BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai sebuah negara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai sebuah negara, Indonesia terbentuk dengan tingkat ragam budaya
yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat .Keragaman
tersebut seharusnya menjadi kekuatan dan modal sosial bagi negara ini, akan
tetapi realitasnya, konflik sosial yang berbau SARA berulang-ulang terjadi.
Menurut Gemawan 2013, mencatat tahun 2010 telah terjadi peristiwa konflik.
Sementara pada tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan tahun 2012 terjadi 128
peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September Kemendagri mencatat telah
terjadi 53 peristiwa konflik. Jadi dari tahun 2010 hingga September 2013, telah
tercatat 351 peristiwa konflik. Baik konflik yang bernuansa SARA, bentrokan
warga dengan organisasi kemasyarakatan, aksi kekerasan menolak kenaikan
bahan bakar minyak, bentrokan antar massa pendukung calon kepala daerah
hinggga pada aksi / bentrokan massa terkait sengketa pertahanan.
Menurut Wajiran (2013), Berbagai macam konflik sosial yang terjadi
dipicu oleh berbagai faktor seperti misalnya kerentanan pada masyarakat, adanya
perbedaan kepentingan antar kelompok. Pemicu adanya konflik ada yang bersifat
sederhana, tetapi ada juga yang bersifat sangat kompleks. Konflik yang bersifat
sederhana umumnya disebabkan karena adanya kesalahpahaman antara satu
dengan yang lainnya. Sedangkan konflik yang kompleks memiliki sifat politis
karena dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan yang lebih besar daripada isu-
Universitas Sumatera Utara
isu yang menjadi sumber konflik itu sendiri. Seperti isu-isu yang berkaitan dengan
konflik agama di beberapa daerah mungkin saja hanya sebagai sumbu penyulut
saja, tetapi di belakang terjadinya konflik itu ada suatu kepentingan politik yang
melatari terjadinya konflik itu. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial
yang memiliki kecenderungan membuat kelompok-kelompok sesuai dengan
kepentingan mereka. Kelompok-kelompok juga ditentukan oleh adanya kesamaan
ciri-ciri tertentu; seperti warna kulit, persamaan paham (keagamaan/kepercayaan),
teritori (bangsa), umur, profesi, dan lain sebagainya. Masing-masing kelompok ini
pun bersifat sangat resisten terhadap kelompok lain agar kepentingan mereka
tidak diganggu. Itu sebabnya konflik mudah sekali menjalar menjadi besar karena
adanya kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan tersebut.
Konflik karena perbedaan-perbedaan inilah sebenarnya yang disebut dengan
perang identitas.
Berdasarkan situasi di atas, Indonesia harus berusaha keras menciptakan
suatu Integrasi sosial untuk mencegah terjadinya konflik sosial, khususnya konflik
yang berbau SARA. Nilai integrasi Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang
tertuang kedalam Dasar Negara dan merupakan modal dasar dari peningkatan
integrasi sosial bangsa. Kebangsaan Indonesia adalah adanya persatuan antara
orang dan tempat , persatuan antara manusia dan tanahnya , mempunyai
persamaan nasib dan persatuan watak serta mempunyai cita-cita untuk bersatu
sebagai suatu bangsa. Integrasi keserasian satuan satuan yang terdapat dalam
suatu sistem (bukan penyeragaman , tetapi hubungan satuan-satuan demikian rupa
Universitas Sumatera Utara
dan tidak merugikan masing-masing satuan) yang saling mendukung satuan dan
masih memiliki identitas, dan saling mendukung.
Terjadinya integrasi sosial juga di karenakan anggota masyarakat berhasil
mengisi kebutuhan kebutuhan mereka, berhasil menciptakan nilai dan norma
sebagai tuntunan dalam melakukan hubungan sosial antar individu, termasuk
menyepakati untuk melakukan apa yang dilarang oleh kebudayaan mereka, dan
norma dan nilai yang diciptakan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan
bersifat konsisten. Integrasi sosial sangat dibutuhkan , tidak hanya mengikat antar
etnik di Indonesia yang berbeda beda agar terhindar dari berbagai bentuk
perpecahan dan konflik-konflik sosial , termasuk konflik SARA, yang berujung
pada kerusuhan massal yang diwarnai aksi kekerasan, yang tentunya
menimbulkan kerugian yang cukup besar baik dari segi materiil maupun non
materiil. Kebudayaan daan adat istiadat yang dipakai merupakan salah satu
kebutuhan pada nilai-nilai integrasi yang merupakan dasar atas pengendalian
masyarakat duna menjaga kesatuan masyarakat. Dalam mewujudkan integrasi
sosial diperlukan nilai, norma, tatanan hukum sebagai pedoman dalam
menjalankan kehidupan sosial sehingga menciptakan keharmonisan dan
kedamaian.
Berangkat dari pernyataan di atas, masyarakat Batak Toba juga memiliki
cara untuk mempertahankan integrasi satu kelompok marganya . Menurut
Vergouwen dalam Togar Nainggolan 2006, kesatuan marga ini dijamin oleh
hubungan mereka dengan nenek moyang mereka sebagai satu keluarga. Dalam
pergaulan sehari hari mereka lebih mengutamakan kepentingan marga daripada
Universitas Sumatera Utara
kepentingan pribadi, misalnya dalam hal ritus famili. Orang-orang semarga
memegang prinsip satu kurban (sisada somba), satu kesatuan makan bersama
(sisada sipanganon), satu dalam kemakmuran (sisada sinamot), satu dalam
kemulian (sisada hasangapon), dan satu dalam kenistaan (sisada hailaon).
Kesatuan antara orang- orang semarga begitu kuat sehingga mereka diumpamakan
seperti orang yang memotong air tak bisa putus (tumpulon aek do na
marsabutuha). Tetapi serentak dengan itu mereka harus berhati hati dan hormat
kepada teman semarganya ( manat mardongan tubu) karena urusan Marga sangat
kompleks. Cunningham mengatakan, bahwa marga merupakan kuasa tertinggi
atas kesadaran dan kesatuan kelompok marga. (Togar Nainggolan 2006 : 69).
Menurut Bungaran Antonius Simanjuntak (2009) dalam Barndo, di dalam
hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menetukan hubungan sosial.
Setelah saling memberitahukan marga, masing masing mengingat latar belakang
silsilah dan analogi internal dan eksternal. Latar belakang silsilah dan analogi itu
antara lain tingkatan kedudukan dalam silsilah. Dengan cara ini Orang Batak
Toba dapat menentukan referensi panggilan apakah orang itu kedudukannya
sebagai adik atau abang, bapak tua atau bapak muda, saudara perempuan (ito), dan
yang lainnya. Untuk lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya , mengikat
hubungan marga mereka dan menambah keakraban diantara mereka maka orang
Batak akan membentuk suatu perkumpulan berupa kelompok kelompok sosial
atau kelompok marga, tentunya didasarkan dengan anggota anggotanya yang
terdiri dari marga yang sama. Jadi tidak mengherankan jika organisasi organisasi
Universitas Sumatera Utara
yang terbentuk dikalangan Batak toba adalah Perkumpulan marga- marga.(
Brando, 2010:2)
Dalam masyarakat Batak Toba banyak sekali perkumpulan marga. Tujuan
perkumpulan marga-marga dalam etnik Batak Toba diciptakann salah satunya
adalah mempertahankan keutuhan kelompok marga itu sendiri. Marga merupakan
dasar untuk menentukan “partuturan” atau hubungan persaudaraan baik untuk
kalangan semarga atau untuk kalangan marga-marga yang lain dalam lingkup
etnik Batak Toba. Marga juga merupakan nama persekutuan dari orang-orang
bersaudara (sedarah), seketurunan menurut garis keturunan dari laki-laki (bapak)
yang mempunyai tanah sebagai milik bersama ditanah asal atau tanah leluhurnya.
Dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidak-tidaknya
dapat memperkecil terjadinya perkawinan satu marga. Sebagai landasan pokok,
marga mempunyai fungsi untuk mengatur ketertiban dalam suku Batak agar tidak
terjadi perkawianan antara satu marga. Selain itu juga untuk mengatur hubunganhubungan antara berbagai pihak akibat kompleksnya hubungan antar keturunan
serta untuk mengurangi konflik. Dengan adanya marga, hubungan kekerabatan
terjalin secara teratur dan menunjukkan tali pengikat untuk mempersatukan antara
seorang dengan orang lain, khususnya dalam satu keturunan yang cukup besar dan
mengikat, mempersatukan keturnan dalam satu kelompok marga Batak.
Salah satu perkumpulan marga dalam Batak Toba adalah Punguan marga
Silahisabungan Dohot Boru. Punguan marga Silahisabungan ini, yang terdiri dari
8 kelompok marga, diantaranya Haloho, Situngkir, Rumah Sondi, Sidabutar,
Dabariba, Debang, Pintu Batu, Raja Tambun. Ke-8 kelompok marga ini
Universitas Sumatera Utara
dahulunya
adalah
Silahisabungan.
nama
Tujuh
dari
anaknya
anak-anak
dilahirkan
seorang
raja
oleh
Pinggan
yang
bernama
Matio
boru
Padangbatanghari, yaitu loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Dabariba Raja,
Debang Raja, Batu Raja sementara dari isteri kedua boru Nailing Nairasaon,
hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Tambun Raja. Raja
Silahisabungan juga mempunyai seorang puteri dari hasil perkawinannya dengan
Pinggan Matio boru Padangbatanghari bernama Deang namora yang tidak
berkeluarga hingga akhir hidupnya. Hubungan
ke delapan
anak dari
Silahisabungan dulu sering diwarnai konflik. Konflik dilatarbelakangi rasa
kecemburuan yang dialami ketujuh anak dari Silahisabungan dengan Pinggan
Matio, yang sangat iri melihat Raja Tambun yang sangat dikasihi oleh kedua
orangtua mereka bahkan adik perempuan mereka, Deang Namora. Melihat keirian
ketujuh anaknya, Raja Silahisabungan kemudian membuat “Poda Sagu-sagu
marlangan” yang merupakan nasihat dan hukum atau norma bagi ke delapan
anaknya yang berintikan bahwa mereka adalah satu keturunan dan harus saling
mengasihi. Adapun isi dari poda sagu-sagu marlangan ini adalah :
1. Saling mengasihi, penuh persaudaraan yang langgeng bagi seluruh turunan
Raja Silahisabungan mulai saat ini hingga generasi demi generasi.
2. Tidak boleh turunan si Abang yang tujuh (loho raja, tungkir raja, sondi
raja, dabariba raja, butar raja, debang raja, batu raja) menyebut bahwa
mereka bukan satu ayah satu ibu dengan turunan adiknya tambun raja,
demikian juga sebaliknya, tambun raja, tidak boleh menyebut bahwa
mereka tidak seibu dan seayah dengan turunan abangnya yang tujuh
Universitas Sumatera Utara
3. Seluruh turunan abangnya yang tujuh harus mengasihi saudara perempuan
mereka turunan dari tambun raja, dan demikian dengan tambun raja harus
mengasihi saudara perempuan dari turunan abngya yang tujuh
4. Pantang saling mengawini antara turunan abannya yang tujuh dengan
turunan adiknya tambun raja.
5. Pantang memulai pertikaian dan perselisihan bagi segenap turunan
Silahisabungan.
Poda sagu-sagu marlangan ini juga memberikan sanksi yang tegas bagi
setiap keturunan Silahisabungan yang melanggarnya. Semenjak ditetapkannya
poda sagu-sagu marlangan sebagi norma di kalangan keturunan Silahisabungan
hubungan persaudaraan pun semakin erat bagi keturunan Silahisabungan. (Eli
Silalahi, dkk 2008:23)
Awal abad ke-20, orang Batak Toba banyak yang meninggalkan tanah
kelahirannya di Tapanuli Utara, dan bermigrasi ke kota-kota besar dengan alasan
mencari pekerjaan dan melanjutkan pendidikan mereka. Demikian pula dengan
para keturunan Silahisabungan yang ada di kampung induk di Silalahi Nabolak
saat itu, banyak yang merantau bahkan bermigrasi ke kota-kota besar. Setelah
sukses di daerah perantauan dan mapan, banyak dari mereka juga memilih untuk
tinggal dan menetap di daerah perantauan daripada pulang ke kampung induk
mereka di Silalahi Nabolak, karena mereka melihat peluang hidup yang besar di
tanah perantauan. Di tanah perantauan, kelompok-kelompok migran Batak banyak
mempertahankan identitas mereka dengan mendirikan organisasi-organisasi etnis
mereka sendiri berdasarkan marga . Demikian pula yang dilakukan oleh delapan
Universitas Sumatera Utara
keturunan dari Silahisabungan. Mereka membentuk kelompok kelompok etnis
berdasarkan marga mereka. Misalnya punguan marga Sihaloho, punguan marga
Situngkir, punguan marga Sondi raja, punguan marga Sidabutar (hanya dipakai
dikampung induk saja) atau jika di tanah perantauan disebut Sinabutar, punguan
marga Sidabariaba, punguan marga Sidebang, punguan marga pintu Batu dan
punguan marga Tambunan. Punguan-punguan
disetiap daerah di Indonesia dan
marga ini mempunyai cabang
pusat sekretariat Punguan Pomparan
Silahisabungan ini di Indonesia berada di Jakarta. Selain dengan membuat
punguan marga di tanah perantauan, ke delapan keturunan Raja Silahisabungan
ini
berusaha
menciptakan
integrasi
sosial
diantara
sesama
keturunan
Silahisabungan dengan membuat Tugu/makam sebagai monumen untuk
memperingati leluhur mereka Raja Silahisabungan yang dahulu telah menyatukan
kedalapan anaknya. Dalam budaya Batak Toba, sebenarnya tidak mengenal tugu,
artinya tugu tidak merupakan bagian yang hakiki dari kebudayaan Batak. Oleh
sebab itu dalam kamus bahasa batak ttidak ditemukan kata Tugu, namun yang ada
adalah batu Partinandaan, pungu-pungu partinandaan Partinandaan sian batu,
Tambak, partinandaan diiatas tanoman. Masyarakat Batak mengenal kuburan tua
yang ditinggikan atau disebut batu na pir. Batu na pir merupakan tempat mayat
atau berupa tulang belulang (dapat berupa simbolis tanah/ tempat tersebut
digunakan sebagai tempat tulang belulang ) karena tidak ditemukan lagi kakek/
nenek moyang bersama dari marga inti atau dari cabang marga dalam satu
keluarga bersama. Oleh sebab itu tugu bermakna sebagai lambang atau simbol
persatuan dan kesatuan serta kebersamaan dari masyarakat yang semarga, baik
Universitas Sumatera Utara
kelompok satu marga induk,(kakek moyang bersama satu marga atau cabang
marga dari satu keturunan dari satu bapak leluhur), oleh sebab itu juga ada
upacara memasukkan tulang belulang kakek moyang bersama kedalam batu na
pir
(Panangkokhon saring-saring tu pbatu na pir). Sampai sekarang menjadi
bagian hakiki dari kebudayaaan batak, dan masih tetap berlangsung , dan upacara
ini dimaknai sebagai penghormatan kepada para leluluhur.
Pada umumnya bahwa kebanyakan orang Batak Toba diperantauan setuju
dengan adanya pembuatan Tugu ini dengan alasan ,untuk menjaga tradisi suku,
mencari berkat dan pertolongan dari nenek moyang, membangun kesatuan famili.
Keturunan Raja Silahisabungan ini tersebar dipelosok tanah air dengan berbagai
tingkat kehidupan pendidikan dan profesi antara lain, pengusaha, petani, bahkan
ada juga yang duduk dibangku pemerintahan dan sebagai pejabat pemerintahan.
Keberhasilan dan kebesaran keturunan raja Silahisabungan seperti ini dalam
masyarakat Batak tergambar dalam bingkai kesuksesan yang disebut sebagai
Hamoraon,
Hagabeon,
Hasangapon.
Dalam
rangka
memelihara
serta
melestarikan Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon atau nilai yang sudah berhasil
diraih sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu yang patut disyukuri
maka diperlukan upaya untuk terpeliharanya rasa persaudaraan diantara seluruh
keturunan / Pomparan raja Silahisabunagan. Salah satu wujud persaudaraan dan
persatuan adalah pembangunan Tugu Makam raja Silahisabungan yang terletak di
Desa Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, kabupaten dairi, Sumatera
Utara
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan tugu ini didasari pada Raja silahisabungan sebagai cikal
bakal marga Silalahi, yang diperkirakan keturunnannya mencapai 18-23 generasi
yang tersebar
didaerah Toba Samosir, Tapanuli utara, Pak-pak- Dairi,
Simalungun, tanah karo, langkat dan Deli Serdang. Dalam kurun waktu yang
begitu lama telah terjadi perubahan berita keagungan Raja Silahisabunagan di
berbagai daerah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat sesama warga
Silahisabungan. Dalam berbagai perubahan pandangan ini, keturunan Raja
Silahisabungan yang terdiri dari delapan marga tersebut mencoba mencari
persamaan atas informasi yang beredar sehingga dapat menyatukan persepsi yang
berbeda-beda. Pembuktian tersebut dilihat dari dibentuknya panitia Tarombo Raja
Silahisabungan tahun 1963 di Medan yang merupakan salah satu usaha yang
menyatukan persepsi yang berbeda sehingga dapat tersusun tarombo kelompok
marga Silahisabungan yang dapat diterima semua pihak yang terkait.
Pembentukan panitia tugu/tambak dan tarombo Raja Silahi sabungan tahun 1967
di Silalahi Nabolak adalah merupakan puncak usaha menyatukan beragam
perbedaan persepsi yang ada
sehingga dapat tersusun tarombo Raja
Silahisabungan yang dapat diterima semua pihak. Pembentukan panitia tugu/
tambak dan tarombo Raja Silahisabunagan tahun 1967 di Silalahi Nabolak
merupakan puncak usaha menyusun tarombo Raja Silahisabungan dengan motto
‘rap renta pomparan ni raja Silahisabungan’. Tentu saja penyusunan tarombo ini
didasari pada buku-buku tarombo suku batak yang diteliti. Tahun 1968 setelah
meneliti buku-buku tarombo, dan mengumpulkan beragam informasi dari hasil
Universitas Sumatera Utara
musyawarah besar warga Silahisabungan telah diambil kesimpulan tarombo Raja
Silahisabungan.
Pada tahun 1981 tertanggal dari 23 hingga 27 November, Tugu makam
Raja Silahisabungan di maras Silalahi Nabolak diresmikan. Pembangunan tugu ini
sendiri memakan waktu yang cukup lama dimulai dari tahun 1969 hingga tahun
1980, kurang lebih 29 tahun lamanya. Sejak diresmikannya Tugu Makam raja
Silahisabungan tahun 1981, maka tiap tahun dilakukan pesta tahunan yang
dilaksanakan secara bergiliran oleh delapan kelompok keturunan raja Silahi
Sabungan dalam bentuk kegiatan adat, budaya, rohani, sosial, sebagai wujud
ucapan terimakasih dan pujian kepada Tuhan serta media saling mengasihi sesama
keturunan / Pomparan raja Silahisabungan. Atas dasar hal ini lah peneliti tertarik
untuk meneliti bagaimana proses integrasi sosial dalam kelompok marga
Silahisabungan yang tersebar di seluruh indonesia dengan tingkat perbedaan yang
kompleks dapat bertahan melalui Pesta Luhutan Bolon Tugu/ Makam Raja
Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya.
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa
masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu diteliti. (Usman dan Purnomo, 2004:26). Berdasarkan apa yang telah
diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, yang menjadi rumusan masalah
adalah Bagaimana Fungsi Pesta Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan
Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahi Sabungan.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penulis
dalam meneliti permasalahan ini adalah untuk menganalisa atau mengamati fungsi
pesta tugu luhutan bolon dalam mempertahankan integrasi pomparan Raja
Silahisabungan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang
ada, terutama bagi mahasiswa sosiologi dan bagi siapa saja yang membaca
penelitian ini yang tertarik dengan ilmu sosiologi.
1.4.2
Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi yang ada dan
menambah wawasan bagi penulis, dan pemahaman penulis tentang Fungsi Pesta
Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan Integrasi pomparan Raja
Silahisabungan.
1.5 Defenisi konsep
1. Adat
Adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susila.
Susila ini dimengerti dalam konteks harmoni spiritual, dimana kedamaian
meneluruh ada karena kesepakatan bersama. Karena itu adat adalah suatu cara
pikir bangsa Indonesia , dimana mereka membentuk dunianya. Adat mencakup
seluruh kehidupan. Manusia dengan kematiannya tidak mungkin kehilangan
Universitas Sumatera Utara
adatnya. Orang-orang mati memelihara dan menjaga adat melalui tradisi yang
telah diwariskan oleh nenek moyang. Dengan perantaraan adat, mereka tetap
berehubungan dengan orang orang hidup. Yang merupakan inti pokok
persekutuan antara orang-orang mati dan orang-orang hidup ialah justru adat
bapa-bapa leleuhur sebagai tata tertib kehidupan anak-cucu mereka. Dalam
persekutuan hidup dengan nenek moyang persekutuan adat itu menyatakan diri
sebagai persekutuan religi. Suatu ciri yang menentukan dari religi ini ialah
menyangkut kepada kesatuan etnis dan oleh sebab itu disebut religi etnis. Dari
suatu sisi, tradisi nenek moyang , adat mempunyai sifat yang religius yang kuat.
Adat mempunyai fungsi kultural dan fungsi sosial. Alasan mengapa adat begitu
kuat melekat pada diri pemiliknya ialah karena adat sebagai patokan dan tata cara
hidup tetapi meresapi kehidupan secara aktif. Adat mewujudkan suatu religionitas
atau kepercayaan alamiah yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Dari
hasil studinya Batak Toba ternyata cukup kuat dalam mempertahankan adatnya.
Contohnya pendirian tugu (monumen nenek moyang) yang kini masih hidup di
daerah Batak toba merupakan bukti bahwa penyembahan nenek moyang masih
terus berlanjut pada mayarakat Batak Toba.
2. Tugu
Tugu secara terminologi dapat diartikan dengan monumen. Bagi masyarakat
Batak dapat dijadikan sebagai segala sesuatu yang telah melalui ketahanan yang
sangat lama dipakai untuk mengenang seseorang yang notabene
seseorang
tersebut adalah kakek moyang bersama satu marga induk atau satu cabang marga
atau satu tuirunan dari kakek / nenek moyang (sa ompu). Pembangunan tugu di
Universitas Sumatera Utara
kalangan orang batak adalah berupa suatu kerangka yang berkaitan dengan adat
batak dan merupakan peringatan atau penghormatan bagi nenek moyang atau
seorang motivasi Raja sehingga penafsiran arti , motivasi Raja, sehingga
penafsiran arti, motifvasi pendirian suatu Tugu tersebut perlu dipahami dari
berbagai sudut. Dalam Togar Nainggolan ( 2006:242), menyatakan, ada berbagai
keteranagn yang diberikan dalam literatur oleh informannya terkait tentang
pendirian tugu-tugu modern ini
a. Alasan politik
Orang Batak makin banyak jumlahnya dan kaya di komunitas urban pada
tahun 1960-an, tetapi pada saat yang sama mereka merasa tidak aman. Kekalahan
pemberontakan PRRI tahun 1958 sampai 1959 memunculkan goncangan yang
cukup kuat akan peranan tetap orang batak Toba dalam militer Sumatera utara.
Penarikan diri kembali para pemberontak dibawah komando Kolonel Simbolon
dari Medan ke Tapanuli Utara pada awal pemberontakan mengingatkan secara
simbolis akan pentingnya kampung halaman sebagai pangkalan keamanan untuk
masyarakat Batak Toba, meski mereka sudah menjadi masyarakat urban. Pada
bulan Novenber 1961 Sisingamangaraja XII diakui secra resmi sebagai pahlawan
nasional dari suku Batak atas perjuangannya melawan penjajah Belanda, atas
dasar ini jugalah Soekarno mendorong pendirian tugu-tugu pahlawan nasional,.
Hal ini membangkitkan keinginan orang Batak untuk mendirikan Tugu
Sisingamangaraja XII dibeberapa kota di Sumatera Utara.
b. Alasan ekonomi dan status
Universitas Sumatera Utara
Umumnya tugu-tugu yang besar dan megah yang terdapat di Tapanuli Utara
dibangun oleh para Orang Batak yang ada ditanah perantauan yang telah
meninggalkan kampung induk , dan mereka adalah yang mempunyai hidup
berkecukupan, kaya dan elit. Perlombaan status jelas merupakan satu faktor dalam
kemegahan tugu dan kemewahan pesta pada saat peresmiannya. Tugu yang
didirikan oleh kelompok satu marga dapat memprovokasi kecemburuan pada
kelompok marga lain sampai mereka dapat merealisasikan tugu tersebut pada
marga mereka sendiri. Dalam bruner tahun 1987 mengatakan kebanyakan dari
pengkritik pendirian tugu mengatakan bahwa orang yang sudah berhasil di daerah
perantauan ingin mempertontonkan kesusksesan mereka
kembali dikampung
induk mereka. Motifnya adalah kesombongan dan kecongkakan. Sementara Reid
(2002) dalam Togar (2006), mengatakan, kelompok yang mendukung akan
berkomentar bahwa kelompok keturunan mendirikan tugu untuk penegenalan diri
mereka sebagai kelompok dari satu garis keturunan.
c. Alasan religius
Tugu didirikan dan pesta mangongkal holi (pemakaman kembali)
dilaksanakan sehingga para orangtua dihormati (asa sangap natua-tua i). Hal ini
adalah cara orang batak untuk melaksanakan perintah kekristenan, yakni
hormatilah bapa dan ibumu dan hormat umum kepada orang yang sudah
meninggal. Hal ini jika dilihat dari sisi lain dapat diartikan sebagai pembelaan ,
kebanyakan mereka yang melakukan pesan diatas ada kemungkinan secara tulus
mendukung pesta-pesta ini menyadari bahwa praktek masyarakat batak Toba saat
ini jauh dari pengertian kekristenan. Sebenarnya penyembahan nenk moyang lebih
Universitas Sumatera Utara
menonjol daripada mengikut perintah kekristenan “ hormatilah bapa dan ibumu”.
Para nenek moyang disembah untuk mendapat berkat dari mereka. Berkat nenek
koyang ini bagi mereka nyata dalam hal kesehatan, kekayaan, kuasa dan banyak
keturunan. Ini merupakan satu hukti bahwa penyembahan nenek moyang masih
kuat pada masyarakat Batak Toba, yang lebih mengherankan lagi yang
menghidupkan kembali praktek ini adalah orang Batak Urban di kota-kota modern
yang pemikirannya bisa dianggap sudah lebih realistis , kaya , terpelajar dan tidak
meyakini praktek-praktek seperti ini
d. Alasan komunitas klen
Pembangunan tugu mengahadirkan sejenis kontark antara anggota
kelompok marga yang kaya denganyang miskin, mereka yang merantau dan yang
tinggal dikampung induk, yang muda dan tua. Ide dari pendirian tugu dan
pelaksanaan pesta, meskipun biasanya didanai oleh orang Batak yang migran
urban, sering diawali mereka yang tua dan tinggal dikampung induk. Bangunan
dan pesta tentu mentransfer kekayaan orang kaya kepada mereka yang miskin dari
daerah perantauan yang ada di kota ke desa. Hal ini pun membuat orang desa
mendapat bantuan memperbaiki rumah rumah mereka untuk menampung orang
kota saat akan berkunjung ke kampung induk atau saat melakukan pesta besar
terhaqdap nenek moyang atau perkumpulan satu kelompok marga dari berbagai
penjuru. Pengertian yang lebih fundamentalnya ialah bahwa orang kaya dan
miskin bersama-sama dapat menghormati nenk moyang mereka. dengan demikian
ikatan klen (marga) dikuatkan.
e. Alasan identitas
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan tugu dan khususnya pesta ritus, yang menemaninya
menguatkan ikatan garis keturunan yang barangkali sudah mulai terkikis karena
adanya migrasi. Hal ini menjembatani ketidakcocokan yang dirasakan anatara
gambaran yang ideal akan masyarakat batak dan situasi masyarakat yang dialami
secara aktual. Ini membawa ketegangan bagi masyarakat batak berbicara tentang
adat mereka yang dianggap sakral dan tidak terikat ruang dan waktu sementara
batin mereka mengalami keterasingan karena hidup di perantauan. Tugu, seperti
halnya semua monumen, merupakan jembatan antara masa sekarang dan masa
lampau. Melalui pesta tugu orang-orang menangkap kembali masa lalu mereka,
sejarah nenek moyang dan asal usul mereka. Ritus tugu menjadi suatu cermin diri
bagi mereka yang lalu. Para migran masyarat Batak yang hidup di kota-kota besar
untuk beberapa waktu meninggalkan dunia urban yang sekular lalu masuk ke
dunia adat yang magis dikampung induk mereka. bersama sama dengan kelompok
marga yang se-klen, dan keluarga karena peerkawinan, mereka merayakan
genealoginya. Ritus tugu menguatkan kebatakan para migran. Kesatuan klen
(marga) ini dapat disimbolakn melalui suatu patung dari nenek moyang . pada saat
ini sponsor untuk mendirikan tugu datang dari keturunan satu klen yang migran
yang mungkin semakin sadar akan identitas mereka ditengah suku-suku lain di
daerah perantauan. Pendirian tugu modern oleh masyarakat batak toba yang
berada di daerah rantau, menjadi sarana bagi klen mereka untuk menguatkan
identitas mereka. Jikalau dahulu pemujaan nenek moyang ini dilakukan dengan
memasukkan tulang belulang kedalam sorkefage, sekarang hal itu dilakukan
dengan memasukkan tulang belualng nenek moyang kedalam tugu. Maknanya
Universitas Sumatera Utara
tetap sama untuk penujaan nenek moyang. Ritus tugu ini bermakna peristiwa yang
kultural, yang mempersatuakan aspek-aspek identitas batak dalam hal ini adalah
klen (marga), huta (kampung induk), dalihan na tolu, dan adat yang menguatkan
solidaritas diantara anggota klen. Untuk mengerti diri mereka yang sekarang,
mereka masuk ke masa lalu. Identitas Batak Toba bagi migran Batak Toba
dikuatkan dengan sikap mereka yang kembali kepada tradisi lama. Identitas batak
Toba didaerah perantauan hadir dengan bentuk network/jaringan, tetangga, famili,
rite de passage, dan kumpulan organisasi-organisasi Batak Toba yang lain.(Togar
Nainggolan , 2006: 246) Raja Parmahan Silalahi merupakan cabang marga induk
yang memiliki kampung induk berada di hinalang Silalahi, balige. Ada juga istilah
tugu berukuran kecil sebagai tempat tulang belulang dari satu ranting marga induk
disebutlah kakek bersama dari ranting marga yaitu (saompu) biasanya lima
sampai dengan tujuh generasi atau sundut. Demikian halnya pembangunan Tugu
pada kelompok marga Silahisabungan. Tugu makam Raja Silahisabungan, dan
Ruma parsantian oleh keturunan raja parmahan Silalahi oleh semangat
(Pasangapma natorasmu asa leleng ho mangolu di tano ma nilehon ni Jahowa
debatam di ho”. Motto dari pada keturunan nya harus menghindar dari teal / toal
dan makna hasipele beguon. Dalam pembuatan tugu Raja Parmahan ini dan Ruma
Parsantian, para keturunanya dituntut bersatu dalam satu kesatuan .
3. Integrasi sosial
Integrasi Sosial adalah suatu proses dari unsur-unsur dalam suatu masyarakat
(kelompok sosial) yang saling berhubungan secara intensif, dan harmonis dalam
kehidupan sosial sehari-hari
dan dalam interaksi diberbagai bidang
(sosial,
Universitas Sumatera Utara
ekonomi, politik, dan sebagainya, dengan kata lain Integrasi sosial lebih bersifat
sosiologis.
Hess
(1988)
dan
Federico
(1979)
dalam
eriyanti
(2013)
mengemukakan bahwa proses integrasi sosial pada umumnya melalui beberapa
tahap, yaitu tahap-tahap segregasi atau separatisme, akomodasi, akulturasi,
asimilasi dan amalgamasi. Disamping itu, McLemore (1998) mengemukakan ada
empat tingkat tahap integrasi sosial. Pertama, integrasi primer, yaitu adanya
persamaan agama. Kedua, integrasi sekunder, yakni adanya kebebasan untuk
bekerja dan berniaga. Ketiga, integrasi budaya, ialah terciptanya pembauran
dalam hal makanan dan pakaian. Keempat, integrasi perkawinan, yang terlihat
dengan terjadinya perkawinan antara pendatang (minoritas) dengan masyarakat
setempat (mayoritas). Konsep integrasi sosial dibedakan kedalam tiga sifat.
Integrasi normatif, adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya nilai , norma,
cita-cita bersama atau adanya rasa solidaritas. Integrasi normatif pada dasarnya
memiliki kesamaan dengan sifat-sifat solidaritas mekanik yang ditandai dengan
suatu masyarakat yang sederhana yang anggotanya memperoleh sosialisasi yang
sama sehingga memiliki suatu kesepakatan nilai-nilai dasar. Integrasi normatif ini
merupakan alat untuk melihat sejauh mana masyarakat masih memiliki ikatan
yang bersifat solidaritas mekanis. Integrasi fungsional merupakan kerangka
perspektif fungsional yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang
terintegrasi antara unsur-unsurnya. Masyarakat sebagai sistem memiliki unsurunsur yang dipersatukan oleh adanya kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi
melalui interaksi
diantara unsur-unsur yang ada (ketergantungan fungsional).
Integrasi fungsional ini mengarah pada hubungan vertikal dan horizontal.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan vertikal mengarah pada warga masyarakat dengan negara sedangkan
hubungan horizontal mengarah pada warga atau kelompok dalam masyarakat,
apakah warga masyarakat secara individu, kelompok , golongan, maupun antar
daerah masing-masing memiliki fungsi yang khas dan bisa mereka pertahankan
sehingga ada saling ketergantungan. Integrasi koersif merupakan integrasi yang
terjadi bsebagai hasil dari kekuatan yang sanggup mengikat kekuatan-kekuatan
individu atau unsur-unsur masyarakat secara paksa. Singkatnya, integrasi dapat
terjalin secara paksa oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar dengan
menggunakan berbagai pranata sosial serta alat yang memiliki kekuatan untuk
mengikat dan memaksa anggota-anggota kelompok sosial. Dasar pemikiran
integrasi koersif ini adalah teori paksaan . Dahrendorf mengatakan bahwa semua
unit sosial selalu disatukan atau diintegrasikan melalui kekuatan yang menguasai
dan memaksa
4. Pomparan Silahisabungan
Pomparan Silahisabungan adalah keturunan Raja Silahisabungan yang terdiri dari
Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi raja, Sidabariba, Sinabutar, Sidebang Raja, Pintu
Batu, dan Tambun Raja. Pomparan Silahisabungan ini merupakan satu kelompok
marga dalam Batak Toba yang mempunyai tradisi dan budaya yang sedikit
berbeda dengan kelompok marga lainnya. Dari wilayah daerahnya yang berada di
Tolping, kabupaten Dairi, yang mana pada umumnya kelompok-kelompok marga
dalam suku Batak Toba mempunyai wilayah di kabupaten Tobasa. Wilayah
Silalahi yang kecil di Paropo, disudut sebelah utara danau toba yang hanya dihuni
oleh beberapa ribu orang , dapat dianggap sebagai kawasan leluhur, tempat
Universitas Sumatera Utara
moyangnya pertama kali bermukim dan menurunkan sejumlah besar anak lakilaki dari dua orang isteri. (Vergouwen 1986:16) Dari Isteri pertama yang bernama
Pinggan matio, lahirlah tujuh putra dan satu putri. Anak laki-laki pertama
dinamkan Loho
Raja, anak kedua dinamakan Tungkir Raja, anak ketiga
dinamakan Sondi Raja, anak Keempat perempuan dinamakn Deang Namora
sedangkan anak ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 bernama Butar Raja, Dabariba Raja,
Debang Raja, dan Batu Raja.Sedangkan dari isteri kedua, Boru Nairasaon,
Silahisabungan hanya dikaruniai seorang putera bernama Tambun Raja.
5. Pesta Tugu Luhutan Bolon Raja Silahisabungan
Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan merupakan adalah suatu
kegiatan sebagai ucapan syukur para keturunan Raja Silahisabungan yang
mempunyai makna untuk mengikat persaudaraan antar marga kelompok
keturunan Raja Silahisabungan. Upacara pelaksanaan pesta Luhutan Bolon Tugu
Raja Silahisabunagn ini dilaksanakan oleh seluruh keturunan Raja Silahisabungan
diseluruh dunia sebagai ungkapan terimakasih kepada nenek moyang, Raja
Silahisabungan, atas keberhasilan yang keturunannya capai didaerah rantau
ataupun dikampung induk. Inilah yang dinamakan mereka sebagai rahmat nenek
moyang mereka, Raja Silahisabungan.
1.6 Kerangka Teori
1.6.1 Perspektif Konflik Coser
Coser dalam Poloma (2010), menyatakan konflik sebagai kesadaran yang
tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat. Coser menunjukkan
sumbangan konflik yang scara potensial
positif untuk membentuk dan
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan struktur. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh
fungsi konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat stuktur)
dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik
dengan out-group. Konflik yang sedang berlangsung dengan out-groups dapat
memperkuat identitas para anggota kelompok.
Coser juga memakai istilah katup penyelamat (savety-value), yaang
merupakan
salah
memeprtahankan
penyelamat”
satu
mekanisme
kelompok
dari
khusus
yang
kemungkinan
dapat
konflik
dipaki
sosial.
untuk
“Katup
membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan
seluruh struktur, konflik dan membantu “membersihkan suasana” dalam
kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat berfungsi sebagai
jalan keluar yang meredakan
permusuhan yang tanpa katup-penyelamat ini
hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
tajam.Institusi katup-penyelamat ini juga memungkinkan pengungkapan rasa tidak
puas terhadap stuktur.
Lembaga ‘savety-velve’ ini, disamping menjalankan ungsi positif untuk
mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Katup penyelamat tidak
ditujukan untuk menghasilkan perubahan struktural, maka masalah dasar daari
konflik itu sendiri tidak terpecahkan.
Artinya, semuanya berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung
merintangi perkembangan kelompok-kelompok yang sedang bertikaiyang bisa
menimbulkan perubahan melalui konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Coser (1956 : 48) lewat katup penyelamat (safety-velve) itu permusushan
dihambat agartidak berpaling melawan objek aslinya . Tetapi penggantian yang
demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun individu : mengurangi
tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang
sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu,
menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik
yang realitis dari yang tidak realistis. Konflik yang realitis adalah konflik yang
berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam
hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Konflik yang tidak realistis
adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan antagonistis, tetapi
dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Konflik non realistis ini adalah hasil dari berbagai kekecewaan dan kerugian,
sebagai
pengganti
pengganti
antagonisme
realistis
semula
yang
tidak
terungkapkan. Dalam suatu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistis
dan non-realistis. Konflik realistis biasanya diikuti oleh sentimen-sentimen yang
secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak
mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Coser dalam Poloma (2010), terdapat kemungkinan seseorang terlibat
dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Contoh-contoh di
mana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya banyak terdapat pada
hubungan-hubungan yang lebih bersifat parsial atau segmented. Akan tetapi bila
konflik berkembang dalam hubungan-hubungan
sosial yang intim, maka
pemisahan antara konflik realistis dan konflik non realistis lebih sulit untuk
dipertahankan. Coser
(1956:62) menyatakan :Semakin dekat suatu hubungan
semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar
juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.
Sedang pada hubungan-hubungan sekunder , seperti misalnya pada rekan bisnis,
rasa permusuhan dapat ralitif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan-hubunganprimer di mana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi
hubungan tersebut, yang bersifat paradoks ialah, semakin dekat hubungan
semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. .
Tetapi semikin lama perasaan demikian ditekan, maka semakin penting
pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam
suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat,
maka konflik itu ketika benar-benar meledak, mungkin sekali akan sangat keras.
Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai
petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian, ketika konflik
meledak dalam hubungan-hubungan yang intim. Konflik yang diungkapkan dapat
merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup, sedang tidak adanya
Universitas Sumatera Utara
konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan
ada suasana yang benar-benar kacau.
1.6.2 Isu Fungsionalitas Konflik
Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok
dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Mengutip hasil
pengamatan Simmel, Coser (1956) dalam Poloma (2010), menunjukkan bahwa
konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Konflik
fungsional positif berfungsi bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar
hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Coser juga
menyatakan , orang
dapat berharap bahwa tipe konflik ini barangkali akan
memiliki dampak yang lebih besar pada hubungan-hubungan daripada konflik.
Masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar membangun benteng untuk
membendung tipe konflik yang akan membahayakan konsensus dasar dari
kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan membiarkan konflik
tersebut berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak mendasar. Konflik
antar dua kelompok dan antara berbagai kelompok antagonistis yang demikian itu
saling menetralisir dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Di
dalam mempertentangkan nilai-nilai yang berada didaerah pinggiran, kelompokkelompok yang saling bermusuhan tidak pernah sampai pada situasi yang
menyebabkan perpeacahan. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group
dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat
menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik
hanya dalam
Universitas Sumatera Utara
pandangan negatif saja . masyarakat atau kelompok yang memperbolehkan
konflik
sebenarnya
adalah
masyarakat
kemungkinan yang rendah dari
atau
kelompok
yang
memiliki
ancaman ledakan-ledakan yang akan
menghancurkan struktur sosial. Dalam situasi demikian konflik biasanya tidak
berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat memperkuat
struktur. Di dalam
kelompok-kelompok totaliter konflik ditekan dan bila telah
meledak akan menghancurkan kesatuan kelompok. Ada beberapa kondisi-kondisi
yang dapat mempengaruhi konflik dengan kelompok luar (out-Groups) dan
struktur kelompok, antara lain, Coser menunjukkan bahwa konflik dengan
kelompok luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya
konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi
integrasi di dalam
kelompok. Coser (1956:92-93) berpendapat bahwa tingkat konsensus kelompok
sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timabal balik yang penting dalam
konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Coser juga
menyatakan ,bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman
dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum, dan
akibatnya kelompok terancam perpecahan. Coser juga menunjukkan bahwa
konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan , dan lewat sarana
yang demikian kelompok-kelompok kepentingan mempertahankan kelangsungan
masyarakat.
1.6.3 Konflik Kelompok Antarkelompok dan Solidaritas Kelompok Dalam
Fungsi konflik yang positif dalam dinamika kelompol dalam (In-group)
versus hubungan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan
Universitas Sumatera Utara
integrasi kelompok dalam bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau
konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang semakin
tinggi dari suatu kelompok yang terlibat dalam konflik membantu memperkuat
batas antara kelompok satu dengan kelompok-kelompok yang lainnya dalam suatu
lingkungan, khususnnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensial dapat
menimbulkan
permusuhan.
Didalam
kelompok
itu
ada
kemungkinan
berkurangnya toleransi akan perpecahan atau pengkotakan, dan semakin tingginya
konsensus dan konformitas. Para penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi
ditoleransi. Sebaliknya apabila kelompok itu tidak terancam konflikdengan
kelompok luar yang bermusuhan tekanan yang kuat pada kekompakan,
konformitas, dan komitmen terhadap kelompok tersebut makin berkurang.
Ketidaksepakatan internal mungkin dapat muncul kepermukaan, dan para
penyimpang mungkin akan lebih ditoleransi.
Fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan
meningktkan moral kelompoknya, sehingga kelompok-kelompok dapat berusaha
memancing antagonisme dengan kelompok luar supaya mempertahankan atau
meningkatkan solidaritas internal. Ancaman dari luar membantu meningkatkan
atau mempertahankan solidaritas internal. Ketegangan dalam suatu kelompok
dapat dihindarkan untuk tidak merugikan kelompok lain jika ketegangan tersebut
dapat diproyeksikan ke suatu sumber lain yang ada di luar. Ikatan-ikatan sosial
dengan kelompok luar juga dapat muncul karena beberapa alasan seperti
keinginan untuk berdamai dengan musuh daripada aktif berjuang melawannya.
Tetapi kelompok yang ingin berdamai dengan kelompok luar ini dianggap sebagai
Universitas Sumatera Utara
pengkhianat. Coser mengemukakan jika konflik dapat menyebabkan perang, atau
jika kelompok itu memeliki pembagian kerja yang tinggi, maka sentralisasi
kekuasaan kemungkinan akan naik, namun kondisi seperti ini bisa dihindari jika
ada koordinasi. (Doyle 1990: 196)
1.6.4 Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok
Coser mengemukakankonflik internal dapat menguntungkan secara positif.
Hal ini didasari oleh pernyataannya yang mengatakan bahwa semua hubungan
sosial pasti memiliki hubungan sosial tertentu, ketegangan-ketegangan, dan
perasaan-perasaan negatif. Hal ini ditujukan terhadap hubungan kelompok dalam
yaitu hubungan yang intim dan segmental dan sekunder. Ketegangan dan
perasaan-perasaan negatif yang tidak dapat dielakkan ini merupakan hasil dari
keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan, prestise,
dukungan sosial, atau penghargaan-penghargaan lainnya, karena banyak dari
penghargaan-penghargaan merupakan sumber daya yang langka dan mempunyai
tingkat kompetisi tertentu yang harus dihadapi. Ketegangan yang ada dalam
semua hubungan sosial dikarenakan individu-individu berbeda satu sama lain
dalam kebutuhan, tujuan pribadi, keterampilan, kemampuan.Bentuk ketegangan
atau konflik pada tingkatan yang lebih besar akan mencerminkan apakah konflik
itu diketahui secara eksplisist dan dirembukkan atau apakah konflik itu
menyangkut prinsip-prinsip dasar atau isu-isu yang sekunder dalam hubungan
tersebut.
Menekan konflik merupakan hal yang biasa khususnya dalam kelompok
seperti keluarga, yang diharapkan untuk hidup rukun secara emosional dan
Universitas Sumatera Utara
dukung mendukung dalam hubungannya. Menekan berarti bahwa kepentingan
para anggota yang saling bertentang itu dilihat sebagai hal yang ganjil dan karena
itu harus ditekan, tidak dibicarakan secara terbuka. Menekan konflik tidak
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang . Meskipun
bersifat tertutup, konflik dasar yang ditekan akan benar-benar mempengaruhi
hubungan dalam kelompok dalan tersebut yang merusakkan solidaritas dan
akhirnya dalam bebrapa hal menimbulkan kebencian yang sangat sulit dihadapi.
Fungsi konflik yang bersifat integratif dalam suatu kelompok atau
organisasi dimana ada suatu kerangka konsensus yang lebih luas mengenai
ketidaksepakatan yang terjadi. Kerangka konsensus umum mengenai masalah
pokok tersebut hancur, maka tidak ada dasar lagi bagi kesatuan kelompok, konflik
internal dapat mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan kelompok. Ada
tidaknya konflik terbuka dapat merupakan indikator yang menyesatkan mengenai
solidaritas kelompok tersebut. Kelompok dimana sering terjadi konflik terbuka
sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar daripada kelompok dimana
tidak ada konflik sama sekali. Persatuan yang utuh dalam kelompok tersebut
biasanya diselimuti ketegangan dan permusushan. Jika ketegangan ini meledak,
maka integrasi kelompok dapat menjadi rusak. Coser menekankan semskin erat
suatu hubungan semakin besar kemungkinan munculnya sifat antagonistik
maupun keteganga. Coser juga mengungkapkan semakin intim hubungan semakin
besar pula perasaan yang dicurahkan , semakin besar pula kecenderungan untuk
menekan perasaan bermusuhan.(Doyle, 1990:199).
Universitas Sumatera Utara
1.6.5 Konflik Sebagai Suatu Stimulus Integrasi Antarkelompok
Perubahan sering terjadi dalam sifat hubungan antar kelompok dalam dan
kelompok-kelompok
lainnyansebagai
hasil
dari
konflik.
Konflik
sering
memeperkuat batas antar kelompok dalam dan kelompok luar dan meningkatkan
solidaritas kelompok dalam. Jika konflik tersebut berlarut-larut , ikatan-ikatan
sosial secara perlahan dapat berkembang diantara pihak-pihak yang bertentangan
tersebut. Salah satu iktan seperti itu adalah dibuatnya norma dan prosedur untuk
mengatur cara-cara berkonflik.
Konflik juga sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan
dengan kelompok-kelompok lain. Dalam beberapa hal, antagonisme antara
kelompok-kelompok yang berlainan dapat diatasi jika kelompok-kelompok ini
bersatu dalam suatu koalisi untuk melawan musish. Koalisi seperti ini tergantung
pada persamaan kebudayaan diantara , jumlah kepentingan bersama dan tingkat
perlawanan yang menekan perubahan yang dihadapi kelompok lain. Munculnya
perpecahan antara kelompok-kelompok yang bermusushan berakhir apabila
banyak kepentingan dan nilai sama dalam masing-masing kelompok dan apabila
kepentingankepentingan yang lain bertentangan maka kelompok kelompok yang
bersangkutan harus ditekan. Jika kepentingan dan nilai yang terdapat dalam suatu
koalisi dan jika kelompok-kelompok yang bertentangan tersebut bersedia
menerima dan merundingkan kepentingan-kepentingan yang dikonflikkan itu
maka perpecahan tidak akan begitu tajam dan isu-isu konflik lebih cenderung
meliputi tujuan-tujuan tertentu yang realistik.
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan-kepentingan yang saling berkonflik dapat secara eksplisit
dihadapi secara terbuka. Konflik-konflik ini terbatas sifatnyadan tidak
menghasilkan permusushan antara kelompok-kelompok konflik. Meskipun
konflik-konflik terdapat dalam banyak macam kelompok kepentingan dan
asosiasi, keterlibatan individual dalam organisasi yang sama biasanya terbatas
atau sementara sifatnya. Hasilnya adalah konflik tidak merusak solidaritas
masyarakat keseluruhan, malah membantu meningkatkan solidaritas.( Doyle,
1990 :204)
Universitas Sumatera Utara
Download