dampak pembangunan terhadap variasi iklim

advertisement
DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP VARIASI IKLIM
DI WILAYAH DKI JAKARTA
Ali Mas’at
Sub Bidang Website dan Internet
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Jakarta
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Wilayah DKI Jakarta merupakan kota yang sangat pesat mengalami perkembangan di
bidang industri, pembangunan fisik (gedung tinggi) dan juga pertumbuhan penduduknya. Hal ini
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perubahan karakteristik
permukaan fisik tanah dan akibat sampingan dari kegiatan tersebut adalah perubahan unsur
iklim. Adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi ini dapat menghambat gerakan angin.
Di kota besar sirkulasi angin tidak stabil, kemungkinan di sudut-sudut atau lorong-lorong terjadi
edy-edy dan juga turbulensi yang bergerak naik ke atas. Angin yang bergerak keatas ini akan
membawa partikel-partikel ( polutan, debu, asap kendaraan dan sebagainya) dan partikelpartikel ini berfungsi sebagai inti kondensasi. Pembangunan gedung-gedung yang berdinding
kaca juga akan memantulkan radiasi panas dari matahari, sehingga daerah sekitar gedung
ini akan mengalami peningkatan panas. Hal ini akan mengakibatkan siklus iklim terganggu.
Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya : Suhu udara di
o
wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0.17 C suhu di daerah Jakarta cenderung
o
o
lebih tinggi 0,7 C – 1.0 C di bandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng),
Kelembaban juga lebih kecil 3 % - 7 % dari pinggiran (rural), arah dan kecepatan angin juga
mengalami perubahan. Di Jakarta angin dengan kecepatan angin rata-rata 4 knots sering bertiup,
sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 6 knots jarang terjadi. Hal ini diakibatkan adanya
gedung-gedung tinggi yang menghambat kecepatan kecepatan angin, Jumlah curah hujan
tahunan di perkotaan (Kemayoran) adalah sebesar 2059 mm, sedangkan di Cengkareng adalah
sebesar 1622 mm dan di Pondok Betung sebesar 2895 mm. Hari hujan rata-rata bulanan di
Jakarta juga lebih banyak yaitu 16 hari hujan dan di Cengkareng terjadi hari hujan sebanyak 12
hari hujan serta di Pondok Betung 17 hari hujan.
Kata Kunci : pembangunan dan industri, unsur iklim, sirkulasi, radiasi, polutan.
1. Pendahuluan
Pembangunan
di
kota-kota
besar
menyebabkan perubahan suhu global yang
berakibat adanya perubahan variasi iklim.
Hal ini telah menggugah berbagai negara
untuk menangani masalah tersebut, tak
ketinggalan
juga negara Indonesia.
Khususnya di kota Jakarta yang telah
menjadi sorotan dunia yang seolah-olah
telah ikut menyebabkan perubahan iklim
dunia dengan segenap akibatnya. Berkaitan
dengan
itu
penulis
akan
memberi
sumbangan
pikiran dalam
bentuk
penelitian
secara literatur,
ingin
mengetahui seberapa jauh unsur iklim di
kota Jakarta telah mengalami perubahan.
Adanya pembangunan
yang pesat,
terutama gedung-gedung tinggi di seluruh
Indonesia khususnya di daerah Jakarta,
maka secara langsung maupun tidak
langsung akan
merubah karakteristik
permukaan fisik tanah. Salah satu akibat
sampingan dari kegiatan pembangunan di
kota-kota besar berbagai macam hal dapat
mempengaruhi perubahan unsur iklim.
Sebagai contoh, dengan didirikannya
gedung-gedung yang menjulang tinggi akan
mempengaruhi sirkulasi udara. Udara yang
biasanya mengalir/bergerak dengan lancar
karena tidak ada hambatan (kekasaran
kecil). Adanya
gedung-gedung
yang
menjulang tinggi ini dapat menghambat
gerakan angin. Di kota besar sirkulasi
angin tidak stabil, kemungkinan di sudutsudut atau lorong-lorong terjadi edy-edy
dan juga turbulensi yang bergerak naik ke
atas. Angin yang bergerak keatas ini akan
membawa partikel-partikel ( polutan, debu,
asap kendaraan dan sebagainya) dan
partikel-partikel ini berfungsi sebagai inti
kondensasi. Pembangunan gedung-gedung
yang
berdinding kaca
juga
akan
memantulkan radiasi panas dari matahari,
sehingga daerah sekitar gedung ini akan
mengalami
peningkatan
panas.
Pembangunan kota yang tak terkendali
secara terus menerus akan menyebabkan
sempitnya
lahan hijau dan pembuatan
jalan-jalan aspal atau pengera-san halaman
akan menghalangi perembasan air hujan ke
dalam
lapisan
tanah
serta
akan
mempercepat limpasan (run off) air
permukaan. Akibat sampingan lain dari
pengerasan jalan adanya penyerapan
panas yang lebih besar dari pada di lahan
hijau. Hal
ini mengakibatkan terjadinya
penguapan yang lebih besar apabila terjadi
hujan.
Gambar 1. Kepadatan penduduk dan motor
Pembangunan di Jakarta dari tahun ke
tahun begitu meningkat dengan pesatnya,
mengakibatkan pembuangan panas yang
cukup besar. Kota-kota besar pada
umumnya menjadi
penyebab terjadinya
partikel-partikel halus atau asap industri dan
kendaraan bermotor ke dalam lapisan
atmosfer. Dari gambaran tersebut maka
pembangunan
dan segala
aktivitas
manusia dapat merubah iklim di kota.
Kualitas perubahan unsur iklim ini perlu
dipantau secara terus menerus sehinggga
secara dini dapat diketahui perubahannya
setiap
saat.
Diperkirakan
perubahan
unsur iklim ini sudah di ambang batas jika
dibandingkan dengan daerah
pedesaan
(rural) yang masih alami lingkungannya. Hal
ini akan mengakibatkan siklus
iklim
terganggu, sehingga akan menyebabkan
kehidupan
dan lingkungan hidup ikut
terganggu. Pengkajian perubahan iklim di
kota-kota besar perlu dilakukan karena
adanya kecenderungan
iklim akan
mempengaruhi lingkungan hidup. “ Seorang
ilmuwan
Fukui
(1970)
dalam
eksperimennya
menyatakan
bahwa
pembangunan kota dapat menaikan suhu
lokal dalam kota dan kecepatan kenaikan
suhu
sebanding
dengan
kecepatan
pembangunan
kota.”
Beberapa
gas
buangan yang dimuntahkan ke dalam
atmosfer akan bertindak sebagai gas rumah
kaca yang transparan dengan radiasi
gelombang pendek matahari dan menyerap
radiasi gelombang panjang bumi sehingga
mengakibatkan pemanasan bumi semakin
meningkat. Hal ini juga mempengaruhi
variasi iklim di kota Jakarta. Seiring dengan
pesatnya pembangunan di kota Jakarta,
semakin banyak pula gas-gas polutan
sebagai hasil pembuangan industri dan
kegiatan manusia (misalnya : gas buangan
mobil, pabrik, pembakaran dan lain-lain).
Dari gas-gas polutan ini yang bertindak
sebagai inti-inti kondensasi ditambah
dengan adanya peristiwa konveksi dan
turbulensi di atas kota secara bersama
akan
mengakibatkan
meningkatnya
perawanan. Sehingga di kota curah
hujannya meningkat, akan tetapi karenya
adanya pola arah angin yang berbeda
cukup besar hujan kemungkinan bisa
terjadi jauh keluar kota mengikuti arah
angin. Jadi tak dapat di pastikan bahwa di
atas kota yang banyak terjadi awan tidak
selalu mempunyai
curah
hujan yang
banyak.
Hal
ini
amat
tergantung
keadaan/letak geografis dan keadaan mikro
kota tersebut.
2. Pembangunan Kota
2.1. Penduduk
Penduduk adalah orang - orang yang
mendiami suatu daerah tertentu dengan
segala aktifitasnya sehari-hari. Penduduk
kita bedakan menjadi dua yaitu daerah
perkotaan yang di sebut URBAN
dan
daerah pedesaan yang disebut RURAL.
Yang mempunyai batasan sebagai berikut :
1. Kepadatan penduduk :
Perkotaan = kepadatan penduduk >
300 orang / ha
Pedesaan = kepadatan penduduk <
100 orang / ha
2. Kegiatan Sehari-hari :
Perkotaan
: Banyak kegiatan yang
dilakukan
(komplek)
antara
lain
mengemudikan motor; bekerja pada
pabrik, berjalan serba pakai mobil dan
lain sebagainya yang kesemuanya itu
dapat menimbulkan perubahan suhu.
Pedesaan
: Kegiatan pedesaan pada
umumnya masih bersifat homogen atau
tetap yaitu antara lain; bertani, pengrajin dan
sebagainya yang kesemuanya itu tidak
banyak menimbulkan perubahan pada alam.
Peningkatan
jumlah
penduduk
mengakibatkan keanekaragaman aktivitas
dan ulah
penduduk kota yang pada
gilirannya baik secara langsung maupun
tidak
langsung dapat mempengaruhi
perubahan unsur iklim lokal atau iklim kota.
Salah
satu
usaha
PEMDA
yaitu
mengembangkan kota dengan harapan
dapat
menghambat
kenaikan
tingkat
kepadatan penduduk di daerah perkotaan.
Tetapi pengembangan kota menyebabkan
perubahan wajah kota, misalnya bangunan
tinggi, jalan aspal atau beton dan
sebagainya.
Perubahan wajah kota ini menyebabkan
perubahan unsur iklim di antaranya : suhu
udara, sirkulasi udara, dan mempercepat
limpasan air.
Jumlah penduduk kota Jakarta meningkat
dari
4.755.279 jiwa pada tahun 1971
sampai mencapai 8.937.600 jiwa pada
tahun 1990 dengan kenaikan jumlah
penduduk rata-rata 29.116 jiwa pertahun.
Perkotaan : Bangunan umum, bangunan
campuran, perktokoan, perubahan industri /
pergudangan,
pemukiman atau kebun
campuran dan lain-lain.
b. Struktur Bangunan :
Pedesaan
: Pertanian / lahan hijau
dengan pemukiman kepadatan rendah,
rekreasi, daerah pengaman pencegah
banjir.
Perkotaan
: Pemanfaatan
bagi
pengembangan
komersial
atau
perdagangan
dan
jasa,
daerah
pengembangan campuran industri dan
komersial, daerah pemerintahan dan
fasilitas umum, peruntukan khusus bagi
keperluan
pemerintah
dan
daerah
pengembangan industri.
Gambar 2. Peta penggunaan lahan tahun
1984
2.2. Lahan Hijau dan Lahan Perumahan
Definisi lahan hijau yaitu lahan atau tanah
yang diperuntukan hanya untuk
tumbuhtumbuhan yang bebas dari bangunan dan
sifatnya untuk kelestarian alam.Lahan
perumahan yaitu lahan yang telah di bangun
berbagai macam bangunan dan telah
dipakai/ditempati oleh manusia. Sebagai
tempat untuk melakukan aktifitas seharihari. Lahan yang ada di pedesaan dan di
perkotaan dapat dibedakan peruntukannya
sebagai berikut :
a. Penggunaan lahan
Pedesaan : Terdiri dari lahan-lahan yang
digunakan untuk kebun campuran, tanaman
jalur hijau dan pemakaman, sawah, rawa
dan tambak ikan, waduk serta tanah kosong
dan lain-lain.
Gambar 3. Peta penggunaan lahan tahun
2003
Kalau kita perhatikan perkembangan lahan
kota Jakarta yang di peroleh dari satelit
MSS (LAPAN) tahun 1984 dan pemetaan
penggunaan lahan tahun 2003 dapat
dijelaskan bahwa perkembangan perkotaan
Jakarta dan sekitarnya menunjukkan
perubahan penggunaan lahan yang cukup
besar. Pada gambar 1. menunjukan lahan
yang digunakan relatif masih sedikit dan
gambar 2. menunjukan adanya penggunaan
lahan
yang
besar
sehingga
lahan
hijau/kosong yang tersedia semakin sedikit.
Perkembangan pembangunan di Jakarta
sangat
pesat
sehingga
makin
mempersempit lahan hijau dan sekarang
lahan-lahan hijau telah banyak didominasi
dengan bangunan-bangunan dan jalan.
3. Unsur Iklim Perkotaan
3.1. Suhu Udara
Rata-rata suhu tahunan di kawasan Urban
(perkotaan) lebih besar 3 C dibandingkan
dengan kawasan pedesaan ( Rural ). Suhu
minimum lebih besar dari 1-2 C dan suhu
maksimum 1-3 C (menurut teori Landsberg
1981). Perbedaan ini tergantung pada
ukuran fungsi, kedudukkan kota itu sendiri
dan juga iklim makro kota tersebut
“Menurut Sunberg (1951) perbedaan suhu
perkotaan (urban) dan pedesaan (rural ) di
sebabkan karena adanya perbedaan dalam
pemakaian energi, penyerapan penukaran
bahang latent, golakan dan turbulensi.”
Materiel perkotaan memantulkan panas
lebih besar dan radiasi yang di pantulkan
sebagian besar juga ditahan oleh dinding
gedung atap-atap rumah dan lain-lain.
Disamping
itu
konduktifitas
materiel
perkotaan ( seperti beton ,batu, aspal dsb )
mempunyai kapasitas panas yang sangat
tinggi, sehingga panas matahari disimpan
pada siang hari dan di lepas pada malam
hari.
Sebaliknya
di
pedesaan
yang
permukaannya sebagian besar
tertutup
tumbuh-tumbuhan yang bertindak sebagai
pelindung terhadap panas matahari, pada
malam dan siang hari suhunya lebih rendah
dari perkotaan. Hal itu disebabkan karena
banyaknya sumber air (dalam tanah basah,
genangan, dll) sehingga banyak panas di
gunakan
untuk
evaporasi
dan
evapotranspirasi. Panas yang tersimpan
dalam uap air itu dikenal sebagai panas
latent. Kota juga merupakan sumber panas
sebagai hasil samping dari aktifitas
penduduknya (industri, transportasi , rumah
tangga dll ).
Secara umum suhu di kota lebih tinggi dari
desa , perbedaan ini makin tinggi pada
kondisi angin calm. Sebagai contoh yang
kontras antara suhu di kota london dengan
desa sekitarnya akan tampak bila kecepatan
angin < 6 m/dt dan pada cuaca cerah,
perbedaan suhu bisa mencapai 6 C namun
kecepatan angin bila > 11 m/ dt perbedaan
suhu tersebut akan hilang .
Sunberg (1951 ) di Upsala ( Swedia)
melakukan penelitian tentang peran elemen
meteorologi terhadap perbedaan suhu
antara desa dan kota. Hasil penelitian
menunjukan bahwa perawanan dan angin
merupakan dua faktor dominan. Secara
empiris Sunberg merumuskan perbedaan
suhu tersebut sebagi berikut :
T=
a  bn
V
Keterangan :
 T= Perbedaan suhu desa dan kota (C)
n = Perawanan dalam persepuluhan
v = Kecepatan angin (m/dt)
a,b = Konstanta yang sangat tergantung
dari
karateristik
kota
tertentu
( di Upsala
a=4.6 , b = 0.28 ).
Menurut Moran et. al. pada tahun 1973 (di
jelaskan dalam Owen 1980) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan
pulau panas yaitu :
1. Sumber-sumber penghasil panas di kota
lebih banyak dari pada di pedesaan
(berasal dari manusia, kendaraan,
industri dan lain-lain)
2. Banyak lahan-lahan bangunan (jalan,
gedung, rumah dan lain-lain) di kota
yang merupakan bahan pemancar
bahang(panas) yang lebih banyak
dibandingkan
dengan
tumbuhtumbuhan, kayu, danau dan sebagainya
di pedesaan.
3. Jumlah badan perairan ( danau, kolam
dan sebagainya ) di kota lebih sedikit
dari pada di pedesaan.
Adanya perbedaan distribusi suhu antara
kota (urban ) dan desa (rural) melahirkan
istilah “ Urban Heat Land “ menurut Georgi
1974 dan Landsberg (1981) menyatakan
perbedaan ini dapat dideteksi
dengan
adanya selisih suhu kota dan desa dengan
kecenderungan bahwa suhu kota lebih tinggi
(menurut Priece 1979). Biasanya perbedaan
suhu ini merupakan fungsi dari jumlah
populasi (P) semakin besar populasinya,
maka
tingkat perbedaan suhu akan
semakin
besar
(Landsberg
1981).
Persamaan untuk menentukan T (u - r)
dalam hubungan dengan populasi diberikan
sebagai berikut:
T ( u - r ) max = 3.06 log P - 6.78
(di Amerika utara)
T ( u - r ) max = 2.01 log P - 4.04
(di Eropa)
Dimana :
P = Populasi ,
u = Urban (kota),
r = Rural (desa)
Menurut sani (1975) hal ini penting harus di
ingat bahwa semua persamaan di atas
semata-mata hanya persamaan empiris dan
tidak
menjelaskan
proses
yang
menyebabkan
terjadinya
perbedaan
tersebut. Selain itu Ia juga mengingatkan
bahwa persamaan-persamaan itu di peroleh
berdasarkan anggapan bahwa hubungan
antara nilai perbedaan kota dengan desa
dalam persamaan ini adalah lurus.
Anggapan ini kurang tepat terutama dalam
keadaan angin kencang atau angin
perlahanan. Oleh karena persamaan persamaan tersebut tidak boleh digunakan
sebagai alat ramalan ataupun dianggap
sebagai pencerminan yang tepat keadaan
yang akan datang. Landsberg (1956) dan
Sani (1975 ) berpendapat, “Bahwa
perbedaan suhu bisa disebabkan oleh
iklim mikro, tofografi, dan kedudukan
tempat tersebut.” Kedudukan ini diperkuat
lagi menurut tingkat perkembangan kota
tersebut.
Tabel 1 unsur-unsur iklim dikawasan kota (Lansberg 1981) perbandingan kawasan desa.
Unsur iklim
Hujan :
 Jumlah hujan
 Jumlah hari hujan > 5 mm
Temperatur :
 rata-rata tahunan
 minimum musim dingin
 maksimum musim panas
Kecepatan angin :
 rata-rata tahunan
 tiupan yang amat kencang
 tenang / calm
Kelembaban :
 rata-rata
 musim dingin
 musim panas
Perbandingan kota dengan desa
5 - 15 % lebih banyak
10 % lebih banyak
0.5 - 3.0 C lebih tinggi
1 - 2  C lebih tinggi
1 - 3  C lebih tinggi
20 - 30 % kurang
10 - 20 kurang
5 - 20 % lebih
6 % kurang
2 % kurang
8 % kurang
3.2. Kecepatan dan Arah Angin
u=
3.2.1 Kecepatan Angin
Angin adalah udara rata-rata yang bergerak
dari tekanan tinggi ketekanan rendah.
Kecepatan angin perkotaan di pengaruhi
oleh parameter kekasaran (Zo) untuk
atmosfer netral, maka profil angin dekat
permukaan dapat di rumuskan oleh Speral
Achman sebagai berikut :
Z
u*
ln
k
Zo
Dimana :
u : Kecepatan angin pada ketinggian Z
u* : Kecepatan gesekan
k : Konstanta von karman ( 0.4 )
Z : Ketinggian
Zo : Kekasaran
Dari rumus tersebut semakin besar
kekasaran permukaan bumi maka semakin
angin itu akan semakin lambat daya
kecepatannya.
3.2.2
Arah Angin
Definisi arah angin adalah dari mana angin
berasal atau dari mana angin bertiup. Angin
perkotaan biasanya tidak stabil. Komposisi
bangunan di perkotaan merubah pola angin
baik dengan cara mekanik maupun termal

Cara mekanik : Keadaan kota yang
mana angin di hambat oleh gedunggedung yang akan menimbulkan
turbulensi dan sebagainya.
 Cara termal : Perbedaan suhu antara
kota dengan pedesaan.
Pada umumnya bangunan di perkotaan
akan menghambat kecepatan dan arah
angin sehingga mempertinggi turbulensi dan
merubah arah angin. Pada lorong-lorong
tertentu angin bertiup kencang. Namun pada
tempat-tempat lain terdapat kantungkantung dengan angin calm, pada sebuah
kota dapat terbentuk sirkulasi angin (mirip
angin darat/laut). Lihat gambar 3 dibawah
ini, karena suhu tidak segera disebarkan
yaitu terhambat
udara. Perbedaan kelembaban maksimum
7% pada bulan Januari dan 3 % pada bulan
Juli sampai September.
Menurut Oke (1974) menyatakan bahwa di
atmosfer juga terjadi neraca air dalam
bentuk lengas yaitu :
As = C + E - P - Ac
Dimana :
As
= Perubahan kelengasan
atmosfer netto
C = Lengas yang di lepaskan oleh
pembakaran
E = Evaporasi
P = Presipitasi
Ac = Polutan lengas horizontal netto
Apabila kota P meningkat, C meningkat, E
menurun sedangkan Ac sulit ditentukan.
Menurut Sani (1975) kecenderungan
kelembaban yang lebih rendah tidak hanya
oleh gedung-gedung maka akan dapat
menimbulkan hal sirkulasi seperti angin
laut/darat.
Pola sirkulasi atmosfer secara umum di
suatu kota menyerupai bentuk kubah debu.
Menurut hepotesa sistem angin di kawasan
kota bermula dari kondisi kota yang panas,
kemudian gelembung udara terangkat
keatas, kemudian juga angin sejuk dari luar
kota bertiup ke arah perkotaan (Landsberg
1981 ).
3.3. Kelembaban
Definisi Kelembaban (kelembaban relatif)
adalah perbandingan jumlah uap air yang
ada dalam satuan volume udara dengan
massa uap air yang di perlukan untuk
menjadi jenuh pada temperatur yang sama.
Secara umum kelembaban di daerah
perkotaan lebih kering dibandingkan dengan
di daerah pedesaan yaitu 6 % lebih kering
dari pada daerah pedesaan.( Landsberg
1981).
Menurut Zanella (1976) dan Landsberg
(1981) kota Parma yang mempunyai
penduduk 170.000 mempunyai panas yang
terjadi sebagai akibat dari aktifitas manusia
pada siang hari maupun pada malam hari
atau di dalam klimatologi dikenal dengan
0
istilah “heat is land “ rata-rata 1.4 C dan
kelembaban rata-rata 5 % dibandingkan
dengan
lapangan
disebabkan oleh suhu yang tinggi di kota
semata-mata akan tetapi juga disebabkan
limpasan air (run off) yang cepat. Selain itu
kurangnya tumbuh-tumbuhan yang ada,
menyebabkan penguapan yang terjadi
berbeda dengan dikawasan desa.
3.4. Awan
Awan berasal dari gelembung udara yang
mengandung uap air naik hingga mencapai
ketinggian tertentu, dimana suhu udara dan
kerapatan gelembung udara yang naik sama
dengan suhu dan kerapatan lingkungannya,
sehingga tidak dapat naik lagi. Awan
biasanya menjadi petunjuk yang baik dari
keadaan cuaca.
Perawanan dinyatakan dalam istilah luas
total langit tertutup awan, dalam persepuluh
(1/10) atau persen (%). Kawasan nol (0)
menunjukan langit cerah, sedangkan
kawasan 10 atau ( 100%) menunjukan langit
tertutup awan.
Awan dibedakan menjadi 3 jenis menurut
ketinggiannya yaitu :
a. Awan rendah : dibawah 2.000 meter
b. Awan menengah : antara 2.000 sampai
6.000 meter
c. Awan tinggi : lebih dari 6.000 meter.
Awan yang terbentuk di perkotaan
umumnya awan-awan konvektif karena
adanya aliran udara naik sebagai akibat
turbulensi.
antara lain menghasilkan populasi (Olett
willer 1974)
3.6. Perubahan Hydrologi
Definisi Hydrologi adalah ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan masalah air
yang sudah di tanah.
3.5. Curah Hujan
Definisi hujan adalah jatuhnya butiranbutiran air dari atmosfer setelah melalui
proses tertentu. Pada umumnya curah hujan
di kota meningkat dengan meningkatnya
polutan yang sekaligus bertindak sebagai
inti-inti kondensasi, hal ini juga disebabkan
oleh
bangunan
di
perkotaan
yang
menghambat kecepatan angin. Sehingga
hal ini dapat mempertinggi turbulensi dan
merubah arah angin. Pada lorong-lorong
tertentu angin bertiup kencang, namun pada
tempat lain terdapat kantung-kantung
dengan angin calm. Hal tersebut terjadi di
kota dapat membentuk sirkulasi angin yang
mirip dengan angin darat/laut.
Ada 3 ( tiga ) faktor yang menyebabkan
curah hujan dan awan di perkotaan berbeda
dengan pedesaan yaitu :
a. Konsentrasi inti kondensasi berlebih.
b. Turbulensi yang disebabkan oleh hasil
gesekan angin struktur-struktur di
kawasan kota.
c. Perolakan yang disebabkan oleh suhu
yang tinggi di kawasan kota.
Dari ke tiga faktor inilah yang menyebabkan
curah hujan di perkotaan lebih tinggi dari
pada di pedesaan.
Menurut Changnon (1976) dan Landsberg
(1981) menyatakan jenis hujan (hujan badai,
hujan biasa, hujan badai es) juga
mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Hal ini menunjukan kejadian hujan itu
mempunyai hubungan yang linier dengan
populasi kota dengan persamaan sebagai
berikut :
5
 % + = -5.92 = populasi x 10
Ada kecenderungan bahwa intensitas dan
curah hujan meningkat pada hari-hari kerja.
Di paris di laporkan pada hari kerja curah
hujan meningkat 45 %. Hal ini kemungkinan
di sebabkan oleh aktifitas industri yang
Tanah aspal
Tanah rumput
Gambar 4. Penyinaran cahaya matahari ke
permukaan bumi
Sebagian besar permukaan di Jakarta
sudah padat, kalau hujan air akan mengalir
(run off) dengan cepat. Air hujan ini tidak
dapat merembes kedalam tanah dan
penguapan jalan-jalan aspal ini pun cukup
besar di bandingkan dengan pedesaan.
4. Pembahasan
4.1. Perubahan Suhu
Perkembangan kota Jakarta yang begitu
pesat akan menyebabkan perubahanperubahan di segala bidang. Sebagai
contoh, pembangunan-pembangunan yang
berkembang dengan begitu cepat disertai
dengan aktifitas manusia yang secara terusmenerus akan mengakibatkan perubahan
wajah kota Jakarta.
Hal ini secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi unsur iklim di
Jakarta. Perubahan unsur iklim yang paling
mencolok adalah temperatur/suhu udara di
lapisan permukaan sampai pada ketinggian
tertentu di atas kota. Pada kota dengan
kecepatan
pembangunan
(
jumlah
penduduk, kendaraan bermotor, dan industri
lainnya)
yang
begitu
cepat
akan
menyebabkan kecepatan kenaikan suhu
meningkat. Pembangunan ini juga akan
menyebabkan lahan di Jakarta semakin
sempit, pengerasan lahan, debu-debu,
dan polusi udara (CO2 , NO2 , SO2) yang
dihasilkan oleh industri.
Jumlah penduduk yang besar secara tak
langsung akan menimbulkan panas. Panas
ini terjadi akibat kegiatan-kegiatan penduduk
yang berlangsung siang dan malam.
Seseorang yang melakukan pekerjaan pasti
akan mengeluarkan energi panas dan
didistribusikan kesekelilingnya. Kalau jumlah
penduduk yang melakukan kegiatan itu
dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam
areal/daerah yang merata di jakarta akan
semakin
banyak
pula
panas
yang
dihasilkan. Sehingga kenaikan jumlah
penduduk yang setiap tahunnya meningkat
akan diiringi dengan kenaikan suhu
walaupun hubungannya lemah.
Kenaikan suhu di Jakarta juga disebabkan
oleh adanya peningkatan jumlah kendaraan
bermotor
setiap
tahunnya.
Semakin
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor
akan diiringi dengan kenaikkan suhu udara
di
Jakarta.
Pengoperasin
kendaraan
bermotor setiap hari akan menghasilkan
adanya panas dan disebarkan disekitarnya.
Asap yang dikeluarkan kendaraan bermotor
adalah merupakan penyebab polusi udara
(NO2, SO2, CO2 dan debu). Polusi udara ini
akan bertindak sebagai gas rumah kaca
yang dapat menyerap radiasi sinar matahari
di atmosfer dan memantulkan radiasi ke
atmosfer di dekat permukaan bumi Jakarta.
Partikel lain sebagai efek kegiatan kota
adalah debu yang dapat mempengaruhi
adanya kenaikan suhu udara. Pengerasan
jalan-jalan di Jakarta akan mengurangi
resapan air sehingga permukaan cepat
kering, Dengan keringnya permukaan tanah
akan memudahkan terjadinya banyak debu.
Debu ini akan di hamburkan oleh adanya
gerakan-gerakan angin turbulensi hingga
mencapai pada ketinggian tertentu di
atmosfer. Di jalan raya debu-debu yang
berhamburan lebih banyak dari lahan yang
terbuka, apalagi pada jalan raya yang padat
kendaraan
bermotornya
debu
yang
berterbangan hampir meyerupai kabut asap.
Partikel debu ini akan bertindak sebagai
penyerap radiasi matahari yang baik dan
radiasi ini akan dipantulkan kembali
keatmosfer sehingga pada daerah ini suhu
udara akan mengalami kenaikan. Kenaikan
suhu udara akan lebih besar bila pada jalan
raya yang padat kendaraan ini diapit oleh
bangunan gedung-gedung yang menjulang
tinggi.
Bahan pembentuk permukaan di Jakarta
umumnya bahan yang daya hantar
panasnya tinggi, ini menyebabkan pada
waktu yang sama atau bahkan lebih singkat
di kota akan menerima panas lebih banyak
dibandingkan dengan di pinggiran kota. Hal
ini dapat dilihat pada perbandingan antara
suhu di Jakarta dengan di Cengkareng data
tahun 1984-2004, Perbedaan suhu ini rata0
rata tahunan adalah sebesar 1 C. Hal ini
disebabkan juga oleh perbedaan struktur
bangunan di Jakarta dengan di Cengkareng.
Bentuk dan orientasi bangunan gedunggedung yang menjulang tinggi pada kota
Jakarta menyebabkan di Jakarta menerima
bahang/panas
lebih
banyak,
karena
mempunyai bidang-bidang pantul dan
penyerapan radiasi matahari yang lebih
luas. Hal ini terutama saat sudut datang
0
sinar matahari kurang dari 90 . Oleh karena
itu sistem pemanasan dikota cepat. Struktur
bangunan yang menjulang tinggi juga
menyebkan kecepatan angin yang lemah
sehingga proses kehilangan bahang/panas
juga relatif kecil dari pada di pinggiran kota.
Pada siang hari sudut tegak lurus sinar
matahari baik permukaan Jakarta maupun
desa (Cengkareng) akan mempunyai bidang
serap /pantul hampir sama sehingga suhu
pada siang hari hampir sama pula. Suhu di
Jakarta juga lebih tinggi dibandingkan
dengan suhu di Pondok Betung, dimana
suhu rata-rata tahunan di Jakarta adalah
0
26.6
C sedangkan di Pondok Betung
0
adalah sebesar 27.5 C atau perbedaan
0
temperaturnya sebesar  1 C. Perbedaan
ini disebabkan oleh karena di daerah
Pondok Betung keadaan alamnya masih
tergolong sedikit mengalami perubahan dan
dianggap
tidak
banyak
berpengaruh
perubahan iklim di bandingkan dengan
perubahan karakteristik permukaan bumi di
Jakarta. Tapi ini bukan berarti unsur iklim di
Pondok Betung selalu konstan akan tetapi
juga mengalami perubahan karena daerah
ini dekat dengan kota Jakarta. Sehingga
kenaikan suhu di Jakarta akan menyebar ke
daerah Pondok Betung akibat terbawa
angin. Kenaikan suhu di Pondok Betung ini
dapat dilihat garis normal pada grafik suhu
rata-rata tahunan (lampiran 1) dimana garis
normal menunjukan adanya kecondongan
naik. Kenaikan suhu di pondok betung ini
juga karena adanya pembangunan pabrik-
pabrik,
kenaikan
jumlah
kendaraan
bermotor, dan pembangunan lainnya.
4.2. Perubahan Kelembaban
Kelembaban rata-rata tahunan di Jakarta
menunjukan adanya penurunan dari tahun
ketahun. Penurunan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah tingkat
ketersediaan bahan penguap; air sungai, air
danau, air genangan, tanah basah, suhu
udara dan perolehan energi. Bila bahan
penguap cukup tersedia dan perolehan
energi cukup besar suhu dianggap tetap
maka nilai kelembaban akan besar.
Jumlah penduduk yang banyak akan
menghasilkan
panas, panas yang
dikeluarkan oleh seseorang biasanya
mengandung uap air dan juga panas latent
yang lembab (teori owen). Akan tetapi
pengaruhnya sangat kecil sekali terdapap
kelembaban udara. Kenaikkan suhu di
Jakarta
amat
berpengaruh
terhadap
kelembaban udara, semakin tinggi kenaikan
suhu pada suatu daerah yang kurang
bahang penguap akan menyebabkan
semakin berkurangnya kelembaban udara
pada daerah tersebut.
Perkembangan industri di Jakarta yang
setiap tahunnya meningkat secara tak
langsung juga akan menghasilkan polusi
udara (zat pencemar) antara lain :debu, NO2
, SO2 dan lain-lain. Polusi udara yang
semakin
besar
akan
mempengaruhi
kelembaban udara. Partikel-partikel debu,
NO2 , dan SO2 sebenarnya adalah
merupakan inti kondensasi, akan tetapi
karena tidak didukung adanya bahang
penguap yang cukup, maka partikel-partikel
tersebut justru semakin kering dan
menyerap
panas
sehingga
dapat
mengurangi kelembaban udara. Dari data
selama
periode
tahun
1984-2003,
kelembaban udara rata-rata tahunan di
Jakarta adalah sebesar 78 % yang di
himpun dari stasiun Jakarta obs ( BMG ), ini
lebih kecil dibanding dengan daerah
Cengkareng (pinggiran kota) yaitu sebesar
84 %
data dihimpun dari stasiun
meteorologi Cengkareng. Kelembaban di
kota
Jakarta
dan
dipinggiran
kota
(cengkareng ) berbeda, hal ini disebabkan
karena daerah pinggiran kota (Cengkareng)
lebih banyak tertutup tanaman dan pohonpohonan, sedangkan didaerah perkotaan
hampir tertutup oleh bangunan-bangunan
yang
mempunyai
daya
penyerapan
terhadap radiasi matahari kecil, serta
pemantulan terhadap radiasi matahari
besar. Sehingga dapat meningkatkan gas
rumah kaca yang kemudian dapat
menaikkan suhu udara kota. Dengan
naiknya suhu udara ini berarti udara menjadi
kering atau sedikit mengandung air
(kelembaban kecil). Dipinggiran kota lebih
banyak menahan air hujan sedangkan
didaerah perkotaan limpasan air lebih cepat.
Hal ini juga menyebabkan kelembaban
udara berbeda. Dan perubahan kelembaban
di kota Jakarta bisa di bandingkan dengan
kelembaban di Pondok Betung. Kelembaban
di Pondok Betung lebih besar dibanding
dengan di Jakarta. Rata-rata tahunan
kelembaban di Stasiun Pondok Betung
adalah sebesar 82 % sedangkan di Jakarta
sebesar 78 %.
4.3. Perubahan Arah Angin dan
Kecepatan
Arah dan kecepatan angin permukaan
dipengaruhi oleh bentuk dan kekasaran
permukaan
bumi.
Semakin
kasar
permukaan akan semakin menghambat
kecepatan angin dan juga menyebabkan
perubahan arah angin. Sehingga dikota
banyak terjadi arah angin yang tidak tetap
pada setiap saat serta mempertinggi angin
turbulensi. Pada umumnya didaerah Jakarta
tedapat banyak gedung-gedung yang
menjulang tinggi sehingga permukaan lebih
kasar dibanding dengan Cengkareng.
Gambar 5. Alur terjadinya awan dan sirkulasi udara di Jakarta
Di Jakarta angin dengan kecepatan angin
maksimum 5 sampai 8 knots sering bertiup,
sedangkan kecepatan angin lebih besar dari
10 knots jarang terjadi. Sebaliknya di
Cengkareng (pinggiran kota) angin rata-rata
maksimum 36 sampai 48 knots sering terjadi
dalam setiap tahunnya. Jadi kecepatan
angin di jakarta lebih kecil dari Cengkareng,
hal ini disebabkan karena adanya kekasaran
permukaan di Jakarta lebih tinggi dari pada
di Cengkareng. Stasiun BMG Jakarta
observasi yang berada diantara gedunggedung tinggi
menyebabkan kecepatan
angin didekat permukaan lebih lemah.
Adanya kekasaran permukaan sebagai
penghambat kecepatan angin ini tidak
hanya berlaku untuk kawasan kota dan desa
tetapi untuk semua tempat. Angin yang
menuju
ke
Jakarta
yang
mulanya
mempunyai
kecepatan
yang
besar
(pengaruh angin laut) akan mengalami
penurunan kecepatan angin. Sedangkan di
Cengkareng arah dan kecepatan angin akan
mekecepatan dengan lancar, karena daerah
Cengkareng belum begitu banyak berdiri
bangunan-bangunan yang menjulang tinggi
sehingga kekasaran di Cengkareng lebih
kecil dari pada di Jakarta. Kecepatan angin
maksimum rata-rata tahunan di Jakarta ( 6.5
knots) lebih kecil di banding dengan di
Pondok Betung (14.2 knots). Hal ini karena
di pondok betung hambatan atau kekasaran
permukaan masih kecil di bandingkan
dengan di Jakarta. Akan tetapi kalau di
bandingkan dengan di Cengkareng amat
jauh dimana kecepatan angin maksimum
rata-rata di Stasiun meteorologi Cengkareng
adalah sebesar 45 knots. Perlu kita ketahui
daerah Cengkareng dan Jakarta adalah
sama-sama terletak sejajar dengan daerah
pantai utara jawa sehingga dipengaruhi
angin pantai ( angin laut / darat). Karena
adanya perubahan karakteristik permukaan
bumi yang berbeda ini menyebabkan angin
pantai yang berhembus ke kota Jakarta
mengalami hambatan yang cukup besar
sehingga kecepatan angin akan semakin
pelan lain halnya dengan di Cengkareng
yang bebas hambatan dan masih banyak
tanah lapang sehingga angin pantai yang
berhembus ke daerah Cengkareng besar.
Sedangkan pada daerah Pondok Betung
terletak jauh di daratan ( di belakang Jakarta
apabila dilihat dari posisi pantai) jadi angin
yang berhembus kedaerah Pondok Betung
sudah mengalami penurunan kecepatan
angin setelah melewati gedung-gedung
tinggi di Jakarta.
Jadi letak geografislah yang menyebabkan
perbedaan kecepatan angin maksimum
antara di Cengkareng dengan Pondok
Betung dan bukan karena pembangunan di
daerah tersebut.
4. 4. Curah Hujan
Curah hujan di Jakarta bisa terjadi tidak
perlu membutuhkan kelembaban yang besar
sebab di Jakarta banyak terjadi polusi udara
yang tersebar diatas kota Jakarta. Yang
mana polusi udara ini bertindak sebagai inti
kondensasi. Jika ada bahan penguap yang
cukup maka inti kondensasi ini akan segera
menyerap uap air itu sehingga terjadi
kondensasi walaupun kelembaban pada
saat itu kecil. Hal ini memang wajar karena
didaerah
kota
udara
mengalami
pencemaran yang tinggi dari pada
dipinggiran kota, oleh karena itu partikelpartikel yang berinjeksi kedalam atmosfer
sebagian bertindak sebagai inti kondensasi.
Inti-inti kondensasi ini mengapung di udara
melalui turbulensi mekanis dan turbulensi
thermal,
karena
daerah
perkotaan
(Kemayoran-Jakarta) mengalami kekasaran
yang lebih besar dan sumber panas yang
lebih banyak. Dari data yang dihimpun dari
tahun 1984-2004
menunjukan bahwa
jumlah curah hujan tahunan di Jakarta
(Kemayoran) sebesar 2059 mm lebih besar
dibandingkan dengan jumlah curah hujan
tahunan di stasiun Cengkareng yaitu
sebesar 1622 mm. Hari hujan di kota juga
lebih
banyak
dibandingkan
dengan
Cengkareng, di Jakarta adalah 26 hari per
bulan sedangkan di Cengkareng adalah 12
hari per bulan. Hasil perbandingan hari
hujan
tersebut
menunjukan
adanya
penambahan hari hujan di Jakarta, hal ini
disebabkan adanya penambahan inti-inti
kondensasi diatmosfer dan penambahanparikel-partikel debu (higroskopis) yang
dapat dilihat dari konsentrasi debu di
Jakarta yang semakin meningkat, selain itu
adanya konsentrasi debu yang berbeda
antara kota dan desa menyebabkan
perkotaan lebih kering dari pada di
pedesaan. Bila di bandingkan dengan curah
hujan di daerah Pondok Betung maka
jumlah curah hujan di Jakarta lebih kecil di
banding dengan Pondok Betung. Jumlah
curah hujan di Pondok Betung jumlah rata-
rata tahunan adalah sebesar 2895 mm,
sedangkan di Jakarta adalah sebesar 2059
mm. Dan banyaknya hari hujan di Jakarta
(rata-rata tahunan 16 hari) lebih kecil dari
pada di Pondok Betung yaitu 17 hari. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi hal
tersebut di atas diantaranya adalah faktor
geografis (faktor skala mikro) dari daerah
Pondok Betung. Dimana daerah Pondok
Betung terletak diantara dekat pantai utara
jawa (Jakarta) dan terletak di lembah
pegunungan (dataran tinggi) Bogor. Dimana
pada siang hari angin pantai bertiup ke
darat (angin laut) yang berhembus hingga
ke daerah pegunungan Bogor. Angin laut ini
sifatnya basah yang terus menerus
berhembus dan dipaksa naik ke dataran
tinggi bogor sehingga angin ini akan
dimampatkan, kemudian akan terjadi
turbulensi serta terjadi kondensasi yang
mengakibatkan banyak terbentuknya awanawan dan hujan di daerah bogor. Awan dan
hujan ini sebagian akan bertahan cukup
lama hingga perubahan angin pantai dari
darat kelaut ( angin darat ) pada malam hari.
Awan ini akan terbawa angin turun kedaerah
lembah ( daerah Pondok Betung ) sehingga
mengakibatkan hujan yang turun disini
cukup banyak. Oleh karena itulah hujan di
daerah Pondok Betung relatif cukup banyak
di bandingkan dengan daerah kota Jakarta.
4.5. Faktor Yang Mempengaruhi Unsur
Iklim
Unsur iklim di Jakarta dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik faktor makro maupun
faktor mikro. Dalam pembahasan ini
difokuskan pada faktor mikro (sekala kecil)
sebagai dampak perubahan iklim. Salah
satu faktor mikro yang mempengaruhi unsur
iklim adalah pembangunan kota Jakarta
yang semakin meningkat dalam setiap
tahunnya
sedikit
banyak
akan
mempengaruhi siklus iklim.
Keadaan unsur iklim dari tahun ke tahun di
Jakarta tidak terasa terus mengalami
perubahan yang sangat jelas sebagai akibat
pembangunan yang tidak terkendali dengan
baik. Temperatur udara semakin naik
dikarenakan polusi udara yang tersebar di
atmosfer akan mengakibatkan peningkatan
produksi gas rumah kaca. Dimana gas
rumah kaca ini akan menutupi jendela
atmosfer sehingga suhu udara akan naik.
Sebab gas rumah kaca akan mengabsorbsi
(menyerap) radiasi yang dipancarkan dari
permukaan bumi. Dampak ini juga akan
mempengaruhi dalam kehidupan manusia
dan alam sekitarnya.
Adanya perubahan temperatur di Jakarta
tersebut akan mempengaruhi unsur iklim
lainnya. Karena temperatur dengan unsur
iklim lainnya sangat berkaitan satu sama
lainnya saling mempengaruhi. Kelembaban
udara
di
Jakarta
juga
mengalami
penurunan, karena adanya pengerasan
jalan sehingga permukaan bumi cepat
kering dan air menguap dengan cepat setiap
terjadi hujan. Pada musim kemarau
kelembaban ini akan terasa sekali
penurunannya, karena udara yang kering
dan panas. Arah dan kecepatan angin di
perkotaan juga mengalami perubahan
karena akibat kekasaran dikota yang cukup
besar. Arah angin juga tidak menentu setiap
saat. Sementara itu perbedaan suhu udara
bisa terjadi pada daerah yang relatif dekat
jaraknya (misalnya tempat di jalan raya yang
sarat kendaraan dengan tempat di pinggir
jalan) karena penyebarannya yang tidak
lancar akibat tertutup oleh gedung-gedung.
Kemungkinan di tempat tertentu terjadi
angin turbulensi dimana suhunya lebih
rendah dibanding dengan jalan raya yang
padat kendaraan walaupun tempatnya
berdekatan. Perbedaan ini akan nampak
jelas sekali pada waktu siang hari.
Perbedaan suhu yang relatif kecil ini
menyebabkan arah angin yang tidak merata
antara tempat satu dengan tempat lainnya.
Bahkan di tempat-tempat yang berada
didekat gedung-gedung tinggi akan sering
terjadi angin turbulensi lebih banyak dari
pada lapangan terbuka. Curah hujan di
Jakarta juga dipengaruhi adanya gedunggedung yang menjulang tinggi yang
bertindak sebagai penghambat kecepatan
angin (seperti angin gunung), sehingga
angin yang menuju ke Jakarta lama
kelamaan
akan
terjadi
pemampatan
akibatnya terjadi proses kondensasi. Apabila
didukung oleh adanya bahan penguap yang
cukup tersedia dan inti-inti kondesasi yang
cukup banyak akan dapat menimbulkan
awan dan terjadilah hujan. Awan yang
terjadi di atas kota Jakarta belum tentu turun
di daerah Jakarta, apabila angin yang
bertiup di atas kota cukup kencang akan
membawa awan itu jauh keluar kota dan
hujan pun turun jauh diluar kota.
Selain pengaruh/dampak pembangunan
tersebut, iklim di Jakarta juga dipengaruhi
oleh faktor lokal. Dimana faktor lokal ini
sangat dominan terhadap iklim di Jakarta.
Daerah Jakarta adalah terletak di dekat
pantai utara jawa, sehingga iklim di Jakarta
dipengaruhi oleh angin laut dan angin darat
yang biasa terjadi di daerah dekat pantai.
Karena pada daerah pantai kecepatan dan
arah angin berubah pada siang dan malam.
Pada siang hari karena darat mengalami
pemanasan yang lebih cepat dari pada laut
maka angin angin bergerak dari laut ke
darat. Begitu juga pada malam hari di darat
cepat mengalami pendinginan dari pada laut
sehingga tekanannya lebih tinggi dari pada
laut sehingga udara bergerak dari darat ke
laut menjadi angin darat. Bila perbedaan
suhu antara darat dan laut tinggi maka
kecepatan angin yang terjadipun tinggi.
Angin pantai ini akan terjadi pada setiap hari
pada daerah Jakarta. Angin laut yang
kencang inilah yang akan membawa awan
di atas kota jauh kepinggiran kota.
5. Kesimpulan
Dengan adanya pembangunan perkotaan
yang terus meningkat dari tahun ke tahun
yang terus berkembang dengan pesatnya,
ini akan menyebabkan berkurangnya
ketersediaan lahan hijau dan meningkatnya
pencemaran (polusi ) udara sebagai limbah
industri
serta
bertambahnya
jumlah
penduduk akan mengakibatkan perubahan
unsur iklim.
Suhu di Jakarta cenderung mengalami
kenaikan dari rata-rata tahunannya. Secara
rata-rata suhu udara di daerah perkotaan
mengalami kecepatan kenaikan sebesar
0
0.05 C setiap tahunnya. Suhu di kota juga
lebih besar dari pada di pinggiran kota (
Cengkareng dan Pondok Betung)
yaitu
0
sebesar  1 C . Hal ini disebabkan karena
pembangunan terkonsentrasi di Jakarta
sedangkan di pinggiran kota sedikit
megalami
perubahan
lingkungannya.
Pembangunan juga akan merubah wajah
kota Jakarta dan meningkatnya kekasaran
permukaan sehingga dapat menghambat
kecepatan angin dan dapat merubah arah
angin menjadi tidak stabil.
Karena kurangnya limpasan tanaman dan
cepatnya limpasan air hujan maka
evapotranspirsi dan kelembaban di kota
lebih kecil dibandingkan dengan pinggiran
desa. Kelembaban rata-rata tahunan di
Jakarta adalah sebesar 78% sedangkan
dipinggiran kota (Cengkareng) adalah
sebesar 83% dan Pondok Betung sebesar
82 %.
Awan terbentuk di atas kota dan curah hujan
serta hari hujan di daerah Jakarta lebih
banyak hujan di bandingkan dengan
pinggiran kota (Cengkareng dan Pondok
Betung ). Jumlah curah hujan tahunan di
BMG Jakarta adalah sebesar 2059 mm,
sedangkan di Cengkareng adalah sebesar
1622 mm dan di Pondok Betung sebesar
2895 mm. Hari hujan rata-rata bulanan di
Jakarta juga lebih banyak yaitu 16 hari hujan
dan di Cengkareng terjadi hari hujan
sebanyak 12 hari hujan serta di Pondok
Betung 17 hari hujan.
5. Daftar Acuan
Anton Dajan, 1998. Pengantar Metode
Statistik, LP3ES. Jilid II cetakan ke
3, Jakarta.
Ali Mas’at, 1998. “Dampak Pembangunan
Terhadap Variasi Iklim di Jakarta
Jilid I), Jakarta.
Chandler, TJ, 1966. The Climate of London,
Huchinson, London.
H.E. Lansberg, 1960 “Phsyical Climatology,
Gray Printing CO., p.391” Elsevier, Amsterdam.
J.F. Griffiths and M.J. Griffiths, 1974.
N.O.A.A. : “Technical Memorandum,
EDS 21.” Washington.
J.E. Oliver, 1973 “Climate and Enviroment,
Wiley”. Cambridge, UK.
John F. Griffiths, 1976. “Applied Climatology
an Introduction”. London.
Soepangkat, “Pengantar Meteorologi” jilid I
BPLMG, Jakarta.
Soejitno, 1978. “Dasar dasar Peramatan
Meteorologi Permukaan”. Jakarta.
R.C. Runnels, D. Randerson and J.F.
Griffiths, 1972. “Int. J. Biometeor”.
Houston, Texas.
World
Meteorology
Organization,1972.
“General of Climatological 1 & 2”
Geneva, Switzerland.
World Meteorology Organization, 1970.
“Urban Climate, No.254” Geneva,
Switzerland.
Download