IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI MINYAK IKAN Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak ikan hasil samping industri pengalengan ikan lemuru (Sardinella sp.) yang telah melalui proses pemurnian dan diperoleh dari daerah Muncar, Banyuwangi. Karakterisasi minyak ikan dilakukan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang akan digunakan dalam penelitian. Analisa yang dilakukan meliputi pengujian sifat fisikokimia minyak ikan yaitu bilangan asam, kadar asam lemak bebas dan bilangan penyabunan. Selain itu, untuk mengetahui komponen yang terkandung dalam minyak ikan sebelum dihidrolisis, dilakukan analisa dengan menggunakan gas chromatography mass spectrometry (GC-MS). Hasil karakterisasi sifat fisikokimia minyak ikan yang diperoleh berdasarkan pengujian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil karakterisasi sifat fisikokimia minyak ikan Karakteristik Bilangan asam Kadar asam lemak bebas Bilangan penyabunan a Satuan Nilai a mg KOH/g 3,26 10,15 % 1,49 4,6 mg KOH/g 204,81 187,4 Celik (2002) Berdasarkan Tabel 9, minyak ikan yang digunakan sebagai bahan baku untuk proses hidrolisis enzimatik dengan katalis lipase dari Aspergillus niger memiliki kualitas yang baik. Salah satu parameter yang penting sebagai syarat bahan baku untuk proses hidrolisis enzimatik adalah bilangan asam. Nilai bilangan asam minyak ikan yang digunakan adalah sebesar 3,26 mg KOH/ g minyak. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan bilangan asam minyak ikan yang digunakan dalam penelitian Celik (2002) yaitu 10,15 mg KOH/g minyak. Bilangan asam merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak ikan. Kandungan bilangan asam 32 yang tinggi dalam minyak ikan dapat menyebabkan lipase kehilangan aktivitas katalitiknya dikarenakan adanya efek asidifikasi dan mengganggu proses hidrolisis enzimatik. Kadar asam lemak bebas dalam minyak ikan hasil pengujian nilainya cukup rendah yaitu 1,49%. Menurut Ketaren (1996), kandungan asam lemak bebas terbaik adalah serendah mungkin (± 2 %). Dengan demikian nilai bilangan asam dan kadar lemak bebas yang diperoleh sesuai dengan standar mutu untuk minyak ikan berkualitas baik. Nilai tersebut juga memenuhi sifat fisikokimia minyak ikan sebagai bahan baku untuk hidrolisis menurut Celik (2002). Bilangan penyabunan menunjukkan jumlah asam lemak yang tersabunkan di dalam minyak. Nilai bilangan penyabunan yang diperoleh akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya tingkat hidrolisis pada saat pengujian. Berdasarkan analisa terhadap bahan baku yang digunakan, nilai bilangan penyabunan yang diperoleh adalah 204,81 mg KOH/g. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak ikan yang digunakan dalam penelitian Celik (2002) yaitu sebesar 187,4 mg KOH/g. Tingginya nilai bilangan penyabunan hasil pengujian dikarenakan minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini telah mulai teroksidasi. Hasil dari reaksi oksidasi minyak adalah senyawa alkana, keton dan aldehid. Kandungan senyawa lain dalam minyak seperti alkana dan aldehid, pada reaksi penyabunan akan diduga sebagai asam lemak sehingga jumlah total asam lemak tersabunkan meningkat. Menurut Staf pengajar Kimia (1997), besarnya bilangan penyabunan tergantung dari bobot molekul. Minyak yang memiliki bobot molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang tinggi. Minyak yang terdiri dari asam lemak berantai panjang akan memiliki bobot molekul yang lebih tinggi daripada asam lemak berantai pendek. Kenaikan bobot molekul ditandai dengan kenaikan titik didih. Semakin pendek dan bercabang rantai karbon, semakin rendah titik didihnya. Berdasarkan data hasil analisa dengan menggunakan gas chromatography mass spectrometry (GC-MS) pada Lampiran 3, asam lemak tidak jenuh merupakan tipe komponen yang paling banyak terdapat di dalam minyak ikan yang akan digunakan dalam proses hidrolisis. Jumlah asam lemak tidak jenuh didalam minyak ikan yang tinggi yaitu 34,98% dari seluruh total komponen, 33 menyebabkan minyak ikan berwujud cair pada suhu ruang dan rentan terhadap suhu tinggi serta oksidasi. Jenis asam lemak tidak jenuh dalam minyak ikan terdiri dari asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap (MUFA) 33,17 % yaitu asam oleat dan asam palmitoleat, asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) yaitu 5,8,11,14,17- asam eikosapentanoat 1,81%. Sedangkan kandungan asam lemak jenuh (SFA) sebesar 23,24% dari seluruh total komponen dalam minyak ikan terdiri dari asam miristat, asam palmitat dan asam stearat. Dari data hasil analisis juga diketahui dua jenis asam lemak yang dominan dari keseluruhan komponen didalam minyak ikan yaitu asam lemak oleat 26,37% yang merupakan asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap dan asam lemak palmitat 16,81% yang merupakan asam lemak jenuh. Namun, jenis asam lemak dominan dan persentase dalam minyak ikan hasil analisis berbeda dengan jenis asam lemak dan persentase pada minyak ikan komersial lainnya. Menurut Shamsudin dan Salimon (2006), perbedaan kandungan dan komposisi asam lemak dalam minyak ikan sangat dipengaruhi oleh spesies, jenis kelamin, umur, ukuran, status reproduksi dari ikan tersebut, musim perairan dan lokasi geografi. Selain asam lemak, pada minyak ikan hasil pengujian juga terdapat komponen lain yang terlarut didalamnya seperti senyawa alkana 11.19%, squalen 4,75%, aldehid 0,88% dan lanol 24,96%. Komponen lain seperti aldehid dan alkana diduga berasal dari oksidasi asam lemak tidak jenuh dalam minyak ikan. Aldehid dan alkana bila bereaksi dengan basa dapat diduga sebagai asam lemak sehingga dapat meningkatkan bilangan penyabunan pada minyak ikan. B. PENGUKURAN AKTIVITAS SPEKTROFOTOMETRI LIPASE DENGAN METODE Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah lipase (gliserol ester hidrolase, EC 3.1.1.3) dari Aspergillus niger yang mempunyai spesifisitas posisional memutus ikatan triasilgliserol pada posisi stereochemical numbering (sn)1 dan 3. Lipase tersebut diperoleh dari Amano Pharmaceutical Manufacturing Co, Jepang. Pengukuran aktivitas lipase dengan metode spektrofotometri dilakukan untuk mengetahui aktivitas lipase dari Aspergillus niger yang akan 34 digunakan dalam satuan Unit, sehingga dapat diketahui banyaknya lipase dari Aspergillus niger yang dibutuhkan untuk proses hidrolisis enzimatik minyak ikan. Dalam metode spektrofotometri, lipase pada prinsipnya mempengaruhi secara umum pemutusan ikatan ester berbagai macam substrat ester karboksil seperti p-nitrophenyl butyrate. Substrat p-nitrophenyl butyrate dihidrolisis oleh lipase untuk menghasilkan asam lemak dan p-nitrophenol. Hasil hidrolisis pnitrophenol yang berwarna kekuningan hanya dapat terbaca pada panjang gelombang λ 400nm sampai 410 nm dalam media basa dengan pH 7,2. Mekanisme rekasi hidrolisis p-nitrophenyl butyrate dengan katalis lipase dapat dilihat pada Gambar 7. Lipase Gambar 7. Mekanisme rekasi hidrolisis p-nitrophenyl butyrate dengan katalis lipase (Shirai dan Jackson, 1982) Menurut Ozturk (2001), satu Unit aktivitas lipase pada metode spektrofotometri didefinisikan sebagai kemampuan sejumlah enzim untuk membebaskan satu µmol p-nitrophenol dari pNP butyrate sebagai substrat dalam waktu 30 menit pada kondisi pH, komposisi buffer dan suhu standar. Hasil pengukuran aktivitas lipase dari Aspergillus niger dengan metode spektrofotometri disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil pengukuran aktivitas lipase dari Aspergillus niger dengan metode spektrofotometri a No. Pengujian Satuan Nilai a 1 Aktivitas lipase dari Aspergillus niger Unit/g 7939,97 12000 Amano Pharmaceutical Manufacturing Co.(2009) Berdasarkan Tabel 10, lipase dari Aspergillus niger yang digunakan pada penelitian ini mempunyai aktivitas sebesar 7939,97 Unit/g. Nilai aktivitas lipase hasil pengujian tersebut mengalami penurunan sebesar 4060,03 Unit/g jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Amano Pharmaceutical 35 Manufacturing Co., sebagai industri yang menyediakan lipase dari Aspergillus niger yang digunakan dalam penelitian ini. Penurunan nilai aktivitas tersebut diduga karena lipase berada dalam kondisi lingkungan yang kurang baik selama distribusi dan penyimpanan untuk waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan penurunan nilai aktivitas enzim ketika digunakan untuk proses hidrolisis. Menurut Ozturk (2001), penyimpanan lipase untuk waktu yang cukup lama dalam keadaan kering menyebabkan lipase kehilangan aktivitas dari nilai yang sesungguhnya dan mengganggu stabilitas lipase ketika digunakan. Berdasarkan hasil penelitian penyimpanan lipase terbaik di lakukan dalam larutan buffer dengan komposisi 0.1 M buffer fosfat, pH 7.0 dan pada suhu 40C. Besarnya nilai aktivitas dan stabilitas lipase sangat tergantung pada sumber penghasil lipase, tipe kondisi lingkungan seperti pH, suhu, dan ada tidaknya larutan buffer. C. PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA PENGARUH FAKTOR REAKSI TERHADAP TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK IKAN PADA MEDIA TANPA PENAMBAHAN PELARUT ORGANIK HEKSANA Pada reaksi hidrolisis enzimatik, lipase mengkatalisis pemutusan ikatan ester pada triasilgliserol seiring dengan konsumsi sejumlah molekul air (Akoh dan Min, 1998). Sedangkan pada proses hidrolisis enzimatik minyak ikan, lipase dari Aspergillus niger memutus ikatan triasilgliserol pada posisi stereochemical numbering (sn)1 dan 3 yang menghasilkan monoasilgliserol, diasilgliserol, gliserol dan asam lemak bebas. Keberhasilan suatu reaksi hidrolisis dapat diketahui dengan pendekatan terhadap perubahan salah satu parameter fisikokimia minyak ikan yaitu bilangan asam. Indikator terjadinya reaksi hidrolisis adalah terbentuknya asam lemak bebas, gliserol, dan asilgliserol. Peningkatan nilai bilangan asam menunjukkan semakin besar jumlah asam lemak bebas yang dihasilkan dari proses hidrolisis enzimatik minyak ikan. Perubahan nilai bilangan asam sebelum dan sesudah reaksi hidrolisis enzimatik minyak ikan digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat hidrolisis yang diperoleh. Penggunaan lipase sebagai katalis dalam proses hidrolisis enzimatik minyak ikan, aktivitas dan stabilitasnya sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor 36 antara lain suhu, pH, penambahan air, konsentrasi substrat dan adanya senyawa penghambat (Zarevucka dan Wimmer, 2008). Menurut Pera et al. (2006), faktor yang paling berpengaruh terhadap aktivitas lipolitik dan stabilitas lipase dari Aspergillus niger adalah suhu inkubasi, derajat keasaman (pH) dan penambahan air media. 1. Hubungan antara Suhu Inkubasi dengan Tingkat Hidrolisis Pada hidrolisis enzimatik minyak ikan dalam media tanpa penambahan pelarut organik heksana, lipase dari Aspergillus niger mempunyai suhu optimum yang khas yaitu suhu dimana enzim menunjukkan aktivitas yang optimum. Penggunaan suhu yang tinggi diperlukan untuk meningkatkan laju reaksi dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kontak fisik antara enzim dan substratnya. Namun, suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan rusaknya enzim yang digunakan dan berkurangnya kestabilan enzim karena terjadi denaturasi protein enzim. Kurva hubungan antara suhu dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana disajikan pada Gambar 8. 8.00 Tingkat Hidrolisis (%) 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 25 35 45 Suhu 55 65 (OC) Tingkatl hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan heksana Tingkat hidrolisis kontrol tanpa katalis lipase pada media tanpa penambahan heksana Gambar 8. Kurva hubungan antara suhu dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana (pH 7) 37 Berdasarkan Gambar 8, pada reaksi hidrolisis minyak ikan selama 48 jam dengan rentang suhu pengujian 25oC-65oC dalam media tanpa penambahan pelarut organik heksana, sampel yang menggunakan lipase dari Aspergillus niger sebagai katalis, memberikan hasil dengan tingkat hidrolisis yang signifikan yaitu lebih dari 2%. Jika dibandingkan dengan kontrol tanpa penambahan lipase, tingkat hidrolisis yang diperoleh kurang dari 1%. Hal tersebut membuktikan bahwa tingginya tingkat hidrolisis pada rentang suhu pengujian bukan hanya dikarenakan adanya molekul air dan panas, akan tetapi juga disebabkan adanya aktivitas katalitik yang dilakukan lipase dari Aspergillus niger terhadap minyak ikan. Penggunaan suhu inkubasi dalam hidrolisis minyak ikan dengan katalis lipase dari Aspergillus niger pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana, memberikan hasil tingkat hidrolisis tertinggi pada penggunaan suhu inkubasi 45oC yaitu 6,79%. Sedangkan tingkat hidrolisis terendah yaitu 2,77%, diperoleh pada penggunaan suhu inkubasi 25 oC. Peningkatan suhu inkubasi dari suhu 25oC menjadi 35oC menyebabkan tingkat hidrolisis yang diperoleh meningkat 1,37% sehingga diperoleh tingkat hidrolisis 4,15%. Sedangkan peningkatan penggunaan suhu inkubasi dari 35oC menjadi 45oC memberikan kenaikan tingkat hidrolisis tertinggi yaitu 2,64%. Penggunaan suhu yang tinggi pada reaksi hidrolisis enzimatik minyak ikan akan meningkatkan hasil konversi yaitu mempercepat kenaikan konsentrasi asam lemak bebas dan memperbesar penurunan konsentrasi air, sehingga energi untuk mengaktifkan katalis lipase dan tumbukan antar pereaksi untuk menghasilkan reaksi juga akan bertambah, akibatnya produk yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Pada penggunaan suhu reaksi yang terlalu rendah menyebabkan laju reaksi berjalan lambat, akibatnya tumbukan antar pereaksi rendah dan minyak tidak terhidrolisis secara sempurna sehingga asam lemak bebas yang terbentuk rendah dan tingkat hidrolisis yang diperoleh kecil, hal tersebut sesuai dengan teori Arrhenius. Westerterp (1984) menyatakan bahwa kenaikan suhu akan menaikkan nilai konstanta kecepatan reaksi, dimana kenaikan 10°C suhu reaksi menaikkan konstanta kecepatan reaksi sebanyak dua kali dari nilai awal. 38 Namun setelah mencapai suhu yang optimum yaitu suhu 45°C, peningkatan suhu inkubasi 10°C akan menurunkan laju reaksi pembentukan asam lemak bebas. Akibatnya tingkat hidrolisis pada suhu 55°C dan 65°C yang dihasilkan menurun 2,21% dan 3,66% dari tingkat hidrolisis tertinggi, sehingga diperoleh tingkat hidrolisis 4,67% dan 3,13%. Suhu yang tinggi selain dapat meningkatkan laju reaksi juga dapat menyebabkan rusaknya enzim yang digunakan karena kestabilan enzim semakin berkurang sejalan dengan meningkatnya suhu. Kestabilan enzim berkaitan dengan komposisi enzim yang umumnya merupakan polipetida yang tersusun dari asam amino melalui ikatan kovalen membentuk struktur tiga dimensi. Suhu yang tinggi akan menyebabkan rantai polipeptidanya membuka menjadi bentuk tidak teratur. Hal tersebut mengakibatkan enzim mengalami denaturasi dikarenakan deformasi atau perubahan bentuk struktur tersier atau struktur tiga dimensi lipase dari Aspergillus niger yang menyebabkan kerusakan pada sisi aktifnya dan menginaktifkan enzim tersebut. Perubahan ini semakin berlanjut dengan semakin tingginya suhu reaksi hidrolisis. Oleh sebab itu, aktivitas katalitiknya semakin rendah pada setiap peningkatan suhu 10°C dari suhu inkubasi optimumnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kamarudin et al. (2008), pada reaksi menggunakan suhu tinggi struktur tersier enzim terganggu akibat terjadi denaturasi. 2. Hubungan antara Derajat Keasaman (pH) dengan Tingkat Hidrolisis Derajat keasaman (pH) media juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja lipase. Menurut Ozturk (2001), setiap enzim mempunyai pH optimal yang membantu menjaga konformasi alaminya dalam lingkungan dimana enzim bekerja. Struktur tersier dari protein sangat tergantung pada interaksi ikatan hidrogen diantara gugus R. Perubahan pH media dapat menyebabkan ionisasi pada sisi rantai asam amino dan mengganggu konformasi alaminya sehingga mendenaturasi enzim. Kurva hubungan antara pH dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana disajikan pada Gambar 9. 39 Tingkat Hidrolisis (%) 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 5 6 7 8 9 pH Tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan heksana Tingkat hidolisis kontrol tanpa katalis lipase pada media tanpa penambahan heksana Gambar 9. Kurva hubungan antara pH dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana (suhu 45oC) Dari hasil analisa yang ditunjukkan pada Gambar 9, pada reaksi hidrolisis enzimatik minyak ikan selama 48 jam dengan penggunaan pH media yang berbeda yaitu pH 5-9, diketahui bahwa peningkatan pH yang digunakan menyebabkan penurunan tingkat hidrolisis yang diperoleh. Tingkat hidrolisis yang memberikan nilai tertinggi diperoleh pada hidrolisis dengan menggunakan media pH 5 yaitu 28,07%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Petersen et al. (2001) bahwa lipase dari Aspergillus niger akan aktif pada kondisi lingkungan yang asam dengan aktivitas optimumnya pada pH 4,5-6,5. Penggunaan nilai pH dibawah rentang pH optimum menyebabkan enzim mengalami penggumpalan karena titik isoelektrik lipase dari Aspergillus niger berada pada pH 4,1. Pada penggunaan media pH 6, tingkat hidrolisis yang diperoleh lipase dari Aspergillus niger mengalami penurunan sebesar 19,73% dari tingkat hidrolisis tertingginya, hal tersebut dikarenakan enzim mengalami denaturasi. Denaturasi sisi aktif enzim dikarenakan ion H+ berikatan dengan NH3+ pada 40 struktur asam amino protein membentuk NH4-. Proses pengikatan tersebut menyebabkan ikatan antara atom nitrogen dengan atom hidrogen lainnya terputus, sehingga enzim terdenaturasi. Penurunan tingkat hidrolisis terbesar diperoleh pada penggunaan pH media yang bersifat netral cenderung ke arah basa yaitu pada pH 7, 8 dan 9 dengan penurunan tingkat hidrolisis lebih dari 20%. Penurunan tingkat hidrolisis tersebut dikarenakan lipase mengalami denaturasi akibat konformasi lipase terganggu, sehingga struktur tiga dimensi enzim mengalami kerusakan. Rusaknya struktur enzim ini dikarenakan pada kondisi tersebut gugus OH- dari lingkungan akan berikatan dengan ion H+ dari gugus COO- sisi aktif enzim membentuk H2O. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya ikatan antara atom hidrogen dengan nitrogen atau oksigen, akibatnya enzim kehilangan aktivitas katalitiknya. Pada kontrol tanpa menggunakan lipase sebagai katalis dalam reaksi hidrolisis minyak ikan, menunjukkan tingkat hidrolisis yang lebih kecil jika dibandingkan dengan tingkat hidrolisis enzimatik yaitu kurang dari 5%. Hal tersebut membuktikan bahwa tingginya tingkat hidrolisis yang diperoleh pada rentang pH pengujian jika dibandingkan dengan kontrol dikarenakan adanya aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger dalam menghidrolisis minyak ikan. D. PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA PENGARUH FAKTOR REAKSI TERHADAP TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK IKAN PADA MEDIA YANG DITAMBAHKAN PELARUT ORGANIK HEKSANA Mekanisme pengikatan enzim terhadap substrat minyak diawali dengan pembentukan kompleks substrat-enzim. Hal ini dikemukakan oleh Lehninger (1982). Enzim bergabung dengan molekul substrat sebagai tahap yang harus dilalui dalam katalitik enzim. Enzim pertama-tama bergabung dengan molekul substrat dalam reaksi yang reversibel membentuk kompleks enzim-substrat (ES) dimana reaksi ini berlangsung dengan cepat. Kompleks ES kemudian terurai dalam reaksi reversibel kedua menghasilkan produk dan enzim dibebaskan. Menurut Dordick (1991), proses hidrolisis dengan katalis lipase membutuhkan interfase sebagai tempat berlangsungnya reaksi, dimana substrat 41 pada fase lipid dan lipase pada fase air akan berpartisi ke interfase. Aktivasi lipase pada interfase disebabkan oleh perubahan konformasi enzim dengan membukanya struktur heliks protein yang menutupi sisi aktif enzim. Mekanisme kerja lipase dalam mengkatalisis reaksi hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 10. ( Fase Lipid ) ( Fase Interfase ) ( Fase Air ) Keterangan : E = Enzim ; S=Substrat dan P = Produk Gambar 10. Mekanisme kerja lipase dalam mengkatalisis pada reaksi hidrolisis enzimatik (Dordick, 1991). Sisi aktif lipase dari Aspergillus niger terdiri dari trio residu asam amino yaitu serin, aspartat dan histidin yang bersifat hidrofilik (Nuraida et al., 2000). Dalam struktur enzim, sisi aktif ini tersembunyi dibalik suatu tutup, yaitu polipeptida yang sering disebut sebagai lid enzim. Secara fisiologis lid enzim tersebut berfungsi untuk mencegah kerusakan sisi aktif asam-asam amino yang akan berdampak terhadap aktivitas enzim. Lid enzim ini bersifat fleksibel, mengandung residu triptofan yang bersifat non polar dan pada waktu membuka menyebabkan substrat dapat mencapai sisi aktif enzim. Pada saat enzim inaktif, sisi aktif lipase masih berada dalam keadaan tertutup karena lid berinteraksi dengan residu hidrofobik di sekitar inti katalitik. Keberadaan lingkungan hidrofobik (non polar) di sekitar enzim akan memberikan kesempatan bagi lid untuk membuka, karena adanya interaksi antara area non polaroik dengan lingkungan hidrofobik. Perubahan struktur yang menyebabkan terbukanya sisi aktif memudahkan substrat berupa minyak ikan untuk berafinitas dengan sisi aktif lipase, sehingga meningkatkan terjadinya proses hidrolisis enzimatik. 42 Pada tahapan ini, penambahan pelarut organik heksana yang bersifat non polar (hidrofobik) dengan nilai log P 3,5 dalam campuran antara minyak ikan dengan larutan enzim merupakan salah satu cara untuk menciptakan kondisi lingkungan hidrofobik bagi enzim dan menekan kemungkinan reaksi hidrolisis bukan karena enzim tetapi oleh air. Pelarut heksana ini akan membuka lid enzim dan meningkatkan daya larut substrat menuju sisi aktif enzim, sehingga memudahkan terjadinya reaksi hidrolisis. Menurut studi yang telah dilakukan Krieger et al. (2004), stabilitas protein enzim akan lebih baik dan meningkat pada penggunaan pelarut organik hidrofobik dengan nilai log P antara 2 sampai 4, dimana pelarut heksana termasuk dalam rentang nilai tersebut. 1. Hubungan antara Penambahan Air dengan Tingkat Hidrolisis Reaksi yang dikatalisis oleh lipase diduga terjadi melalui pembentukan suatu senyawa intermediet asil-enzim. Mekanisme katalitik yang diasumsikan untuk lipase triasilgliserol berpusat pada sisi aktif serin. Nukleofil oksigen pada sisi aktif serin triasilgliserol. berbentuk Ikatan ester tetrahedral pada hemicetal hemicetal intermediet tersebut dengan dihidrolisis dan diaasilgliserol dilepaskan. Sisi aktif serin dan asil ester kemudian bereaksi dengan molekul air dan asil enzim dilepaskan sehingga asam lemak dibebaskan (Petterson et al,. 2001). Menurut Hariyadi (1995), jenis reaksi yang terjadi pada suatu senyawa intermediet asil-enzim sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan, terutama jumlah air dalam campuran reaksi. Dalam kondisi akueous dimana terdapat banyak air, reaksi akan diarahkan ke hidrolisis minyak. Sebaliknya dalam kondisi jumlah air terbatas (mikroakueus) maka gugus asil dari senyawa intermediet asil-enzim akan ditransfer ke molekul lain yang terdapat di dalam substrat seperti gliserol, alkohol atau bentuk ester lainnya. Dalam hal ini reaksi diarahkan ke reaksi sintesis produk melalui pemindahan atau pertukaran gugus asil. Mekanisme reaksi yang dikatalisis oleh lipase dapat dilihat pada Gambar 11. 43 Gambar 11. Mekanisme reaksi yang dikatalisis oleh lipase (Hariyadi, 1995) Pada proses hidrolisis enzimatik walaupun menggunakan pelarut organik heksana sebagai media, sejumlah air secara mutlak dibutuhkan untuk mengaktifkan sisi katalitik enzim. Pada kondisi lingkungan hidrofobik, jumlah air minimum yang diperlukan untuk proses aktivasi katalitik lipase tersebut sebenarnya hanya dalam jumlah kecil, yaitu sekitar 50% dari jumlah air yang diperlukan untuk membentuk selapis (monolayer) molekul air yang menutup permukaan enzim (Turner et al., 2003). Gubicza et al. (2000) menyatakan air berguna untuk menghubungkan substrat ke sisi aktif enzim melalui ikatan kovalen (ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, interaksi elektrostatik dan gaya Van der Walls) yang mempertahankan konformasi katalitik alami dari enzim, meningkatkan fleksibilitas dan mobilitas enzim dalam menghidrolisis substratnya. Kurva hubungan antara penambahan air dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana disajikan pada Gambar 12. 44 80.00 Tingkat Hidrolisis (%) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 1 2 3 4 5 Penambahan Air v/v (%) Tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan heksana Tingkat hidolisis kontrol tanpa katalis lipase pada media yang ditambahkan heksana Gambar 12. Kurva hubungan antara penambahan air dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana (pH 5 dan suhu 45oC) Berdasarkan Gambar 12, dapat diketahui bahwa dengan penambahan pelarut organik heksana ke dalam campuran larutan enzim dengan minyak dapat meningkatkan aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger. Hal tersebut terlihat pada semakin meningkatnya tingkat hidrolisis minyak ikan yang dapat dicapai lipase setelah penambahan pelarut organik heksana dan sejumlah air, jika dibandingkan dengan kontrol tanpa penambahan lipase ke dalam campuran reaksi. Kontrol hasil hidrolisis digunakan untuk membuktikan adanya aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana. Pada kontrol, terjadinya hidrolisis minyak ikan tidak disebabkan karena penambahan pelarut organik heksana ke media reaksi. Sedangkan tingkat hidrolisis yang berkisar 5% pada kontrol diduga merupakan hasil hidrolisis dikarenakan adanya sejumlah air dan panas pada media reaksi. Berbeda dengan hasil hidrolisis minyak ikan dengan katalis lipase dari Aspergillus niger yang tingkat hidrolisisnya lebih dari 55% dengan adanya penambahan pelarut organik heksana. Tingginya tingkat hidrolisis yang 45 diperoleh pada hidrolisis enzimatik minyak ikan dikarenakan penambahan pelarut organik heksana berfungsi untuk membuat lipase menjadi lebih rigid (kaku) dalam menjaga konformasi alami enzim pada kondisi mikroakueus, sehingga lipase lebih stabil terhadap perubahan kondisi lingkungan yang terjadi selama proses katalitik berlangsung. Selain itu, pelarut organik heksana tidak dapat memotong ikatan antara air dengan enzim yang dibutuhkan untuk menjaga sisi aktif enzim dalam konformasi alaminya yang menunjang keberlangsungan reaksi hidrolisis. Dari kurva hubungan antara penambahan air dengan tingkat hidrolisis dapat diketahui bahwa penambahan air 5% v/v larutan merupakan jumlah minimum air yang dibutuhkan oleh lipase dari Aspergillus niger pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana untuk membentuk selapis (monolayer) molekul air yang menutup permukaan enzim. Oleh sebab itu, lipase tetap dapat mengaktifkan sisi-sisi katalitiknya dan memelihara konformasi alaminya (struktur tiga dimensi) supaya terjadi migrasi asil kearah pembentukan produk dengan parameter asam lemak bebas yang meningkat, sehingga diperoleh tingkat hidrolisis tertinggi yaitu 75,12% pada rentang penambahan air pengujian. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Paiva et al. (2000) bahwa penggunaan air optimum untuk mendukung aktivitas lipase dalam pelarut organik berada pada rentang 0,75-5%v/v larutan. Menurut Turner et al.(2003), dalam kondisi lingkungan hidrofobik aktivitas katalitik enzim tertinggi diperoleh pada penggunaan air kurang dari 10% v/v larutan. Penggunaan jumlah penambahan air yang lebih kecil dari jumlah penambahan air yang memberikan tingkat hidrolisis tertinggi akan menyebabkan penurunan tingkat hidrolisis yang diperoleh. Oleh karena itu, pada penambahan air 4%v/v larutan menyebabkan penurunan tingkat hidrolisis sebesar 11,12% dari tingkat hidrolisis tertingginya. Sedangkan penurunan tingkat hidrolisis lebih dari 13% dari tingkat hidrolisis tertinggi terjadi pada nilai penambahan air 3%v/v, 2%v/v dan 1%v/v, dengan tingkat hidrolisis terendah yaitu 58,98% pada penggunaan penambahan air 1%v/v larutan. Hal tersebut dikarenakan jumlah air yang terlalu sedikit akan mengurangi kemungkinan kontak fisik antara lipase dari Aspergillus niger dengan air 46 sebagai pereaksi yang berguna untuk mengaktifkan sisi katalitik lipase, sehingga proses hidrolisis enzimatik tidak berjalan optimal. Selain itu, jumlah air yang terlalu sedikit menyebabkan sisi aktif asil ester serin tidak dapat bereaksi dengan molekul air untuk memotong asil enzim dan membentuk produk. Menurut Suan (2005), jumlah optimal air yang diperlukan dalam kondisi mikroakueus tergantung oleh beberapa parameter meliputi jenis pelarut organik, polaritas sisi aktif enzim, jenis substrat, dan kondisi reaksi. 2. Hubungan antara Suhu dengan Tingkat Hidrolisis Penambahan pelarut organik hidrofobik heksana selain meningkatkan aktivitas enzim juga dapat menggeser kesetimbangan termodinamika dan termostabilitas enzim untuk meningkatkan laju reaksi hidrolisis (Rahman et al., 2006). Namun, berdasarkan hasil pengujian penambahan pelarut organik heksana pada media reaksi hanya meningkatkan aktivitas katalitik dan termostabilitas lipase dari Aspergillus niger dalam reaksi hidrolisis enzimatik dan tidak menyebabkan pergeseran suhu optimum dari lipase. Kurva hubungan antara suhu dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana disajikan pada Gambar 13. Tingkat Hidrolisis (%) 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 25 35 45 55 65 Suhu (OC) Tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan heksana Tingkat hidrolisis kontrol tanpa katalis lipase pada media yang ditambahkan heksana Tingkatl hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan heksana Gambar 13. Kurva hubungan antara suhu dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana (pH 5 dan penambahan air 5%v/v) 47 Dari Gambar 13, diketahui bahwa dengan penambahan pelarut organik heksana, tingkat hidrolisis yang dihasilkan oleh lipase dari Aspergillus niger mempunyai persentase yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan tingkat hidrolisis yang diperoleh pada hidrolisis enzimatik tanpa penambahan pelarut organik heksana dan kontrol tanpa katalis lipase. Kontrol hasil hidrolisis digunakan untuk membuktikan adanya aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana. Pada kontrol, terjadinya hidrolisis minyak ikan bukan disebabkan penambahan pelarut organik heksana kedalam media reaksi. Tingkat hidrolisis yang berkisar 5% pada kontrol diduga merupakan hasil hidrolisis karena adanya sejumlah air dan panas pada media reaksi. Tingginya tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan yang ditambahkan pelarut organik heksana membuktikan bahwa penambahan heksana kedalam media reaksi meningkatkan aktivitas katalitik dan termostabilitas lipase dari Aspergillus niger dalam menghidrolisis minyak ikan. Oleh karena itu, peningkatan hasil hidrolisis dengan adanya penambahan pelarut organik heksana kedalam media reaksi terjadi pada semua suhu pengujian. Bila dilihat dari kurva hubungan antara suhu dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana, maka rentang suhu 25-55oC merupakan rentang suhu yang memberikan tingkat hidrolisis yang cukup tinggi. Tingkat hidrolisis tertinggi yaitu 74,83% diperoleh pada penggunaan suhu inkubasi 45oC. Tingginya tingkat hidrolisis yang diperoleh pada rentang suhu tersebut dikarenakan pada kondisi lingkungan hidrofobik mikroakueus dimana jumlah air terbatas, maka peningkatan suhu inkubasi hingga mencapai suhu optimumnya akan meningkatkan kelarutan substrat yaitu minyak ikan ke dalam pelarut organik heksana, sehingga substrat akan dibawa oleh pelarut heksana melalui kantung hidrofobik enzim menuju sisi katalitiknya untuk dihidrolisis. Selain itu, kenaikan suhu akan menyebabkan peningkatan migrasi asil enzim dari senyawa intermediet asil-enzim kearah pembentukan produk. Peningkatan suhu inkubasi 10oC pada suhu 25oC dan 35oC memberikan kenaikan terhadap tingkat hidrolisis sebesar 1,5%.dan 23,83%, sehingga 48 diperoleh tingkat hidrolisis 49,50% dan 51,00%. Tingkat hidrolisis tersebut jika dibandingkan dengan tingkat hidrolisis yang diperoleh pada suhu 45 oC nilainya lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan kelarutan substrat yaitu minyak ikan dalam pelarut heksana untuk menuju sisi katalitik enzim lebih rendah jika dibandingkan pada suhu optimumnya, sehingga proses hidrolisis minyak ikan tidak berjalan optimal. Penggunaan suhu inkubasi yang lebih tinggi 10oC dari suhu optimumnya yaitu suhu 55oC, menyebabkan enzim mulai mengalami deaktivasi akibat terdenaturasi protein enzim pada suhu tinggi, sehingga tingkat hidrolisisnya mengalami penurunan sebesar 23,02% dari tingkat hidrolisis tertinggi. Rendahnya tingkat hidrolisis yang diperoleh pada suhu 65oC hingga berada pada nilai 8,33% atau turun 66,5% dari tingkat hidrolisis tertingginya, mengindikasikan enzim mengalami denaturasi protein enzim secara besarbesaran, sebab suhu 65oC nilainya mendekati titik didih heksana pada 69oC yang menyebabkan struktur tiga dimensi dari enzim mulai mengalami kerusakan karena pelarut organik heksana tidak dapat mempertahankan konformasi alami lipase dari Aspergillus niger, sehingga aktivitas katalitiknya rendah. Dari kurva hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan, pada media tanpa dan yang ditambahkan pelarut organik heksana dapat diketahui bahwa penambahan pelarut heksana pada penggunaan suhu inkubasi 25oC dan 35oC pada media reaksi menyebabkan tingkat hidrolisisnya meningkat 46,73% dan 46,85% dari nilai hidrolisis enzimatik dalam media tanpa penambahan pelarut heksana pada suhu yang sama. Peningkatan aktivitas katalitik lipase terbesar diperoleh pada hidrolisis minyak ikan dalam media yang ditambahkan pelarut organik heksana dengan suhu inkubasi 45oC, dimana tingkat hidrolisisnya mencapai 74,83%. Tingkat hidrolisis tersebut meningkat 68,2% dari tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan pelarut heksana pada suhu 45oC. Meningkatnya hasil hidrolisis pada media yang ditambahkan pelarut heksana disebabkan pada kondisi mikroakueus (penambahan air 5%v/v larutan) membuat konformasi alami lipase dari Aspergillus niger yang awalnya bersifat fleksibel karena adanya air menjadi lebih rigid (kaku). Selain itu, pelarut organik hidrofobik mempunyai konstanta dielektrika yang rendah, sehingga 49 dapat memperkuat dan menstabilkan struktur enzim secara keseluruhan jika dibandingkan dengan hasil hidrolisis enzimatik tanpa penambahan pelarut heksana, dimana banyaknya kandungan air didalamnya menyebabkan struktur enzimnya bersifat labil dan mempercepat terjadinya denaturasi enzim oleh panas. Peningkatan hasil hidrolisis pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana juga terjadi pada penggunaan suhu yang lebih tinggi dari suhu optimumnya yaitu pada suhu 55oC dan 65oC, dimana tingkat hidrolisis yang diperoleh jika dibandingkan dengan tingkat hidrolisis enzimatik pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana nilainya meningkat 47,14% dan 4,9%. Hal tersebut dikarenakan kenaikan rigiditas molekul lipase membuat enzim lebih tahan terhadap panas (termostabilitas meningkat) dan tidak mudah terdenaturasi pada suhu tinggi. Basri et al. (1994) menyatakan bahwa interaksi hidrofobik antara pelarut dengan enzim akan meningkat pada suhu tinggi hingga mencapai titik dimana enzim mulai mengalami denaturasi. 3. Hubungan antara Derajat Keasaman (pH) dengan Tingkat Hidrolisis Pada tahap pengujian pengaruh penambahan pelarut heksana pada berbagai pH pengujian dengan rentang pH 5 sampai pH 9, penambahan pelarut heksana pada hidrolisis enzimatik minyak ikan tidak menyebabkan pergeseran stabilitas pH optimum, akan tetapi hanya meningkatkan aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger pada pH optimum. Menurut Suan (2005), stabilitas enzim terhadap pH tergantung pada beberapa faktor antara lain suhu, kekuatan ion, komposisi buffer yang digunakan, jenis pelarut organik yang ditambahkan dan konsentrasi komponen yang terlibat dalam reaksi. Kurva hubungan antara pH dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana disajikan pada Gambar 14. 50 80.00 Tingkat Hidrolisis (%) 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 5 6 7 8 9 pH Tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan heksana Tingkat hidrolisis kontrol tanpa katalis lipase pada media yang ditambahkan heksana Tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan heksana Gambar 14. Kurva hubungan antara pH dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana (suhu 45oC dan penambahan air 5%v/v) Gambar 14 memperlihatkan aktivitas hidrolisis minyak ikan oleh lipase dari Aspergillus niger yang dinyatakan dalam tingkat hidrolisis pada berbagai pH pengujian. Pada media yang ditambahkan heksana diperoleh tingkat hidrolisis enzimatik pada berbagai pH pengujian yang lebih tinggi daripada tingkat hidrolisis yang diperoleh pada kontrol. Hal tersebut membuktikan adanya aktivitas katalitik oleh lipase dari Aspergillus niger pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana. Tingkat hidrolisis pada kontrol yang berkisar 2% diduga merupakan hasil hidrolisis minyak ikan dikarenakan adanya sejumlah air dan panas, bukan dikarenakan terhidrolisis oleh pelarut organik heksana yang ditambahkan. Dari kurva hubungan antara pH dengan tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana diketahui bahwa pH 5 merupakan pH optimum, dimana lipase dari Aspergillus niger 51 dalam melakukan aktivitas katalitiknya. Hal tersebut dapat dilihat pada tingginya tingkat hidrolisis yang mencapai 74,51%. Peningkatan penggunaan nilai pH yang lebih tinggi dari pH optimumnya menyebabkan penurunan tingkat hidrolisis yang diperoleh. Pada penggunaan media dengan pH 6 tingkat hidrolisis yang diperoleh lipase dari Aspergillus niger mengalami penurunan sebesar 62,42% dari tingkat hidrolisis tertingginya. Hal tersebut disebabkan pada pH 6 lipase mengalami denaturasi sisi aktif enzim karena ion H+ berikatan dengan NH3+ pada struktur asam amino protein membentuk NH4-. Proses pengikatan tersebut menyebabkan ikatan antara atom nitrogen dengan atom hidrogen lainnya terputus, sehingga enzim mengalami denaturasi. Sedangkan pada PH 7, 8 dan 9, tingkat hidrolisis yang dihasilkan oleh lipase dari Aspergillus niger menurun hingga 70% dari tingkat hidrolisis pada pH 5. Penurunan tingkat hidrolisis terbesar pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana terjadi pada penggunaan pH 8 dan 9, dimana tingkat hidrolisis yang diperoleh yaitu 2,95% nilainya tidak berbeda secara signifikan dengan tingkat hidrolisis pada kontrol. Hal itu mengindikasikan bahwa pada pH 8 dan 9, penurunan tingkat hidrolisis dikarenakan enzim mengalami denaturasi akibat konformasi enzim berubah, sehingga menyebabkan kerusakan pada struktur tiga dimensi enzim. Rusaknya struktur enzim pada kondisi tersebut disebabkan gugus OH- dari lingkungan akan berikatan dengan ion H+ dari gugus COO-, sehingga sisi aktif enzim membentuk H2O. Hal tersebut mengakibatkan rusaknya ikatan antara atom hidrogen dengan nitrogen atau oksigen, yang dibutuhkan untuk mengikat substrat dan mengubah substrat menjadi produk. Berdasarkan kurva hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa dan yang ditambahkan pelarut organik heksana dapat diketahui bahwa penambahan pelarut organik heksana kedalam media yang bersifat asam yaitu pH 5 dan 6 akan meningkatkan aktivitas katalitik lipase dari Aspergillus niger. Hal tersebut terlihat pada tingginya tingkat hidrolisis yang dihasilkan pada kedua pH tersebut, jika dibandingkan dengan tingkat hidrolisis yang diperoleh pada hidrolisis enzimatik tanpa penambahan pelarut organik heksana. Peningkatan aktivitas katalitik lipase terbesar diperoleh pada penambahan pelarut heksana pada media dengan pH 5, dimana tingkat hidrolisisnya 52 meningkat 46,44% dari tingkat hidrolisis tanpa penambahan pelarut heksana pada pH yang sama. Sedangkan pada pH 6, penambahan pelarut heksana hanya memberikan kenaikan 3,75%. Tingginya tingkat hidrolisis yang diperoleh pada pH 5 dikarenakan pelarut organik heksana pada kondisi pH yang optimum untuk lipase bekerja, dapat meningkatkan stabilitas gugus ionik pada enzim, dimana gugus ionik ini berperan dalam menjaga konformasi alami sisi aktif enzim dalam mengikat substrat yaitu minyak ikan dan dalam pengubahan minyak ikan menjadi diasilgliserol, monoasilgliserol, gliserol, dan asam lemak bebas. Lipase dalam pelarut organik hidrofobik menjadi tidak stabil pada kondisi basa (pH>7) dan kondisi yang cenderung asam (pH<5) (Akova dan Ustun, 2000). Hal tersebut sesuai dengn hasil pengujian dimana pada media dengan pH yang bersifat netral yaitu pH 7, penambahan pelarut organik heksana menyebabkan terjadinya deaktivasi lipase dari Aspergillus niger, sehingga menyebabkan penurunan tingkat hidrolisis sebesar 0,31% dari tingkat hidrolisis tanpa penambahan pelarut heksana pada pH yang sama. Sedangkan penambahan pelarut organik heksana pada media yang bersifat basa yaitu pada pH 8 dan 9, menyebabkan lipase mengalami inaktivasi dengan penurunan tingkat hidrolisis sebesar 1,44% dan 1,56% dari nilai hidrolisis tanpa penambahan pelarut heksana pada pH yang sama. Pada pH 8 dan 9 diduga aktivitas katalitik lipase dalam menghidrolisis minyak ikan sudah tidak terjadi, karena tingkat hidrolisis yang diperoleh tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol yaitu 2,95%. Perubahan keaktifan lipase dari Aspergillus niger pada media dengan pH netral cenderung ke basa diduga karena pada pH yang tidak sesuai penambahan pelarut organik heksana menyebabkan lipase membentuk kumpulan dengan berat molekul yang tinggi atau berasosiasi dengan protein lain secara tidak spesifik dalam kondisi lingkungan hidrofobik. Akibatnya, terjadi perubahan status ionisasi gugus ionik enzim pada sisi aktifnya atau sisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi denaturasi lipase. 53 E. PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA TINGKAT HIDOLISIS TERTINGGI DENGAN TOTAL OMEGA-3 YANG DIHASILKAN Asam lemak omega-3 adalah asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap, ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ketiga dari gugus metil omega. Komponen paling tinggi yang terkandung dalam asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap omega-3 adalah asam eikosapentanoat (C20:5ω-3, umumnya dikenal sebagai EPA) dan asam dokosaheksanoat (C22:6ω3, umumnya dikenal sebagai DHA) (Aidos,2002). Pada tahap ini sampel dengan persentase tingkat hidrolisis tertinggi yang diperoleh pada kondisi optimum faktor reaksi pada media tanpa dan yang ditambahkan pelarut heksana, dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan gas chromatography mass spectrometry (GC-MS) untuk menentukan total omega-3 yang terkandung di dalamnya. Selain total asam lemak omega-3, analisis juga dilakukan terhadap kandungan EPA dan DHA yang merupakan bentuk asam lemak omega-3 yang penting di dalam sampel. Diagram hubungan antara tingkat hidrolisis dengan total omega-3, EPA dan DHA hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan pada kondisi optimum faktor reaksi disajikan pada Gambar 15. 75.12 80 (%) 70 60 Persentase 50 40 30 28.07 21.93 18.42 16.08 20 6.79 10 0 H1 A H1 B Total OMEGA-3 H2 Tingkat Hidrolisis (a) 54 75.12 75.12 80 80 70 60 50 40 28.07 30 20 17.75 9.49 12.17 Persentase (%) Persentase (%) 70 60 50 40 30 20 6.79 10 10 0 0 H1 A H1 B Total EPA H2 Tingkat Hidrolisis (b) 28.07 6.79 0.56 H1 A Total DHA 0.86 1.21 H1 B H2 Tingkat Hidrolisis (c) Keterangan : : Hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa H1(A) penambahan pelarut organik heksana pada kondisi reaksi suhu 45oC dan pH 7. H1(B) : Hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media tanpa penambahan pelarut organik heksana pada kondisi reaksi suhu 45oC dan pH 5. H2 : Hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan pada media yang ditambahkan pelarut organik heksana pada kondisi reaksi suhu 45oC, pH 5 dan penambahan air 5% v/v larutan. Gambar 15. Diagram hubungan antara tingkat hidrolisis dengan total omega-3 (a), total EPA (b) dan total DHA (c) hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan pada kondisi optimum faktor reaksi Berdasarkan hasil pengujian komponen minyak ikan pada fase non polar menggunakan gas chromatography mass spectrometry (GC-MS), diketahui bahwa hidrolisis minyak ikan dengan menggunakan katalis lipase dari Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan asam lemak omega-3 pada kondisi optimum faktor reaksi. Hal tersebut dapat dilihat pada sampel H1 dan H2 yang telah mengalami hidrolisis enzimatik minyak ikan dengan katalis lipase dari Aspergillus niger dalam media tanpa dan yang ditambahkan pelarut organik heksana, banyaknya asam lemak omega-3 yang terkandung di dalamnya meningkat dengan semakin tingginya tingkat hidrolisis yang diperoleh, tidak hanya dalam bentuk 55 asam eikosapentanoat (EPA), tetapi juga asam heksadekatrienoat, asam dokosaheksanoat (DHA), asam eikosatetranoat (asam arachidonat), dan asam oktadekatrienoat (ALA) seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 7. Senyawa asam lemak tersebut merupakan bentuk turunan dari asam linoleat. Menurut Zarevucka dan Wimmer (2008), asam linoleat dapat berubah menjadi asam lemak C18 yaitu asam α-linolenat (ALA) ω3 dan asam γ-linolenat ω6, sampai C20 yaitu asam arachidonat(AA) dan asam dihomo-γ-linolenat melalui lintasan biosintesis. Asam α-linolenat sendiri dapat berubah menjadi asam lemak omega-3 seperti asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA). Mekanisme lintasan metabolisme polyunsaturated fatty acids (PUFA) dapat dilihat pada Gambar 16. N-6 series of Fatty Acids N-3 series of Fatty Acids Linoleic Acid (LA, 18:2n-6) d6-desaturase a -Linolenic Acid (LA, 18:3n-3) ? Linoleic Acid (GLA, 18:3n-6) elongase Steridonic Acid (SA, 18:4n-3) Dihomo – ?-Linoleic Acid (DGLA, 18:2n-6) 1 series of prostalglandins 3 series of leukotrienes Eicosatetranoic Acid (ITA, 20:4n-3) Arachidonic Acid (AA, 20:4n-6) d5-desaturase Eicosapentanoic Acid (EPA, 20:5n-3) oxygenase Adrenic Acid (ADA, 22:4n-6) Gambar 16. 2 series of prostalglandins 4 series of leukotrienes elongase oxygenase Docosapentaenoic Acid (DPA, 22:5n-3) Lintasan metabolisme polyunsaturated fatty acid (PUFA) (Zarevucka dan Wimmer, 2008) 56 Berdasarkan hasil yang ditunjukkan Gambar 15 (a), kandungan asam lemak omega-3 tertinggi yaitu 21,93% dari seluruh total komponen minyak ikan terdapat pada sampel H2 dengan tingkat hidrolisis 75,12%. Tingginya kandungan asam lemak omega-3 pada sampel H2, diduga hidrolisis minyak ikan pada media yang ditambahkan heksana selain dapat meningkatkan aktivitas dan stabilitas lipase dari Aspergillus niger, juga dapat mengikat dan menjaga asilgliserol yang banyak mengandung asam lemak omega-3 yang terbentuk selama proses hidrolisis parsial ke dalam pelarut heksana, sehingga tidak mudah rusak atau tereduksi menjadi komponen lain oleh perubahan kondisi lingkungan selama proses. Pada sampel H1(A) dan H1(B) hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan tanpa penambahan heksana, diketahui banyaknya asam lemak omega-3 yang terkandung didalamnya yaitu sebesar 16,08 % dan 18,42% dari seluruh total komponen dalam minyak ikan. Pada sampel H1(A) dengan tingkat hidrolisis yang lebih rendah yaitu 6,79% jika dibandingkan dengan sampel H1(B) yaitu 28,07%, mempunyai kandungan asam lemak omega-3 yang lebih tinggi dibandingkan tingkat hidrolisisnya. Hal tersebut diduga pada sampel H1(B) penggunaan media hidrolisis dengan pH 5 yang merupakan pH optimum bagi aktivitas lipase dari Aspergillus niger, menyebabkan kerusakan parsial pada asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) omega-3 yang terbentuk. Untuk asam lemak, pH 5 merupakan pH ekstrim jika dibandingkan pH 7 yang digunakan pada sampel H1(A), sehingga menyebabkan terjadinya proses oksidasi, isomerisasi cistrans atau migrasi ikatan ganda asam lemak omega-3 pada suhu relatif tinggi (45oC) menjadi bentuk komponen lain seperti asam lemak jenuh, alkana dan aldehid. Banyaknya kandungan asam lemak omega-3 pada sampel yang telah mengalami hidrolisis enzimatik minyak ikan dikarenakan lipase dari Aspergillus niger dengan spesifisitas posisional stereochemical numbering (sn) 1,3 mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis ikatan ester minyak ikan yang berupa triasilgliserol pada posisi primer (sn-1 dan atau sn-3), sehingga dihasilkan banyak asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) omega-3 yang terletak pada posisi sekunder (sn-2). Oleh karena itu, semakin banyak asam lemak bebas yang terbentuk dengan parameter tingkat hidrolisis, mengindikasikan 57 semakin banyak pula asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) omega-3 yang terbentuk. Menurut Carvalho et al. (2009), pengkayaan asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) omega-3 dapat dilakukan melalui proses reduksi asam lemak jenuh (SFA C16–C18) dan asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA). Mekanisme reaksi hidrolisis triasilgliserol dengan katalis lipase spesifik 1,3 dari Aspergillus niger disajikan pada Gambar 17. Lipase Aspergillus niger Triasilgliserol Gambar 17. 1,2 (2,3) Diasilgliserol 2 Monoasilgliserol Asam Lemak Bebas Mekanisme reaksi hidrolisis triasilgliserol dengan katalis lipase spesifik 1,3 dari Aspergillus niger (Carvalho et al., 2009) Dari Gambar 15 (b) dan (c), dapat dilihat bahwa hidrolisis enzimatik minyak ikan dengan katalis lipase dari Aspergillus niger selain dapat meningkatkan kandungan asam lemak omega-3, juga dapat meningkatkan kandungan asam lemak EPA dan DHA pada kondisi optimum faktor reaksi. Pada sampel hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan tanpa penambahan pelarut heksana yaitu sampel H1(A) dan H1(B) dengan tingkat hidrolisis 6,79% dan 28,07%, diketahui kandungan EPA di dalamnya yaitu sebesar 9,49% dan 12,17%, dengan kandungan DHA didalamnya sebesar 0,56% dan 0,86% dari total seluruh komponen dalam minyak ikan. ikan. Peningkatan kandungan EPA dan DHA tertinggi terdapat pada sampel H2 hasil hidrolisis enzimatik minyak ikan dengan penambahan pelarut heksana yang mempunyai tingkat hidrolisis 75,12%, dengan jumlah EPA yang terkandung didalamnya 17,75% dari seluruh total komponen atau meningkat 5,58% dari sampel H1(B), sedangkan kandungan DHA di 58 dalamnya 1,21% dari seluruh total komponen dalam minyak ikan atau meningkat 0,35% jika dibandingkan dengan sampel H1(B). Tingginya kandungan EPA pada sampel hasil hidrolisis enzimatik jika dibandingkan dengan kandungan DHA dikarenakan jenis minyak ikan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ikan lemuru (Sardinella sp.) yang mempunyai kandungan EPA lebih banyak daripada DHAnya. Menurut Halldorsson et al. (2003), minyak ikan yang berasal dari ikan Sardinella sp. merupakan bahan baku yang sesuai untuk membuat konsentrat EPA, karena mengandung EPA lebih banyak daripada DHA. Menurut Rasyid (2001), ikan Lemuru (Sardinella sp.) merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di daerah perairan Indonesia. Ada dua jenis ikan lemuru yang secara ekonomis penting adalah Sardinella sirm dan Sardinella longiceps. Daerah penyebaran Sardinella sp. terutama di laut Jawa, Tegal dan Pekalongan. Tempat penyebaran ikan lemuru yang besar di Jawa adalah di daerah Muncar. Muncar merupakan daerah yang mempunyai produksi perikanan terbesar di daerah banyuwangi dimana 80% hasil tangkapannya adalah ikan lemuru (Sardinella longiceps). Banyaknya kandungan EPA dan DHA pada minyak ikan yang telah mengalami hidrolisis enzimatik dikarenakan lipase dari Aspergillus niger dengan spesifisitas posisional 1,3 akan mempertahankan asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap (PUFA) omega-3 khususnya EPA dan DHA yang umumnya berada pada posisi sekunder (sn-2) triasilgliserol. Hal tersebut dikarenakan adanya gugus cis- pada ikatan ganda antara atom karbon dengan karbon asam lemak menyebabkan pembengkokkan rantai asam lemak. Oleh karena itu, gugus metil asam lemak yang dekat dengan ikatan ester menyebabkan steric hidrance pada lipase. Banyaknya ikatan ganda cis-cis EPA dan DHA membuat molekulnya bersifat kuat dan dapat meningkatkan efek steric hidrance sehingga ikatan ester asam lemak EPA dan DHA dalam bentuk asilgliserol lebih sulit untuk diputuskan oleh lipase jika dibandingkan asam lemak jenuh (SFA) dan asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap (MUFA) yang umumnya terletak pada posisi primer. Oleh karena itu, kandungan EPA dan DHA pada fase non polar jumlahnya meningkat setelah dilakukan hidrolisis minyak ikan dengan katalis lipase dari Aspergillus niger. 59