BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS versi 17. Data yang diolah adalah: Harga Saham Individual bulanan dari setiap emiten selama 4 tahun pada periode 2006-2009, Kurs rupiah terhadap dolar bulanan dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009, Suku Bunga Bank Indonesia bulanan dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009, dan Inflasi Nasional bulanan dari Januari 2006 sampai dengan Desember 2009. Dengan sampel sebanyak 48. A. Penyajian dan Analisis Data 1. Analisis Statistik Deskriptif Hasil output perhitungan statistik deskriptif terhadap 31 perusahaan manufaktur dari tahun 2006-2009 dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation RETURN 48 -.3073 .2801 .026073 .0987552 KURS 48 .9012 1.1724 .999870 .0411818 SBI 48 .8946 1.1308 .986680 .0390658 INFLASI 48 .4323 1.2524 .974159 .1329729 Valid N (listwise) 48 66 Dari table 4.1 menunjukan bahwa nilai standar deviasi < rata-rata (mean) untuk semua variabel penelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa semua variabel penelitian memiliki sebaran data yang normal, kecuali pada variabel return saham yang mana memiliki nilai standar deviasi > rata-rata (mean). Hal ini menunjukkan bahwa varians yang dimiliki variabel return saham memiliki rentang yang besar dengan data yang memiliki tingkat variasi yang banyak (Suyanto, 2007). 1. Dapat dilihat bahwa jumlah sampel yang digunakan masing-masing variabel adalah 48 sampel. 2. Sedangkan rata-rata perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap US$ dari tahun 2006-2009 sebesar 99,99% dan nilai standar deviasinya sebesar 4,12%. Perubahan Nilai Tukar Rupiah/US$ minimum sebesar 90,12% terjadi pada bulan Desember 2008. Sedangkan perubahan Nilai Tukar Rupiah/US$ maksimum sebesar 117,24% terjadi pada bulan Oktober 2008. Apresiasi kurs tersebut terjadi akibat adanya berbagai faktor yang terjadi khususnya terhadap menguatnya kondisi makroekonomi Indonesia. Kuatnya fundamental ekonomi Indonesia mendorong masyarakat untuk memegang rupiah dibandingkan dengan dollar AS. Sebaliknya depresiasi terjadi akibat krisis keuangan global yang melanda Amerika Serikat dan dunia sehingga menurunkan berbagai indikator ekonomi Indonesia seperti pasar saham dan turunnya ekspor-impor Indonesia. 3. Perubahan suku bunga rata-rata SBI dari tahun 2006-2009 sebesar 98,67% dan nilai standar deviasinya sebesar 3,91%. Nilai perubahan suku bunga 67 SBI terendah sebesar 89,46% terjadi pada bulan Pebruari 2009. Sedangkan nilai perubahan suku bunga SBI tertinggi sebesar 113,08% terjadi pada bulan Oktober 2008. Naiknya sertifikat Suku Bunga Bank Indonesia disebabkan oleh kondisi ekonomi yang terjadi inflasi. Dalam kondisi reses jumlah inflasi yang tinggi mendorong permintaan masyarakat akan uang semakin banyak dan jumlah uang beredar juga makin banyak beredar di masyarakat, untuk itu perlu peningkatan terhadap sertifikat Suku Bunga Bank Indonesia sehingga jumlah uang beredar akan semakin menurun. Sebaliknya penurunan terhadap sertifikat Suku Bunga Bank Indonesia terjadi akibat pulihnya kondisi makroekonomi sehingga untuk mendukung pergerakan investasi diperlukan pinjaman dengan bunga yang lebih rendah sehingga sektor riil dapat berjalan dengan baik. 4. Perubahan inflasi tahun 2006-2009 memiliki rata-rata sebesar 97,42% dan standar deviasinya sebesar 13,30%. Perubahan inflasi terendah sebesar 43,23% terjadi pada bulan Oktober 2006 dan perubahan inflasi tertinggi sebesar 125,24% terjadi pada bulan Desember 2006. Naiknya inflasi disebabkan adanya kenaikan jumlah uang beredar, turunya suku bunga dan permintaan masyarakat akan barang juga meningkat. Sebaliknya rendahnya perubahan inflasi dapat dikatakan sebagai efek membaiknya kondisi ekonomi, baik dalam permintaan maupun penawaran barang yang relatif seimbang. 5. Return saham perusahaan manufaktur tahun 2006-2009 memiliki rata-rata 2,61% dan standar deviasinya sebesar 9,87%. Return saham perusahaan 68 manufaktur terendah sebesar -30,73% terjadi pada bulan Oktober 2008 sementara return saham tertinggi sebesar 28,01% terjadi pada bulan Mei 2008. 2. Uji Asumsi Klasik a. Uji Multikolonieritas Pengujian multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen, jika terjadi maka dinamakan multikolonieritas. Model regresi yang baik seharusnya bebas multikolonieritas atau tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Hasil pengolahan pengujian korelasi antar variabel bebas tampak pada Tabel berikut: Tabel 4.2 Hasil Pengujian Multikolonieritas a Coefficient Correlations Model 1 Correlations Covariances INFLASI KURS SBI INFLASI 1.000 .067 -.357 KURS .067 1.000 -.390 SBI -.357 -.390 1.000 INFLASI .008 .002 -.011 KURS .002 .090 -.040 SBI -.011 -.040 .114 a. Dependent Variable: RETURN 69 Tabel 4.3 Coefficientsa Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) 1.895 .338 KURS -1.120 .300 SBI -.769 INFLASI .010 Model 1 Collinearity Statistics t Sig. Tolerance VIF 5.612 .000 -.467 -3.727 .001 .842 1.187 .338 -.304 -2.273 .028 .738 1.354 .092 .014 .111 .912 .867 1.154 a. Dependent Variable: RETURN Pada tabel 4.2 menunjukkan hasil besaran korelasi antar ketiga variabel bebas tampak bahwa variabel inflasi dan variabel nilai tukar mempunyai koesifisien korelasi sebesar 6,7%. Korelasi ini masih jauh di bawah 90% maka dapat dianggap bahwa tidak terjadi multikolinearitas yang serius (Ghozali, 2002). Pada tabel 4.3 hasil perhitungan tolerance menunjukan tidak ada variabel independen yang kurang dari 0,10 (Tol > 0,10) yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen yang nilainya lebih dari 95%. Dilihat dari nilai VIF menunjukan bahwa tidak ada variabel independen yang nilainya lebih dari 10 (VIF < 10). Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolonieritas antar variabel independen dalam model regresi pada penelitian ini. b. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan 70 pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Hal ini sering ditemukan pada data runtut waktu (time series). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Pendeteksian penyimpangan autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan uji Durbin-Watson (DW test), dengan melihat nilai DurbinWatson yang akan dibandingkan dengan nilai d tabel. Dengan hipotesis yang akan diuji adalah : H0 : tidak ada autokorelasi Ha : ada autokorelasi Hasil pengujian Autokorelasi ditunjukkan pada table dibawah ini : Tabel 4.4 Hasil Pengujian Autokorelasi b Model Summary Adjusted R Std. Error of the Model R R Square Square Estimate Durbin-Watson 1 .647a .418 .379 .0778521 1.990 a. Predictors: (Constant), INFLASI, KURS, SBI b. Dependent Variable: RETURN Dari table 4.3 diatas menunjukkan bahwa nilai Durbin-Watson sebesar 1,990 sedangkan nilai d tabel dengan n=48 dan k=3 dengan menggunakan nilai signifikansi 5%, di dapat dl=1,4064 dan du=1,6708. Karena nilai DW 1,990 lebih besar dari batas atas (du) 1,6708 dan kurang dari 4 – 1,6708 (4- 71 du), maka dapat disimpulkan bahwa kita tidak bisa menolak H0 yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi positif atau negatif (Ghozali, 2006 : hal 102). c. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas. Oleh karena itu untuk dapat mengetahui apakah terjadi heteroskedastisitas dalam model regresi ini, maka digunakan Uji Grafik Plot. Dengan dasar analisis sebagai berikut : 1. Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar dan menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. 2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titk menyebar diatas dan dibawah angka nol pada sumbu Y, maka hal ini dapat dikatakan tidak terjadi heteroskedastisitas. 72 Gambar 4.1 Linear Regression Plots Pada grafik scatterplots terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak (random) serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi (Ghozali, 2006 : hal 127), sehingga model regresi layak dipakai untuk memprediksi Return berdasarkan variabel independen Nilai Tukar Uang, Suku Bunga SBI dan Inflasi. 73 d. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak. Seperti diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : Data terdistribusi secara normal Ha : Data tidak terrdistribusi secara normal Hasil pengujian dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov ditunjukan dalam tabel dibawah ini. Tabel 4.5 Hasil Pengujian Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N 48 a,,b Normal Parameters Most Extreme Differences Mean .0000000 Std. Deviation .07532646 Absolute .129 Positive .129 Negative -.085 Kolmogorov-Smirnov Z .895 Asymp. Sig. (2-tailed) .399 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. 74 Dari table 4.5 besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,895 dengan memperhatikan nilai probabilitas signifikansinya ada di atas 0,05 yaitu 0,399 maka kita tidak dapat menolak H0 yang mengatakan bahwa residual terdistribusi secara normal atau dengan kata lain residual berdistribusi normal. 3. Uji Hipotesis Penelitian ini mengajukan 4 hipotesis penelitian. Kaidah penerimaan hipotesis adalah H0 ditolak apabila nilai t hit < t tabel dengan nilai P > 0.05 atau nilai probabilitasnya diatas 5 %. Uji hipotesis dilakukan dengan analisis linear berganda yang terdiri dari pengujian korelasi, koefisien, uji F atau ANOVA, dan uji t dengan tingkat signifikan α = 5%. Tabel 4.6 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) 1.895 .338 KURS -1.120 .300 SBI -.769 INFLASI .010 Model 1 Collinearity Statistics t Sig. Tolerance VIF 5.612 .000 -.467 -3.727 .001 .842 1.187 .338 -.304 -2.273 .028 .738 1.354 .092 .014 .111 .912 .867 1.154 a. Dependent Variable: RETURN 75 Hasil analisis regresi pada penelitian ini, yang mengajukan 4 hipotesis diperoleh model persamaan regresi sebagai berikut : RETURN = 1,895 - 1,120 KURS - 0,769 SBI + 0,010 INFLASI + e Persamaan tersebut dapat di interpretasikan sebagai berikut : 1) Konstanta sebesar 1,895 menyatakan bahwa jika tidak ada kurs, suku bunga, dan inflasi (sama dengan 0 atau konstan), maka return saham di BEI akan berada pada poin 1,895. 2) Koefisien regresi variabel nilai tukar adalah -1,120 menyatakan bahwa meningkatnya variabel kurs akan menurunkan variasi nilai return saham atau dapat dikatakan bahwa kurs berpengaruh negatif terhadap return saham (Suyanto, 2007). 3) Koefisien regresi variabel suku bunga adalah -0,769 menyatakan bahwa meningkatnya variabel suku bunga akan menurunkan variasi nilai return saham. Hal ini menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh negatif terhadap return saham. 4) Koefisien regresi variabel inflasi adalah 0,010 menyatakan bahwa meningkatnya variabel inflasi akan menurunkan variasi nilai return saham. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap return saham. 76 a. Hasil Uji Hipotesis 1 H1 : Perubahan nilai tukar berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. Hasil uji hipotesis pertama yang dilakukan dengan uji t secara parsial diperoleh nilai t hit sebesar -3.727 dan nilai ρ sebesar 0.001. Nilai t tabel sebesar 2,0106. Dengan demikian nilai t hit > t tabel dengan nilai ρ < 0.05 atau probabilition value di bawah 5 %, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Koefisien regresi yang negatif (-1,120) menunjukkan arah hubungan negatif antara kedua variabel. Paparan tersebut membuktikan adanya pengaruh nilai tukar rupiah secara negatif terhadap return saham. Nilai koefisien dengan arah negatif yang menunjukkan return saham akan meningkat jika perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar menurun. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar akan mempengaruhi tinggi rendahnya return saham pada perusahaan manufaktur. b. Hasil Uji Hipotesis 2 H2 : Perubahan suku bunga berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. Hasil uji hipotesis kedua yang dilakukan dengan uji t secara parsial diperoleh nilai t hit sebesar -2.273 dan nilai ρ sebesar 0.028. Nilai t tabel sebesar 2,0106. Dengan demikian nilai t hit > t tabel dan nilai ρ < 0.05 atau probabilition value di atas 5 %, maka Ho ditolak dan H2 diterima. 77 Hal ini berarti telah dapat membuktikan kebenaran hipotesis kedua yang diajukan pada penelitian ini, bahwa adanya pengaruh nilai suku bunga terhadap return saham. Nilai koefisien regresi negatif (-0,769) menunjukkan arah hubungan kedua variabel tersebut negatif yang menunjukkan return saham akan meningkat jika perubahan suku bunga menurun. Suku bunga yang rendah menyebabkan biaya peminjaman rendah yang akan merangsang investasi dan aktivitas ekonomi sehingga menyebabkan harga saham meningkat. c. Hasil Uji Hipotesis 3 H3 : Perubahan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. Hasil uji hipotesis ketiga yang dilakukan dengan uji t secara parsial diperoleh nilai t hit sebesar 0.111 dan nilai ρ sebesar 0.912. Nilai t tabel sebesar 2,0106. Dengan demikian nilai t hit < t tabel dengan nilai ρ > 0.05 atau probabilition value di atas 5 %, maka H0 diterima dan H3 ditolak. Hal ini berarti tidak dapat membuktikan kebenaran hipotesis ketiga yang diajukan pada penelitian ini, bahwa adanya pengaruh nilai inflasi terhadap return saham. 78 d. Hasil Uji Hipotesis 4 H4 : Secara simultan perubahan nilai tukar, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur. Tabel 4.7 Hasil Analisis Regresi Model Summaryb Adjusted Model R 1 .647 a R Std. Error of the R Square Square Estimate Durbin-Watson .418 .379 .0778521 1.990 a. Predictors: (Constant), INFLASI, KURS, SBI b. Dependent Variable: RETURN Tabel 4.8 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda b ANOVA Model 1 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression .192 3 .064 10.542 .000a Residual .267 44 .006 Total .458 47 a. Predictors: (Constant), INFLASI, KURS, SBI b. Dependent Variable: RETURN Hasil uji yang disajikan pada tabel 4.8 menunjukkan hasil uji secara simultan (uji F) dengan nilai F-test sebesar 10,542 pada taraf signifikansi 0,000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan H4 diterima 79 yang berarti variabel kurs, suku bunga dan inflasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel return. Pada tabel 4.7 dengan nilai adjusted R2 sebesar 0,379. Hal ini berarti bahwa perubahan variabel return dijelaskan oleh perubahan-perubahan variabel kurs, suku bunga dan inflasi sebesar 37,9% dan sisanya sebesar 62,1% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dikaji pada penelitian ini. Secara keseluruhan hasil pengujian diatas telah dapat membuktikan bahwa secara simultan variabel: nilai tukar, suku bunga dan inflasi berpengaruh terhadap return saham. Namun secara parsial, hanya variabel nilai tukar dan suku bunga yang dapat dibuktikan kaitannya. B. Pembahasan Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa secara signifikan variabel bebas nilai tukar uang dan suku bunga berpengaruh negatif terhadap return saham. Akan tetapi variabel bebas tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Hal tersebut menunjukkan bahwa: 1. Nilai Tukar Rupiah/US$ mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap return saham. Karena nilai thitung > ttabel (3,727 > 2,0106) dan nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,001. Hal ini dapat dijelaskan bahwa terjadinya apresiasi kurs rupiah terhadap dolar akan memberikan dampak terhadap perkembangan pemasaran produk Indonesia di luar negeri, terutama dalam hal persaingan harga. Apabila hal ini terjadi, secara tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap neraca 80 perdagangan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula kepada neraca pembayaran Indonesia. Dan memburuknya neraca pembayaran tentu akan berpengaruh terhadap cadangan devisa. Berkurangnya cadangan devisa akan mengurangi kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia, yang selanjutnya menimbulkan dampak negatif terhadap perdagangan saham di pasar modal sehingga terjadi capital outflow. Kemudian bila terjadi depresiasi kurs yang berlebihan, akan berdampak pula pada perusahaan-perusahaan go public yang menggantungkan faktor produksi terhadap barang-barang impor. Besarnya belanja impor dari perusahaan seperti ini bisa mempertinggi biaya produksi, serta menurunnya laba perusahaan. Selanjutnya dapat ditebak, harga saham perusahaan itu akan anjlok. Begitu pula sebaliknya, jika nilai rupiah meningkat maka besarnya belanja impor dari perusahaan seperti ini bisa menurunkan biaya produksi, serta meningkatkan laba perusahaan dan akhirnya harga saham pun meningkat. Hasil penelitian ini mendukung secara empiris penelitian yang dilakukan Setyorini dan Supriyadi (2000), Octavia (2007), Suyanto (2007), Ainul Fitri (2008), Dedy Pratikno (2009) dan Hermawan (2011) tentang pengaruh negatif dan signifikan nilai tukar uang terhadap return saham. 2. Tingkat Suku Bunga SBI juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Karena nilai thitung > ttabel (2,273 > 2,0106) dan nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,028. Berdasarkan hasil tersebut berarti kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan beban perusahaan (emiten) untuk memenuhi kewajiban/utang kepada bank 81 sehingga dapat menurunkan laba perusahaan dan akhirnya harga saham pun turun. Kenaikan ini juga potensial mendorong investor mengalihkan dananya ke pasar uang atau tabungan maupun deposito sehingga investasi di lantai bursa turun dan selanjutnya dapat menurunkan harga saham. Sedangkan sebaliknya, jika tingkat suku bunga turun, maka beban perusahaan pun menurun sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan yang akhirnya dapat meningkatkan pembagian jumlah dividen kas kepada investor, kemudian harga saham perusahaan pun meningkat. Hasil penelitian ini mendukung secara empiris penelitian yang dilakukan Boedi et al (1995), Utami dan Rahayu (2003), Suyanto (2007). tentang pengaruh negatif dan signifikan nilai suku bunga terhadap return saham. 3. Inflasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham karena variabel inflasi memiliki nilai signifikansi lebih besar dari alpha (0,912>0,05). Hal ini terjadi karena inflasi lebih cenderung berpengaruh langsung terhadap barang-barang yang dikonsumsi oleh konsumen, sedangkan terhadap saham pengaruhnya adalah secara tidak langsung atau dapat dikatakan variabel inflasi bersifat sebagai moderating (Hermawan, 2011). Nilai koefisien regresi positif (0,912) menunjukkan arah hubungan kedua variabel positif. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham tinggi pula. Menurut Spyrou (dalam Yuki Indrayadi, 2004), indikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh korelasi positif antara inflasi dan aktifitas ekonomi riil di banyak negara berkembang serta 82 kemungkinan adanya keterkaitan erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di negara-negara tersebut. Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa variabel bebas inflasi tidak berpengaruh secara positif terhadap return saham. Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil penelitian tersebut tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Almilia (2003), Utami dan Rahayu (2003) dan Adams et al (2004) tentang pengaruh negatif inflasi terhadap return saham. Namun demikian penelitian ini menguatkan hasil penelitian yang dilakukan Sunardi (2009), Selly Megawati Wahyudi (2010), dan Hermawan (2011), bahwa variabel bebas inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. 83