8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Paparan Asap

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Paparan Asap Pembakaran Lilin Batik
2.1.1. Lilin Batik
Bahan dasar pembuatan batik adalah lilin batik. Lilin batik ini akan
dilelehkan menggunakan kompor berbahan bakar kayu, minyak, gas, atau listrik
Para pengrajin menggunakan canting yang diisi dengan lelehan lilin untuk
membuat sketsa pada kain sesuai dengan desain yang sudah digambar dengan
pensil sebelumnya. Setelah pembuatan sketsa selesai, kain akan diwarnai. Bagian
yang digambar dengan lilin tidak akan terwarnai. Saat kain direbus, lilin akan
meleleh, sehingga meninggalkan bekas putih pada kain.
Lilin batik yang sering digunakan bukan merupakan lilin murni tetapi
merupakan campuran dari parafin, mikrokristalin, lilin lebah (beeswax),7 atau
resin (getah damar).5 Komposisi campuran tersebut adalah 75% parafin dan 25%
mikrokristalin, sedangkan untuk campuran parafin dengan lilin lebah adalah 70% :
30%,7 dan untuk campuran parafin dengan resin adalah 50% : 50%.5
Parafin mengandung klorin yang dapat mengiritasi saluran pernapasan
apabila terhirup.12 Klorin merupakan gas industri beracun yang menyebabkan
rusaknya jaringan pada saluran pernapasan sehingga menimbulkan reaksi
inflamasi akut maupun kronik.13
8
9
2.1.2. Asap
Asap yang ditimbulkan dari pelelehan lilin batik merupakan salah satu
bentuk pencemaran lingkungan. Asap ini mengandung partikel karbon, benzen,
dan lainnya karena terjadi pembakaran yang tidak sempurna. 7 Polutan yang
terdapat dalam asap malam batik mengandung gas-gas NO2, SO2, CO, CO2, HC,
H2S dan partikel.8
Terhirupnya gas secara tidak sengaja (paling sering klorin), asap, maupun
uap yang mengandung zat iritan dapat menyebabkan penyakit paru restriktif
maupun obstruktif. Pada lembar data keamanan material untuk lilin batik
disebutkan bahwa asap dari pembakaran lilin dapat menyebabkan iritasi derajat
rendah apabila terinhalasi.14 Sering kali, pekerja mengeluhkan sensasi terbakar di
hidung dan tenggorokan mereka setelah terpapar beberapa menit. Gejala asma
akan muncul dalam 24 jam. Saluran nafas yang teriritasi dapat sembuh spontan,
ataupun menetap yang dipengaruhi oleh berbagai macam zat iritan atau faktor
predisposisi lainnya. Cara mencegah terjadinya sindrom tersebut adalah dengan
menjaga kesehatan dan pemakaian alat perlindungan diri. 15
Berdasarkan salah satu hasil pemeriksaan yang dilakukan di BBTKL Bantul,
gas yang dominan terkandung dalam asap pelelehan lilin batik adalah
karbonmonoksida (CO).7 Sedangkan gas-gas polutan bersifat iritan terhadap
saluran pernafasan terutama gas SO2 dan NO2.8 Dari pra penelitian yang
dilakukan oleh Elizabeth di BBTKL menemukan bahwa efek buruk asap
pelelehan lilin tidak bersifat akut tetapi bersifat akumulatif. 7
10
Nitrogen dioksida (NO2) termasuk gas oksidan yang berbau tajam.
Kerusakan terbesar dihasilkan gas ini pada organ respirasi adalah di zona distal
paru, bronchiolus respiratorius, dan ductus alveolaris. 16 Ciri yang sering terjadi
setelah terpapar gas dalam konsentrasi tinggi ataupun dalam jangka waktu yang
lama adalah induksi edema pulmoner, peningkatan metabolisme antioksidan,
peningkatan enzim paru yang berkaitan dengan cedera sel, dan perubahan pada
lipid paru.17,
18
Kondisi tersebut bermanifestasi pada inflamasi paru dan fibrosis
pulmoner.18
Sulfur dioksida (SO2) juga termasuk gas iritan yang pada jumlah besar dapat
merusak sel pelapis alveoli dan sel endotel kapiler, menyebabkan edema pulmoner
alveolotoksik. Ketika pemindahan cairan oleh drainase limfatik gagal, gas ini juga
dapat menyebabkan kerusakan parah pada epitel permukaan saluran nafas.16
Perubahan kecil terjadi pada fungsi paru dengan paparan rendah SO 2
(<300µg/m3). Studi dengan babi menunjukkan bahwa paparan SO2 sekitar
725µg/m3 0,25 ppm dapat menyebabkan bronkokonstriksi sama seperti yang
terjadi pada pasien asma.17
Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan asap pembakaran
lilin batik adalah sebagai berikut
a. Masa Kerja
Masa kerja meliputi lama kerja seseorang setiap harinya, frekuensi bekerja
per minggu, dan berapa tahun ia telah berkerja. Semakin lama seseorang
bekerja disuatu industri, diperkirakan semakin lama mereka terpajan
dengan gas, partikel, dan bahan kimia yang digunakan pada industri
11
tersebut. Zat-zat tersebut akan tertimbun dalam jaringan alveoli dan
menyebabkan mengerasnya jaringan tersebut (fibrosis). Akibat dari
fibrosis adalah elastisitas paru berkurang sehingga menyebabkan
berkurangnya kapasitas paru dalam menampung udara pernafasan yang
ditandai dengan sesak nafas ataupun nyeri dada. Adanya sesak nafas dan
nyeri dada dapat dijadikan penanda adanya kelainan faal paru.19
b. Ventilasi udara
Luas lubang ventilasi yang baik menurut American Public Health
Asociation (APHA) adalah minimum 5% dari luas lantai ruangan untuk
ventilasi tetap. Sedangkan untuk lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup) minimum 5% luas lantai sehingga jumlah keduanya menjadi
10% dari luas lantai.20 Campuran gas dari hasil pembakaran lilin,
khususnya pada tempat yang memiliki ventilasi terbatas, akan mudah
mencapai level yang bisa menyebabkan terjadinya edema pulmoner
maupun obstruksi jalan nafas akut.16
2.2 Fungsi Paru
Fungsi paru utama adalah untuk proses respirasi yang bertujuan
menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbon dioksida. Fungsi
respirasi selanjutnya dibagi menjadi empat fungsi utama, yaitu (1) ventilasi paru,
yaitu masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru ; (2) difusi
oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah ; (3) pengangkutan oksigen
dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh;
dan (4) pengaturan ventilasi.21
12
Fungsi paru dapat diukur dengan metode spirometri. Pada spirometri,
suatu alat yang disebut spirometer digunakan untuk mengukur volume paru yang
dinamis. Dua bentuk volume paru dinamis penting yang diukur adalah volume
paksa paru (forced vital capacity=FVC) dan volume ekspirasi paksa paru dalam
satu detik (forced expiratory volume in first second=FEV 1).21-23
FVC adalah volume udara dalam liter yang dapat diekspirasikan secara
maksimal dan secepat mungkin setelah inspirasi yang maksimal pula. Sedangkan
FEV1 adalah volume udara dalam liter yang dapat diekspirasikan secara maksimal
selama satu detik setelah melakukan inspirasi maksimal. Biasanya nilai FEV 1
adalah 80% dari FVC.22
Selain kedua volume tersebut, terdapat pula beberapa volume paru yang
dapat diukur dengan spirometer, antara lain22, 23:
a. Kapasitas vital (vital capacity=VC) : mirip dengan FVC, tetapi ekspirasi
dilakukan dengan lambat.
b. Kapasitas vital inspirasi (Inspiratory vital capacity=IVC) : kapasitas vital
yang diukur saat inspirasi
c. Volume ekspirasi paksa paru dalam enam detik (forced expiratory volume
in sixth second= FEV6) : volume udara yang diekspirasikan dalam enam
detik pertama dari FVC, volume ini dapat menggantikan FVC pada pasien
yang tidak dapat ekspirasi dengan sempurna.
d. Aliran ekspirasi paksa paru (forced expiratory flow= FEF) : aliran udara
ekspirasi yang diukur dalam liter per detik pada titik berbeda dari FVC,
13
yaitu pada 25, 50, dan 75% dari FVC. Aliran tersebut biasa disingkat FEF25, FEF50,
FEF75.
e. MMEF (maximum mid-expiratory flow) atau FEF25-75 : rata-rata aliran
udara ekspirasi paru selama pertengahan pernafasan
Indikator fungsi paru lain yang tidak kalah penting adalah arus puncak
ekspirasi (APE). APE adalah kecepatan aliran udara maksimum dalam liter per
menit yang dihasilkan dari ekspirasi dengan sekuat tenaga. Indikator ini dapat
diukur sesaat setelah ekspirasi dimulai dengan peak flow meter dan sangat
dipengaruhi oleh tenaga pasien. Nilai APE menurun apabila awalan ekspirasi
buruk, gangguan obstruktif, ataupun gangguan restriktif.22
Gambar 1. Diagram nilai arus puncak ekspirasi
Sumber: Nunn, et al24
14
Selain
volume
dinamis,
paru
juga
memiliki
volume
statis/
absolut.Pengukuran volume ini dapat menjadi acuan derajat gangguan paru yang
terjadi. Volume paru absolut antara lain:
a. Kapasitas total paru (total lung capacity= TLC): volume udara dalam liter
yang dapat ditampung paru pada akhir inspirasi maksimal. 23
b. Volume residu (residual volume= RV): volume udara yang tetap berada di
dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal. Volume ini tidak bisa diukur
dengan spirometer.Nilai normalnya adalah 1200 ml.21
c. Kapasitas residu fungsional (functional residual capacity= FRC) : volume
udara yang tetap berada di dalam paru setelah ekspirasi biasa. 23
d. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume= ERV): volume
udara maksimum yang masih bisa diekspirasikan setelah ekspirasi biasa.
Nilai normalnya adalah 1100 ml.21
e. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume= IRV): volume
udara maksimum yang masih bisa diinspirasi setelah inspirasi biasa.
Besarnya mencapai 3000 ml.21
f. Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity= IC) : volume maksimum yang
masih bisa diinspirasi setelah ekspirasi biasa. IC = IRV + volume tidal.23
g. Volume tidal (VT): volume udara yang dihasilkan dari inspirasi dan
ekspirasi biasa saat istirahat. Besarnya kira-kira 500 ml pada orang dewasa
dan meningkat pada saat olahraga.23
15
Gambar 2. Volume paru absolut/ statis
Sumber: Hyatt RE, et al23
Nilai acuan normal untuk pemeriksaan fungsi paru memiliki rentang yang
sangat luas mengingat perbedaan ukuran paru masing-masing orang.
Nilai
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu22:
a. Jenis kelamin ( laki-laki memiliki paru yang lebih besar daripada
perempuan)
b. Usia (nilai fungsi paru menurun seiring bertambahnya usia)
c. Tinggi badan (orang yang tinggi memiliki paru yang lebih besar)
d. Ras (Kaukasian memiliki paru yang lebih besar daripada orang Afrika
maupun Asia)
Maka dari itu, dalam melakukan pemeriksaan fungsi paru perlu dibandingkan
dengan individu yang memiliki jenis kelamin, usia, tinggi, maupun ras yang
sama.25
Hasil pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri tidak dapat
mendiagnosis suatu penyakit, tetapi hanya memberikan informasi mengenai
gangguan fungsi paru yang dibedakan atas:22, 23
16
1) Kelainan obstruktif (kelainan pada saat ekspirasi)
Penyempitan saluran nafas secara difus yang disebabkan oleh beberapa
mekanisme, antara lain imunitas (asma brokhial) dan lingkungan (penyakit
paru obstruktif kronik).
2) Kelainan restriktif (kelainan pada saat inspirasi)
Penurunan volume paru abnormal yang disebabkan oleh perubahan pada
parenkim paru, peyakit pleura, rongga dada, ataupun kelemahan otot
pernafasan.
Tabel 2. Nilai Normal Fungsi Paru dan Skala Tingkat Keparahan sesuai dengan
Pedoman American Thoracic Society (ATS) 2005
Nilai normal (untuk usia muda – usia pertengahan)
FVC
80-120 (prediksi dalam persen (%))
FEV1
80-120
Rasio FEV1/FVC
80-120
FEF25-75
>65%, dapat mencapai 55%
Rasio FEF25-75/FVC
>0,66 (lebih akurat)
TLC
80-120
FRC
75-120
RV
75-120
DLco
80-120
MEP
>90 cmH2O
MIP
< -70 cmH2O
FVC posisi supinasi
Minimal 10% dari nilai FVC posisi
erek; penurunan >30% mengindikasikan
paralisis diafragma
Metode tradisional untuk menentukan tingkat keparahan dari gangguan obstruktif
dan restriktif paru
Gangguan obstruksi (berdasarkan FEV1) – rasio < 0,7
Kemungkinan variasi fisiologis
FEV1 100 (prediksi dalam persen (%))
Ringan
70 - 100
Sedang
60 - 69
Sedang berat
50 - 59
Berat
35 - 49
Sangat berat
<35
17
Tabel 2. Nilai Normal Fungsi Paru dan Skala Tingkat Keparahan sesuai dengan
Pedoman American Thoracic Society (ATS) 2005 (lanjutan)
Gangguan restriksi (berdasarkan TLC, lebih disarankan)
Rendah
TLC > 70 (prediksi dalam persen (%))
Sedang
60 - 69
Berat
<60
Gangguan restriksi (berdasarkan FVC, apabila tidak tersedia pemeriksaan volume
paru)
Ringan
FVC > 70 (prediksi dalam persen)
Sedang
60 - 69
Sedang berat
50 - 59
Berat
35 - 49
Sangat berat
<35
22
Sumber: Altalag
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Fungsi Paru
Nilai fungsi paru dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang membuat
nilai normal fungsi paru masing-masing individu berbeda. Maka dari itu, dalam
mendiagnosis gangguan fungsi paru harus diperhatikan faktor-faktor yang dimiliki
oleh setiap individu. Adapun, faktor-faktor tersebut antara lain:
2.3.1 Jenis Kelamin
Perempuan dan laki-laki memiliki nilai fungsi paru yang berbeda. 22 Hal ini
berdasarkan keadaan struktur anatomi paru, otot pernafasan, dan hormon steroid
yang mereka miliki. Selama masa pertumbuhan sampai pubertas, saluran nafas
dan parenkim paru perempuan berkembang secara proporsional, sedangkan pada
laki-laki terdapat keterlambatan perkembangan saluran nafas. Kondisi ini
mengakibatkan nilai FEF perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Akan tetapi,
ketika pertumbuhan somatik di masa pubertas mulai muncul, nilai VC dan TLC
pada laki-laki menjadi lebih besar daripada perempuan. Hal ini dipicu oleh
18
hormon testosteron yang mempengaruhi pertumbuhan diafragma dan otot-otot
pernafasan pada laki-laki. Keadaan ini berlangsung tetap hingga dewasa.26
2.3.2 Usia22
Paru mencapai fungsi maksimalnya saat usia 20 tahun pada wanita dan 25
tahun pada pria. Fungsi ini bersifat menetap sampai usia 35 tahun, dan mulai
menurun setelahnya. Penurunan pada tes fungsi paru tergantung pada fungsi paru
puncak yang dicapai saat dewasa, durasi dari fase plateau, dan kecepatan
penurunan fungsi paru sendiri. Estimasi kecepatan penurunan pada FEV 1 adalah
25-30 ml/ tahun dimulai dari usia 35 – 40 tahun dan dapat menjadi 60ml/ tahun
setelah usia 70 tahun. Sejalan dengan hal tersebut, kapasitas residu fungsional dan
volume
residu
meningkat
seiring
dengan
bertambahya
usia.
Hal
ini
mengakibatkan kapasitas vital menurun.25
2.3.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT diperoleh dari berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m) pangkat dua.
Nilai normal IMT untuk orang Asia menurut WHO adalah 18,5-22,9.27 Jones, et al
mengemukakan bahwa efek terbesar dari peningkatan IMT adalah penurunan nilai
ERV dan FRC, yaitu pada IMT 30kg/m2 nilai FRC 75% dan ERV 47%.28 Namun,
selain IMT, distribusi lemak tubuh dan rasio pinggang-pinggul juga harus
diperhatikan. Orang dengan distribusi lemak tubuh berlebih di bagian atas
menyebabkan diafragma berpindah ke abdomen dan adiposa yang menumpuk di
dinding dada dapat menekan rongga dada sehingga volume paru menjadi lebih
rendah.Sedangkan penurunan FEV1 dan FVC cenderung terjadi pada orang
dengan obesitas abdominal karena resistensi jalan nafasnya meningkat.29
19
2.3.4 Riwayat Penyakit Paru
Seseorang yang pernah menderita penyakit paru atau penyakit saluran
nafas sebelumnya akan mempengaruhi keadaan anatomis dan fisiologis paru
mereka. Misalnya, obstruksi jalan nafas tidak bersifat reversibel seluruhnya pada
penderita asma yang sudah tidak mengalami serangan. Hal ini berakibat pada
percepatan penurunan fungsi paru secara progresif. Berdasarkan penelitian Lange,
et al, nilai FEV1 penderita asma lebih besar penurunannya dibandingkan orang
sehat.30
Penyakit infeksi paru akan menimbulkan inflamasi dan kerusakan
parenkim paru yang bersifat ireversibel sehingga meninggalkan bekas radang
berupa fibrosis. Hal ini menyebabkan berkurangnya alveoli untuk pertukaran
udara sehingga terjadi gangguan paru restriktif yang ditandai dengan penurunan
FVC, FEV1, dan TLC secara progresif.26
2.3.5 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan fungsi
paru. Orang yang rajin berolahraga memiliki nilai FEV 1 dan FVC yang lebih
tinggi daripada orang yang memiliki gaya hidup inaktif (sedentary lifestyle).
Fatima, et al membuktikan bahwa dengan olahraga teratur selama delapan minggu
meningkatkan nilai FEV1 menjadi 2,49-2,59 L dan rasio FEV1/FVC 89,5-95,5%.
Perbedaan nilai ini terjadi karena dengan aktivitas fisik yang rutin akan
menyebabkan meningkatnya kekuatan otot, ketahanan tubuh, pertahanan tekanan
positif di jalan nafas, dan efisiensi dari ventilasi pernafasan. 31
20
2.3.6 Riwayat Merokok
Merokok mengakibatkan terjadinya suatu proses pembakaran tembakau
dan nikotin dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas dalam bentuk
asap. Asap rokok merupakan radikal bebas yang mengandung lebih dari 1500
bahan yang merupakan campuran kompleks. Racun utama yang terdapat didalam
rokok yaitu tar, nikotin, dan karbon monoksida.Asap rokok yang masuk ke dalam
saluran pernapasan dapat menyebabkan gangguan struktur dan fungsi pada
bronchiolus terminalis (produksi mukus, akumulasi makrofag pigmen laden,
goblet dan metaplasia sel skuamus, ulserasi, infiltrat sel inflamasi, hipertrofi otot
polos, fibrosis, dan pigmen yang berlebih). Hal tersebut ditandai oleh penurunan
nilai FEV1, FVC, dan APE yang mengarah pada terjadinya gangguan obstruksi
paru.32-34
2.4 Mekanisme Kerja Asap Pembakaran Lilin Batik dan Hubungannya
dengan Fungsi Paru
Paru dibagi menjadi dua zona, yaitu zona saluran nafas dan zona
pertukaran gas (alveolaris). Mukosilier pada saluran nafas dapat memindahkan
partikel-partikel yang terdeposisi. Sedangkan zona alveolaris yang terdiri dari
bronchiolus respiratorius dan ductus alveolaris tidak memiliki kemampuan
tersebut. Sehingga kemampuan pertahanan dan kerentanan dua zona tersebut
sangat berbeda. Gas larut air seperti sulfur dioksida diabsorbsi di saluran nafas
proksimal, sedangkan nitrogen dioksida yang tidak larut air dapat merusak zona
alveolaris yang tidak ditutupi mukosa.16
21
Inhalasi asap pembakaran lilin batik menyebabkan perubahan pada saluran
pernafasan maupun zona alveolaris paru secara histologis yang akan
bermanifestasi secara klinis.
Secara histologis, pada trakea terjadi pengurangan sel bersilia akibat CO yang
berlebihan. Hal ini menyebabkan kurangnya gerakan lapisan mukosa. Selain itu,
mukus hasil produksi sel goblet akan tetap berada di saluran pernafasan untuk
menangkap partikel asing, sehingga terjadi akumulasi mukus pada saluran
pernafasan dan seringkali menyumbat saluran-saluran nafas yang lebih kecil.
Seiring dengan bertambah lamanya durasi pemaparan asap setiap harinya terjadi
penurunan tinggi epitel yang merupakan gejala awal terjadinya metaplasia. Jika
inhalasi asap terjadi dalam jangka waktu yang lama maka kemungkinan sel epitel
pseudokompleks bersilia yang berada di sepanjang saluran nafas akan berubah
menjadi sel skuamus simpleks. Adanya pelipatan mukosa epitel di bagian
posterior trakea terjadi karena pengerutan otot trakea sehingga lumen trakea
menyempit dan memperkecil diameter trakea. Terjadinya penurunan nilai
diameter trakea ditambah dengan menebalnya tunika mukosa menyebabkan
penyempitan saluran udara.7 Hal ini akan bermanifestasi pada berkurangnya rasio
FEV1/FVC, FEV1, dan APE sehingga disebut gangguan paru obstruktif.
Akumulasi asap menyebabkan penebalan septum interalveolaris di
parenkim paru. Lamanya pemaparan asap juga mempengaruhi pertambahan
diameter alveolaris. Proses pembakaran lilin akan melepaskan mediator yang
bertanggung jawab pada terjadinya kerusakan jaringan tersebut.
22
Selain itu, gas dan partikel dalam asap akan mengganggu fungsi sel-sel
alveolus yang ada pada septum interalveolaris, yaitu sel alveolus tipe I dan tipe II.
Sel alveolus tipe I yang berperan dalam pertukaran udara akan membengkak dan
pecah. Sedangkan sel alveolus tipe II yang menghasilkan cairan surfaktan untuk
mengurangi tegangan permukaan alveoli akan berkurang sehingga sulit teregang
saat inspirasi dan akan kolaps saat ekspirasi.
Diameter alveoli yang membesar ditambah dengan rusaknya dinding
alveoli menyebabkan pengurangan bagian respirasi pulmo. Perusakan alveolar
menimbulkan pembentukan ruang udara yang lebih besar yang sangat
menurunkan permukaan difusi alveolar. Hal ini menyebabkan terperangkapnya
CO2 dalam darah dan O2 tidak bisa masuk. Kondisi ini disebut dengan emfisema.
Proses terjadinya emfisema berjalan dengan lambat dan tidak konsisten, salah
satunya disebabkan oleh deposisi gas fokal.35
Inhalasi asap hasil pembakaran lilin batik secara kronik akan berakibat
terakumulasinya gas dan partikel di dalam saluran nafas maupun parenkim paru.
Akumulasi di saluran nafas tersebut dapat menimbulkan gejala seperti batuk-batuk
dan produksi sputum meningkat yang dapat dicurigai sebagai bronkitis kronik.
Adapun akumulasi di parenkim paru dapat menimbulkan emfisema dengan gejala
sesak nafas. Kedua penyakit tersebut dikelompokkan menjadi satu sebagai
penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) yang denominator utamanya adalah
asap.36
Download