pesantren dan pluralisme beragama

advertisement
MN Harisudin, Pesantren dan Pluralisme Beragama
PESANTREN DAN PLURALISME BERAGAMA
Oleh: MN Harisudin1
Abstrak : Sebagai salah satu isu global, wacana pluralisme
beragama merukan topik utama yang sering dibicarakan
oleh kalangan muslim dunia. Terutama karena
pandangan dunia terhadap Islam yang masih bernada
pejorative, at least hingga saat ini. Meski idealisme Islam
memandang pluralisme beragama sebagai sunnatullah,
prakteknya masih banyak umat Islam yang menolaknya.
Bahkan Majlis Ulama Indonesia—sebagai contoh—malah
memfatwakan haram pluralisme beberapa tahun yang
silam.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, meskipun tidak memberikan pandangan yang
menolak pluralisme secara terang benderang, namun
dalam kajian literature klasiknya, masih memandang
Islam sebagai agama yang paling benar dan menolak
kebenaran agama yang lain. Dus, dalam pemahaman
pesantren, agama yang lain sudah ada perubahan
sehingga tidak otentik lagi kebenarannya. Pandangan ini
jelas sangat eklusif dan menjadikan pesantren ―kurang
fleksibel‖ untuk berhubungan dengan komunitas nonmuslim.
Key Word: pesantren, pluralisme, kalam
A. Muqaddimah
Adalah pluralisme beragama, salah satu wacana global yang
ramai diperbincangkan, terutama di kalangan muslim dunia. Pada
KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dakar, Senegal, 13-14
Maret 2008 yang silam, pluralisme diambil sebagai topik utama
yang dibahas serius. Organisasi dengan 57 negara muslim ini
menggelar tema tersebut sebagai upaya menghilangkan Islam
phobia yang telah menyebar ke seantero dunia. Selain itu, tema ini
diangkat sebagai upaya memusnahkan image Islam yang buruk
karena tindak intoleransi dan aksi kekerasan sebagian kecil umat
Islam.
Demikian halnya, pada beberapa tahun yang lalu, di
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di
dunia, Majlis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan keharaman
pluralisme beragama. Bersamaan dengan fatwa haram pluralisme,
1
Dosen Sekolah Tinggi Al-Falah As-Suniyah Kencong Jember. Sekarang sebagai
kandidat doctor IAIN Sunan Ampel Surabaya.
75
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
Majlis Ulama Indonesia, sebagai institusi keagamaan yang memiliki
otoritas dalam bidang agama, juga memfatwakan keharaman
liberalisme pemikiran dan sekularisme. Tak ayal, fatwa haram ini
dirayakan oleh sejumlah lembaga sosial keagamaan lain dan
kelompok-kelompok Islam radikal yang lain.
Bak gayung bersambut, setelah fatwa haram ini dikeluarkan,
proponen Islam yang sejak awal anti-pluralisme beragama
berlomba-lomba mensosialisasikannya. Kelompok-kelompok ini
seolah mendapat sokongan yang kuat dari lembaga resmi fatwa
yang powerfull. Padahal, kalau merefer pada Undang-Undang Dasar
1945, secara jelas dinyatakan pengakuan terhadap pluralisme
beragama, sebagaimana berikut : ―Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu‖.
Padahal, jauh sebelum diundangkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, pengakuan terhadap pluralisme beragama juga
ditegaskan oleh Al-Qur‘an. Allah Swt berfirman: ―Andaikata
Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan umat manusia umat
yang satu. Dan (tetapi) mereka senantiasa berbeda‖. (QS. Hud [11],
118). Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga berfirman: ― Andaikata
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja‖,
(QS. Al-Maidah [5]: 48). Sedemikian tegas dan lugas di sini bahwa
ketunggalan dalam beragama dan berkeyakinan tidak dikehendaki
oleh Tuhan.
Di samping itu, KH. Achmad Shidiq, Rois ‗Am Syuriyah
PBNU, pada tahun 1984-1989, seperti menyokong dalil pluralisme,
beliau juga mengajukan tiga gagasan persaudaraan (al-ukhuwwah).
Pertama, Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam). Kedua,
Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan bangsa). Dan ketiga,
Ukhuwah Insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Ketiga macam
persaudaraan ini membuktikan bahwa selain persaudaraan sesama
Islam, umat Islam harus menyadari keragaman manusia—termasuk
dalam hal agama—baik pada tingkat nasional maupun dunia.
Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan jurang
yang menganga dengan idealisme pluralisme. Kenyataan pluralisme
sebagai sunnatullah belum dapat diterima apa adanya, sebagaimana
bunyi diktum al-Qur‘an. Tindakan intoleran dan kekerasan atas
nama Tuhan di negeri ini acapkali menegasikan prinsip pluralisme
beragama dalam kehidupan. Satu dasawarsa terakhir, pluralisme
beragama yang sudah jelas pondasinya masih saja ditentang
dimana-mana, justru oleh umat Islam sendiri.
Di kalangan pesantren, wacana pluralisme beragama juga
belum banyak ditelusuri. Padahal, tema ini patut mendapat
sambutan di kalangan yang sudah ratusan tahun membangun
negeri ini. Di sinilah, makanya pandangan kiai—sebagai icon di
pesantren—mengenai wacana pluralisme beragama sangat menarik
76
MN Harisudin, Pesantren dan Pluralisme Beragama
untuk dikaji. Tulisan ini mencoba menelusuri konsep yang holistik
mengenai perdebatan pluralisme beragama di kalangan pesantren.
B. PLURALISME BERAGAMA DALAM PERDEBATAN
Kata pluralism berasal dari bahasa Latin ―plures‖, yang
berarti ―beberapa dengan implikasi perbedaan‖. Dilihat dari asalusul kata ini, secara gamblang bisa dimengerti jika pluralisme tidak
menghendaki ketunggalan beragama. Karena, jika ketunggalan
terjadi, maka tidak ada ada lagi pluralitas (religious plurality).
Namun demikian, pluralisme beragama tidak menghendaki
pengambilan agama secara sepotong dan atau mencampur adukkan
antara satu agama dengan lainnya.2
Dilihat sejak awal kelahirannya, Islam memang sudah
berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Ketika
menyiarkan agama Islam, Nabi Muhammad Saw sudah mengenal
banyak agama, misalnya Yahudi dan Kristen. Al-Qur‘an banyak
merekam kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitaskomunitas agama lain. Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab
pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiophia, dan posisi kota
Mekah sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan
daerah-daerah di sekeliling jazirah Arab membuat kontak budaya
dengan orang-orang Bizantium, Persia, Mesir, dan Etiophia. Agamaagama mereka akhirnya juga dikenalkan. Bukan hal yang
mengherankan, Muhammad dan orang-orang Arab yang hidup sezaman dengannya sesungguhnya telah familiar dengan pluralisme
beragama.3
Salah satu monumen terpenting dalam konteks pluralisme
beragama di waktu Muhammad adalah piagam Madinah. Piagam
Madinah dibuat setelah Muhammad dan pengikutnya ketika hijrah
ke Madinah. Dalam Piagam Madinah, terkandung tata hubungan di
antara suku-suku yang bertikai di Madinah. Di dalam traktat ini,
dicari titik temu di antara mereka tanpa menghilangkan entitas
setiap kelompok atau etnis yang berbeda-beda. Piagam Madinah
berisi 47 pasal. Tidak semua diputuskan sekaligus. Menurut Ali
Bulac, 23 pasal pertama diputuskan ketika Muhammad baru
beberapa bulan di Madinah. Ketika itu, umat Islam juga masih
belum mayoritas. Umat Islam hanya berjumlah 1500 dari 10.000
penduduk Madinah. Yahudi 4000 orang dan orang Kristen 4500
2
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Pasing Over: Melintasi Batas Agama.
(Jakarta: Gramedia-Paramadina, 1998 ), hal 184.
3
Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, (LKiS: Yogyakarta, 2000),
hal 188-189.
77
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
orang. Beberapa bulan kemudian, baru diputuskan beberapa pasal
sehingga traktat ini menjadi sempurna. 4
Piagam Madinah merupakan bukti yang dapat dikemukakan
bagi kerja sama kaum muslimin dengan kelompok beragama lain.
Di antara pernyataan yang disebut dalam piagam Madinah tersebut
antara lain:
―Sesungguhnya Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan
kaum mukminin, bagi Yahudi agama mereka dan bagi kaum
muslimin agama mereka. Ini berlaku untuk budak-budak
mereka dan mereka sendiri, kecuali orang yang berbuat
aniaya dan berbuat dosa. Kejahatan dari orang ini hanya
mempunyai
konsekuensi
atas
dirinya
sendiri
dan
keluarganya‖.
Kemudian dinyatakan bahwa kelompok-kelompok Yahudi
lain mendapatkan hak…Orang Yahudi Bani Najjar, Bani Haris, Bani
Sa‘id, Bani Jusayam, Bani Aus, Bani Sa‘labah, dan Bani
Syutaibah.5
Pada etape selanjutnya, Umar bin Khattab, Khalifah ketiga
meneruskan langkah Nabi dalam membuat traktak serupa. Yaitu
ketika Islam menguasai Yerusalem Palestina. Traktat ini dikenal
dengan piagam aelia yang berisi jaminan keselamatan dari
penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem yang beragama nonmuslim sekalipun. Salah satu paragrafnya berbunyi:
―Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar,
amirul mukminin kepada penduduk aelia. Ia menjamin
keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk
gereja-gereja dan salib mereka dalam keadaan sakit maupun
sehat dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gerejagereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak
dan tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja
itu dan tidak pula dari lingkungannya serta tidak dari salib
mereka dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka
(dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa
meninggalkan agama mereka dan tidak seorangpun dari
mereka boleh diganggu‖. 6
4
Charles Cruzman, Liberal Islam A Source Book: New York: Oxford University Press,
1998), hal 170.
5
Al-Suhaili, Al-Raud al-Unuf fi Syarh al-Sirah an-Nabawiyah libni Hisyam, ed. Abd
Rahman al-Wakil, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1389/1969), IV, 242,
6
Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal
193-194.
78
MN Harisudin, Pesantren dan Pluralisme Beragama
Hanya saja, pluralisme beragama –dalam arti perjumpaan
Islam dengan agama lain—tidak selamanya berjalan dengan mulus.
Sejarah mencatat ketegangan, konflik dan permusuhan antara
umat Islam. Dengan kata lain, perjumpaan Islam dengan non-Islam
tidak selamanya dalam keadaan damai. Konflik berdarah-darah
acapkali menjumpai pertemuan agama Islam dengan agama lain.
Sejarah mencatat perang salib sebagai perang agama selama
ratusan tahun lamanya.
Namun demikian, fakta sejarah yang demikian tidak dapat
dijadikan idealisme umat beragama. Artinya, idealisme umat
beragama tetap kukuh pada cita kedamaian antar sesama umat
beragama di dunia. Pun, bahwa idealism itu diteruskan dengan
cita-cita luhur untuk menegakkan tata dunia yang berkeadilan dan
serta penghormatan atas agama yang lain tanpa kecuali. Makanya,
pandangan beragama yang pluralis merupakan jawaban atas
berbagai problematika di atas.
At least, ada tiga paradigma yang digunakan dalam
memaknai pluralitas beragama. Pertama, sikap eklusif. Dalam
paradigma ini, agama lain dipandang sebagai agama buatan
manusia sehingga tidak layak dijadikan pedoman. Umat lain dalam
paradigma ini diklaim sebagai kelompok yang kufur dan harus
diperangi. Kitab suci yang diyakini benar hanya kitab suci
agamanya, sementara kitab suci yang lain dianggap sudah berubah
(tahrif) dan tidak asli. Demikian juga, dalam amatan paradigma ini,
tidak ada keselamatan lain selain agamanya sendiri.
Kedua, sikap inklusif. Dalam paradigm ini, sikap toleransi
adalah harga mati untuk berempati pada agama lain. Sebagian
kalangan—masih dalam paradigm ini—memandang bahwa kata
Islam yang disebut al-Qur‘an merefer pada subtansi: yaitu sikap
tunduk dan pasrah secara total pada Allah Swt. Dengan demikian,
Islam tidak hanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw,
namun juga agama lain yang menjalankan sebentuk sikap
keislaman (ketundukan dan kepasrahan total pada Allah Swt).
Ketiga, paragdigma pluralis yang berpendirian bahwa setiap
agama memang punya jalan sendiri-sendiri. Ada banyak jalan
menuju Tuhan. Paradigma pluralis menegaskan bahwa yang lain
harus dipahami yang lain. Paradigma pluralis tidak menilai agama
lain. Karena, dalam
pandangan paradigm ini, semua agama
memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk
hak pemeluk agamanya untuk bebas memilih dan menjalankan
agamanya masing-masing.
Sekilas lalu, antara inklusif dan pluralis Nampak sama.
Namun sesungguhnya berbeda, kendati dalam soal memberi ruang
pada agama lain, pandangan keduanya sama. Penekanan
perbedaan terletak pada pengakuan agamanya sebagai yang paling
benar. Jika paradigm inklusif masih memahami agama lain sebagai
agama nomor dua, dan agamanya yang paling benar, maka dalam
79
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
paradigm pluralis, semua agama adalah sama belaka tanpa kecuali,
termasuk agama yang dia peluk sendiri.
Demikianlah, nyatanya sikap pandangan pluralis lebih baik
diterapkan untuk konteks kekinian. Hanya saja, Alwi Shihab
mengajukan batasan-batasan pluralisme beragama. Pertama,
pluralisme tidak hanya menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan, melainkan juga meniscayakan adanya keterlibatan
aktif terhadap pluralitas tersebut. Dengan kata lain, dalam
pluralisme beragama, seseorang bukan hanya dituntut mengakui
keberadaan dan hak agama lain, melainkan juga terlibat dalam
usaha memahami perbedaan agar tercipta kerukunan.
Kedua,
pluralisme
harus
dibedakan
dengan
kosmopolitanisme. Kosmoplitanisme adalah kehidupan bersama
antara agama, ras, etnis yang berbeda-beda dalam satu kawasan.
Di sana, ada orang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
sebagainya, namun antara satu dengan lainnya tidak terjadi dialog
dan
upaya
kesepahaman.
Ini
dapat
dipahami
karena
kosmopolitanisme mengandaikan individualism.
Ketiga, konsep pluralisme tidak sama dengan relativisme.
Seorang relativis akan merelatifkan semua hal. Ia berpandangan
bahwa sebuah kebenaran bergantung dengan world view dan
kerangka pikir dirinya atau masyarakatnya. Dengan demikian,
kebenaran pun menjadi relatif. Seorang relativis tidak akan
menerima kebenaran agama yang bersifat umum dan universal. 7
C. SIKAP PESANTREN TERHADAP PLURALISME
Yang dimaksud sikap pesantren adalah nilai-nilai yang
berkembang di pesantren secara keseluruhan. Karena menyangkut
nilai-nilai, maka di sana memasukkan literature klasik yang
membentuk sikap pesantren sekarang. Demikian juga, sesuatu
yang sudah built-in dalam keseharian pesantren –seperti world view
kiai, bu nyai, ustadz dan santri—juga dimasukkan dalam kategori
sikap pesantren. Oleh karenanya, data tertulis yang mencakup hal
tersebut akan dimasukkan sebagai main reference sikap pesantren
terhadap pluralisme beragama.
Sikap pesantren terhadap pluralisme beragama misalnya
dapat dilacak dari pendapat para mutakallimin. Dalam sejumlah
literature klasik, kita dapat menjumpai pendapat Abu Mansur alMaturidi (w.944 M) dalam karyanya Kitab at-Tauhid yang menolak
anggapan kaum Kristiani mengenai Yesus. Salah seorang
pengikutnya, Abu Yusr al-Bazdawi (w. 1099M) dalam kitab Usul adDin juga membahas paham kaum dualis, kaum Brahma, kaum
Nasrani dan Yahudi. Bahkan mengkhususkan satu jilid bukunya,
7
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 1997), hlm 41-42.
80
MN Harisudin, Pesantren dan Pluralisme Beragama
al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa al-Adl, dalam jilid V yang diberi
sub judul al-Firaq Gair al-Islamiyah. 8
Menurut Abdul Jabar, pembahasan mengenai keesaan
Tuhan sudah selesai. Pembahasan selanjutnya berkenaan dengan
masalah keadilan Tuhan. Dengan begitu, Abdul Jabar membahas
tentang agama lain dalam karya-karya ilmu kalam klasik untuk
membenarkan paham keesaan Allah Swt. Pembahasan mengenai
agama-agama itu dimulai dari pernyataan bahwa banyak madzhab
dengan penjelasan rinci tentang agama tersebut sudah jelas tertolak
keberadaannya. Abdul Jabar juga menyebut kaum dualis, majusi
dan nasrani yang ujung-ujungnya ditolaknya. Demikian juga kaum
sabi‘in, penyembah berhala, dan madzhab orang Arab sebelum
Islam.
Walhasil, dalam pandangan para tokoh kalam, agama selain
Islam
adalah
salah,
kendatipun
tidak
secara
otomatis
penghormatan dan penghargaan terhadap non-muslim tidak ada.
Kalaupun toh ada penghargaan dan kerja sama mereka lakukan,
maka dasarnya adalah bahwa orang tidak bias dipaksa untuk
mengakui kebenaran suatu agama dan mengikuti ajarannya.
Dengan demikian, dalam pandangan para teolog, apresiasi pada
ajaran dan praktek tidak mungkin dibenarkan karena adanya
ajaran nasakh dan tahrif. Meskipun agama-agama yang dating
sebelum Islam itu mengandung kebenaran dan berasal dari Allah
Swt, namun kedatangan Islam telah menghapus keabsahannya
karena dalam praktek, agama-agama banyak penyimpangan dan
pengubahan dari ajarannya yang asli (tahrif).
Walaupun mengakui kebenaran yang dibawa nabi-nabi
sebelum Muhammad Saw, al-Qur‘an menggambarkan komunitaskomunitas keagamaan yang sezaman dengan penggambaran yang
pada umumnya negative. Mereka itu dianggap menyimpang dari
Islam, tauhid universalitas dan keaslian agama yang benar. Hanya
Islam—demikian yang dinyatakan al-Qur‘an dalam agama-agama—
yang benar-benar konsisten dengan konsep ini.
Teologi Islam disusun oleh kaum muslim yang menempati
kedudukan pemenang, paling tidak secara politis. Komunitaskomunitas keagamaan menempati kedudukan dzimmi atau berada
di luar budaya tempat hidup mereka. Ditambah dengan nada klaim
kebenaran yang terdapat dalam al-Qur‘an, membuat pandangan
terhadap agama lain tidak apresiatif.
Demikian ini berbeda jika jalan yang digunakan adalah
tasawuf. Dalam pandangan banyak ahli sufi, agama-agama
bukanlah sesuatu yang bertentangan satu dengan lainnya,
8
Abd al-Jabbar, Al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa al-Adl, ed. Ibrahim Madkur et al,
(Kairo: Wizarat al-Saqafat wa al-Irsyad al-Qaumi, al-Idarat al-Ammat li al-Saqafah,
1960-1969), V, 259.
81
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
melainkan menjadi paralel antara satu dengan lainnya. Muhyidin
Ibnu Arabi misalnya seorang tokoh besar dalam tasawuf menganut
ajaran kesatuan agama-agama yang lebih dekat dengan pluralisme
beragama. Seperti terlihat jelas dalam bait-bait puisinya sebagai
berikut:
Aku pernah mengingkari karibku
Karena agamaku berbeda dengan agamanya
(Sekarang) hatiku telah terbuka
Menerima segala bentuk (agama)
Padang rumput bagi rusa,
Rumah untuk berhala-berhala
Gereja bagi para pendeta
Ka’bah untuk orang thawaf
Papan-papan Taurat
Lembar-lembar al-Qur’an
Aku mereguk agama cinta
Ke manapun dia berlayar
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku9
Sayangnya, pandangan Ibnu Arabi di kalangan pesantren
tidaklah popular. Bahkan yang terjadi, Ibnu Arabi diekskomunikasi
oleh para juris (fuqaha) Islam. Dengan begitu, pandangan brilian
Ibnu Arabi ditolak mentah-mentah oleh kalangan pesantren untuk
tidak mengatakan pendapatnya sebagai yang menyimpang.
Sebaliknya, yang mendapat tempat di kalangan pesantren adalah
pendapat para mutakalimin yang eklusif dan cenderung menyerang
agama lain. Akibatnya pun bias ditebak: pendapat mutakalimin
merupakan pendapat mainstream kalangan pesantren dewasa ini.
Pada sisi lain, kenyataan bahwa umat Islam tidak hidup
sendirian di dunia merupakan suatu yang tak terbantahkan.
Pendapat mutakalimin last but not least juga terbantahkan oleh
kenyataan zaman. Bagaimanapun membayangkan komunitas
manusia yang 100 persen hanya orang Islam pada saat ini adalah
suatu yang mustahil. Dewasa ini pula, di sejumlah tempat kita juga
mendapati komunitas muslim yang justru menjadi minoritas. Itulah
makanya, rethinking terhadap pendapat kalam yang dulu adalah
sina qua none.
Selain itu, karena paksaan budaya modern yang tidak
menempatkan agama sebagai landasan berpijak, orang mulai
melihat kenyataan mengenai agama lain, semisal kepercayaan lain
dapat memberikan buah yang tidak kalah baiknya dari buah
kepercayaan yang dianut diri sendiri. Orang yang menganut
9
Muhyidin Ibnu Arabi, Dakha’ir al-Alaq: Syarh Tarjuman al-Asywaq, (Kairo, tt), 4950.
82
MN Harisudin, Pesantren dan Pluralisme Beragama
kepercayaan yang lain dapat merupakan pribadi yang penuh
perhatian pada penderitaan orang lain dan berbuat untuk
kemuliaan manusia. Tidak jarang orang lain seperti itu
menunjukkan apresiasi terhadap keyakinan orang lain dengan
kesediaan untuk berbagi. Mungkin seseorang menemukan
kesalahan yang jelas dalam konsep orang lain itu mengenai
masalah tertentu dari teologi.
Akan tetapi, juga ditemukan bahwa orang menemukan jalan
untuk memperbaiki konsepnya, dalam dialog antar agama, kata
seorang ahli yang melakukan dialog seperti itu…‖ if some of their
argument come to seem untenable this does faze them: they simply go
home and think up new argument‖. 10Dengan demikian, setiap
komunitas beragama mempunyai cara untuk keluar dari kesulitas
teologis tertentu akibat kritik orang lain. Ini berarti bahwa
kesalahan sejauh bukan pada agama itu sendiri, melainkan pada
konsep yang dibangun oleh para pemeluknya.
Yang tidak boleh juga dilupakan bahwa dalam beragama,
orang sesungguhya tidak memilih. Walaupun ada banyak orang
yang berpindah agama, kebanyakan orang beragama tertentu
karena lingkungan yang membesarkannya yang ―memaksanya‖
untuk memeluk agama tersebut. Kesempatan untuk membandingbandingkan agama yang ada dan memilih yang terbaik tidak
dimiliki oleh kebanyakan orang karena agama yang dianut sejak
masa pembentukan itu membuatnya puas sedemikian rupa
sehingga tidak memberikan kesempatan dan keinginan untuk
melihat agama lain. Dalam keadaan seperti ini, menyalahkan suatu
agama menjadi sesuatu yang tidak dapat didukung oleh akal sehat.
Dus, setiap agama merupakan sapaan yang sesuai bagi para
pemeluknya.
D. PENUTUP
Pluralisme beragama, sebagai isu utama muslim dunia,
hingga kini masih ―diperdebatkan‖ di kalangan umat Islam.
Sementara orang di luar Islam memandang bahwa sederetan
peristiwa yang melibatkan umat Islam adalah ancaman bagi
mereka, termasuk keengganan umat Islam untuk menerima
komunitas yang berbeda agama dengan mereka. Tak heran, jika
wacana pluralisme beragama merupakan sasaran bidik mereka.
Kalangan pesantren sebagai mayoritas di negeri ini nyatanya
memiliki pendapat yang tak jauh dengan umat Islam kebanyakan
alias emoh terhadap wacana pluralisme beragama. Dengan
berpatokan terhadap pendapat mutakallimin, kalangan pesantren
memandang bahwa agama (baca: Islam) merupakan agama yang
paling benar dan yang lain adalah salah. Meski kebenaran agama
10
John Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faith (Louisville:
Westminster John Knox Press, Cet. II, 1996), hal 7.
83
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
lain juga berasal dari Allah Swt, umat Islam memandang telah ada
tahrif (pengubahan) terhadap ajaran mereka sehingga tak lagi
otentik.
Hanya saja, pendapat kalangan pesantren yang eklusif ini
bertolak belakang dengan kenyataan betapa majemuknya sebuah
komunitas manapun. Dewasa ini, sulit rasanya mendapatkan
sebuah komunitas yang hanya berisikan orang-orang muslim saja.
Mesti ada orang-orang non-muslim. Bahkan, di sejumlah daerah,
orang-orang muslim menjadi minoritas. Kenyataan ini tentu tidak
dapat ditolak oleh siapapun sehingga fakta kemajemukan adalah
tak terbantahkan. Di sinilah, makanya perlu rethinking tentang
pluralisme beragama di kalangan pesantren.
Wallahu’alam.
84
MN Harisudin, Pesantren dan Pluralisme Beragama
DAFTAR PUSTAKA
Cruzman, Charles, 1998. Liberal Islam A Source Book: New York:
Oxford University Press,.
Essack, Farid, 2000. Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an,
Liberalisme dan Pluralisme, Bandung, Penerbit Mizan.
Ghazali, Abd. Moqsith, 2009. Argumen Pluralisme Beragama:
Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, KataKita: Jakarta.
Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF, 1998. Pasing Over:
Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia-Paramadina.
Madjid, Nurcholis, 2000. Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta,
Paramadina.
Marabessy, Abd. Rahman, 2005, Pluralisme Agama Perspektif AlQur’an , Disertasi tidak diterbitkan.
Rachman, Budhy Munawar, 2001, Islam Pluralis, Jakarta:
Paramadina
Suaedy, Ahmad, 2000, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi,
LKiS: Yogyakarta.
Al-Suhaili, Al-Raud al-Unuf fi Syarh al-Sirah an-Nabawiyah libni
Hisyam, ed. Abd Rahman al-Wakil, Kairo: Dar al-Kutub alHadisah, 1389/1969, IV.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
Bandung: Mizan, 1997..
Al-Jabbar, Abd, Al-Mughni fi Abwab
al-Tauhid wa al-Adl, ed.
Ibrahim Madkur et al, Kairo: Wizarat al-Saqafat wa al-Irsyad
al-Qaumi, al-Idarat al-Ammat li al-Saqafah, 1960-1969, V.
Arabi, Muhyidin Ibnu, Dakha’ir al-Alaq: Syarh Tarjuman al-Asywaq,
Kairo, tt.
Hick, John, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faith,
Louisville: Westminster John Knox Press, Cet. II, 1996.
85
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No.1 Maret 2010
86
Download