I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Alat pencernaan manusia merupakan suatu tabung yang menggulung sepanjang kurang lebih 9 m yang melalui bagian tengah tubuh. Saluran pencernaan manusia memiliki luas permukaan sekitar 300 m2 (dibandingkan dengan kulit yang memiliki luas permukaan 2 m2 dan paru-paru yang memiliki luas permukaan 100 m2) (Loo 2006) sehingga dapat meningkatkan daya serap makanan. Pemukaan yang luas tersebut menjadikan saluran pencernaan manusia ini sebagai bagian tubuh yang paling banyak mengalami kontak dengan lingkungan luar karena saluran pencernaan selalu terpapar oleh makanan selama proses pencernaan makanan, yang mungkin mengandung kontaminan yang dapat merugikan saluran pencernaan. Oleh karena itu, saluran pencernaan merupakan organ yang rentan terhadap gangguan. Gangguan terhadap saluran pencernaan (gastroenteritis) bervariasi dari yang ringan hingga yang berat, serta dapat pula menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan benar. Salah satu contoh gangguan terhadap saluran pencernaan adalah diare. Diare merupakan suatu gejala penyakit yang terjadi akibat adanya penyimpangan atau gangguan terhadap sistem pencernaan makanan. Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup kompleks. Jika tidak ditangani dengan baik, diare dapat mempengaruhi pertahanan tubuh penderita hingga menimbulkan kematian. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak-anak di negara yang sedang berkembang dengan perkiraan 1.3 milyar kejadian dan 3.2 juta kematian setiap tahun pada balita (Prasetyo dan Fadlyana 2004). Sementara itu, menurut laporan Departemen Kesehatan (Depkes), di Indonesia setiap anak mengalami diare 1.6-2 kali dalam setahun (Prasetyo dan Fadlyana 2004). Bakteri penyebab infeksi gastroenteritis yang utama adalah famili Enterobacteriaceae, termasuk koliform, terutama Escherichia coli, Salmonella, Shigella, dan Yersinia. Berdasarkan data identifikasi bakteri patogen, Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab diare. Budiarti (1997) menyatakan pula bahwa Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia, prevalensinya mencapai 55% dari anak-anak penderita diare. Oleh karena itulah, upaya pencegahan dan pengendalian diare ini menjadi sangat penting. Infeksi usus penyebab diare adalah bakteri enteropatogenik yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman. Selain dapat menyebabkan diare, infeksi karena bakteri juga dapat menyebabkan stres oksidatif. Stres oksidatif dapat membahayakan karena menimbulkan radikal bebas dan mengganggu keseimbangan oksidan dan antioksidan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan (Winarsi 2007). Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh (Winarsi 2007). Gangguan-gangguan tersebut dapat dicegah dengan menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan yang merupakan strategi untuk memodulasi komposisi mikrobiota saluran pencernaan. Modulasi mikrobiota tersebut dapat dilakukan dengan menstimulasi pertumbuhan bakteri yang menyehatkan dan mereduksi jumlah mikroba yang berbahaya (Loo 2006). Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Mengonsumsi bakteri probiotik melalui produk-produk pangan adalah cara yang ideal untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora usus (Lourens-Hattingh dan Viljoen 2001). Mikroba 1 probiotik umumnya dimasukkan ke dalam makanan fermentasi berbasis susu, seperti yogurt yang telah dikenal sebagai makanan yang menyehatkan. Susu banyak dipilih sebagai media fermentasi karena susu sangat baik untuk pertumbuhan berbagai mikroorganisme, terutama karena susu memiliki kadar air yang tinggi, pH netral, dan kandungan nutriennya yang tinggi (Rahman et al. 1992). Sementara itu, keberadaan prebiotik dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri baik. Dengan demikian, keberadaan probiotik dan prebiotik dalam bentuk produk yogurt sinbiotik dapat memberikan manfaat yang sinergis bagi kesehatan. Agar dapat lebih mudah diaplikasikan di lingkungan lokal, mikroba probiotik yang digunakan sebaiknya berasal dari wilayah lokal atau bersifat endogenus. Baru-baru ini diketahui bahwa bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor memiliki sifat sebagai probiotik (Arief et al. 2008). Mikroba probiotik lokal memiliki keunggulan yaitu sudah dapat beradaptasi (sangat adaptable) dengan kondisi lingkungan lokal, sehingga tidak memerlukan rekayasa dan manipulasi sifat aslinya. Dengan demikian, probiotik tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan menjaga keseimbangan mikroflora usus masyarakat Indonesia dengan lebih baik. 1.2 TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan dua bakteri asam laktat probiotik lokal (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) untuk pembuatan yogurt sinbiotik. Selanjutnya yogurt sinbiotik tersebut diuji sifat antidiare dan antioksidatifnya. 2