pola asuh orangtua adalah suatu

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pola Asuh Otoriter
2.1.1 Pengertian Pola Asuh
Menurut Hurlock (1998), pola asuh orangtua adalah suatu metode
disiplin yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi
dua konsep yaitu konsep negatif dan konsep positif. Menurut konsep negatif,
disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan. Ini merupakan suatu bentuk
pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan. Disiplin menurut
konsep positif berarti pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada
disiplin dan pengendalian diri.
Hurlock (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi pokok dari pola
asuh orangtua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekangan yang
diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna
dan diterima secara sosial.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pola asuh
orangtua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orangtua dalam menjalankan
perannya yang berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk karakter,
kepribadian dan perilaku anak hingga anak dewasa.
2.1.2 Jenis Pola Asuh
Kecenderungan jenis pola asuh orangtua didasari oleh dua dimensi
kerangka konsep Baumrind yaitu responsiveness atau respon dan demandingnes
8
Universitas Sumatera Utara
9
atau tuntutan (Watabe & Hibbard, 2014). Afriani, dkk. (2012) menyatakan respon
mengacu pada sejauh mana orangtua mendorong anak, mendukung dan sepakat
dengan permintaan anak-anak dengan kehangatan dan komunikasi. Dimensi
tuntutan mengacu pada klaim orangtua pada anak-anak untuk terintegrasi ke
dalam masyarakat oleh perilaku regulasi, konfrontasi langsung, serta batas waktu
(kontrol perilaku) dan pengawasan atau pemantauan kegiatan anak-anak.
Berdasarkan dua dimensi tersebut, menurut Baumrind (1966) terdapat tiga
jenis pola asuh, yaitu:
a. Pola Asuh Authoritarian
Baumrind (1966) menjelaskan pola asuh authoritarian (otoriter) adalah pola
asuh yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk mengikuti perintahperintah orangtua dan menghormati pekerjaan serta usaha. Orangtua menuntut
anak mengikuti perintah-perintahnya, sering memukul anak, memaksakan aturan
tanpa penjelasan, dan menunjukkan amarah. Orangtua yang otoriter menetapkan
batas-batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak
untuk berbicara atau bermusyawarah.
Sementara menurut Berns (2004) pola asuh otoriter berarti pola asuh yang
mencoba untuk membentuk, mengontrol, dan mengevaluasi bahwa perilaku dan
sikap anak sesuai dengan standar perilaku, biasanya standar mutlak, teologis
termotivasi dan dirumuskan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pola asuh ini
menghargai ketaatan sebagai suatu kebajikan dan nikmat hukuman, dan tindakan
yang kuat untuk mengekang diri, di mana tindakan anak atau konflik keyakinan
Universitas Sumatera Utara
10
dengan apa yang dia pikir adalah perilaku yang benar. Pola asuh ini juga
menanamkan nilai-nilai penting seperti menghormati otoritas, menghormati kerja,
dan rasa hormat untuk pelestarian tatanan dan struktur tradisional.
Oleh karena itu, gaya pengasuhan otoriter memiliki ciri- ciri, yaitu: (a) Anak
harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua; (b) Pengontrolan orang tua
terhadap perilaku anak sangat ketat; (c) Anak hampir tidak pernah mendapatkan
pujian; (d) Orang tua yang tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi
biasanya hanya terpusat pada orang tua (Tridhonanto, 2014).
Menurut Hurlock (2010), peraturan yang keras untuk memaksa perilaku
yang diinginkan menandai semua jenis pola asuh yang otoriter. Tekniknya
mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuh standar dan
sedikit, atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda
penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan. Orangtua
tidak mendorong anak untuk mandiri dengan mengambil keputusan-keputusan
yang berhubungan dengan tindakan mereka. Sebaliknya, mereka hanya
mengatakan apa yang harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan
belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Cara yang otoriter, ditambah sikap keras, menghukum dan mengancam akan
menjadikan anak patuh di hadapan orangtua, tetapi di belakangnya ia akan
menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang bisa
ditampilkan dalam tingkah laku yang melanggar norma-norma lingkungan rumah,
sekolah dan pergaulan (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan ini akan membuat anak
mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia, kemampuan
Universitas Sumatera Utara
11
komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu, dan kemungkinan
berperilaku agresif (Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang otoriter
seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan
orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi
yang lemah, serta sering berperilaku agresif (Santrock, 2002).
b.Pola Asuh Permissive
Baumrind (1966) menjelaskan bahwa pola asuh permissive(permisif)
adalah pola asuh dimana orang orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan
orangtua lebih penting daripada diri mereka. Biasanya pola asuh permisif tidak
membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak
menggunakan hukuman. Orangtua membiarkan anak-anak meraba-raba dalam
situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan
atau pengendalian. Anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala yang
mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diijinkan untuk mengambil
keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri (Hurlock, 2010).
Menurut Gunarsa (2008), karena harus menentukan sendiri, maka
perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Pada anak tumbuh
egosentrisme yang terlalu kuat dan kaku, dan mudah menimbulkan kesulitankesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam masyarakat.
Efek pengasuhan ini anak akan memiliki kendali diri yang buruk, inkompentensi
sosial, tidak mandiri, harga diri rendah, tidak dewasa, rasa terasing dari keluarga,
Universitas Sumatera Utara
12
serta pada saat remaja akan suka membolos dan nakal (Soetjiningsih, 2012). Anak
dari orangtua yang permisif akan memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa,
kesulitan belajar menghormati orang lain, kesulitan mengendalikan perilakunya,
egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam berhubungan dengan teman
sebaya (Santrock, 2002).
c.Asuh Authoritative
Baumrind
(1966)
menjelaskan
bahwa
pola
asuhauthoritative
(demokratis) adalah pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi
masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.
Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan
kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang demokratif
diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak.
Menurut Hurlock (2010), metode demokratis menggunakan penjelasan,
diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu
diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada
aspek hukumannya. Pola asuh ini menggunakan hukuman dan penghargaan,
dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah
keras dan biasanya tidak terbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan
bila terdapat bukti bahwa anak-anak sadar menolak melakukan apa yang
diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang diharapkan,
orangtua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau persetujuan
orang lain.
Universitas Sumatera Utara
13
Cara demokratis pada anak akan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk
memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk rasa percaya
dirinya. Anak akan mampu bertindak sesuai norma dan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (Gunarsa, 2008). Efek pengasuhan demokratis, yaitu anak
mempunyai kompetensi sosial percaya diri dan bertanggungjawab secara sosial.
Anak juga tampak ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, berorientasi pada
prestasi, mempertahankan hubungan ramah dengan teman sebaya, mampu bekerja
sama dengan orang dewasa dan mampu mengatasi stres dengan baik
(Soetjiningsih, 2012). Anak dari orangtua yang demokratis bisa mengendalikan
diri dan mandiri dan berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung untuk
mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama
dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stres dengan baik (Santrock, 2002).
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Dalam
memberlakukan
pola
asuh
di
lingkungan
keluarga,
orangtuadipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola
asuh orangtua terhadap anak menurut Hurlock (2010) adalah:
a. Kesamaan dengan disiplin yang digunakan orangtua
Jika orangtua mereka memberikan pola asuh yang baik maka akan mereka
tetapkan juga pada anak mereka, namun sebaliknya jika kurang sesuai maka akan
digunakan cara yang berlawanan.
Universitas Sumatera Utara
14
b. Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok
Semua orangtua lebih dipengaruhi oleh apa yang oleh anggota kelompok
mereka dianggap sebagai cara terbaik, daripada oleh pendirian mereka sendiri
mengenai apa yang terbaik.
c. Usia orangtua
Orangtua
yang
lebih
muda
cenderung
demokratis
dan
permisif
dibandingkan dengan mereka yang tua. Mereka cenderung mengurangi kendali
ketika anak beranjak remaja.
d. Pendidikan untuk menjadi orangtua
Orangtua yang belajar cara mengasuh anak dan mengerti kebutuhananak
akan lebih menggunakan pola asuh yang demokratis daripada orangtua yang tidak
mengerti.
e. Jenis kelamin
Wanita
pada
umumnya
lebih
mengerti
anak
dan
kebutuhannya
dibanding pria, dan mereka cenderung kurang otoriter. Hal ini berlaku untuk
orangtua maupun pengasuh lainnya.
f. Status sosial ekonomi
Orangtua dari kalangan menengah ke bawah akan lebih otoriter dan
memaksa daripada mereka yang dari menengah ke atas.
g. Konsep mengenai peran orang dewasa
Universitas Sumatera Utara
15
Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran
orangtua, cenderung lebih otoriter dibandingkan orangtua yang telah menganut
konsep modern.
h. Jenis kelamin anak
Orangtua pada umunya akan lebih keras terhadap anak perempuan daripada
terhadap anak laki-lakinya.
i. Usia anak
Pola asuh otoriter digunakan untuk anak kecil, karena anak-anak tidak
mengerti penjelasan sehingga mereka memusatkan perhatian pada pengendalian
otoriter.
j. Situasi
Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan
sikap menantang, negativitisme, dan agresi kemungkinan lebih mendorong
pengendalian yang otoriter.
2.1.4 Aspek-Aspek Pola Asuh Orangtua
Dalam menerapkan pola asuh terdapat unsur-unsur penting yang
dapatmempengaruhipembentukan
pola
asuh
pada
anak.
Hurlock(2010)mengemukakan bahwa pola asuh orangtua memiliki aspek-aspek
berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
16
a. Peraturan, tujuannya adalah untuk membekali anak denganpedoman
perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Hal ini berfungsi untuk mendidik
anak bersikap lebih bermoral. Peraturan memiliki nilai pendidikan mana yang
baik serta mana yang tidak, peraturan juga akan membantu mengekang perilaku
yang tidak diinginkan. Peraturan haruslah mudah dimengerti, diingat dan dapat
diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri.
b. Hukuman, yang
merupakan
sangsi
pelanggaran. Hukumanmemiliki
tiga peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, hukuman
menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
Kedua, hukuman sebagai pendidikan, karena sebelum anak tahu tentang peraturan
mereka dapat belajar bahwa tindakan mereka benar atau salah, dan tindakan yang
salah akan memperoleh hukuman. Ketiga, hukuman sebagai motivasi untuk
menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.
c. Penghargaan, bentuk penghargaan yang diberikan tidaklah harusyang
berupa benda atau materi, namun dapat berupa kata-kata, pujian, senyuman,
ciuman.Biasanya hadiah diberikan setelah anak melaksanakan hal yang terpuji.
Fungsi penghargaan meliputi penghargaan yang mempunyai nilai yang mendidik,
motivasi untuk mengulang perilaku yang disetujui secara sosial serta memperkuat
perilaku yang disetujui secara sosial dn tidak ada penghargaan yang melemahkan
keinginan untuk mengulang perilaku itu.
d. Konsistensi, berarti kestabilan atau keseragaman sehingga anaktidak
bingung tentang apa yang diharapkan dari mereka. Fungsi konsistensi adalah
Universitas Sumatera Utara
17
mempunyai nilai didik yang besar sehingga dapat memacu proses belajar,
memiliki motivasi yang kuat dan mempertinggi penghargaan terhadap peraturan
dan orang yang berkuasa. Oleh karena itu kita harus konsiten dalam menetapkan
semua aspek disiplin agar nilai yang kita miliki tidak hilang.
2.2
Remaja
2.2.1Pengertian Remaja
Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia. Kata remaja
(adolescence) berasal dari bahasa latin yaitu “adolescare” yang artinya tumbuh
atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Remaja (adolescence) adalah masa
transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai
dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Remaja adalah suatu
usia dimana individu menjadi terintegrasi kedalam masyarakat dewasa, suatu usia
dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih
tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (Hurlock, 1991).
Sebagian besar masyarakat sesuai budayanya mengategorikan
remaja pada usia awal 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Seorang
anak dikatakan remaja apabila telah mencapai usia 10-20 tahun (Wong, dkk.,
2009).
Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah salah satu tahap perkembangan manusia yang merupakan masa peralihan
dari anak-anak menjadi dewasa dengan rentang usia 10-22 tahun.
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.2 Tahap Perkembangan Remaja
Sarwono (2010) membagi perkembangan remaja menjadi tiga tahap yaitu:
a. Tahap 1 Remaja Awal 12-15 Tahun (Early Adolesccence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahanperubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan
dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan
yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego”
menyebabkan para remaja sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.
b. Tahap 2 Remaja Madya 15-18 Tahun (Middle Adolescence)
Pada saat ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat- sifat
yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebinggungan
karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli, ramairamai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan
sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex
(perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat
hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Tahap 3 Remaja Akhir 18-21 Tahun ( Late Adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian 5 (lima) hal, yaitu: minat yang makin mantap terhadap fungsifungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain
dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak
akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)
diganti dengankeseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain,
serta tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public).
2.3
Perilaku Agresif
2.3.1 Pengertian Perilaku Agresif
Istilah agresif beasal dari bahasa Inggris adalah agression adalah suatu kata
yang berarti menyerang atau serangan. Kata agresif berasal dari bahasa Latin
uggred yang berarti menyerang, kata ini menyiratkan bahwa setiap orang
siapuntuk memaksakan kehendak mereka atas orang tua atau objek lain walaupun
itu berarti bahwa kerusakan fisik atau psikologis mungkin ditimbulkan sebagai
akibat. Agresif erat hubungannya dengan kemarahan karena kemarahan terjadi
jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Emosi kurang mungkin
akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan
mendapatkan apa yang mereka kehendaki dan kemungkinan pula akan terjadi
pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang
menuju agresif.
Universitas Sumatera Utara
20
Menurut Tim Kesehatan Jiwa Indonesia, perilaku agresif merupakan salah
satu gangguan tingkah laku terutama apabila agresif dilakukan secara berulang
dan menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan. Tingkah laku agresif
menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi orang lain dengan cara tindakan
kekerasan, pemukulan, pengeroyokan, pemerkosaan dan tidak merasa bersalah
apabila orang lain menderita. Agresif seperti yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli memiliki persamaan yang mendasar yaitu pada tingkah laku
merusak baik fisik, psikis, maupun benda-benda yang berada disekitarnya.
Agresif selalu menunjukan tingkah laku yang kasar, menyerang dan
melukai. Tingkah laku agresif secara sosial adalah tingkah laku menyerang orang
lain baik penyerangan secara verbal maupun fisik. Penyerangan secara verbal
misalnya mencaci, mengejek atau memperolok, sedangkan secara fisik misalnya
mendorong, memukul dan berkelahi. Perilaku agresif adalah termasuk tingkah
laku yang menggangu hubungan sosial yaitu melanggar aturan, permusuhan
secara terang-terangan (mengganggu anak-anak yang lebih kecil atau lemah,
mengganggu bintang, suka berkelahi) maupun secara diam-diam (pendendam,
pemarah, pencuri, pembohong) (Indrawati, 2006).
2.3.2 Bentuk Agresifitas
Bentuk agresifitas yang terjadi pada diri individu salah satu diantaranya
adalah agresifitas emosional verbal, agresifitas fisik sosial, agresifitas fisik asosial
dan agresifitas destruktif (Barbara, 2005).
Universitas Sumatera Utara
21
2.3.2.1 Agresifitas Emosional Verbal
Agresifitas emosional verbal meliputi marah atau membenci orang lain
(meskipun perasaan itu dilakukan dengan kata-kata), mengutuk, perang mulut,
mengkritik, menghina, memperingatkan dengan kasar, menyalahkan dan
memtertawakan, mencetuskan agresif melawan kritik-kritik sosial.
2.3.2.2 Agresifitas Fisik Sosial
Agresifitas fisik sosial meliputi berkelahi atau membunuh dalam membela
diri atau membela seseorang yang dicintai, membalas dendam terhadap
penghinaan suatu ketidakadilan tanpa suatu pancingan serta menghukum orang
yang melakukan tindakan yang tercela dan berjuang untuk negaranya sendiri atau
negara sahabat dalam suatu peperangan.
2.3.2.3 Agresifitas Fisik Asosial
Agresifitas fisik asosial meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai
atau membunuh orang lain, merampok melakukan tindakan kejahatan, memulai
berkelahi tanpa alasan jelas dan pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman
dan pengerusakan yang berlebihan berjuang melawan wewenang yang sah
misalnya orang tua, atasan, guru atau pemerintah, melakukan tindak sadisme,
mengkhianati dan berusaha melawan negaranya sendiri.
2.3.2.4 Agresifitas Destruktif
Agresifitas destruktif meliputi tindakan menyerang atau membunuh
binatang, memecah, membanting, menghancurkan, membakar atau merusak
Universitas Sumatera Utara
22
sesuatu, melukai orang, menyakiti diri sendiri, dan melakukan tindakan bunuh
diri.
2.3.3 Faktor Penyebab Perilaku Agresif
Tingkah laku agresif lebih dipandang sebagai tingkah yang dipelajari,
manusia mempelajari tingkah laku agresif dengan cara pengamatan respon tingkah
laku model mereka. Asumsi dasar teorinya adalah sebagian besar tingkah laku
individu diperoleh sebagai hasil melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku
orang ditampilkan oleh individu- individu lain yang menjadi model tingkah laku
agresif yang diamati individu ternyata dapat menambah jumlah agresifitas si
pengamat. Hal ini didukung oleh penelitiannya yang berkesimpulan bahwa anakanak mendapat model imitasi orang dewasa yang berwujud tingkah laku agresif
pada suatu kesempatan anak-anak juga akan bertingkah laku sesuai dengan model
yang dilihatnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecenderungan
yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi atau meniru dapat terjadi pada setiap
jenis perilaku, termasuk agresif. Anak yang mengamati orang lain melakukan
tindakan agresif atau mengendalikan agresifnya akan meniru orang tersebut. Anak
belajar melakukan agresif secara verbal seperti berteriak, mengutuk dan mencela,
dan tidak melakukan kekerasan seperti tidak memukul orang lain, melempar batu
atau meledakkan gedung. Anak juga belajar kapan masing-masing perilaku
tersebut boleh dilakukan. Jadi perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh
pengamatannya terhadap orang lain. Semua anak didalam mengimitasi tingkah
laku agresif tidak hanya sekedar mencontoh dari modelnya saja, untuk sampai
pada tingkah laku agresif juga tergantung dari norma yang melingkunginya. Bila
Universitas Sumatera Utara
23
seorang anak diajarkan bahwa tingkah laku itu dapat di terima maka perilaku itu
dapat bertambah luas tapi sebaliknya apabila anak diajarkan bahwa tingkah laku
agresif adalah jelek atau tidak baik maka tingkah laku tidak akan berkembang.
Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya pada diri seseorang namun
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku
agresif (Berkowitz, 1967 dalam Hidayat, 2009).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif :
a. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang
biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau
mungkin juga tidak (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006). Pada saat marah ada
perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka
terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya
agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,
atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan,
hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan
mengarah pada agresi.
b. Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang
tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal
Universitas Sumatera Utara
24
dan seringkali tidak sejalan. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini
sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan
kesenjangan generasi ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain
agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah
ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
c. Suhu udara yang panas
Suhu udara panas merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan. Ini tercermin pada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan
masyarakat madura yang cenderung memiliki sifat yang keras yang dapat memicu
kekerasan.
d. Peran belajar model kekerasan
Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat
ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,
sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara
khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down,
UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa
acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang
mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang
diutarakan (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006) yang mengatakan bahwa
menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan
menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan
tersebut
Universitas Sumatera Utara
25
e. Frustrasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi
merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal
adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan
berperilaku agresi.
f. Proses Pendisplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai
pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat
remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci
orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada
akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan
ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya,
sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat
pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang
bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat
memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main)
(Sukadji, 1988).
Universitas Sumatera Utara
26
2.4
Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif
Pola asuh otoriter biasanya diterapkan dalam keluarga yang berdisiplin
tinggi. Orangtua cenderung menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anakanak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan dan
kehendak anak. Mereka juga menggunakan hukuman sebagai penegak kedispilnan
dan dengan mudah mengumbar kemarahan dan ketidaksenangan kepada anak.
Orangtua yang menghukum anak dengan cara berteriak, menjerit atau
memukul, justru memberikan contoh yang tidak baik kepada remaja. Remaja
dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan kendali (Santrock, 2012).
Orangtua kadang juga menggunakan kekerasan untuk mendidik remaja.
Konsekuensi dari penggunaan kekerasan terhadap perkembangan remaja adalah
regulasi emosi yang buruk, masalah kelekatan, masalah dalam relasi dengan
kawan-kawan sebaya, kesulitan beradaptasi di sekolah, serta masalah-masalah
psikologi lain dan kemungkinan munculnya kenakalan remaja.
Aisyah (2010) mengatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan
lingkungan terdekat bagi anak, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi
timbulnya agresi. Salah satu faktor yang menjadi penyebab timbulnya perilaku
agresif adalah kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua.
Menurut Baumrind (1966), pengasuhan otoriter adalah gaya yang
membatasi dan menghukum, dimana orangtua mendesak anak untuk mengikuti
arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Anak dari orangtua
yang otoriter sering kali tidak bahagia takut, dan cemas ketika membandingkan
Universitas Sumatera Utara
27
dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif dan memiliki keterampilan
komunikasi yang buruk (Santrock, 2012). Buruknya hubungan orangtua dengan
anak akan mempengaruhi sikap agresif dan disiplin anak di sekolah (Hawadi,
2002). Soentjiningsih (2012) mengatakan bahwa efek pola asuh otoriter antara
lain anak mengalami inkompetensi sosial, sering merasa tidak bahagia,
kemampuan komunikasi lemah, tidak memiliki inisiatif melakukan sesuatu dan
kemungkinan berperilaku agresif.
Wahl dan Metzner (2012) dalam penelitiannya di Jerman tentang “Parental
Influences on the Prevalence and Development of Child Aggressiveness”
mengatakan bahwa kurva perilaku agresif pada anak berbentuk seperti gundukan
unta. Puncak pertama agresi anak terjadi antara usia 2-4 tahun (terutama laki-laki)
dan puncak kedua agresi terjadi pada usia 15-20 tahun. Hal tersebut dipengaruhi
oleh temperamen orangtua, kecenderungan perilaku, gaya pengasuhan, dan status
keluarga.
Penelitian Fortuna (2008) tentang “Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan
Perilaku Agresif pada Remaja” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sebesar
9,2%
pada pola asuh otoriter terhadap perilaku agresif, selebihnya perilaku
agresif disebabkan oleh faktor-faktor lain. Pemaksaan dan kontrol yang sangat
ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam berinisiatif dan memiliki keterampilan
komunikasi yang sangat rendah. Remaja akan sulit bersosialisasi dengan temantemannya sehingga akan mempunyai rasa sepi dan ingin diperhatikan oleh orang
lain dengan cara berperilaku agresif. Orangtua yang sering memberikan hukuman
fisik pada anaknya dikarenakan kegagalan memenuhi standar yang telah
Universitas Sumatera Utara
28
ditetapkan oleh orangtua akan membuat akan membuat remaja marah dan kesal
kepada orangtuanya tetapi tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan
melampiaskannya kepada orang lain dalam bentuk perilaku agresif.
Remaja
yang dididik dalam pola asuh otoriter cenderung memiliki
kepatuhan dan kedisiplinan semu. Anak menjadi baik dan patuh dihadapan
orangtua saja, namun dibelakang anak akan menjadi sangat agresif dan tidak
terkendali. Hal ini akan terjadi karena di luar remaja merasa mempunyai
kebebasan yang tidak dia dapatkan di dalam keluarga. Saat kebutuhan anak untuk
mencapai tujuannya dihalangi, maka akan menjadikan prakondisi agresi semakin
tertekan dan mengakumulasi, sehingga muncul perilaku agresif. Keluarga yang
suka melakukan hukuman fisik menyebabkan anak menjadi pemarah. Kemarahan
anak untuk sementara waktu akan ditekan karena norma sosial, namun suatu saat
akan meluap amarahnya sebagai perilaku yang agresif.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif
dipengaruhi oleh pola asuh otoriter. Namun masih ada faktor lain yang menjadi
penyebab perilaku agresif.
Universitas Sumatera Utara
Download