IMS - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman
dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual
ini penyebarannya dapat dijumpai di seluruh dunia tanpa memandang kaya atau
miskin, suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), dapat menyerang siapa saja
penderitanya bisa perempuan ataupun lelaki, tua ataupun muda. Penyakit ini ada yang
bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang sebagian besar
menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular dan dapat juga
dengan kontak non seksual. Hubungan seks ini termasuk hubungan seks lewat liang
senggama (vaginal), lewat mulut (oral/karaoke) atau lewat dubur (anal). Kontak non
seksual dapat berupa transfusi darah, alat suntik yang tercemar atau melalui benda
lain yang tercemar seperti handuk (Djuanda, 2007). IMS sering juga disebut penyakit
kelamin atau penyakit kotor. Namun itu hanya menunjuk pada penyakit yang ada di
kelamin.
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang cukup menonjol pada sebagian besar wilayah dunia. Insiden kasus IMS diyakini
tinggi di banyak negara.
Universitas Sumatera Utara
Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari IMS yang dapat disembuhkan
(sifilis, gonore, infeksi klamidia dan infeksi trikomonas) terjadi setiap tahunnya pada
laki-laki dan perempuan usia 15-49 tahun. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar
di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia
Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin dan Karibean. Jutaan IMS
oleh virus juga terjadi setiap tahunnya, diantaranya ialah HIV, virus herpes, human
papilloma virus, dan virus hepatitis B (WHO, 2007). Menurut WHO diperkirakan di
seluruh dunia terdapat 333 juta kasus IMS baru setiap tahunnya dan sekitar 1 juta
kasus terjadi setiap harinya.
Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi
menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun
1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi
antara 20%-35%. Selain klamidia, sifilis maupun gonore, infeksi HIV/AIDS saat ini
juga menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh
dari waktu ke waktu (Jazan, 2003).
Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es,
yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang
sebenarnya belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data Dinkes Sumut jumlah
kasus HIV pada tahun 2009 adalah 1096 kasus meningkat pada tahun 2012 yaitu
2189 kasus. Sementara kasus AIDS pada tahun 2009 yaitu 1553 kasus dan pada tahun
2012 ada 4241 kasus. Lebih dari itu, angka kematian karena AIDS pada tahun 2009
Universitas Sumatera Utara
berjumlah 338 meningkat pada tahun 2012 menjadi 751. Mengenai Infeksi Menular
Seksual (IMS), pada tahun 2009 berjumlah 1845 kasus naik pada tahun 2012 yaitu
4212 kasus (Depkes, 2013).
Infeksi Menular Seksual akan lebih berisiko apabila melakukan hubungan
seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui vagina, anal maupun oral.
Siapapun yang pernah berperilaku seks seperti tersebut diatas maka akan dapat
terkena IMS, walaupun mungkin cuma pernah berhubungan seksual satu kali saja
(Mastura, 2000).
Menurut WHO (2008), penyakit Infeksi Menular Seksual juga merupakan
penyebab infertilitas yang tersering, terutama pada wanita. Antara 10%-40% dari
wanita yang menderita infeksi klamidial yang tidak tertangani akan berkembang
menjadi pelvic inflammatory disease (penyakit radang panggul). Kegagalan dalam
mendiagnosa dan memberikan pertolongan pengobatan pada stadium dini dapat
menimbulkan komplikasi serius/berat dan berbagai gejala sisa lainnya, antara lain
kemandulan, infeksi mata pada bayi yang dilahirkan, lahir muda, cacat dan lahir mati,
kanker
leher
rahim
dan
memudahkan
penularan
HIV/AIDS
yang
dapat
mengakibatkan kematian (Sjaiful, 2007).
Di samping itu keberadaan IMS akan mengakibatkan biaya pengobatan yang
sangat besar. Selain itu peningkatan resistensi antimikroba terhadap beberapa kuman
penyebab infeksi menular seksual telah menyebabkan beberapa rejimen pengobatan
menjadi semakin tidak efektif (Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Dewasa ini tidak dipungkiri bahwa cenderung terjadi tren pergaulan remaja
yang mengarah ke pergaulan bebas yang ditandai perilaku seks pranikah yang
kadang-kadang dengan pasangan yang berganti-ganti. Gaya hidup yang demikian
sangat berisiko terjadinya penularan penyakit infeksi menular seksual.
Selain gaya hidup, Pekerja Seks Komersil (PSK) beresiko tinggi untuk terkena
atau menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS).
Apalagi dengan alasan komersil, mereka siap melakukan apa saja untuk kepuasan
pelanggan sampai kepada perilaku seks yang tidak sehat, sehingga kelompok ini
beresiko tinggi untuk terkena IMS (Kartono, 2007).
Kelompok Pekerja Seks Komersil yang beresiko tinggi untuk tertular IMS:
1. WPS (Wanita Pekerja Seks)
Wanita Pekerja Seks sering disebut pelacur atau kupu-kupu malam, yaitu
perempuan yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja yang
membutuhkan kepuasan hubungan seksual dengan pemberian bayaran
(Pratomo, 2002).
2. Gigolo
Gigolo atau laki-laki pemuas nafsu perempuan yang butuh kenikmatan
seksual dengan mendapat pembayaran (Pratomo, 2002). Menjadi teman
selingkuh bagi wanita yang kesepian dan ingin mencoba seks berbeda dari
suaminya. Itu mungkin pengertian dan definisi sederhana dari gigolo. Gigolo
bisa disebut juga PSK pria atau pria/lelaki pelacur. Seiring perkembangannya,
Universitas Sumatera Utara
ternyata gigolo tidak hanya memperuntukan dirinya untuk perempuan tapi
juga untuk laki-laki penyuka sesama jenis.
3. Waria Penjaja Seks
Waria adalah pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita. Waria
yang secara faktual berjenis kelamin laki-laki dan dalam dirinya terdapat jenis
kelamin yang secara jasmani sempurna dan jelas, tetapi secara psikis
cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenisnya yakni wanita
(Koeswinarno, 1996).
Pelacuran waria adalah sebuah mitos yang diwariskan oleh para pendahulu
mereka. Disamping itu dunia pelacuran juga merupakan wadah seorang waria
untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan setelah mereka merasa
terbuang, sekaligus memperoleh pengalaman kewariaan yang sesungguhnya
(Kemala, 1987). Sehingga walaupun waria memiliki pekerjaan menetap
seperti di salon, mereka tidak bisa menghindarkan diri dari kehidupan malam.
Secara kuantitatif, kasus-kasus penyakit infeksi menular seksual di kalangan
waria lebih rentan daripada kelompok beresiko lainnya, seperti WPS dan
gigolo. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan hubungan seksual
mereka masih belum memperhatikan dengan baik tentang kesehatan seksual.
Pada umumnya mereka tidak mau mengenal teknologi penanggulangan
penyakit kelamin. Banyak anggapan dari mereka yang menjadi mitos seksual,
bahwa dengan melakukan relasi seks secara oral dan kemudian membuang air
Universitas Sumatera Utara
mani setelah ejakulasi, maka berbagai kuman penyakit ikut pula terbuang
bersama air ludah (Koeswinarno, 1996).
Dari ketiga kelompok resiko tinggi tertular penyakit infeksi menular seksual
di atas, peneliti hanya mengadakan penelitian tentang waria saja. Fenomena waria
termasuk perilaku seks, cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual khususnya
Gonorrhea dan Sifilis, serta apa saja yang akan dilakukan waria apabila telah terkena
penyakit infeksi menular seksual. Penelitian akan dilakukan di Kecamatan
Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Alasan pengambilan tempat penelitian
adalah berdasarkan hasil laporan dari hasil pemeriksaan terhadap 17 waria, semua
waria terkena penyakit Infeksi Menular Seksual pada bulan Januari 2013 (LSM SP2S,
2013) yang selama ini waria tersebut merupakan binaan dari LSM SP2S (Solidaritas
Perempuan Pekerja Seks), dengan jumlah anggota komunitas waria yang tergabung
dalam kelompok Cleopatra yang ada di Serdang Bedagai berjumlah 80 orang. Selain
itu peneliti bekerja di Dinas Kesehatan Serdang Bedagai sehingga mendapat
kemudahan akses dalam melakukan penelitian.
Di Serdang Bedagai, waria berkumpul dalam suatu organisasi kelompok
dukungan sebaya (KDS). Organisasi waria ini adalah yang pertama sekali terbentuk
di Sumatera Utara. Cleopatra adalah nama KDS dari kelompok Waria di Serdang
Bedagai yang berada di Desa Kota Galuh Kecamatan Perbaungan yang diketuai oleh
Bosek, terbentuk sejak tahun 2004 dan merupakan kelompok dampingan dari yayasan
SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks). Adapun anggota Cleopatra sebanyak 80
orang yang berada di Kec. Perbaungan saja. Nama kelompok komunitas GWL (Gay,
Universitas Sumatera Utara
Waria dan Laki-laki suka lelaki) “Cleopatra“ dengan jumlah komunitas sebanyak 120
orang (80 orang waria dan 40 orang gay dan LSL), namun gay dan LSL masih lebih
tertutup dibandingkan dengan waria.
Berdasarkan penjajakan di lapangan didapatkan data yang yang berasal dari
klinik IMS/VCT Bahari Puskesmas Pantai Cermin bersama SP2S dan Cleopatra
bahwa jumlah Waria yang terkena HIV/AIDS ada 3 orang dan semuanya telah
meninggal dunia serta hasil bulan Januari 2013 yang ikut dalam pemeriksaan dan
penapisan sebanyak 17 orang dengan hasil semuanya terkena penyakit infeksi
menular seksual jenis condiloma. Selama Tahun 2013 data penderita yang berkunjung
ke klinik IMS/VCT Bahari Puskesmas Pantai Cermin didapatkan sebanyak 27 orang
terkena Gonorrhea (GO), 6 orang terkena Sipilis, dan sebanyak 283 orang yang ikut
test HIV dan 4 orang yang hasilnya positif menderita HIV. Pada bulan Juli 2013
dilakukan pemeriksaan terhadap 6 orang waria dan seluruhya menderita IMS yang
terdiri dari 5 orang yang terkena GO dan 1 orang terkena sifilis.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka permasalahan penelitian
adalah:
1. Mengapa masih tinggi angka kesakitan penyakit infeksi menular seksual di
komunitas waria padahal tiap bulan mendapat suplai kondom dari SP2S dan ada
penyuluhan dari Dinas Kesehatan Serdang Bedagai?
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana cara-cara pencegahan penyakit infeksi menular seksual yang
dilakukan waria di komunitasnya?
3. Apa saja yang dilakukan seorang waria apabila dia telah terkena penyakit infeksi
menular seksual?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui cara-cara pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual
(IMS) pada komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam
menentukan kebijakan untuk pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)
dan HIV/AIDS.
2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Serdang Bedagai dan lintas sektor
dalam perencanaan program upaya pencegahan penyakit Infeksi menular Seksual
(IMS) dan HIV/AIDS. Sebagai bahan pembelajaran pengetahuan, sikap dan
tindakan bagi Waria untuk pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)
dan HIV/AIDS.
3. Sebagai
wahana
dan
kesempatan
yang
berharga
bagi
peneliti
untuk
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah khususnya bidang
Kesehatan Reproduksi.
4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai bahan
pustaka untuk penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
Download