problematika pendekatan analogi (qiyās) dalam

advertisement
PROBLEMATIKA PENDEKATAN ANALOGI (QIYĀS)
DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM
(Telaah atas Pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Qayyim al-Jawziyah)
Hardi Putra Wirman
STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Jl. Paninjauan Garegeh Koto Selayan Bukittinggi Sumatera Barat
Email: [email protected]
Abstract: Existence of qiyās (analogy) as an effort to dig an Islamic law, it still
remains a problem and the debate in a long period of time. Whereas qiyās is
the mainstay of scholars when a problem is not found in the legal status of the
Koran, Sunna and ijmā’. In this paper, before authors explore the views and ideas
of Ibn Hazm and Ibn Qayyim about qiyās, authors will describe a little about the
views of scholars of Fiqh jumhur against qiyās position as one of the methods
of determination of law in Islam. At the end of the paper, the authors found
that the concepts of Ibn Hazm would be very difficult to be followed by the
public, because it assumes that the Koran was the final, and the use of reason
to interpret something that is absolutely forbidden. While Ibn Qayyim adapted
more impressed with the changing times. But liberalism of Ibn Qayyim in using
Intellect needs to be addressed and responded wisely. Because, in the absence of
control, the use of reason in the sphere arbitrarily Islamic law will also be able to
fade the purity of the teachings of Islam itself.
Abstrak: Eksistensi dan kehujahan qiyās sebagai salah satu upaya menggali sebuah
hukum, ternyata masih menyisakan sebuah problem dan perdebatan dalam kurun
waktu yang panjang. Padahal qiyās menjadi andalan jumhur ulama tatkala sebuah
permasalahan tidak ditemukan status hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah,
maupun ijmā’. Dalam makalah ini penulis akan mengeksplorasi pandangan dan
pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Qayyim tentang qiyās, setelah sebelumnya penulis
akan sedikit menggambarkan tentang pandangan jumhur ulama Fiqh terhadap
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
28
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
posisi qiyās sebagai salah satu metode penetapan hukum dalam Islam. Di akhir
makalah, penulis menemukan bahwa konsep-konsep Ibn Hazm akan sangat
sulit diikuti oleh kalangan masyarakat, sebab ia menganggap bahwa al-Qur’an
telah final, dan penggunaan ra’yu untuk menginterpretasikannya adalah sesuatu
yang dilarang secara mutlak. Sedangkan pemikiran Ibn Qayyim terkesan lebih
adaptif dengan perkembangan jaman. Namun, liberalitas Ibn Qayyim dalam
menggunakan akal perlu disikapi dan direspons secara bijak. Karena, tanpa
adanya kendali, penggunaan akal yang semau-maunya dalam ranah hukum Islam
juga akan dapat melunturkan kemurnian ajaran Islam itu sendiri.
Kata Kunci: Qiyās, Hukum Islam, Ibn Qayyim, Ibn Hazm
Pendahuluan
Umat Islam sangat meyakini bahwa syariat, dengan segenap perangkat
dan tata nilainya, merupakan manifestasi konkret kehendak-kehendak Allah
(al-Syāri’) terhadap manusia dan alam semesta, di mana semua maksud
penciptaan makhluk, tata relasi antara sang Khāliq dan makhluk, serta tugastugas dan pakem aturan yang harus dijalankan manusia sebagai al-aḥsan altaqwīm yang secara sempurna telah tertuang di dalamnya. Namun demikian,
eksistensi syariat ini masih menyisakan problem yang cukup serius, sebab
sebagian umat Islam memiliki asumsi bahwa sepeninggal Rasulullah
saw., syariat–yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis—telah bersifat
paripurna dan bahkan tertutup peluang untuk melakukan interpretasi ulang
terhadapnya,1 sementara sebagian yang lain justru memiliki asumsi bahwa
Pendapat ini kebanyakan dikemukakan oleh para penganut Islam beraliran Syi’ah. Namun,
pandangan tersebut juga banyak ditentang, di antaranya oleh Muhammad Alwi al-Maliki,
yang berpandangan bahwa Syariat Islam pada hakikatnya adalah sebuah fenomena interaksi
antara teks dengan realitas sejarah umat Islam. Karenanya, al-Qur’an dan Sunnah tidak harus
dikonsumsi apa adanya, melainkan baru dikonsumsi setelah teks-teks tersebut berinteraksi
secara nyata dengan kehidupan manusia itu sendiri. Alwi al-Maliki menambahkan
bahwa Syariat Islam–dalam tugasnya menjawab persoalan-persoalan kehidupan—tidak
sepenuhnya mengandalkan teks-teks suci, melainkan harus bersifat kontekstual. Karenanya,
ia menyerukan perlunya upaya ijtihad kreatif dalam mengatasi dan merespons tuntutan
zaman, berdasarkan ruh dan prinsip-prinsip dasar syariat Islam seperti keadilan, maslahah
persamaan, dan sebagainya. Lihat Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam: Pergumulan Teks
1
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
29
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
al-Qur’an dan Hadis hanyalah teks mati, yang interpretasi terhadapnya harus
dilakukan secara dinamis, agar ia dapat terus relevan untuk semua jaman dan
semua keadaan. Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa pasca wafatnya Rasul,
syariat seolah telah menjadi doktrin yang final, yang tidak membutuhkan
rekonstruksi, yang tidak terikat oleh jaman dan tempat, di mana kehadirannya
telah menjelma menjadi ruh ajaran Islam yang paling esensial,2 sementara
umat hanya bertugas mengaplikasikan, tanpa hak untuk mempertanyakan
ulang. Ini tentu menyisakan sebuah persoalan besar bagi umat Islam
terutama setelah meninggalnya Muhammad, sebab kehadiran syariat–yang
ditandai dengan diterimanya teks-teks suci Tuhan oleh Muhammad melalui
Jibril—sangat terkait dengan dimensi ruang dan waktu, dan bahkan acap
kali kehadirannya merupakan jawaban atas persoalan-persoalan keumatan
yang terjadi.3 Terlebih lagi, seiring dengan perjalanan waktu, eksistensi Islam
dan Realitas, Terj. Abdul Mustaqim (Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003), hlm. xiii.
Syariat banyak disebut merupakan dimensi eksoterik Islam, sedangkan dimensi esoterisnya
diisi oleh tasawuf. Lihat Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Unwin
Paperbacks, 1979), hlm. 94.
2
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research
Institute, 1988), hlm. 2425-. Najih Maimun Zubair, dalam kapasitasnya sebagai editor
sebuah buku yang membahas pemikiran seorang ulama, menyatakan bahwa syariat Islam
memiliki dua tipologi, yakni ada ajaran yang bersifat statis—tidak terikat oleh tempat dan
waktu—dan ada pula ajaran yang dapat berubah dengan pertimbangan sebuah situasi dan
kondisi tertentu. Menurut Najih, syariat yang tidak dapat berubah tersebut pada umumnya
telah dijelaskan secara rinci dalam teks-teks suci–al-Qur’an dan Hadis, yang biasanya
dikenal dengan ayat-ayat berjenis Muḥkām, yang di antara contohnya adalah ajaran tentang
akidah, ibadah ritual, ḥudūd, warisan, dan lain sebagainya. Terhadap syariat jenis ini, lanjut
Najih, tidak selayaknya seseorang merubah ketentuan-ketentuan yang telah diatur teksteks suci tersebut, karena ajaran itu bersifat mabniyyun ‘alā kulli zamān wa makān. Sedangkan
syariat yang dapat berubah pada umumnya hanya dijelaskan secara global oleh teks-teks
suci, yang biasanya selalu dihubung-hubungkan dengan istilah ayat-ayat Mutsyābihāt­, yang
di antara contohnya adalah ajaran seputar persoalan kenegaraan, militer, perang, dan
sebagainya, yang menuntut adanya interpertasi-interpretasi–atas teks-teks tersebut—
dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi tempat syariat itu akan diterapkan. Lihat,
Najih Maimun Zubair, “Catatan Editor”, dalam Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam...
3
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
30
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
di tengah-tengah masyarakat yang semakin terkepung oleh arus modernitas
dan globalisasi dunia, mulai dipertanyakan efektivitasnya dalam menjawab
persoalan-persoalan keumatan, yang semakin hari terasa semakin kompleks.4
Pertanyaan di atas banyak muncul dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan
bahwa kehadiran Islam sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn, dan kemunculannya
sarat dengan tendensi ‘menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan’.
Selain itu, kemajuan sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan
kepada setiap pemeluknya bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi,
dan bahkan politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam.
Dengan demikian, kemudian muncul asumsi bahwa hukum Islam bukanlah
unifikasi yang baku, yang sudah tidak bisa diinterpretasikan, melainkan sebagai
kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan, memperlakukan
atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi dari
posisi fleksibilitasnya, selama tidak berorientasi mengorbankan keluhuran
hukum Islam.5 Berpijak pada kenyataan di atas, konsekuensi logis yang
kemudian muncul adalah adanya keharusan untuk melakukan ijtihad,6 dalam
hlm. xiii.
Menurut Akh Minhaji, belakangan ini ada kecenderungan yang diperlihatkan oleh beberapa
negara muslim untuk kembali mendasarkan segala aspek kehidupan pada ketentuanketentuan syar’i, hukum Islam. Penyebabnya, menurut Minhaji di antaranya adalah mereka
merasa bahwa keterbelakangan yang diderita oleh sebagian umat muslim selama ini
disebabkan oleh terlalu jauhnya mereka meninggalkan ajaran-ajaran hukum Islam yang
sebenarnya. Yang lebih parah lagi, lanjut Minhaji, mereka yakni bahwa pintu ijtihād telah
tertutup rapat. Penyebab lainnya adalah sebagaian kaum muslim berpegang pada konsep lā
ijtihāda fī mazhab fīhi naṣ –tidak ada ijtihad pada hal-hal yang telah dicakup oleh al-Qur›an dan
Hadis. Artinya, umat Islam hanya diperbolehkan memikirkan hal-hal yang belum dicakup
secara eksplisit oleh keduanya, dan menerima apa adanya segala sesuatu yang telah dicakum
oleh keduanya. Lihat, Akh. Minhaji, “Hak Asasi Manusia Dalam hukum Islam; Ijtihad Baru
Tentang Posisi Minoritas dan Non-Muslim”, dalam, Tim Editor, Antologi Studi Islam; Teori
& Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 336.
4
5 Said Agil Husein al-Munawar, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serta Rekayasa
Teknik Genetika dalam Perspektif Hukum Islam, tarjikh, edisi ke I, Desember 1996, hlm. 5456-.
6
Kata “ijtihad” sudah menjadi istilah yang baku dalam kajian yurisprudensi Islam, meskipun
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
31
rangka menjawab permasalahan tersebut, yang di antaranya terejawantah
dalam proses-proses istinbāṭ.
Secara umum, formulasi yang dipakai oleh jumhur dalam ber-istinbāt
(cara–cara mengeluarkan hukum dari dalāil) untuk menetapkan sebuah
hukum, biasanya berpijak pada al-Qur›an, Sunah, dan Ra’yu. Keberadaan alQur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum ini tidak banyak menyisakan
problem dan perdebatan, dan hampir semua ulama menyepakatinya. Namun
tidak demikian halnya dengan ra’yu­(pikiran, akal), masih penyisakan banyak
persoalan dan perdebatan. Terkait erat dengan pemanfaatan ra’yu dalam
proses istinbāt, para ulama di antaranya Abu Hanifah (81–150 H/700–767
M), Malik Ibn Anas (94–179 H/714–812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164–241
H) biasanya mengekspresikannya dengan apa yang disebut qiyās.7
kata tersebut acapkali dipakai dalam disiplin ilmu Islam dan ilmu sosial lain. Misalnya,
ijtihad politik, ijtihad filsafat, dan lainnya. Berdasarkan terminologi fiqh Islam, ijtihad
mempunyai pengertian yang khas dan unik. Al-Ghazali menjelaskan ijtihad adalah upaya
mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan, namun dalam
urf para ulama, kata tersebut digunakan secara spesifik untuk menyebut seorang mujtahid
yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum
syariat. Lihat, Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfā fī Ilm al-Uṣūl (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971), hlm. 54 dan 350. Sedangkan Al-Dahlawi, sebagaimana
dikutip dari Muhammad Achyar, memberikan penjelasan yang lebih tegas dan rinci dengan
mengemukakan pandangan bahwa hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan
untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang teperinci, yang secara
global kembali kepada empat macam dalil, yakni al-Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas. Lihat,
Muhammad Achyar, “Pintu Ijtihad Yang Terbuka”, Jurnal al-Afkar, Vol. 2 tahun 1998.
Bandingkan dengan, Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah
Gusti, 1996), hlm. 197.
Al-Qiyās atau lengkapnya, al-qiyas al-tamṡīlī, analogi reasoning, memiliki makna pemikiran
analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya, kepada kejadian lain
yang sudah ada ketentuan teksnya, lantaran antara keduanya ada persamaan illat hukumnya,
serta dengan adanya pertimbangan-pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan
umum dalam usaha menangkap makna dan semangat dari berbagai ketentuan keagamaan
yang dituangkan dalam konsep-konsep tentang istiḥsān (mencari kebaikan), istiṣlāḥ (mencari
kemaslahatan). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kemaslahatan adalah kebaikan dan
7
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
32
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Pada perkembangannya, qiyās–dalam eksistensinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam—dalam wilayah ilmu hukum telah menjadi salah satu
sebab yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan di antara para
ulama. Mazhab Syi’ah Imamiyah dan Daud al-Dzahiri misalnya, tidak mau
mengakui metode qiyās, apalagi menerima atau menggunakannya. Sedangkan
di kalangan ulama-ulama lainnya seperti ulama jumhur dan mazhab Syi’ah
Zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum syariat.8 Perbedaan pandangan
terhadap qiyās tersebut di antaranya juga dapat dilihat dari pandangan yang
dikemukakan oleh Al’-Allamah Ibn Hazm Abu Muhammad Ali bin Said
bin Hazm bin Ghalid bin Khalaf bin said bin Sufyan bin Yazid (384–456
H/994 –1064)–yang biasa dipanggil dengan Ibn Hazm—yang menyatakan
bahwa al-Qur›an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, serta tidak
mungkin ada masalah yang tidak ada jawaban di dalamnya.9 Pendapat yang
dikemukakan oleh Ibn Hazm ini sangat bertolak belakang dengan pandangan
yang disampaikan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang justru menyatakan
bahwa seharusnya para ulama dan umat Islam tidak statis, dengan hanya
mengandalkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Sebaliknya, ia menyerukan agar
ulama dan umat Islam dapat bersikap dinamis, dengan giat melakukan ijtihad
dan menggunakan akalnya untuk berpikir. Lebih dari itu, Ibn Qayyim pun
mengharamkan taqlīd bagi ulama dan umat Islam.10
Elaborasi di atas memberikan sedikit gambaran bahwa eksistensi dan
kemanfaatan secara umum (al-maṣlaḥah al-āmmah, al-maṣlaḥah al-mursalah). Lihat, Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Uṣūl Fiqh, cet. 2 (Kuwait: an-Nashie, 1977), hlm. 52.
Pendapat Ibn Hazm ini didasarkan atas ayat-ayat al-Qur›an yang menegaskan, ”Tidak
Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikit pun (segala sesuatu)” (QS al-An’am [6]: 38), “Pada
hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS al-Mā’idah [5]: 3), “Kami turunkan
kepadamu al-Kitab untuk menjalankan segala sesuatu” (QS al-Naḥl [16]: 89). Lihat, Subhi
Mahmasani, Filsafat Hukum dalam Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981), hlm. 127.
8
9
Ibn Hazm, al-Muḥallā (Beirut: Maktabah at-Tijadi, t.th.), hlm. 56.
Abd. Al-Azim, Abd al-Salam Sharaf al-Din, Ibn Qayyim al-Jawziyah; Asaruh wa Manhajuh wa
Arauh fi al-Fiqh wa al-Aqaid wa al-Tasawwuf (Kuwait: Dar al-Qalam, 1984), hlm. 104.
10
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
33
kehujjahan qiyās sebagai salah satu upaya dalam menggali sebuah hukum,
ternyata masih menyisakan sebuah problem dan perdebatan dalam kurun
waktu yang panjang. Ini menjadi sesuatu yang ironi, sebab telah sejak lama
qiyās menduduki posisi yang penting dalam yurisprudensi Islam, yang menjadi
andalan jumhur ulama tatkala sebuah permasalahan tidak ditemukan status
hukumnya dalam al-Qur›an, Sunnah, maupun ijma’. Bila qiyās digunakan
sebagai salah satu cara penetapan hukum Islam, dan hukum Islam diyakini
sebagai hukum Tuhan, sementara eksistensi dan kehujjahannya masih
bermasalah, tidakkah hal ini berarti tindakan sembrono yang merugikan
umat?11 Karena itu, penulis tertarik untuk membahas persoalan ini, khususnya
yang terkait dengan pandangan dua tokoh–Ibn Hazm dan Ibn Qayyim,
yang pendapatnya berdiri secara diametral tersebut. Dalam pembahasan
makalah ini, sebelum secara khusus masuk pada pandangan dan pemikiran
kedua tokoh tersebut tentang qiyās, terlebih dahulu penulis akan sedikit
menggambarkan tentang pandangan jumhur ulama fiqh terhadap posisi
qiyās sebagai salah satu metode penetapan hukum dalam Islam.
Mengingat bahwa ulama adalah pewaris para nabi, yang diyakini (dengan syaratsyarat tertentu) memiliki otoritas untuk melakukan ijtihād. Karenanya, ada semacam
keyakinan dalam ajaran Islam bahwa dalam persoalan-persoalan hukum dan ibadah,
seseorang harus mengikuti pendapat salah satu ‘ulama (mazhab), yang diyakini akan
mempertanggungjawabkan hasil ijtihād-nya itu kelak di hadapan Allah. Sebaliknya, bila
seseorang (dalam beribadah dan menjalankan hukum) tidak mengacu pada pendapat ulama,
ada keyakinan bahwa kelak di akhirat tidak akan ada ulama yang melindunginya. Apakah ini
mitos ataukah memang demikian seharusnya, namun kredo semacam itu telah berkembang
subur di tengah-tengah masyarakat.
11
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
34
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Qiyās dalam Perspektif Ulama Fiqih
1.Pengertian Qiyās
Secara bahasa, qiyās–dalam istilah lain juga dikenal dengan istilah
analogi—berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain.12 Sedangkan secara terminologi,
qiyās memiliki beberapa definisi. Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul
fiqh mazhab Hanafi, mengemukakan pendapat bahwa qiyās adalah
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furū’ disebabkan kesatuan
illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.”13 Sedangkan
mayoritas ulama Syafi’iyyah, mendefinisikan qiyās dengan pengertian
“Membawa hukum yang belum diketahui, kepada hukum yang sudah
diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan
hukum bagi keduanya, baik hukum maupun hukum sifat.”14 Sementara
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyās dengan “Menyatukan sesuatu yang
tidak disebutkan hukumnya dalam naṣ, dengan sesuatu yang telah disebutkan
hukumnya oleh naṣ, disebabkan adanya kesatuan illat antara keduanya”.15
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer di atas tentang
qiyās, mereka tetap bersepakat bahwa proses penetapan hukum melalui
metode qiyās, bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbāṭ al-ḥukm wa
insyā’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (alAbd Majid Al-Shaghir, al-Fikr al-Uṣūly wa Isykāliyyat al-Sulṭah al-Ilmiyyah fī al-Islām (Beirut:
Dar al-Muntakhab al-Arabi, 1994), hlm. 356.
12
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang
sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang
sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut. Lihat, Ibid.,
hlm. 356.
13
14
Al-Ghazali, al-Mustasyfā... hlm. 54.
Wahbah al-Zuhaili, al-Wasīt fī Uṣūl al-Fiqh al-Islāmiy (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978), hlm.
601.
15
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
35
kasyf wa al-iẓhār li al-ḥukm-- yang ada pada suatu kasus yang belum jelas
status hukumnya.16 Hal ini menyiratkan pengertian bahwa penyingkapan dan
penjelasan tersebut dilakukan dengan melalui pembahasan secara mendalam
dan teliti terhadap satu illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi, yang
apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam naṣ, maka
hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan
oleh naṣ tersebut.17 Dalam proses qiyās itu, jumhur Ulama menetapkan ada
empat hal (rukun) yang harus diperhatikan, yaitu aṣl, far’ū, illat, dan hukum
aṣl.18
2.Kehujjahan Qiyās dalam Yurisprudensi Islam
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat pada persoalan status kehujjahan
qiyās dalam proses penetapan sebuah hukum syara’. Perbedaan tersebut di
antaranya tampak pada pendapat kalangan jumhur ulama yang berpendirian
bahwa qiyās bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk meng-istinbathkan semua hukum syara’.19 Sedangkan para ulama mu’tazilah berpendapat
bahwa qiyās hanya boleh diterapkan dalam menetapkan sebuah hukum,
16
Ibid., hlm. 601
Sebagai contoh, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky.
Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung
zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang
kemudian menjadi penyebab (illat) diharamkannya khamr, sesuai firman Allah dalam surat
al-Mā’idah: 90–91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir
dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan
illat antara kasus yang tidak ada naṣ-nya dengan hukum yang ada naṣ-nya menyebabkan
adanya kesatuan hukum.
17
Aṣl adalah sumber naṣ yang menerangkan sebuah hukum. Farū’ adalah hukum baru yang
dikiaskan pada hukum aṣl. Illat adalah sebab atau hal yang dapat dipersamakan, sedangkan
hukum aṣl adalah hukum asal yang telah ditetapkan oleh naṣ. Lihat, Muhammad Abu
Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (t.p.: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th.), hlm. 227235-.
18
Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawāni’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), hlm. 177.
Lihat juga Ibn Qudamah, Rauḍah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir (Beirut: Mu’assasah alRisalah, 1978), hlm. 234.
19
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
36
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
sepanjang hukum itu dapat memenuhi dua hal. Pertama, selama illat
hukumnya manṣūṣ (disebutkan dalam naṣ) baik secara nyata maupun melalui
isyarat. Kedua, hukum far’u harus lebih utama dari pada hukum aṣl. Pada
titik ini, Wahbah al-Zuhaili memetakan pendapat-pendapat ulama ushul fiqh
(tentang kehujjahan qiyās) ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang
menerima qiyās sebagai dalil hukum, yang terdiri dari mayoritas ulama ushul
fiqih seperti ulama Syafi’iyyah, dan kelompok lainnya adalah kelompok yang
menolak qiyās sebagai dalil hukum, yang di antaranya terdiri dari ulamaulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah, serta ulama mu’tazilah Irak.20
Bila ditelaah lebih lanjut, alasan kelompok yang menolak qiyās—
sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’—di antaranya disandarkan
kepada firman Allah dalam surat al-H{ujurāt: 1, “Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya...” Ayat ini dalam perspektif
kelompok tersebut mengandung pengertian adanya larangan bagi seseorang
untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur›an dan sunah
Rasul. Dengan demikian, menurut mereka, menjadikan qiyās sebagai
pedoman merupakan sikap beramal atas dasar sesuatu yang berada di luar
al-Qur›an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selain itu, mereka juga
memaparkan isi surat al-Isrā’: 36,“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya,” yang menurut mereka mengandung
pengertian bahwa Allah melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu
yang tidak diketahui secara pasti (qaṭ’i). Oleh sebab itu, berdasarkan ayat-ayat
tersebut, mereka kemudian menyimpulkan bahwa penggunaan qiyās dalam
yurisprudensi Islam adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan.21
20
Wahbah al-Zuhaili, al-Wasīṭ..., hlm. 645.
Muin Umar, dkk., Ushul Fiqh I (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama, 1986), hlm. 116.
21
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
37
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Selain bersandar pada ayat-ayat al-Qur›an, argumentasi penolakan
kelompok tersebut terhadap qiyās juga didasari oleh sunnah-sunnah Rasul,
yang antara lain adalah sebuah hadits riwayat imam Daruquthni:
“Sesungguhnya Allah Taala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan
kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, bila Dia haramkan sesuatu,
maka jangan kamu langgat larangan itu, Dia juga mendiamkan hukum
sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah
kamu bahas hal itu”.
Hadis di atas, menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada
kalanya wajib, ada kalanya haram, dan adakalanya didiamkan saja (tanpa
kejelasan status hukum), yang berarti hukumnya berkisar antara dimaafkan
dan boleh (mubah). Maka, apabila dikiaskan sesuatu yang didiamkan
syara’ tersebut kepada sesuatu yang wajib misalnya, maka ini berarti telah
menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan,
di mana tindakan tersebut dilarang.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyās
sebagai salah satu metode dalam hukum syara’, dalam mengemukakan
argumentasinya juga disandarkan kepada beberapa ayat al-Qur›an, yang di
antaranya adalah Surat al-H{asyr ayat 2; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Menurut mereka, ayat tersebut berbicara tentang hukuman yang
diturunkan oleh Allah kepada kaum kafir dari Bani Nadhir, sebagai buah
atas sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat tersebut, Allah
memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai pelajaran,
termasuk dalam kategori qiyās. Oleh sebab itu, mereka menyimpulkan bahwa
penetapan hukum melalui qiyās yang disebut Allah dengan al-I’tibār adalah
boleh, dan bahkan al-Qur’an telah memerintahkannya.22
22
Ibid., hlm. 116.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
38
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Ayat-ayat lain yang juga dijadikan oleh mereka sebagai alasan
diperbolehkannya qiyās adalah seluruh ayat al-Qur’an yang mengandung illat
sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya Surat al-Baqarah
ayat 222:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “haid
itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid”.
Surat al-Maidah 5 ayat 91:
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
Surat al-Maidah 5 ayat 6 :
”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “23
Sebagaimana ulama yang menolak qiyās, pendapat jumhur ulama yang
menerima qiyās (selain berdasar ayat-ayat al-Qur’an) juga disandarkan atas
hadis Rasululah, di antaranya adalah hadis yang diceritakan oleh Muadz Ibn
Jabal, yaitu ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadi.
Kala itu Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz:
“Bagaimana cara kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu
peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab, “Akan aku tetapkan berdasarkan
al-Qur’an.” Rasul melanjutkan pertanyaannya, “Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur’an?” Mu’adz berkata, “Akan aku tetapkan
dengan Sunnah Rasulullah.” Jika engkau tidak memperoleh sunnah
Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan sungguhsungguh. Mu’adz menjelaskan bahwa setelah dialog tersebut, Rasullullah lalu
menepuk-nepuk dadanya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah
23
Ibid., hlm. 110.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
39
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
memberi petunjuk bagi petugas yang diangkat Rasullullah, karena ia berbuat
sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul-Nya.24
Dalam hadis tersebut, menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah
mengakui ijtihād yang berdasarkan pendapat akal, di mana qiyās termasuk
ijtihad jenis ini. Jumhur tersebut menambahkan bahwa dalam hadis lain,
Rasulullah juga menggunakan metode qiyās dalam menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh, suatu hari Umar bin Khatthab
mendatangi Rasulullah seraya berkata:
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium
istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah
mengatakan pada Umar : “bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur–
kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab,
“tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau sampai
menyesal ?”.
Menurut pendapat jumhur, dalam hadis tersebut, Rasullullah mengqiyās-kan kumur-kumur dengan mencium istri, yang menurut Rasullullah
tidak membatalkan puasa. Dengan demikian, jumhur ulama berpendapat
bahwa qiyās merupakan salah satu metode yang legal dalam proses pencarian
sebuah hukum Islam.25
24
Ibid., hlm. 112.
25
Lihat juga hadis senada dalam, Ibid., hlm. 114.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
40
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Biografi Ibn Hazm dan Ibn Qayyim
Nama lengkap Ibn Hazm adalah Ali ibn said Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn
Shaleh Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn Sufyan Ibn Yazid.26Kalangan penulis
kontemporer memakai nama singkatnya yang populer yakni Ibn Hazm,
dan terkadang dihubungkan dengan panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi.27
Selain itu, ia juga sering dikaitkan dengan sebutan al-Dhahiri, sehubungan
dengan aliran fiqih dan pola pikir dhahiri yang dianutnya.28 Namun demikian,
Ibn Hazm lebih suka memanggil dirinya dengan sebutan Abu Muhammad
sebagaimana di temukan dalam karya-karya tulisnya. Semasa pendidikan
kanak–kanak, Ibn Hazm telah menanamkan kecintaannya yang kuat dan
meminati ilmu. Setelah usia remaja ia selalu diajak ayahnya menghadiri
majelis – majelis temu ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh
Khalifah al-manshur, yang juga dihadiri oleh para ahli sya’ir dan ilmuwan.
Di samping itu Ibn Hazm juga berada di bawah bimbingan seorang alim
dan wara›, bernama Ali al-Husein Ibn Ali al-Fasy.29 Semenjak usia 15 tahun
ia mulai belajar di luar lingkungan istana, dengan mengikuti klub–klub studi,
26
Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubadā’ (Kairo: Dar al-Ma’mun, t.th.), hlm. 235236-.
Laqab ini dinisbahkan kepada tempat kelahirannya yakni Andalusia. Ibn Hazm lahir di
Andalusia pada hari yang terakhir dari bulan Ramadhan th. 384 H, di waktu dinihari sesudah
terbit fajar, sebelum terbit matahari. Ia termasuk keturunan Arab suku Quraisy. Ayahnya
Ahmad Ibn Da’id, berpendidikan cukup tinggi, sehingga dia diangkat menjadi pejabat di
lingkungan kerajaan al-Manshur dan kemudian menjadi wazir al-manshur pada tahun 381
H/991 M. dia menjabat wazir sampai di masa pemerintahan al-Muzaffar dan meninggal pada
tahun 402 H. Lihat, Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545.
27
Anggapan bahwa Ibn Hazm ‘hanyalah’ seorang pengikut dan penerus mazhab dhorihiyah
adalah kurang tepat, karena ia mempunyai konsep yang berbeda dari Daud nya sendiri,
meskipun sama–sama menggunakan metode literal, bahkan tidak sedikit orang yang
menyebutnya dengan mazhab al-Hazmiiyah. Lihat Abdul Halim ‘Uweis, Ibn Hazm alAndalusia, Cet. II (t.k.: Al-Zahra li al-I’lam al-Arabi, 1988), hlm. 89.
28
Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat wa al-Ullaf (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977), hlm.
165166-.
29
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
41
di samping berguru secara tersendiri dalam bidang tertentu. Gurunya yang
pertama adalah Ahmad Ibn Jazur.30
Sedangkan mengenai Ibn Qayyim al-Jawziyah, ia lahir di Damaskus pada
23 Rajab 751 H (26 September 1350). Tokoh yang memiliki nama lengkap
Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar ini adalah seorang
pakar dalam bidang fiqh, sastra Arab, kalam dan hadis, yang juga dikenal
sebagai penganut mazhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang pengelola
(qayyim) madrasah al-Jawziyah di Damaskus, sebuah madrasah besar yang
beraliran Hanbaliyyah, yang didirikan oleh Ibn al-Jauzi. Dari jabatan ayahnya
itulah, sebutan Ibn Qayyim al-Jawziyah diadopsi. Pendidikan tingkat dasar
dimulai Ibn Qayyim di Madrasah itu pula, dengan dibimbing langsung oleh
sang ayah, dan beberapa guru yang lain, di antaranya adalah Abi ad-Da’im
dan asy-Syirazi. Selama hidupnya, selain dikenal sebagai ulama yang cerdas,
Ibn Qayyim juga dikenal sebagai imam tetap dan pengajar di Madrasah alJawzi dan juga di Madrasah as-Sadriyyah.31
Qiyās dalam Pandangan Ibn Hazm dan Ibn Qayyim
Ibn Hazm selama ini selalu dianggap sebagai penerus dari mazhab yang
diprakarsai Daud Al-Asbihani (202-270 H), yaitu mazhab tekstualis, yang
lebih dikenal dengan istilah mazhab Zahiriyah, yang telah memainkan peran
sangat besar dalam mengembangkan dan mematangkan ilmu uṣūl, yang
meliputi uṣūl al-fiqh dan uṣūl ad-dien.32 Hal ini bisa ditelusuri dari fakta bahwa
ada tiga dari empat dasar ilmu dalam buku al-‘Umdah karya Qadli Abd Jabar,
al-Burhān karya Al-Juwaini, dan al-Mu’tamad kepunyaan Abi Hasan al-Basri,
Untuk lebih lengkapnya, riwayat Ibn Hazm ini dapat dibaca dalam, Abdul Aziz Dahlan,
(ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) cet. I, hal. 608.
Bandingkan dengan, Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm; Biografi, Karya dan Kajiannya Tentang
Agama-agama, terj. Halid al-Kaf (Jakarta: Lentera, 2001).
30
Untuk lebih lengkapnya, riwayat Ibn Qayyim ini dapat juga dapat dibaca dalam, Abdul
Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi... hlm. 616.
31
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi, cet. VII (Dar Baidha’: Dar Nasyr AlMaghribiyah, 2000), hlm. 492.
32
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
42
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
yang kesemuanya ada pada masa Ibn Hazm. Sementara buku al-Mustasyfā-nya
Al-Ghazali juga dianggap penting karena ia merupakan ringkasan dari ketiga
buku tersebut. Dari sini dapat digolongkan bahwa bahwa buku Iḥkām fī Uṣūl
al-Aḥkām karya Ibn Hazm termasuk periode di atas. Selain itu, yang menarik
dari buku terakhir ini adalah, kalau empat buku pokok di atas mengikuti
pola yang digariskan Syafi’i, Hanafi, atau Maliki, maka Ibn Hazm justru
menolak untuk ‘mengekor’ kepada sahabat-sahabatnya tersebut. Sebaliknya,
ia bahkan telah membuat langkah maju dengan membuat metodologi
baru yang berbeda sama sekali dengan pendahulunya. Kalau imam Syafi’i
menjadikan empat pokok rujukan, yakni Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmā’, dan
qiyās sebagai sumber hukum, maka dalam teori yang dikemukakan oleh Ibn
Hazm, sumber-sumber yang bisa dijadikan dasar hukum hanya terbatas pada
empat hal, yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijmā’, dan al-Dalīl.
Teori dalīl yang ditawarkan Ibn Hazm sebagai ganti dari qiyās, adalah
dengan menggunakan qiyās mantiqi yang mengandung dua premis yakni
mayor dan minor. Lebih lanjut, dalam teori Ibn Hazm, salah satu dari dua
premis tadi harus berupa nash, sedangkan lainnya bisa berupa ijmā’ atau halhal yang bersifat aksiomatik (badihiyyah).33 Pada titik ini dapat dilihat bahwa
pengertian ijmā’ dalam versi Ibn Hazm tidak sama dengan pengertian ijmā
’dalam versi para pendahulunya. Ijmā’ versi kebanyakan para ahli ushul
adalah konsensus ulama atas hukum yang tidak ada nashnya dengan ra’yu
mereka atau dengan mengkiaskannya pada hukum yang telah ada nashnya.
Sedangkan bagi Ibn Hazm, tak ada ijmā’ kecuali dari teks. Selanjutnya juga
ia menambahkan bahwa tak ada jalan untuk mengetahui hukum-hukum
agama tanpa menggunakan salah satu dari empat pokok–dasar yang telah
Pada dasarnya, ad-dalīl adalah metode pemahaman terhadap sebuah naṣ, yang pada
dasarnya (menurut ulama az-Zhahiri) tidak keluar dari naṣ atau ijmā. Dengan pendekatan
ad-dalil dilakukan pengembangan suatu naṣ atau ijmā’ melalui dilālah (petunjuk) secara
langsung, tanpa mengeluarkan illat-nya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-dalīl
tidak sama dengan qiyās, karena dalam qiyas diperlukan adanya kesamaan illat antara kasus
asal dan kasus baru. Lihat, Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi... hlm. 609.
33
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
43
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
dia utarakan di atas-- yang kesemuanya kembali pada teks, di mana teks itu
diketahui kewajibannya, dan dipahami artinya dengan akal.34
Ibn Hazm menggunakan teorinya yang baru ini dalam rangka menjawab
problematika umat pada saat itu, yaitu ketika krisis moral dan krisis sosial
melanda begitu hebatnya, dan para fuqaha dipandangnya justru menjadi
support dan legitimator penguasa akan kondisi tersebut. Menurutnya, teori
qiyās dan istiḥsān sering diekploitasi oleh para ulama demi kepentingan
sekelompok golongan.35 Terlepas apakah metode Ibn Hazm masih relevan
atau tidak untuk konteks kekinian, tetapi harus diakui bahwa ia telah
memberikan solusi alternatif dalam menjawab problematika umat dengan
metode barunya yang dibutuhkan pada zamannya.
Sedangkan Ibn Qayyim (dalam masalah qiyās), menerimanya sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Dalam qiyās, Ibn Qayyim berpegang pada
surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Ash’ariy. Dalam surat itu
Umar menyuruh untuk memahami hukum yang tidak ada nashnya dalam
al-Qur’an dan Hadis, dengan melihat hukum semisal (yang sama illat nya)
yang telah memiliki ketentuan hukum dalam nash.36 Selain itu, Ibn Qayyim
juga melihat bahwa dalam al-Qur’an ditemukan pemakaian al-qiyās di
banyak tempat, misalnya Allah menganalogikan kemungkinan kebangkitan
kedua (akhirat) dengan kebangkitan pertama. Menurut Ibn Qayyim, jika
kebangkitan pertama (yang bermula dari tiada) saja dapat terjadi, apalagi
kebangkitan kedua (yang bermula dari ada). Ibn Qayyim menambahkan
bahwa analogi semacam itu adalah analogi akal, dan memiliki banyak amṣāl
dalam al-Qur’an, walaupun intinya tetap merupakan analogi akal, sebab
dalam penyamaan dua hal tersebut, misalnya, Allah juga menyebutkan
kesamaan sifat-sifatnya.37 Menurut Ibn Qayyim, itulah hakikat qiyās, yakni
mempersamakan hukum dua masalah, karena adanya kesamaan illat-nya.
34
Al-Ihkam, dikutip dari Abid jabiri. Lihat, Ibid., hlm. 492.
35
Abdul Halim ‘Uweis, Ibn Hazm.... hlm. 88.
36
Ibn Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid I (t.k.: Dar al-Jail, 1972), hlm. 6768-.
37
Ibid., hlm. 101.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
44
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Di samping itu, ditemukan juga dalam banyak ayat al-Qur’an, bahwa Allah
menyebutkan illat atau sifat-sifat dalam suatu masalah yang cocok untuk
ditetapkan hukum karena keberadaannya (al-Ḥukum Yadur Ma’a al-Illatih
Wujūdan wa Adaman), di mana keberadaannya itu dimaksudkan agar setiap
masalah yang dimilikinya ditetapkan padanya hukum yang sama. Ibn Qayyim
menganalisis bahwa inilah bukti kalau al-Qur’an membenarkan qiyās.
Dalam berdalil dengan qiyās, Ibn Qayyim menerima Qiyās al-Tard dan
Qiyās al-’Aks. Yang pertama ialah penetapan hukum masalah asal (ḥukm alaṣl) pada masalah cabang (ḥukm al-far’) karena adanya kesamaan illat pada
keduanya, dan disebut qiyās al-tard karena hukumnya diterapkan (yattarid) pada
semua masalah yang memiliki illat yang sama. Sedangkan yang kedua adalah
penetapan kebalikan dari hukum masalah asal kepada masalah cabang karena
adanya kebalikan (Illah al-Aṣl) pada masalah cabang tersebut. Selain itu, ia
sangat meyakini bahwa semua illat dapat digunakan untuk mengembangkan
hukum Islam, dan syariat tidak ada yang bertentangan dengan qiyās.38
Dalam beberapa bidang, pendapat-pendapat Ibn Qayyim memiliki
banyak kesamaan dengan pendapat-pendapat asy-Syafi’i, walaupun ia adalah
penganut mazhab Hanbali. Dalam bidang ijmā’ misalnya, Ibn Qayyim
sependapat dengan Syafi’i, dengan mengutarakan pendapat bahwa ijmā’ yang
dapat diterima hanyalah ijmā’ sahabat.39
Atas dasar inilah Ibn Qayyim menyerukan agar umat Islam selalu bisa memanfaatkan
akalnya untuk mengungkap rahasia-rahasia hukum Islam. Sebaliknya, ia sangat mengecam
taqlīd, yang menurut dia, akan dapat mematikan potensi dan akan membawa umat Islam
pada posisi ketertinggalan. Lihat, Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi..., hlm. 608.
38
39
Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi... hlm. 618.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
45
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya,
pemikiran-pemikiran qiyās Ibn Hazm di atas dapat dilihat sebagai gambaran
atau konsep mazhab adz-Dzahiri secara umum, dan khususnya kalangan
ulama Syi’ah. Bila ditelaah lebih jauh, konsep-konsep Ibn Hazm itu akan
sangat sulit diikuti oleh kalangan masyarakat, sebab ahli Fiqh Andalusia
itu menganggap bahwa al-Qur›an telah final, dan penggunaan ra’yu untuk
menginterpretasikannya adalah sesuatu yang dilarang secara mutlak. Hal ini
tentu sarat dengan tindakan memustahilkan perubahan dan perkembangan
yang secara cepat terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang tentunya
meniscayakan lahirnya hukum-hukum syar’i baru. Sekadar contoh, dengan
model berpikir demikian, mampukah Ibn Hazm merumuskan status
hukum talak via Short Message Service (SMS)? Padahal teknologi SMS baru
muncul belakangan? Ini tentu menjadi dilema bagi hukum Islam, dan
jikalau demikian, hukum Islam akan jalan di tempat, dan pada akhirnya
akan ditinggalkan karena dianggap tidak mampu lagi menjadi pijakan. Bila
demikian, bukankah hal ini dengan sendirinya mengingkari universalitas dan
sifat keajegan hukum Islam?
Sedangkan pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim, sangat terasa menarik
dan terkesan lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Namun demikian,
keliberalan Ibn Qayyim dalam menggunakan akal (dalam rangka mencari
hukum-hukum atas sesuatu yang baru) juga perlu disikapi dan direspons
secara bijak. Karena, tanpa adanya kendali, penggunaan akal yang semaumaunya dalam ranah hukum Islam juga akan dapat melunturkan kemurnian
ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana yang menjadi kekhawatiran Ibn Hazm.
Dengan demikian, seharusnya ada langkah seimbang harus diambil oleh
umat Islam, yakni menggabungkan pendapat Ibn Hazm dan pandangan Ibn
Qayyim, yang berarti umat Islam akan selalu tanggap atas tuntutan zaman,
namun tidak tercerabut dari akar, yang akan membuat ajaran Islam dapat
terus menjadi raḥmatan li al-‘ālamīn.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
46
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Daftar Pustaka
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti, 1996.
Abid al-Jabiri, Muhammad, Bunyat al-Aql al-Arabi, Dar Baidha’: Dar Nasyr
Al-Maghribiyah, 2000.
Abu Zahrah, Muhammad, Uṣūl al-Fiqh, t.p.: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th.
Achyar, Muhammad, “Pintu Ijtihad yang Terbuka”, Jurnal al-Afkar, Vol. 2
tahun 1998.
al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad, al-Mustasyfā fī Ilm al-Uṣūl, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971.
al-Hamawy, Yaqut, Mu’jam al-‘Ubadā’, Kairo: Dar al-Ma’mun, t.th.
Ali Himayah, Mahmud, Ibnu Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya tentang
Agama-agama, Terj. Halid al-Kaf, Jakarta: Lentera, 2001.
al-Jawziyah, Ibn Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’īn, jilid I, t.k.: Dar al-Jail, 1972.
al-Maliki, Muhammad Alwi, Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas, Terj.
Abdul Mustaqim, Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003.
al-Munawar, Said Agil Husein, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Serta Rekayasa Teknik Genetika dalam Perspektif Hukum Islam, Tarjikh,
edisi ke-I, Desember 1996.
Al-Shaghir, Abd Majid, Al-fikr al-Uṣūly wa Isykāliyyat al-Sulṭah al-Ilmiyyah fī alIslām, Beirut: Dar al-Muntakhab al-Arabi, 1994.
al-Subki, Tajuddin ‘Abdul Wahab, Jam’u al-Jawāmi’, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
al-Zuhaili, Wahbah, al-Wasīṭ fī Uṣūl al-Fiqh al-Islāmiy, Damaskus: Dar alKitab, 1978.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
47
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
ash-Shiddiqy, Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997.
Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve. 1996.
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamabad:
Islamic Research Institute, 1988.
Hazm, Ibn, al-Thawq al-Hamamat fī al-Ilfat wa al-Ullaf, Kairo: Dar al-Ma’arif,
1977.
Hazm, Ibn, Al-Muḥalla, Beirut: Maktabah at-Tijadi, t.th.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Uṣūl al-Fiqh, Kuwait: an-Nashie, 1977.
Mahmasani, Subhi, Filsafat Hukum dalam Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif,
1981.
Minhaji, Akh., “Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam; Ijtihad Baru
tentang Posisi Minoritas dan Non-Muslim”, dalam, Tim Editor, Antologi
Studi Islam: Teori & Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.
Nasr, Sayyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Unwin Paperbacks,
1979.
Qudamah, Ibn, Rauḍah al-Nadkir wa Jannah al-Munaḍir, Beirut: Mu’assasah
al-Risalah, 1978.
Sharaf al-Din, Abd. Al-Azim Abd al-Salam, Ibn Qayyim al-Jawziyah; Asruh
wa Manhajuh wa Arāuh fī al-Fiqh wa al-Aqāid wa al-Tasawwuf, Kuwait: Dar
al-Qalam, 1984.
Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 1986
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
48
Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi .....
Uweis, Abdul Halim, Ibn Hazm al-Andalusia, t.k.: Al-Zahra lil I’lam al-Arabi,
1988.
Zubair, Najih Maimun, “Catatan Editor”, dalam Muhammad Alwi alMaliki, Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas, Terj. Abdul Mustaqim,
Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 47, No. 1, Juni 2013
Download