BAB II LANDASAN TEORI PENELITIAN A. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya bekerja. Menurut Rivai (2005:475) kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Luthans (Almigo, 2004) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah ungkapan kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan manfaat bagi organisasi, yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja sudah memenuhi apa yang dianggap penting. Kepuasan kerja adalah hasil dari perbedaan antara imbalan yang dianggap pantas (yang diharapkan), dengan imbalan yang sesungguhnya diperoleh. Ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka mempunyai motivasi untuk berkerja yang tinggi, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah 10 11 mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaan dan tidak puas (Herzberg, 1959). Davis (1995: 105), menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan perasaan senang dan tidak senang yang relatif, yang berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku. Locke (1969) mengemukakan bahwa : “job satisfaction is the appraisal of one’s job as attaining or allowing the attainment of one’s important job values, providing these values are congruent with or help fulfill one’s basic needs”. Kepuasan kerja adalah penilaian terhadap pekerjaan seseorang sebagai pencapaian satu nilai-nilai tugas penting, dimana nilai-nilainya dapat membantu memenuhi kebutuhan dasar seseorang. Howell dan Dipboye (Munandar, 2001: 350) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat suka tidak suka tenaga kerjanya terhadap aspek dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, kepuasan mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Wexley dan Yukl (Mangkunegara, 2005: 117) mengemukakan bahwa: “job satisfaction is the way an employee feels about his or her job”. Kepuasan kerja adalah cara karyawan merasakan dirinya atau pekerjaannya. Dapat diartikan juga bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang 12 berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi. Dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis. 2. Teori - Teori Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yulk ( 1977 ) dalam bukunya yang berjudul Organisational behaviour And Personnel Psychology halaman 99 yang dikutip Moch. As’ad ( 1995 : 105 ), pada dasarnya teori – teori tentang kepuasan kerja yang lazim dikenal ada tiga macam yaitu : a. Discrepancy theory Discrepancy menjelaskan theory yang dipelopori oleh Porter bahwa kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih apa yang seharusnya diinginkan dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke dalam moch. As’ad (1995 : 105 ) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Orang akan puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang 13 diinginkan terdapat maka orang “discrepancy”, akan menjadi lebih puas lagi walaupun tetapi merupakan positif discrepancy. Sebaliknya, semakin jauh dari kenyataan yang dirasakan itu dibawah standar minimum sehingga menjadi negatif discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. b. Equity theory Equity theory dikembangkan oleh Adams (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zaleznik (1958) dikutip dari Locke (1969). Dalam equity theory, kepuasan kerja seseorang tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas situasi. Perasaan keadilan atau ketidakadilan atas suatu situasi diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Menurut teori ini, elemen - elemen dari equity ada tiga yaitu : input, out comes, dan comparation person (Wexley dan Yulk, 1977) dalam bukunya Moch. As’ad (1995:105). Yang dimaksud dengan input adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/ karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman kerja, dan kecakapan. Out comes adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/ karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya, seperti gaji, status, symbol, dan penghargaan. Comparation person adalah dengan membandingkan input, out comes terhadap orang lain. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi 14 menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Akan tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan, akan menimbulkan ketidakpuasan (Moch. As’ad 1995 : 105 ). Kelemahan dari teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan kerja seseorang juga ditentukan oleh individual differences (misalnya pada waktu orang melamar kerja apabila ditanya tentang besarnya upah/ gaji yang diingnkan). Selain itu, tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi sengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Locke,1969) yang dikutip oleh Moch. As’ad (1995 : 105) c. Two factor teory Menurut two factor theory, kepuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan merupakan suatu variable kontinyu. Herzberg dalam Moch. As’ad (1995:105) membagi situasi yang mempengaruhi perasaan seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfiers atau motivator yang terdiri dari prestasi pengakuan, tanggungjawab. Dan yang kedua yaitu kelompok sebagai sumber ketidakpuasan atau dissatisfiers yang terdiri dari kerja, upah atau gaji, hubungan antar karyawan/ pegawai. prosedur 15 3. Faktor – Faktor Penentu Kepuasan Kerja Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang faktor-faktor penentu kepuasan kerja. Harold E. Burt dalam bukunya Moh. As’ad (1995:112) mengemukakan pendapatnya tentang faktor - faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja antara lain : a) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan antara pimpinan dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial diantara karyawan, sugesti dari teman kerja, emosi dan situasi kerja. b) Faktor individual, antara lain sikap kerja seseorang terhadap pekerjaannya, umur orang sewaktu bekerja, serta jenis kelamin karyawan. c) Faktor - faktor dari luar (ekstern ) antara lain keadaan keluarga karyawan, rekreasi, pendidikan (training, up grading dan lainlain). Menurut pendapat Moh. As’ad (1995:115), faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain : a) Faktor psikologis, merupakan kejiwaan pegawai faktor yang berhubungan dengan yang meliputi minat, ketentraman kerja, sikap terhadap kerja, perasaan kerja. b) Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik pegawai, meliputi jenis pekerjaan, 16 pengaturan waktu kerja, perlengkapan kerja, sirkulasi udara, kesehatan pegawai. c) Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan pegawai, yang meliputi sistem penggajian, jaminan sosial, besarnya tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan lain-lain. Menurut Luthans (1998:145-146) faktor-faktor penting yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu : a) Pekerjaan Unsur ini menjelaskan pandangan karyawan mengenai pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, melalui pekerjaan tersebut karyawan memperoleh kesempatan untuk belajar, dan memperoleh peluang untuk menerima tanggung jawab. Menurut Robbins (2001:149) “karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaanpekerjaan yang memberi mereka kesempatan menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja.…”. Adanya kesesuaian pekerjaan dengan ketrampilan dan kemampuan karyawan diharapkan mampu mendorong karyawan untuk menghasilkan kinerja yang baik. 17 b) Upah atau gaji, yaitu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari upah atau gaji. Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan”. Semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat kemungkinan karyawan tersebut melakukan perbandingan sosial dengan karyawan bandingan yang sama di luar perusahaan. Jika gaji yang diberikan perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan gaji yang berlaku di perusahaan yang sejenis dan memiliki tipe yang sama, maka akan timbul ketidakpuasan kerja karyawan terhadap gaji. Oleh karena itu gaji harus ditentukan sedemikian rupa agar kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan) merasa sama-sama diuntungkan. Karena karyawan yang merasa puas dengan gaji yang diterimanya, maka dapat menciptakan kepuasan kerja yang diharapkan berpengaruh pada kinerja karyawan (Robbins : 2001). c) Kesempatan promosi yaitu keadaan kesempatan untuk berprestasi. Promosi akan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang meningkat. Apabila promosi dibuat dengan cara yang adil diharapkan mampu memberikan kepuasan kepada karyawan (Robbins : 2001). 18 d) Penyelia atau pengawasan kerja yaitu merupakan kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan dukungan. e) Rekan kerja yaitu sejauhmana rekan kerja bersahabat dan berkompeten. Rekan kerja yang bersahabat, kerjasama rekan sekerja atau kelompok kerja adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja secara individual. Sementara kelompok kerja dapat memberikan dukungan, nasehat atau saran, bantuan kepada sesama rekan kerja. Kelompok kerja yang baik mambuat pekerjaan lebih menyenangkan. Baiknya hubungan antara rekan kerja sangat besar artinya bila rangkaian pekerjaan tersebut memerlukan kerja sama tim yang tinggi. Tingkat keeratan hubungan mempunyai pengaruh terhadap mutu dan intensitas interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok. Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para pekerja lebih puas berada dalam kelompok. Kepuasan timbul terutama berkat kurangnya ketegangan, kurangnya kecemasan dalam kelompok dan karena lebih mampu menyesuaikan diri dengan tekanan pekerjaan. f) Kondisi kerja Apabila kondisi kerja karyawan baik (bersih, menarik, dan lingkungan kerja yang menyenangkan) akan membuat mereka mudah menyelesaikan pekerjaannya. 19 B. Disiplin Kerja 1. Pengertian Disiplin Kerja Disiplin merupakan kata yang sering diartikan sebagai ketentuan berupa peraturan-peraturan yang secara eksplisit perlu juga mecakup sangsi-sangsi yang akan diterima jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk lebih jelasnya penulis akan memberikan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli. Disiplin kerja adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan perusahaan/ lembaga dan norma sosial yang berlaku (Hasibuan, 2001 : 193). Disiplin kerja adalah suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya (Gibson et. al, 2001: 188). Menurut Wursanto (1984:108), disiplin kerja yaitu keadaan yang menyebabkan / memberikan dorongan kepada pegawai untuk berbuat dan melakukan segala kegiatan sesuai dengan norma-norma / peraturan yang telah ditetapkan. 20 Dari beberapa pengertian yang diungkapkan di atas tampak bahwa disiplin pada dasarnya merupakan usaha dari manajemen organisasi untuk mendorong agar para anggota organisasi dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi, yang di dalamnya mencakup: (1) adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan; (2) adanya kepatuhan para pengikut; dan (3) adanya sanksi bagi pelanggar. 2. Tipe – Tipe Disiplin Kerja T. Hani Handoko (1994:208) membagi disiplin kerja menjadi 3 yaitu: a) Displin preventif yaitu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan agar mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan dapat dicegah. b) Disiplin korektif yaitu kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan yang mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif sering berupa suatu bentuk hukuman dan disebut tindakan pendisiplin. Contohnya dengan tindakan skorsing terhadap karyawan. c) Disiplin progresif yaitu kegiatan memberikan hukuman-hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berulang. Tujuan dari disiplin progresif ini agar karyawan untuk mengambil tindakan-tindakan korektif sebelum mendapat hukuman yang lebih serius. Contoh dari tindakan disiplin progresif antara lain: 21 teguran secara lisan oleh atasan, teguran tertulis, skorsing dari pekerjaan selama beberapa hari, diturunkan pangkatnya, dan terakhir dipecat. 3. Faktor-faktor Disiplin Kerja Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukan perilaku jika dilihat dari formula Kurt Lewin adalah interaksi antara faktor kepribadian dan faktor lingkungan (situasional). a. Faktor Kepribadian Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang diajarkan atau ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem nilai akan terlihat dari sikap seseorang. Sikap diharapkan akan tercermin dalam perilaku. Perubahan sikap ke dalam perilaku terdapat 3 tingkatan menurut Kelman (Brigham, 1994): 1) Disiplin karena kepatuhan Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat disiplin kerja 22 tidak tampak. Contoh: pengendara sepeda motor hanya memakai helm jika ada polisi. 2) Disiplin karena identifikasi Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan seagai pusat identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan-aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas profesional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka disiplin kerja akan menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya. 3) Disiplin karena internalisasi Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena karyawan mempunyai sistem nilai pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai disiplin diri. Misalnya: walaupun dalam situasi yang sepi di tengah malam hari ketika ada lampu merah, si sopir tetap berhenti. Walaupun tergeletak uang di atas meja dan si majikan sedang pergi, si pembantu tidak mengambil uang. 23 b. Faktor Lingkungan Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar yang terus-menerus. Proses pembelajaran agar dapat efektif maka pemimipin yang merupakan agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil bersikap positif, dan terbuka. Konsisten adalah memperlakukan aturan secara konsisten dari waktu ke waktu. Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah sistem aturan tersebut. Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membeda-bedakan. Bersikap positif dalam hal ini adalah setiap pelanggaran yang dibuat seharusnya dicari fakta dan dibuktikan terlebih dulu. Selama fakta dan bukti belum ditemukan, tidak ada alasan bagi pemimpin untuk menerapkan tindakan disiplin. Dengan bersikap positif, diharapkan pemimpin dapat mengambil tindakan secara tenang, sadar, dan tidak emosional. Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya adalah menanamkan nilai-nilai. Oleh karenanya, komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini transparansi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk di dalamnya sanksi dan hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan. 24 4. Indikator Disiplin Kerja Menurut Soejono (1997 : 67) ada beberapa indikator disiplin kerja, antara lain : a) Ketepatan waktu Para pegawai datang ke kantor tepat waktu, tertib dan teratur, dengan begitu dapat dikatakan disiplin kerja baik. b) Menggunakan peralatan kantor dengan baik. Sikap kantor, hati - hati dapat dalam menggunakan peralatan menunjukkan bahwa seseorang memiliki disiplin kerja yang baik, sehinga peralatan kantor dapat terhindar dari kerusakan. c) Tanggung jawab yang tinggi. Pegawai yang senantiasa menyelesaikan tugas yang di bebankan kepadanya sesuai dengan prosedur dan bertanggungjawab atas hasil kerja, dapat pula dikatakan memiliki disiplin kerja yang baik. d) Ketaatan terhadap aturan kantor. Pegawai memakai seragam kantor, menggunakan kartu tanda pengenal/ identitas, membuat ijin bila tidak masuk kantor, juga merupakan cerminan dari disiplin yang tinggi. 25 C. Kerangka Pikir Dalam suatu organisasi, sumber daya manusia dalam hal ini adalah para karyawan yang bekerja harus memiliki pikiran, perasaan dan keinginan yang dapat mempengaruhi sikap-sikapnya terhadap pekerjaannya. Untuk itu sikap-sikap positif dari setiap karyawan harus selalu diperhatikan oleh para penyelia dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu sikap-sikap positif yang harus diperhatikan itu adalah kepuasan kerja karyawan. Menurut Rivai (2005:475) kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Menurut Herzberg (1959), ciri perilaku pekerja yang puas adalah mereka yang mempunyai motivasi untuk berkerja yang tinggi, mereka lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja dan malas dengan pekerjaan dan tidak puas. Karyawan yang malas erat hubungannya dengan disiplin. Disiplin kerja pegawai merupakan faktor yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan organisasi. Menurut Soegeng Prijodarminto (1992) bahwa disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk 26 melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, ketenteraman, ketearturan, dan ketertiban. Menurut Rivai (2005:443) kedisiplinan merupakan fungsi operatif manajemen sumber daya manusia yang terpenting. Semakin baik disiplin karyawan pada sebuah perusahaan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapai. Sebaliknya tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi perusahaan mencapai hasil yang maksimal. Maka berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui gambaran kepuasan kerja dan disiplin kerja pada karyawan. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui bagaimana interaksi antara kepuasan kerja dan disiplin kerja. Selanjutnya alur kerangka berpikir tersebut dituangkan dalam bagan berikut ini: Bagan 2.1 Kerangka Pikir Kepuasan kerja Disiplin Kerja