BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Negara-negara di dunia umumnya memiliki masyarakat yang majemuk.
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki berbagai kebudayaan
husus yang jelas sekali. Demikian juga dengan Negara kita Indonesia yang terdiri
dari beraneka ragam suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang
berbeda dengan suku bangsa lainnya. (Ismail, 2004; 69)
Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri dari beribu-beribu suku
bangsa yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, sejak ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu. Jaspan (dalam Soekanto 2005:21) mengklasifikasikan suku
bangsa Indonesia dengan mengambil patokan kriteria bahasa, kebudayaan daerah
serta susunan masyarakat terdiri dari 366 suku bangsa, dengan rincian yaitu (1)
Sumatera, 49 suku bangsa (2) Jawa, 7 suku bangsa (3) Kalimantan, 73 suku
bangsa (4) Sulawesi, 117 suku bangsa (5) Nusa Tenggara, 30 suku bangsa (6)
Maluku-Ambon, 41 suku bangsa (7) Irian Jaya, 49 suku bangsa. Selama ratusan
bahkan ribuan tahun itu pula, mereka telah menumbuhkan, memelihara dan
mengembangkan tradisi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat
provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di
Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra
Universitas Sumatera Utara
Utara di sebelah tenggara dan selatan. Terdiri dari suku-suku sebagai berikut;
orang Aceh, Orang Gayo, Orang Alas, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang. (Buku
Statistik Kependudukan Pemkab Aceh Tengah)
Orang Aceh kaya akan adat istiadat, kesenian dan tarian-tarian. Untuk
setiap kabupaten mempunyai perbedaan dan variasi masing-masing. Hal ini dapat
dilihat pada upacara-upacara perkawinan, kelahiran bayi, turun ke sawah, turun ke
laut, peusijuk (tepung tawar), khanduri mauled (maulid Nabi), Nuzulul Quran (17
Ramadhan) dan lain-lain. Sedangkan bentuk budaya dapat dilihat pada tulisan
kaligrafi, rumah-rumah adat, meunasah (surau), balee, dayah/tempat pengajian
dengan kesenian seperti dalaeil khairat (puji-pujian berbentuk irama), dikee/zikir,
nasyid/rebana. Dan motif-motif adat lainnya dapat dilihat pada perhiasan emas,
perak, keramik dan ukiran-ukiran berbagai ornament, termasuk pada batu nisan
Aceh, ruang pelamin dan aneka pakaian adat (Ismail, 2004; 69)
Orang-orang Aceh sebagai umat Islam, amat kuat memegang kepribadian
Aqidah Islam dalam kehidupan, sebagai asas pokok dalam bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara.
Wawasan
budaya
itu
amat
sejalan
dengan
perkembangan watak etnik Aceh dimana aspek kultural, idiologi dan struktural
bersenyawa dengan adat dan agama Islam. Dimana satu sama lain sulit
dipisahkan. Bagi orang Aceh agama dengan adat, Lagei Zat Ngon Sifuet (seperti
zat dengan sifat) artinya antara adat dengan peraturan agama tidak dapat
dipisahkan. Adat bersumber dari syarak dan syarak bersumber dari Kitabullah
(Kitab Allah). Karena itu adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh
tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam (Ismail, 2004; 68)
Dalam hubungan ini lahirlah Hadih Maja :
Universitas Sumatera Utara
“ Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak
Putroe
Phang,Reusam bak Laksamana”.
Yang artinya :
‘’Adat ada pada Po Teumeuruhom, Hukum ada pada Syiah Kuala, Kanun
ada pada Putroe Phang, Resam ada pada Laksamana ”.
Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat Adat Bak Po
Teumeureuhom ialah Adat pada/milik almarhum, maksudnya adalah bahwa Adat
itu sebagai penanggung jawabnya Almarhum Sulthan Iskandar Muda, sebab
diwaktu Sulthan Iskandar Muda masih hidup, adat tersebut sangat dijunjung tinggi
dan harus dijalankan tanpa memandang tingkat derajat dan pangkat/kedudukan
seseorang, karena Raja(Sulthan) adalah sebagai simbol dari Adat tersebut, apabila
Sulthan lemah dalam melaksanakan Adat, maka Adat tidak menjadi menjadi satu
kekuatan dalam pelaksanaan pemerintahan.
Hukom Bak Syiah Kuala memiliki makna bahwa hukum yang dijalankan
adalah menurut keputusan Syiah kuala yang merupakan seorang ulama. Beliau
adalah ulama yang sanggup mendamaikan rakyat dan para pemimpin Aceh pada
masa itu, karena bertentangan pendapat akan ratu wanita dan perselisihan
perebutan kekuasaan, semua lapisan masyarakat hidup rukun dan damai. Syiah
Kuala yang memiliki nama lengkap Syeikh Abdur Rauf adalah seorang ulama
besar, negarawan, filosof, Kadhi Malikul Adil (Hakim Agung) dimasa
pemerintahan Ratu Safiatuddin dan tiga Ratu sesudahnya pada tahun 1086-1109 H
atau 1675-1699 M.
Universitas Sumatera Utara
Kanun Bak Putroe Phang artinya undang-undang pada Putri Pahang.
Puteri Pahang adalah isteri dari Sulthan Iskandar Muda, Puteri Pahang nama
aslinya adalah putri Kamaliah. Beliau dikawini oleh Sulthan Iskandar Muda untuk
mengikat hubungan antara Aceh dengan Pahang, karena putri Kamaliah berasal
dari Negeri Pahang di semenanjung Malaya (pada saat itu). Peranan besar Putroe
Phang pada saat itu adalah, dengan prakarsa dan saran dari beliau terbentuknya
Mahkamah Rakyat (DPR sekarang) yang sebelumnya tidak pernah ada dengan
tujuan untuk bermusyawarah dalam rangka membuat undang-undang (Kanun)
dengan simbolnya Putroe Phang.
Reusam Bak Lakeumana, disini persoalan yang berhubungan dengan
reusam simbolnya adalah lakseumana (ADMIRAL, Panglima Tinggi Angkatan
Laut/Angkatan Perang),
sedangkan reusam
mengurus atau
membidangi
diplomatik, etika dan keprotokolan, oleh karena itu diplomasi, keprotokolan dan
etika ditangani oleh lakseumana. Kebetulan pada saat itu antara tahun 1607-1636
M Lakseumana Keumala Hayati seorang perempuan, maka yang berhubungan
dengan reusam ditata sesuai dengan kehalusan rasa seorang perempuan (Umar,
2008; 36, 43-45, 76).
“ Mate Anuek meupat jeurat gadoh adat pat tamita”
Yang artinya:
‘’Mati anak tinggal pusara
hilangnya adat mau dicari kemana’’. (Umar,
2008; 76).
Hadih Maja ini memiliki arti seandainya seseorang itu tidak lagi mematuhi
peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat, berarti seseorang atau
Universitas Sumatera Utara
anggota masyarakat tersebut tindak tanduknya menjurus kepada pembasmian adat
istiadat yang berlaku. Kalau hal itu terjadi bagaimanakah untuk mengembalikan
adat istiadat tersebut pada tempatnya semula (Syamsuddin, dkk, 1988; 161).
Hadih maja tersebut juga menjelaskan bahwa setiap bagian dari tertentu di
pertanggung jawabkan pada ahlinya masing-masing dan begitu pentingnya hukum
adat bagi orang Aceh karena dalam pahamnya orang Aceh adat para nenek
moyang dulu takkan bisa di dapatkan lagi.
Dari hadih maja di atas dapat dijelaskan bahwa setiap bagian tertentu di
pertanggung jawabkan pada ahlinya masing-masing dan begitu pentingnya hukum
adat bagi orang aceh karena dalam pahamnya orang aceh adat para nenek moyang
dulu takkan bisa di dapatkan lagi.
Berdasarkan hadih maja di atas jelas menggambarkan bagian-bagian
sumber peraturan yang dijalankan oleh masyarakat, dan hadih maja yang kedua
menunjukkan suatu kalimat nasihat kepada masyarakat Aceh akan pentingnya
menjaga dan melestarikan adat istiadat serta menjaganya dengan baik sampai ke
anak cucu kita.
W.A. Haviland (1999;336) mengatakan bahwa kebudayaan tanpa
masyarakat adalah tidak mungkin, seperti juga tidak mungkin ada masyarakat
tanpa individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal tidak
berbudaya. Koentjaraningrat (2004; 74-75) berpendapat bahwa kebudayaan
adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Selanjutnya dia berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga
wujud, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Kebudayaan ideal ini
dapat kita sebut dengan adat istiadat. Kebudayaan ideal itu biasanya juga
berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah
kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian
terlihat bahwa adat istiadat berkaitan erat dengan kebudayaan, karena adat istiadat
merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Untuk tetap mempertahankan adat
istiadat tersebut, masyarakat pendukungnya akan menurunkan kepada generasi
yang berikutnya.
Masyarakat mewujudkan adat istiadat dalam berbagai bentuk upacara.
Upacara menurut jenisnya dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu Upacara
Sepanjang Lingkaran Hidup Individu (Individual Life Cycle) dan Upacara
Keramat (Ritual of Application ). Upacara sepanjang lingkaran hidup individu
(Individual Life Cycle) misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak,
masa remaja, masa akhil baligh, masa bertunangan, masa setelah menikah, masa
hamil, masa tua dan masa setelah meninggal dunia (Syamsuddin; 1988;2)
Ada 7 Unsur kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Unsur dari Sistem Upacara Keagamaan
Setiap kebudayaan terdapat kepercayaan yang dianut. Kepercayaan yang
dianutdi Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen protestan, Katolik, Hindu dan
Budha. Dari kelima agama tersebut terdapat upacara keagamaan yang berbedabeda. Akan tetapi untuk masyarakat yang tinggal di kota upacara keagamaan
sepertinya sudah tidak dilaksanakan lagi kecuali dalam hal-hal tertentu saja.
Sedangkan masyarakat yang tinggal di desa masih banyak yang melaksanakan
upacara keagamaan tersebut.
2. Unsur dari Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan
Kebudayaan di Indonesia beragam dan sangat banyak. Terdapat
masyarakat Jawa,Sunda, Batak, Bugis dsb. Dari macam-macam kebudayaan
tersebut, perlu ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu membiasakan bergaul
dengan kebudayaan yang lain. Dan saling berinteraksi dengan rukun. Di Indonesia
banyak terdapat kebudayaan yang harus di lestarikan bersama. Jangan kita saling
bersaing untuk kepentingan pribadi dengan kebudayaan lain, karena itu sama saja
kita memecah belahkan kebudayaan yang sudah ditanam oleh leluhur sebelumnya.
3. Unsur dari Bahasa
Kebudayaan yang beragam sangat berpengaruh pada bahasa yang
dipakainya. Contohnya bahasa Inggris, Jerman, Italia, Sunda, Jawa, dsb. Dari
banyak bahasa tersebut kita dapat mempelajarinya untuk pengetahuan yang lebih
luas. Tidak hanya bahasa yang dipelajari berasal dari bahas luar negeri saja, tetapi
bahasa dari Indonesiapun perlu kita pelajari untuk melestarikan kebudayaan yang
ada di Indonesia.
4. Unsur dari Sistem Pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
Ada banyak sistem pengetahuan misalnya pertanian, perbintangan,
perdagangan/bisnis, hukum dan perundang-undangan, pemerintahaan/politik dsb.
Hal tersebut juga bagian dari kebudayaan. Kita wajib mempelajarinya karena
dengan adanya sistem pengetahuan kita menjadi tahu dunia luar dan sangat
bermanfaat untuk kehidupan karena berpengaruh pada pekerjaan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak perlu semua kita pelajari cukup beberapa
saja kita kuasai, maka akan banyak informasi yang kita dapat.
5. Unsur dari Kesenian.
Salah satu ciri khas dari kebudayaan adalah kesenian. Banyak hal yang
bisa kita pelajari mengenai kesenian. Misalnya seni sastra, lukis, musik, tari,
drama dan lain sebagainya. Hal tersebut bagian dari khas yang dimiliki setiap
daerah maupun setiap negara. Misalnya untuk kesenian musik, kita bisa
mengetahui dan mencari musik yang khas dari setiap daerah maupun negara.
Contohnya lagu-lagu daerah ampar-ampar pisang yang berasal dari Kalimantan
Selatan yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut.
6. Unsur dari Sistem Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian sangat diperlukan untuk setiap masyarakat karena
bermanfaat untuk memenuhi kehidupan manusia. Misalnya kaum pegawai/
karyawan, kaum, petani, nelayan, pedangan. buruh dan seterusnya. Hal tersebut
merupakan mata pencaharian yang harus kita tekuni. Contohnya masyarakat yang
hidup dipesisir pantai lebih banyak bermata pencaharian sebagai nelayan atau
masyarakat yang hidup di perkotaan lebih banyak bermata pencaharian sebagai
pegawai kantoran.
7. Unsur dari Sistem Teknologi dan Peralatan
Universitas Sumatera Utara
Teknologi semakin lama semakin luas. Karena makin banyaknya
masyarakat yang hidup modern. Teknologi sangat diperlukan akan tetapi tidak
untuk melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku.
Sekarang banyak yang menyalah gunakan alat teknologi khususnya internet.
Tidak sedikit masyarakat yang tertipu atau melakukan perbuatan asusila dengan
internet. Hal tersebut harus kita perhatikan. Jangan sampai kebudayaan kita
menjadi minus dimata negara lain. contoh lainnya dari sistem teknologi dan
peralatan adalah peralatan kantor, rumah tangga, pertanian, nelayan, tukang kayu,
peralatan ibadah dan sebagainya lagi. Unsur kebudayaan secara universal sangat
beragam. Kita bisa pelajari dengan baik maka akan dapat banyak sekali
pengetahuan yang sangat bermanfaat. 1
Ketujuh unsur tersebut di atas yang dijadikan masyarakat sebagai
landasan mempertahankan adat istiadatnya dimana ke tujuh unsur tersebut saling
menyangkut satu sama lainnya dalam segala bidang. Setiap kali kehidupan
individu itu beralih dari suatu tingkat ketingkat selanjutnya, biasanya lingkungan
masyarakatnya mengadakan upacara tertentu yang menunjuk pada peralihan
status. Peralihan sepanjang lingkaran hidup individu adalah saat yang dianggap
penuh bahaya (krisis) atau rawan terhadap gangguan bahaya gaib, oleh sebab itu
harus dilaksanakan upacara-upacara tertentu. Upacara adalah kelakuan simbolis
yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia
dan perbuatannya dalam tata tersebut. Dalam upacara dipergunakan kata-kata, doa
dan gerak-gerik tangan atau badan. (Syamsuddin, 1988; 166)
1
(10http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2023362-pengertian-adat-secaraumum/#ixzz1rRZ9QlXx)diakses 10 Juli 2011
Universitas Sumatera Utara
Untuk mencegah datangnya kekuatan yang datang mengganggu biasanya
dilakukan beberapa ritual khusus yang dimaksudkan agar suatu bahaya yang
berasal dari kekuatan diluar diri manusia tidak mengganggu kehidupannya. Dalam
beberapa kebudayaan ada anggapan bahwa manusia akan mengalami masa-masa
bahaya terutama pada masa peralihan dari satu tingkat kehidupan ketingkat
kehidupan yang lain. Yaitu mulai masa bayi, masa remaja, dewasa, hingga
meninggal, baik berupa bahaya gaib ataupun nyata. Untuk menghindari bahaya
tersebut maka diperlukan upacara-upacara (ritus) ataupun untuk memberitahukan
kepada orang banyak bahwa seseorang telah memasuki tahapan kehidupan
tertentu (Koentjaraningrat, 1998).
Kepercayaan masyarakat Aceh khususnya masyarakat Perlak Asan sama
halnya sebagaimana yang di ungkapkan oleh Koentjaraningrat yaitu mulai masa
bayi, masa remaja, dewasa, hingga meninggal, baik berupa bahaya gaib ataupun
nyata. Untuk menghindari bahaya tersebut maka diperlukan upacara-upacara
ataupun untuk memberitahukan kepada orang bahwa seseorang telah memasuki
tahapan kehidupan tertentu dan harus siap menghadapi dalam hal apapun. Dalam
pelaksanaannyapun harus mempersiapkan seperti tempat upacara, saat upacara
(waktu upacara), benda-benda upacara, orang-orang yang melakukan upacara dan
pemimpin upacara. Orang Aceh mempercayakan pemimpin upacara pada Ustadz
atau Tgk. Imam, yang memiliki sifat dan sikap yang baik dan taat pada ajaran
agama.
Hal ini
sama
halnya
sebagaimana
yang
di ungkapkan
oleh
Koentjaraningrat bahwa; Dalam pelaksanaan upacara religi ada 5 komponen
upacara yaitu tempat upacara, saat upacara (waktu upacara), benda-benda upacara
orang-orang yang melakukan upacara dan pemimpin upacara. Orang yang
Universitas Sumatera Utara
memimpin upacara terbagi atas 3 golongan yaitu Pendeta, Dukun dan Shaman
(Koentjaraningrat: 1987).
Dengan penjelasan diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti satu bagian
dari upacara sepanjang lingkaran hidup individu yaitu adat peutron Anuek (turun
tanah) yang ada pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan kecamatan Sakti
kabupaten Pidie. Adat Peutron Anuek memiliki banyak pengertian dan maknamakna yang terkandung didalamnya. Secara umum pengertian Adat Peutron
Anuek ialah kebiasaan masyarakat membawa anak turun ke tanah, upacara ini
adalah upacara memperkenalkan seorang bayi untuk pertama kalinya kepada
lingkungan masyarakat luas baik di lingkungan itu sendiri seperti sanak saudara
(famili) maupun masyarakat luar. Upacara adat ini dilaksanakan ketika bayi
berumur 44 hari .
Bagi setiap pasangan suami istri, kelahiran seorang bayi baik laki-laki
maupun perempuan merupakan anugerah dan berkah dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Semenjak kelahiran si bayi, setiap orang tua selalu mempunyai harapanharapan tertentu apabila si anak kelak menjadi dewasa. Pengharapan-pengharapan
orang tua terhadap anak-anaknya dimanifestasikan dalam bentuk upacara adat.
Dalam upacara tersebut adakalanya dipotong hewan sembelihan, terutama bagi
keluarga yang mampu secara ekonomi.
Saat pelaksanaan upacara Peutron Anuek tidak mempunyai kesamaan
waktu di seluruh masyarakat Aceh. Peutron Anuek pada masyarakat Gayo
dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bersamaan dengan upacara cukur
rambut, pemberian nama dan hakikah. Pada masyarakat Anuek Jamee turun tanah
disebut Turun Ka Aie, dilakukan pada hari ke empat puluh empat, bersamaan pula
Universitas Sumatera Utara
dengan cukur rambut, pemberian nama, kadang-kadang pula disertai dengan
upacara hadiah. Begitu pula di Tamiang dan masyarakat Aceh lainnya. Dahulu
ada kalanya Peutron Anuek dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua
tahun, lebih-lebih jika bayi itu anak yang pertama. Karena anak yang pertama
biasanya upacaranya lebih besar (Syamsuddin, 1988; 128)
Berbagai upacara adat yang terdapat pada
suku bangsa
Aceh,
pelaksanaanya selalu dipengaruhi atau diiringi dengan nilai-nilai agama Islam
meskipun pengaruh Hindu juga masih kental. Demikian pula halnya dengan
upacara Peutron Anuek pada suku bangsa Aceh. Agama Islam yang dianut tidak
sampai pula menjadikan masyarakat Aceh bersifat fanatik bahkan membenarkan
terus berlangsungnya tradisi-tradisi setempat namun akan selalu berpedoman
kepada ajaran-ajaran Islam. Meskipun tradisi-tradisi tersebut masih selalu
dilaksanakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya sudah banyak mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat dari dahulu sampai sekarang.
Adapun maksud peneliti memilih Upacara Adat Peutron Anuek pada
masyarakat Aceh yaitu berusaha memaparkan lebih jauh lagi tentang upacara
tersebut mulai makna dari pelaksanaannya, proses, fungsinya dan makna simbolsimbol atau lambang-lambang yang banyak dipergunakan dalam upacara Adat
Peutron Anuek tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan upacara adat peutron aneuk pada masyarakat aceh di Desa Perlak
Asan. Permasalahan Penelitian diperjelas dengan pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa upacara peutron aneuk dilakukan oleh Masyarakat Aceh di
Desa Perlak Asan
2. Apa makna upacara Adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh di
Desa Perlak Asan
dan apa pula fungsinya terhadap masyarakat
tersebut.
3. Bagaimana pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara
Adat Peutron Anuek yang terdapat pada masyarakat Aceh di Desa
Perlak Asan.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan upacara adat
Peutron Anuek pada masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan selanjutnya penelitian
ini juga bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam
upacara adat tersebut, serta mengetahui fungsi-fungsinya terhadap masyarakat
maupun simbol yang terkandung dalam upacara adat Peutron Anuek ini agar dapat
dipilih secara selektif nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Selain itu penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan
upacara adat Peutron Anuek yang terdapat pada masyarakat Aceh.
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, baik secara praktis
maupun akademis.
1. Adapun Manfaat Secara praktis dari penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
a). Diharapakan akan memperoleh gambaran mengenai adat Peutron
Anuek
pada
mengembangkan
masyarakat
Aceh
kebudayaan
aceh
guna
pada
memperkaya
dan
khususnya
dan
kebudayaan Nasional pada umumnya
b). Agar dapat membina dan mewariskan nilai-nilai yang ada kepada
generasi penerus agar tidak kehilangan norma hidup dalam
masyarakat, juga menimbulkan kebanggaan akan nilai-nilai
tersebut.
c). Agar dapat dilestarikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya
yang berguna dan dapat menunjang pembangunan bangsa.
2. Adapun bermanfaat secara
akademis dalam penelitian ini ialah:
Diharapkan bermanfaat untuk menambah literatur kepustakaan di
bidang antropologi khususnya dalam memperkaya literatur
tradisi
atau upacara adat Peutron Anuek yang terdapat pada salah satu suku di
Indonesia yaitu suku Aceh. Hasil penelitian ini juga di harapkan dapat
menambah wawasan mahasiswa antropologi yang ingin mengkaji
masalah upacara adat secara lebih dalam, sehingga dapat memperluas
bidang penelitian antropologi itu sendiri.
1.4.
Tinjauan Pustaka
Berlakunya kaidah dalam suatu kelompok manusia bergantung pada
kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk tentang cara-cara seseorang untuk
berlaku dan bertindak, artinya kebudayaan berfungsi selama anggota masyarakat
menerimanya sebagai petunjuk prilaku yang pantas. Untuk kepentingan analisis,
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan dapat dibagi dari berbagai segi. Dari sudut struktur dan tingkatannya
di kenal adanya super culture yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Suatu super
culture biasanya dapat dijabarkan dalam cultures yang mungkin didasarkan pada
kekhususan daerah, golongan, etnik dan profesi. Dalam suatu culture mungkin
berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan
kebudayaan induk dan hal ini disebut subculture. Apabila kebudayaan khusus tadi
bertentangan dengan kebudayaan induk, gejala itu disebut counter culture.
Counter culture tidak selalu harus diberi arti negatif karena adanya gejala tersebut
dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk dianggap kurang dapat
menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan.(Fuad: 1992)
Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia.
Wujud kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud
kebendaan menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut
sistem kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistem sosial sedangkan ketiga
disebut kebudayaan fisik. Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koentjaraningrat
yang membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut
tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat
selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu
tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan
khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia
merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam
kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat
Indonesia.(Koentjaraningrat: 2004)
Universitas Sumatera Utara
Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah
terkait kepada peran-peran tertentu, peran sebagai pemimpin, peran sebagai ibu,
peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi
kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan
tersebut. Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan
khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat
pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.
Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa
kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang
berwujud moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam
konsep kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian
dari kebudayaan.
Kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari
bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah
tanah atau pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi
“culture”. Istilah “culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli
antropologi inggris yang bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture”
berarti “complex whole of ideas and thinks produced by men in their historical
experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus dikalangan
antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture” mempunyai arti, kesopanan,
kebudayaan, pemeliharaan atau perkembangan dan pembiakan (Kapland: 1999).
Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama
dengan culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam
bahasa Indonesia
bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”.
Universitas Sumatera Utara
Kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk
jamak dari kata budhi. Budhi berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kata
buddhayah (budaya) yang mendapatkan awalan ke- dan akhiran -an, mempunyai
arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Berdasarkan dari asal usul
kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang merupakan hasil dari akal manusia
dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu berupa tiga wujud, yaitu wujud
ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan (Koentjaraningrat: 1980).
Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang
semangat yangmendalam dari suatu masyarakat. Sedangkan manifestasimanifestasi dari kemajuan mekanis dari teknologi lebih berkaitan dengan
peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra,
agama dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan
teknologi (Koentjaraningrat, 1987:5).
Menurut Koentjaraningrat (1987:5) kebudayaan mempunyai tiga wujud:
1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek individu,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2) Wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
sehingga para pakar sepakat bahwa kebudayaan adalah semua hasil
karya, karsa dan cipta masyarakat.
Karya masyarakat akan menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan
kebendaan yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kebudayaan pada setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur
besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak
dapat dipisahkan. Menurut Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi (2005;5)
unsur-unsur kebudayaan meliputi: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga
dan kekuasaan politik.
Tidak jauh berbeda dengan pengertian kebudayaan di atas, Effat alSharqawi (2000;20) mengatakan bahwa kebudayaan adalah bentuk ungkapan
semangat mendalam dari sebuah nilai yang terdapat dan mendarah daging pada
suatu masyarakat. Sedangkan manifestasimanifestasi kemajuan mekanis dan
tekhnologi lebih berkait dengan peradaban. Selanjutnya Sharqowi berpendapat
bahwa kebudayaan adalah apa yang kita rindukan (ideal), sedangkan peradaban
adalah apa yang kita pergunakan (real). Dengan kata lain, kebudayaan terefleksi
dalam seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban terefleksi dalam politik,
ekonomi, dan tekhnologi (Atang dan Hakim, 2000:30).
Dalam kajian antropologi pula, kita mengenal pengertian kebudayaan
secara khusus dan secara umum. Menurut pengertian khusus, kebudayaan adalah
produk manusia di bidang kesenian dan adat istiadat yang unik. Sedangkan
kebudayaan dalam pengertian umum adalah produk semua aspek kehidupan
manusia yang meliputi: sosial, ekonomi, politik, pengetahuan filosofi, seni dan
agama. Hingga kini antara pengertian kebudayaan secara khusus dan umum masih
diperdebatkan di kalangan peneliti, misalnya, Taylor seorang ilmuwan Inggris,
merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang meliputi
pengetahuan, dogma seni, nilai-nilai moral, hukum, tradisi, sosial, dan semua
Universitas Sumatera Utara
produk manusia dalam kedudukannya sebagai anggota-anggota masyarakat,
termasuk dalam realitas ini adalah agama (Anshori,1994:4).
Pandangan integralistik ini sesuai dengan pandangan Antropologis yang
disebut kultural universal, yaitu membagi kebudayaan kedalam bidang–bidang
ekonomi, hukum, politik, pengetahuan, filsafat dan agama (Gazalba, 1978:163167). Pandangan integralistik ini mempunyai konsekuensi menempatkan agama
sebagai bagian dari kebudayaan, karena itu sebagian peneliti mengkatagorikan
agama sebagai kebudayaan yang khusus.
Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritusritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran
mereka tentang collective consciousness (kesadaran kolektif) semakin bertambah
kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaan dibawa dalam kehidupan
sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciuoness
tersebut semakin
lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap
berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif diantara masyarakat, atau dengan
kata lain ritual agama merupakan charge bagi manusia untuk mendekatkan diri
kembali kepada Tuhannya (Koentjaraningrat: 1980; 93).
Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku
disebut upacara keagamaan atau relegiuos ceremonies dan tiap upacara
keagamaan dapat terbagi kedalam empat komponen yaitu:
1. Tempat upacara,
2. Saat upacara,
3. Benda-benda dan alat-alat upacara,
4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara,
Universitas Sumatera Utara
Kelompok keagamaan atau religious community adalah kesatuan
kumpulan dari beberapa orang yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu
religi beserta sistem upacara keagamaannya, dan semua sistem religi di dunia atau
unsur kelompok keagamaan itu merupakan unsur pokok dalam kehidupannya
(Koentjaraningrat, 1981).
Adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim
diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Kata adat ini sering disebut beriringan
dengan kata istiadat, sehingga menjadi adat istiadat. Adat istiadat berarti tata
kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai
warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.(
Anton M. Moeliono, 1990; 5-6) Dalam praktiknya, istilah adat istiadat
mengandung arti yang cukup luas, mencakup semua hal di mana suatu masyarakat
atau seseorang menjadi terbiasa untuk melakukannya ( Syahrial, 2004; 63).
Menurut A.G. Pringgodigdo (1997), adat ialah aturan-aturan tentang
beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu
daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib
tingkah laku anggota masyarakat. Di Indonesia, aturan mengenai kehidupan
manusia tersebut dipertahankan oleh masyarakat karena dianggap patut. Oleh
karena itu, aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk,
dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh Kepala Adat dan petugas
hukum lainnya.
Kata adat itu sendiri berasal dari bahasa Arab “a’ dadun” artinya
berbilang, mengulang, berulang-mengulang dilakukan sehingga menjadi suatu
kebiasaan. Sesuatu kebiasaan yang terus menerus dilkukan dalam tatanan perilaku
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Aceh dan berlaku tetap sepanjang waktu, disebut dengan adat Aceh.
Misalnya adat khanduri maulid Nabi Muhammad SAW, sepanjang bulan Rabi’ul
Awal dan Jumadil Akhir (Kaoy: 2002; 30).
Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat bukanlah kata-kata asing
lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat
“adat” ini diidentikkan dengan kebudayaan, untuk itu perlu dikaji terlebih dahulu
bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini.
Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak
sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli
atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi
yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang
memberikan
batasan
kebudayaan
sebagai
berikut:
“kebudayaan
adalah
keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu
sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan
belajar” . 2
Pada
masyarakat
Aceh,
adat
juga
pada
umumnya
bersifat
upacara/seremonial, bahkan bernilai ritualitas yang disebut dengan adat istiadat.
Misalnya pada upacara perkawinan, peusunteing darabaro dan linto, khanduri
blang (syukuran sawah),
khanduri laot (syukuran laut), mee-bu/ meulineum
(tujuh bulanan untuk wanita hamil). Adat istiadat yang bernilai agama, misalnya
upacara khitan sunnah rasul, hakikah, qurbeun (qurban), khatam Qur’an dan lainlain. (Syamsuddin, 1988; 145)
2
(http://id.shvoong.com/sciences/ sociology /2023362-pengertian- adat secarau umum
/#ixzz1rRZ9QlXx) diakses 10 Juli 2011
Universitas Sumatera Utara
Adat Aceh mengacu pada empat sumber (Klasifikasi Adat) , yaitu:
1. Adatullah, yaitu hukum adat yang bersumber hampir seluruhnya
(mutlak) pada hukuman Allah (al-Qur’an dan al- hadist).
2. Adat Tunnah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari Qanun dan
Reusam yang mengatur kehidupan masyarakat.
3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasi pada asas
musyawarah dan mufakat.
4. Adat Jahiliyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih
ada yang digemari oleh masyarakat (Muhammad, 2006; 54)
Fungsi umum adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis
dalam kehidupan masyarakat. Di Aceh sendiri, menurut Ketua Bidang Adat
Istiadat Majelis Adat Aceh, adat dan proses hukum nyaris tidak bisa dipisahkan.
Oleh karenanya dalam setiap kumpulan masyarakat yang hidup dalam satu
komunitas atau yang dikenal dengan gampong (istilah untuk desa), masyarakat
harus memiliki satu lembaga adat, yang terdiri dari unsur pemerintahan, pemuka
agama dan kaum penasihat.
Dalam Pasal 1 ayat (5) Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Kehidupan Adat, disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah suatu organisasi
kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu,
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan
Universitas Sumatera Utara
berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan adat Aceh. 3
Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada
syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan
ini tampak pada beberapa aspek seperti tercatat dalam beberapa hadih maja seperti
Adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putrôe Phang,
reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom
adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata puteh (Adat di pegang oleh
pemerintahan , hukum ada pada seorang ulama, hukum dengan zat bagaikan zat
dengan wujud dan hukum adat tidak bisa dipisahkan bagaikan mata hitam dengan
mata putih). Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari
perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh.
Membahas sisi-sisi budaya Aceh, tak lepas dari nilai-nilai wujud sejarah
keAcehan pada era kesultanan Aceh, terutama masa-masa kekuasaan Sultan
Iskandar Muda( 1607 – 1636 ). Keberhasilan Iskandar Muda dalam penerapan
sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi maupun sosial budaya
yang kuat, tangguh serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional,
menjadi acuan sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahannya saat itu,
karena di latar belakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur
tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia (
civilization of human right ), yang tersimpul dalam nilai-nilai filosofi (Kaoy,
2002;45)
3
(Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat).
Universitas Sumatera Utara
Narit maja ini menjadi sumber pijak kreasi budaya Aceh yang dalam
masyarakatnya lebih dikenal dengan motto adat : Adat ngon hukom ( agama )
lagei zat ngon sifeut, sebagai way of life ( landasan filosofis ) dalam bentuk
“adat/ adat istiadat “ Penamaan adat dalam konteks budaya keAcehan, memberi
makna budaya Aceh dijiwai oleh nilai-nilai Islami yang tak boleh lepas sebagai
akar tunggalnya untuk berkreasi membangun tata ruang kehidupan masyarakat
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat ( menangkap kebahagiaan kembali kemasa
depan ). Dalam hubungan inilah maka budaya adat Aceh, melahirkan action
building dalam bentuk : adat istiadat dan nilai-nilai normatif (hukum adat) (Kaoy,
2002;49).
Martabat Aceh atau nilai keAcehan ditentukan oleh perilaku budaya orang
Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama,
berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya
dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan
di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa. Kalau
kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu
disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh
telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena
globalisasi yang tidak dapat dielakkan.
Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari
budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti
berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan
kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial. (Irwan Abdullah, 1999).
Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas
Universitas Sumatera Utara
yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang
tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan
otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol
hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan
berdasarkan negosiasi (Muhammad, 2006).
Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan, sebab
kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari
kebudayaan adalah adat, sedang upacara merupakan wujud dari adat istiadat yang
berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial,
budaya, ekonomi dan lain-lain. Sedangkan pelaksanaan upacara tersebut selalu
dibayangkan sebagai upacara yang khidmat yang bersifat keramat karena para
pendukung acara mengikuti dengan khidmat dan merasa sebagai sesuatu yang
bersifat magis dan disertai dengan berbagai perasaan serta perlengkapan yang
bersifat simbolis. Selanjutnya upacara merupakan rangkaian perangkat lambanglambang yang berupa benda atau, kegiatan fisik, hubungan tertentu, kejadiankejadian, isyarat-isyarat dan berbagai situasi tertentu yang dilakukan dalam
melaksanakan upacara. Peragaan serta penggunaan secara simbolis atau lambanglambang ini dapat ditangkap maknanya melalui interprestasi orang-orang yang
terlibat didalamnya maupun para pengamat (Syamsuddin, 1985;1,2).
Upacara sepanjang lingkarang hidup individu (Individual Life Cycle)
merupakan upacara yang menandakan peristiwa perkembangan fisik maupun
sosial seseorang sejak dalam kandungan sampai mengalami kematian. Upacara
religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat
pemeluk religi atau agama yang bersangkutan mempunyai fungsi sosial tersendiri
Universitas Sumatera Utara
bagi pemeluk religi atau agama tersebut. Beberapa ahli antropologi telah
menghasilkan teori-teori yang berhubungan dengan fungsi sosial upacara religi
atau agama yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat.
Menurut A. Van Gennep (1980), ritus dan upacara religi secara universal
pada azasnya berfungsi sebagai aktifitas untuk menimbulkan kembali semangat
kehidupan sosial antar warga masyarakat. Dalam tahap-tahap perkembangannya
sebagai individu yaitu sejak lahir, kemudian masa kanak-kanak, melalui proses
menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, hingga saat meninggal manusia
mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial
dan kebudayaannya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis
mental. Untuk dapat menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam
lingkaran hidupnya itu manusia juga memerlukan “regenerasi” semangat
kehidupan social tadi (A. Van Gennep dalam Koentjaraningrat, 1980; 75).
Upacara Peutron Anuek (turun tanah) adalah sebagian dari upacara
sepanjang lingkaran hidup Individu (individual life cycle) yang bertujuan untuk
memperkenalkan seorang bayi kepada lingkungan sosialnya yang baru dan lebih
luas. Seorang bayi berada dalam suatu lingkaran sosial, yang terutama adalah
ibunya. Kalau si bayi disapih, ia dilepaskan dari ibunya dan dalam hidupnya ia
mulai tergantung kepada orang lain dalam lingkungannya, seperti ayahnya, kakakkakaknya dan mungkin juga orang lain. Lambat laun semakin tumbuh si bayi,
semakin luas lingkungan sosialnya (Koentjaraningrat, 1981; 89).
Upacara Peutron Anuek pada masyarakat Aceh banyak dipengaruhi oleh
unsur-unsur agama Islam dan Hindu. Agama Islam berkembang di Indonesia kirakira abad ke-14 sebelum masehi dan pulau sumatera yaitu Aceh adalah tempat
Universitas Sumatera Utara
yang pertama didatangi oleh penyebar-penyebar agama Islam. Yang pertama
sekali menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah pedagang-pedagang dari
Timur Tengah yaitu Gujarat, Arab dan Parsi (Persia) dimana sambil berdagang
mereka juga menyiarkan agama Islam. Namun demikian unsur-unsur agama Islam
yang berhasil mereka tanamkan dalam jiwa masyarakat Indonesia, tidak sampai
menghapus unsur-unsur kebudayaan asli masyarakat Indonesia.
Makna yang terkandung dalam tulisan ini adalah menunjukkan hubungan
antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu. Misalnya adalah upacara
Peutron Anuek yang dilakukan masyarakat Aceh secara keseluruhan bertujuan
untuk memohon keridhaan dari Tuhan Yang Maha Esa semoga selalu
memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada sibayi. Upacara Peutron Anuek
juga berkaitan erat dengan kehidupan disekitar si bayi, misalnya hubungan si bayi
dengan Tuhan, dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Sehingga ia mampu
membina hubungan dengan kehidupan disekitarnya dengan sebaik-baiknya untuk
memperoleh kebahagian dan keselamatan. Karena keselamatan dan kebahagian
dan keselamatan merupakan tujuan utama hidup manusia. Parsudi Suparlan
(1989), mengatakan bahwa
upacara
adalah serangkaian tindakan
yang
berlandaskan suatu patokan yang baku yang ada dalam kebudayaan yang
memperlihatkan pentingnya simbol-simbol sebagaimana yang telah digariskan
dalam tradisi. Upacara ritus tidak selamanya melibatkan banyak orang dan banyak
benda, tetapi ceremonial selalu melibatkan banyak orang dan benda-benda suci.
Untuk menetapkan peraturan agama dalam kehidupan umat, adat mempunyai
peranan penting karena adat telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Adat
dan agama telah merasuk kuat dihati masyarakat, karena adat suatu aturan yang
Universitas Sumatera Utara
sudah berlaku secara berulang dan keberadaannya diakui secara luas dalam
masyarakat bangsa.
Yang dimaksud dengan adat adalah aturan dan tatanan kehidupan yang telah
diterapkan
secara
berulang-ulang
dalam
masyarakat,
demi
menggapai
kebahagiaaan hidup mereka. Hukum adat adalah hukum yang ditetapkan
seseorang atau kelompok orang berupa penghargaan, pemberian jabatan, atau
berupa sanksi hukum yang dikenakan pada mereka yang melanggar adat. Adatistiadat Aceh berkaitan erat dengan agama mengingat adat yang makruf
bersumber syariat dan syariat bersumber kitabullah. Pengalaman syariat Islam
akan lebih lancar, jika adat dan peran lembaga-lembaga adat ditingkatkan.
Adapun kata adat berasal dari bahasa arab, yaitu Al-Adah (adat) artinya ialah
kebiasaan. Jadi adat itu adalah kebiasaan karena dibiasakan, lama-lama jadi suatu
kebutuhan. Akhirnya menjadi aturan, persyaratan dan ketentuan (Kaoy, Seminar
LAKA, 2002; 2)
Peutron anuek berarti menjejakkan kaki seorang bayi ke tanah untuk
pertama kalinya, dengan harapan agar anak tersebut setelah dewasa nanti menjadi
seorang anak yang kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menempuh
kehidupannya. Puncak acara peutron anuek adalah mengadakan kenduri
(selamatan), dengan mengundang warga sekampung dan pada malam harinya
diadakan pembacaan tahlil samadiah disertai dengan do’a kepada Allah SWT
supaya bayi tumbuh sehat, mendapat ridha sepanjang hidupnya.
Menurut Koentjaraningrat (1990), masyarakat sebagai kesatuan hidup
manusia berinteraksi dan bertingkah laku menurtu suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat bertindak dan
Universitas Sumatera Utara
berperilaku sesuai dengan apa yang telah digariskan dan dituangkan dalam sistem
nilai dan norma yang dimilki masyarakat.
Dalam dua hasil penelitian sebelumnya, yang pernah dilakukan yang
berkaitan dengan Upacara Peutron Aneuk yaitu sebagai berikut ini:
Hasil Penelitian yang dilakukan Oleh Hambali ZA dengan judul “Adat
Istiadat Masyarakat Aceh dari Zaman ke Zaman dalam Prosesi Peutron Aneuk di
Gampong Balee Baroh Bluek” adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang
ditemukan adalah; Masyarakat Balee Baroh Bluek melaksanakan kegiatan atau
prosesi peutron Aneuk
sebagai wujud menjaga adat istiadat yang telah
ditinggalkan oleh nenek Moyang dulu, serta menyakini ada makna tersendiri bagi
kehidupan sang bayi ketika ianya Dewasa.
Hasil Penelitian yang dilakukan Oleh Maswandi Rasyid dengan judul
Penelitiannya ”Perkembangan Hukum adat pada Masyarakat Aceh (Studi Kasus
di Desa Mesjid Rubee pada Acara Peutron Aneuk)” adapun kesimpulan dari hasil
penelitian yang ditemukan adalah; Masyarakat Mesjid Rubee selalu menjaga dan
mensosialisasikan masalah adat Peutron Aneuk pada anak-anaknya, untuk terus
dijaga dan dilakasanakan.
Sementara itu berbeda dengan dua penelitian di atas, penelitian yang
peneliti lakukan menyangkut upacara adat peutron anuek ini adalah ingin melihat
secara langsung upacara tersebut di Desa Perlak Asan yang dilakukan dari awal
sampai akhir. Sebagaimana yang peneliti lihat bahwa upacara peutron anuek ini
diadakan oleh sebuah keluarga dengan melibatkan masyarakat dan pemandu adat
desa setempat, dimana mula-mula keluarga yang mengadakan hajatan sudah
menyiapkan semua keperluan mulai dari alat-alat upacara hingga tempat
Universitas Sumatera Utara
diadakannya upacara. Dari awal upacara peneliti sudah bisa melihat adanya
pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara peutron anuek ini, salah
satunya adalah peusijuek (tepung tawar) yang merupakan pengaruh Hindu dan
Barjanzi (puji-pujian dan nasehat dalam bentuk nyanyian) yang merupakan
pengaruh Islam yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Aceh di desa
Perlak Asan. Dan diakhir upacara peneliti sudah bisa menyimpulkan makna dan
mengapa upacara peutron anuek ini dilakukan oleh masyarakat di desa Perlak
Asan.
1.5.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini akan mencoba memberi
gambaran upacara adat peutron anuek secara terperinci dalam rangka pelestarian
budaya lokal di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie sehingga
masih bertahan hingga sekarang ini. Adapun teknik penelitian yang digunakan
dalam mencari data dilapangan antara lain:
1.5.1. Teknik Observasi (Pengamatan)
Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik observasi partisipasi, yang mana peneliti mengadakan pengamatan
kepada objek yang diteliti dan secara langsung mengikuti setiap aktifitas
masyarakat yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan upacara peutron
anuek. Teknik observasi partisipasi digunakan peneliti agar dapat
memperoleh data secara mendalam untuk mengetahui prosesi persiapan
dalam rangka penyelenggaraan upacara peutron anuek, bahan-bahan apa
Universitas Sumatera Utara
saja yang digunakan dalam melakukan upacara, mengetahui bagaimana
periapan kenduri (selamatan) dalam melakukan upacara tersebut. Untuk
memperoleh data ini, peneliti bergaul dan mengadakan pendekatan secara
kekeluargaan kepada masyarakat setempat bahkan ikut hadir dalam
hajatan upacara tersebut.
1.5.2. Teknik Wawancara
Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dan
wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam ditujukan kepada para
informan yang terlibat aktif atau secara langsung ikut dalam upacara
peutron anuek ini secara sengaja sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki
informan yang mengetahui banyak seluk beluk upacara adat peutron anuek
ini.
Seperti
pemangku
adat,
imuem
Mesjid/Meunasah
(Imam
Mesjid/Surau), keuchik (kepala desa) dan para anggota masyarakat desa
setempat.
Wawancara mendalam
kepada informan dilakukan untuk
memperoleh informasi yang berkaitan dengan proses pelaksanaan upacara,
orang-orang yang terlibat, bahan atau alat-alat
yang digunakan serta
tempat diadakannya upacara adat peutron anuek. Wawancara ini juga
dilakukan
untuk
memperoleh
informasi
yang
berkenaan
dengan
kepentingan-kepentingan yang terkandung dalam upacara adat peutron
anuek sehingga masih bertahan sampai sekarang ini.
Wawancara sambil lalu juga dilakukan untuk memperoleh
informasi yang berkenaan dengan tujuan penelitian, yang mungkin tidak
Universitas Sumatera Utara
diperoleh melalui wawancara mendalam. Wawancara sambil lalu juga
dilakukan di berbagai tempat dan suasana seperti di meunasah yang sering
dikunjungi oleh banyak orang disana peneliti pun mendapat banyak
informan di rumah di balai-balai desa dan lain sebagainya.
Di meunasah tersebut peneliti mendapat banyak pengalaman mulai
dari yang pahit seperti di usir oleh ibu-ibu yang sedang mengadakan
pengajian rutin mingguan di meunasah, peneliti di usir karena
mengenakan celana jeans yang menurut aturan desa setempat tidak boleh
dikenakan di sekitaran meunasah apalagi masuk kedalamnya. Namun ada
juga pengalaman yang baik, seperti saat menghadiri upacara peutron
anuek di rumah ibu rahmi peneliti sangat di istimewakan karena dianggap
tamu jauh dan mengadakan penelitian saat mereka mengadakan hajatan.
Di desa ini peneliti juga mendapat pengalaman yang begitu indah seperti,
saat peneliti ikut serta membantu di dapur dan di ajak berjanzi bersamabersama kumpulan ibu-ibu marhaban saat menghadiri upacara peutron
anuek di rumah warga.
Di lapangan pun peneliti mencari data dengan melakukan
wawancara. Seperti di balai-balai desa dan warung/kedai wawancara pun
berjalan dengan baik, adapun pertanyaan si peneliti adalah mengenai
upacara adat peutron anuek, mengapa upacara adat peutron anuek
dilakukan oleh masyarakat Aceh di desa Perlak Asan, apa makna dan
fungsi upacara tersebut terhadap masyarakat serta bagaimana pengaruh
Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara adat peutron anuek yang
terdapat pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya peneliti juga menanyakan dengan wawancara kerumah
masyarakat. Peneliti pun mendapat respon yang positif dan ada juga
respon negatif. Adapun respon negatif yaitu saat wawancara berlangsung
masyarakat tidak ingin berbicara banyak tentang penelitian yang peneliti
lakukan karena menganggap penelitian ini aneh karena sebelumnya belum
pernah ada penelitian seperti ini dilakukan di desa Perlak Asan. Namun
peneliti berusaha menjelaskan kepada masyarakat tentang penelitian ini
sehingga peneliti mendapatkan data yang lengkap.
.
1.6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data
secara
kualitatif. Analisa data kualitatif digunakan untuk memahami sebuah
proses dan fakta dan bukan sekedar menjelaskan fakta tersebut. Seiddel (1989)
mengatakan bahwa analisa data kualitatif prosesnya berjalan sebagai berikut:
mencatat informasi yang menghasilkan catatan lapangan, mengumpulkan,
memilah-milah, mengklasifikasikan dan membuat ikhtisar dari data yang telah
dikumpulkan, berfikir dengan cara membuat agar katagori data mempunyai
makna. Mencari data dan menemukan hubungan-hubungan dari data dan
selanjutnya membuat kesimpulan.
Universitas Sumatera Utara
Download