BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak tahun 1990 an, perhatian terhadap praktik pengelolan asset tidak berwujud (intangible asset) telah meningkatkan secara dramatis. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran intangible asset tersebut adalah intellectual capital (IC) yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang, baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan guthrine, 2000; Sullivan dan Sullivan, 2000). Munculnya “new economy”, yang secara prinsip didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, juga yang telah memicu tumbuhnya minat dalam intellectual capital (Petty dan Guthrie, 2000; Bontis, 2001). Salah satu area yang menarik perhatian baik akademisi maupun praktisi adalah yang terkait dengan kegunaan IC sebagai salah satu instrument untuk menentukan nilai perusahaan (Edvinsson dan Malone, 1997; Sveiby, 2001). Selama ini, perbedaan antara intangible assets dan IC telah disamarkan ke dalam pengertian intangible yang keduanya dirujuk pada istilah goodwil (APB, 1970; IASB, 2004). Dalam penelusuran praktik pencatatan intangible tersebut, Guthrie et al.(1999) dan IFA (1998) menemukan bahwa akuntansi tradisional tidak dapat menyajikan informasi tentang identifikasi dan pengukuran intangibles dalam organisasi, khususnya organisasi yang berbasis pengetahuan. Jenis intangible baru seperti kompetisi karyawan, hubungan dengan pelanggan, model- Universitas Sumatera Utara model simulasi, sistem administrasi dan komputer tidak diakui dalam model pelaporan manajemen dan keuangan tradisional. Saat ini di Indonesia, fenomena IC mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aktiva tidak berwujud.meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai IC, namun lebih kurang IC telah mendapat perhatian. Menurut PSAK No. 19, aktiva tidak berwujud adalah aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administrasi (IAI, 2002). Meskipun PSAK 19 (revisi 2000) yang didalamnya secara implisit menyinggung tentang IC telah mulai diperkenalkan sejak tahun 2000, namun dalam dunia praktik IC masih belum dikenal secara luas diindonesia (Abidin, 2000). Menurut abidin (2000), perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung menggunakan conventional based dalam membangun bisnisnya, sehingga produk yang dihasilkannya masih miskin kandungan teknologi. Perusahaan berbasis pengetahuan memiliki perbedaan, asset utama perusahaan tersebut bukan hanya bersifat tak berwujud, tetapi juga tidak jelas siapa yang memiliki dan berkewajiban mengurus asset-aset tersebut. Perusahaan berbasis pengetahuan mungkin tidak memiliki asset sebanyak perusahaan bentuk lama. Seperti halnya informasi yang menggantikan modal kerja, demikian pula halnya dengan asset intellectual yang menggantikan asset berbentuk fisik. Dalam sistem manajemen yang berbasis pengetahuan ini, maka modal yang konvensional seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan dan Universitas Sumatera Utara aktiva fisik lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pada pengetahuan dan teknologi. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan dapat diperoleh bagaimana cara menggunakan sumber daya lainnya secara efisien dan ekonomis, yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert 1998). Berkurangnya atau bahkan hilangnya aktiva tetap dalam neraca perusahaan tidak menyebabkan hilangnya penghargaan pasar terhadap mereka. Implementasi modal intellectual sesuatu yang masih baru, bukan saja diindonesia tetapi juga dilingkungan bisnis global, hanya beberapa Negara maju saja yang telah mulai untuk menerapkan konsep ini. Pada umumnya kalangan bisnis masih belum menemukan jawaban yang tepat mengenai nilai lebih apa yang dimiliki oleh perusahaan. Nilai lebih ini sendiri dapat berasal dari kemampuan berproduksi suatu perusahaan sampai pada loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Nilai lebih ini dihasilkan oleh modal intellectual yang dapat diperoleh dari budaya pengembangan perusahaan maupun kemampuan perusahaan dalam memotivasi karyawannya sehingga produktivitas perusahaan dapat dipertahankan atau bahkan dapat meningkat. Di Indonesia, menurut (Abidin 2000) intellectual capital masih belum dikenal secara luas. Dalam banyak kasus, sampai dengan saat ini perusahaanperusahaan di Indonesia cenderung menggunakan conventiona based dalam membangun bisnisnya, sehingga produk yang dihasilkannya masih miskin kandungan teknologi. Disamping itu perusahaan-perusahaan tersebut belum memberikan perhatian lebih terhadap Human capital, structural capital, dan customer capital. Padahal semua ini merupakan elemen pembangun modal Universitas Sumatera Utara intellectual perusahaan. Selanjutnya (Abidin 2000) menyatakan bahwa jika perusahaan-perusahaan tersebut mengacu pada perkembangan yang ada, yaitu manajemen yang berbasis pengetahuan, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia akan dapat bersaing dengan menggunakan keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui inovasi-inovasi kreatif. Yang dihasilkan oleh modal intellectual yang dimiliki perusahaan. Seiring dengan perkembangannya telah dilakukan penelitian lebih lanjut tentang modal intellectual. Berdasarkan perkembangan penelitian dibidang sosial, dinyatakan bahwa belum ada teori dan skema dan klasifikasi dari intellectual capital yang diterima secara umum (Holland, 1999). Akan tetapi berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa pengukuran metode –metode intellectual capital dapat digolongkan menjadi dua yakni pengukuran dengan penilaian moneter dan pengukuran dengan nilai non-moneter, yaitu (Tan, Plowman, Hancock, 2007, Isnawati, Anshori, 2007): Skandia IC (intellectual capital) Report method; Brooking’s Technology Broker; Balanced Scorecard, oleh Kaplan dan Norton; dan IC (intellectual capital)-index. Metode pengukuran intellectual capital dengan penilaian moneter, moneter yaitu: modal ekonomi Value Added; Model Market-to-Book Value; metode tobin’s q; Model Pulic’s VAIC™; dan menghitung intangibles value. Akan tetapi pengukuran terhadap IC perusahaan belum dapat ditetapkan secara tepat pada saat ini. Ada banyak konsep pengukuran model intellectual yang dikembangkan oleh para peneliti. Salah satunya konsep yang sering digunakan adalah metode yang dikembangkan oleh Pulic. Universitas Sumatera Utara Pulic (1998, 2000) dalam Tan et al. (2007) mengembangkan “Value Added Intellectual Coefficient” (VAIC™) yang dapat digunakan untuk mengukur intellectual capital (IC) perusahaan. Komponen utama dari VAIC™ dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA-value added capital employed), human capital (VAHU-value added human capital), dan structural capital (STVA-structural capital value added). Menurut Pulic (1998), tujuan utama dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added. Sedangkan untuk menciptakan value added dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital (yaitu dana-dana keuangan) dan intellectual potential (dipersentasikan oleh karyawan dengan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki seluruh karyawan). Di Indonesia, Ulum (2007) telah menguji hubungan IC terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor perbankan. Hasilnya membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor perbankan. Intellectual capital juga berpengaruh terhadap kinerja keuangan masa depan perusahaan sector perbankan. Tetapi rate of growth of intellectual capital (ROGIC) tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan masa depan. Kinerja perusahaan diukur dengan market to book value (MB), return of asset (ROA), return of equity (ROE), employee productivity(EP). Metode Pulic dipakai dalam mengukur intellectual capital karena seluruh informasi tersedia di laporan keuangan. Sektor perbankan dipilih sebagai sampel dalam penelitian ini karena sektor perbankan merupakan salah satu industri yang Universitas Sumatera Utara termasuk dalam katagori industri berbasis pengetahuan (knowledge basedindustries). 1.2 Perumusan Masalah Menurut latar belakang dari penelitian ini maka secara spesifik dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah Human Capital Efficiency (HCE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 2. Apakah Structural Capital Efficiency (SCE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 3. Apakah Capital Employed Efficiency (CEE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 4. Apakah Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Efficiency (SCE) dan Capital Employed Efficiency (CEE) mempengaruhi Return on Asset. 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk menguji secara empiris mengenai pengaruh Human Capital Efficiency (HCE) terhadap Return on Asset (ROA). 2. Untuk menguji secara empiris mengenai pengaruh Structural Capital Efficiency (SCE) terhadap Return on Asset (ROA). 3. Untuk menguji secara empiris mengenai pengaruh Capital Employed Efficiency (CEE) terhadap Return om Asset (ROA). Universitas Sumatera Utara 4. Untuk menguji secara empiris mengenai pengaruhHuman Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Efficiency (SCE) dan Capital Employed Efficiency terhadap Return on Asset (ROA). 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang intellectual capital dan faktor-faktor intellectual capital terhadap kinerja perusahaan 2. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan perbankan dalam pengambilan keputusan terutama dalam masalah pengalokasian anggaran yang berkaitan dengan intellectual capital 3. Memberikan masukan bagi mahasiswa ekonomi khususnya jurusan ekonomi pembangunan yang akan meneliti lebih lanjut tentang pengaruh intellectual capital terhadap kinerja keuangan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI Universitas Sumatera Utara