DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP VARIASI IKLIM DI WILAYAH DKI JAKARTA Ali Mas’at Sub Bidang Website dan Internet Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Jakarta E-mail: [email protected] ABSTRAK Wilayah DKI Jakarta merupakan kota yang sangat pesat mengalami perkembangan di bidang industri, pembangunan fisik (gedung tinggi) dan juga pertumbuhan penduduknya. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perubahan karakteristik permukaan fisik tanah dan akibat sampingan dari kegiatan tersebut adalah perubahan unsur iklim. Adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi ini dapat menghambat gerakan angin. Di kota besar sirkulasi angin tidak stabil, kemungkinan di sudut-sudut atau lorong-lorong terjadi edy-edy dan juga turbulensi yang bergerak naik ke atas. Angin yang bergerak keatas ini akan membawa partikel-partikel ( polutan, debu, asap kendaraan dan sebagainya) dan partikelpartikel ini berfungsi sebagai inti kondensasi. Pembangunan gedung-gedung yang berdinding kaca juga akan memantulkan radiasi panas dari matahari, sehingga daerah sekitar gedung ini akan mengalami peningkatan panas. Hal ini akan mengakibatkan siklus iklim terganggu. Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya : Suhu udara di o wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0.17 C suhu di daerah Jakarta cenderung o o lebih tinggi 0,7 C – 1.0 C di bandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), Kelembaban juga lebih kecil 3 % - 7 % dari pinggiran (rural), arah dan kecepatan angin juga mengalami perubahan. Di Jakarta angin dengan kecepatan angin rata-rata 4 knots sering bertiup, sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 6 knots jarang terjadi. Hal ini diakibatkan adanya gedung-gedung tinggi yang menghambat kecepatan kecepatan angin, Jumlah curah hujan tahunan di perkotaan (Kemayoran) adalah sebesar 2059 mm, sedangkan di Cengkareng adalah sebesar 1622 mm dan di Pondok Betung sebesar 2895 mm. Hari hujan rata-rata bulanan di Jakarta juga lebih banyak yaitu 16 hari hujan dan di Cengkareng terjadi hari hujan sebanyak 12 hari hujan serta di Pondok Betung 17 hari hujan. Kata Kunci : pembangunan dan industri, unsur iklim, sirkulasi, radiasi, polutan. 1. Pendahuluan Pembangunan di kota-kota besar menyebabkan perubahan suhu global yang berakibat adanya perubahan variasi iklim. Hal ini telah menggugah berbagai negara untuk menangani masalah tersebut, tak ketinggalan juga negara Indonesia. Khususnya di kota Jakarta yang telah menjadi sorotan dunia yang seolah-olah telah ikut menyebabkan perubahan iklim dunia dengan segenap akibatnya. Berkaitan dengan itu penulis akan memberi sumbangan pikiran dalam bentuk penelitian secara literatur, ingin mengetahui seberapa jauh unsur iklim di kota Jakarta telah mengalami perubahan. Adanya pembangunan yang pesat, terutama gedung-gedung tinggi di seluruh Indonesia khususnya di daerah Jakarta, maka secara langsung maupun tidak langsung akan merubah karakteristik permukaan fisik tanah. Salah satu akibat sampingan dari kegiatan pembangunan di kota-kota besar berbagai macam hal dapat mempengaruhi perubahan unsur iklim. Sebagai contoh, dengan didirikannya gedung-gedung yang menjulang tinggi akan mempengaruhi sirkulasi udara. Udara yang biasanya mengalir/bergerak dengan lancar karena tidak ada hambatan (kekasaran kecil). Adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi ini dapat menghambat gerakan angin. Di kota besar sirkulasi angin tidak stabil, kemungkinan di sudutsudut atau lorong-lorong terjadi edy-edy dan juga turbulensi yang bergerak naik ke atas. Angin yang bergerak keatas ini akan membawa partikel-partikel ( polutan, debu, asap kendaraan dan sebagainya) dan partikel-partikel ini berfungsi sebagai inti kondensasi. Pembangunan gedung-gedung yang berdinding kaca juga akan memantulkan radiasi panas dari matahari, sehingga daerah sekitar gedung ini akan mengalami peningkatan panas. Pembangunan kota yang tak terkendali secara terus menerus akan menyebabkan sempitnya lahan hijau dan pembuatan jalan-jalan aspal atau pengera-san halaman akan menghalangi perembasan air hujan ke dalam lapisan tanah serta akan mempercepat limpasan (run off) air permukaan. Akibat sampingan lain dari pengerasan jalan adanya penyerapan panas yang lebih besar dari pada di lahan hijau. Hal ini mengakibatkan terjadinya penguapan yang lebih besar apabila terjadi hujan. Gambar 1. Kepadatan penduduk dan motor Pembangunan di Jakarta dari tahun ke tahun begitu meningkat dengan pesatnya, mengakibatkan pembuangan panas yang cukup besar. Kota-kota besar pada umumnya menjadi penyebab terjadinya partikel-partikel halus atau asap industri dan kendaraan bermotor ke dalam lapisan atmosfer. Dari gambaran tersebut maka pembangunan dan segala aktivitas manusia dapat merubah iklim di kota. Kualitas perubahan unsur iklim ini perlu dipantau secara terus menerus sehinggga secara dini dapat diketahui perubahannya setiap saat. Diperkirakan perubahan unsur iklim ini sudah di ambang batas jika dibandingkan dengan daerah pedesaan (rural) yang masih alami lingkungannya. Hal ini akan mengakibatkan siklus iklim terganggu, sehingga akan menyebabkan kehidupan dan lingkungan hidup ikut terganggu. Pengkajian perubahan iklim di kota-kota besar perlu dilakukan karena adanya kecenderungan iklim akan mempengaruhi lingkungan hidup. “ Seorang ilmuwan Fukui (1970) dalam eksperimennya menyatakan bahwa pembangunan kota dapat menaikan suhu lokal dalam kota dan kecepatan kenaikan suhu sebanding dengan kecepatan pembangunan kota.” Beberapa gas buangan yang dimuntahkan ke dalam atmosfer akan bertindak sebagai gas rumah kaca yang transparan dengan radiasi gelombang pendek matahari dan menyerap radiasi gelombang panjang bumi sehingga mengakibatkan pemanasan bumi semakin meningkat. Hal ini juga mempengaruhi variasi iklim di kota Jakarta. Seiring dengan pesatnya pembangunan di kota Jakarta, semakin banyak pula gas-gas polutan sebagai hasil pembuangan industri dan kegiatan manusia (misalnya : gas buangan mobil, pabrik, pembakaran dan lain-lain). Dari gas-gas polutan ini yang bertindak sebagai inti-inti kondensasi ditambah dengan adanya peristiwa konveksi dan turbulensi di atas kota secara bersama akan mengakibatkan meningkatnya perawanan. Sehingga di kota curah hujannya meningkat, akan tetapi karenya adanya pola arah angin yang berbeda cukup besar hujan kemungkinan bisa terjadi jauh keluar kota mengikuti arah angin. Jadi tak dapat di pastikan bahwa di atas kota yang banyak terjadi awan tidak selalu mempunyai curah hujan yang banyak. Hal ini amat tergantung keadaan/letak geografis dan keadaan mikro kota tersebut. 2. Pembangunan Kota 2.1. Penduduk Penduduk adalah orang - orang yang mendiami suatu daerah tertentu dengan segala aktifitasnya sehari-hari. Penduduk kita bedakan menjadi dua yaitu daerah perkotaan yang di sebut URBAN dan daerah pedesaan yang disebut RURAL. Yang mempunyai batasan sebagai berikut : 1. Kepadatan penduduk : Perkotaan = kepadatan penduduk > 300 orang / ha Pedesaan = kepadatan penduduk < 100 orang / ha 2. Kegiatan Sehari-hari : Perkotaan : Banyak kegiatan yang dilakukan (komplek) antara lain mengemudikan motor; bekerja pada pabrik, berjalan serba pakai mobil dan lain sebagainya yang kesemuanya itu dapat menimbulkan perubahan suhu. Pedesaan : Kegiatan pedesaan pada umumnya masih bersifat homogen atau tetap yaitu antara lain; bertani, pengrajin dan sebagainya yang kesemuanya itu tidak banyak menimbulkan perubahan pada alam. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan keanekaragaman aktivitas dan ulah penduduk kota yang pada gilirannya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perubahan unsur iklim lokal atau iklim kota. Salah satu usaha PEMDA yaitu mengembangkan kota dengan harapan dapat menghambat kenaikan tingkat kepadatan penduduk di daerah perkotaan. Tetapi pengembangan kota menyebabkan perubahan wajah kota, misalnya bangunan tinggi, jalan aspal atau beton dan sebagainya. Perubahan wajah kota ini menyebabkan perubahan unsur iklim di antaranya : suhu udara, sirkulasi udara, dan mempercepat limpasan air. Jumlah penduduk kota Jakarta meningkat dari 4.755.279 jiwa pada tahun 1971 sampai mencapai 8.937.600 jiwa pada tahun 1990 dengan kenaikan jumlah penduduk rata-rata 29.116 jiwa pertahun. Perkotaan : Bangunan umum, bangunan campuran, perktokoan, perubahan industri / pergudangan, pemukiman atau kebun campuran dan lain-lain. b. Struktur Bangunan : Pedesaan : Pertanian / lahan hijau dengan pemukiman kepadatan rendah, rekreasi, daerah pengaman pencegah banjir. Perkotaan : Pemanfaatan bagi pengembangan komersial atau perdagangan dan jasa, daerah pengembangan campuran industri dan komersial, daerah pemerintahan dan fasilitas umum, peruntukan khusus bagi keperluan pemerintah dan daerah pengembangan industri. Gambar 2. Peta penggunaan lahan tahun 1984 2.2. Lahan Hijau dan Lahan Perumahan Definisi lahan hijau yaitu lahan atau tanah yang diperuntukan hanya untuk tumbuhtumbuhan yang bebas dari bangunan dan sifatnya untuk kelestarian alam.Lahan perumahan yaitu lahan yang telah di bangun berbagai macam bangunan dan telah dipakai/ditempati oleh manusia. Sebagai tempat untuk melakukan aktifitas seharihari. Lahan yang ada di pedesaan dan di perkotaan dapat dibedakan peruntukannya sebagai berikut : a. Penggunaan lahan Pedesaan : Terdiri dari lahan-lahan yang digunakan untuk kebun campuran, tanaman jalur hijau dan pemakaman, sawah, rawa dan tambak ikan, waduk serta tanah kosong dan lain-lain. Gambar 3. Peta penggunaan lahan tahun 2003 Kalau kita perhatikan perkembangan lahan kota Jakarta yang di peroleh dari satelit MSS (LAPAN) tahun 1984 dan pemetaan penggunaan lahan tahun 2003 dapat dijelaskan bahwa perkembangan perkotaan Jakarta dan sekitarnya menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang cukup besar. Pada gambar 1. menunjukan lahan yang digunakan relatif masih sedikit dan gambar 2. menunjukan adanya penggunaan lahan yang besar sehingga lahan hijau/kosong yang tersedia semakin sedikit. Perkembangan pembangunan di Jakarta sangat pesat sehingga makin mempersempit lahan hijau dan sekarang lahan-lahan hijau telah banyak didominasi dengan bangunan-bangunan dan jalan. 3. Unsur Iklim Perkotaan 3.1. Suhu Udara Rata-rata suhu tahunan di kawasan Urban (perkotaan) lebih besar 3 C dibandingkan dengan kawasan pedesaan ( Rural ). Suhu minimum lebih besar dari 1-2 C dan suhu maksimum 1-3 C (menurut teori Landsberg 1981). Perbedaan ini tergantung pada ukuran fungsi, kedudukkan kota itu sendiri dan juga iklim makro kota tersebut “Menurut Sunberg (1951) perbedaan suhu perkotaan (urban) dan pedesaan (rural ) di sebabkan karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan penukaran bahang latent, golakan dan turbulensi.” Materiel perkotaan memantulkan panas lebih besar dan radiasi yang di pantulkan sebagian besar juga ditahan oleh dinding gedung atap-atap rumah dan lain-lain. Disamping itu konduktifitas materiel perkotaan ( seperti beton ,batu, aspal dsb ) mempunyai kapasitas panas yang sangat tinggi, sehingga panas matahari disimpan pada siang hari dan di lepas pada malam hari. Sebaliknya di pedesaan yang permukaannya sebagian besar tertutup tumbuh-tumbuhan yang bertindak sebagai pelindung terhadap panas matahari, pada malam dan siang hari suhunya lebih rendah dari perkotaan. Hal itu disebabkan karena banyaknya sumber air (dalam tanah basah, genangan, dll) sehingga banyak panas di gunakan untuk evaporasi dan evapotranspirasi. Panas yang tersimpan dalam uap air itu dikenal sebagai panas latent. Kota juga merupakan sumber panas sebagai hasil samping dari aktifitas penduduknya (industri, transportasi , rumah tangga dll ). Secara umum suhu di kota lebih tinggi dari desa , perbedaan ini makin tinggi pada kondisi angin calm. Sebagai contoh yang kontras antara suhu di kota london dengan desa sekitarnya akan tampak bila kecepatan angin < 6 m/dt dan pada cuaca cerah, perbedaan suhu bisa mencapai 6 C namun kecepatan angin bila > 11 m/ dt perbedaan suhu tersebut akan hilang . Sunberg (1951 ) di Upsala ( Swedia) melakukan penelitian tentang peran elemen meteorologi terhadap perbedaan suhu antara desa dan kota. Hasil penelitian menunjukan bahwa perawanan dan angin merupakan dua faktor dominan. Secara empiris Sunberg merumuskan perbedaan suhu tersebut sebagi berikut : T= a bn V Keterangan : T= Perbedaan suhu desa dan kota (C) n = Perawanan dalam persepuluhan v = Kecepatan angin (m/dt) a,b = Konstanta yang sangat tergantung dari karateristik kota tertentu ( di Upsala a=4.6 , b = 0.28 ). Menurut Moran et. al. pada tahun 1973 (di jelaskan dalam Owen 1980) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan pulau panas yaitu : 1. Sumber-sumber penghasil panas di kota lebih banyak dari pada di pedesaan (berasal dari manusia, kendaraan, industri dan lain-lain) 2. Banyak lahan-lahan bangunan (jalan, gedung, rumah dan lain-lain) di kota yang merupakan bahan pemancar bahang(panas) yang lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhtumbuhan, kayu, danau dan sebagainya di pedesaan. 3. Jumlah badan perairan ( danau, kolam dan sebagainya ) di kota lebih sedikit dari pada di pedesaan. Adanya perbedaan distribusi suhu antara kota (urban ) dan desa (rural) melahirkan istilah “ Urban Heat Land “ menurut Georgi 1974 dan Landsberg (1981) menyatakan perbedaan ini dapat dideteksi dengan adanya selisih suhu kota dan desa dengan kecenderungan bahwa suhu kota lebih tinggi (menurut Priece 1979). Biasanya perbedaan suhu ini merupakan fungsi dari jumlah populasi (P) semakin besar populasinya, maka tingkat perbedaan suhu akan semakin besar (Landsberg 1981). Persamaan untuk menentukan T (u - r) dalam hubungan dengan populasi diberikan sebagai berikut: T ( u - r ) max = 3.06 log P - 6.78 (di Amerika utara) T ( u - r ) max = 2.01 log P - 4.04 (di Eropa) Dimana : P = Populasi , u = Urban (kota), r = Rural (desa) Menurut sani (1975) hal ini penting harus di ingat bahwa semua persamaan di atas semata-mata hanya persamaan empiris dan tidak menjelaskan proses yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut. Selain itu Ia juga mengingatkan bahwa persamaan-persamaan itu di peroleh berdasarkan anggapan bahwa hubungan antara nilai perbedaan kota dengan desa dalam persamaan ini adalah lurus. Anggapan ini kurang tepat terutama dalam keadaan angin kencang atau angin perlahanan. Oleh karena persamaan persamaan tersebut tidak boleh digunakan sebagai alat ramalan ataupun dianggap sebagai pencerminan yang tepat keadaan yang akan datang. Landsberg (1956) dan Sani (1975 ) berpendapat, “Bahwa perbedaan suhu bisa disebabkan oleh iklim mikro, tofografi, dan kedudukan tempat tersebut.” Kedudukan ini diperkuat lagi menurut tingkat perkembangan kota tersebut. Tabel 1 unsur-unsur iklim dikawasan kota (Lansberg 1981) perbandingan kawasan desa. Unsur iklim Hujan : Jumlah hujan Jumlah hari hujan > 5 mm Temperatur : rata-rata tahunan minimum musim dingin maksimum musim panas Kecepatan angin : rata-rata tahunan tiupan yang amat kencang tenang / calm Kelembaban : rata-rata musim dingin musim panas Perbandingan kota dengan desa 5 - 15 % lebih banyak 10 % lebih banyak 0.5 - 3.0 C lebih tinggi 1 - 2 C lebih tinggi 1 - 3 C lebih tinggi 20 - 30 % kurang 10 - 20 kurang 5 - 20 % lebih 6 % kurang 2 % kurang 8 % kurang 3.2. Kecepatan dan Arah Angin u= 3.2.1 Kecepatan Angin Angin adalah udara rata-rata yang bergerak dari tekanan tinggi ketekanan rendah. Kecepatan angin perkotaan di pengaruhi oleh parameter kekasaran (Zo) untuk atmosfer netral, maka profil angin dekat permukaan dapat di rumuskan oleh Speral Achman sebagai berikut : Z u* ln k Zo Dimana : u : Kecepatan angin pada ketinggian Z u* : Kecepatan gesekan k : Konstanta von karman ( 0.4 ) Z : Ketinggian Zo : Kekasaran Dari rumus tersebut semakin besar kekasaran permukaan bumi maka semakin angin itu akan semakin lambat daya kecepatannya. 3.2.2 Arah Angin Definisi arah angin adalah dari mana angin berasal atau dari mana angin bertiup. Angin perkotaan biasanya tidak stabil. Komposisi bangunan di perkotaan merubah pola angin baik dengan cara mekanik maupun termal Cara mekanik : Keadaan kota yang mana angin di hambat oleh gedunggedung yang akan menimbulkan turbulensi dan sebagainya. Cara termal : Perbedaan suhu antara kota dengan pedesaan. Pada umumnya bangunan di perkotaan akan menghambat kecepatan dan arah angin sehingga mempertinggi turbulensi dan merubah arah angin. Pada lorong-lorong tertentu angin bertiup kencang. Namun pada tempat-tempat lain terdapat kantungkantung dengan angin calm, pada sebuah kota dapat terbentuk sirkulasi angin (mirip angin darat/laut). Lihat gambar 3 dibawah ini, karena suhu tidak segera disebarkan yaitu terhambat udara. Perbedaan kelembaban maksimum 7% pada bulan Januari dan 3 % pada bulan Juli sampai September. Menurut Oke (1974) menyatakan bahwa di atmosfer juga terjadi neraca air dalam bentuk lengas yaitu : As = C + E - P - Ac Dimana : As = Perubahan kelengasan atmosfer netto C = Lengas yang di lepaskan oleh pembakaran E = Evaporasi P = Presipitasi Ac = Polutan lengas horizontal netto Apabila kota P meningkat, C meningkat, E menurun sedangkan Ac sulit ditentukan. Menurut Sani (1975) kecenderungan kelembaban yang lebih rendah tidak hanya oleh gedung-gedung maka akan dapat menimbulkan hal sirkulasi seperti angin laut/darat. Pola sirkulasi atmosfer secara umum di suatu kota menyerupai bentuk kubah debu. Menurut hepotesa sistem angin di kawasan kota bermula dari kondisi kota yang panas, kemudian gelembung udara terangkat keatas, kemudian juga angin sejuk dari luar kota bertiup ke arah perkotaan (Landsberg 1981 ). 3.3. Kelembaban Definisi Kelembaban (kelembaban relatif) adalah perbandingan jumlah uap air yang ada dalam satuan volume udara dengan massa uap air yang di perlukan untuk menjadi jenuh pada temperatur yang sama. Secara umum kelembaban di daerah perkotaan lebih kering dibandingkan dengan di daerah pedesaan yaitu 6 % lebih kering dari pada daerah pedesaan.( Landsberg 1981). Menurut Zanella (1976) dan Landsberg (1981) kota Parma yang mempunyai penduduk 170.000 mempunyai panas yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas manusia pada siang hari maupun pada malam hari atau di dalam klimatologi dikenal dengan 0 istilah “heat is land “ rata-rata 1.4 C dan kelembaban rata-rata 5 % dibandingkan dengan lapangan disebabkan oleh suhu yang tinggi di kota semata-mata akan tetapi juga disebabkan limpasan air (run off) yang cepat. Selain itu kurangnya tumbuh-tumbuhan yang ada, menyebabkan penguapan yang terjadi berbeda dengan dikawasan desa. 3.4. Awan Awan berasal dari gelembung udara yang mengandung uap air naik hingga mencapai ketinggian tertentu, dimana suhu udara dan kerapatan gelembung udara yang naik sama dengan suhu dan kerapatan lingkungannya, sehingga tidak dapat naik lagi. Awan biasanya menjadi petunjuk yang baik dari keadaan cuaca. Perawanan dinyatakan dalam istilah luas total langit tertutup awan, dalam persepuluh (1/10) atau persen (%). Kawasan nol (0) menunjukan langit cerah, sedangkan kawasan 10 atau ( 100%) menunjukan langit tertutup awan. Awan dibedakan menjadi 3 jenis menurut ketinggiannya yaitu : a. Awan rendah : dibawah 2.000 meter b. Awan menengah : antara 2.000 sampai 6.000 meter c. Awan tinggi : lebih dari 6.000 meter. Awan yang terbentuk di perkotaan umumnya awan-awan konvektif karena adanya aliran udara naik sebagai akibat turbulensi. antara lain menghasilkan populasi (Olett willer 1974) 3.6. Perubahan Hydrologi Definisi Hydrologi adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah air yang sudah di tanah. 3.5. Curah Hujan Definisi hujan adalah jatuhnya butiranbutiran air dari atmosfer setelah melalui proses tertentu. Pada umumnya curah hujan di kota meningkat dengan meningkatnya polutan yang sekaligus bertindak sebagai inti-inti kondensasi, hal ini juga disebabkan oleh bangunan di perkotaan yang menghambat kecepatan angin. Sehingga hal ini dapat mempertinggi turbulensi dan merubah arah angin. Pada lorong-lorong tertentu angin bertiup kencang, namun pada tempat lain terdapat kantung-kantung dengan angin calm. Hal tersebut terjadi di kota dapat membentuk sirkulasi angin yang mirip dengan angin darat/laut. Ada 3 ( tiga ) faktor yang menyebabkan curah hujan dan awan di perkotaan berbeda dengan pedesaan yaitu : a. Konsentrasi inti kondensasi berlebih. b. Turbulensi yang disebabkan oleh hasil gesekan angin struktur-struktur di kawasan kota. c. Perolakan yang disebabkan oleh suhu yang tinggi di kawasan kota. Dari ke tiga faktor inilah yang menyebabkan curah hujan di perkotaan lebih tinggi dari pada di pedesaan. Menurut Changnon (1976) dan Landsberg (1981) menyatakan jenis hujan (hujan badai, hujan biasa, hujan badai es) juga mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukan kejadian hujan itu mempunyai hubungan yang linier dengan populasi kota dengan persamaan sebagai berikut : 5 % + = -5.92 = populasi x 10 Ada kecenderungan bahwa intensitas dan curah hujan meningkat pada hari-hari kerja. Di paris di laporkan pada hari kerja curah hujan meningkat 45 %. Hal ini kemungkinan di sebabkan oleh aktifitas industri yang Tanah aspal Tanah rumput Gambar 4. Penyinaran cahaya matahari ke permukaan bumi Sebagian besar permukaan di Jakarta sudah padat, kalau hujan air akan mengalir (run off) dengan cepat. Air hujan ini tidak dapat merembes kedalam tanah dan penguapan jalan-jalan aspal ini pun cukup besar di bandingkan dengan pedesaan. 4. Pembahasan 4.1. Perubahan Suhu Perkembangan kota Jakarta yang begitu pesat akan menyebabkan perubahanperubahan di segala bidang. Sebagai contoh, pembangunan-pembangunan yang berkembang dengan begitu cepat disertai dengan aktifitas manusia yang secara terusmenerus akan mengakibatkan perubahan wajah kota Jakarta. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi unsur iklim di Jakarta. Perubahan unsur iklim yang paling mencolok adalah temperatur/suhu udara di lapisan permukaan sampai pada ketinggian tertentu di atas kota. Pada kota dengan kecepatan pembangunan ( jumlah penduduk, kendaraan bermotor, dan industri lainnya) yang begitu cepat akan menyebabkan kecepatan kenaikan suhu meningkat. Pembangunan ini juga akan menyebabkan lahan di Jakarta semakin sempit, pengerasan lahan, debu-debu, dan polusi udara (CO2 , NO2 , SO2) yang dihasilkan oleh industri. Jumlah penduduk yang besar secara tak langsung akan menimbulkan panas. Panas ini terjadi akibat kegiatan-kegiatan penduduk yang berlangsung siang dan malam. Seseorang yang melakukan pekerjaan pasti akan mengeluarkan energi panas dan didistribusikan kesekelilingnya. Kalau jumlah penduduk yang melakukan kegiatan itu dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam areal/daerah yang merata di jakarta akan semakin banyak pula panas yang dihasilkan. Sehingga kenaikan jumlah penduduk yang setiap tahunnya meningkat akan diiringi dengan kenaikan suhu walaupun hubungannya lemah. Kenaikan suhu di Jakarta juga disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor akan diiringi dengan kenaikkan suhu udara di Jakarta. Pengoperasin kendaraan bermotor setiap hari akan menghasilkan adanya panas dan disebarkan disekitarnya. Asap yang dikeluarkan kendaraan bermotor adalah merupakan penyebab polusi udara (NO2, SO2, CO2 dan debu). Polusi udara ini akan bertindak sebagai gas rumah kaca yang dapat menyerap radiasi sinar matahari di atmosfer dan memantulkan radiasi ke atmosfer di dekat permukaan bumi Jakarta. Partikel lain sebagai efek kegiatan kota adalah debu yang dapat mempengaruhi adanya kenaikan suhu udara. Pengerasan jalan-jalan di Jakarta akan mengurangi resapan air sehingga permukaan cepat kering, Dengan keringnya permukaan tanah akan memudahkan terjadinya banyak debu. Debu ini akan di hamburkan oleh adanya gerakan-gerakan angin turbulensi hingga mencapai pada ketinggian tertentu di atmosfer. Di jalan raya debu-debu yang berhamburan lebih banyak dari lahan yang terbuka, apalagi pada jalan raya yang padat kendaraan bermotornya debu yang berterbangan hampir meyerupai kabut asap. Partikel debu ini akan bertindak sebagai penyerap radiasi matahari yang baik dan radiasi ini akan dipantulkan kembali keatmosfer sehingga pada daerah ini suhu udara akan mengalami kenaikan. Kenaikan suhu udara akan lebih besar bila pada jalan raya yang padat kendaraan ini diapit oleh bangunan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Bahan pembentuk permukaan di Jakarta umumnya bahan yang daya hantar panasnya tinggi, ini menyebabkan pada waktu yang sama atau bahkan lebih singkat di kota akan menerima panas lebih banyak dibandingkan dengan di pinggiran kota. Hal ini dapat dilihat pada perbandingan antara suhu di Jakarta dengan di Cengkareng data tahun 1984-2004, Perbedaan suhu ini rata0 rata tahunan adalah sebesar 1 C. Hal ini disebabkan juga oleh perbedaan struktur bangunan di Jakarta dengan di Cengkareng. Bentuk dan orientasi bangunan gedunggedung yang menjulang tinggi pada kota Jakarta menyebabkan di Jakarta menerima bahang/panas lebih banyak, karena mempunyai bidang-bidang pantul dan penyerapan radiasi matahari yang lebih luas. Hal ini terutama saat sudut datang 0 sinar matahari kurang dari 90 . Oleh karena itu sistem pemanasan dikota cepat. Struktur bangunan yang menjulang tinggi juga menyebkan kecepatan angin yang lemah sehingga proses kehilangan bahang/panas juga relatif kecil dari pada di pinggiran kota. Pada siang hari sudut tegak lurus sinar matahari baik permukaan Jakarta maupun desa (Cengkareng) akan mempunyai bidang serap /pantul hampir sama sehingga suhu pada siang hari hampir sama pula. Suhu di Jakarta juga lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di Pondok Betung, dimana suhu rata-rata tahunan di Jakarta adalah 0 26.6 C sedangkan di Pondok Betung 0 adalah sebesar 27.5 C atau perbedaan 0 temperaturnya sebesar 1 C. Perbedaan ini disebabkan oleh karena di daerah Pondok Betung keadaan alamnya masih tergolong sedikit mengalami perubahan dan dianggap tidak banyak berpengaruh perubahan iklim di bandingkan dengan perubahan karakteristik permukaan bumi di Jakarta. Tapi ini bukan berarti unsur iklim di Pondok Betung selalu konstan akan tetapi juga mengalami perubahan karena daerah ini dekat dengan kota Jakarta. Sehingga kenaikan suhu di Jakarta akan menyebar ke daerah Pondok Betung akibat terbawa angin. Kenaikan suhu di Pondok Betung ini dapat dilihat garis normal pada grafik suhu rata-rata tahunan (lampiran 1) dimana garis normal menunjukan adanya kecondongan naik. Kenaikan suhu di pondok betung ini juga karena adanya pembangunan pabrik- pabrik, kenaikan jumlah kendaraan bermotor, dan pembangunan lainnya. 4.2. Perubahan Kelembaban Kelembaban rata-rata tahunan di Jakarta menunjukan adanya penurunan dari tahun ketahun. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah tingkat ketersediaan bahan penguap; air sungai, air danau, air genangan, tanah basah, suhu udara dan perolehan energi. Bila bahan penguap cukup tersedia dan perolehan energi cukup besar suhu dianggap tetap maka nilai kelembaban akan besar. Jumlah penduduk yang banyak akan menghasilkan panas, panas yang dikeluarkan oleh seseorang biasanya mengandung uap air dan juga panas latent yang lembab (teori owen). Akan tetapi pengaruhnya sangat kecil sekali terdapap kelembaban udara. Kenaikkan suhu di Jakarta amat berpengaruh terhadap kelembaban udara, semakin tinggi kenaikan suhu pada suatu daerah yang kurang bahang penguap akan menyebabkan semakin berkurangnya kelembaban udara pada daerah tersebut. Perkembangan industri di Jakarta yang setiap tahunnya meningkat secara tak langsung juga akan menghasilkan polusi udara (zat pencemar) antara lain :debu, NO2 , SO2 dan lain-lain. Polusi udara yang semakin besar akan mempengaruhi kelembaban udara. Partikel-partikel debu, NO2 , dan SO2 sebenarnya adalah merupakan inti kondensasi, akan tetapi karena tidak didukung adanya bahang penguap yang cukup, maka partikel-partikel tersebut justru semakin kering dan menyerap panas sehingga dapat mengurangi kelembaban udara. Dari data selama periode tahun 1984-2003, kelembaban udara rata-rata tahunan di Jakarta adalah sebesar 78 % yang di himpun dari stasiun Jakarta obs ( BMG ), ini lebih kecil dibanding dengan daerah Cengkareng (pinggiran kota) yaitu sebesar 84 % data dihimpun dari stasiun meteorologi Cengkareng. Kelembaban di kota Jakarta dan dipinggiran kota (cengkareng ) berbeda, hal ini disebabkan karena daerah pinggiran kota (Cengkareng) lebih banyak tertutup tanaman dan pohonpohonan, sedangkan didaerah perkotaan hampir tertutup oleh bangunan-bangunan yang mempunyai daya penyerapan terhadap radiasi matahari kecil, serta pemantulan terhadap radiasi matahari besar. Sehingga dapat meningkatkan gas rumah kaca yang kemudian dapat menaikkan suhu udara kota. Dengan naiknya suhu udara ini berarti udara menjadi kering atau sedikit mengandung air (kelembaban kecil). Dipinggiran kota lebih banyak menahan air hujan sedangkan didaerah perkotaan limpasan air lebih cepat. Hal ini juga menyebabkan kelembaban udara berbeda. Dan perubahan kelembaban di kota Jakarta bisa di bandingkan dengan kelembaban di Pondok Betung. Kelembaban di Pondok Betung lebih besar dibanding dengan di Jakarta. Rata-rata tahunan kelembaban di Stasiun Pondok Betung adalah sebesar 82 % sedangkan di Jakarta sebesar 78 %. 4.3. Perubahan Arah Angin dan Kecepatan Arah dan kecepatan angin permukaan dipengaruhi oleh bentuk dan kekasaran permukaan bumi. Semakin kasar permukaan akan semakin menghambat kecepatan angin dan juga menyebabkan perubahan arah angin. Sehingga dikota banyak terjadi arah angin yang tidak tetap pada setiap saat serta mempertinggi angin turbulensi. Pada umumnya didaerah Jakarta tedapat banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi sehingga permukaan lebih kasar dibanding dengan Cengkareng. Gambar 5. Alur terjadinya awan dan sirkulasi udara di Jakarta Di Jakarta angin dengan kecepatan angin maksimum 5 sampai 8 knots sering bertiup, sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 10 knots jarang terjadi. Sebaliknya di Cengkareng (pinggiran kota) angin rata-rata maksimum 36 sampai 48 knots sering terjadi dalam setiap tahunnya. Jadi kecepatan angin di jakarta lebih kecil dari Cengkareng, hal ini disebabkan karena adanya kekasaran permukaan di Jakarta lebih tinggi dari pada di Cengkareng. Stasiun BMG Jakarta observasi yang berada diantara gedunggedung tinggi menyebabkan kecepatan angin didekat permukaan lebih lemah. Adanya kekasaran permukaan sebagai penghambat kecepatan angin ini tidak hanya berlaku untuk kawasan kota dan desa tetapi untuk semua tempat. Angin yang menuju ke Jakarta yang mulanya mempunyai kecepatan yang besar (pengaruh angin laut) akan mengalami penurunan kecepatan angin. Sedangkan di Cengkareng arah dan kecepatan angin akan mekecepatan dengan lancar, karena daerah Cengkareng belum begitu banyak berdiri bangunan-bangunan yang menjulang tinggi sehingga kekasaran di Cengkareng lebih kecil dari pada di Jakarta. Kecepatan angin maksimum rata-rata tahunan di Jakarta ( 6.5 knots) lebih kecil di banding dengan di Pondok Betung (14.2 knots). Hal ini karena di pondok betung hambatan atau kekasaran permukaan masih kecil di bandingkan dengan di Jakarta. Akan tetapi kalau di bandingkan dengan di Cengkareng amat jauh dimana kecepatan angin maksimum rata-rata di Stasiun meteorologi Cengkareng adalah sebesar 45 knots. Perlu kita ketahui daerah Cengkareng dan Jakarta adalah sama-sama terletak sejajar dengan daerah pantai utara jawa sehingga dipengaruhi angin pantai ( angin laut / darat). Karena adanya perubahan karakteristik permukaan bumi yang berbeda ini menyebabkan angin pantai yang berhembus ke kota Jakarta mengalami hambatan yang cukup besar sehingga kecepatan angin akan semakin pelan lain halnya dengan di Cengkareng yang bebas hambatan dan masih banyak tanah lapang sehingga angin pantai yang berhembus ke daerah Cengkareng besar. Sedangkan pada daerah Pondok Betung terletak jauh di daratan ( di belakang Jakarta apabila dilihat dari posisi pantai) jadi angin yang berhembus kedaerah Pondok Betung sudah mengalami penurunan kecepatan angin setelah melewati gedung-gedung tinggi di Jakarta. Jadi letak geografislah yang menyebabkan perbedaan kecepatan angin maksimum antara di Cengkareng dengan Pondok Betung dan bukan karena pembangunan di daerah tersebut. 4. 4. Curah Hujan Curah hujan di Jakarta bisa terjadi tidak perlu membutuhkan kelembaban yang besar sebab di Jakarta banyak terjadi polusi udara yang tersebar diatas kota Jakarta. Yang mana polusi udara ini bertindak sebagai inti kondensasi. Jika ada bahan penguap yang cukup maka inti kondensasi ini akan segera menyerap uap air itu sehingga terjadi kondensasi walaupun kelembaban pada saat itu kecil. Hal ini memang wajar karena didaerah kota udara mengalami pencemaran yang tinggi dari pada dipinggiran kota, oleh karena itu partikelpartikel yang berinjeksi kedalam atmosfer sebagian bertindak sebagai inti kondensasi. Inti-inti kondensasi ini mengapung di udara melalui turbulensi mekanis dan turbulensi thermal, karena daerah perkotaan (Kemayoran-Jakarta) mengalami kekasaran yang lebih besar dan sumber panas yang lebih banyak. Dari data yang dihimpun dari tahun 1984-2004 menunjukan bahwa jumlah curah hujan tahunan di Jakarta (Kemayoran) sebesar 2059 mm lebih besar dibandingkan dengan jumlah curah hujan tahunan di stasiun Cengkareng yaitu sebesar 1622 mm. Hari hujan di kota juga lebih banyak dibandingkan dengan Cengkareng, di Jakarta adalah 26 hari per bulan sedangkan di Cengkareng adalah 12 hari per bulan. Hasil perbandingan hari hujan tersebut menunjukan adanya penambahan hari hujan di Jakarta, hal ini disebabkan adanya penambahan inti-inti kondensasi diatmosfer dan penambahanparikel-partikel debu (higroskopis) yang dapat dilihat dari konsentrasi debu di Jakarta yang semakin meningkat, selain itu adanya konsentrasi debu yang berbeda antara kota dan desa menyebabkan perkotaan lebih kering dari pada di pedesaan. Bila di bandingkan dengan curah hujan di daerah Pondok Betung maka jumlah curah hujan di Jakarta lebih kecil di banding dengan Pondok Betung. Jumlah curah hujan di Pondok Betung jumlah rata- rata tahunan adalah sebesar 2895 mm, sedangkan di Jakarta adalah sebesar 2059 mm. Dan banyaknya hari hujan di Jakarta (rata-rata tahunan 16 hari) lebih kecil dari pada di Pondok Betung yaitu 17 hari. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut di atas diantaranya adalah faktor geografis (faktor skala mikro) dari daerah Pondok Betung. Dimana daerah Pondok Betung terletak diantara dekat pantai utara jawa (Jakarta) dan terletak di lembah pegunungan (dataran tinggi) Bogor. Dimana pada siang hari angin pantai bertiup ke darat (angin laut) yang berhembus hingga ke daerah pegunungan Bogor. Angin laut ini sifatnya basah yang terus menerus berhembus dan dipaksa naik ke dataran tinggi bogor sehingga angin ini akan dimampatkan, kemudian akan terjadi turbulensi serta terjadi kondensasi yang mengakibatkan banyak terbentuknya awanawan dan hujan di daerah bogor. Awan dan hujan ini sebagian akan bertahan cukup lama hingga perubahan angin pantai dari darat kelaut ( angin darat ) pada malam hari. Awan ini akan terbawa angin turun kedaerah lembah ( daerah Pondok Betung ) sehingga mengakibatkan hujan yang turun disini cukup banyak. Oleh karena itulah hujan di daerah Pondok Betung relatif cukup banyak di bandingkan dengan daerah kota Jakarta. 4.5. Faktor Yang Mempengaruhi Unsur Iklim Unsur iklim di Jakarta dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor makro maupun faktor mikro. Dalam pembahasan ini difokuskan pada faktor mikro (sekala kecil) sebagai dampak perubahan iklim. Salah satu faktor mikro yang mempengaruhi unsur iklim adalah pembangunan kota Jakarta yang semakin meningkat dalam setiap tahunnya sedikit banyak akan mempengaruhi siklus iklim. Keadaan unsur iklim dari tahun ke tahun di Jakarta tidak terasa terus mengalami perubahan yang sangat jelas sebagai akibat pembangunan yang tidak terkendali dengan baik. Temperatur udara semakin naik dikarenakan polusi udara yang tersebar di atmosfer akan mengakibatkan peningkatan produksi gas rumah kaca. Dimana gas rumah kaca ini akan menutupi jendela atmosfer sehingga suhu udara akan naik. Sebab gas rumah kaca akan mengabsorbsi (menyerap) radiasi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Dampak ini juga akan mempengaruhi dalam kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Adanya perubahan temperatur di Jakarta tersebut akan mempengaruhi unsur iklim lainnya. Karena temperatur dengan unsur iklim lainnya sangat berkaitan satu sama lainnya saling mempengaruhi. Kelembaban udara di Jakarta juga mengalami penurunan, karena adanya pengerasan jalan sehingga permukaan bumi cepat kering dan air menguap dengan cepat setiap terjadi hujan. Pada musim kemarau kelembaban ini akan terasa sekali penurunannya, karena udara yang kering dan panas. Arah dan kecepatan angin di perkotaan juga mengalami perubahan karena akibat kekasaran dikota yang cukup besar. Arah angin juga tidak menentu setiap saat. Sementara itu perbedaan suhu udara bisa terjadi pada daerah yang relatif dekat jaraknya (misalnya tempat di jalan raya yang sarat kendaraan dengan tempat di pinggir jalan) karena penyebarannya yang tidak lancar akibat tertutup oleh gedung-gedung. Kemungkinan di tempat tertentu terjadi angin turbulensi dimana suhunya lebih rendah dibanding dengan jalan raya yang padat kendaraan walaupun tempatnya berdekatan. Perbedaan ini akan nampak jelas sekali pada waktu siang hari. Perbedaan suhu yang relatif kecil ini menyebabkan arah angin yang tidak merata antara tempat satu dengan tempat lainnya. Bahkan di tempat-tempat yang berada didekat gedung-gedung tinggi akan sering terjadi angin turbulensi lebih banyak dari pada lapangan terbuka. Curah hujan di Jakarta juga dipengaruhi adanya gedunggedung yang menjulang tinggi yang bertindak sebagai penghambat kecepatan angin (seperti angin gunung), sehingga angin yang menuju ke Jakarta lama kelamaan akan terjadi pemampatan akibatnya terjadi proses kondensasi. Apabila didukung oleh adanya bahan penguap yang cukup tersedia dan inti-inti kondesasi yang cukup banyak akan dapat menimbulkan awan dan terjadilah hujan. Awan yang terjadi di atas kota Jakarta belum tentu turun di daerah Jakarta, apabila angin yang bertiup di atas kota cukup kencang akan membawa awan itu jauh keluar kota dan hujan pun turun jauh diluar kota. Selain pengaruh/dampak pembangunan tersebut, iklim di Jakarta juga dipengaruhi oleh faktor lokal. Dimana faktor lokal ini sangat dominan terhadap iklim di Jakarta. Daerah Jakarta adalah terletak di dekat pantai utara jawa, sehingga iklim di Jakarta dipengaruhi oleh angin laut dan angin darat yang biasa terjadi di daerah dekat pantai. Karena pada daerah pantai kecepatan dan arah angin berubah pada siang dan malam. Pada siang hari karena darat mengalami pemanasan yang lebih cepat dari pada laut maka angin angin bergerak dari laut ke darat. Begitu juga pada malam hari di darat cepat mengalami pendinginan dari pada laut sehingga tekanannya lebih tinggi dari pada laut sehingga udara bergerak dari darat ke laut menjadi angin darat. Bila perbedaan suhu antara darat dan laut tinggi maka kecepatan angin yang terjadipun tinggi. Angin pantai ini akan terjadi pada setiap hari pada daerah Jakarta. Angin laut yang kencang inilah yang akan membawa awan di atas kota jauh kepinggiran kota. 5. Kesimpulan Dengan adanya pembangunan perkotaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun yang terus berkembang dengan pesatnya, ini akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan lahan hijau dan meningkatnya pencemaran (polusi ) udara sebagai limbah industri serta bertambahnya jumlah penduduk akan mengakibatkan perubahan unsur iklim. Suhu di Jakarta cenderung mengalami kenaikan dari rata-rata tahunannya. Secara rata-rata suhu udara di daerah perkotaan mengalami kecepatan kenaikan sebesar 0 0.05 C setiap tahunnya. Suhu di kota juga lebih besar dari pada di pinggiran kota ( Cengkareng dan Pondok Betung) yaitu 0 sebesar 1 C . Hal ini disebabkan karena pembangunan terkonsentrasi di Jakarta sedangkan di pinggiran kota sedikit megalami perubahan lingkungannya. Pembangunan juga akan merubah wajah kota Jakarta dan meningkatnya kekasaran permukaan sehingga dapat menghambat kecepatan angin dan dapat merubah arah angin menjadi tidak stabil. Karena kurangnya limpasan tanaman dan cepatnya limpasan air hujan maka evapotranspirsi dan kelembaban di kota lebih kecil dibandingkan dengan pinggiran desa. Kelembaban rata-rata tahunan di Jakarta adalah sebesar 78% sedangkan dipinggiran kota (Cengkareng) adalah sebesar 83% dan Pondok Betung sebesar 82 %. Awan terbentuk di atas kota dan curah hujan serta hari hujan di daerah Jakarta lebih banyak hujan di bandingkan dengan pinggiran kota (Cengkareng dan Pondok Betung ). Jumlah curah hujan tahunan di BMG Jakarta adalah sebesar 2059 mm, sedangkan di Cengkareng adalah sebesar 1622 mm dan di Pondok Betung sebesar 2895 mm. Hari hujan rata-rata bulanan di Jakarta juga lebih banyak yaitu 16 hari hujan dan di Cengkareng terjadi hari hujan sebanyak 12 hari hujan serta di Pondok Betung 17 hari hujan. 5. Daftar Acuan Anton Dajan, 1998. Pengantar Metode Statistik, LP3ES. Jilid II cetakan ke 3, Jakarta. Ali Mas’at, 1998. “Dampak Pembangunan Terhadap Variasi Iklim di Jakarta Jilid I), Jakarta. Chandler, TJ, 1966. The Climate of London, Huchinson, London. H.E. Lansberg, 1960 “Phsyical Climatology, Gray Printing CO., p.391” Elsevier, Amsterdam. J.F. Griffiths and M.J. Griffiths, 1974. N.O.A.A. : “Technical Memorandum, EDS 21.” Washington. J.E. Oliver, 1973 “Climate and Enviroment, Wiley”. Cambridge, UK. John F. Griffiths, 1976. “Applied Climatology an Introduction”. London. Soepangkat, “Pengantar Meteorologi” jilid I BPLMG, Jakarta. Soejitno, 1978. “Dasar dasar Peramatan Meteorologi Permukaan”. Jakarta. R.C. Runnels, D. Randerson and J.F. Griffiths, 1972. “Int. J. Biometeor”. Houston, Texas. World Meteorology Organization,1972. “General of Climatological 1 & 2” Geneva, Switzerland. World Meteorology Organization, 1970. “Urban Climate, No.254” Geneva, Switzerland.