11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Ritel
2.1.1
Definisi Ritel
Secara harfiah Ritel / Retail = eceran, dan peritel / retailer = pengecer, atau
pengusaha perdagangan eceran. Menurut kamus, retail adalah penjualan barang atau jasa
kepada khalayak. Definisi bisnis ritel adalah :
1. Penjualan konsumen akhir
2. Motivasi pembelian konsumen adalah kepentingan tersendiri dan tidak untuk
dijual, atau paling tidak lebih dari separuh penjualannya adalah kepada
konsumen
untuk
kepentingannya
sendiri.
(http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/tag/retail/ tanggal akses 29 Des 2011)
Bisnis ritel tidak hanya sekedar merupakan penjualan barang secara fisik, tetapi juga
meliputi penjualan jasa. Contohnya, tiket pesawat, warnet, jasa telekomunikasi.
Penjualan jasa ini diebut ”Real services”. Selain itu yang termasuk didalam penjualan
barang (Complementary Service) yakni, layanan pesan antar, jaminan, leasing, dan
fasilitas kredit. Pengertian bisnis ritel tidak hanya mencakup sebuah toko tapi juga
aktivitas sejenis yang tidak menggunakan tempat khusus dalam proses jual beli,
contohnya, mail order, direct selling. Disini yang berperilaku sebagai retailer adalah
11
12
grosir, wholesaler, dan manufacturer.
(http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/tag/retail/
tanggal akses 29 Des 2011)
Ritel juga merupakan perangkat dari aktivitas – aktivias bisnis yang melakuan
penambahan nilai terhadap produk – produk dan layanan penjualan kepada para
konsumen untuk penggunaan atau konsumsi perseorangan maupun keluarga. Seringkali
orang – orang beranggapan bahwa ritel hanya berarti menjual produk – produk yang ada
ditoko. Tetapi ritel juga melibatkan layanan jasa, seperti layanan jasa antar (delivery
service) ke rumah – rumah dan tidak semua ritel dilakukan di dalam toko. (Utami, 2006,
pg 4)
Ritel adalah seluruh aktivitas yang berkaitan dengan penjualan produk atau jasa
secara langsung kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi, dan bukan untuk
bisnis. Banyak institusi yang melakukan hal ini misalnya, pabrik, pedagang grosir, dan
pengecer (Kotler dan Armstrong, 2010, pg 374).
Sedangkan menurut Berman dan Evans (2007, pg 4), ritel meliputi kegiatan usaha
yang terlibat dalam penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk keperluan pribadi,
keluarga, atau rumah tangga. Peritel berusaha untuk memenuhi kebutuhan konsumen
dengan menyesuaikan barang – barang yang dijualnya dengan harga, waktu, dan tempat
yang diinginkn oleh konsumen. Ritel juga menyediakan pasar bagi produsen untuk
menjual barang hasil produksinya.
13
Sumber : http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/tag/retail/ tanggal akses 29 Des
2011
Gambar 2.1 Rantai Distribusi
Dari definisi – definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, ritel adalah penyalur produk
berupa barang atau jasa kepada konsumen akhir, atau dengan kata lain ritel merupakan
penghubung antara produsen dengan konsumen.
2.1.2
Klasifikasi Ritel
14
Sumber : http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/tag/retail/ tanggal akses 29 Des
2011
Gambar 2.2 Klasifikasi Ritel
•
Kepemilikan (Owner)
-
Single Store Retailer (tipe yang paling banyak jumlahnya dengan
ukuran toko umumnya dibawah 100 m 2)
-
Rantai toko ritel (toko ritel dengan banyak cabang dan dimiliki oleh
institusi perseroan)
-
Toko waralaba (toko yang dibangun berdasarkan kontrak kerja sama
waralaba antara terwaralaba dengan pewaralaba)
•
Merchandise Category
-
Specialty Store / toko khas (menjual satu jenis kategori barang yang
relatif sedikit / sempit)
-
Grocery Store / toko serba ada ( menjual barang kebutuhan sehari –
hari)
-
Departement Store (menjual sebagian besar bukan kebutuhan pokok,
fashionable, bermerek, dengan 80% pola konsinyasi)
-
Hyperstore (menjual barang dalam rentang kategori barang yang
sangat luas)
15
•
Luas Sales Area
-
Small Store / Kios (kios kecil yang umumnya merupakan toko ritel
tradisional, dioperasikan sebagai usaha kecil dengan sales area kurang
dari 100 m2)
-
Minimarket (dioperasikan dengan luasan sales area antara 100 – 1000
m2)
-
Supermarket (dioperasikan dengan luasan sales area antara 1000 –
5000 m2)
-
Hypermarket (dioperasikan dengan luasan sales area antara lebih dari
5000 m2)
•
Non Store Retailer
-
Multi Level Marketing (MLM), model penjualan barang secara
langsung dengan sistem komisi penjualan berperingkat berdasarkan
status keanggotaan dalam distribution lines.
-
Mail & Order Retailer (toko pesan antar), perusahaan yang melakukan
penjualan berdasarkan pesanan melalui surat atau telepon.
-
Internet / online store (e-commerce), toko ritel didunia maya yang
mengadopsikan internet kedalam bentuk online retailing.
(http://murtiningsih.blog.uns.ac.id/tag/retail/ tanggal akses 29 Des
2011)
16
2.1.3
Strategi Ritel
Hal pertama yang harus dilakukan oleh pengusaha ritel adalah menentukan
segmentasi dan target pasarnya baru kemudian memutuskan melakukan diferensiasi dan
positioning dalam pasar. Apakah harus fokus kepada konsumen kelas atas, menengah,
atau menengah kebawah ? Apakah target konsumen yang dibidik menginginkan variasi
produk, kenyamanan dalam berbelanja, atau mementingkan harga yang rendah ? Sebelum
mereka selesai mendefinisikan pasaranya, maka pengusaha ritel tidak dapat berperilaku
konsisten dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan variasi produk, jasa,
harga, periklanan, dekorasi toko, dan sebagainya. (Kotler dan Armstrong, 2010, pg 383)
Sumber : Kotler dan Armstrong (2010, pg 383)
Gambar 2.3 Retailer Marketing Strategy
17
Strategi ritel menekankan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
mencapai tujuan. Strategi ritel meliputi penentuan target pasar, sifat barang dan jasa yang
ditawarkan dan bagaimana ritel memperoleh keuntungan jangka panjang dari para
pesaingnya. Bagian kebutuhan strategi dalam strategi ritel antara lain strategi pasar,
strategi keuangan, strategi lokasi, strategi organisasi, dan sumber daya manusia.
(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/manajemen-ritel-2/
tanggal akses 29 Des
2011)
Sedangkan menurut Berman dan Evans (2007, pg 12), strategi ritel adalah
keseluruhuan rencana atau kerangka kerja yang memandu pengusaha ritel. Idealnya
strategi ritel hanya bertahan selama satu tahun. Setiap pengusaha ritel, harus
menggunakan enam langkah perencanaan strategi berikut ini :
1. Menentukan jenis bisnis yang berkaitan dengan kategori barang atau jasa dan
orientasi khusus dari perusahaan ritel tersebut, contohnya : full service.
2. Menentukan tujuan jangka panjang dan jangka pendek untuk jumlah penjualan dan
keuntungan yang harus didapatkan, pangsa pasar, citra perusahaan, dan
sebagainya.
3. Menentukan target pasar berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, tingkat
pendapatan, usia) dan keinginan atau kebutuhan konsumen.
4. Membuat rencana jangka panjang secara keseluruhan bagi perusahaan.
5. Mengimplementasikan strategi integral yang menggabungkan beberapa faktor,
misalnya lokasi toko, variasi produk, harga, periklanan, dan penempatan produk.
18
6. Mengevaluasi kinerja dan memperbaiki kelemahan atau masalah – masalah yang
ada secara teratur.
2.2 Merek
2.2.1
Pengertian Merek
Banyak orang telah mengasosiasikan merek dan memberi nama merek sesuai
dengan perusahaan yang membuatnya, tetapi merek – merek tersebut tetap eksis
ketika berada di pasar. Dengan sebuah merek kita dapat dengan mudah memilih
produk atau jasa yang sejenis dengan pilihan yang beragam. Karena memilih suatu
produk terkadang adalah suatu proses yang rumit, dikarenakan banyaknya
diferensiasi dari suatu produk. Suatu merek memegang peranan penting sama halnya
dengan kualitas dan harga produk itu sendiri. Saat ini merek tidak hanya dapat
mewakilkan jati diri produk atau hanya sebagai brand identity (nama, logo, dan
desain).
Dalam mengembangkan strategi pemasaran untuk produk – prouk indvidual,
penjual harus menghadapi keputusan pemberian merek. Pemberian merek merupakan
masalah utama dalam strategi produk. Di satu pihak, mengembangkan produk
bermerek memerlukan pengeluaran investasi jangka panjang yang besar, khususnya
untuk iklan, promosi, dan pengemasan. Banyak perusahaan berorientasi merek mensubkontrak-an proses manufakturnya pada pihak lain (Kotler, 1998 : 63). Misalnya,
19
para produsen Usaha Kecil Menengah (UKM) membuat banyak pakaian, makanan,
dan minuman tetapi tidak dengan merek UKM tersebut.
Menurut Melissa (2006, p10), merek dapat menggambarkan suatu bisnis dan ciri
khas dari suatu produk atau jasa. Sebuah merek meliputi orang – orang yang bekerja
untuk perusahaan dan filosofi yang terdapat didalamnya. Merek menawarkan suatu
nilai, visi, dan perilaku. Sekali suatu merek telah dipakai dipasaran, maka perusahaan
harus membuktikan bahwa merek ini dapat efektif bertahan dipasaran.
Menurut Kapferer (2008, pg 11), merek adalah nama yang dapat memberikan
pengaruh bagi konsumen. Definisi ini mempunyai suatu esensi bahwa suatu merek
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi konsumen. Kekuatan dari suatu merek
yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian konsumen tidak terlepas dari
representasi dan relationship. Representasi adalah suatu sistem yang terhubung dalam
suatu jaringan sehingga dapat memberikan pengaruh. Representasi terdiri dari
berbagai aspek yaitu :
1. Apakah cakupan dari suatu merek (kompetensi produk, jenis barang atau jasa
yang spesifik) ?
2. Bagaimana kualitasnya (rendah, menengah, premium, mewah) ?
3. Apa kelebihannya ?
4. Apa yang dapat membedakannya dibanding merek lain ?
5. Bagaimana tipe konsumennya ?
20
Menurut Kotler dan Keller (2010, pg 250), merek didefinisikan sebagai sebuah
nama, istilah, tanda, lambang, atau desain yang bertujuan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari salah satu penjual atau sekelompok penjual dan mengidentifikasi
dari produk pesaing. Ada 6 kriteria utama yang dapat menjadi acuan dalam membuat
suatu merek, yaitu :
1. Memorable (dapat diingat) : Seberapa mudah konsumen dapat mengenali atau
memilih merek yang sama ketika akan melakukan pembelian barang. Contoh :
Tide, Crest, dan Puffs adalah merek yang pendek dan mudah diingat.
2. Meaningful (mempunyai arti) : Merek diharapkan mempunyai suatu
kredibilitas dan mengindikasikan kategori yang berhubungan dengannya.
Contoh : Aki mobil Diehard, Pembersih lantai Mop & Glo, dan makanan beku
rendah kalori Lean Cuisine.
3. Likeable (dapat disukai) : Seberapa menarikkah suatu merek secara estestika ?
Pada saat ini sebuah merek merupakan merek yang memiliki nama unik dan
juga memiliki alamat URL. Contoh : Flicker website untuk berbagi foto,
media sosial Wakoopa, dan ponsel Motorola ROKR dan RAZR.
4. Transferable (mudah diserahkan) : Dapatkah suatu merek diperkenalkan
kembali menjadi suatu produk yang baru dalam kategori yang sama maupun
berbeda ? Amazon.com merupakan toko buku online terbesar didunia, akan
tetapi penggunaan kata ”Amazon” sebagai merek menggambarkan bahwa
toko buku ini adalah toko buku online terbesar dan dapat mengirim buku
21
keseluruh dunia. Tentu yang kita ketahui Amazon adalah nama sungai
terbesar didunia. Kata ”Amazon” sangat tepat untuk mengilustrasikan toko
buku ini.
5. Adaptable (mudah disesuaikan) : Apakah suatu merek dapat dengan mudah
beradaptasi dan mudah berubah (selalu update).
6. Protectable (dapat dilindungi) : Apakah suatu merek dapat dilindungi secara
hukum ? nama terkadang menjadi suatu persamaan dalam suatu kategori
produk. Contoh : Kleenex, Kitty Litter, Jell-O, Scotch Tape, Xerox, dan
Fiberglass. Merek – merek seperti ini sebaiknya mempunyai hak cipta atau
hak paten dan tidak dijadikan sebagai produk generik.
Menurut Kotler (1998, pg 66) merek dapat memberikan manfaat bagi penjual, yaitu :
•
Merek memudahkan penjual memproses pesanan dan menelusuri masalah.
Jadi Anheuser-Busch menerima pesanan seratus peti bir Michelob dan
bukannya pesanan ”birmu yang lebih baik”. Selain itu penjual juga merasa
lebih mudah menelusuri pesanan jika salah dikirimkan, atau menentukan
mengapa birnya rusak jika pelanggan mengeluh.
•
Merek memberikan kesempatan bagi penjual untuk menarik pelanggan yang
setia dan menguntungkan. Kesetiaan merek memberi penjual perlindungan
dari persaingan serta pengendalian yang lebih besar dalam perencanaan
program pemasarannya.
22
•
Merek membantu penjual melakukan segmentasi pasar. Daripada hanya
menjual satu deterjen saja, P&G dapat menawarkan delapan merek deterjen,
masing-masing memiliki formula yang berbeda dan ditujukan pada segmen
pasar yang berbeda.
•
Merek yang kuat membantu membangun citra perusahaan, memudahkan
perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima distributor
dan pelanggan.
2.2.2
Jenis – jenis Merek
Keller, (2003) dalam Mirawaty, (2010) membagi jenis merek menjadi 3 bagian,
yaitu :
23
Sumber : Keller, (2003) dalam Mirawaty, (2010)
Gambar 2.4 Jenis – jenis Merek
•
Merek Nasional :
Produk bermerek yang diproduksi dan didistribusikan secara luas oleh
produsen serta membawa produsen. Contohnya, Unilever memproduksi
mentega dengan merek BlueBand, dan nama Unilever tetap tercantum pada
kemasan.
•
Merek Lisensi :
Penggunaan nama merek yang telah mapan dengan membeli hak dari
organisasi atau individu yang memiikinya. Contohnya, Disney menjadi merek
tas anak – anak, atau pakaian anak – anak.
•
Merek Pribadi atau Private Label :
Produk bermerek yang dikomisikan kepada pedangang grosir atau pengecer
dari suatu produsen. Contohnya, Lotte Mart dengan merek Lotte, Giant
dengan merek Giant, Alfamart dengan merek Pasti Pas.
2.3 Private Label Strategy
24
Ketika pengusaha retail membangun suatu merek pribadi tentunya disebabkan
oleh suatu fenomena tertentu. Fenomena ini dapat terjadi karena konsumen sulit
untuk membedakan barang yang bermutu menengah dan barang yang bermutu tinggi
hanya dari tampilan luarnya saja, terlebih lagi jika produk tersebut dibalut oleh
kemasan yang bagus dan menarik. Maka dari itu untuk menghindari kekecewaan
karena salah dalam memilih barang maka sebagian besar konsumen akan memilih
barang yang mereknya sudah terkenal. Melihat fenomena ini maka retailer mencoba
untuk mengemas produk yang dijual dengan kemasan dan merek sendiri. Ini juga
disebabkan karena perusahaan retailer ini telah mempunyai nama yang baik, dan
dipercaya konsumen.
Meskipun pertumbuhan label pribadi telah ditafsirkan oleh beberapa orang
sebagai tanda dari "penurunan merek (decline of brand)"
dengan mudah dapat
dikatakan bahwa kesimpulan sebaliknya yang lebih valid, karena pertumbuhan
Private Label dapat dilihat sebagai konsekuensi dari strategi branding yang baik.
Generalisasi empiris tentang karakteristik pengguna Private Label adalah orang yang
sensitive dengan harga tetapi tidak sensitif dengan merek, dari segi pendapatan
termasuk golongan menengah, dan terdidik. Peritel mampu mendapatkan marjin yang
tinggi pada merek nasional dalam kategori dimana Private Label mereka memiliki
pangsa pasar yang tinggi. Private Label mendapatkan pangsa pasar yang lebih ketika
perbedaan harga antara merek nasional dan Private Label. Tapi, yang paling penting
dari pangsa Private Label adalah kualitas yang dirasakan pembeli.
25
Fakta bahwa perbedaan persepsi kualitas antara Private Label dan merek nasional
sangat penting yang berarti semakin baik posisi label pribadi dalam hal kualitas,
semakin besar kemungkinan untuk berhasil. Tetapi apabila Private Label diposisikan
terhadap merek nasional terkemuka akan menunjukkan bahwa akan menguntungkan
bagi Private Label untuk memposisikan diri dekat dengan merek nasional terkemuka,
terutama ketika merek terkemuka memiliki pangsa tinggi. Ketika Private Label
melakukan menargetkan merek nasional tertentu, mereka cenderung untuk
menargetkan merek terkemuka. Meskipun sebagian besar Private Label tampaknya
tidak menargetkan merek nasional tertentu, mungkin karena posisi yang mungkin
tidak kredibel (Ailawadi, Kusum and Keller, K.L. 2004, pg 13-14).
Private Label sering kali dipandang sebagai produk dengan kualitas kelas dua
oleh konsumen. Beberapa penyebabnya antara lain :
•
Kemasan yang sederhana dan cenderung tidak menarik
•
Harga yang sedikit lebih murah dibandingkan dengan produk merek nasional
yang sudah terkenal lebih dahulu
•
Sedikitnya keragaman produk
•
Kurangnya promosi dari pengusaha retail sendiri terhadap produknya
•
Konsumen telah terbiasa menggunakan produk dengan merek nasional,
sehingga telah mengetahui kualitasnya kemudian enggan mencoba produk
dengan merek pribadi.
26
Private Label tidak memiliki image yang baik dalam suatu kategori roduk
tertentu. Merek pribadi diangggap tidak mempunyai suatu nilai tambah bagi
konsumen yang telah fanatik terhadap produk dengan merek nasional
(Kapferer, 2008, pg 63).
Private Label yang mempunyai nama lain private brand dan store brand adalah
merek yang diciptakan dan dimiliki oleh penjual eceran barang dan jasa (Kotler dan
Armstrong, 2004). Private Label adalah produk yang diberi merek oleh distributor
dan tidak secara jelas menggambarkan bahwa merek tersebut diciptakan oleh
perusahaan tertentu. Contohnya : Merek kosmetik Ms. Hellen yang di jual di toko
Monoprix, atau Jodhpur sebuah merek tekstil yang di jual di toko Galeries Lafayette
(Kapferer, 2008, pg. 69).
Private Label
terkait dengan loyalitas, karena Private Label mampu untuk
membantu membangun merek peritel. Citra toko dan loyalitas dapat meningkatkan
jika konsumen telah terbiasa dengan Private Label dan mereka mampu untuk
membeli satu merek di berbagai kategori produk. Kemampuan untuk menimbulkan
loyalitas dapat membuat Private Label menguntungkan bagi peritel bahkan jika
mereka tidak memiliki keunggulan dari segi biaya.
2.3.1
Kelebihan dan Kekurangan Private Label
27
Merek memberikan nilai kepada pelanggan dan sekaligus kepada peritel. Merek
memberikan kesempatan pada konsumen untuk mengevaluasi bagaimana bauran ritel
kepada suatu ritel. Merek juga mempengaruhi keyakinan pelanggan atas keputusan
yang dibuat untuk membeli produk dari suatu ritel. Hal ini menyebabkan adanya
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh Private Label, bagi peritel, pemasok,
dan konsumen. Berikut penjelasannya :
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Private Label
Kelebihan
Peritel
•
•
Mengurangi dominasi
Kekurangan
•
merek nasional dalam
seragam antara kategori
pasar.
produk Private Label
Menciptakan
memunculkan perasaan
ketergantungan
negatif dari konsumen.
konsumen pada
•
retailer.
•
•
Meningkatkan
Fokus yang berlebihan
terhadap Private Label.
•
Harga yang rendah
penjualan.
dipersepsikan kualitas
Sebuah kesempatan
yang rendah.
untuk strategi
•
Kurangnya dukungan
diferensiasi dan
financial dari
menyediakan pilihan
pemasok.
yang beragam bagi
•
Standarisasi yang tidak
•
Jika produk Private
konsumen.
Label tersebut gagal
Membangun loyalitas
atau tidak berhasil
konsumen terhadap
memuaskan konsumen,
28
•
peritel dengan
kecil kemungkinan
menghindari
mereka akan membeli
perbandingan diantara
produk Private Label
merek – merek lain.
yang lain.
Membangun image
yang positif bagi
peritel.
•
Kebebasan peraturan
dalam pricing strategy.
•
Mempunyai posisi
tawar yang lebih baik
dalam ekonomi.
•
Pengendalian
persediaan yang lebih
mudah.
Pemasok
•
•
Menutup peluang
retailer dapat terganggu
Pemasok dapat
jika produk tidak
memasuki pasar
berkualitas.
•
Menciptakan
rendah.
kompetitor bagi produk
Sebagai secondary
yang mereka pasarkan.
product yang
•
Hubungan terhadap
pesaing.
dengan biaya yang
•
•
•
Pemasok lain mungkin
menambah portofolio
menawarkan harga
produk perusahaan.
yang lebih rendah
Memproduksi produk
sehingga memaksakan
pesaing untuk
keuntungan lebih
melawan market
rendah.
29
leader.
•
•
Biaya penyimpanan
Kesempatan bagi
yang tinggi dengan
usaha kecil yang tidak
margin keuntungan
memiliki modal besar
yang rendah.
untuk memasuki pasar
yang lebih luas.
•
Memperoleh lebih
banyak ruang dalam
rak gerai.
•
Pembangunan strategic
partnership dengan
retailer.
Konsumen
•
Harga lebih rendah
•
untuk kualitas yang
setara dengan produk
rendah.
•
lain.
•
•
•
Pilihan yang lebih
Produk berkualitas
Persepsi harga murah =
kualitas rendah.
•
Anggapan kualitas
banyak.
yang seragam pada
Nama peritel yang
produk Private Label
terpercaya =
yang lain jika ada
kepercayaan terhadap
produk yang tidak
produk.
dapat berfungsi dengan
Sebagai pengganti
baik.
produk lain yang habis
persediaannya.
Sumber : http://retailindustry.about.com/library/uc/02/uc_stanley3.html tanggal
akses 29 Des 2011
30
2.4 Preference
2.4.1
Definisi Preference
Dalam suatu kegiatan berbelanja orang seringkali bingung ingin membeli produk
yang seperti apa, tentunya mereka mempunyai suatu keinginan akan suatu produk
dengan spesifikasi tertentu. Namun mereka terkadang kurang yakin apakah produk
tersebut benar – benar dapat memuaskannya atau tidak, disinilah preferensi
dibutuhkan sebagai pembanding (Weitz dan Leivy, 2009, pg 83).
Preferensi merupakan sikap dari konsumen yang bersedia memberi rekomendasi
terhadap produk atau jasa yang pernah dinikmatinya kepada orang lain (Wicaksono
dan Ihalauw, 2005, pg 9). Sedangkan menurut Simamora, 2003, pg 37 memberikan
gambaran tentang preferensi sebagai berikut : ”Saya lebih menyukai merek ini”, kata
Susan sambil menunjuk teh siap minum merek terkenal. Preferensi konsumen
tercemin pada kata: I prefer this brand, sebenarnya merupakan hasil proses evaluasi.
Bermula dari preferensi merek ini, tinggal selangkah lagi menuju keputusan. ”Saya
lebih menyukai merek ini” adalah preferensi. ”Saya putuskan untuk membelinya”,
inilah keputusan sebelum pembelian (pre-purchased decision). Apakah keputusan
pembelian ini benar – benar dilakukan? Belum tentu. Masih ada faktor situasi dan
31
pengaruh orang lain yang memungkinkan keputusan pembelian sebenarnya (purchase
decision) berbeda dari keputusan sebelumnya (pre-purchased decision).
Brand retail yang kuat akan menurunkan sensitivitas harga pada konsumen. Profil
Brand yang telah dijabarkan dengan baik dapat memperkuat posisinya dalam
preferensi konsumen yang kemudian akan menguntungkan peritel, karena dapat
menghindari persaingan harga (Klein, et al, 2007, pg 124).
2.4.2
Prefernce Berdasarkan Atribut
Konsumen dalam menggunakan informasi dalam memilih dan menentukan suatu
produk atau merek, akan melalui suatu proses, baik berdasarkan stimulus ataupun
berdasarkan memori, pada proses berdasarkan stimulus, seluruh informasi yang
relevan akan secara langsung diobservasi dalam konteks keputusan dan konsumen
dapat dengan segera dan langsung membandingkan seleluh merek pada seluruh
atribut (Mantel and Kardes, 1999 dalam Praktino, 2003:54).
Pada proses berdasarkan memori, informasi tentang mereka dan atribut harus
dimunculkan kembali sebelum perbandingan keputusan yang relevan dilakukan.
Suatu hal yang penting dan secara langsung mempengaruhi proses komparasi atau
pemilihan terhadap suatu merek yaitu preferensi konsumen berdasarkan atribut yang
mensyaratkan suatu pengetahuan dan penggunaan dari spesifik atribut pada saat
mengambil keputusan. (Kardes dan Gibson, 1991 dalam Partikno, 2003:54). Pada
32
dasarnya, kebanyakan orang yang berusaha melakukan preferensi berdasarkan atribut
dalam melakukan pemilihan terhadap suatu merek.
2.4.3
Preference Berdasarkan Attitude
Penggunaan informasi pada preferensi konsumen berdasarkan attitude
merupakan kebalikan dari preferensi berdasarkan atribut terhadap tingkat
keperluan akan kognisi serta keterlibatan (involement). Secara umum, attitude
dari konsumen merupakan gabungan dari kepercayaan, perasaan serta tujuan
perilaku konsumen terhadap suatu objek dalam konteks pemasaran. Ketiga
komponen ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi dan secara
bersama-sama menunjukkan suatu rekasi konsumen terhadap suatu objek.
(Hawkins, 1998 dalam Partikno,2003:56)
Komponen pertama adalah kepercayaan. Konsumen akan mempunyai suatu
kepercayaan yang positif terhadap suatu objek atau juga mempunyai pengalaman
yang negatif terhadap suatu objek, dan mungkin akan berbeda-beda pada setiap
situasi. Konsumen juga mempunyai suatu perasaan terhadap suatu merek atau
objek lainnya, namun juga ada yang mempunyai suatu perasaan tertentu terhadap
suatu kepercayaan. Sedangkan tujuan suatu perilaku merupakan suatu rencana
yang akan konsumen lakukan terhadap suatu objek. Tentunya hal ini akan
membawa dampak suatu pemikiran yang logis terhadap kepercayaan yang ada
ataupun pada suatu keadaan. (Pratikno, 2003:56).
33
Preferensi berdasarkan attitude akan didominasi oleh konsumen dalam kondisi
yang penuh dengan kebingungan dalam melakukan preferensi (D’Suoza and
Rao, 1995 dalam Partikno, 2003:56) namun konsumen harus selalu menyadari
bahwa preferensi berdasarkan informasi yang kurang lengkap akan menimbulkan
suatu error serta bias karena pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan
menjadi kurang signifikan dengan kebutuhan (Kivetz and Siomonson, 2000
dalam Pratikno, 2003:56).
2.5 Brand Equity
2.5.1
Definisi Brand Equity
Menurut Aaker (1996, pg 7) Brand Equity adalah suatu perangkat dari lima
kategori aset yang berkaitan dengan merek yang menambah atau mengurangi nilai
yang diberikan sebuah produk berupa barang atau jasa yang diberikan oleh
perusahaan, kategori asetnya adalah :
1. Kesadaran merek
2. Loyalitas merek
3. Mutu yang dirasakan
4. Asosiasi merek
5. Aset kepemilikan lainnya
Sedangkan menurut Kotler dan Armstrong (2010, pg 243) Brand Equity adalah
ekuitas merek adalah efek diferensiasi yang positif yang dapat diketahui dari respon
34
konsumen terhadap barang atau jasa. Jadi brand equity adalah kekuatan suatu brand
yang dapat menambah atau mengurangi nilai dari brand itu sendiri yang dapat
diketahui dari respon konsumen terhadap barang atau jasa yang dijual. Semakin kuat
ekuitas merek merupakan suatu keuntungan besar bagi perusahaan.
Brand Equity juga merupakan suatu persepsi atau fakta – fakta yang
diasosiasikan sendiri oleh konsumen ketika memilih merek. Ekuitas merek bersifat
pasif, pribadi, dan digunakan sebagai persepsi dalam pikiran individu untuk
membantu dalam proses pembelian (Morgan, 2009, pg 198).
Masing – masing dari aset dalam ekuitas merek membuat suatu nilai dengan cara
yang berbeda – beda. Untuk mengatur ekuitas merek secara efektif dan untuk
menentukan aktivitas yang berkaitan tentang bagaimana membangun sebuah merek,
perlu memperhatikan tentang bagaimana cara yang tepat untuk membangun sebuah
merek.
Gambar dibawah ini akan menjelaskan tentang bagaimana ekuitas merek dapat
memberikan atau membuat sebuah nilai.
35
Sumber : Aaker (1996, pg. 9)
Gambar 2.5 How Brand Equity Generates Value
Kekuatan suatu merek (brand equity) dapat diukur berdasarkan 7 indikator, yaitu:
1. Leadership : Kemampuan untuk mempengaruhi pasar, baik harga maupun
atribut non-harga.
2. Stability : Kemampuan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan.
3. Market : Kekuatan merek untuk meningkatkan kinerja toko atau distributor.
36
4. Internationality : Kemampuan merek untuk keluar dari area geografisnya atau
masuk ke negara atau daerah lain.
5. Trend : Merek menjadi semakin penting dalam industri.
6. Support : Besarnya dana yang dikeluarkan untuk mengkomunikasikan merek.
7. Protection : Merek tersebut mempunyai legalitas
(http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/brand-equity-kekuatan-suatumerek.html, tanggal akses 2 Jan 2012)
A. Brand Awareness (Kesadaran Merek)
Ketika berbelanja orang cenderung memilih produk dengan merek yang
sudah pernah dibeli sebelumnya, dan sudah pernah dirasakan walaupun tidak
dengan membeli. Ketika membeli produk dengan merek yang sama, secara
berulang – ulang, maka artinya konsumen telah sadar akan suatu merek.
Disamping itu kesadaran merek juga dapat digambarkan dengan ”Merek yang
pertama kali terlintas di pikiran kita ketika ingat akan suatu produk tertentu”.
Misalnya ketika ditanyakan tentang merek deodorant, spontan orang akan
menjawab Rexona. Karena Rexona merupakan merek deodorant yang
iklannya seringkali muncul di televisi maupun media cetak, dan Rexona
adalah merek deodorant yang sudah terkenal, dan sudah diketahui bagaimana
kualitasnya.
Menurut Levy dan Weitz, (2009, pg 402) kesadaran merek mengacu pada
kemampuan pelanggan untuk mengenali atau mengingat bahwa nama merek
37
adalah jenis tertentu dari peritel atau produk / layanan. Jadi, kesadaran merek
adalah kekuatan hubungan antara nama merek dan jenis barang atau jasa di
benak pelanggan. Ada berbagai tingkat kesadara merek, Aided recall yaitu
mengingat suatu merek dan dibantu untuk mengingatnya. Konsumen baru
mengingat atau sadar akan sebuah merek, ketika suatu merek tersebut
diperlihatkan kepadanya. Top-of-mind
yaitu
tingkat kesadaran tertinggi,
yang terjadi ketika konsumen menyebutkan nama merek tertentu pertama kali
ketika mereka ditanya tentang jenis peritel, kategori barang dagangan, atau
jenis layanan. Untuk Misalnya, Best Buy mendapatkan Top-of-mind yang
paling tinggi jika konsumen merespon "Best Buy" ketika ditanya tentang
peritel yang menjual barang elektronik. Tingginya Top-of-mind
berarti
memungkinkan bagi peritel atau suatu produk dapat diingat pertama kali oleh
konsumen ketika ingin membeli produk.
Sedangkan menurut Aaker (1996, pg 10) kesadaran merek berarti seberapa
kuat nama suatu merek bertahan di pikiran konsumen. Kesadaran merek
diukur dengan cara yang berbeda – beda misalnya, bagaimana konsumen
mengingat suatu merek. Contohnya, mulai dari pengenalan merek sampai
dominasi kondisi dimana merek yang dibutuhan adalah hanya merek yang
diingat oleh konsumen.
Ada 4 tingkatan brand awareness yaitu:
1. Unaware of brand (tidak menyadari merek)
38
Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida kesadaran merek,
dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.
2. Brand recognition (pengenalan merek)
Tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat seorang
pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian.
3. Brand recall (pengingatan kembali terhadap merek)
Pengingatan kembali terhadap merek didasarkan pada permintaan
seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk.
Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena
berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk
memunculkan merek tersebut.
4. Top of mind (puncak pikiran)
Apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan
pengingatan dan orang tersebut dapat menyebutkan satu nama merek,
maka merek yang paling banyak disebutkan pertama kali merupakan
puncak pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama
dari berbagai merek yang ada di dalam benak konsumen.
Ada 4 indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa
jauh konsumen aware terhadap sebuah brand antara lain:
1. Recall, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengingat ketika ditanya
merek apa saja yang diingat.
39
2. Recognition, yaitu seberapa jauh konsumen dapat mengenali merek
tersebut termasuk dalam kategori tertentu.
3. Purchase, yaitu seberapa jauh konsumen akan memasukkan suatu merek
ke dalam alternatif pilihan ketika akan membeli produk/layanan.
4. Consumption, yaitu seberapa jauh konsumen masih mengingat suatu
merek ketika sedang menggunakan produk/layanan pesaing.
(http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/brand-equity-kekuatan-suatumerek.html, tanggal akses 2 Jan 2012)
B. Brand Association (Asosiasi Merek)
Asosiasi merek memegang esensi penting dan bersifat mendasar untuk
konsumen. Asosiasi merek tertentu seperti kekuatan merek, inimitability (sulit
untuk ditiru) dan favourability (tingkat kesukaan) telah ditunjukkan untuk
membedakan pengetahuan merek oleh konsumen. Asosiasi ini memainkan
peran penting dalam membentuk tingkat perbedaan respon pelanggan yang
membentuk ekuitas merek (Trappey dan Woodside, 2005, pg 99).
Menurut Levy dan Weitz, (2009, pg 402) asosiasi merek adalah sesuatu
yang berhubungan dengan atau dihubungkan dengan nama merek dalam
ingatan konsumen. Sebagai contoh, beberapa asosiasi yang dirasakan
konsumen mungkin telah terbukti dengan persepsi bahwa Apple adalah
produk yang inovatif, dan mengeluarkan produk seperti iPhone, iPod, dan
komputer Mac. Asosiasi yang kuat ini mempengaruhi perilaku konsumen
40
membeli. Beberapa asosiasi merek yang umum berkembang di dunia ritel
dengan nama merek mereka adalah sebagai berikut :
1) Merchandise kategori. Hubungan yang paling umum adalah untuk
menghubungkan peritel kekategori barang yang dijualnya. Sebagai
contoh, Office Depot ingin konsumen mengasosiasikan nama toko dengan
perlengkapan
kantor.
Kemudian
ketika
kebutuhan
untuk
kantor
persediaan muncul, konsumen langsung berpikir untuk berbelanja di
Office Depot.
2) Harga / kualitas. Beberapa peritel, seperti Saks Fifth Avenue, ingin
berhubungan dengan suatu penawaran yang unik, yang menggambarkan
toko Saks Fifth Avenue menjual kebutuhan fashion dengan kualitas tinggi.
Pengecer lainnya, seperti Walmart, ingin mengasosiasikan bahwa tokonya
menjual barang dengan harga rendah dan kualitas yang baik.
3) Atribut
yang
menghubungkan
spesifik
tokonya
atau
ke
kelebihan.
suatu
Sebuah
atribut,
peritel
seperti
dapat
7-Eleven
mengasosiasikan tokonya dengan menyediakan kenyamanan berbelanja
atau Nordstrom dengan koneksi yang baik mencoba menawarkan
pelayanan pelanggan yang sangat baik.
41
4) Gaya hidup atau aktivitas. Beberapa peritel mengaitkan nama mereka
dengan gaya hidup tertentu atau kegiatan. Sebagai contoh, layanan wisata
Patagonia, menawarkan peralatan olahraga luar ruangan, yang terkait
dengan gaya hidup, aktif dan ramah lingkungan. Toko Pottery Barn terkait
dengan hidup nyaman di rumah.
Sedangkan menurut Aaker (1996, pg 25) asosiasi merek menggambarkan
atribut produk, selebriti yang menjadi model iklan produk. Asosiasi merek
adalah sesuatu yang menghubungkan konsumen dengan merek, termasuk
didalamnya menggunakan perbandingan, atribut produk, pemanfaatan situasi,
asosiasi organisasional, personalitas merek dan simbol - simbol.
C. Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Loyalitas merek digambarkan sebagai pelanggan yang konsisten membeli
merek tertentu dalam suatu kategori produk. Mereka enggan untuk beralih ke
merek lain jika merek favorit mereka tidak tersedia. Contohnya orang yang
terbiasa membeli Coca Cola tidak akan berpindah dengan membeli barang
sejenis dengan merek lain, misalnya Pepsi (Levy dan Weitz, 2009, pg 93).
Menurut Aaker (1996, pg 23) loyalitas merek juga sebagai suatu ukuran
keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan
gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek lain
yang ditawarkan oleh kompetitor, terutama jika pada merek tersebut didapati
42
adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Seorang
pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah
memindahkan pembeliannya ke merek lain, apa pun yang terjadi dengan
merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek meningkat,
kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek
produk pesaing dapat dikurangi. Dengan demikian, brand loyalty merupakan
salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang
penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa
mendatang.
Dalam kaitannya dengan loyalitas merek terdapat beberapa tingkat
loyalitas. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran
yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun
tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Brand Switcher (Sering berpindah – pindah merek)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai
pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi
frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek
ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang
sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada
tingkatan ini merek apapun mereka anggap memadai serta memegang
peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling
43
nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk
karena harganya murah.
2. Pembeli yang bersifat kebiasaan (Habitual Buyer)
Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan
sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya
atau
setidaknya
mereka
tidak
mengalami
ketidakpuasan
dalam
mengkonsumsi produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya tidak
didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk membeli
merek produk yang lain atau berpindah merek terutama jika peralihan
tersebut memerlukan usaha, biaya, maupun berbagai bentuk pengorbanan
lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu
merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.
3. Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (Satisfied buyer)
Pada tingkat ini pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka
mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja mereka
memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung biaya
peralihan (switching cost) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko
kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat
menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat loyalitas ini maka
para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung oleh
44
pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan berbagai
manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal).
4. Menyukai merek (Likes the brand)
Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang
sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai
perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja
didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman
dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh
kerabatnya ataupun disebabkan oleh kesan kualitas yang tinggi. Meskipun
demikian seringkali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang sulit
diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan ke dalam
sesuatu yang spesifik.
5. Pembeli yang komit (Committed buyer)
Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki
suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek
tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi
fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya
mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli
ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek
tersebut kepada orang lain.
45
Membangun loyalitas merek adalah lebih dari hanya sekedar membangun
database pelanggan menggunakan sistem kartu dan dan memberian insentif
untuk menciptakan loyalitas, tapi ini adalah tentang menciptakan dan
memenuhi harapan pelanggan dalam hal pelayanan, cara menanggapi keluhan,
bagaimana kualitas barang dan ritel secara keseluruhan yang kemudian
menciptakan pengalaman untuk pelanggan. Loyalitas dengan program kartu
dan program belanja Internet memberikan peritel sebuah data penting dari
pelanggan dan sebagai peritel mereka dapat bergerak ke loyalitas merek yang
kemudian menawarkan kesempatan untuk cross-selling (Moore, et al, 2003, pg
143).
D. Perceived Quality (Persepsi Pelanggan)
Perceived Quality
adalah, persepsi pelanggan terhadap keseluruhan
kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa yang kemudian dikaitkan
dengan harapan pelanggan. Perceived Quality merupakan informasi berupa
persepsi konsumen terhadap kualitas produk dan jasa. Perceived Quality
dipengaruhi oleh kualitas produk dan kualitas pelayanan yang diberikan.
Kualitas produk dapat dilihat dari cirri khas produk, ketahanan produk, kinerja
produk, apakah produk tersebut dapat diandalkan, kemampuan produk dalam
memberikan suatu pelayanan dan secara fisik produk tersebut terlihat
memiliki kualitas baik (Aaker, 1996, pg 18).
46
Nilai dari Perceived Quality memberikan nilai kepada perusahaan, seperti
gambar dibawah ini :
Sumber : Maarifat (2009)
Gambar 2.6 Nilai dari Perceived Quality
47
Berikut ini adalah nilai yang dapat diberikan kepada perusahaan dengan terbentuk
Perceived quality :
1. Alasan Untuk Membeli (reason-to-buy)
Perceived quality, hal ini mempengaruhi merek-merek mana yang
seharusnya dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi merek apa
yang akan dipilih.
2. Differensiasi/Posisi (differentiate/posisi)
Karakterisik positioning dari suatu merek adalah posisinya yang terbentuk
dari
Perceived
quality
yang
dirasakan
oleh
pelanggan
setelah
menggunakan produk atau jasa dari suatu merek.
3. Harga Optimum (a price premium)
Dapat memberikan pilihan bagi perusahaan dalam menetapkan harga
optimal (premium price). Keuntungan dari Perceived quality yaitu
menyediakan
pilihan
bagi
perusahaan
untuk
menetapkan
atau
memberlakuan harga premium. Harga premium dapat meningkatkan
keuntungan bagi perusahaan dan menyediakan sumber daya (financial)
untuk diinvestasikan kembali pada merek tersebut.
48
4. Meningkatkan Minat Saluran Distribusi (channel member interest)
Perceived quality memiliki peranan penting bagi para distributor,
pengecer serta berbagai saluran distribusi lainnya, karena hal ini dapat
membantu perluasan distribusi produk. Pengecer dan saluran distribusi
lainnya akan memperoleh keuntungan bila menjual produk dengan kesan
kualitas yang baik dimata pelanggannya.
5. Perluasan Merek (Brand Extentions)
Perceived quality dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai
perluasan merek, yaitu dengan menggunakan merek tertentu untuk masuk
kedalam kategori produk baru.
2.6 Pengaruh Antar Variabel
2.6.1
Pengaruh Private Brand Strategy terhadap Shopping Preference
Private Label yang mempunyai nama lain private brand dan store brand adalah
merek yang diciptakan dan dimiliki oleh penjual eceran barang dan jasa (Kotler dan
Armstrong, 2004). Private Label adalah produk yang diberi merek oleh distributor
dan tidak secara jelas menggambarkan bahwa merek tersebut diciptakan oleh
perusahaan tertentu. Contohnya : Merek kosmetik Ms. Hellen yang di jual di toko
49
Monoprix, atau Jodhpur sebuah merek tekstil yang di jual di toko Galeries Lafayette
(Kapferer, 2008, pg. 69).
Pengenalan Private Label telah direalisasikan dengan menjual produk kualitas
rendah di harga rendah. Dalam tahap kedua, peritel
mempunyai tujuan untuk
memproduksi barang yang dapat dianggap sebagai pengganti merek nasional.
Keberhasilan ini jelas bergantung pada reputasi peritel (Raynal et al. 2007).
Private Label dapat diposisikan sebagai produk berkualitas premium dengan
tingkat harga sedikit di bawah harga produk merek nasional. Di tangan peritel posisi
Private Label murni berdasarkan nilai uang (cost). Ini setara dengan rata-rata kualitas
produk dengan harga yang sangat terjangkau (Beneke, 2010).
Private Label adalah merek yang dimiliki oleh retailer dan menjualnya sendiri ke
konsumen. Private Label
ini mempunyai pengaruh terhadap preferensi belanja
pelanggan karena konsumen akan menghubung-hubungkan antara Private Label
peritel dengan preferensi belanja pelanggan (Chen, Liang, 2009).
Giant yang mempunyai Private Label dengan nama Giant dan First Choice
mengeluarkan berbagai macam merek pribadi atau sendiri sebagai promosi untuk
membangun merek dan bersaing di pasaran untuk mendapatkan kesan kualitas yang
baik.
Berdasarkan teori – teori di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan
strategi merek pribadi perusahaan dapat mempengaruhi preferensi belanja pelanggan,
50
karena konsumen akan menghubungkan antara Private Label perusahaan atau toko
ritel dengan preferensi belanja konsumen.
2.6.2
Pengaruh Brand Equity terhadap Shopping Preference
Banyak orang telah mengasosiasikan merek dan memberi nama merek sesuai
dengan perusahaan yang membuatnya, tetapi merek – merek tersebut tetap eksis
ketika berada di pasar. Dengan sebuah merek kita dapat dengan mudah memilih
produk atau jasa yang sejenis dengan pilihan yang beragam. Karena memilih suatu
produk terkadang adalah suatu proses yang rumit, dikarenakan banyaknya
diferensiasi dari suatu produk. Suatu merek memegang peranan penting sama halnya
dengan kualitas dan harga produk itu sendiri. Saat ini merek tidak hanya dapat
mewakilkan jati diri produk atau hanya sebagai brand identity (nama, logo, dan
desain).
Dalam mengembangkan strategi pemasaran untuk produk – prouk individual,
penjual harus menghadapi keputusan pemberian merek. Pemberian merek merupakan
masalah utama dalam strategi produk. Di satu pihak, mengembangkan produk
bermerek memerlukan pengeluaran investasi jangka panjang yang besar, khususnya
untuk iklan, promosi, dan pengemasan. Banyak perusahaan berorientasi merek mensubkontrak-an proses manufakturnya pada pihak lain (Kotler, 1998, pg 63).
51
Jika perusahaan mampu membangun merek yang kuat di benak pelanggan
melalui strategi pemasaran yang tepat, perusahaan tentu mampu membangun
mereknya. Dengan demikian merek dapat memberi nilai yang ditawarkan suatu
produk kepada pelanggannya yang dinyatakan sebagai merek yang memiliki brand
equity. Suatu merek dapat dikatakan memiliki brand equity jika merek tersebut
menjadi pilihan konsumen jika ingin membeli suatu produk tertentu, dan melakukan
pembelian dari merek yang sama secara berulang – ulang.
2.6.3
Pengaruh Private Brand Strategy Terhadap Shoping Preference melalui
Brand Equity
Pengusaha ritel membangun suatu merek pribadi tentunya disebabkan oleh
suatu fenomena tertentu. Fenomena ini dapat terjadi karena konsumen sulit untuk
membedakan barang yang bermutu menengah dan barang yang bermutu tinggi hanya
dari tampilan luarnya saja, terlebih lagi jika produk tersebut dibalut oleh kemasan
yang bagus dan menarik. Maka dari itu untuk menghindari kekecewaan karena salah
dalam memilih barang maka sebagian besar konsumen akan memilih barang yang
mereknya sudah terkenal. Melihat fenomena ini maka peritel mencoba untuk
mengemas produk yang dijual dengan kemasan dan merek sendiri. Ini juga
disebabkan karena perusahaan peritel ini telah mempunyai nama yang baik, dan
dipercaya konsumen.
52
Menurut Simamora, (2003), pg 37 kemudian memberikan gambaran tentang
preferensi sebagai berikut : ”Saya lebih menyukai merek ini”, kata Susan sambil
menunjuk teh siap minum merek terkenal. Preferensi konsumen tercemin pada kata: I
prefer this brand, sebenarnya merupakan hasil proses evaluasi. Bermula dari
preferensi merek ini, tinggal selangkah lagi menuju keputusan. ”Saya lebih menyukai
merek ini” adalah preferensi. ”Saya putuskan untuk membelinya”, inilah keputusan
sebelum pembelian (pre-purchased decision). Apakah keputusan pembelian ini benar
– benar dilakukan? Belum tentu. Masih ada faktor situasi dan pengaruh orang lain
yang memungkinkan keputusan pembelian sebenarnya (purchase decision) berbeda
dari keputusan sebelumnya (pre-purchased decision).
Pada proses berdasarkan memori, informasi tentang produk yang diinginkan dan
atributnya harus dimunculkan kembali sebelum melakukan perbandingan keputusan
yang relevan. Suatu hal yang penting dan secara langsung mempengaruhi proses
komparasi atau pemilihan terhadap suatu merek yaitu preferensi konsumen
berdasarkan atribut yang mensyaratkan suatu pengetahuan dan penggunaan dari
atribut yang spesifik pada saat mengambil keputusan (Kardes dan Gibson, 1991
dalam Partikno, 2003:54).
Berdasarkan teori di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa strategi
merek pribadi dapat mempengaruhi brand equity suatu produk yang sekaligus dapat
mempengaruhi preferensi belanja pelanggan dalam memenuhi kebutuhannya dan
keinginannya.
53
2.7 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.7 Kerangka Pemikiran
Sumber : Peneliti (2012)
2.8 Hipotesis
Dalam penelitian ini terdapat 3 hipotesis yang akan diuji yaitu :
Hipotesis 1 : Private Brand Strategy dengan Brand Equity
Ho : Private Brand Strategy tidak mempunyai pengaruh terhadap Brand Equity
pada Giant Pondok Gede.
H1 : Private Brand Strategy mempunyai pengaruh terhadap Brand Equity pada
Giant Pondok Gede.
54
Hipotesis 2 : Brand Equity dengan Shoping Preference
Ho : Brand Equity tidak mempunyai pengaruh terhadap Shoping Preference pada
Giant Pondok Gede.
H1 :
Brand Equity mempuyai pengaruh terhadap Shoping Preference pada Giant
Pondok Gede.
Hipotesis 3 : Private Label Strategy dengan Shoping Preference melalui Brand
Equity
Ho
:
Private
Label
Strategy
tidak
mempunyai
pengaruh
terhadap
Shoping Preference melalui Brand Equity pada Giant Pondok Gede.
H1 : Private Label Strategy mempunyai pengaruh terhadap Shoping
melalui Brand Equity pada Giant Pondok Gede.
Preference
Download