.Peran Kaum Alawiyyin dalam Penanaman Aqidah di Indonesia Oleh: Umma Farida Pendahuluan Masyarakat Islam Indonesia umumnya sangat familiar dengan para habaib (jamak dari habib) yang banyak diasumsikan memiliki keterkaitan nasab dengan Rasulullah Saw. Kecintaan umat Islam tehadap para habaib dapat dimengerti karena Rasulullah Saw. sendiri menganjurkan untuk mendoakan keluarga dan keturunan beliau. Keturunan Rasulullah Saw. yang banyak dikenal umat Islam Indonesia lazimnya berasal dari putra Fatimah dan Ali ibn Thalib. Masyarakat Indonesia sering mengeneralisasikannya dengan julukan habib, tanpa dibedakan apakah mereka keturunan Hasan ataukah Husein. Meski di Timur Tengah keturunan Hasan dibedakan dengan sebutan syarif, sementara keturunan Husein dikenal dengan sayyid. Namun perbedaan penamaan tidak dipermasalahkan mengingat kedua jalur ini tetaplah merupakan keturunan Rasulullah Saw. (dzurriyyah arRasul). Mengenal Kaum Alawiyyin Keturunan Rasulullah Saw. yang berasal dari jalur Ali ibn Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah bint Rasulullah Saw. sering dinamakan juga kaum Alawiyyin, disamping mereka dikenal sebagai habib/habaib, syarif, dan sayyid sebagaimana tersebut di atas. Ada beragam pengertian terkait dengan penamaan Alawiyyin tersebut. Abdul Qadir Umar (2010: 6) menjelaskan bahwa pengertian pertama dari Alawiyyin tersebut adalah keturunan Ali ibn Abi Thalib, sedangkan pengertian kedua menunjukkan keturunan Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad al-Muhajir ibn Isa ibn Muhammad ibn Ali al-Uraidhi ibn Ja’far ash-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib. Kaum Alawiyyin ini memiliki keistimewaan yang berupa pencatatan rapi seluruh silsilah nasab mereka. Bahkan, mereka memiliki suatu lembaga tersendiri yang dinamakan Maktab ad-Daimi yang khusus mencatat nasab para Alawiyyin di manapun mereka berada (Baharun, 2013: 38). Kaum Alawiyyin membanjir hijrah ke Indonesia sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14 H. Pada fase ini, kaum Alawiyyin banyak yang keluar dari Hadramaut dan menyebar ke seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan seperti kerajaan al-Aydrus di Surrat India, kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, kesultanan al-bin Syibah di Siak dan kesultanan Bafaqih di Filipina (Umar, 2010: 5). Jika dirunut secara historis, penentuan Indonesia sebagai salah satu tujuan hijrah kaum Alawiyyin dapat dipahami bahwa pada masa abad ke-8 hingga 9 H/14-15 M. itu merupakan puncak kegemilangan penyebaran agama Islam di Indonesia. Orientalis Marrison memperkuat tesis ini dan menegaskan bahwa kemungkinan besar Islam sudah dikenal di Indonesia lebih dini sejak perdagangan Islam mulai menjelajahi lautan Indonesia. Terkait dengan awal masuknya Islam ke Indonesia, Hamka dan Alwi Shihab (2009: 9-10) lebih cenderung kepada pendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama dan kedua Hijriyah, meski ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia baru pada abad ke-7 H/13 M. Salah satu argumen yang dibangunnya bahwa catatan-catatan resmi dan jurnal Cina pada periode dini Dinasti Tang tahun 618 M secara eksplisit menegaskan bahwa Islam sudah masuk wilayah Timur Jauh, yakni Cina dan sekitarnya pada abad I H. melalui lalu lintas laut dari bagian Barat Islam. Cina yang dimaksudkan pada abad I H. tidak lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh termasuk kepulauan Indonesia. Peran Kaum Alawiyyin dalam Penanaman Aqidah Baharun (2013: 39) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kaum Alawiyyin sejak dahulu hingga sekarang menganut aqidah atau teologi sebagaimana yang dianut mayoritas umat Islam dunia, yakni aqidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Secara literal, Ahlussunnah wa al-Jama’ah dimaknai oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani sebagaimana dikutip Syihab (1998: 10), bahwa sunnah ialah segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan al-Jama’ah ialah apa yang disepakati oleh para jama’ah sahabat Nabi pada masanya khalifah yang empat (al-khulafa ar-rasyidin). Penerimaan kaum Alawiyyin terhadap aqidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah juga ditegaskan oleh Habib Idrus ibn Umar al-Habsyi dalam kitabnya al-Iqd alYawaqit al-Jauhariyyah sebagaimana dikutip Baharun (2013: 40) bahwa Alawiyyin yang ada di Hadhramaut seluruhnya adalah Aqidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Secara aqidah mereka cenderung kepada pendapat Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, sedangkan dalam bidang hukum Islam atau Fiqh mereka penganut madzhab Syafi’i. Demikian pula tokoh utama kaum Alawiyyin, al-Habib Abdullah ibn Alwi al-Haddad juga menyatakan dalam bukunya, Tasbit al-Fuad dan an-Nashaih ad-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, bahwa Alawiyyin yang ada di Hadhramaut seluruhnya beraqidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Kaum Alawiyyin mengklaim bahwa pengetahuan tentang Aqidah Ahlussunnah wa al-Jamaah mereka dapatkan secara bersambung dari orang tua dan nenek moyang mereka hingga akhirnya bermuara kepada Rasulullah Saw. Konon nenek moyang mereka yang bernama Imam Ahmad al-Muhajir ibn Isa alAlawi inilah orang yang paling berjasa besar bagi seluruh anak cucunya, sebab ia rela meninggalkan harta dan tanah airnya (Basrah) menuju Hadhramaut hanya untuk menyelamatkan aqidah dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab pada sekitar abad ke-4 H., masa yang paling gelap dari sejarah umat Islam yang kemudian terpecah menjadi beberapa golongan. Dari Hadhramaut inilah anak cucu Imam al-Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam dan menyebarluaskan aqidah Ahlussunnah wa al-Jamaah di daerah yang menjadi tujuan hijrahnya, termasuk Indonesia. Abdul Qadir Umar (2010: 13) mengutip pendapat Habib Salim ibn Abdullah asy-Syathiri bahwa para Walisongo yang berdakwah di Indonesia selama kurun waktu abad ke-14 hingga 16 M sejatinya adalah para Alawiyyin yang datang dari Hadhramaut. Mereka merupakan keturunan Rasulullah Saw. yang silsilahnya bersambung kepada keturunan Imam al-Muhajir, yakni Imam Alwi, yang memiliki sebelas putra, dan dari kesebelas putra inilah yang meregenerasikan para ulama yang berdakwah ke seluruh penjuru dunia. Di antaranya putranya tersebut adalah Abdul Malik yang kemudian berhijrah ke India. Abdul Malik ini memiliki putra yang bernama Abdullah, dan dari Abdulllah inilah lahir Ahmad Jamaluddin, yang selanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Senada dengan Umar, Alwi Shihab (2009: 39-40) juga menulis bahwa Walisongo yang merupakan pelopor dakwah yang berhasil menanamkan aqidah Islam yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Muhammad Ain al-Yaqin ibn Maulana Ishaq (Sunan Giri), Maulana Syarifuddin (Sunan Drajat), Maulana Muhammad Syahid (Sunan Kalijaga), Maulana Ja’far ash-Shadiq (Sunan Kudus), Maulana Umar Said (Sunan Muria), Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), keseluruhan mereka merupakan keturunan Imam al-Muhajir. Mereka—para Walisongo—telah memberikan kontribusi besar bagi proses Islamisasi di Indonesia. Bahkan, proses asimilasi dengan masyarakat Indonesia yang dialami keturunannya dapat dikatakan telah menghapuskan identitas kearabannya sehingga larut dalam struktur masyarakat setempat. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengamankan diri dari ancaman pengejaran penjajah Belanda atas tuduhan subversif sebagai pemicu gerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak lagi memakai nama Arab, tetapi memakai nama Jawa atau Indonesia, meski masih ada yang tetap mencantumkan nama marga Alawinya (Shihab, 2009: 40). Selama proses dakwahnya, para Alawiyyin berperan dalam mendirikan, mengembangkan serta mempertahankan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Setelah tumbangnya sistem kerajaan di Indonesia, mereka juga berperan aktif dalam dakwah dan berjuang melawan penjajah, bahkan di antara mereka tercatat sebagai pemimpin dan pendorong gerakan kemerdekaan. Keberhasilan dakwah mereka dalam menanamkan aqidah Islam tampak dengan berubahnya keyakinan para penduduk, dari yang semula beragama Hindu, Budha, bahkan sebagian mereka awalnya menganut keyakinan Animisme dan Dinamisme. Terkait hal ini, sejarawan Hadhramaut, Syaikh Shalah al-Bakri, dalam kitabnya Tarikh Hadhramaut, menulis: “Tidak diragukan lagi, hijrahnya Alawiyyin Hadhramaut ke Jawa dan pulau-pulau sekitarnya adalah hijrah terbesar dalam sejarah Alawiyyin. Mereka memasuki Timur Jauh ketika lautan penuh dengan bahaya. Lalu mereka turun di pulau-pulau yang subur itu, dan di antara hasil terbesar dari hijrah tersebut adalah lenyapnya agama Hindu Budha dan tegaknya panji-panji Islam” (Dikutip dari Umar, 2010: 23). Metode dakwah yang ditempuh para ulama Alawiyyin pun dengan cara damai dan santun. Mereka lebih mengedepankan akhlak, karena metode dakwah yang simpatik dan jauh dari sifat kekerasan merupakan kunci keberhasilan mereka dalam berdakwah. Sehingga, membuat masyarakat tertarik kepada Islam serta dengan sukarela mereka melepaskan keyakinan nenek moyangnya. Memang pada mulanya, mereka membiarkan berbagai adat, budaya serta upacara tradisional berlangsung sebagaimana yang biasa mereka lakukan, namun bersamaan dengan itu mereka secara pelan mengisinya dengan aqidah dan ajaran Islam (Umar, 2010: 20). Keberhasilan dakwah para ulama Alawiyyin pun tercatat dalam banyak literatur sejarah, dimana banyak disebutkan bahwa yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para Alawiyyin yang datang dari Hadhramaut. Selain itu, tercatat pula beberapa ulama terkenal seperti KH. Kholil dari Madura, yang ternyata memiliki garis keturunan yang berhubungan dengan Maulana Muhammad Ain al-Yaqin (Sunan Giri). Demikian pula halnya dengan KH. Muhammad Hayim Asy’ari, peletak landasan kemerdekaan Indonesia dan pendiri NU, juga merupakan keturunan keluarga Basyaiban yang garis keturunannya berkesinambungan sampai kepada Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa (Shihab, 2010: 40-41). Wallahu A’lam. DAFTAR PUSTAKA Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia: Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi, (Depok: Pustaka Iman, 2009). Abdul Qadir Umar, 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, (Malang: Pustaka Bayan, 2010). Ahmad Haydar Baharun, Madzhab Para Habaib dan Akar Tradisinya, (Malang: Pustaka Basma, 2013). H. Z. A. Syihab, Akidah Ahlussunnah versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di antara Keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998).