralis, di bagian posterior terhubung dengan ketiga duktus semisirkularis dan di bangian anterior dengan koklea spiralis. Rongga ini mengandung cairan perilymph serta labirin membranosa, yang terdiri atas utrikulus dan sakulus, yang berhubungan dengan kanalis semisirkularis dan kanalis koklea (Ellis, 2006). Universitas Sumatera Utara 9 G Gambar 2.4. Vaskularisasi dan Persarafan Telinga (Standring, 2008) Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus. Vena dialirkan ke Universitas Sumatera Utara 10 V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior. N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus (Ahmad, 1999). 2.2. Otitis Media Otitis media merupakan peradangan pada telinga tengah. Menurut GG (2008) dalam Ibekwe (2006), otitis media dapat digolongkan berdasarkan: a. Durasi – otitis media akut dan otitis media kronis b. Jenis cairan telinga – supuratif dan non-supuratif c. Otitis media dengan efusi dan aero-otitis media d. Organisme penyebab – otitis media bakterial dan otitis media karena organisme spesifik, seperti: otitis media tuberkulosis dan sifilis. Beberapa jenisnya akan dibahas seperti berikut: a. Otitis Media Akut OMA merupakan infeksi akut pada mukosa telinga tengah, juga termasuk sel udara mastoid. OMA kebanyakan terjadi pada anak-anak (Berman, 1995; Dhingra, 2004; Clare, 2007). Tampilan klinis mencakup gejala lokal dan gejala sistemik. Pada anak dapat ditemui demam dengan suhu tinggi mencapai 41-42 C, tidak mau makan, tangisan yang tidak berhenti, dan mudah terusik (Ibekwe, 2007; Aino, 2006) b. Otitis Media Efusi OME mempunyai ciri adanya akumulasi cairan (non-purulen) pada telinga tengah dengan membran timpani yang utuh. Cairannya dapat berupa mukus dengan konsistensi tebal maupun cairan serosa dengan konsistensi tipis. OME biasanya mengalami tuli konduktif, ringan sampai sedang (≤40dB). OME sering pada balita (Akindale, 1998). Universitas Sumatera Utara 11 c. Otitis Media Spesifik Otitis media tuberkulosa memang tidak umum. Tetapi, jumlahnya semakin meningkat (Matsumoto, 2007). Ciri-cirinya adalah adanya cairan telinga tanpa nyeri telinga dan adanya multi-perforasi membran timpani yang dapat mengenai semua usia terutama anak-anak dan dewasa muda (Sethi, 2006; Chandra 2007). Otitis media sifilis disebabkan oleh spiroseta yang menginfeksi koklear dan kanalis semisirkularis. Dijumpai adanya tuli sensorineural dan vertigo (I, 1999). Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan cairan telinga pada mikroskop lapangan gelap (Lukehart, 2005). d. Otitis Media Kronis Tabel 2.1. Klasifikasi Otitis Media Kronis menurut Browning (1977) (Ibekwe, 2006) Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena: 1. Disfungsi tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti sinusitis kronik, adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan infeksi kronik atau berulang saluran napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta obstruksi tuba auditoria. Beberapa kelainan seperti hipertrofi adenoid, celah palatum mengganggu fungsi tuba auditoria. Gangguan kronik fungsi tuba auditoria menyebabkan proses infeksi di telinga tengah menjadi kronik (Utami, 2010). 2. Perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari kanalis Universitas Sumatera Utara 12 auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga tengah (Mawson, 1974). 3. Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat menyebabkan kronisitas infeksi (Rianto, 1998). 4. Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat menyebabkan kronisitas. Pada keadaan alergi ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang (Gladstone, 1995). Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun (Restuti, 2006). 2.3. Otitis Media Supuratif Kronis 2.3.1. Definisi OMSK merupakan inflamasi kronis pada telinga tengah dan mukosa mastoid pada membran timpani yang tidak utuh (perforasi atau akibat timpanostomi) dan ditemukan adanya cairan telinga (Verhoeff, 2005). Perubahan inflamasi pada garis mukoperiosteal di celah telinga tengah dan terbentuk jaringan patologis yang ireversibel (Ibekwe, 2006). Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorhea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen (Amaleen, 2011). Umumnya, pasien dengan perforasi membran timpani dengan keluhan telinga berair 6 minggu hingga 3 bulan digolongkan sebagai OMSK. Definisi menurut WHO yaitu pasien dengan keluhan otore 2 minggu, namun otolaringologis menggunakan durasi yang lebih lam, yaitu 3 bulan. Adanya perforasi membran timpani dengan telinga berair yang berasal dari telinga tengah Universitas Sumatera Utara 13 membedakan OMSK dengan jenis otitis media kronis lainnya. OMSK juga disebut otitis media kronis mukosal aktif, oto-mastoiditis kronis, dan timpanomastoiditis kronis. OMSK mungkin memiliki kolesteatoma dan komplikasi supuratif lainnya. (WHO, 2004). 2.3.2. Klasifikasi Tabel 2.2. Klasifikasi Otitis Media Supuratif Kronis (Asroel, 2011) 1. Tubo timpanal Karakteristik perforasi pada pars tensa. Penyakit tipe ini biasanya tidak berisiko komplikasi seperti sepsis intrakranial. 2. Atiko antral Tipe ini mengenai pars plasida dan karakteristik dengan pembentukan “ retraction pocket“, di mana terkumpul keratin untuk membentuk kolesteatoma. Kolesteatoma dibagi atas : 1. Kongenital 2. Didapat 2.3.3. Epidemiologi Menurut Roland (1999) dalam Dewi (2013), pada survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3% dari penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa dari 220 juta penduduk Indonesia, diperkirakan terdapat 6, 6 juta penderita OMSK. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Departemen Kesehatan, tahun 1993-1996 prevalensi OMSK adalah 3, 1%-5, 20% populasi. Sedangkan usia terbanyak penderita infeksi telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah terbanyak adalah OMSK. Penelitian yang dilakukan di RS St.Elisabeth pada tahun 1998, dari 135 penderita OMSK, 62,40% adalah kelompok umur 10-20 tahun. Universitas Sumatera Utara 14 Menurut WHO (2004), klasifikasi prevalensi OMSK: Tabel 2.3. Klasifikasi negara berdasarkan prevalensi OMSK Sehingga, menurut WHO, Indonesia termasuk dalam klasifikasi prevalensi OMSK tinggi. Sekitar 164 juta kasus penurunan pendengaran diakibatkan OMSK dan 90% kasus ada di negara berkembang. Pada tahun 1993, World Development Report memperkirakan sekitar 5.12 juta disability-adjusted life-years (DALYs) menderita akibat otitis media.were lost from otitis media, 91% berasal dari negara berkembang. Jumlah ini menurun padatahun 1996 menjadi 2.163 juta DALYs dengan 94% masih tetap berasal dari negara berkembang (WHO, 2004). Semakin besar perforasi membran timpani, maka semakin berpotensi seseorang menderita OMSK. Beberapa studi memperkirakan insidensi OMSK tiap tahun mencapai 39 kasus per 100.000 orang pada anak dan dewasa yang berusia 15 tahun dan lebih muda. Di Inggris, 0,9% anak dan 0,5% dewasa mengalami OMSK. Di Israel, hanya 0.039% anak yang terkena OMSK (Akbaril, 2004). 2.3.4. Faktor Risiko Faktor risiko yang diketahui mempengaruhi perkembangan dari otitis media antara lain infeksi saluran pernapasan atas akibat virus, fungsi imun yang tidak adekuat, disfungsi tuba eustakius, anatomi kraniofasial, perokok pasif, pekerja aktif siang hari, durasi menyusui yang tidak adekuat, alergi, dan gastroesophageal reflux disease (GERD) (Skoner, 2009). Tabel 2.4. Pemicu obstruksi tuba eustakius pada manusia Universitas Sumatera Utara 15 Infeksi virus dan bakteri ditambah dengan faktor disfungsi tuba Eustakius, usia muda dan status imun yang tidak sempurna, alergi sistem pernapasan atas, faktor genetik, jenis kelamin laki-laki, makanan botol, jam aktivitas siang, dan perokok pasif juga merupakan faktor penyebab OMSK. Penggunaan dot dan posisi tidur juga mungkin berhubungan. Selain itu, onset awal otitis media mungkin juga berhubungan dengan diet ibu, penggunaan alkohol semasa hamil dan rendahnya antibodi pneumokokus pada darah tali pusar (WHO, 1996). Fliss et al. (1991) dalam Verhoeff (2005) mengenali bahwa otitis media akut maupun yang berulang, riwayat orangtua mengalami otitis media kronis, dan suasana yang padat (keluarga dengan banyak anak, seringnya bekerja di siang hari) merupakan faktor risiko yang signifikan pada OMSK. 2.3.5. Patogenesis OMSK merupakan infeksi bakteri piogenik yang menginfeksi telinga tengah. Streptococcus pneumonia (pneumococci) merupakan penyebab terbanyak pada berbagai kelompok usia (30% to 40%). Haemophilus influenzae menyebabkan sekitar 20% kasus namun lebih sering meningkat seiring penambahan usia. Jika eksudat purulen ini menumpuk di telinga tengah, gendang telinga dapat ruptur dan pus akan mengalir keluar (Rubin, 2014). Universitas Sumatera Utara 16 Gambar 2.5. OMSK. Eksudat purulen (tanda panah lurus) pada telinga tengah. Mukosa (tanda panah lengkung) menebal akibat inflamasi kronis dan granulasi (Rubin, 2014) Otitis media biasanya disebabkan oleh infeksi virus yang selain menginfeksi sel epitel bersilia, juga memenuhi rongga udara dengan cairan. Pneumococci lalu semakin berkembang dengan adanya jaringan yang kaya nutrisi, kemudian dari infeksi sinus atau telinga tengah dapat menyebar ke selaput mening terdekat. Selain itu, virus yang menginfeksi sel epitel pernapasan di hidung dapat menyebabkan produksi mukus dan edema. Sel yang terinfeksi menghasilkan mediator inflamasi, seperti bradikinin, yang berperan dalam terlihatnya gejala common cold. Pada keadaan ini terjadi peningkatan mukus nasal dan obstruksi tuba Eustakius. Sehingga, terjadi stasis hasil sekresi tersebut yang dapat memicu infeksi bakteri sekunder dan dapat menyebabkan sinusitis bakteri dan otitis media (Rubin, 2014). Infeksi asenden menuju endometrium, tuba fallopi dan ovarium dapat menyebakan oklusi tuba dan infertilitas. Klamidia juga dapat menginfeksi kelenjar Bartolini sehingga terjadi uretritis akut. Bayi yang lahir per vaginam dari ibu yang terinfeksi seperti ini dapat mengalami konjungtivitis, otitis media, dan pneumonia di kemudian hari. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi komplit atau Universitas Sumatera Utara 17 parsial pada tuba Eustakius, sehingga dapat menjadi otitis media. Infeksi masuk melalui antrum mastoid menuju sel mastoid. Ketika nasofaring ikut terinfeksi, mikroorganisme dapat mencapai telinga tengah melalui infeksi asenden ke tuba (Rubin, 2014). 2.3.6. Patofisiologi Inflamasi nasal akibat serangan alergen mengakibatkan tanda dan gejala klasik RA dan disfungsi tuba Eustakius. Disfungsi tuba Eustakius menyebabkan peningkatan tekanan negatif pada telinga tengah dan ventilasi yang kurang. Keduanya baik ISPA maupun reaksi alergi nasal memicu inflamasi nasal, disfungsi tuba Eustakius, dan peningkatan protein transudat dan sekresi nasal yang dimodulasi bertahap oleh mediator inflamasi (Fireman, 1997). Obstruksi hidung dan infeksi, alergi, dan keduanya termasuk dalam penyebab otitis media. Pemicunya bisa karena tuba yang lunak dengan tekanan positif nasofaring, sekresi telinga tengah, atau dengan tekanan negatif nasofaring, seperti pipa yang dicegah terbuka dan akhirnya menjadi tersumbat (Fireman, 1997). OMSK yang merupakan bagian dari otitis media dimulai dengan episode infeksi akut. Patofisiologi dimulai dengan iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah yang menghasilkan edema mukosa. Selanjutnya dapat berkembang menjadi ulkus mukosa dan kerusakan batas epitel hingga akhirnya terbentuk jaringan granulasi yang bisa menjadi polip (Roland, 2013). 2.3.7. Diagnosis a. Anamnesa Anamnesa akurat tergantung pada daya ingat pasien, derajat penurunan pendengaran, dan pengaruhnya pada keadaan sekarang. Pada negara nerkembang, otore sering dianggap normal pada anak-anak.Di Malaysia, 42% anak dengan OMSK tidak mengeluhkan telinga berair sebelumnya. Di Afrika selatan, tak satupun orang dengan OMSK mengeluhkan gangguan. Riwayat penyakit diperlukan untuk mengetahui adanya gejala seperti nyeri telinga, cairan telinga, dan keluhan dan kelainan telinga lainnya. Riwayat adanya sekret telinga sebelumnya, khususnya ditambah dengan adanya udara dingin, nyeri kerongkongan, batuk, dan gejala infeksi Universitas Sumatera Utara 18 saluran napas atas lainnya dapat meningkatkan kecurigaan OMSK (WHO 2004). Selain itu, manifestasi klinis dan laboratorium rinitis alergi berupa inflamasi jaringan lokal dan disfungsi organ pernapasan bagian atas merupakan manifestasi hipersensitifitas tipe I. Respon inflamasi diperantarai oleh ikatan antara antigen-IgE dengan sel mast dan basofil yang memicu pelepasan zat vasoaktif, enzimatik, dan mediator kemotaktik. Pengaktifan sel mast dan basofil memacu pelepasan mediator yang belum terbentuk sebelumnya (seperti histamin, chemotacting factor dan enzim) dan sintesa dan penghasilan mediator yang baru muncul (seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor). Sel mast dan basofil juga mampu mensintesa sitokin pro-inflamasi, faktor tumbuh dan regulasi yang berhubungan. Interaksi ini memicu respon bifasik: reaksi awal pada pembuluh darah, otot polos, dan kelenjar sekretori; dan reaksi lambat berupa edema mukosa dan influks sel inflamasi. Reaksi awal terjadi sesaat setelah pajanan antigen. Sedangkan reaksi lambat terjadi 2-4 jam setelah pajanan,maksimal pada 6-12 jam, dan biasanya selesai dalam 12-24 jam. Manifestasi klinis yang terlihat seperti: bersin, pruritus, hipersekresi mukus, hidung tersumbat, hiperresponsif jalan napas, dan adanya eosinofil nasal. Selain itu dapat ditemui alergen spesifik IgE, otitis media serosa, dan sinusitis (Shames, 1997). Menurut Shenoi (2014), gejala klasik akibat keluarnya cairan dari telinga baik unilateral maupun bilateral yang tidak disertai nyeri berarti belum mengalami komplikasi. Jenis dan durasi keluarnya cairan dari telinga sering berhubungan dengan perubahan histopatologi pada telinga tengah dan mastoid dan berfungsi sebagai tanda yang berguna untuk mengukur keparahan penyakit secara klinis. Pada tipe tubotimpani, cairan hilang timbul dan biasanya mukoid atau mukopurulen, sering dipicu oleh infeksi saluran pernapasan atau melalui masuknya air melalui membaran yang mengalami perforasi sewaktu berenang. Biasanya cairannya tidak berbau. Sebaliknya pada tipe atikoantral, cairan biasanya sedikit, mungkin juga Universitas Sumatera Utara 19 banyak karena adanya infeksi aktif, sehingga cairan dan jarang sekali kering. Gejala utama pada OMSK adalah cairan telinga yang purulen dan kronis yang berasal dari perforasi gendang telinga. Ketulian biasanya bersifat konduktif, dan gejalanya baik kuantitas maupun kualitasnya bergantung pada jenisnya, yaitu safe dan unsafe. OMSK safe cairannya bersifat mukoid tetapi ketika menjadi unsafe dapat berubah menjadi nanah yang kental (UOBabylon, 2014). b. Otoskopi Diagnosis OMSK adalah dengan memastikan adanya cairan yang keluar dari perforasi membran timpani. Hal ini memungkinkan dengan menghilangkan wax yang menyumbat cairan telinga, debris dan/atau massa pada kanalis auditori eksterna. Pemeriksaan membutuhkan cermin kepala, lampu kepala, otoskop atau otomikroskop, peralatan suction dan peralatan kecil lainnya.Tidak semua telinga berair disebut OMSK. Otitis media akut dan otitis eksterna akut juga bermanifestasi telinga yang nyeri dan berair. Namun, nyeri pada tragus dijumpai pada otitis eksterna, sedangkan nyeri mastoid dijumpai pada otitis media. Cairan pada otitis eksterna tidak dalam dan berbau busuk juga tidak dijumpai mukus, yang dapat diuji dengan cotton mop. Demam juga lebih tinggi dijumpai pada otitis media daripada otitis eksterna. OMSK menghasilkan cairan mukus dari telingan tanpa adanya demam, kecuali disertai dengan otitis eksterna atau infeksi sudah mencapai ekstrakranial atau intrakranial. Tanpa otoskopi pun OMSK bisa diperkirakan dengan adanya cairan telinga yang berlangsung lebih dari 2-3 bulan, sedangkan OMA dan otitis eksterna bisa sembuh dengan sendirinya (WHO, 2004). c. Kultur Bakteri Kulltur bakteri dilakukan karena 90-100% sekret yang kronis dari telinga disebabkan oleh bakteri, baik aerob maupun anaerob. Karena kebanyakan dengan pengobatan topikal sudah efektif dengan penggunaan antibiotik yang ditentukan secara empiris, biasanya pemeriksaan ini sudah jarang Universitas Sumatera Utara 20 dilakukan. Antibiotik yang digunakan biasanya antibiotik dengan spektrum luas (WHO, 2004). Meskipun pengobatan dapat membasmi bakteri di telinga tengah, tapi hal ini tidak menjamin telinga berair tidak berulang atau pengobatan tuntas OMSK. Leiberman et al. (1992) dalam WHO (2004) melaporkan bahwa Pseudomonas aeruginosa dari telinga yang berair ditemukan sebelum pengobatan dan pada fase lanjut. Karena pengobatan topikal sering kali efektif dan jarang merugikan, kebanyakan OMSK akan diobati dengan antibiotik berspektrum luas berdasarkanempiris dan kultur dilakukan jika diduga adanya resistensi obat. OMSK juga dapat dibedakan dengan OMA dari segi bakteri penyebab. Pada OMA, bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae and Micrococcus catarrhalis. Bakteri tersebut merupakan patogen pada saluran napas yang berasal dari nasofaring menuju telinga tengah melalui tuba eustakius saat terjadi infeksi saluran pernapasan atas. Pada OMSK, bakteri penyebab dapat berupa bakteri aerob (seperti: Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, S. aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella species) atau anaerob (seperti: Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium) (WHO, 2004). d. Histopatologi OMSK muncul pada awal fase akut disertai dengan perubahan patologis pada mukosa dan tulang yang reversibel, yang berlanjut pada fase kronis yang lambat pada mukoperiosteal. Episode yang berulang pada otore dan perubahan mukosa mempunyai ciri osteogenesis, erosi tulang, osteitis pada tulang temporal dan tulang pendengaran. Kurangnya pendengaran akibat otitis media mempengaruhi fungsi intelektual, pada beberapa studi. Dampaknya dalam jangka waktu lama pada intelektual, linguistik, dan psikososial secara menyeluruh belum banyak diketahui. OMSK menyebabkan tuli koduktif ringan sampai sedang mencapai 50% kasus. Hal ini dikarenakan adanya gangguan pada pertemuan antara Universitas Sumatera Utara 21 membran timpani dengan tulang pendengaran (tuli konduktif) atau kerusakan sel rambut akibat infeksi bakteri yang masuk ke telinga dalam (tuli sensorineural), atau keduanya (tuli campuran) (WHO, 2004). e. Pencitraan CT scan penting bagi pasien untuk menilai pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan. Sedangkan MRI penting untuk mengetahui adanya komplikasi intratemporal atau intrakranial. Audiogram sebaiknya dilakukan sebelum operasi otologi apapun, kecuali kasus emergensi yang mengancam nyawa. Pemeriksaan lab biasanya dilakukan untuk menentukan terapi, namun hal ini pun dapat diabaikan (Roland, 2013). 2.3.8. Penanganan Dua hal yang penting dalam pengobatan OMSK adalah membasmi kuman penyebab infeksi dan menutup perforasi membran timpani. Selain ditemui adanya bakteri di telinga tengah berhubungan dengan OMSK, perforasi membran timpani juga menyebabkan penurunan fungsi pendengaran dan invasi kuman yang menetap pada telinga tengah. OMSK yang berhubungan dengan penyakit mukosa difus yang sering dengan penyulit karena adanya dstruksi osteitis dan granulasi pada mastoid dan telinga tengah. Hal ini sering berhubungan dengan cairanyang purulen dan berbau busuk yang gagal diatas dengan antibiotik biasa (Motala, 2009). a. Non Operatif Menurut Ludman (1980) dalam WHO (2004), aural toilet kurang memiliki manfaat yang signifikan. Tidak ada konsensus yang berkaitan dengan manajemen medis OMSK. Namun, ada kesepakatan umum bahwa aural toilet harus menjadi bagian dari perawatan medis standar untuk OMSK. Membersihkan telinga dapat mengurangi bagian yang terinfeksi dari telinga tengah dan bisa membantu penetrasi antimikroba topikal. Pada WHO (2004) juga terdapat penelitian oleh Cooke (1974) dan Rotimi (1990) yang membandingkan berbagai antibiotik oral dengan aural toilet. Dilaporkan bahwa tingkat resolusi otorhea lebih tinggi pada kelompok Universitas Sumatera Utara 22 dengan antibiotik (OR = 0,35, 95% CL = 0,14, 0,87). Percobaan lain yang membandingkan klindamisin oral dengan aural toilet saja ditemukan otorhea tingkat resolusinya 93% dan 29% masing-masing (WHO, 2004). Umumnya irigasi telinga merupakan pengobatan medis standar pada OMSK. Dalam WHO (2004), beberapa larutan yang dapat digunakan antara lain: • Vinegar • Alkohol • Hidrogen peroksida • Povidon Iodin • Larutan salin Larutan tersebut harus mendekati suhu tubuh agar tidak memicu vertigo. Tabel 2.5. Pengobatan antibiotik topikal untuk OMSK (WHO, 2004). 1. Ophthalmic antibiotic drops containing buffered neutral solutions of gentamicin, tobramycin, sulfisoxazole, chloramphenicol, sulfacetamide, tetracycline, polymyxin B, trimethoprim, norfloxacin, ofloxacin, ciprofloxacin and erythromycin 2. Various steroid drops such as hydrocortisone, fluocinolone and triamcinolone 3. Powdered sulfanilamide 4. Powdered fungizone 5. Powdered sulfathiazole. Kegagalan penyampaian. terapi antimikroba Secara khusus, topikal kegagalan hampir penyampaian selalu kegagalan menggambarkan ketidakmampuan antibiotik topikal yang tepat untuk mencapai lokasi tertentu infeksi dalam telinga tengah. Berbagai elemen dapat menghambat pengiriman obat, termasuk debris infeksius, jaringan granulasi, kolesteatoma, neoplasia, serumen, dan lain-lain. Ketika terapi topikal gagal, pasien perlu dievaluasi Universitas Sumatera Utara 23 menyeluruh untuk menilai obstruksi anatomi, termasuk pemeriksaan mikroskopis dan radiologis yang diperlukan. Selain itu, pemahaman yang jelas tentang konsentrasi yang sangat tinggi dari antibiotik dalam persiapan topikal harus diingat (Roland, 2013). Tabel 2.6. Pengobatan antibiotik parenteral untuk OMSK (WHO, 2004). 1. Penicillins: Carbenicillin, piperacillin, ticarcillin, mezlocillin, azlocillin, methicillin, nafcillin, oxacillin, ampicillin, penicillin G 2. Cephalosporins: Cefuroxime, cefotaxime, cefoperazone, cefazolin, Ceftazidime 3. Aminoglycosides: Gentamicin, tobramycin, amikacin 4. Macrolides: Clindamycin 5. Vancomycin 6. Chloramphenicol 7. Aztreonam Tabel 2.7. Pengobatan antiseptik topikal untuk OMSK (WHO, 2004). Boric acid Zinc peroxide powder Iodine powder Dilute acetic acid drops, such as Domeboro solution or Vosol Alum acetate or Burow's solution Spirit eardrops BPC containing industrial methylated spirit and water b. Operatif Mastoidektomi dan / atau tympanoplasti sangat sering diperlukan untuk menyembuhkan OMSK secara permanen. Prosedur ini sudah tersedia di pusatpusat tersier dengan fasilitas departemen otologi yang merupakan layanan standar di semua negara. Mastoidektomi dilakukan dengan menghilangkan sel- Universitas Sumatera Utara 24 sel udara mastoid, granulasi dan debris menggunakan instrumen bedah mikro. Tympanoplasti merupakan penutupan perforasi timpani dengan cangkok jaringan lunak dengan atau tanpa rekonstruksi rantai tulang pendengaran (WHO, 2004). 2.3.9. Prognosis Menurut Baumann (2011) dalam penelitiannya, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan pada penilaian HR-QOL (Health-Related Quality Of Life) pasien OMSK mesotimpani dengan epitimpani. Meskipun begitu, tidak ada perburukan pada pasien dengan intervensi baik operasi bedah awal maupun lanjutan. Menurut Roland (2013), OMSK sendiri bukanlah penyakit fatal. Pasien OMSK memiliki prognosis yang baik sehubungan dengan pengendalian infeksi. Pemulihan terkait gangguan pendengaran bervariasi tergantung pada penyebabnya. Gangguan pendengaran konduktif sering sebagian dapat dikoreksi dengan operasi. Sebagian besar morbiditas dari OMSK berasal dari terkait gangguan pendengaran konduktif dan stigma sosial cairan yang sering mengalir dari telinga yang terkena. Angka kematian dari OMSK muncul dari komplikasi intrakranial yang terkait. Bakteri yang diperoleh dari cairan serebrospinal dan spesimen nanah pasien dengan komplikasi intrakranial kebanyakan menunjukkan flora campuran (62,9%). Spesies Proteus paling sering ditemukan (34%) dan bakteri anaerob sebanyak 21,3% dari spesimen. Abses mastoid terjadi di lebih dari separuh pasien dalam kelompok dengan komplikasi. Abses otak (57,4%) merupakan komplikasi intrakranial paling sering (Rupa, 1991). 2.3.10. Komplikasi OMSK dapat menjadi mastoiditis kronis karena adanya penyebaran yeng menjalar. Erosi pada dinding telingan tengah da kavum mastoid yang jarang juga dapat menyebabkan nervus fasial, bulbus jugularis, sinus lateralis, labirin mebranosa, dandura lobus temporal terpapar. Hal ini memicu komplikasi seperti Universitas Sumatera Utara 25 paralisis nervus fasialis, trombosis sinus lateralis, labirinitis, meningitis dan abses otak (WHO, 2004). Komplikasi dari otitis media kronis akan minimal jika diberikan penanganan dengan antibiotik. Namun, akan ada akibat yang fatal jika infeksi terus berlanjut mengenai tulang mastoid sehingga terjadi meningitis, serta abses epidural, subdural, dan serebral (Rubin, 2014). Menurut Elango (1991) dalam WHO (2004), komplikasi mastoiditis kronis juga dapat terjadi secara luas. Menurut Mawson (1979) dan Shenoi (1987) dalam WHO (2004), erosi pada dinding dari kavum telinga tengah yang jarang, dapat menjadi pemicu terpaparnya nervus fasialis, bulbus jugularis, sinus lateralis, labirin membranosa, dan dura lobus temporal. Selanjutnya, dapat terjadi paralisis nervus fasialis, trombosis, labirinitis, meningitis, dan abses otak. Selain itu, dapat terjadi ketulian. Ketulian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu tuli kondukktif dan tuli sensorineural. Saluran mekanosensitif yang tersumbat di stereosilia pada sel rambut dapat menyebabkan sel berdegenerasi, sehingga terjadi tuli sensorineural dan abormalitas fungsi vestibula. Kerusakan sel rambut luar akibat pajanan terusmenerus juga dapat menyebabkan hal ini. 2.4. Hipersensitifitas Pada kebanyakan reaksi hipersensivitas tipe I, antibodi IgE dibentuk dan terikat dengan reseptor berafinitas tinggi pada sel mast dan/atau sel basofil melalui domain Fc. Ikatan subsequent antara antigen dan ikatan silang IgE ini memicu sel ini bereaksi menghasilkan produk-produknya sehingga terjadi gejala seperti urtikaria, asma, dan anafilaksis. Pada reaksi hipersensitifitas tipe II, IgG atau IgM melawan antigen seperti protein yang terdapat pada permukaan sel. Antigen ini juga merupakan struktur intrinsik dari matriks ekstraseluler, meskipun jarang. Ikatan antigen-antibodi ini mengaktifkan komplemen yang akan melisiskan sel melalui sel sitotoksik atau dengan merusak matriks ekstraseluler. Pada reaksi hipersensitifitas tipe III, antigen beredar pada kompartemen pembuluh darah sampai berikatan dengan antibodi IgM atau IgG. Setelah itu, komoleks imun akan Universitas Sumatera Utara 26 terdepoosit di jaringan yang akan mengaktivasi komplemen dan memicu datangnya leukosit. Pada resksi hipersensitivitas tipe IV, antibodi Gambar 2.6 Klasifikasi Rinitis Alergi menurut lama dan keparahan gejala. Sumber: Small (2007) dan Bousquet et al. (2008) tidak termasuk namun limfosit T dan makrofag yang berperan menghasilkan sekresi produk yang akan menyebabkan kerusakan sel (Shames, 1997). 2.5. Rinitis Rinitis digolongkan berdasarkan etiologi terdiri atas: dimediasi-IgE, otonom, infeksius, dan idiopatik. Berikut adalah pembagian dari rinitis. Tabel 2.8. Klasifikasi rinitis berdasarkan etiologi Description Ig-E-mediated (allergic) - Ig-E mediated inflammation of the nasal mucose, resulting in eosinophilic and Th-2 cell infiltration of the nasal lining - Further classified as intermittent or persistent Autonomic - Drug-induced (rhinitis medicamentosa) - Hypothyroidism - Hormonal - Non-allergic rhiniti with eosinophilia syndrome (NARES) Infectious Precipitated by viral (most common), bacterial, or fungal Universitas Sumatera Utara 27 infection Idiopatic Etiology cannot be determined Dulunya rinitis alergi digolongkan menjadi musiman dan menahun. Tetapi, tidak semua pasien cocok dengan klasifikasi tersebut (Lee, 2009). Sehingga, sekarang rinitis alergi digolongkan berdasarkan durasi gejala yang terjadi (kadang-kadang dan terus-menerus) dan keparahannya (ringan, sedang-berat) (Jean, 2008). Tabel 2.9. Rinitis Alergi dan Non-alergi (Mastin, 2003) 2.5.1. Rinitis Alergi Rinitis alergi dapat dikelompokkan menjadi: musiman,menahun, dan berhubungan dengan pekerjaan. Alergennya pun berbeda. Pohon rumput dan rumput liar menyebabkan gejala musiman. Spora jamur menyebabkan gejala musiman dan menahun. Alergen rumahan seperti tungau debu, sisa kulit hewan dan jamur biasanya menyebabkan gejala menahun. Rinitis yang berhubungan dengan pekerjaan dipicu oleh paparan zat iritan dan alergen. Jika alergen penyebabnya maka digolongkan sebagai rinitis alergi,sedangkan jika penyebabnya adalah zat iritan disebut rintis non-alergi (Mastin, 2003). Universitas Sumatera Utara 28 2.5.2. Rinitis Non-Alergi Diagnosa rinitis non alergi ditegakkan sesudah menyingkirkn kemungkinan alergi. Penyebab yang umum antara lain: rinitis vasomotor, rinitis hormonal, rinitis nonalergi dengan sindrom eosinofilia, rinitis yang berhubungan dengan pekerjaan (subtipe iritan), rinitis gustatori, rinitis medikamentosa, dan rinitis yang diinduksi oleh obat (Quiller, 2006). Banyak penyakit imunologis tidak hanya diperantarai hanya satu, namun banyak jenis reaksi hipersensitifitas, rinitis salah satunya. Rinitis merupakan inflamasi pada membran mukosa pada kavum nasalis dan sinus. Penyebabnya bervariasi, mulai dari commmon cold sampai infeksi lain yang jarang terjadi, seperti difteri dan antraks. Menurut Rubin (2014), beberapa jenis rinitis antara lain: 1. Rinitis viral. Penyebab yang banyak menyebabkan rinitis akut adalah infeksi virus, khusunya common cold. Virus tersebut menggandakan diri di sel epitel, menyebabkan peluruhan sel. Mukosa terlihat edema dan akan terjadi penumpukan sel neutrofil dan mononuklear. Secara klinis, pembengkakan mukosa terasa seperti hidung yang sumbat. Sekresi mukus yang banyak meningkatkan permeabiitas pembuluh darah sehingga terjadi rinorhea. Rinitis viral juga dapat diikuti infeksi sekunder oleh flora normal hidung dan faring. Keluarnya cairan seosa yang banyak dapat berubah menjadi mukopurulen. Lalu, epitel sel akan berdegenerasi cepat setelah masa inflamasi selesai. 2. Rinitis kronis. Rinitis akut yang berulang dapat menjadi rinitis kronis. Deviasi septum nasalis sering menjadi faktor pencetus. Pada riniris kronis biasanya terjasi penebalan mukosa nasalis akibat hiperemis berkepanjangan, hiperplasia kelenjar mukus, dan infiltrasi sel plasma. 3. Rinitis alergi. Sejumlah alergen yang sering muncul pada lingkungan dapat menyebabkan rinitis alergi. Pada keadaan ini, terjadi alergi partikel yang ada di udara (seperti: polen, jamur, dan hewan) yang terdeposit di mukosa nasal. Rinitis alergi, atau hay fever, dapat terjadi akut dan musiman atau kronis dan perenial. Universitas Sumatera Utara 29 2.6. A n a t o m i H i d u n g Gambar 2.7. Dinding Media Hidung (Netter, 2011) Universitas Sumatera Utara 30 Gam bar 2.8. Arte ri Kav um Nasa lis (Nett er, 2011) Gambar 2.Gambar 2.9. Persarafan Kavum Nasalis (Netter, 2011) Universitas Sumatera Utara 31 Hidung dari luar terdiri atas bagian tulang keras dan tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan kulit dan lemak fibrosa. Kavitas nasalis dibagi menjadi kiri dan kanan oleh septum nasalis yang tersusun atas lempeng yang tegak lurus yaitu tulang etmoid, kartilago septalis dan vomer. Meatus superior menerima bukaan dari sel udara etmoid posterior. Bukaan ke meatus medialis melalui sinus frontalis dan maksilaris juga bagian depan dan tengah sel udara etmoid. Bagian atas kavum nasalis diperdarahi oleh cabang etmoidal dari arteri oftalmikus, cabang arteri karotis interna. Cabang sfenopalatum arteri maksilaris, cabang dari arteri karotis eksterna, memperdarahi bagian bawah kavum nasalis. Di dalam vestibulum hidung, pada septum anteroposterior berhubungan dengan cabang septalis arteri fasialis. Vena berjalan ke bawah menuju vena fasialis dan ke atas menuju cabang etmoid dari vena oftalmikus (Ellis, 2006). Gambar 2.10. Septum Nasal (Ellis, 2006) Bagian penciuman, yang terbatas pada konka superior dan berdekatan dengan bagian atas septum memiliki reseptor penciuman dan sel pendukung. Bagian pernapasannya tebal dan lembab dengan sekresi kelenjar mukosa, serta memiliki epitel yang bersilia. Bagian atas kavum nasalis diperdarahi oleh cabang etmoidal arteri oftalmikus, yaitu cabang arteri karotis interna. Cabang sfenopalatin dari arteri maksilaris, dari arteri karotis eksterna, memperdarahi bagian bawah kavum nasalis (Ellis, 2006). Universitas Sumatera Utara 32 2.7. Rinitis Alergi 2.7.1. Definisi Alergi adalah reaksi hipersensitifitas yang dipicu oleh reaksi imun. Alergi dapat diperantarai antibodi maupun seluler. Kebanyakan kasus yang diperantarai antibodi termasuk pada IgE isotipe, dan penderita disebut mengalami alergi yang diperantarai IgE (Johansson, 2004). Menurut Putra IGK dan Suprihati W (1993), rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Gejala klinis rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast, basofil dan eosinofil akibat reaksi alergen dengan Ig E spesifik yang melekat di permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinorhea cair dan hidung tersumbat. Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria (Utami, 2010). Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria (Putra (1993) dalam Utami (2010)). Universitas Sumatera Utara 33 2.7.2. Klasifikasi Gambar 2.11. Klasifikasi Rinitis Alergi (Munir, 2013) Penilaian rinitis yaitu tingkat keparahannya dinilai dengan skor keparahan penyakit selama 14 hari terakhir dengan Visual Analogue Scales (VAS). Pasien diminta untuk mengevaluasi keluhannya pada garis horizontal sepanjang 100 mm, di mana 0 mm menunjukkan ketiadaan keluhan dan 100 mm sebagai keluhan yang serius (Terrehorst, 2002). Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines dulunya menggolongkan RA ke dalam empat kelompok, yaitu: mild intermittent (MI), moderate/ severe intermittent (SI), mild persistent (MP) and moderate/severe persistent (SP), dengan dasar keparahan gejala dan Quality Of Life (QOL). VAS dulunya digunakan untuk menilai keparahan gejala nasal. Namun, sekarang simptom yang bersifat individual seperti obstruksi hidung, rinorhea, bersin dan pruritus nasal tidak digunakan lagi. Kualitas hidup dinilai dengan Quality Of Life Questionnaire (RQLQ) (Bousquet, 2005). 2.7.3. Epidemiologi Rinitis merupakan keadaan di mana terjadi peradangan pada mukosa hidung, 40% populasi mengalami rhinitis yang kebanyakan mengalami rinitis kronis yang mencapai 10-20% populasi dan prevalensinya terus meningkat. Rintis Universitas Sumatera Utara 34 alergi berat dapat menurunkan kualitas hidup, kualitas tidur dan performa. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et al., 2008). Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu tungau, dan tungau debu rumah (Nurcahyo dan Eko (2009) dalam Wisnu (2014)). Tabel 2.10. Frekuensi Tanda dan Gejala pada Anak Sekolah dengan Rinitis Alergi di Shiraz (Akbaril, 2004) 2.7.4. Faktor Risiko Menurut Sheikh (2014), beberapa faktor risiko RA mencakup: - Riwayat atopi keluarga Rinitis alergi memiliki komponen genetik yang menyebabkan riwayat atopi keluarga menjadi faktor risiko rinitis alergi. Kemungkinan menderita rinitis alergi lebih besar pada riwayat atopi kedua orang tua dibandingkan dengan salah satu orang tua. - Faktor pemicu Selain bakat genetik, perlu adanya faktor pemicu spesifik seperti serbuk bunga, debu, spora jamur, hewan tertentu, atau debu saat membersihkan rumah. - Lingkungan dan pekerjaan Universitas Sumatera Utara 35 Faktor risiko ini mencakup paparan dengan karpet, keadaan panas, lembab, tempat tidur yang berkutu. Kegemaaran atau hobi tertentu juga dapat meningkatkan paparan dengan serbuk sari. 2.7.5. Patogenesis dan Patofisiologi Dulunya rinitis alergi hanya bersifat lokal di hidung, namunbukti terbaru menunjukkan seluruh salurannapas juga ikut dipengaruhi karena adanya hubunganfungsional antara saluran napas atas dan bawah. Contohnya, kedua saluran tersiti atas epitel bersilia yang tersiri atas sel goblet yang berfungsi melindungi saluran tersebut. Selain itu, lapisan submukosa keduanya terdiri atas kumpulan pembuluh darah, kelenjar mukus, sel penyokong, saraf, dan sel inflamasi. Maka dari itu, alergen pada rinitis alergi dapa juga berpengaruh pada asma. (Peter (2007) dan Bourdin (2009)). Pada rinitis alergi, sejumlah sel inflamasi seperti sel mast, CD4+, sel T dan B, makrofag dan eosinofil menginfiltrasi lapisan hidung ketika kontak dengan alergen (kebanyakan tungau debu, partikel fekal, sisa kulit kecoa, animal dander, moulds, dan serbuk sari). Sel T menginfitrasi mukosa hidung terbanyak adalah sel Th-2 yang memicu dihasilkannya sitokin yang memicu Ig-E diproduksi oleh sel plasma. Produksi Ig-E memicu terbentuknya mediator seperti histamin dan leukotrien yang berperandalam vasodilatasi arteriol, peningkatan permeabilitas vaskular, hidung gatal dan berair, sekresi mukus, dan kontraksi otot polos. Mediator dan sitokin dilepaskan pada fase awal respon imun mendorong respon seluler terhadap inflamasi selama 4-8 jam (respon lambat) sehingga terjadi hidung yang tersumbat (Small, 2011). Pada rinitis alergi, terjadi peningkatan permeabilitas vascular dan pengumpulan neutrofil serta eosinofil ke tempat terjadinya inflamasi. Asam arakidonat yang menjadi bahan pembentukan leukortrien dan lipoksin dapat menyebabkan bronkonstriksi, kontriksi arteriol. IgE dan basofil juga teraktifasi oleh antigen yang disebut alergen (Ganong, 2014). Rinitis merupakan reaksi alergi tipe I. Histamin berperan pada reaksi ini dalam kontraksi otot polos pada usus, uterus, dan bronkus. Hal ini meningkatkan Universitas Sumatera Utara 36 resistensi jalan napas (bronkospasme) dan kejang perut. Adanya stimulasi pada saraf peka histamin di perifer menyebabkan gatal (Silbernagl, 2000). Menurut Wallace (2008), gejala rinitis alergi diakibatkan oleh suatu kompleks alergen-pembawa radang mukosa yang dipicu sel setempat dan sel radang yang infiltratif dan sejumlah vasoaktif dan mediator proinflamasi yang saling mempengaruhi. Aktifasi saraf sensoris, kekurangan plasma, kongesti sinusoid pada vena juga berpengaruh. Rinitis alergi dapat didahului fase awal dan fase akhir. Masing masing fase bercirikan bersin, kongesti, rinorhea, tetapi kongesti predominan pada fase akhir. Pada beberapa studi kasus, kriteria klinis digunakan untuk identifikasi subjek yang mengalami alergi nasal. Untuk konfirmasi, digunakan hapusan nasal untuk menilai kadar eosinofil. Hasil menunjukkan bahwa eosinofil nasal pada anak rinitis alergi jauh lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang sehat. Eosinofil nasal mencampai hampir dua kali lebih tinggi saat tanda dan gejala rinitis ditemukan secara klinis. Temuan ini sesuai dengan efek ECF yang dihasilkan oleh eosinofil pada respon alergi awal. Maka disimpulkan bahwa jumlah eosinofil nasal berhubungan dengan tanda dan gejala rinitis alergi (Akbaril, 2004). Pada rinitis alergi, banyak sel inflamasi, termasuk sel mast, CD4+, sel T, sel B, makrofag, dan eosinofil menginfiltrasi batas nasal pada paparan alergen penyerang (umumnya kebanyakan partikel fekal tungau debu rumah, sisa kecoa, serangan hewan, remah kue, dan polen). Sel T menginfiltrasi mukosa nasal predominan sel T helper 2 dan menghasilkan sitokin (interleukin 3, 4, 5, dan 13) dan memicu produksi imunoglobulin E yang kemudian memicu penghasilan mediator seperti histamin dan leukotrien. Hal ini menyebabkan dilatasi arteriol, peningkatan permeabilitas vaskular, rasa gatal, rinorhea, sekresi mukus, dan kontraksi otot polos. Mediator dan sitokin yang dihasilkan pada fase awal dari respon imun memicu resppon inflamasi seluler pada 4-8 jam berikutnya (fase akhir) yang menghasilkan kongesti (Small, 2011). 2.7.6. Diagnosis Universitas Sumatera Utara 37 Kriteria klinis dapat mendeteksi alergi hidug yang ringan atau tidak terdeteksi. Mekipun begitu, uji tes diperlukan untuk medeteksi alergen, namun biasanya tidak dilakukan pada anak karena adanya efek samping seperti ketidaknyamanan, kekahawatiran dan biaya (Akbaril, 2004). Menurut Kim (2008), rinitis alergi biasanya jarang teridentifikasi pada layanan primer. Pasien yang mengalami gejala pun dapat gagal mengenali dan mengeluhkan gejala tersebut sehingga tidak berkunjung ke dokter untuk penanganan gejala tersebut. Dokter juga gagal menanyakan gejala tersebut pada kunjungan rutin. Untuk itu, dalam mendiagnosis rinitis alergi diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik yang mendukung. Tes alergi yang mendukung juga diperlukan untuk membuktikan bahwa alergi merupakan penyebab rinitis tersbut. a. Skin Prick Test Ski-prick test dipertmbangkan untuk mengenali alergen spesifik penyebab rinitis. Caranya adalah dengan meletakkan alergenspesifik pada kulit lengan bawah atau punggung, lalu menusuk kulit untuk memaparkan ekstrak alergen ke epidermis. Selama 15-20 menit, responnya akan dapat dinilai berupa daerah putih yang dikelilingi daerah kemerahan. Uji yang lain adalah radioallergosorbent tests [RASTs]) namun SPT lebih murah dan lebih sensitif (Kim, 2008). SPT dengan ekstrak alergen merupakan cara pada in vivo pada uji sensitivitas yang diperantarai IgE.Uji pada sejumlah alergen yang umum dapat mengeksklusi atopi (Potter, 2008). Tabel 2.11. Aero-alergen di Afrika Selatan Universitas Sumatera Utara 38 b. Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik Tabel 2.12. Komponen anamnesa dan pemeriksaan fisik menyeluruh yang dicurigai rinitis, oleh Small et al.(2007) Tanda dan gejala RA termasuk: bersin; gatal pada hidung, telinga, dan palatum; rinorhea; posnasal drip; kongesti; anosmia; nyeri kepala dan telinga; keluarnya air mata; mata merah dan bengkak; letih; drowsiness; dan malaise (Sheikh, 2014). Rinitis dikatakan intermiten saat durasi total dari episode inflamasi kurang dari 6 minggu, dan persisten saat gejala terus berlanjut selama setahun. Gejala dikatakan ringan ketika pasien dapat tidur normal dan dapat beraktifitas normal (termasuk bekerja dan bersekolah); gejala ringan biasanya intermiten. Gejala dikatakan sedang/berat ketika pasien tidak Universitas Sumatera Utara 39 dapat tidur dengan lelap dan aktifitas sehari-hari juga terganggu. Klasifikasi ini penting dalam penanganan pasien (Small, 2011). Gejala yang akan segera muncul ketika menghirup alergen termasuk bersin, khususnya saat bangun pagi, hidung yang berair, gatal di kerongkongan atau saat batuk akibat posnasal drip, mata berair dan gatal yang mungkin terlihat merwarna merah muda; telinga, hidung, dan kerongkongan yang gatal. Gejala lain yang akan muncul belakangan seperti kekakuan hidung yang kebanyakan terjadi pada anak-anak, bernapas dengan mulut akibat hidung yang tersumbat, menggosok hidung, mata yang sensitif cahaya, merasa lelah, gampang marah dan murung; gangguan tidur, batuk yang berkepanjangan, ada tekanan pada telinga, dan rasa tidak nyaman di wajah. Bisa juga tempak lingkaran hitam di bawah mata (allergic shiners). Telinga umumnya terlihat normal pada RA, disarankan melakukan pemeriksaan otoskopi pneumatik untuk menilai fungsi tuba. Pemeriksaan sinus mencakup palpasi dan adanya nyeri tekan dan tapping dari gigi yang ada pada maksila dengan penurunan lidah merupakan bukti terjadinya sensitifitas. Orofaring posterior juga harus diperiksa untuk mengetahui adanya posnasal drip, dada dan kulit harus diperiksa hati-hati untuk mengetahui adanya asma atau dermatitis (Small, 2011). Menurut Spector (2003), ada beberapa poin untuk menilai keparahan gejala nasal dan non-nasal, yaitu: • Menilai tingkat keparahan gejala nasal Gejala rinitis termasuk hidung gatal, bersin, kongesti nasalis, rinorhea dan drainase posnasal. Meskipun keparahan pasien sering sinila dengan gejala predominan (seoerti kekakuan hidung), kenyataan muncul juga gejala lainnya. Hal ini menyulitkan penentuan tingkat keparahan rinitis. Dengan menanyakan keparahan gejala individual menggunakan 7-point visual analog scale, interval data digeneralisasikan dengan memperkirakan error yang lebih rendah dan ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan 5point equal interval. Universitas Sumatera Utara 40 Perkiraan gejala harus sejalan dengan evaluasi keparahan rinitis yang meliputi: (1) ada tidaknya episode bersin (2) jumlah bersin tiap episode (3) banyaknya jaringan nasal yang terkena dalam periode tertentu (4) seberapa besar pembengkakan yang terlihat melalui pemeriksaan fisik dan rinoskopi anterior (5) berbagai teknik rinometrik lainnya, • Menilai tingkat keparahan gejala non-nasal Pasien dengan rinitis biasanya memiliki gejala non-nasal sebelumnya. Gejala ini termasuk gejala okular, seperti gatal, bengkak, lakrimasi, dan kemerahan. Pasien juga dapat mengeluh gatal di kerongkongan meskipun tidak ada sekret, iritasi kerongkongan, dan/atau batuk. Gejala telinga termasuk menurunnya fungsi dengar. Saat gejala hidung menjadi berat, dapat terjadi bersamaan dengan gatal pada telinga dan palatum. Mungkin ada hubungannnya dengan aerasi dan drainase sinus paranasal, yang mengakibatkan nyeri kepala, dan tekanan pada wajah atau nyeri. Gejala sistemik yang mungkin muncul adalah kelemahan, malaise, lelah, nafsu makan menurun, penurunan kognitif, berhubungan dengaan RA. Ketika gejala ini ditemukan secara umum pada pasien rinitis, tidak termasuk skala keparahan rinitis. Regimen tingkat keparahan gejala non-nasal sama dengan gejala nasal (Spector, 2003). Tes ini penting untuk konfirmasi penyebab rinitis alergi. Tes kerokan kulit merupakan cara yang sangat dipertimbangkan untuk mengenal alergen spesifik yang memicu rinitis. Tes ini biasanya menggunakan alergen seperti polen, serangan hewan, mold, dan tungau debu rumah. Selain itu dapat dilakukan tes kerokan kulit menggunakan IgE spesifik (seperti Radio-Allergo-Sorbent Tests [RASTs]). Tes kulit ini secara umum sensitif dengan biaya yang efektif, dan punya manfaat lebih banyak (Small, 2011). Universitas Sumatera Utara 41 Tabel 2.13. Scoring for Allegic Rhinitis (SFAR) (Bousquet, 2005) Tes alergi IgE sebaiknya dilakukan namun hasilnya mungkin beragam tergantung dengan usia pasien, paparan alergen, dan karakteristik tampilan tes tersebut. Hasil positif menunjukkan adanya sensitisasi, tetapi tidak sama dengan klinis alergi. Tes IgE juga tidak menunjukkan tingkat keparahan karena dapat berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan penyakit tersebut. Untuk itu dibutuhkan tes serum multialergen untuk mendukung skrining penyakit atopi. Sedangkan tes antibodi IgE spesifik tidak membantu dalam diagnosa alergi (Sicherer, 2012). Visual Analogue Scales (VAS) merupakan alat yang mudah digunakan untuk menilai keparahan RA (Demoly, 2013). Seperti yang kita ketahui, RA terdiri atas beberapa gejala klasik seperti, bersin, rinorhea, dan obstruksi nasal. RA juga berhubungan dengan malfungsi pasien seharihari, gangguan tidur, masalah emosional, ketidakmampuan beraktivitas dan fungsi sosial. Meskipun begitu, tidak diketahui apakah skoring quality of life (QOL), ketidakmampuan bekerja, dan tidur dapat dipengaruhi sesuai dengan keparahan dan lama dari RA tersebut (Bousquet, 2005). Universitas Sumatera Utara 42 c. Laboratorium dan Pencitraan Tes laboratorium yang dilakukan pada umumnya mencakup tes alergi kulit, radioallergosorbent test (RAST), total serum IgE, total blood eosinophil count. Pencitraan dilakukan untuk diagnosis dan evaluasi dari RA meliputi: radiografi, Computed tomography scan (CT-scan), Magnetic resonance imaging (MRI) (Sheikh, 2014). 2.7.7. Penanganan Penangan rintis alergi mencakup dua hal, yaitu: menghindari alergen dan pengobatan farmakologis (Plaut, 2005). Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah untuk meringankan gejala. Piliha terapi yang tersedia mencakup oral, kortikosteroid intranasal, antagonis reseptor leukotrien, dan imunoterapi alergen. Gambar 2.12. Algoritma dalam pengobatan rinitis alergi Universitas Sumatera Utara 43 Tabel 2.14. Bagan pengobatan dalam tatalaksana rinitis alergi Tabel 2.15. Pilihan Pengobatan Farmakologi untuk rinitis alergi (Small, 2011) Menurut Plaut (2005), menghindari alergen bukan sepenuhnya berarti tetap berada di dalam rumah. Sebuah studi meta-analisis menunjukkan menghindari tungau debu rumah menggunakan filter HEPA (High-efficiency particulate air), akarisida, dan matras dan mencuci kasur dengan air panas dapat Universitas Sumatera Utara 44 menurunkan jumlah tungau debu rumah dan skor gejala rinitis. Berikut efektivitas dari beberapa terapi: a. Antihistamin oral Walaupun antihistamin generasi pertama efektif secara klinis, penggunaannya hanya terbatas sebagai anti-kolinergik dan efek sedasi. Belakangan ini, generasi keduanya kurang memilik efek sedasi dan efek yang minimal untuk hidung tersumbat meskipun dapat menangani hidung gatal dan mata berair. Akhirnya disarankan penggunaan generasi pertama saat akan tidur dan generasi kedua saat waktu aktif bekerja (Plaut, 2005). b. Kortikosteroid nasal Dipercaya sebagai terapi lini pertama pada rinitis alergi sedang dan parah. Pada rintis alergi ringan biasanya digunakan antihistamin generasi kedua. Menurut Weiner (1998) dalam Plaut (2005), sebuah studi meta-analisis telah membandingkan efektivitas antihistamin oral dan kortikosteroid nasal terhadap gejala rinitis alergi. Diperoleh manfaat klinis yang signifikan pada kortikosteroid nasal dibandingkan dengan antihistamin oral pada gejala hidung tersumbat dan bersin. Namun, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terhadap gejala pada mata. c. Leukotriene-Receptor Antagonists Menurut Wilson (2004) dalam Plaut (2005), montelukas menurunkan skor gejala rinitis sehari-hari dibandingkan dengan plasebo. Sementara dengan kortikosteroid nasal menunjukkan penurunan sebagian gejala. d. Mast-Cell Stabilizers Menurut Bousquet (2001) dalam Plaut (2005), Cromolyn lebih efektif digunakan sebelum terpapar dengan alergen, seperti ketika seseorang yang alergi terhadap bulu kucing akan mengunjungi seseorang yang memiliki kucing, dan sebagainya. e. Pengobatan Mata Menurut Donshik (2000) dalam Plaut (2005), studi RCT menunjukkan penurunan gejala gatal pada mata sehingga mudah untuk tidur. Universitas Sumatera Utara 45 f. Imunoterapi alergen Menurut Small (2011), imunoterapi alergen secara bertahap meningkatkan jumlah alergen pasien sampai dosis efektif yang cukup untuk menciptakan respon imun untuk melawan alergen. g. Terapi Lainnya Menurut Small et al (2007) dan Lee (2009) dalam Small (2011), dekongestan intranasal dan oral (seperti: pseudoepinefrin) berguna untuk meredakan hidung tersumbat pada pasien RA. Tetapi, efek samping seperti agitasi, insomnia, nyeri kepala dan palpitasi dapat terjadi pada penggunaan dalam jangka waktu lama. Penggunaannya kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi tak terkontrol dan penyakit arteri koroner akut, sehingga penggunaanya tidak boleh lebih dari 5-10 hari. 2.7.8. Prognosis Menurut Greisner (1998), meskipun RA dapat muncul pada masa bayi, prevalensinya meningkat pada anak muda dan mencapai puncak pada masa kecil dan remaja sampai menurun dengan bertambahnya umur. Dalam satu studi longitudinal, 738 mahasiswa yang telah lulus dievaluasi dan menjalani tes kulit menunjukkan adanya riwayat alergi dan asma. Usia rata-rata dari kelompok ini pada saat studi adalah 40 tahun. Selama 23 tahun setelah studi asli, 131 orang baru mengalami gejala alergi di samping 175 orang yang sudah didiagnosis ketika mereka mahasiswa perguruan tinggi, total sebesar 306. Pada saat 23 tahun followup, perbaikan telah dicatat oleh 54,9% (168/306) yang terkena, dengan kecenderungan peningkatan persentase peningkatan dengan usia yang lebih muda dari timbulnya gejala alergi. Di antara mereka yang membaik, 41,6% (70/168) menggambarkan diri mereka bebas gejala, sedangkan 58,3% sisanya (98/168) yang lebih baik atau tidak bebas dari gejala. Pada pasien yang menerima vaksinasi alergen rumput untuk jangka waktu 3 sampai 4 tahun, sekitar 50% dari pasien terus memperoleh manfaat klinis sampai 3 tahun setelah imunoterapi telah dihentikan. Universitas Sumatera Utara 46 2.7.9. Komplikasi Infeksi sinus merupakan komplikasi RA yang sering terjadi. Gejalanya mencakup hidung tersumbat dan nyeri pada wajah (SAMJ, 1996). RA yang berlama-lama dapat menyebabkan: infeksi sinus, telinga tersumbat, infeksi telinga, dan memburuknya gejala asma (Thompson, 2011). Dapat terjadi otitis media efusi. Pada RA terjadi penyumbatan tuba Eustakius sehingga memicu proses inflamasi. Tekanan negatif telinga tengah dan adanya transudat menjadi faktor kronisitas otitis media (SAMJ, 1996). Selain itu, gangguan tidur atau apnea, overbite akibat nafas melalui mulut yang berlebihan, kelainan palatum, dan disfungsi tuba Eustakius juga dapat terjadi (Sheikh, 2014). 2.8. Hubungan OMSK dengan Rinitis Alergi Gejala telinga didukung oleh Gladstone (1995) dalam (Utami, 2010), yaitu dengan perubahan berupa bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang pada keadaan alergi. RA yang kurang terkontrol dapat berkembang menjadi otitis media, sinusitis kronis, dan hilangnya kemampuan mendengar. Orang dengan RA mengalami peningkatan sekresi pada tuba dan telinga tengah, yang dapat berperan pada terbentuknya otitis media (Malavige, 2002). Alergi atau atopi adalah faktor resiko yang tinggi untuk menderita OMSK. Alergen dalam ruangan dan alergen respirasi seperti pada RA mendukung terjadinya onset OMSK. Prevalensi keadaan atopik, termasuk RA pada pasien OMSK bervariasi dari 24% hingga 89%. Bukti terbaru dari biologi selular dan imunologi menjelaskan bahwa alergi merupakan penyebab obstruksi tuba Eustakius. Orang yang mengalami alergi atau kondisi atopi lebih cenderung mengalami OMSK (Zhang, 2014). Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria. (Utami, 2010). Universitas Sumatera Utara 47 Pada OMSK yang kebal terhadap antibiotik dan faktor mekanis dalam telinga tengah tidak dapat menerangkan sebab dari terus mengalirnya cairan dari telinga tengah, maka para ahli berpaling pada radang non infeksi yaitu alergi. Suparyadi di Semarang pada tahun 1990 dalam penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% penderita kemungkinan mempunyai faktor alergi. Sri Harmadji di Surabaya pada tahun 1991 dengan kasus yang sama mendapatkan 33,3% dari 30 penderita kemungkinan terdapat faktor alergi (Harmadji, 1993). Obstruksi hidung dan infeksi, alergi, dan keduanya termasuk dalam penyebab otitis media. Pemicunya bisa karena tuba yang lunak dengan tekanan positif nasofaring, sekresi telinga tengah, atau dengan tekanan negatif nasofaring, seperti pipa yang dicegah terbuka dan akhirnya menjadi tersumbat (Fireman, 1997). Universitas Sumatera Utara