BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Otoriter 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Menurut Hurlock (1998), pola asuh orangtua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep positif. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan. Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan. Disiplin menurut konsep positif berarti pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri. Hurlock (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi pokok dari pola asuh orangtua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orangtua dalam menjalankan perannya yang berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk karakter, kepribadian dan perilaku anak hingga anak dewasa. 2.1.2 Jenis Pola Asuh Kecenderungan jenis pola asuh orangtua didasari oleh dua dimensi kerangka konsep Baumrind yaitu responsiveness atau respon dan demandingnes 8 Universitas Sumatera Utara 9 atau tuntutan (Watabe & Hibbard, 2014). Afriani, dkk. (2012) menyatakan respon mengacu pada sejauh mana orangtua mendorong anak, mendukung dan sepakat dengan permintaan anak-anak dengan kehangatan dan komunikasi. Dimensi tuntutan mengacu pada klaim orangtua pada anak-anak untuk terintegrasi ke dalam masyarakat oleh perilaku regulasi, konfrontasi langsung, serta batas waktu (kontrol perilaku) dan pengawasan atau pemantauan kegiatan anak-anak. Berdasarkan dua dimensi tersebut, menurut Baumrind (1966) terdapat tiga jenis pola asuh, yaitu: a. Pola Asuh Authoritarian Baumrind (1966) menjelaskan pola asuh authoritarian (otoriter) adalah pola asuh yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk mengikuti perintahperintah orangtua dan menghormati pekerjaan serta usaha. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orangtua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara atau bermusyawarah. Sementara menurut Berns (2004) pola asuh otoriter berarti pola asuh yang mencoba untuk membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi bahwa perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar perilaku, biasanya standar mutlak, teologis termotivasi dan dirumuskan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pola asuh ini menghargai ketaatan sebagai suatu kebajikan dan nikmat hukuman, dan tindakan yang kuat untuk mengekang diri, di mana tindakan anak atau konflik keyakinan Universitas Sumatera Utara 10 dengan apa yang dia pikir adalah perilaku yang benar. Pola asuh ini juga menanamkan nilai-nilai penting seperti menghormati otoritas, menghormati kerja, dan rasa hormat untuk pelestarian tatanan dan struktur tradisional. Oleh karena itu, gaya pengasuhan otoriter memiliki ciri- ciri, yaitu: (a) Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua; (b) Pengontrolan orang tua terhadap perilaku anak sangat ketat; (c) Anak hampir tidak pernah mendapatkan pujian; (d) Orang tua yang tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya hanya terpusat pada orang tua (Tridhonanto, 2014). Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa perilaku yang diinginkan menandai semua jenis pola asuh yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuh standar dan sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan. Orangtua tidak mendorong anak untuk mandiri dengan mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan tindakan mereka. Sebaliknya, mereka hanya mengatakan apa yang harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri. Cara yang otoriter, ditambah sikap keras, menghukum dan mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tetapi di belakangnya ia akan menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang bisa ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma-norma lingkungan rumah, sekolah dan pergaulan (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan ini akan membuat anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan Universitas Sumatera Utara 11 komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan berperilaku agresif (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah, serta sering berperilaku agresif (Santrock, 2002). b.Pola Asuh Permissive Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh permissive(permisif) adalah pola asuh dimana orang orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting daripada diri mereka. Biasanya pola asuh permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Orangtua membiarkan anak-anak meraba-raba dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian. Anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 2010). Menurut Gunarsa (2008), karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Pada anak tumbuh egosentrisme yang terlalu kuat dan kaku, dan mudah menimbulkan kesulitankesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam masyarakat. Efek pengasuhan ini anak akan memiliki kendali diri yang buruk, inkompentensi sosial, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga, Universitas Sumatera Utara 12 serta pada saat remaja akan suka membolos dan nakal (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, kesulitan belajar menghormati orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2002). c.Asuh Authoritative Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuhauthoritative (demokratis) adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang demokratif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak. Menurut Hurlock (2010), metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada aspek hukumannya. Pola asuh ini menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak terbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang diharapkan, orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau persetujuan orang lain. Universitas Sumatera Utara 13 Cara demokratis pada anak akan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk rasa percaya dirinya. Anak akan mampu bertindak sesuai norma dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan demokratis, yaitu anak mempunyai kompetensi sosial percaya diri dan bertanggungjawab secara sosial. Anak juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan teman sebaya, mampu bekerja sama dengan orang dewasa dan mampu mengatasi stres dengan baik (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang demokratis bisa mengendalikan diri dan mandiri dan berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stres dengan baik (Santrock, 2002). 2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Dalam memberlakukan pola asuh di lingkungan keluarga, orangtuadipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak menurut Hurlock (2010) adalah: a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orangtua Jika orangtua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai maka akan digunakan cara yang berlawanan. Universitas Sumatera Utara 14 b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok Semua orangtua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok mereka dianggap sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka sendiri mengenai apa yang terbaik. c. Usia orangtua Orangtua yang lebih muda cenderung demokratis dan permisif dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali ketika anak beranjak remaja. d. Pendidikan untuk menjadi orangtua Orangtua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhananak akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orangtua yang tidak mengerti. e. Jenis kelamin Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk orangtua maupun pengasuh lainnya. f. Status sosial ekonomi Orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas. g. Konsep mengenai peran orang dewasa Universitas Sumatera Utara 15 Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orangtua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orangtua yang telah menganut konsep modern. h. Jenis kelamin anak Orangtua pada umunya akan lebih keras terhadap anak perempuan daripada terhadap anak laki-lakinya. i. Usia anak Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak tidak mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian otoriter. j. Situasi Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menantang, negativitisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong pengendalian yang otoriter. 2.1.4 Aspek-Aspek Pola Asuh Orangtua Dalam menerapkan pola asuh terdapat unsur-unsur penting yang dapatmempengaruhipembentukan pola asuh pada anak. Hurlock(2010)mengemukakan bahwa pola asuh orangtua memiliki aspek-aspek berikut ini: Universitas Sumatera Utara 16 a. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak denganpedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk mendidik anak bersikap lebih bermoral. Peraturan memiliki nilai pendidikan mana yang baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti, diingat dan dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri. b. Hukuman, yang merupakan sangsi pelanggaran. Hukumanmemiliki tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Kedua, hukuman sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan mereka dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tindakan yang salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat. c. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harusyang berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman, ciuman.Biasanya hadiah diberikan setelah anak melaksanakan hal yang terpuji. Fungsi penghargaan meliputi penghargaan yang mempunyai nilai yang mendidik, motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial serta memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial dn tidak ada penghargaan yang melemahkan keinginan untuk mengulang perilaku itu. d. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman sehingga anaktidak bingung tentang apa yang diharapkan dari mereka. Fungsi konsistensi adalah Universitas Sumatera Utara 17 mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar, memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsiten dalam menetapkan semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang. 2.2 Remaja 2.2.1Pengertian Remaja Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia. Kata remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yaitu “adolescare” yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Remaja (adolescence) adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (Hurlock, 1991). Sebagian besar masyarakat sesuai budayanya mengategorikan remaja pada usia awal 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Seorang anak dikatakan remaja apabila telah mencapai usia 10-20 tahun (Wong, dkk., 2009). Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia yang merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa dengan rentang usia 10-22 tahun. Universitas Sumatera Utara 18 2.2.2 Tahap Perkembangan Remaja Sarwono (2010) membagi perkembangan remaja menjadi tiga tahap yaitu: a. Tahap 1 Remaja Awal 12-15 Tahun (Early Adolesccence) Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahanperubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego” menyebabkan para remaja sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa. b. Tahap 2 Remaja Madya 15-18 Tahun (Middle Adolescence) Pada saat ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat- sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebinggungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli, ramairamai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis. Universitas Sumatera Utara 19 c. Tahap 3 Remaja Akhir 18-21 Tahun ( Late Adolescence) Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 (lima) hal, yaitu: minat yang makin mantap terhadap fungsifungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengankeseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, serta tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). 2.3 Perilaku Agresif 2.3.1 Pengertian Perilaku Agresif Istilah agresif beasal dari bahasa Inggris adalah agression adalah suatu kata yang berarti menyerang atau serangan. Kata agresif berasal dari bahasa Latin uggred yang berarti menyerang, kata ini menyiratkan bahwa setiap orang siapuntuk memaksakan kehendak mereka atas orang tua atau objek lain walaupun itu berarti bahwa kerusakan fisik atau psikologis mungkin ditimbulkan sebagai akibat. Agresif erat hubungannya dengan kemarahan karena kemarahan terjadi jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Emosi kurang mungkin akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka kehendaki dan kemungkinan pula akan terjadi pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang menuju agresif. Universitas Sumatera Utara 20 Menurut Tim Kesehatan Jiwa Indonesia, perilaku agresif merupakan salah satu gangguan tingkah laku terutama apabila agresif dilakukan secara berulang dan menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan. Tingkah laku agresif menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi orang lain dengan cara tindakan kekerasan, pemukulan, pengeroyokan, pemerkosaan dan tidak merasa bersalah apabila orang lain menderita. Agresif seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli memiliki persamaan yang mendasar yaitu pada tingkah laku merusak baik fisik, psikis, maupun benda-benda yang berada disekitarnya. Agresif selalu menunjukan tingkah laku yang kasar, menyerang dan melukai. Tingkah laku agresif secara sosial adalah tingkah laku menyerang orang lain baik penyerangan secara verbal maupun fisik. Penyerangan secara verbal misalnya mencaci, mengejek atau memperolok, sedangkan secara fisik misalnya mendorong, memukul dan berkelahi. Perilaku agresif adalah termasuk tingkah laku yang menggangu hubungan sosial yaitu melanggar aturan, permusuhan secara terang-terangan (mengganggu anak-anak yang lebih kecil atau lemah, mengganggu bintang, suka berkelahi) maupun secara diam-diam (pendendam, pemarah, pencuri, pembohong) (Indrawati, 2006). 2.3.2 Bentuk Agresifitas Bentuk agresifitas yang terjadi pada diri individu salah satu diantaranya adalah agresifitas emosional verbal, agresifitas fisik sosial, agresifitas fisik asosial dan agresifitas destruktif (Barbara, 2005). Universitas Sumatera Utara 21 2.3.2.1 Agresifitas Emosional Verbal Agresifitas emosional verbal meliputi marah atau membenci orang lain (meskipun perasaan itu dilakukan dengan kata-kata), mengutuk, perang mulut, mengkritik, menghina, memperingatkan dengan kasar, menyalahkan dan memtertawakan, mencetuskan agresif melawan kritik-kritik sosial. 2.3.2.2 Agresifitas Fisik Sosial Agresifitas fisik sosial meliputi berkelahi atau membunuh dalam membela diri atau membela seseorang yang dicintai, membalas dendam terhadap penghinaan suatu ketidakadilan tanpa suatu pancingan serta menghukum orang yang melakukan tindakan yang tercela dan berjuang untuk negaranya sendiri atau negara sahabat dalam suatu peperangan. 2.3.2.3 Agresifitas Fisik Asosial Agresifitas fisik asosial meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai atau membunuh orang lain, merampok melakukan tindakan kejahatan, memulai berkelahi tanpa alasan jelas dan pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman dan pengerusakan yang berlebihan berjuang melawan wewenang yang sah misalnya orang tua, atasan, guru atau pemerintah, melakukan tindak sadisme, mengkhianati dan berusaha melawan negaranya sendiri. 2.3.2.4 Agresifitas Destruktif Agresifitas destruktif meliputi tindakan menyerang atau membunuh binatang, memecah, membanting, menghancurkan, membakar atau merusak Universitas Sumatera Utara 22 sesuatu, melukai orang, menyakiti diri sendiri, dan melakukan tindakan bunuh diri. 2.3.3 Faktor Penyebab Perilaku Agresif Tingkah laku agresif lebih dipandang sebagai tingkah yang dipelajari, manusia mempelajari tingkah laku agresif dengan cara pengamatan respon tingkah laku model mereka. Asumsi dasar teorinya adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku orang ditampilkan oleh individu- individu lain yang menjadi model tingkah laku agresif yang diamati individu ternyata dapat menambah jumlah agresifitas si pengamat. Hal ini didukung oleh penelitiannya yang berkesimpulan bahwa anakanak mendapat model imitasi orang dewasa yang berwujud tingkah laku agresif pada suatu kesempatan anak-anak juga akan bertingkah laku sesuai dengan model yang dilihatnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecenderungan yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi atau meniru dapat terjadi pada setiap jenis perilaku, termasuk agresif. Anak yang mengamati orang lain melakukan tindakan agresif atau mengendalikan agresifnya akan meniru orang tersebut. Anak belajar melakukan agresif secara verbal seperti berteriak, mengutuk dan mencela, dan tidak melakukan kekerasan seperti tidak memukul orang lain, melempar batu atau meledakkan gedung. Anak juga belajar kapan masing-masing perilaku tersebut boleh dilakukan. Jadi perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh pengamatannya terhadap orang lain. Semua anak didalam mengimitasi tingkah laku agresif tidak hanya sekedar mencontoh dari modelnya saja, untuk sampai pada tingkah laku agresif juga tergantung dari norma yang melingkunginya. Bila Universitas Sumatera Utara 23 seorang anak diajarkan bahwa tingkah laku itu dapat di terima maka perilaku itu dapat bertambah luas tapi sebaliknya apabila anak diajarkan bahwa tingkah laku agresif adalah jelek atau tidak baik maka tingkah laku tidak akan berkembang. Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya pada diri seseorang namun dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku agresif (Berkowitz, 1967 dalam Hidayat, 2009). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif : a. Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi. b. Kesenjangan generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal Universitas Sumatera Utara 24 dan seringkali tidak sejalan. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan kesenjangan generasi ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll. c. Suhu udara yang panas Suhu udara panas merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Ini tercermin pada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan masyarakat madura yang cenderung memiliki sifat yang keras yang dapat memicu kekerasan. d. Peran belajar model kekerasan Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut Universitas Sumatera Utara 25 e. Frustrasi Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. f. Proses Pendisplinan yang Keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main) (Sukadji, 1988). Universitas Sumatera Utara 26 2.4 Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Pola asuh otoriter biasanya diterapkan dalam keluarga yang berdisiplin tinggi. Orangtua cenderung menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anakanak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan dan kehendak anak. Mereka juga menggunakan hukuman sebagai penegak kedispilnan dan dengan mudah mengumbar kemarahan dan ketidaksenangan kepada anak. Orangtua yang menghukum anak dengan cara berteriak, menjerit atau memukul, justru memberikan contoh yang tidak baik kepada remaja. Remaja dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan kendali (Santrock, 2012). Orangtua kadang juga menggunakan kekerasan untuk mendidik remaja. Konsekuensi dari penggunaan kekerasan terhadap perkembangan remaja adalah regulasi emosi yang buruk, masalah kelekatan, masalah dalam relasi dengan kawan-kawan sebaya, kesulitan beradaptasi di sekolah, serta masalah-masalah psikologi lain dan kemungkinan munculnya kenakalan remaja. Aisyah (2010) mengatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi timbulnya agresi. Salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya perilaku agresif adalah kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua. Menurut Baumrind (1966), pengasuhan otoriter adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orangtua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Anak dari orangtua yang otoriter sering kali tidak bahagia takut, dan cemas ketika membandingkan Universitas Sumatera Utara 27 dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif dan memiliki keterampilan komunikasi yang buruk (Santrock, 2012). Buruknya hubungan orangtua dengan anak akan mempengaruhi sikap agresif dan disiplin anak di sekolah (Hawadi, 2002). Soentjiningsih (2012) mengatakan bahwa efek pola asuh otoriter antara lain anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu dan kemungkinan berperilaku agresif. Wahl dan Metzner (2012) dalam penelitiannya di Jerman tentang “Parental Influences on the Prevalence and Development of Child Aggressiveness” mengatakan bahwa kurva perilaku agresif pada anak berbentuk seperti gundukan unta. Puncak pertama agresi anak terjadi antara usia 2-4 tahun (terutama laki-laki) dan puncak kedua agresi terjadi pada usia 15-20 tahun. Hal tersebut dipengaruhi oleh temperamen orangtua, kecenderungan perilaku, gaya pengasuhan, dan status keluarga. Penelitian Fortuna (2008) tentang “Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif pada Remaja” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sebesar 9,2% pada pola asuh otoriter terhadap perilaku agresif, selebihnya perilaku agresif disebabkan oleh faktor-faktor lain. Pemaksaan dan kontrol yang sangat ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam berinisiatif dan memiliki keterampilan komunikasi yang sangat rendah. Remaja akan sulit bersosialisasi dengan temantemannya sehingga akan mempunyai rasa sepi dan ingin diperhatikan oleh orang lain dengan cara berperilaku agresif. Orangtua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan kegagalan memenuhi standar yang telah Universitas Sumatera Utara 28 ditetapkan oleh orangtua akan membuat akan membuat remaja marah dan kesal kepada orangtuanya tetapi tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif. Remaja yang dididik dalam pola asuh otoriter cenderung memiliki kepatuhan dan kedisiplinan semu. Anak menjadi baik dan patuh dihadapan orangtua saja, namun dibelakang anak akan menjadi sangat agresif dan tidak terkendali. Hal ini akan terjadi karena di luar remaja merasa mempunyai kebebasan yang tidak dia dapatkan di dalam keluarga. Saat kebutuhan anak untuk mencapai tujuannya dihalangi, maka akan menjadikan prakondisi agresi semakin tertekan dan mengakumulasi, sehingga muncul perilaku agresif. Keluarga yang suka melakukan hukuman fisik menyebabkan anak menjadi pemarah. Kemarahan anak untuk sementara waktu akan ditekan karena norma sosial, namun suatu saat akan meluap amarahnya sebagai perilaku yang agresif. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh pola asuh otoriter. Namun masih ada faktor lain yang menjadi penyebab perilaku agresif. Universitas Sumatera Utara