1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah “Tidak seperti di Amerika Serikat, Australia, ataupun Belanda, keberadaan kaum homoseksual di Indonesia masih tersembunyi. Keberadaannya belum diterima dan diakui oleh negara sampai sekarang. Homoseksual sudah terjadi di semua lapisan masyarakat. Sepanjang sejarah dan di belahan dunia manapun selalu ada pria yang mencintai pria (gay) atau wanita yang mencintai wanita (lesbian). Kehadiran gay dan lesbian di beberapa negara tertentu sudah dapat diterima, mereka bebas melakukan aktivitas apapun termasuk cinta dan seks. Di Indonesia, keberadaan kaum homoseksual juga ditoleransi, dibiarkan ada tapi mereka tidak bebas melakukan aktivitas cinta seperti manusia normal. Pengamat sosial, Drs. Sigit Pranawa, M.Si. mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kondisi sosial budaya Indonesia yang masih terikat dengan nilai agama dan budaya, dimana nilai–nilainya tidak akan memberikan ruang untuk kaum homoseksual. Jika pemerintah memberikan ruang khusus bagi kaum homoseksual, maka tentunya akan menimbulkan polemik baru.” (Men’s Guide, 2007 dalam http://cyberman.net.id/cbprtl/cyberman) Ketika kita berada di tengah–tengah masyarakat, maka apa yang kita lakukan akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap diri kita. Begitu pula dalam kehidupan seksual yang kita jalani. Nevid, Rathus & Rathus (1995) menyatakan bahwa pada umumnya orientasi seksual ini dapat diarahkan kepada orang lain yang berlawanan jenis dengan dirinya (heteroseksual). Namun ada pula orientasi seksual yang diarahkan kepada anggota sesama jenis kelamin atau disebut juga homoseksual. Laki–laki homoseksual dinamakan “Gay” sementara perempuan homoseksual dinamakan “Lesbian”. Ada dua istilah terdapat pada orang yang mempunyai kecenderungan homoseksual yaitu lesbian pada kaum wanita dan gay pada kaum laki–laki istilah 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 2 ini nampaknya sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Lesbian lebih merupakan ketertarikan seorang perempuan baik secara emosi maupun fisik terhadap perempuan lain, sedangkan gay merupakan suatu istilah dimana seorang laki-laki mempunyai ketertarikan kepada sesama jenisnya yaitu laki–laki atau orang yang berjenis kelamin sama (Hastaning, dalam Papalia 2008) Orientasi seksual yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhi sikap orang lain terhadapnya, terutama ketika orientasi seksual yang dimiliki seseorang dinilai tidak sesuai dengan norma–norma yang berlaku di lingkungan. Hancock (dalam Greene & Croom, 2000) mengungkapkan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap heteroseksual merupakan norma yang dapat diterima. Menurut Hunter & Mallon (dalam Greene & Croom, 2000); Boswell (dalam Kelly, 2001); dan Hyde (2007), hal ini terjadi karena adanya stereotipe yang menganggap bahwa orientasi seksual heteroseksual merupakan hubungan paling sehat dan sesuai dengan norma agama dan norma sosial. Dalam sejarahnya di Indonesia dikenal juga istilah waria. Oetomo (1991) mengatakan persentuhan dan penyeberangan pada identitas waria terjadi di kelas menengah ke bawah. Maksudnya ada gay yang kadang–kadang berdandan sebagai wanita, bahkan untuk waktu yang agak lama atau ketika berada di kota lain. Begitu juga sebagian kecil waria sebaliknya berpenampilan sebagai gay pada kesempatan–kesempatan tertentu. Batas antara gay dan waria sebetulnya merupakan batas sosiologis yang dibentuk dalam kesadaran sebagian kaum gay dan waria itu sendiri. Misalnya seperti telah disebutkan di awal tadi cenderung lebih mengenal waria (dengan istilah banci atau bencong) dari pada gay meskipun http://digilib.mercubuana.ac.id/ 3 dengan meluasnya liputan media massa tampaknya keadaan seperti itu akan berubah. Berbicara mengenai waria, tradisi transvestisme yang sejalan dengan perilaku homoseksual dalam masyarakat–masyarakat nusantara seperti di atas kehilangan pelembagaan tradisionalnya sehingga muncul satu kategori sosial baru yaitu waria, yang sejak akhir tahun 1960-an juga merupakan gerakan sosial berupa himpunan atau perkumpulan waria di kota–kota besar Jawa. Oetomo (1991) melanjutkan bahwa sebenarnya kategori sosial gay juga telah muncul seperti itu. Jadi, berbeda dengan kategori sosial yang tradisional seperti gemblak, bissu dan lain–lain yang tidak berkonotasi seksual dalam masyarakat Indonesia, di dalam masyarakat modern telah timbul kategori sosial baru dengan konotasi seksual penuh yaitu waria, gay (dan juga lesbian). Oetomo (1991), juga mengemukakan hal lain yang tampak dalam masyarakat Minangkabau tradisional mengenai hubungan antara laki–laki dewasa dan remaja, dimana si dewasa disebut induk jawi (harafiah berarti induk lembu) dan si remaja pasangannya dinamakan anak jawi. Informan–informan Minang yang jujur selalu mengakui adanya hubungan ini dengan kehidupan serba laki-laki di surau atau dengan hubungan guru – murid dalam ilmu silat. Hubungan mairilan adalah hubungan antara seorang santri dengan santri lainnya yang lebih muda; hubungan itu, selain mengandung aspek emosional – erotik juga melibatkan bimbingan dalam belajar, dan tolong menolong dalam kehidupan sehari–hari di pondok. Kemudian Oetomo (1991) juga mengatakan hubungan ini lebih menonjol ditemui sebagai sesuatu yang dilembagakan secara http://digilib.mercubuana.ac.id/ 4 menyeluruh di pondok–pondok ortodoks, khususnya di daerah pedalaman dan dipandang sebagai perbuatan dosanya lebih kecil daripada zinah. Hubungan yang menuntut kasih sayang dan kesetiaan ini berlangsung hingga salah seorang dari kedua santri itu siap untuk menikah dan berkeluarga. Kebanyakan penelitian berfokus pada usaha untuk menjelaskan homoseksualitas. Walaupun dahulu dipandang sebagai gangguan mental, penelitian selama beberapa tahun terakhir menemukan bahwa tidak ada hubungan antara orientasi homoseksual dengan masalah emosional atau sosial terlepas dari masalah yang disebabkan oleh perlakuan masyarakat terhadap homoseksualitas, seperti kecenderungan depresi (American Psychological Association, C.J. Patterson, 1992, 1995a, 1995b). Pada saat ini banyak remaja yang memiliki satu atau lebih pengalaman homoseksualitas saat mereka beranjak dewasa, biasanya sebelum usia 15 tahun; tetapi pengalaman sendiri, fantasi, atau bahkan ketertarikan homoseksualitas, tidak menentukan orientasi seksual. Orientasi seksual tampaknya disebabkan oleh faktor genetis (Diamond & Savin Williams, 2003 dalam Papalia). Dalam penelitian anak kembar di AS dan Australia, ditemukan bahwa baik orientasi seksual laki - laki maupun perempuan diwariskan secara genetis (Balley, Dunne, dan Martin, 2000; Kendler et al., 2000 dalam Papalia). Menurut ulasan dari penelitian, baik prospektif maupun retrospektif, anak– anak yang berperilaku tidak sesuai dengan karakteristik gender, terutama anak laki–laki yang menunjukkan ketertarikan feminin kuat, cenderung untuk tumbuh menjadi orang dewasa homoseksual (Bailey & Zucker, 1995 dalam Papalia). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 5 Untuk anak laki-laki, hasrat seksual kemungkinan merupakan cara utama untuk mempelajari orientasi seksual mereka. Walaupun kini homoseksualitas lebih diterima, tetapi remaja yang secara terbuka menyatakan diri sebagai homoseks, lesbian, atau biseksual, sering kali merasa terasing dalam lingkungan yang kejam. Mereka dapat menjadi subjek diskriminasi dan bahkan kekerasan. Mereka mungkin ragu untuk menyatakan orientasi seksual mereka, bahkan kepada orangtua mereka sendiri karena takut penolakan kuat atau keretakan dalam keluarga (Hillier, 2002; C.J Patterson, 1995b dalam Papalia). Mereka mungkin merasa sulit untuk berkenalan dan bertemu dengan pasangan sesama jenis mereka. Hasilnya, bagi mereka yang termasuk kelompok minoritas di aspek seksual, mengenali serta menyatakan identitas seksual lebih kompleks dan kurang memahami aturan umum dibandingkan dengan heteroseksual (Diamond & Savin-Williams, 2003). Sikap negatif terhadap homoseksualitas secara perlahan hilang di AS, terutama diantara dewasa awal (Smith, 2003). Tetap saja, menurut survey Newsweek (2000), hampir setengah populasi menganggap homoseksualitas sebagai dosa, serta sepertiga responden dalam survey lain menganggap homoseksualitas sebagai dosa dan sepertiga responden dalam survey American on Values (1999) percaya bahwa homoseksualitas merupakan penyakit. Berlawanan dengan sikap yang diambil oleh American Psychological Association (1997, 2000) stigma sosial terhadap homoseksual dapat secara signifikan mempengaruhi kesehatan mental pada homoseks dan lesbian. Penelitian–penelitian menemukan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 6 lebih tingginya resiko kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris lainnya di antara para homoseksual daripada heteroseksual (Cochran, 2001 dalam Papalia). Peneliti juga melihat belakangan ini, di Indonesia khususnya Jakarta masih hangat terjadi bagaimana isu mengenai kehidupan kaum homoseksual gay dan lesbian menjadi soroton. Acara diskusi dan bedah buku berjudul “Allah, Liberty dan Love” karangan Irsad Manji di Salihara tidak disetujui oleh salah satu organisasi masyarakat hingga akhirnya acara tersebut dibatalkan. Memang dalam hal ini terjadi suatu kerancuan apakah faktor homophobia yang menjadi permasalahan ataukah dilihat dari kacamata yang lain, yaitu agama. Kesadaran diri dan pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki disebut dengan coming out. Coming out merupakan hal yang sangat penting bagi seorang homoseksual karena dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan mereka. Identitas personal dalam diri seseorang yang penting dalam memahami diri dan meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004). Bagi seorang homoseksual, melakukan Coming Out merupakan proses panjang dan beresiko menyakitkan (Nevid, 1995). Penerimaan dan penilaian dari masyarakat, faktor keluarga memiliki peranan yang besar. Orangtua yang mengetahui anaknya adalah homoseksual seringkali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orangtua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah atau mengucilkan anaknya (Walker, 1996; Nevid et all, 1995). Penjelasan tersebut merupakan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 7 gambaran beberapa hambatan dan resiko yang dihadapi kaum homoseksual untuk menyatakan kepada orang lain atau publik tentang orientasi seksual. Berbagai macam pola hubungan homoseksual didapati setelah usia 30 tahun, banyak lesbian dan gay menikah dengan lawan jenis dan hanya berperilaku homoseksual insidensial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keharusan untuk menikah memang merupakan beban pikiran terberat dari seorang homoseks. Beban kedua adalah takut ketahuan masyarakat, terutama di tempat kerja, sekolah, dan tempat tinggal. Masih sedikit sekali lesbian dan gay Indonesia yang benar– benar terbuka dalam segala konteks. Mereka yang agak terbuka cenderung terbuka dalam kalangan-kalangan tertentu misalnya sesama homoseks, teman dekat, kawan–kawan dekat dan atau keluarga saja (Oetomo, 1999). Selanjutnya peneliti mencoba melihat bagaimana pandangan masyarakat mengenai pernikahan baik pasangan heteroseksual, sesama jenis maupun homoseksual yang telah menikah dengan seorang wanita. Dalam Papalia (2009) usia kawin telah meningkat di negara–negara industri. Tiga puluh hingga 50 tahun lalu, kebanyakan orang menikah pada atau sebelum usia tiga puluhan. Transisi menuju kehidupan pernikahan membawa perubahan–perubahan besar dalam kefungsian seksual, pengaturan hidup, hak dan tanggung jawab, kelekatan, dan kesetiaan. Diantara tugas–tugas (perkembangan) lain, pasangan menikah perlu mendefenisikan ulang hubungan dengan keluarga asal mereka, menyeimbangkan keintiman secara otonomi, dan mengukuhkan pemenuhan hubungan seksual. Dalam Papalia (2009), orang–orang yang menikah cenderung lebih bahagia daripada yang tidak menikah, walaupun mereka yang pernikahannya tidak http://digilib.mercubuana.ac.id/ 8 membahagiakan paling tidak mereka lebih bahagia daripada mereka yang tidak menikah atau bercerai. Mencoba melihat dari sisi lain, banyak riset mengenai homoseksual mengambil isu yang berhubungan dengan bagaimana hidup secara bersama untuk jangka waktu yang lama (menikah) secara normatif, yang merupakan relasi pasangan monogami. Contohnya, Ringer (2001; 138) dalam Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Queer Psyhocology mengatakan bahwa “banyak dari pengetahuan mengenai relasi seksual sesama jenis yang diambil melalui riset berdasarkan asumsi kehidupan pasangan heteroseksual dan mengambil suatu nilai bahwa relasi adalah suatu hal yang wajib, terdiri dari dua orang dan selamanya. Apakah asumsi ini sama dan dapat diterapkan pada pasangan gay, lesbian dan biseksual ? Banyak riset mengenai pasangan sesama jenis, namun Hostetler and Cohler (1997; 200) mengarisbawahi “pengalaman hidup secara sendiri atau membujang dalam perjalanan kehidupan sangat tidak disarankan”. Sendiri atau membujang dapat dilihat dalam dua perspektif; karena tidak dapat mencari pasangan ataupun sebagai sikap untuk tetap sendiri dengan berbagai alasan (Sandfield and Percy, 2003). Dalam riset ini, dilaporkan bahwa hidup sendiri bukanlah sebagai nilai positif; hal ini didapat berdasarkan laporan bahwa pasangan lesbian dan gay memiliki lebih sedikit masalah dengan seks dan mempunyai kualitas hidup lebih baik jika dibandingkan lesbian atau gay yang hidup tanpa pasangan. Hal ini juga sama terjadi pada kehidupan berpasangan pada heteroseksual (Hostetler and Cohler, 1997 dalam Papalia) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 Kehidupan seseorang dalam berelasi berubah dan berkembang dari waktu ke waktu dan hampir semua lesbian dan gay mempunyai pengalaman berbeda dalam kehidupan relasi seksualnya. Clarke, Ellis, Peel dan Riggs (2010) juga mengatakan beberapa lesbian dan gay menikah dengan lawan jenisnya sebelum Coming Out dan beberapa tetap melanjutkan pernikahannya. Pernikahan heteroseksual adalah hal yang wajar dalam pandangan masyarakat dan menjadi suatu pilihan yang tepat berdasarkan budaya yang ada dibandingkan dengan pernikahan antara sesama jenis. Clarke, Ellis, Peel dan Riggs (2010), menyatakan orang yang hidup dalam latar belakang budaya dan kepercayaan agama tertentu menempatkan bahwa sangat penting untuk menikah dengan lawan jenis dan membina kekerabatan (contohnya dalam komunitas Asia di Inggris), dimana sangat tidak mungkin untuk hidup di luar kebiasaan yang sudah ada walaupun ada yang tertarik dengan sesama jenis ataupun mendapatkan jati diri sebagai lesbian ataupun gay. Untuk orang lain, hidup dengan pasangan yang sesama jenis merupakan sesuatu yang berharga. Seorang psikolog dari Inggris, Alison Rolfe (2008), mengadakan suatu wawancara secara mendalam dengan delapan pasangan dan individu yang memilih untuk tidak mempunyai pasangan dalam hidup. Alison Rolfe (2008) menemukan bahwa alasannya adalah larangan dalam budaya mereka. Selanjutnya ada penelitian lain yang dilakukan secara longitudinal terhadap 80 homoseks dan 53 lesbian yang melakukan kohabitasi, semuanya tidak punya anak, dan 80 pasangan menikah dengan anak, hubungan homoseksual adalah yang paling tidak sehat dibandingkan hubungan heteroseksual (Kurdek, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 2004). Beberapa faktor yang memprediksi kualitas dan stabilitas suatu hubungan, penyesuaian psikologis, sifat kepribadian, persepsi kesetaraan antara pasangan, cara mengatasi konflik dan kepuasan terhadap dukungan sosial, juga sama bagi pasangan heteroseksual dan homoseksual. Pasangan homoseks dan lesbian menilai sama atau lebih baik daripada pasangan heteroseksual pada area–area ini kecuali dukungan sosial. Namun demikian, pasangan homoseks dan lesbian menyudahi hubungan mereka lebih sering daripada pasangan heteroseksual, mungkin karena kurangnya legal atau anak yang menjaga kebersamaan mereka. Di masyarakat, lembaga pernikahan dianggap cara terbaik untuk memastikan anak dibesarkan secara baik–baik. Pernikahan memungkinkan pembagian tugas di dalam satuan penggunaan sumber daya dan kerja. Idealnya, pernikahan memberikan keintiman, komitmen, persahabatan, afeksi, pemuasan seksual, dan kesempatan untuk pertumbuhan emosional, juga sebagai sumber identitas dan harga diri (Gardiner & Kosmitzky; 2005; Myers, 2000). Dalam beberapa filsafat Timur tertentu, pernikahan yang harmonis antara laki–laki dan perempuan dianggap demi pemuasan spiritual dan bertahan hidupnya spesies (Gardiner & Kosmitzky, 2005 dalam Papalia). Kini, di banyak negara – negara bagian industri, keuntungan-keuntungan penting pernikahan, seperti ekspresi seksual, keintiman, dan keamanan ekonomi, tidak terbatas oleh pernikahan. Memang, dengan perubahan pembagian tugas antara laki–laki dan perempuan, meningkatnya kohabitasi, perceraian dan pernikahan kembali, dan membesarkan anak di luar pernikahan dan gerakan melegitimasi pernikahan sesama jenis, seorang peneliti Cherling (2004) melihat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 tren menuju deinstitusionalisasi pernikahan, melemahnya norma–norma sosial yang sebelumnya membuat pernikahan hampir dipahami secara universal. Sebuah penelitian yang dilakukan mengenai “Misteri Pernikahan” memberikan narasi sebagai berikut : “Pada suatu malam, di sebuah taman saya bertemu Andi bersama keempat temannya. Andy mengidentifikasikan dirinya sebagai gay dan menjelaskan bahwa pacarnya selama sepuluh tahun telah menikah dengan dua anak. Ketika saya bertanya apakah pacar tersebut sebaiknya bercerai dengan istrinya, Andy kaget. “Tentu saja tidak. Dia perlu keturunan dan seorang istri. Saya ingin menikah dalam waktu limat tahun ke depan-saya sudah memiliki pacar perempuan. Apa anda tidak akan menikah seumur hidup?”. Ketika saya menggangguk, lelaki yang lain memandang saya dengan keheranan: “Bagaimana anda tidak ingin menikah ? Anda akan kesepian di masa tua! Semua harus memiliki keturunan. Menurut Islam, bila anda belum memiliki anak, anda belum bisa memasuki masyarakat Nabi Muhammad” (Oetomo dalam Boellstorff, 2005) Dalam cerita ini, para lelaki gay mendiskusikan tentang pernikahan di mata tuntutan agama, tradisi dan bangsa. Cerita tersebut dari Surabaya dan terutama melibatkan lelaki Muslim, tetapi lelaki Hindu dan Kristen juga berbicara pernikahan sebagai masalah nomor satu “Disini sama, kebanyakan teman saya yang seumur, sekitar tiga puluhan, telah mulai berpikir; saya mau menikah atau tidak?” (Oetomo dalam Boellstorff, 2005) Seorang rekan dari Bugis juga menyatakan hal yang sama bahwa “Saya yakin seratus persen bahwa saya akan menikah. Saya yakin bahwa keluarga saya akan menuntutnya…masalahnya adalah di Indonesia-mungkin diluar berbeda-setiap orang harus menikah. Banyak orang gay menikah. Bahkan bila (keluarga) tahu bahwa kita gay mereka ingin kita menikah” (Oetomo dalam Boellstorff, 2005) Bagi beberapa Gay dan Lesbian, pernikahan merupakan kejadian yang membuat trauma, ada yang memilik bunuh diri daripada harus menikah, atau karena pacar yang sudah lama menjalin hubungan dengannya memutuskan untuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 menikah. Namun kasus-kasus semacam itu mudah dijelaskan akibat paksaan. Yang secara teoritis merupakan tantangan yang lebih besar adalah bahwa banyak kasus dimana lelaki gay atau perempuan lesbian yang belum menikah bisa menghadapi hari pernikahan mereka dengan kegembiraan dan antisipasi sama dengan orang Indonesia “normal” ini merupakan kompromi antara hasrat homoseksual dan norma-norma sosial sehubungan dengan pernikahan, tetapi bukan hanya suatu gangguan eksternal; bagi banyak gay dan lesbian Indonesia, perkawinan merupakan sumber arti dan kebahagiaan yang membiarkan mereka menikmati hubungan homoseksual sambil membahagiakan orangtuanya, membawa nama keluarga, mengurangi dosa, membesarkan anak-anak yang dicintai yang bisa mengurusinya ketika mereka tua, dan menjadikan mereka anggota lengkap dalam masyarakat umum. (Boellstorff, 2005) Sehubungan dengan pernikahan, peneliti dalam hal ini juga ingin melihat secara lebih dalam bagaimana kepuasan yang ada dalam pernikahan tersebut. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan itu sendiri. Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992 dalam Papalia). Penelitian tentang pernikahan sudah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya adalah penelitian yang dibuat oleh Dewi Latifah dengan judul Fungsi dan Dampak Muda dan Dewasa Madya. Dari hasil penelitian ini, diperoleh bahwa dalam kehidupan pernikahan mereka, subjek dapat menerima perubahan, mampu http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 hidup dengan hal–hal yang tidak dapat mereka ubah, mampu menerima ketidaksempurnaan pasangan dan pernikahan, saling percaya, saling membutuhkan serta menikmati kebersamaan (Latifah dalam Sarlito, 2009). Seperti yang dikemukakan oleh Latifah, bahwa faktor–faktor yang mendukung kepuasan pernikahan adalah adanya komunikasi yang terbuka, ekspresi perasaan terbuka, saling percaya, tidak adanya dominasi pasangan, hubungan seksual yang memuaskan, kehidupan sosial, tempat tinggal, penghasilan cukup, anak, keyakinan beragama, dan hubungan dengan mertua/ipar (Latifah dalam Sarlito, 2009). Dalam suatu hubungan baik itu pasangan heteroseksual maupun homoseksual mengharapkan adanya suatu relasi yang membuat pasangan menjadi nyaman dan merasa terlindungi satu dengan yang lainnya. Pola hubungan ini dapat meningkat menjadi lebih tinggi ke arah pernikahan yang merupakan hal sakral. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui lebih jauh bagaimana gambaran kepuasan berkenaan dengan pernikahan kaum homoseksual dalam hal ini seorang gay dengan wanita / keluarga barunya yang menjadi subjek penelitian. 1.2 Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Gambaran Kepuasan Pernikahan Heteroseksual Pada Pria Yang Pernah Berperilaku Seksual Dengan Sesama Jenis” http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 Sub Masalah : Adapun penelitian ini membatasi kepada masalah-masalah, yaitu : 1. Bagaimana gambaran kepuasan seksual dalam pernikahan heteroseksual pada pria yang pernah berperilaku seksual dengan sesama jenis ? 2. Bagaimana gambaran kepuasan perekonomian keluarga dalam pernikahan heteroseksual pada pria yang pernah berperilaku seksual dengan sesama jenis ? 3. Bagaimana gambaran kepuasan pembagian peran dalam pernikahan heteroseksual pada pria yang pernah berperilaku seksual dengan sesama jenis ? 4. Bagaimana gambaran kepuasan komunikasi dalam pernikahan heteroseksual pada pria yang pernah berperilaku seksual dengan sesama jenis ? 5. Bagaimana gambaran kepuasan cinta dalam pernikahan heteroseksual pada pria yang pernah berperilaku seksual dengan sesama jenis ? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan seseorang yang pernah melakukan perilaku homoseksual dalam hal ini seorang gay dengan pasangan wanita yang dinikahinya. Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dinamika kepuasan pernikahan homoseksual Gay http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 dengan istri dan menjelaskan arti serta peran keluarga terhadap perkembangan dinamika psikologis seorang homoseksual Gay. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi perkembangan ilmu Psikologi Klinis Dewasa, Psikologi Sosial, dan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga homoseksual Gay mengenai dinamika psikologis yang dialaminya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi homoseksual Gay dan keluarga mengenai dinamika interaksi yang terjadi dalam keluarga mereka. 3. Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang mendampingi homoseksual Gay mengenai permasalahan yang dapat muncul antara Gay dengan keluarga mereka. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 I.5 Sistematika Penulisan 1. Pendahuluan Pada bab ini, penulis menjelaskan latar belakang masalah atau alasan yang menyebabkan penulis memilih hal ini sebagai topik penelitian. Kemudian terdapat perumusan masalah yang ingin diteliti, tujuan diadakannya penelitian, manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui hasil penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. 2. Tinjauan Kepustakaan Bab ini berisi teori atau studi literatur yang dapat menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, mencakup teori perkembangan psikososial, perkembangan psikoseksual, orientasi seksual, teori pernikahan, teori kebahagiaan dan teori mengenai homoseksual. 3. Metode Penelitian Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai metode penelitian yang akan digunakan beserta alasan–alasan pemilihannya, metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian, pemilihan subjek penelitian yang meliputi karakteristik subjek dan cara pengambilan subjek serta urutan pelaksanaan prosedur penelitian. 4. Hasil dan Analisis Hasil Penelitian Pada bab ini, penulis akan menganalisa hasil data yang diperoleh dari penelitian. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan – kesimpulan yang dapat ditarik penulis dari hasil analisis penelitian. Kemudian penulis juga mengemukakan diskusi, yang berisi hal – hal menarik yang ditemukan penulis selama penelitian dilakukan. Terakhir, penulis memberikan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya http://digilib.mercubuana.ac.id/