PROBLEMATIKA PENDEKATAN ANALOGI (QIYĀS) DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM (Telaah atas Pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Qayyim al-Jawziyah) Hardi Putra Wirman STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi Jl. Paninjauan Garegeh Koto Selayan Bukittinggi Sumatera Barat Email: [email protected] Abstract: Existence of qiyās (analogy) as an effort to dig an Islamic law, it still remains a problem and the debate in a long period of time. Whereas qiyās is the mainstay of scholars when a problem is not found in the legal status of the Koran, Sunna and ijmā’. In this paper, before authors explore the views and ideas of Ibn Hazm and Ibn Qayyim about qiyās, authors will describe a little about the views of scholars of Fiqh jumhur against qiyās position as one of the methods of determination of law in Islam. At the end of the paper, the authors found that the concepts of Ibn Hazm would be very difficult to be followed by the public, because it assumes that the Koran was the final, and the use of reason to interpret something that is absolutely forbidden. While Ibn Qayyim adapted more impressed with the changing times. But liberalism of Ibn Qayyim in using Intellect needs to be addressed and responded wisely. Because, in the absence of control, the use of reason in the sphere arbitrarily Islamic law will also be able to fade the purity of the teachings of Islam itself. Abstrak: Eksistensi dan kehujahan qiyās sebagai salah satu upaya menggali sebuah hukum, ternyata masih menyisakan sebuah problem dan perdebatan dalam kurun waktu yang panjang. Padahal qiyās menjadi andalan jumhur ulama tatkala sebuah permasalahan tidak ditemukan status hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun ijmā’. Dalam makalah ini penulis akan mengeksplorasi pandangan dan pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Qayyim tentang qiyās, setelah sebelumnya penulis akan sedikit menggambarkan tentang pandangan jumhur ulama Fiqh terhadap Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 28 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... posisi qiyās sebagai salah satu metode penetapan hukum dalam Islam. Di akhir makalah, penulis menemukan bahwa konsep-konsep Ibn Hazm akan sangat sulit diikuti oleh kalangan masyarakat, sebab ia menganggap bahwa al-Qur’an telah final, dan penggunaan ra’yu untuk menginterpretasikannya adalah sesuatu yang dilarang secara mutlak. Sedangkan pemikiran Ibn Qayyim terkesan lebih adaptif dengan perkembangan jaman. Namun, liberalitas Ibn Qayyim dalam menggunakan akal perlu disikapi dan direspons secara bijak. Karena, tanpa adanya kendali, penggunaan akal yang semau-maunya dalam ranah hukum Islam juga akan dapat melunturkan kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Kata Kunci: Qiyās, Hukum Islam, Ibn Qayyim, Ibn Hazm Pendahuluan Umat Islam sangat meyakini bahwa syariat, dengan segenap perangkat dan tata nilainya, merupakan manifestasi konkret kehendak-kehendak Allah (al-Syāri’) terhadap manusia dan alam semesta, di mana semua maksud penciptaan makhluk, tata relasi antara sang Khāliq dan makhluk, serta tugastugas dan pakem aturan yang harus dijalankan manusia sebagai al-aḥsan altaqwīm yang secara sempurna telah tertuang di dalamnya. Namun demikian, eksistensi syariat ini masih menyisakan problem yang cukup serius, sebab sebagian umat Islam memiliki asumsi bahwa sepeninggal Rasulullah saw., syariat–yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis—telah bersifat paripurna dan bahkan tertutup peluang untuk melakukan interpretasi ulang terhadapnya,1 sementara sebagian yang lain justru memiliki asumsi bahwa Pendapat ini kebanyakan dikemukakan oleh para penganut Islam beraliran Syi’ah. Namun, pandangan tersebut juga banyak ditentang, di antaranya oleh Muhammad Alwi al-Maliki, yang berpandangan bahwa Syariat Islam pada hakikatnya adalah sebuah fenomena interaksi antara teks dengan realitas sejarah umat Islam. Karenanya, al-Qur’an dan Sunnah tidak harus dikonsumsi apa adanya, melainkan baru dikonsumsi setelah teks-teks tersebut berinteraksi secara nyata dengan kehidupan manusia itu sendiri. Alwi al-Maliki menambahkan bahwa Syariat Islam–dalam tugasnya menjawab persoalan-persoalan kehidupan—tidak sepenuhnya mengandalkan teks-teks suci, melainkan harus bersifat kontekstual. Karenanya, ia menyerukan perlunya upaya ijtihad kreatif dalam mengatasi dan merespons tuntutan zaman, berdasarkan ruh dan prinsip-prinsip dasar syariat Islam seperti keadilan, maslahah persamaan, dan sebagainya. Lihat Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam: Pergumulan Teks 1 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 29 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... al-Qur’an dan Hadis hanyalah teks mati, yang interpretasi terhadapnya harus dilakukan secara dinamis, agar ia dapat terus relevan untuk semua jaman dan semua keadaan. Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa pasca wafatnya Rasul, syariat seolah telah menjadi doktrin yang final, yang tidak membutuhkan rekonstruksi, yang tidak terikat oleh jaman dan tempat, di mana kehadirannya telah menjelma menjadi ruh ajaran Islam yang paling esensial,2 sementara umat hanya bertugas mengaplikasikan, tanpa hak untuk mempertanyakan ulang. Ini tentu menyisakan sebuah persoalan besar bagi umat Islam terutama setelah meninggalnya Muhammad, sebab kehadiran syariat–yang ditandai dengan diterimanya teks-teks suci Tuhan oleh Muhammad melalui Jibril—sangat terkait dengan dimensi ruang dan waktu, dan bahkan acap kali kehadirannya merupakan jawaban atas persoalan-persoalan keumatan yang terjadi.3 Terlebih lagi, seiring dengan perjalanan waktu, eksistensi Islam dan Realitas, Terj. Abdul Mustaqim (Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003), hlm. xiii. Syariat banyak disebut merupakan dimensi eksoterik Islam, sedangkan dimensi esoterisnya diisi oleh tasawuf. Lihat Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Unwin Paperbacks, 1979), hlm. 94. 2 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic Research Institute, 1988), hlm. 2425-. Najih Maimun Zubair, dalam kapasitasnya sebagai editor sebuah buku yang membahas pemikiran seorang ulama, menyatakan bahwa syariat Islam memiliki dua tipologi, yakni ada ajaran yang bersifat statis—tidak terikat oleh tempat dan waktu—dan ada pula ajaran yang dapat berubah dengan pertimbangan sebuah situasi dan kondisi tertentu. Menurut Najih, syariat yang tidak dapat berubah tersebut pada umumnya telah dijelaskan secara rinci dalam teks-teks suci–al-Qur’an dan Hadis, yang biasanya dikenal dengan ayat-ayat berjenis Muḥkām, yang di antara contohnya adalah ajaran tentang akidah, ibadah ritual, ḥudūd, warisan, dan lain sebagainya. Terhadap syariat jenis ini, lanjut Najih, tidak selayaknya seseorang merubah ketentuan-ketentuan yang telah diatur teksteks suci tersebut, karena ajaran itu bersifat mabniyyun ‘alā kulli zamān wa makān. Sedangkan syariat yang dapat berubah pada umumnya hanya dijelaskan secara global oleh teks-teks suci, yang biasanya selalu dihubung-hubungkan dengan istilah ayat-ayat Mutsyābihāt­, yang di antara contohnya adalah ajaran seputar persoalan kenegaraan, militer, perang, dan sebagainya, yang menuntut adanya interpertasi-interpretasi–atas teks-teks tersebut— dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi tempat syariat itu akan diterapkan. Lihat, Najih Maimun Zubair, “Catatan Editor”, dalam Muhammad Alwi al-Maliki, Syari’at Islam... 3 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 30 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... di tengah-tengah masyarakat yang semakin terkepung oleh arus modernitas dan globalisasi dunia, mulai dipertanyakan efektivitasnya dalam menjawab persoalan-persoalan keumatan, yang semakin hari terasa semakin kompleks.4 Pertanyaan di atas banyak muncul dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa kehadiran Islam sebagai raḥmatan li al-‘ālamīn, dan kemunculannya sarat dengan tendensi ‘menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan’. Selain itu, kemajuan sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan kepada setiap pemeluknya bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi, dan bahkan politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam. Dengan demikian, kemudian muncul asumsi bahwa hukum Islam bukanlah unifikasi yang baku, yang sudah tidak bisa diinterpretasikan, melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan, memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi dari posisi fleksibilitasnya, selama tidak berorientasi mengorbankan keluhuran hukum Islam.5 Berpijak pada kenyataan di atas, konsekuensi logis yang kemudian muncul adalah adanya keharusan untuk melakukan ijtihad,6 dalam hlm. xiii. Menurut Akh Minhaji, belakangan ini ada kecenderungan yang diperlihatkan oleh beberapa negara muslim untuk kembali mendasarkan segala aspek kehidupan pada ketentuanketentuan syar’i, hukum Islam. Penyebabnya, menurut Minhaji di antaranya adalah mereka merasa bahwa keterbelakangan yang diderita oleh sebagian umat muslim selama ini disebabkan oleh terlalu jauhnya mereka meninggalkan ajaran-ajaran hukum Islam yang sebenarnya. Yang lebih parah lagi, lanjut Minhaji, mereka yakni bahwa pintu ijtihād telah tertutup rapat. Penyebab lainnya adalah sebagaian kaum muslim berpegang pada konsep lā ijtihāda fī mazhab fīhi naṣ –tidak ada ijtihad pada hal-hal yang telah dicakup oleh al-Qur›an dan Hadis. Artinya, umat Islam hanya diperbolehkan memikirkan hal-hal yang belum dicakup secara eksplisit oleh keduanya, dan menerima apa adanya segala sesuatu yang telah dicakum oleh keduanya. Lihat, Akh. Minhaji, “Hak Asasi Manusia Dalam hukum Islam; Ijtihad Baru Tentang Posisi Minoritas dan Non-Muslim”, dalam, Tim Editor, Antologi Studi Islam; Teori & Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 336. 4 5 Said Agil Husein al-Munawar, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serta Rekayasa Teknik Genetika dalam Perspektif Hukum Islam, tarjikh, edisi ke I, Desember 1996, hlm. 5456-. 6 Kata “ijtihad” sudah menjadi istilah yang baku dalam kajian yurisprudensi Islam, meskipun Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... 31 rangka menjawab permasalahan tersebut, yang di antaranya terejawantah dalam proses-proses istinbāṭ. Secara umum, formulasi yang dipakai oleh jumhur dalam ber-istinbāt (cara–cara mengeluarkan hukum dari dalāil) untuk menetapkan sebuah hukum, biasanya berpijak pada al-Qur›an, Sunah, dan Ra’yu. Keberadaan alQur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum ini tidak banyak menyisakan problem dan perdebatan, dan hampir semua ulama menyepakatinya. Namun tidak demikian halnya dengan ra’yu­(pikiran, akal), masih penyisakan banyak persoalan dan perdebatan. Terkait erat dengan pemanfaatan ra’yu dalam proses istinbāt, para ulama di antaranya Abu Hanifah (81–150 H/700–767 M), Malik Ibn Anas (94–179 H/714–812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164–241 H) biasanya mengekspresikannya dengan apa yang disebut qiyās.7 kata tersebut acapkali dipakai dalam disiplin ilmu Islam dan ilmu sosial lain. Misalnya, ijtihad politik, ijtihad filsafat, dan lainnya. Berdasarkan terminologi fiqh Islam, ijtihad mempunyai pengertian yang khas dan unik. Al-Ghazali menjelaskan ijtihad adalah upaya mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan, namun dalam urf para ulama, kata tersebut digunakan secara spesifik untuk menyebut seorang mujtahid yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariat. Lihat, Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfā fī Ilm al-Uṣūl (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971), hlm. 54 dan 350. Sedangkan Al-Dahlawi, sebagaimana dikutip dari Muhammad Achyar, memberikan penjelasan yang lebih tegas dan rinci dengan mengemukakan pandangan bahwa hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang teperinci, yang secara global kembali kepada empat macam dalil, yakni al-Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas. Lihat, Muhammad Achyar, “Pintu Ijtihad Yang Terbuka”, Jurnal al-Afkar, Vol. 2 tahun 1998. Bandingkan dengan, Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 197. Al-Qiyās atau lengkapnya, al-qiyas al-tamṡīlī, analogi reasoning, memiliki makna pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya, kepada kejadian lain yang sudah ada ketentuan teksnya, lantaran antara keduanya ada persamaan illat hukumnya, serta dengan adanya pertimbangan-pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat dari berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep-konsep tentang istiḥsān (mencari kebaikan), istiṣlāḥ (mencari kemaslahatan). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kemaslahatan adalah kebaikan dan 7 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 32 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Pada perkembangannya, qiyās–dalam eksistensinya sebagai salah satu sumber hukum Islam—dalam wilayah ilmu hukum telah menjadi salah satu sebab yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan di antara para ulama. Mazhab Syi’ah Imamiyah dan Daud al-Dzahiri misalnya, tidak mau mengakui metode qiyās, apalagi menerima atau menggunakannya. Sedangkan di kalangan ulama-ulama lainnya seperti ulama jumhur dan mazhab Syi’ah Zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum syariat.8 Perbedaan pandangan terhadap qiyās tersebut di antaranya juga dapat dilihat dari pandangan yang dikemukakan oleh Al’-Allamah Ibn Hazm Abu Muhammad Ali bin Said bin Hazm bin Ghalid bin Khalaf bin said bin Sufyan bin Yazid (384–456 H/994 –1064)–yang biasa dipanggil dengan Ibn Hazm—yang menyatakan bahwa al-Qur›an dan al-Sunnah sudah lengkap dan sempurna, serta tidak mungkin ada masalah yang tidak ada jawaban di dalamnya.9 Pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Hazm ini sangat bertolak belakang dengan pandangan yang disampaikan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang justru menyatakan bahwa seharusnya para ulama dan umat Islam tidak statis, dengan hanya mengandalkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Sebaliknya, ia menyerukan agar ulama dan umat Islam dapat bersikap dinamis, dengan giat melakukan ijtihad dan menggunakan akalnya untuk berpikir. Lebih dari itu, Ibn Qayyim pun mengharamkan taqlīd bagi ulama dan umat Islam.10 Elaborasi di atas memberikan sedikit gambaran bahwa eksistensi dan kemanfaatan secara umum (al-maṣlaḥah al-āmmah, al-maṣlaḥah al-mursalah). Lihat, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Uṣūl Fiqh, cet. 2 (Kuwait: an-Nashie, 1977), hlm. 52. Pendapat Ibn Hazm ini didasarkan atas ayat-ayat al-Qur›an yang menegaskan, ”Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sedikit pun (segala sesuatu)” (QS al-An’am [6]: 38), “Pada hari ini Kami sempurnakan bagimu agamamu” (QS al-Mā’idah [5]: 3), “Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjalankan segala sesuatu” (QS al-Naḥl [16]: 89). Lihat, Subhi Mahmasani, Filsafat Hukum dalam Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981), hlm. 127. 8 9 Ibn Hazm, al-Muḥallā (Beirut: Maktabah at-Tijadi, t.th.), hlm. 56. Abd. Al-Azim, Abd al-Salam Sharaf al-Din, Ibn Qayyim al-Jawziyah; Asaruh wa Manhajuh wa Arauh fi al-Fiqh wa al-Aqaid wa al-Tasawwuf (Kuwait: Dar al-Qalam, 1984), hlm. 104. 10 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... 33 kehujjahan qiyās sebagai salah satu upaya dalam menggali sebuah hukum, ternyata masih menyisakan sebuah problem dan perdebatan dalam kurun waktu yang panjang. Ini menjadi sesuatu yang ironi, sebab telah sejak lama qiyās menduduki posisi yang penting dalam yurisprudensi Islam, yang menjadi andalan jumhur ulama tatkala sebuah permasalahan tidak ditemukan status hukumnya dalam al-Qur›an, Sunnah, maupun ijma’. Bila qiyās digunakan sebagai salah satu cara penetapan hukum Islam, dan hukum Islam diyakini sebagai hukum Tuhan, sementara eksistensi dan kehujjahannya masih bermasalah, tidakkah hal ini berarti tindakan sembrono yang merugikan umat?11 Karena itu, penulis tertarik untuk membahas persoalan ini, khususnya yang terkait dengan pandangan dua tokoh–Ibn Hazm dan Ibn Qayyim, yang pendapatnya berdiri secara diametral tersebut. Dalam pembahasan makalah ini, sebelum secara khusus masuk pada pandangan dan pemikiran kedua tokoh tersebut tentang qiyās, terlebih dahulu penulis akan sedikit menggambarkan tentang pandangan jumhur ulama fiqh terhadap posisi qiyās sebagai salah satu metode penetapan hukum dalam Islam. Mengingat bahwa ulama adalah pewaris para nabi, yang diyakini (dengan syaratsyarat tertentu) memiliki otoritas untuk melakukan ijtihād. Karenanya, ada semacam keyakinan dalam ajaran Islam bahwa dalam persoalan-persoalan hukum dan ibadah, seseorang harus mengikuti pendapat salah satu ‘ulama (mazhab), yang diyakini akan mempertanggungjawabkan hasil ijtihād-nya itu kelak di hadapan Allah. Sebaliknya, bila seseorang (dalam beribadah dan menjalankan hukum) tidak mengacu pada pendapat ulama, ada keyakinan bahwa kelak di akhirat tidak akan ada ulama yang melindunginya. Apakah ini mitos ataukah memang demikian seharusnya, namun kredo semacam itu telah berkembang subur di tengah-tengah masyarakat. 11 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 34 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Qiyās dalam Perspektif Ulama Fiqih 1.Pengertian Qiyās Secara bahasa, qiyās–dalam istilah lain juga dikenal dengan istilah analogi—berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.12 Sedangkan secara terminologi, qiyās memiliki beberapa definisi. Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh mazhab Hanafi, mengemukakan pendapat bahwa qiyās adalah “Memberlakukan hukum asal kepada hukum furū’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.”13 Sedangkan mayoritas ulama Syafi’iyyah, mendefinisikan qiyās dengan pengertian “Membawa hukum yang belum diketahui, kepada hukum yang sudah diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun hukum sifat.”14 Sementara Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyās dengan “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam naṣ, dengan sesuatu yang telah disebutkan hukumnya oleh naṣ, disebabkan adanya kesatuan illat antara keduanya”.15 Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer di atas tentang qiyās, mereka tetap bersepakat bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyās, bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbāṭ al-ḥukm wa insyā’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (alAbd Majid Al-Shaghir, al-Fikr al-Uṣūly wa Isykāliyyat al-Sulṭah al-Ilmiyyah fī al-Islām (Beirut: Dar al-Muntakhab al-Arabi, 1994), hlm. 356. 12 Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut. Lihat, Ibid., hlm. 356. 13 14 Al-Ghazali, al-Mustasyfā... hlm. 54. Wahbah al-Zuhaili, al-Wasīt fī Uṣūl al-Fiqh al-Islāmiy (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978), hlm. 601. 15 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... 35 kasyf wa al-iẓhār li al-ḥukm-- yang ada pada suatu kasus yang belum jelas status hukumnya.16 Hal ini menyiratkan pengertian bahwa penyingkapan dan penjelasan tersebut dilakukan dengan melalui pembahasan secara mendalam dan teliti terhadap satu illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi, yang apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam naṣ, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan oleh naṣ tersebut.17 Dalam proses qiyās itu, jumhur Ulama menetapkan ada empat hal (rukun) yang harus diperhatikan, yaitu aṣl, far’ū, illat, dan hukum aṣl.18 2.Kehujjahan Qiyās dalam Yurisprudensi Islam Ulama ushul fiqh berbeda pendapat pada persoalan status kehujjahan qiyās dalam proses penetapan sebuah hukum syara’. Perbedaan tersebut di antaranya tampak pada pendapat kalangan jumhur ulama yang berpendirian bahwa qiyās bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk meng-istinbathkan semua hukum syara’.19 Sedangkan para ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyās hanya boleh diterapkan dalam menetapkan sebuah hukum, 16 Ibid., hlm. 601 Sebagai contoh, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang kemudian menjadi penyebab (illat) diharamkannya khamr, sesuai firman Allah dalam surat al-Mā’idah: 90–91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada naṣ-nya dengan hukum yang ada naṣ-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum. 17 Aṣl adalah sumber naṣ yang menerangkan sebuah hukum. Farū’ adalah hukum baru yang dikiaskan pada hukum aṣl. Illat adalah sebab atau hal yang dapat dipersamakan, sedangkan hukum aṣl adalah hukum asal yang telah ditetapkan oleh naṣ. Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (t.p.: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th.), hlm. 227235-. 18 Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawāni’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Rauḍah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir (Beirut: Mu’assasah alRisalah, 1978), hlm. 234. 19 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 36 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... sepanjang hukum itu dapat memenuhi dua hal. Pertama, selama illat hukumnya manṣūṣ (disebutkan dalam naṣ) baik secara nyata maupun melalui isyarat. Kedua, hukum far’u harus lebih utama dari pada hukum aṣl. Pada titik ini, Wahbah al-Zuhaili memetakan pendapat-pendapat ulama ushul fiqh (tentang kehujjahan qiyās) ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyās sebagai dalil hukum, yang terdiri dari mayoritas ulama ushul fiqih seperti ulama Syafi’iyyah, dan kelompok lainnya adalah kelompok yang menolak qiyās sebagai dalil hukum, yang di antaranya terdiri dari ulamaulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah, serta ulama mu’tazilah Irak.20 Bila ditelaah lebih lanjut, alasan kelompok yang menolak qiyās— sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’—di antaranya disandarkan kepada firman Allah dalam surat al-H{ujurāt: 1, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya...” Ayat ini dalam perspektif kelompok tersebut mengandung pengertian adanya larangan bagi seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur›an dan sunah Rasul. Dengan demikian, menurut mereka, menjadikan qiyās sebagai pedoman merupakan sikap beramal atas dasar sesuatu yang berada di luar al-Qur›an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selain itu, mereka juga memaparkan isi surat al-Isrā’: 36,“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya,” yang menurut mereka mengandung pengertian bahwa Allah melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti (qaṭ’i). Oleh sebab itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, mereka kemudian menyimpulkan bahwa penggunaan qiyās dalam yurisprudensi Islam adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan.21 20 Wahbah al-Zuhaili, al-Wasīṭ..., hlm. 645. Muin Umar, dkk., Ushul Fiqh I (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986), hlm. 116. 21 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 37 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Selain bersandar pada ayat-ayat al-Qur›an, argumentasi penolakan kelompok tersebut terhadap qiyās juga didasari oleh sunnah-sunnah Rasul, yang antara lain adalah sebuah hadits riwayat imam Daruquthni: “Sesungguhnya Allah Taala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, bila Dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”. Hadis di atas, menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, ada kalanya haram, dan adakalanya didiamkan saja (tanpa kejelasan status hukum), yang berarti hukumnya berkisar antara dimaafkan dan boleh (mubah). Maka, apabila dikiaskan sesuatu yang didiamkan syara’ tersebut kepada sesuatu yang wajib misalnya, maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan, di mana tindakan tersebut dilarang. Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyās sebagai salah satu metode dalam hukum syara’, dalam mengemukakan argumentasinya juga disandarkan kepada beberapa ayat al-Qur›an, yang di antaranya adalah Surat al-H{asyr ayat 2; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. Menurut mereka, ayat tersebut berbicara tentang hukuman yang diturunkan oleh Allah kepada kaum kafir dari Bani Nadhir, sebagai buah atas sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat tersebut, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai pelajaran, termasuk dalam kategori qiyās. Oleh sebab itu, mereka menyimpulkan bahwa penetapan hukum melalui qiyās yang disebut Allah dengan al-I’tibār adalah boleh, dan bahkan al-Qur’an telah memerintahkannya.22 22 Ibid., hlm. 116. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 38 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Ayat-ayat lain yang juga dijadikan oleh mereka sebagai alasan diperbolehkannya qiyās adalah seluruh ayat al-Qur’an yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya Surat al-Baqarah ayat 222: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”. Surat al-Maidah 5 ayat 91: “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu). Surat al-Maidah 5 ayat 6 : ”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “23 Sebagaimana ulama yang menolak qiyās, pendapat jumhur ulama yang menerima qiyās (selain berdasar ayat-ayat al-Qur’an) juga disandarkan atas hadis Rasululah, di antaranya adalah hadis yang diceritakan oleh Muadz Ibn Jabal, yaitu ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadi. Kala itu Rasulullah melakukan dialog dengan Mu’adz: “Bagaimana cara kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab, “Akan aku tetapkan berdasarkan al-Qur’an.” Rasul melanjutkan pertanyaannya, “Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an?” Mu’adz berkata, “Akan aku tetapkan dengan Sunnah Rasulullah.” Jika engkau tidak memperoleh sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan sungguhsungguh. Mu’adz menjelaskan bahwa setelah dialog tersebut, Rasullullah lalu menepuk-nepuk dadanya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah 23 Ibid., hlm. 110. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 39 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... memberi petunjuk bagi petugas yang diangkat Rasullullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul-Nya.24 Dalam hadis tersebut, menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihād yang berdasarkan pendapat akal, di mana qiyās termasuk ijtihad jenis ini. Jumhur tersebut menambahkan bahwa dalam hadis lain, Rasulullah juga menggunakan metode qiyās dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sebagai contoh, suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata: “Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar : “bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur– kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau sampai menyesal ?”. Menurut pendapat jumhur, dalam hadis tersebut, Rasullullah mengqiyās-kan kumur-kumur dengan mencium istri, yang menurut Rasullullah tidak membatalkan puasa. Dengan demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa qiyās merupakan salah satu metode yang legal dalam proses pencarian sebuah hukum Islam.25 24 Ibid., hlm. 112. 25 Lihat juga hadis senada dalam, Ibid., hlm. 114. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 40 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Biografi Ibn Hazm dan Ibn Qayyim Nama lengkap Ibn Hazm adalah Ali ibn said Ibn Hazm Ibn Ghalib Ibn Shaleh Ibn Khalaf Ibn Ma’dan Ibn Sufyan Ibn Yazid.26Kalangan penulis kontemporer memakai nama singkatnya yang populer yakni Ibn Hazm, dan terkadang dihubungkan dengan panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi.27 Selain itu, ia juga sering dikaitkan dengan sebutan al-Dhahiri, sehubungan dengan aliran fiqih dan pola pikir dhahiri yang dianutnya.28 Namun demikian, Ibn Hazm lebih suka memanggil dirinya dengan sebutan Abu Muhammad sebagaimana di temukan dalam karya-karya tulisnya. Semasa pendidikan kanak–kanak, Ibn Hazm telah menanamkan kecintaannya yang kuat dan meminati ilmu. Setelah usia remaja ia selalu diajak ayahnya menghadiri majelis – majelis temu ilmiah dan budaya yang sering diadakan oleh Khalifah al-manshur, yang juga dihadiri oleh para ahli sya’ir dan ilmuwan. Di samping itu Ibn Hazm juga berada di bawah bimbingan seorang alim dan wara›, bernama Ali al-Husein Ibn Ali al-Fasy.29 Semenjak usia 15 tahun ia mulai belajar di luar lingkungan istana, dengan mengikuti klub–klub studi, 26 Yaqut al-Hamawy, Mu’jam al-‘Ubadā’ (Kairo: Dar al-Ma’mun, t.th.), hlm. 235236-. Laqab ini dinisbahkan kepada tempat kelahirannya yakni Andalusia. Ibn Hazm lahir di Andalusia pada hari yang terakhir dari bulan Ramadhan th. 384 H, di waktu dinihari sesudah terbit fajar, sebelum terbit matahari. Ia termasuk keturunan Arab suku Quraisy. Ayahnya Ahmad Ibn Da’id, berpendidikan cukup tinggi, sehingga dia diangkat menjadi pejabat di lingkungan kerajaan al-Manshur dan kemudian menjadi wazir al-manshur pada tahun 381 H/991 M. dia menjabat wazir sampai di masa pemerintahan al-Muzaffar dan meninggal pada tahun 402 H. Lihat, Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 545. 27 Anggapan bahwa Ibn Hazm ‘hanyalah’ seorang pengikut dan penerus mazhab dhorihiyah adalah kurang tepat, karena ia mempunyai konsep yang berbeda dari Daud nya sendiri, meskipun sama–sama menggunakan metode literal, bahkan tidak sedikit orang yang menyebutnya dengan mazhab al-Hazmiiyah. Lihat Abdul Halim ‘Uweis, Ibn Hazm alAndalusia, Cet. II (t.k.: Al-Zahra li al-I’lam al-Arabi, 1988), hlm. 89. 28 Ibn Hazm, al-Thawq al-Hamamat fi al-Ilfat wa al-Ullaf (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977), hlm. 165166-. 29 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... 41 di samping berguru secara tersendiri dalam bidang tertentu. Gurunya yang pertama adalah Ahmad Ibn Jazur.30 Sedangkan mengenai Ibn Qayyim al-Jawziyah, ia lahir di Damaskus pada 23 Rajab 751 H (26 September 1350). Tokoh yang memiliki nama lengkap Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar ini adalah seorang pakar dalam bidang fiqh, sastra Arab, kalam dan hadis, yang juga dikenal sebagai penganut mazhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang pengelola (qayyim) madrasah al-Jawziyah di Damaskus, sebuah madrasah besar yang beraliran Hanbaliyyah, yang didirikan oleh Ibn al-Jauzi. Dari jabatan ayahnya itulah, sebutan Ibn Qayyim al-Jawziyah diadopsi. Pendidikan tingkat dasar dimulai Ibn Qayyim di Madrasah itu pula, dengan dibimbing langsung oleh sang ayah, dan beberapa guru yang lain, di antaranya adalah Abi ad-Da’im dan asy-Syirazi. Selama hidupnya, selain dikenal sebagai ulama yang cerdas, Ibn Qayyim juga dikenal sebagai imam tetap dan pengajar di Madrasah alJawzi dan juga di Madrasah as-Sadriyyah.31 Qiyās dalam Pandangan Ibn Hazm dan Ibn Qayyim Ibn Hazm selama ini selalu dianggap sebagai penerus dari mazhab yang diprakarsai Daud Al-Asbihani (202-270 H), yaitu mazhab tekstualis, yang lebih dikenal dengan istilah mazhab Zahiriyah, yang telah memainkan peran sangat besar dalam mengembangkan dan mematangkan ilmu uṣūl, yang meliputi uṣūl al-fiqh dan uṣūl ad-dien.32 Hal ini bisa ditelusuri dari fakta bahwa ada tiga dari empat dasar ilmu dalam buku al-‘Umdah karya Qadli Abd Jabar, al-Burhān karya Al-Juwaini, dan al-Mu’tamad kepunyaan Abi Hasan al-Basri, Untuk lebih lengkapnya, riwayat Ibn Hazm ini dapat dibaca dalam, Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) cet. I, hal. 608. Bandingkan dengan, Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm; Biografi, Karya dan Kajiannya Tentang Agama-agama, terj. Halid al-Kaf (Jakarta: Lentera, 2001). 30 Untuk lebih lengkapnya, riwayat Ibn Qayyim ini dapat juga dapat dibaca dalam, Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi... hlm. 616. 31 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi, cet. VII (Dar Baidha’: Dar Nasyr AlMaghribiyah, 2000), hlm. 492. 32 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 42 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... yang kesemuanya ada pada masa Ibn Hazm. Sementara buku al-Mustasyfā-nya Al-Ghazali juga dianggap penting karena ia merupakan ringkasan dari ketiga buku tersebut. Dari sini dapat digolongkan bahwa bahwa buku Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām karya Ibn Hazm termasuk periode di atas. Selain itu, yang menarik dari buku terakhir ini adalah, kalau empat buku pokok di atas mengikuti pola yang digariskan Syafi’i, Hanafi, atau Maliki, maka Ibn Hazm justru menolak untuk ‘mengekor’ kepada sahabat-sahabatnya tersebut. Sebaliknya, ia bahkan telah membuat langkah maju dengan membuat metodologi baru yang berbeda sama sekali dengan pendahulunya. Kalau imam Syafi’i menjadikan empat pokok rujukan, yakni Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmā’, dan qiyās sebagai sumber hukum, maka dalam teori yang dikemukakan oleh Ibn Hazm, sumber-sumber yang bisa dijadikan dasar hukum hanya terbatas pada empat hal, yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijmā’, dan al-Dalīl. Teori dalīl yang ditawarkan Ibn Hazm sebagai ganti dari qiyās, adalah dengan menggunakan qiyās mantiqi yang mengandung dua premis yakni mayor dan minor. Lebih lanjut, dalam teori Ibn Hazm, salah satu dari dua premis tadi harus berupa nash, sedangkan lainnya bisa berupa ijmā’ atau halhal yang bersifat aksiomatik (badihiyyah).33 Pada titik ini dapat dilihat bahwa pengertian ijmā’ dalam versi Ibn Hazm tidak sama dengan pengertian ijmā ’dalam versi para pendahulunya. Ijmā’ versi kebanyakan para ahli ushul adalah konsensus ulama atas hukum yang tidak ada nashnya dengan ra’yu mereka atau dengan mengkiaskannya pada hukum yang telah ada nashnya. Sedangkan bagi Ibn Hazm, tak ada ijmā’ kecuali dari teks. Selanjutnya juga ia menambahkan bahwa tak ada jalan untuk mengetahui hukum-hukum agama tanpa menggunakan salah satu dari empat pokok–dasar yang telah Pada dasarnya, ad-dalīl adalah metode pemahaman terhadap sebuah naṣ, yang pada dasarnya (menurut ulama az-Zhahiri) tidak keluar dari naṣ atau ijmā. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pengembangan suatu naṣ atau ijmā’ melalui dilālah (petunjuk) secara langsung, tanpa mengeluarkan illat-nya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-dalīl tidak sama dengan qiyās, karena dalam qiyas diperlukan adanya kesamaan illat antara kasus asal dan kasus baru. Lihat, Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi... hlm. 609. 33 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 43 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... dia utarakan di atas-- yang kesemuanya kembali pada teks, di mana teks itu diketahui kewajibannya, dan dipahami artinya dengan akal.34 Ibn Hazm menggunakan teorinya yang baru ini dalam rangka menjawab problematika umat pada saat itu, yaitu ketika krisis moral dan krisis sosial melanda begitu hebatnya, dan para fuqaha dipandangnya justru menjadi support dan legitimator penguasa akan kondisi tersebut. Menurutnya, teori qiyās dan istiḥsān sering diekploitasi oleh para ulama demi kepentingan sekelompok golongan.35 Terlepas apakah metode Ibn Hazm masih relevan atau tidak untuk konteks kekinian, tetapi harus diakui bahwa ia telah memberikan solusi alternatif dalam menjawab problematika umat dengan metode barunya yang dibutuhkan pada zamannya. Sedangkan Ibn Qayyim (dalam masalah qiyās), menerimanya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dalam qiyās, Ibn Qayyim berpegang pada surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa al-Ash’ariy. Dalam surat itu Umar menyuruh untuk memahami hukum yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadis, dengan melihat hukum semisal (yang sama illat nya) yang telah memiliki ketentuan hukum dalam nash.36 Selain itu, Ibn Qayyim juga melihat bahwa dalam al-Qur’an ditemukan pemakaian al-qiyās di banyak tempat, misalnya Allah menganalogikan kemungkinan kebangkitan kedua (akhirat) dengan kebangkitan pertama. Menurut Ibn Qayyim, jika kebangkitan pertama (yang bermula dari tiada) saja dapat terjadi, apalagi kebangkitan kedua (yang bermula dari ada). Ibn Qayyim menambahkan bahwa analogi semacam itu adalah analogi akal, dan memiliki banyak amṣāl dalam al-Qur’an, walaupun intinya tetap merupakan analogi akal, sebab dalam penyamaan dua hal tersebut, misalnya, Allah juga menyebutkan kesamaan sifat-sifatnya.37 Menurut Ibn Qayyim, itulah hakikat qiyās, yakni mempersamakan hukum dua masalah, karena adanya kesamaan illat-nya. 34 Al-Ihkam, dikutip dari Abid jabiri. Lihat, Ibid., hlm. 492. 35 Abdul Halim ‘Uweis, Ibn Hazm.... hlm. 88. 36 Ibn Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid I (t.k.: Dar al-Jail, 1972), hlm. 6768-. 37 Ibid., hlm. 101. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 44 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Di samping itu, ditemukan juga dalam banyak ayat al-Qur’an, bahwa Allah menyebutkan illat atau sifat-sifat dalam suatu masalah yang cocok untuk ditetapkan hukum karena keberadaannya (al-Ḥukum Yadur Ma’a al-Illatih Wujūdan wa Adaman), di mana keberadaannya itu dimaksudkan agar setiap masalah yang dimilikinya ditetapkan padanya hukum yang sama. Ibn Qayyim menganalisis bahwa inilah bukti kalau al-Qur’an membenarkan qiyās. Dalam berdalil dengan qiyās, Ibn Qayyim menerima Qiyās al-Tard dan Qiyās al-’Aks. Yang pertama ialah penetapan hukum masalah asal (ḥukm alaṣl) pada masalah cabang (ḥukm al-far’) karena adanya kesamaan illat pada keduanya, dan disebut qiyās al-tard karena hukumnya diterapkan (yattarid) pada semua masalah yang memiliki illat yang sama. Sedangkan yang kedua adalah penetapan kebalikan dari hukum masalah asal kepada masalah cabang karena adanya kebalikan (Illah al-Aṣl) pada masalah cabang tersebut. Selain itu, ia sangat meyakini bahwa semua illat dapat digunakan untuk mengembangkan hukum Islam, dan syariat tidak ada yang bertentangan dengan qiyās.38 Dalam beberapa bidang, pendapat-pendapat Ibn Qayyim memiliki banyak kesamaan dengan pendapat-pendapat asy-Syafi’i, walaupun ia adalah penganut mazhab Hanbali. Dalam bidang ijmā’ misalnya, Ibn Qayyim sependapat dengan Syafi’i, dengan mengutarakan pendapat bahwa ijmā’ yang dapat diterima hanyalah ijmā’ sahabat.39 Atas dasar inilah Ibn Qayyim menyerukan agar umat Islam selalu bisa memanfaatkan akalnya untuk mengungkap rahasia-rahasia hukum Islam. Sebaliknya, ia sangat mengecam taqlīd, yang menurut dia, akan dapat mematikan potensi dan akan membawa umat Islam pada posisi ketertinggalan. Lihat, Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi..., hlm. 608. 38 39 Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi... hlm. 618. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... 45 Penutup Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, pemikiran-pemikiran qiyās Ibn Hazm di atas dapat dilihat sebagai gambaran atau konsep mazhab adz-Dzahiri secara umum, dan khususnya kalangan ulama Syi’ah. Bila ditelaah lebih jauh, konsep-konsep Ibn Hazm itu akan sangat sulit diikuti oleh kalangan masyarakat, sebab ahli Fiqh Andalusia itu menganggap bahwa al-Qur›an telah final, dan penggunaan ra’yu untuk menginterpretasikannya adalah sesuatu yang dilarang secara mutlak. Hal ini tentu sarat dengan tindakan memustahilkan perubahan dan perkembangan yang secara cepat terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang tentunya meniscayakan lahirnya hukum-hukum syar’i baru. Sekadar contoh, dengan model berpikir demikian, mampukah Ibn Hazm merumuskan status hukum talak via Short Message Service (SMS)? Padahal teknologi SMS baru muncul belakangan? Ini tentu menjadi dilema bagi hukum Islam, dan jikalau demikian, hukum Islam akan jalan di tempat, dan pada akhirnya akan ditinggalkan karena dianggap tidak mampu lagi menjadi pijakan. Bila demikian, bukankah hal ini dengan sendirinya mengingkari universalitas dan sifat keajegan hukum Islam? Sedangkan pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim, sangat terasa menarik dan terkesan lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Namun demikian, keliberalan Ibn Qayyim dalam menggunakan akal (dalam rangka mencari hukum-hukum atas sesuatu yang baru) juga perlu disikapi dan direspons secara bijak. Karena, tanpa adanya kendali, penggunaan akal yang semaumaunya dalam ranah hukum Islam juga akan dapat melunturkan kemurnian ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana yang menjadi kekhawatiran Ibn Hazm. Dengan demikian, seharusnya ada langkah seimbang harus diambil oleh umat Islam, yakni menggabungkan pendapat Ibn Hazm dan pandangan Ibn Qayyim, yang berarti umat Islam akan selalu tanggap atas tuntutan zaman, namun tidak tercerabut dari akar, yang akan membuat ajaran Islam dapat terus menjadi raḥmatan li al-‘ālamīn. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 46 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Daftar Pustaka A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Abid al-Jabiri, Muhammad, Bunyat al-Aql al-Arabi, Dar Baidha’: Dar Nasyr Al-Maghribiyah, 2000. Abu Zahrah, Muhammad, Uṣūl al-Fiqh, t.p.: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th. Achyar, Muhammad, “Pintu Ijtihad yang Terbuka”, Jurnal al-Afkar, Vol. 2 tahun 1998. al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad, al-Mustasyfā fī Ilm al-Uṣūl, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971. al-Hamawy, Yaqut, Mu’jam al-‘Ubadā’, Kairo: Dar al-Ma’mun, t.th. Ali Himayah, Mahmud, Ibnu Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya tentang Agama-agama, Terj. Halid al-Kaf, Jakarta: Lentera, 2001. al-Jawziyah, Ibn Qayyim, I’lām al-Muwaqqi’īn, jilid I, t.k.: Dar al-Jail, 1972. al-Maliki, Muhammad Alwi, Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas, Terj. Abdul Mustaqim, Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003. al-Munawar, Said Agil Husein, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serta Rekayasa Teknik Genetika dalam Perspektif Hukum Islam, Tarjikh, edisi ke-I, Desember 1996. Al-Shaghir, Abd Majid, Al-fikr al-Uṣūly wa Isykāliyyat al-Sulṭah al-Ilmiyyah fī alIslām, Beirut: Dar al-Muntakhab al-Arabi, 1994. al-Subki, Tajuddin ‘Abdul Wahab, Jam’u al-Jawāmi’, Beirut: Dar al-Fikr, 1974. al-Zuhaili, Wahbah, al-Wasīṭ fī Uṣūl al-Fiqh al-Islāmiy, Damaskus: Dar alKitab, 1978. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 47 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... ash-Shiddiqy, Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Dahlan, Abdul Aziz (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996. Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamabad: Islamic Research Institute, 1988. Hazm, Ibn, al-Thawq al-Hamamat fī al-Ilfat wa al-Ullaf, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1977. Hazm, Ibn, Al-Muḥalla, Beirut: Maktabah at-Tijadi, t.th. Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Uṣūl al-Fiqh, Kuwait: an-Nashie, 1977. Mahmasani, Subhi, Filsafat Hukum dalam Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981. Minhaji, Akh., “Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam; Ijtihad Baru tentang Posisi Minoritas dan Non-Muslim”, dalam, Tim Editor, Antologi Studi Islam: Teori & Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000. Nasr, Sayyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Unwin Paperbacks, 1979. Qudamah, Ibn, Rauḍah al-Nadkir wa Jannah al-Munaḍir, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1978. Sharaf al-Din, Abd. Al-Azim Abd al-Salam, Ibn Qayyim al-Jawziyah; Asruh wa Manhajuh wa Arāuh fī al-Fiqh wa al-Aqāid wa al-Tasawwuf, Kuwait: Dar al-Qalam, 1984. Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama. 1986 Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013 48 Hardi Putra Wirman: Problematika Pendekatan Analogi ..... Uweis, Abdul Halim, Ibn Hazm al-Andalusia, t.k.: Al-Zahra lil I’lam al-Arabi, 1988. Zubair, Najih Maimun, “Catatan Editor”, dalam Muhammad Alwi alMaliki, Syariat Islam: Pergumulan Teks dan Realitas, Terj. Abdul Mustaqim, Yogyakarta: el-SAQ Press, 2003. Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47, No. 1, Juni 2013