BAB II LANDASAN TEORI II.A. Penyesuaian Diri terhadap Pensiun II.A.1. Penyesuaian diri Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Menurut Martin dan Poland (1980), penyesuaian diri merupakan proses mengatasi permasalahan lingkungan yang berkesinambungan Bauserman (2002) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu keadaan untuk mengatasi suatu masalah dan kondisi yang dihadapi. Penyesuaian diri terbagi menjadi dua, yakni pertama, penyesuaian perilaku, yaitu penyesuaian diri yang berdasarkan prilaku inidividu dalam menyesuaikan diri. Kedua, penyesuaian emosional, yakni menyesuaikan diri dari lingkungan dan kondisi berdasarkan emosi dan psikologis individu tersebut. Menurut Corsini (2002) penyesuaian diri merupakan modifikasi dari sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan lingkungan secara efektif. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mengatasi tekanan kebutuhan dan frustasi dengan cara mengubah tingkah laku ke arah yang lebih baik antar dirinya dengan lingkungan. Universitas Sumatera Utara II.A.2. Aspek-aspek penyesuaian diri Menurut Mu’tadin (2002), pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek, yakni: a. Penyesuaian pribadi Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungannya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekuarangannya, serta mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan dan tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi yang dialaminya. Sebaliknya, kegagalan dalam penyesuaian pribadi ditandai dengan guncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib, yang disebabkan adanya kesenjangan antara individu dengan tuntutan lingkungan. Hal ini menjadi sumber konflik yang terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk merealisasikannya, individu perlu melakukan penyesuaian diri. b. Penyesuaian sosial Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Dalam masyarakat terjadi proses saling mempengaruhi. Berdasarkan proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial, proses ini dikenal sebagai proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat disekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman Universitas Sumatera Utara atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu sendiri. Apa yang diserap atau yang dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial, individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok. Hal ini merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk bertahan dan mengendalikan diri. Berkembangnya kemampuan sosial ini berfungsi sebagai pengawas yang mengatur kehidupan sosial. Mungkin inilah yang oleh Freud disebut sebagai super ego, yang berfungsi untk mengendalikan kehidupan individu dari sisi penerimaan terhadap pola perilaku yang diterima dan disukai masyarakat, serta menolak hal-hal yang tidak diterima masyarakat. II.A.3. Teori-teori penyesuaian diri Ada dua teori umum yang mengemukakan bagaimana individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Hurlock, 1996), yaitu: Universitas Sumatera Utara a. Teori aktivitas atau teori kontinuitas Menurut teori ini, baik pria maupun wanita seharusnya tetap mempertahankan berbagai sikap dan kegiatan mereka semasa usia madya selama mungkin dan kemudian mencari kegiatan pengganti untuk menggantikan kegiatan yang harus mereka tinggalkan apabila mereka pensiun. b. Teori pelepasan atau teori peran Individu secara sukarela atau tidak membatasi keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan. Mereka membentuk hubungan langsung dengan orang lain, tanpa terpengaruh dengan pendapat orang lain. II.A.4. Penyesuaian diri lansia terhadap pensiun Lansia (lanjut usia) atau seseorang yang mengalami usia tua merupakan periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah ‘beranjak jauh’ dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh semangat (Hurlock, 1996) Hurlock (1996) menyatakan bahwa tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi: 1. Usia lanjut dini, yang berkisar usia 60 sampai 70 tahun 2. Usia lanjut, yang berkisar antara usia 70 sampai masa akhir kehidupan. Individu dalam usia 60 tahun biasanya digolongkan sebagai usia tua, yang berarti antara sedikit sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia 70 tahun (Hurlock, 1996) Hurlock (1996) menyatakan bahwa pensiun merupakan pengunduran diri individu dari aktivitas sehari-hari dan kebanyakan lansia memandang pensiun Universitas Sumatera Utara sebagai masa kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya yang sudah tidak berguna dan tidak kompeten lagi. Schwartz (dalam Hurlock, 1996) menyebutkan bahwa pensiun dapat merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup baru, yang menyangkut perubahan peran, nilai dan perubahan keseluruhan pola hidup. Santrock (1998) mengungkapkan bahwa pensiun merupakan masa penyesuaian yang mengakibatkan pergantian peran, perubahan dalam interaksi sosial dan terbatasnya sumber finansial. Pria yang merasa pekerjaan sebagai hidup dan identitas mereka akan merasa kehilangan saat pensiun tiba. II.A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuian diri terhadap pensiun Solinge dan Henkens (2005) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap pensiun yaitu: 1. Self-efficacy, yaitu persepsi diri akan kemampuan mengatasi sesuatu perubahan atau masalah. 2. Faktor keluarga, yaitu dukungan sosial, jumlah anak, dan peran dalam keluarga. 3. Tuntutan lingkungan, yaitu persepsi lingkungan akan dirinya yang sudah tidak mampu lagi. 4. Kecemasan pensiun, yaitu kesehatan yang buruk, keuangan, status sosial dan ada tidaknya konflik keluarga. II.B. Self-Esteem Self-esteem atau harga diri merupakan evaluasi diri seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia Universitas Sumatera Utara (Christia, 2007). Menurut Larsen dan Buss (2008), harga diri merupakan apa yang kita rasakan berdasarkan pengalaman yang kita peroleh selama menjalani hidup. Respati dkk (2006) juga mengungkapkan bahwa harga diri merupakan cara individu melihat gambaran diri sendiri, yang terbentuk berdasarkan pemikiranpemikiran individu dari interaksinya dengan orang lain. Coopersmith (dalam Handayani dkk, 1998) menambahkan bahwa self-esteem merupakan proses evaluasi diri seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia. Self-esteem yang tinggi ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuan yang jelas, selalu berpikir positif, mampu untuk berinteraksi sosial, solving problem yang tinggi, serta mampu menghargai diri sendiri (Robson, 1988; Maria, 2007). sedangkan self-esteem yang rendah ditandai dengan rasa takut, cemas, depresi, dan tidak percaya diri (Robson, 1988; Maria, 2007). Self-esteem memiliki pandangan yang berbeda antara laki-laki dan wanita mengenai penilaian diri. Crain (dalam Respati dkk, 2006) mengemukakan bahwa laki-laki akan memiliki self-esteem lebih tinggi bila memiliki fisik yang diinginkan, sedangkan wanita lebih kearah tingkah laku ataupun bersosialisasi akan meningkatkan nilai harga diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan gambaran yang mengenai individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, baik dari pengalaman yang dialaminya maupun pengalaman yang dipelajari dari orang lain. Universitas Sumatera Utara II.B.1. Aspek-aspek self-esteem Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem, menurut Brown (dalam Christia, 2007) terdapat 3 aspek, yakni a. Global self-esteem merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi b. Self-evaluation merupakan bagaimana cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya ada seseorang yang kurang yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem sosial yang tinggi. c. Emotion adalah keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau menurunkan self-esteem mereka. Misalnya, seseorang memiliki self-esteem yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self-esteem yang rendah setelah mengalami perceraian. II.C. Pengaruh Self-Esteem Terhadap Penyesuaian Diri Pensiun pada Lansia Calhoun dan Acocella (1990) juga menyatakan bahwa penyesuaian diri tidak hanya tergantung dari situasi individu itu saja, namun juga terdapat penilaian terhadap diri sendiri yang mempengaruhi bagaimana seseorang itu berperilaku. Rogers (dalam Calhoun & Acocella, 1990) mengungkapkan bahwa individu senantiasa berusaha untuk mencapai aktualisasi diri dengan cara menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada, dalam hal ini kunci menuju aktualisasi diri Universitas Sumatera Utara adalah konsep diri. Konsep diri sebagian besar merupakan hasil pengalaman kita dari masa kecil, baik dengan keluarga maupun lingkungan yang lebih luas. Moss dan Carr (2004) menambahkan bahwa terdapat hubungan antara penyesuaian diri baik fisik maupun psikologis dengan persepsi bagaimana individu alami, yang berupa hasil dari proses informasi dari orang lain dan lingkungan sekitar. Cigularova (2005) menyebutkan dalam penelitiannya mengenai penyesuaian diri terhadap lingkungan baru pada siswa-siswa internasional, bahwa terdapat hubungan positif antara penyesuaian diri individu dengan efikasi diri dan fleksibilitas. Menurut Solinge (2007), penyesuaian diri yang baik dipengaruhi oleh selfefficacy dan psychological well-being. Self-efficacy menurut Helm (2000) dipengaruhi bagaimana individu itu memandang diri sendiri.. II.D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Terdapat pengaruh positif self-esteem terhadap penyesuaian diri terhadap pensiun pada lansia. Semakin positif self-esteem seseorang, maka akan semakin tinggi tingkat penyesuaian diri, sebaliknya semakin negatif self-esteem seseorang, maka akan semakin rendah tingkat penyesuaian diri. Universitas Sumatera Utara