BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telur Telur merupakan salah satu pangan asal hewan selain daging, ikan dan susu. Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari unggas, seperti ayam, bebek, dan angsa (Muchtadi & Sugiyono 1992). Sebagai salah satu bahan pangan sumber protein yang sangat sempurna, telur mengandung asam amino esensial lengkap yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Selain itu, telur mengandung berbagai vitamin dan mineral, termasuk vitamin A, riboflavin, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, choline, besi, kalsium, fosfor serta potasium, dan memiliki daya cerna yang tinggi (Anonim 2007). Hampir semua telur unggas memiliki kandungan gizi yang sama, hanya berbeda pada jumlah dan komposisinya (Tabel 1). Sebutir telur dengan berat 58 gram terdiri atas 11% kerabang telur, 58% putih telur, dan 31% kuning telur (Muchtadi & Sugiyono 1992). Telur ayam utuh tanpa kerabang telur terdiri atas 65% bagian putih telur dan 35% kuning telur dan memiliki kandungan gizi yang berbeda. Komposisi kimia sebutir telur ayam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Komposisi kimia berbagai macam telur Kadar air (%) 73.7 Protein (%) 12.9 Lemak (%) 11.5 Karbohidrat (%) 0.9 Abu (%) 1.0 Itik 70.4 13.3 14.5 0.7 1.1 Angsa 70.4 13.9 13.3 1.5 - Merpati 72.8 13.8 12.0 0.8 0.9 Puyuh 73.7 13.1 11.1 1.0 1.1 Kalkun 72.6 13.1 11.8 1.7 0.8 Penyu 66.7 16.6 11.6 3.3 1.9 Hewan Ayam Sumber: Muchtadi & Sugiyono (1992) Tabel 2 Komposisi kimia telur ayam dan bagian-bagiannya Telur Utuh (%) 37.0 Putih Telur (%) 87.6 Kuning Telur (%) 51.1 Protein 12.9 10.9 16.0 Lemak 11.5 - 30.0 Karbohidrat 1.1 1.1 1.1 Karbohidrat bebas 0.3 0.4 0.2 Abu 1.0 0.7 1.7 Komponen Air Sumber: Muchtadi & Sugiyono (1992) Telur memiliki struktur yang unik dengan bentuk dan ukuran berbeda. Besar telur bervariasi tergantung jenis, berat badan, umur induk, pakan, dan fisiologis hewan. Secara umum komponen pokok penyusun telur terdiri atas tiga bagian yaitu kerabang telur, putih telur, dan kuning telur (Fardiaz 1989). Secara lebih rinci telur dibagi menjadi sembilan bagian yang terdiri atas kerabang telur, selaput tipis kerabang, albumin luar cair, albumin kental, cairan tipis albumin dalam, khalaza, membran vitelin, dan blasto disc (Muchtadi & Sugiyono 1992; Lukman et al. 2009). Telur memiliki perlindungan alami terhadap cemaran mikroorganisme berupa pertahanan fisik dan kimia. Pertahanan fisik telur terdiri atas kutikula, kerabang telur, dan selaput tipis. Kutikula merupakan lapisan protein setebal 0.01 mm yang menyeliputi kerabang telur. Lapisan ini dapat menutup pori-pori yang ada pada kerabang telur. Kerabang telur merupakan lapisan telur paling luar sebagai pertahanan mekanis, sedangkan selaput telur terdiri dari dua lapis yang berfungsi sebagai penyaring mikroorganisme. Ketiga pertahanan fisik ini merupakan barrier yang akan menghalangi masuknya mikroorganisme pencemar berpenetrasi ke dalam telur. Pertahanan kimiawi telur terdapat pada lapisan putih telur. Putih telur memiliki pH basa, lisosim dan konalbumin yang dapat menghambat dan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme pada putih telur (Lukman et al. 2009). 2.2 Salmonella 2.2.1 Karakteristik Salmonella Salmonella pertama kali ditemukan pada tahun 1885 oleh Daniel Elmer Salmon dan Theobald Smith (Brands 2005). Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae yang terdiri atas kelompok besar bakteri gram negatif. Bakteri ini berbentuk batang tanpa membentuk spora. Salmonella bersifat fakultatif anaerob, fermentasi laktosa negatif, dan mayoritas bakteri ini motil, kecuali Salmonella Pullorum dan Salmonella Gallinarum (Patterson & Isaacson 2003; Songer & Post 2005; Cortez et al. 2006; Bhunia 2008). Umumnya bergerak dengan flagella peritrichous (Mølbak et al. 2006). Genus Salmonella bersifat zoonosis dan dapat menjadi patogen pada manusia dan hewan (Gray & Fedorka 2002; Hugas et al. 2009). Menurut Bhunia (2008), Salmonella adalah bakteri yang mudah tumbuh, bakteri ini dapat menyesuaikan dengan berbagai bentuk keadaan lingkungan. Salmonella akan tetap tumbuh bahkan setelah didinginkan walau dalam kecepatan yang lebih lambat (Meggitt 2003). Salmonella tumbuh pada suhu antara 6–46 oC dan pH antara 4.4–9.4 (Brands 2005; Bhunia 2008). Pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 35–37 oC dan pH mendekati netral (D’Aoust 2001; Brands 2005; Bhunia 2008). Klasifikasi ilmiah Salmonella menurut Wistreich dan Lechtman (1976) adalah: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Bacteria : Proteobacteria : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Salmonella Menurut Tindall et al. (2005), genus Salmonella memiliki dua spesies, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori yang terdiri atas 2463 serotipe. Salmonella enterica terdiri dari 2443 serotipe dan Salmonella bongori terdiri dari 20 serotipe (Songer & Post 2005; Bhunia 2008). Salmonella enterica memiliki enam subspesies yang terdiri dari subspesies I: subspesies enteritica; subspesies II: subspesies salamae; subspesies IIIa: subspesies arizonae; subspesies IIIb: subspesies diarizoae; subspesies IV: subspesies houtenea; subspesies VI: subspesies indica. Salmonella bongori memiliki satu subspesies yaitu subspesies V: subspesies bongori (D’Aoust 2001; Songer & Post 2005; Tindall et al. 2005; Bhunia 2008). Metode penting yang digunakan untuk mengklasifikasikan serotipe Salmonella didasarkan pada klasifikasi menurut Kauffmann-White. Pengelompokan serotipe dari metode ini didasarkan pada antigen somatik (O), flagella (H), dan kapsul (Vi) (Songer & Post 2005; Mølbak et al. 2006; Dunkley et al. 2008; Todar 2008). Lebih dari 2400 Nomenklatur Salmonella diterima berdasarkan rekomendasi WHO. Berdasarkan perumusan, genus, spesies, dan subspesies ditulis miring, sedangkan serotipe tidak miring dengan huruf awal kapital (Mølbak et al. 2006). Contoh penulisan serotipe Salmonella adalah Salmonella enterica subsp. enteritica serotipe Typimurium atau dapat juga ditulis Salmonella Typimurium (Mølbak et al. 2006; Dunkley et al. 2008; Todar 2008). Penamaan serotipe Salmonella dilakukan berdasarkan keputusan penemunya (Omwandho & Kubota 2010), baik dari penyakit yang disebabkan atau tempat isolasinya (Mølbak et al. 2006). Menurut Gray dan Fedorka (2002), terdapat tiga grup besar Salmonella berdasarkan sasaran infeksi. Grup pertama adalah kelompok serotipe yang hanya menginfeksi manusia. Infeksi ini dicirikan oleh demam enterik (demam typhoid dan paratyphoid). Contoh Salmonella grup ini adalah S. Typi dan S. Paratyphi (Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008). Grup kedua adalah serotipe yang memiliki inang spesifik pada hewan tertentu. Seperti Salmonella Pullorum yang menginfeksi unggas; Salmonella Dublin pada sapi; dan Salmonella Choleraesuis pada babi (Wallis 2006; Bhunia 2008). Infeksi klinis pada kelompok ini berupa bakteremia dan septikemia dan banyak terjadi di Amerika dan Eropa (Wray & Davies 2003). Kelompok terakhir seperti S. Typhimurium dan S. Enteritidis memiliki inang yang luas pada manusia dan hewan (Omwandho & Kubota 2010). Infeksi dari serotipe golongan ini menyebabkan gastroenteritis atau enterokolitis. Salmonella jenis ini merupakan foodborne disease yang masuk melalui makanan ke dalam saluran pencernaan manusia (Graham 1980; Brands 2005). Simptom tampak setelah 3–4 hari dengan gejala demam, diare, keram perut, dan kadangkadang diikuti dengan muntah (Bhunia 2008). Tabel 3 Grup besar Salmonella dan target sasarannya Salmonella Inang Salmonella enterica serotipe Typhi manusia S. enterica serotipe Paratyphi manusia S. enterica serotipe Typhimurium manusia dan hewan S. enterica serotipe Enteritidis manusia dan hewan S. enterica serotipe Choleraesuis babi S. enterica serotipe Dublin sapi S. enterica serotipe Pullorum ayam S. enterica serotipe Gallinarum ayam Sumber: Bhunia (2008) Salmonella disebut sebagai bakteri utama penyebab foodborne disease pada manusia disusul oleh Staphylococcus aureus, Campylobacter spp., Clostridium perfringens, Escherichia coli, dan Listeria spp. (D’Aoust 2001; Adeline et al. 2009; Hugas et al. 2009). S. Enteritidis dan S. Typhimurium disebut-sebut sebagai penyebab foodborne disease utama pada tahun 1980an dan 1990an yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan masalah ekonomi negara (Mølbak et al. 2006). Beberapa spesies Salmonella sering ditemukan menginfeksi unggas dan menyebabkan zoonosis. Spesies ini antara lain S. Pullorum, S. Gallinarum, dan S. enterica serotipe Enteritidis dan serotipe Typhimurium (Wray & Davies 2003). S. Pullorum menyebabkan penyakit sistemik yang bersifat akut. S. Gallinarum penyebab penyakit cacar ayam, sedangkan S. Typhimurium dan S. Enteritidis menyebabkan keracunan dan gangguan gastrointestinal pada manusia (Wallis 2006). 2.2.2 Prevalensi Salmonella Outbreak Salmonellosis pada manusia dan hewan telah dilaporkan sejak tahun 1970an. Salmonella adalah penyebab utama foodborne disease akibat infeksi bakteri melalui makanan (D’Aoust 2001; Meggitt 2003; Bhunia 2008; Adeline et al. 2009). Daging, telur dan hasil olahannya merupakan sarana penghantar foodborne disease pada manusia di negara berkembang (Mølbak et al. 2006; Adeline et al. 2009; Hugas et al. 2009). Diperkirakan sekitar 800 000 sampai 4 000 000 orang terinfeksi Salmonella setiap tahunnya di Amerika Serikat. Selain ciri umum berupa diare, demam, dan keram perut, infeksi juga dapat menyebar ke aliran darah, sumsum tulang, bahkan ke otak yang dapat mengakibatkan sakit yang fatal. Setiap tahunnya diduga sekitar 500–1000 orang meninggal akibat infeksi S. enterica di Amerika Serikat (Angulo & Swerdlow 1999). Laporan terbaru oleh Omwandho dan Kubota (2010), lebih dari 3.7 juta kasus salmonellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Hal ini diperkirakan menghabiskan $64 sampai $114 dolar Amerika setiap tahunnya. Peningkatan infeksi Salmonella pada manusia di Jerman dilaporkan bersumber dari telur dan hampir 85% infeksi disebabkan oleh S. Enteritidis. Kejadian salmonellosis berbeda-beda pada setiap negara. Spanyol pada tahun 1992 dan Kanada pada tahun 1991 dengan populasi penduduk masingmasing 40 000 dan 30 000 dilaporkan memiliki kasus foodborne disease oleh Salmonella yang berbeda nyata, yaitu masing-masing 482 dan 28 kasus. Pada kasus ini, unggas, telur, dan produk olahan telur dilaporkan sebagai bahan penyebab utama (D’Aoust 2001). Salmonella enterica menjadi pandemik di Eropa dan beberapa tempat lain di belahan dunia (Angulo & Swerdlow 1999). S. enterica menyebabkan penyakit typhoid pada manusia. Transmisi dari manusia ke manusia terjadi dari makanan yang terkontaminasi ekskreta manusia atau lebih dikenal dengan cara fecal-oral. Insidensi demam typhoid di seluruh belahan dunia diperkirakan sekitar 17 juta kasus dan 600 000 diantaranya menyebabkan kematian (Mølbak et al. 2006). Demam typhoid termasuk dalam lima penyakit terbesar penyebab kematian di Indonesia (Mølbak et al. 2006; Moehario 2009). Infeksi ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat dengan kejadian antara 350–810 kasus per 100 000 penduduk Indonesia setiap tahunnya (Moehario 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang terjangkit demam typhoid dibandingkan dengan seluruh penduduk (prevalensi) di Indonesia sebesar 1.6%. Jawa Barat adalah salah satu dari dua belas provinsi yang memiliki angka prevalensi typhoid di atas angka rata-rata yaitu sebesar 2.14% (Depkes 2008). 2.3 Cemaran Salmonella pada Telur Menurut Fardiaz (1989), telur yang baru umumnya bebas dari mikroorganisme, kecuali telur yang berasal dari induk yang sakit atau telah mengalami kontaminasi. Tingkat kontaminasi mikroorganisme pada telur dipengaruhi oleh keadaan kerabang telur, besar ruang udara, kondisi putih telur, dan kuning telur (Muchtadi & Sugiyono 1999). Mikroorganisme dari luar mencemari telur melalui pori-pori pada lapisan kerabang telur yang mengalami kerusakan. Mikroorganisme dapat mencemari telur setelah dalam proses penyimpanan, melalui pori dan menembus dua lapisan telur di bawahnya. Telur akan terinfeksi bila mikroorganisme dapat bertahan pada putih telur dan mencapai kuning telur. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran kualitas kerabang telur diantaranya adalah induk petelur yang semakin tua, temperatur lingkungan meningkat, stress, penyakit, dan obat-obatan tertentu (Suprijatno et al. 2005). Kontaminasi Salmonella pada telur diketahui terjadi melalui dua mekanisme yaitu kontaminasi vertikal dan kontaminasi horizontal (D’Aoust 2001; Rabsch et al. 2003; Grijspeerdt et al. 2005; Humphrey 2006). Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial, dimana penularan Salmonella pada telur berasal dari induk ayam yang terifeksi (D’Aoust 2001). Kontaminasi tersebut dapat terjadi sebelum pelapisan putih telur. Survei dilakukan oleh Omwandho dan Kubota (2010) untuk menguji penularan Salmonella melalui induk yang sakit. Ayam petelur diberi 10 cfu S. Enteritidis secara oral. Setelah dua hari, bakteri diisolasikan dari beberapa organ tubuh ayam. Dari hasil survei, S. Enteritidis ditemukan pada organ usus buntu, jaringan intestinal, hati, ginjal, ovarium, dan saluran telur. Saluran kelamin merupakan jalur kontaminasi vertikal yang umum dari induk ke anak (Grijspeerdt et al. 2005). Meskipun di dalam saluran telur telah ditemukan anti mikroorganisme untuk mencegah kontaminasi dari kloaka, namun demikian kontaminasi dapat saja terjadi melalui ruptur pembuluh darah atau cemaran mikroorganisme yang telah ada dalam saluran telur. Kontaminasi secara horizontal terjadi pada kerabang telur, diakibatkan infeksi saluran reproduksi induk bagian bawah atau kontaminasi feses dan jerami pada saat pengeraman (Omwandho & Kubota 2010). Kontaminasi horizontal didukung oleh beberapa faktor seperti kondisi kerabang yang lembab, penyimpanan pada suhu tinggi atau kerusakan kerabang telur (D’Aoust 2001). Infeksi Salmonella pada manusia dapat terjadi pada saat mengkonsumsi telur tercemar Salmonella yang tidak dimasak secara benar (Humphrey 2006). Secara tidak langsung, infeksi Salmonella juga dapat terjadi melalui telur yang telah terkontaminasi oleh air, peralatan masak, dan lingkungan yang tidak menerapkan sanitasi dan higiene dengan baik (Meggitt 2003). Kondisi pasar tradisional yang masih sederhana dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai akan mendukung peningkatan kontaminasi dan perkembangbiakan mikroorganisme. Tubuh manusia pada dasarnya memiliki ketahanan untuk mereduksi bakteri Salmonella dalam kurun waktu lima sampai tujuh hari (Brands 2005). Namun demikian dalam beberapa kasus, infeksi Salmonella dapat menyebabkan kematian kurang dari rentang waktu itu. Sekitar 50 orang di Inggris meninggal setiap tahunnya akibat bakteri ini. Orang tua, bayi, wanita hamil, dan penderita ketahanan tubuh yang rendah, sangat peka terhadap infeksi Salmonella (Meggitt 2003).