Indonesia Diperlakukan Tak Adil

advertisement
Indonesia Diperlakukan Tak Adil
Depkeu Dekati Jepang
Selasa, 11 November 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Negara berkembang, termasuk Indonesia, diperlakukan tidak adil dalam krisis
keuangan global saat ini. Mereka menghadapi kesulitan mendanai pembangunannya dari pasar ekuitas
dan kredit internasional. Padahal, sebagian besar negara berkembang memiliki fundamental ekonomi
yang baik.
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati
mengungkapkan hal itu di tengah pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negaranegara kelompok 20 (G-20) di Sao Paulo, Brasil, Senin (10/11).
Indonesia menyampaikan beberapa usulan yang mendapatkan persetujuan dari anggota G-20 lain.
Usulan itu kemudian masuk dalam komunike bersama G-20.
Pertama, Indonesia mengusulkan pendefinisian krisis yang terjadi saat ini sebagai krisis yang
menyebabkan tidak berfungsinya pasar ekuitas dan kredit internasional. Kondisi itu diperparah adanya
tren aliran modal masuk (capital inflow) ke negara maju.
”Akibatnya, negara-negara berkembang mengalami ketidakadilan karena, walaupun mereka sudah
memiliki fundamental ekonomi dan kerangka kebijakan yang baik, tetap saja terkena imbas krisis
keuangan. Itu bukan kesalahan mereka,” ujar Sri Mulyani yang menjadi pembicara utama dalam
pertemuan ini bersama Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick.
Maka, Indonesia mengusulkan poin kedua, yakni pembentukan mekanisme pendanaan khusus untuk
mendukung pembangunan negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis global.
Krisis keuangan yang bermula di Amerika Serikat mulai berdampak ke negara berkembang, terutama
setelah Presiden George W Bush memutuskan menalangi lembaga keuangan yang kolaps senilai 700
miliar dollar AS. Celakanya, sumber dana yang digunakan adalah hasil penerbitan obligasi negara AS.
Akibatnya, sebagian besar dollar AS akan tersedot ke Amerika. Negara seperti Indonesia yang juga
kerap mencari dana pembangunan dari penerbitan surat utang global akan terkena dampak berupa
peningkatan biaya imbal hasil dan tidak adanya pembeli yang mau mengambil obligasi itu.
Tokyo
Seiring dengan imbauan Menkeu di Sao Paolo, Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan
Rahmat Waluyanto mulai mendekati empat lembaga yang paling menentukan dalam pencairan dana
pinjaman murah di Jepang. Ini dilakukan agar Indonesia mendapatkan skema pinjaman lunak untuk
membiayai APBN dalam kondisi krisis.
”Kami akan bertemu JFC (Japan Finance Corporation), JICA (Japan International Cooperation Agency),
MOF (departemen keuangan), dan MOFA (departemen luar negeri) Jepang. Untuk mendapatkan
pinjaman,” ujar Rahmat.
Jumlah dan persyaratan pinjaman khusus krisis yang akan diperoleh Indonesia akan sangat tergantung
dari hasil pembicaraan awal dengan keempat lembaga tersebut.
Jepang merupakan kreditor utama Indonesia. Hingga Juni 2008, posisi utang luar negeri pemerintah
yang diperoleh dalam bentuk yen Jepang mencapai Rp 247,998 triliun. Itu berarti pinjaman yen berada di
posisi kedua terbanyak di bawah utang dalam dollar AS yang mencapai Rp 271,96 triliun. (OIN)
Download