TANGGUNG JAWAB DIREKSI BANK SEBAGAI MUDHARIB PADA

advertisement
TANGGUNG JAWAB DIREKSI BANK SEBAGAI MUDHARIB
PADA BANK SYARIAH
Dipublikasikan pada Dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Hukum Syiar madani
Volume IV No. 1 Maret 2002 Halaman 86-109 ISSN : 1410 - 9832
A. PENDAHULUAN
Dalam waktu singkat, dari bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999,
pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank. Selain itu pemerintah telah
mengambil alih 11 bank (Bank Take Over). Selanjutnya pemerintah melakukan
rekapitulasi terhadap sembilan bank lainnya, dan semua bank BUMN serta BPD
harus ikut direkapitulasi. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter kini hanya
tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah. Biaya
restrukturisasi dan penyehatan perbankan Indonesia sangat mahal. Ada kemungkinan
sebagian besar biaya penyelamatan perbankan tersebut akan ditanggung rakyat
melalui APBN. 1
Akibat kerugian usaha selama bulan Maret hingga April 2001 beberapa banak
terancam gulung tikar. Untuk menanggulangi bank-bank yang bermasalah Pemerintah
telah mengeluarkan dana 640 triyun rupiah. Majalah Asiaweek menilai perbankan
Indonesia berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan justru pada saat perbankan
negara lain mulai bangkit dari krisis. Asiaweek
2
mengutip data Bank for
International Settlements (BIS) yang memperkirakan biaya rekapitulasi perbankan
mencapai 40 % dari PDB Thailand, sedangkan rekapitulasi di Indonesia mencapai 60
% dari PDB. Tingkat ROA minus 17 %. Hal ini menggambarkan keadaan perbankan
1
Zainun Arifin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek, AlvaBet,
Jakarta, 1999, hal. vii.
2
Republika, 12 Mei 2001.
1
yang mengkhawatirkan. ROA secara sederhana menggambarkan perbandingan antara
pendapatan dengan aset.
Di saat perekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankan belum
tampak akan puluh, perbankan Islam menunjukkan fenomena baru yang
perkembangannya telah mengejutkan para pengamat perbankan konvensional
maupun kalangan perbankan konvensioanl. Bank-bank besar dari negara-negara nonmuslim telah memasuki pasar perbankan Islam dengan membuka Islamic window,
tidak kurang dari Citibank, Chase Manhattan Bank, ANZ Bank dan Jardine Fleming,
telah membuka Islamic window agar dapat berkiprah memberikan jasa-jasa
perbankan Islam. 3
Demikian halnya perbankan syariah di Indonesia pascareformasi mengalami
perkembangan yang signifikan, terutama sejak diperkenankannya konversi cabang
bank umum konvensional menjadi bank syariah. Sehingga bermunculan bank yang
membuka cabang syariah atau mengkonversikan menjadi bank syariah. 4
Sahril Sabirin mengatakan bahwa pengalaman selama krisis ekonomi ini
memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita bahwa prinsip risk sharing (berbagi
risiko) atau profit and loss sharing (bagi hasil) merupakan suatu prinsip yang dapat
berperan meningkatkan ketahanan satuan-satuan ekonomi. 5
Namun kita tidak dapat menutup mata bahwa masih banyak masyarakat yang
memiliki persepsi yang keliru tentang bank syariah. Bank syariah sering
dipersepsikan sebagai baitul maal yaitu lembaga sosial untuk membantu
pengembangan ummat. Implikasinya adalah :
1. Bank syariah tidak boleh meminta jaminan dalam pembiayaannya.
2. Bank syariah tidak boleh mengenakan denda bila nasabah tidak membayar
tepat waktu.
3
Sutan Remy Sjahdaeni, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hal.xvii.
4
Beberapa bank yang sudah ada akan membuka cabang bank syariah diantaranya Bank IFI, Bank
Niaga, Bank BNI’46, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, Bank Jabar, BPD Aceh. Data
per November 2000. Syafi’i Antonio., Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001.
2
3. Bank syariah tidak boleh menyita jaminan.
Bank syariah dipersepsikan sebagai bank bagi hasil. Implikasinya adalah :
1. Untuk semua kebutuhan nasabah harus menggunakan mudharabah/musyarakah.
2. Bagi hasil harus lebih menguntungkan dibandingkan dengan bunga bank,
sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan harus lebih kecil daripada bunga,
sedangkan bagi hasil nasabah penyimpan harus lebih besar daripada bunga.
3. Bagi hasil dibayar setahun sekali seperti pembayaran dividen.
4. Bank akan turut campur dalam manajemen perusahaaan nasabah.
5. Bank akan turut memiliki perusahaan nasabah.
Kesalahan persepsi masyarakat ini bertambah parah lagi dengan sikap
sebagain karyawan bank yang cenderung terlalu menyederhanakan konsep bank
syariah di lapangan, sehingga terkesan bank syariah sekedar bank konversional minus
bank plus istilah-istilah Arab, jilbab dan assalamu’alaikum ditambah lagi dengan
pembiayaan murabahah sebagi akad sapu jagat yang serba bisa untuk memenuhi
kebutuhan apapun. 6
Selain itu cukup menarik hasil penelitian pasar di wilayah DKI Jakarta yang
dilakukan oleh Team Syariah Bank Mandiri bekerjasama dengan Lembaga
Demografi-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI) pada bulan JuliAgustus 1999. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui pengetahuan masyarakat
tentang bank syariah, antara lain : 7
Pernah mendengar bank syariah
74 %
Pernah mendengar istilah mudharabah
15 %
Pernah mendengar istilah mudharabah dan tahu maksud istilah itu 14 %
5
Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal.vi.
Adiwarman A. Karim, Perspektif Sejarah, Makro dan mikro Ekonomi Bank Syariah, makalah pada
Seminar Nasional Menyongsong Era Double Banking System. Islamic Studies Economic Group, FE
UNPAD, Bandung. 24 Maret 2001. Hal 13.
7
Yuslam Fauzi, Peluang Perbankan Syariah di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional
Menyongsong Era Double Banking System, Islamic Studies Economic Group, FE UNPAD, Bandung,
24 Maret 2001, hal. 6.
6
3
Sumber : Yuslam Fauzi 8
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya lebih kurang 2,5 %
masyarakat DKI Jakarta memahami istilah “mudharabah” sebagai suatu produk bank
syariah.
Mudharabah merupakan salah satu teknik finasial yang ditawarkan dan
dilaksanakan oleh bank syariah. Selain mudharabah, UU No. 10 tahun 1998 tentang
perbankan menyebutkan beberapa teknik finansial lainnya, yaitu musyarakah,
murabahah, ijarah, dan ijarah wa iqtina. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 23/34/Kep/DIR tanggal 12 Mei 1999, disebut pula beberapa jenis
transaksi lainnya, yaitu hiwalah, istishna, kafalah, qardh-ul hasan, rahn, sharf,
wadiah, wadiah yad amanah, wadiah yad damanah, wakalah dan kartu debt
berdasarkan prinsip ujr.
Di Indonesia sendiri Bank Muamalat Indonesia
9
selama lima tahun pertama
boleh dikatakan tidak menyalurkan pembiayaan dengan sistem bagi hasil didalamnya
termasuk mudharabah kecuali untuk dua nasabah yaitu lembaga pendidikan yang
dimiliki oleh Bank Muamalat sendiri dan petambak udang di Tangerang, kedua
pembiayaan tadi tidak menunjukkan kinerja yang memadai. Barulah pada tahun ke
enam dan seterusnya, Bank Muamalat Indonesia mulai menyalurkan pembiayaan bagi
hasil. 10
Namun demikian, bukan berarti perjanjian mudharabah belum pernah
dilaksanakan oleh Bank Muamalat Indoensia, karena dalam praktik, Bank Muamalat
Indonesia menghimpun dana masyarakat melalui tabungan dan deposito dengan
menggunakan akad/perjanjian mudharabah.
8
Yuslam Fauzi, Op.Cit.,hal.6.
Bank Muamalat Indonesia sebagai sampel, karena BMI merupakan Bank Umum pertama di
Indonesia yang beroperasi berdasarkan Syariah Islam.
10
Adiwarman A. Karim, Op.Cit.,hal.10.
9
4
Dibandingkan negara lain pertumbuhan pembiayaan bagi hasil di Indonesia
sangat cepat, misalnya saja pada tahun 1999 ini telah mencapai puluhan prosen dari
total portfolio.
Perkembangan pembiayaan mudharabah pada bank Muamalat sejak tahun
1993 menunjukkan kenaikan yang sangat berarti. Hal ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Type of Finacing
1993
1994
Revenue/
Profit Sharing :
0,64 % 0,05 %
Mudharabah
0,64 % 0,05 %
Musyarakah
0,00 % 0,00 %
11
Sumber : Adiwarman A. Karim
Sebagai
salah
satu
teknik
pengertian/batasan mudharabah,
1995
0,59 %
0,49 %
0,10 %
Ratio
1996
2,89 %
1,67 %
1,22 %
finasial,
1997
1998
1999
8,28 %
6,11 %
2,17 %
26,59 %
22,24 %
4,35 %
51, 62 %
46,89 %
4,72 %
beberapa
pakar
memberikan
antara lain Syafi’i Antonio. Menurut Syafi’i
Antonio :
Mudharabah adalah akad kerjasaman usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelaola, maka si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut. 12
Pengertian mudharabah dikemukakan pula oleh Nabil A. Saleh yang dikutip
Remy Syahdaeni, 13 yaitu :
A contract between at least two parties whereby one party, called the investor
(rab Al-mal) entrusts money to the other party the agent-manger (mudrahib)
11
Adiwarman A.Karim, ibid.
Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Tazkia Institute, Jakarta. 2000, hal. 135.
Lebih jauh lihat Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu pengantar, Kalam Mulia, Jakarta 1995. Hal.
399, Taqyudin Annabaini, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Perspektif Islam, Risalah Gusti,
Surabaya, 1996, hal 79, Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1996, hal. 380.
13
Sutan Remy Sjahdaeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hal 29.
12
5
who is to trade whit in an agreed manner and then return to the investor the
principal and preagreed share of the profits and keep for himself what
remains of such profits.
Dari dua pengertian di atas, tampaklah bahwa mudharabah adalah suatu
kontrak kemitraan berlandaskan prinsip bagi hasil. Keuntungan dan kerugian dibagi
berdasarkan kesepakatan. Jika terjadi kerugian finansial ditanggung penyedia modal,
pengelola menanggung kerugian berupa kehilangan tenaga, waktu dan kesempatan
untuk memperoleh keuntungan. Namun demikian jika kerugian tersebut terjadi
karena kesalahan pengelola dana, maka pengelola harus memberikan ganti kerugian
kepada penyedia dana. Transaksi ini melibatkan sekurang-kurangnya 2 (dua pihak),
yaitu :
1. pihak yang memiliki dan menyediakan modal guna membiayai proyek
atau usaha. Pihak tersebut disebut Shahib – Al mal (atau shahibul maal)
atau Raabul Maal.
2. Pihak pengusaha yang memerlukan modal dan menjalankan proyek atau
usaha. Pihak tersebut disebut Mudharib.
Remy Syahdaeni mengutip pendapat M. Umer Chapra tentang pengertian
mudharabah. Mudharabah
14
, yaitu cara untuk memobilisasi dana masyarakat guna
membiayai para pengusaha. Mudharabah merupakan wahana utama bagi lembaga
keungan Islam untuk memobilisasi dan masyarakat dan untuk menyediakan berbagai
fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha.
Perjanjian mudharabah
15
dalam perbankan biasanya diterapkan pada
produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana
mudharabah diterapkan pada : 16
14
Mudharabah juga disebut dengan istilah lain yaitu qiradh, dalam hal yang demikian itu investor atau
pemilik modal disebut Muqarid. Istilah Mudharabah dipakai oleh madzhab Hanafi, Hambali dan
Zaydi, sedangkan istilah Qiradh dipakai oleh mazdhab Maliki dan Syafi’i. Sutan Remy Syahdaeni,
Op.Cit.,hal.26.
15
Munir Fuady berpendapat bahwa perjanjian mudharabah ini mirip dengan pembiayaan modal
ventura, tetapi dalam perjanjian mudharabah pihak penyedia dana tidak sampai masuk kedalam
6
1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus seperti tabungan haji, tabungan qurban dan sebagainya.
2. Deposito biasa
3. Deposito Special (Special invesment), yaitu dana yang dititipkan nasabah
khusus untuk bisnis tertentu misalnya murabahah saja atau ijaroh saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
1. pembiayaan modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
2. Investasi Khusus disebut juga mudharobah muqoyyadah, di mana sumber
dan khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh shohibul maal.
Sebagai salah satu teknik finasial, mudharabah mempunyai risiko yang cukup
tinggi. Dalam transaksi perbankan risiko ini dapat dialami baik oleh bank sebagai
shahibul mal dalam pembiayaan mudharabah, maupun oleh nasabah penyimpan
deposito mudharabah atau tabungan mudharabah.
Risiko yang kemungkinan dialami oleh bank sebagai shahibul mal dalam
pembiayaan mudharabah, diantaranya : 17
1. Side straming; nasabah menggunakan dana ini bukan seperti yang disebut
dalam kontrak.
2. Lalai dalam kesalahan yang disengaja
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur
Risiko yang mungkin dialami oleh nasabah penyimpan dana sebagai shahibul
mal dalam bentuk tabungan mudharabah atau deposito mudharabah,
1. Side streaming ; bank menggunakan dana itu tidak sesuai dengan tujuan
bank itu sendiri.
2. Bank melakukan kelalaian dalam kesalahan yang disengaja
perusahaan. Menurutnya ada pula yang mensejajarkan perjanjian mudharabah dengan Trust Financing
Munir Fuady, Hukum perbankan Modern, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 182.
16
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Tazkia Institute, Jakarta, 2000, hal. 137.
7
3. Penyembunyian keuntungan oleh bank bila bank tidak jujur
Jika hal-hal atau keadaan tersebut di atas terjadi, hal ini akan merugikan
shahibul mal. Sahhibul mal ini bisa bank, yaitu dalam perjanjian pembiayaan
mudharabah, bisa pula nasabah penyimpan dana, yaitu dalam tabungan mudharabah
atau deposito mudharabah.
Di antara berbagai kendala dalam perkembangan pembiayaan bagi hasil
termasuk pembiayaan mudharabah antara lain adalah karena adanya asymmetric
information problem, yaitu kecenderungan salah satu pihak yang menguasai
informasi lebih banyak dalam hal ini nasabah bank penerima pembiyaan untuk tidak
bersikap jujur. Demikian halnya dalam perjanjian penyimpanan dana melalui
tabungan dan deposito mudharabah, kecenderungan bank yang menguasai informasi
lebih banyak dalam pengelolaan dana, oleh karena jika tidak dilandasi kejujuran dan
rasa amanah, bukan hal yang mustahil direksi atau pimpinan bank syariah melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan bank yang berakibat pada kerugian nasabah
penyimpan dana dan masyarakat secara umum.
Salah satu keunggulan perbankan syariah adalah keterkaitan pertumbuhan
sektor riil dengan sektor perbankan. Hal ini dicerminkan dengan tidak adanya
negative spead pada perbankan syariah. Padahal negative spead adalah salah satu
momok utama yang dihadapi oleh perbankan konvensional. Namun keunggulan
perbankan syariah bukan berarti bahwa bank syariah tidak mungkin di BTO kan,
terpaksa dimergerm, atau dilikuidasi. 18
Oleh karena itu perlu dikaji, bagaimana tanggung jawab mudharib sebagai
pengelola dana pada perjanjian mudharabah jika usaha yang dikelolanya tidak
mendapatkan keuntungan seperti yang diharapkan atau bahkan mengalami kerugian.
Makalah ini hanya akan mengkaji satu jenis perjanjian dari beberapa
perjanjian mudharabah yang biasa dilaksanakan dalam perbankan syariah, yaitu
perjanjian mudharabah antara nasabah sebagai shahibul mal yang menyimpan
17
18
Syafi’i Antonio, Op.Cit.,hal. 139
Adiwarnan Karim. Op.Cit.,hal. 18.
8
dananya pada bank syariah dengan bank syariah sebagai mudharib yang mengelola
dana nasabah. Apakah kontruksi hukum perjanjian antara bank syariah dengan
nasabah penyimpan dana sama dengan perjanjian antara nasabah penyimpan dengan
bank pada bank konvensional ? Bagaimana tanggung jawab direksi bank syariah jika
bank yang dikelolanya mengalami kerugian, atau bahkan misalnya sampai dilikuidasi,
atau pailit. Sejauhmana tanggung jawab direksi terhadap dana nasabah yang
dititipkannya ? Untuk memudahkan pembahasan, masalah-masalah tersebut dibatasi
pada tiga hal, yaitu : apa unsur dan syarat perjanjian mudharabah ? Bagaimana
aplikasi perjanjian mudharabah pada bank syariah ? dan bagaimana tanggung jawab
direksi bank sebagai mudharib dalam perjanjian mudharabah pada bank syariah ?
9
B. PEMBAHASAN
1. Unsur dan Syarat Perjanjian Mudharabah
Seperti telah diuraikan bahwa mudharabah adalah suatu transaksi pembiayaan
berdasarkan syariah. Transaksi mudharabah digunakan juga sebagai transaksi
pembiayaan perbankan Islam. Menurut Elias G. Kazarian yang dikutip oleh Sutan
Remy Syadaeni, 19 unsur utama perjanjian mudharabah adalah kepercayaan.
Kepercayaan merupakan unsur yang terpenting dalam transaksi mudharabah,
yaitu kepercayaan dari shahibul mal kepada mudharib. Lebih jauh Sutan Remy
Syadaeni mengatakan bahwa kepercayaan dikatakan merupakan unsur terpenting
karena dalam transaksi mudharabah, shahibul mal tidak boleh ikut meminta jaminan
atau agunan dari mudharib. Shahibul mal juga tidak boleh ikut campur dalam
pengelolaan proyek atau usaha yang note bene dibiayai dengan dana shahibul mal
tersebut. Dengan demikian, mudharib mengelola dan menjalankan usaha atau proyek
tersebut tanpa campur tangan dari shahibul mal.
Apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib mengalami kegagalan, sehingga
terjadi kerugian yang mengakibatkan sebagaian atau bahkan seluruh modal yang
ditanamkan oleh shahibul mal habis, maka yang menanggung kerugian keuangan
hanya shahibul mal sendiri. Mudharib sama sekali tidak menanggung atau tidak harus
mengganti kerugian atas modal yang hilang. Mudharib hanya menanggung
kehilangan atau risiko berupa waktu, pikiran, dan jerih payah yang telah
dicurahkannya selama mengelola proyek atau usaha tersebut, serta kehilangan
kesempatan untuk memperoleh sebagian dari pembagian keuntungan yang telah
diperjanjikan.
Namun ketentuan tersebut tidak berlaku jika apabila kerugian tersebut terjadi
sebagai akibat kecurangan yang dilakukan mudharib. 20
19
20
Sutan Remy Syadaeni, Op.Cit.,hal.48.
Sutan Remy Syadaeni, ibid000000
10
Menurut Sutan Remy Syahdaeni, karena unsur kepercayaan merupakan unsur
penentu, maka dalam perjanjian mudharabah, shahibul mal dapat mengakhiri
perjanjian secara sepihak apabila shahibul mal tidak lagi memiliki kepercayaan
kepada mudharib.
Dalam beberapa pustaka yang penulis pelajari, belum tampak pakar yang secara
detail membahas mengenai unsur-unsur pembiayaan mudharabah, namun jika
melihat unsur-unsur kredit yang dikemukan oleh para pakar,
21
dapat dilihat bahwa
dalam beberapa hal perjanjian mudharabah mempunyai unsur yang sama dengan
kredit bank.
Unsur
Kredit
Mudharabah
Kepercayaan
V
V
Tanggang waktu
V
V
Degree of risk
V
V (lebih tinggi)
Prestasi
V
V
Menurut penulis walaupun antara perjanjian mudharabah dan kredit bank
memiliki persamaan unsur, namun terdapat perbedaan subtansial. Perbedaan antara
kredit bank dan perjanjian mudharabah, yaitu mengenai hubungan hukum dan kontra
prestasi. Hubungan hukum dalam perjanjian kredit adalah hubungan debitur, kreditur,
sedangkan dalam perjanjian mudharabah adalah hubungan kemitraan.
22
Kontra
prestasi dalam perjanjian kredit bank adalah berupa bunga, sedangkan dalam
perjanjian mudharabah adalah bagi hasil.
21
Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 1990, hal. 12-13.
Lihat Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal.
164.
22
11
Selanjutnya akan diuraikan syarat-syarat perjanjian mudharabah. Syarat-syarat
operasional yang diperlukan dalam pelaksanaan pembiayaan Mudharabah antara lain
sebagai berikut : 23
a. Modal harus jelas jumlahnya
b. Jika modal berbetuk barang mesti ditaksir dengan rupiah
c. Modal yang diberikan oleh bank harus berbentuk tunai dan diserahkan kepada
nasabah
d. Keuntungan dibagi setelah seluruh atau sebagain modal dikembalikan
Syarat-syarat qiradh (mudharabah) dikemukakan pula oleh Ibrahim Lubis, yaitu 24 :
1. Adanya harta (modal) baik uang atau benda. Modal dapat berada pada
tanggungan yang berusaha
2. Usahanya tertentu misalnya : dagang, pabrik
3. Pembagian laba/rugi
4. Pemilik modal dan orang yang berusaha telah dewasa, serandahnya umur 15
tahun.
Menurut penulis syarat-syarat perjanjian mudharabah yang dikemukakan oleh dua
pakar tersebut di atas, masih sangat umum, tidak jauh berbeda dengan syarat
perjanjian musyarakah.
Syarat perjanjian mudharabah yang lebih rinci dikemukakan oleh Sutan Remy
Syadaeni. Sutan Remy Syahdaeni menerangkan syarat-syarat perjanjian mudharabah
dari berbagai pustaka dan menghubungkannya dengan hukum positif, yaitu : 25
1. Perjanjian mudharabah dapat dibuat secara formal maupun informal, secara
tertulis maupun lisan. 26
23
Munir Fuady, Op.Cit.,hal. 183
Ibrahim Lubis, ibid.
25
Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal. 30 s.d. 46.
26
Namun mengingat ketentuan Q.S. Al baqarah ayat 282-283 yang menekankan agar perjanjianperjanjian pinjaman dibuat secara tertulis, maka sebaiknya dibuat secara tertulis dengan dihadiri oleh
saksi-saksi yang memenuhi syarat dan dirumuskan secara tegas dan jelas untuk menghindari salah
tafsir, Sutan remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal. 30.
24
12
2. Perjanjian mudharabah dapat pula dilangsungkan antara beberapa shahibul
mal dan beberapa mudharib (seperti halnya kredit sindikasi).
3. Pada hakekatnya kewajiban utama shahibul mal adalah menyerahkan modal
mudharabah kepada mudharib, bila hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian
tidak sah.
4. Para pihak harus cakap bertindak hukum.
5. Shahibul mal berkewajiban menyediakan dana, mudharib berkewajiban
menyediakan keahlian, waktu, pikiran, upaya untuk mengelola proyek atau
kegiatan usaha.
6. Shahibul mal berhak memperoleh kembali investasi dari hasil likuidasi usaha
mudharabah tersebut apabila usaha mudharabah tersebut telah diselesaikan
mudharib dan jumlah hasil likuidasi itu cukup untuk pengembalian dana
investasi tersebut.
7. Shahibul mal tidak boleh meminta jaminan dari mudharib. Persyaratan yang
demikian itu dalam perjanjian mudharabah batal dan tidak berlaku. 27
8. Mudharib berkewajiban mengembalikan pokok dana investasi kepada
shahibul mal ditambah sebagian keuntungan yang pembagiannya telah
ditentukan sebelumnya.
9. Syarat-syarat perjanjian mudharabah wajib dipenuhi mudharib. Pasal 1339
dan 1347 KUHPerdata, Pasal 1342 s.d. 1351 KUHPerdata berlaku bagi
perjanjian mudharabah.28
27
Pasal 1311 KUH Perdata : “Segala kekayaan kreditur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak
baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan utang debitur.
Menurut Sutan Remy Syahdaeni, Perjanjian mudharabah bukan merupakan perjanjian utang piutang
melainkan perjanjian kerjasama, maka ketentuan Pasal 1311 KUHPerdata tidak berlaku. Sutan Remy
Syadaeni, Op.Cit.,hal.35.
28
Pasal 1339 KUHPerdata : Para pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya terikat oleh ketentuan dan
syarat-syarat yang secara tegas telah diperjanjikan tersebut, tetapi juga terikat oleh ketentuan dan
syarat-syarat yang diharuskan, karena memang demikian sifat dari perjanjian itu atau karena
kepatutan mengharuskan demikian atau karena ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku
sebagai kebiasaan atau yang diharuskan undang-undang. Pasal 1347 KUH Perdata : Hal-hal yang
menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan kedalam
perjanjian meskipun dengan tidak tegas dinyatakan.
13
10. Shahibul mal berhak melakukan pengawasan atas pelaksanaan perjanjian
mudharabah.
11. Modal yang harus disediakan oleh Shahibul mal diisyaratkan :
1. berbentuk uang
2. jelas jumlahnya
3. tunai
12. Keuntungan dibagi menurut perbandingan berdasarkan prinsip bagi hasil
(profit and loss sharing principle) yang harus diperjanjikan sebelumnya.
Besarnya pembagian keuntungan harus ditentukan dimuka dan proporsinya
harus ditentukan secara tegas.
13. Pembagian keuntungan tidak dibenarkan untuk dilakukan sebelum dapat
ditentukan besarnya kerugian dan telah dihapusbukukannya kerugian.
Terhadap modal shahibul mal yang ditanamkan telah diberikan penggantian
penuh (dikembalikan).
14. Shahibul mal dan mudharib keduanya harus menghadapi risiko (mukhatara),
Shahibul mal menghadapi resiko finansial, sedangkan mudharib menghadapi
resiko nonfinansial. Syarat yang memperjanjikan mudharib harus memikul
resiko finansial adalah batal.
15. Tanggung jawab Shahibul mal terbatas hanya sampai jumlah investasi saja.
16. Mudharib tidak boleh membuat komitmen dengan pihak ketiga melampaui
modal investasi.
17. Mudharib boleh menanamkan pula modal investasi.
18. Mudharabah dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk yaitu mudharabah mutlaqoh
dan mudharabah muqoyyadah.29
19. Pembatasan-pembatasan oleh Shahibul mal dapat diabaikan oleh mudharib
apabila pembatasan-pembatasan tersebut menghalangi tercapainta tujuan
bisnis mudharabah, yaitu memperoleh keuntungan optimal.
29
Mudharabah mutlaqoh adalah mudharabah mutlak/tidak terbatas. Mudharabah muqayyadah, yatu
mudharabah yang terbatas.
14
20. Pengeluaran pribadi mudharib yang tidak ada hubungannya dengan bisnis
mudharabah tidak boleh dibebankan atas beban rekening bisnis mudharabah.
21. Mudharib berhak atas remunerasi atau pembagian keuntungan yang besarnya
telah ditentukan.
22. Perjanjian mudharabah berakhir karena telah tercapainya tujuan dari usaha
tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian atau pada saat
berakhirnya jangka waktu perjanjian, atau karena salah satu pihak meninggal
dunia, atau jika salah satu pihak ingin mengakhiri perjanjian tersebut dan
disetujui oleh pihak lainnya.
23. Mudharaib harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dan itikad baik
sebagaimana diwajibkan oleh Al-Quran Surat 5 ayat 1.
2. Aplikasi Perjanjian Mudharabah Pada Bank Syariah
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan
dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Secara Syariah prinsipnya
berdasarkan kaidah Al-Mudharabah. Beradasrkan prinsip ini bank Islam akan
berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang
meminjam
dana.
Dengan
penabung,
bank
akan
bertindak
sebagai
mudhorib/pengelola, sedangkan penabung sebagai shahibul mal/penyandang dana.
Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian
keuntungan masing-masing pihak.
Di sisi lain pengusaha/penyimpan
dana, bank Islam akan bertindak sebagai
Shahibul mal (penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/maupun
dana
bank
sendiri
berupa
modal
pemegang
saham).
Sementara
itu
pengusaha/peminjam akan berfungsi sebagai mudharib/pengelola karena melakukan
usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank.30
30
Syafi’i Antonio, Op.Cit.,hal. 137.
15
Dari uraian di atas, tampak bahwa sebagai salah satu prinsip atau teknik finansial
dalam ekonomi Islam, dalam operasional perbankan syariah mudharabah telah
diperluas meliputi 3 pihak, yaitu : 31
1. Para nasabah penyimpan dana (depositor) sebagai Shahibul mal
2. Bank sebagai suatu intermediary, dan
3. Pengusaha sebagai Mudharib yang membutuhkan dana. Bank bertindak
sebagai pengusaha (mudharib) dalam hal bank menerima dana dari nasabah
penyimpan dana (depositor)
Selanjutnya untuk melihat lebih jelas aplikasi perjanjian mudharabah pada bank
syariah dapat dilihat dua bagan di bawah ini.
PENABUNG
BANK
Shahibul mal
Mudharib
BANK
NASABAH PEMINJAM
Shahibul Mal
Mudharib
Sumber : Syafi’i Antonio, hal. 138
PENABUNG
Shahibul mal
BANK
NASABAH
PEMINJAM
Shahibul mal
Akad
Mudharabah
31
Sutan Remy Syahdaeni, hal.47.
16
Musyarakah
Akad
Murabah
BBA, dll
Mudharabah
Sumber : Syafi’i Antonio, hal 138
Dalam hal penghimpunan dana, perjanjian mudrahabah diaplikasikan dalam
bentuk :
a. Deposito mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian antara penyimpan
dengan bank. Kepada penyimpan deposito mudharabah diberi hak untuk
memperoleh pembagian laba bank, misalnya 70 % (tujuh puluh prosen) untuk
penyimpan 30 % (tiga puluh proses) untuk bank, yang diperhitungkan sesuai
dengan peranan dananya dalam pembentukan laba bank.
b. Tabungan mudharabah, yaitu simpanan yang penarikannya dilakukan
dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penyimpan dengan
bank. Penyimpan tabungan mudharabah diberi hak untuk memeproleh
pembagian laba bank misalnya 50 % (lima puluh prosen) untuk penyimpan
dan 50 % (lima puluh prosen) untuk bank yang diperhitungkan sesuai dengan
peranan dananya dalam pembentukan laba bank.
Variabel yang menentukan besarnya pembagian laba pada tabungan ini sama
dengan deposito mudharabah. Namun karena dalam tabungan dimungkinkan adanya
mutasi variabel besarnya dana yang disimpan diperhitungkan menurut saldo ratarata. 32
Syarat-syarat sahnya perjanjian mudharabah dalam perbankan Islam 33 :
32
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bahkti, bandung, 2000, hal.
338.
33
Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal 47 s.d. 52.
17
1. Bank menerima dan dari nasabah penyimpan dana dalam bentuk mudharabah
tidak terbatas.
2. Bank boleh menggunakan dana yang diterima untuk keperluan investasi bank
3. Untuk menentukan besarnya keuntungan nasabah dan membayar keuntungan
itu, bank mengumpulkan keuntungan dari semua proyek (investasi) yang
dibiayai bank.
4. Bank dalam memberikan pembiayaan dilakukan dengan mudharabah terbatas.
Bank tidak boleh mencampuri manajemen nasabah yang memperoleh
pembiayaan mudharabah.
5. Dalam mudharabah, bank tidak boleh meminta jaminan apapun.
6. Tanggung jawab Shahibul mal dan mudharib.
Tanggung jawab dari bank dalam kedudukannya sebagai shahibul mal
terbatas hanya sampai pada modal yang disediakan. Sedangkan tanggung
jawab nasabah dalam kedudukannya sebagai mudgarib terbatas semata-mata
kepada kerja dan usahanya (jerih payahnya) saja. Namun, apabila dapat
dibuktikan terhadap kecurangan atau terjadi mismanajemen, maka nasabah
tersebut harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian keuangan
perusahaan dan berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut kepada
bank.
7. Pembagian keuntungan ditentukan dimuka
8. Mudharib boleh diberi gaji
3. Tanggung Jawab Direksi Bank sebagai Mudharib Dalam perjanjian
Mudharabah Pada Bank Syariah
Seperti telah dikemukan bahwa dalam perjanjian mudharabah tanggung jawab
shahibul mal terbatas hanya sampai modal yang disediakan sedangkan tanggung
jawab mudharib terbatas pada kerja dan usahanya. Dalam perjanjian pembiayaan
mudharabah pada bank syariah, tanggung jawab bank dalam kedudukannya sebagai
shahibul mal terbatas hanya pada modal yang disediakan. Sedangkan tanggung jawab
18
nasabah dalam kedudukannya sebagai mudharib terbatas semata-mata kepada kerja
dan usahanya (jerih payahnya) saja.
Namun, ketentuan ini tidak berlaku apabila dapat dibuktikan adanya kecurang
atau terjadi mismanajemen, maka nasabah tersebut harus bertanggung jawab atas
terjadinya kerugian keuangan perusahaan dan berkewajiban untuk mengganti
kerugian kepada bank. Demikian halnya, bank syariah dalam kedudukannya selaku
mudharib bagi para nasabah penyimpan dana bertanggung jawab untuk mengganti
kerugian
kepada
para
nasabah
penyimpan
dana
tersebut
apabila
terjadi
mismanajemen (salah arus). Misalnya karena direksi bank syariah tersebut telah
dengan sengaja melanggar rambu-rambu kesehatan bank yang telah ditentukan oleh
Bank Indonesia, dengan sengaja melanggar ketentuan batas maksimum pemberian
kredit (BMPK), memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabah (mudharib) tanpa
melakukan analis secara profesional sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU No. 10
tahun 1998 tentang Perbankan, melanggar ketentuan mengenai net open position,
melanggar ketentuan capital adequacy ratio dan melanggar rambu-rambu kesehatan
bank lain.
Dalam hal hubungan antara bank sebagai shahibul al-mal dan nasabah yang
menerima fasilitas pembiayaan sebagai mudharib, nasabah tersebut harus mengganti
kerugian kepada bank apabila kegagalan usaha atau kegagalan pembiayaan
(pembiayaan
menjadi
non
performing
loan)
disebabkan
karena
nasabah
menyalahgunakan fasilitas pembiayaan tersebut untuk tujuan-tujuan selain yang telah
ditentukan dalam perjanjian fasilitas mudharabah antara bank dengan nasabah yang
bersangkutan.34
Untuk mengetahui lebih jauh tentang tanggung jawab direksi bank syariah,
terlebih dahulu kita kaji bentuk hukum bank. Menurut Pasal 21 UU No. 10 tahun
1998, bentuk hukum suatu bank dapat berupa Perseroan terbatas, Koperasi atau
Perusahaan Daerah. Sedangkan bentuk hukum BPR, baik menurut UU No. 7 tahun
34
Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal.51.
19
1992 maupun menurut UU No. 1998 dapat berupa Perusahaan Daerah, Koperasi,
Perseroan Terbatas atau bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 35
Makalah ini akan membahas bagaimana tanggung jawab direksi bank yang
berbadan hukum Perseroan Terbatas dengan tidak melihat apakah bank tersebut
merupakan bank umum atau BPR.
Untuk melihat tanggung jawab direksi bank yang berbadan hukum Perseroan
terbatas, kita harus menelaah dari Undang-undang No. 1 tahun 1995 perseroaan
Terbatas. Menurut Pasal 82 UU PT Direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 82, oleh Pasal 85 ayat (1) UUPT ditentukan
bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Dengan kata lain tugas
dan kewajiban Direksi yang ditentukan dalam Pasal 79 ayat (1) yaitu melakukan
kepengurusan perseroan dan Pasal 82 yaitu mewakili perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadilan harus dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab.
Menurut Sutan Remy Syahdaeni
36
sekalipun ungkapan yang dipakai dalam Pasal
82 yaitu “untuk kepentingan dan tujuan perseroan” berbeda dengan ungkapan yang
dipakai dalam Pasal 85 ayat (1) yaitu : “untuk kepentingan usaha dan perseroan”
tetapi maksudnya sama. Menurutnya seyogyanya apabila mau konsisten dipakai
ungkapan yang sama, “untuk kepentingan dan tujuan perseroan” seperti yang dipakai
pada Pasal 82.
Berdasarkan ketentuan Pasal 82 junto Pasal 85 ayat (1) terdapat dua unsur pokok
yang harus diperhatikan oleh Direksi perseroan dalam menjalankan tugas
35
Hal ini merupakan perubahan dari Pasal 21 UU No. 7 tahun 1992. Menurut UU No. 7 tahun 1992
bentuk hukum Bank Umum adalah perusahaan perseroan, Peruasahaan Daerah, Koperasi, perseroan
Terbatas.
36
Sutan Remy Syahdaeni, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Artikel pada Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 14 bulan Juli 2000, hal. 100.
20
kepengurusan perseroan sebagaiman dimaksud dalam pasal 79 ayat (1) yaitu
melakukan kepengurusan perseroan, dan Pasal 82 yaitu mewakili perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Unsur-unsur tersebut adalah :
1. kepentingan dan tujuan/usaha perseroan, dan
2. itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif,
artinya harus dipenuhi keduanya. Apakah sanksinya bila tugas anggota direksi itu
tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 85 ayat (1). Menurut Pasal 85 ayat
(2) setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal
85 ayat (1) itu.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai apa yang dimaksud Pasal 85
ayat 91) “dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab” tersebut ? UUPT baik
pasal-pasalnya maupun penjelasannya tidak memberikan penjabaran yang jauh
mengenai maksud atau kandungan dari konsep “itikad baik dan penuh tanggung
jawab itu.
Mengenai hal ini menurut Sutan Remy Syahdaeni yurisprudensi Indonesia belum
menampilkan doktrin maksud “itikad baik dan penuh tanggung jawab” yang
dimaksud dalam UUPT, demikian halnya pustaka hukum Indonesia belum banyak
yang mengungkapkan doktrin-doktrin mengenai asas tersebut. Oleh karena itu maka
pengkajiannya harus dilakukan dengan menggali psutaka-pustaka hukum dan
yurisprudensi pengadilan luar negeri.
Oleh karena UUPT telah mengacu pada hukum perseroan Inggris dan negaranegara yang menganut common law system, Sutan Remy Syahdaeni menganalisa
dengan menggali pustaka-pustaka hukum yang tertulis oleh para pakar hukum dari
company law atau corporate law Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara yang
menganut common law system dan pada putusan pengadilan Inggris dan Amerika
Serikat yang telah menjadi sumber pembuatan UUPT.
21
Di negara-negara yang menganut common law system acuan yang dipakai adalah
standard of care atau
standar kehati-hatian, apabila direksi telah bersikap dan
bertindak melanggar standard of care, maka direksi tersebut dianggap telah
melanggar duty of care-nya.37
Sebagai contoh dari standar kehati-hatian itu antara lain sebagi berikut :
1. Anggota direksi tidak boleh melakukan kegiatan atas beban biaya perseroan,
apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat
kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh
oleh anggota direksi yang bersangkutan. Namun demikian, hal itu dapat
dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya refresentasi jabatan dari
anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS.
2. Anggota direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang
dipimpinnya misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang
seyogyanya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang
dipimpinnya tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain
yang didalamnya terdapat kepentingan pribadi anggota direksi itu.
3. Anggota direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu
hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui yang akan mengakibatkan
perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga
perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya
dicabut izin usahanya atau dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh
pihak lian.
4. Anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaianya telah melakukan
atau telah cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk
mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan.
5. Anggota direksi sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau
telah tidak cakap melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk
meningkatkan keuntungan perseroan.
Standar kehati-hatian tersebut harus diterapkan pada bank syariah misalnya
standar kehati-hatian yang ketiga, direksi bank perlu memperhatikan rambu-rambu
kesehatan bank.
38
Rambu-rambu kesehatan bank merupakan pengejawatan dari
prinsip kehati-hatian (prudential principle). Khusus untuk bank syariah kewajiban
untuk menerapkan prinsip kehati-hatian itu tidak secara eksplisit diatur dalam UU
37
Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal. 100.
22
No. 7 tahun 1992, baru pada UU No. 10 tahun 1998 hal ini diatur. Aturan tersebut
ditegaskan dalam Surat-surat Keputusan Direksi Bank Indonesia.39
Berkaitan dengan tanggung jawab direski perseroan ini, Inggris telah memiliki
Insolvency Act 1986 yang memuat sejumlah ketentuan mengenai risiko yang harus
dipikul oleh para kreditur perseroan untuk bertanggung jawab secara pribadi.40
Yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat dan perkara Francis vs United Jersey
Bank, 432 A.2d 814 (NJ. 1981) menawarkan pedoman yang dapat sangat berguna
untuk dijadikan rujukan bagi setiap anggota Direksi perseroan dalam menjalankan
tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus :
1. Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya
2. Dari waktu ke waktu mengetahui kegiatan usaha perseroan
3. Melakukan pemantauan kegiatan perseroan
4. Menghadiri rapat-rapat direksi secara teratur
5. Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secaar teratur
6. Menanyakan apabila menjumapi masalah-masalah yang meragukan
7. Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang
jelas-jelas melanggar hukum
8. Berkonsultasi dengan penasehat (counsel) perseroan
9. Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan
ternyata tidak dilakukan.
Menurut Sutan Remy Syahdaeni41 selain doktrin duty of care, dikenal pula
Busines Judgement Rule (pertimbangan-pertimbangan bisnis)
42
yang kandungan dari
38
Pelanggaran rambu-rambu kesehatan bank oleh bank syariah memberikan dampak kerugian yang
lebih besar daripada apabila hal itu dilakukan oleh bank konvensional terutama dalam pembiayaan
berdasarkan mudharabah.
39
Jenis prudential standards bagi bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional, antara lain :
Analisis pembiayaan, batas maksimum pemberian kredit, Loan to deposit ratio. Kewajiban penyediaan
modal minimum bank (CAR), posisi devisa neto, giro wajib minimum, kewajiban mengumumkan
neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan.
40
Sutan Remy Syahdaeni, ibid.
41
Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal.102.
42
Menurut Business judgement rule, pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak akan ditantang
(diganggu gugat), atau ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham.
23
kedua doktrin tersebut di atas dapat dipakai untuk mengisi atau dijadikan acuan
dimaksudkan dalam Pasal 85 UUPT. Inggris memiliki Undang-undang seperti itu
yaitu : Directors Liability Act (1890).
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa direksi bank syariah sebagai
mudharib pada perjanjian mudharabah tidak bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh bank sebagai pihak pengelola dana masyarakat ( nasabah penyimpan
dana), namun ketentuan ini tidak berlaku jika kerugian yang diderita oleh bank
syariah tersebut dikarenakan oleh kesalahan, kelalaian, atau ketidakhati-hatian direksi
bank. Jika kerugian tersebut terbukti dikarenakan kesalahan, kelalaian, atau
ketidakhati-hatian direksi, misalnya karena direksi melanggar standar of care, atau
prudential principle maka direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Hal ini
sebagaimana yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas dan UU Perbankan.
Sanksi terhadap pelanggaran prudential principle meliputi sanksi pidana, sanksi
administratif, dan sanksi perdata. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 49 dan 50 UU
Perbankan sanksi administratif diatur dalam Pasal 52 UU Perbankan, dan Pasal 10
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271/KEP/DIR/tanggal 6 Maret 1998
dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/176/KEP/DIR tanggal 31
Desember 1998. Sanksi Perdata diatur dalam Pasal 85 ayat (3) dan Pasal 1365 KUH
Perdata.
24
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Perjanjian mudharabah memilki unsur kepercayaan, tenggang waktu, degrre
of riski dan prestasi. Dari keempat unsur tersebbut, kepercayaan merupakan
unsur yang utama/terpenting, yaitu kepercayaan dari shahibul mal kepada
mudharib. Dikatakan sebagai unsur terpenting karena dalam transaksi
mudharabah, shahibul mal tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari
mudharib. Shahibul mal juga tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan
proyek atau usaha. Mudharib mengelola dan menjalankan usaha atau proyek
tersebut tanpa campur tangan dari shahibul mal.
Syarat perjanjian mudharabah adalah modal harus jelas jumlahnya, usahanya
tertentu, pembagian laba/rugi, shahibul mal tidak boleh ikut campur dalam
manajemen usaha. Kerugian finansial menjadi tanggung jawab shahibul mal,
mudharib hanya menanggung kerugian berupa kehilangan waktu, tenaga dan
keuntungan yang akan diperoleh.
b. Perjanjian mudharabah diterapkan dalam perbankan syariah sesuai dengan
fungsi bank sebagai financial intermediary (lembaga perantara keuangan),
yaitu dalam penghimpunan dana masyarakat (funding) dan penyaluran dana
kepada masyarakat ( landing ). Contoh perjanjian mudharabah dalam
penghimpunan dana adalah tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus
seperti tabungan haji, tabungan qurban, dan sebagainya, deposito biasa, dan
deposito spesial (special investmen). Pada sisi pembiayaan, mudharabah
diterapkan untuk pembiayaan modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan
jasa dan investasi khusus yang disebut mudharabah muqoyyadah.
25
c. Direksi bank syariah sebagai mudharib pada bank yang berbadan hukum PT
tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh bank sebagai pihak
pengelola dan masyarakat (nasabah penyimpan dana). Namun ketentuan ini
tidak berlaku jika kerugian yang diderita oleh bank syariah tersebut
dikarenakan oleh kesalahan, kelalaian, atau ketidakhati-hatian direksi bank.
Jika kerugian tersebut terbukti dikarena kesalahan, kelalaian, atau ketidakhatihatian direksi misalnya karena direksi melanggar standar of care atau
prudential principle maka direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Hal
ini sebagaimana diatur dalam pasal 85 UU Perseroan Terbatas.
2. Saran
a. Asas itikad baik dan asas tanggung jawab yang merupakan kewajiban direksi
Perseroan terbatas yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1) UUPT, tidak
memberikan penjabaran lebih jauh dan rinci. Untuk itu perlu disusun acuan
mengenai maksud dan konsep asas itikad baik dan asas tanggung jawab
tersebut yaitu, semacam standard of care atau standar kehati-hatian dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
b. Sebagai pedoman bagi para hakim, pengadilan Indonesia semestinya aktif
mengembangkan standard of care atau standar kehati-hatian tersebut melalui
pelbagai putusan pengadilan.
c. Untuk mendukung perkembangan bank syariah di Indonesia, perlu disusun
peraturan perundang-undangan mengenai instrumen moneter yang sesuai
dengan prinsip syariah.
26
DAFTAR PUSTAKA
-
Arifin, Zainun, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang, Tantangan, dan
Prospek, AlvaBet. Jakarta. 1999
-
Antonio, Syafi’i. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Tazkia Institute.
Jakarta. 2000.
-
Annabani, Taqyudin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Perspektif Islam,
Risalah Gusti, Surabaya, 1996.
-
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bahkti.
Bandung. 2000.
-
Fauzi, Yuslam. Peluang Perbankan Syariah di Indonesia. Makalah pada Seminar
Nasional Menyongsong Era Double Banking System. Islamic Studies Economic
Group. FE UNPAD. Bandung. 24 Maret 2001.
-
Fuady. Munir. Hukum Perbankan Modern. Citra Aditya Bhakti. Bandung. 1999.
-
Karim, Adiwarman. Perspektif Sejarah, Makro dan mikro Ekonomi Bank Syariah,
makalah pada Seminar Nasional Menyongsong Era Double Banking System.
Islamic Studies Economic Group. FE UNPAD. Bandung. 24 Maret 2001.
-
Lubis, Ibrahim, Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Kalam Mulia. Jakarta. 1995.
-
Manan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Dana Bhakti Wakaf.
Yogyakarta. 1995.
-
Rahman, Afzakur. Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4. Dana Bhakti Wakaf.
Yogyakarta. 1996.
-
Remy Sjahdaeni, Sutan. Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. 1999.
27
-
------------------ . Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris. Artikel pada
Jurnal Hukum Bisnis. Volume 14. Juli 2000.
-
Republika, 12 Mei 2001.
-
Suyatno, Thomas. Dasar-dasar Perkreditan. Gramedia. Jakarta. 1990.
Peraturan Perundang-undangan
KUH Perdata
UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
28
Download