BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejatinya setiap periode perkembangan individu terdapat suatu krisis yang khas yang
terjadi. Menurut Erikson (dalam Santrock, 2012), krisis tersebut bukanlah suatu
malapetaka melainkan titik balik yang ditandai dengan meningkatnya kerentanan sekaligus
peningkatan kemampuan. Mengkaji mengenai remaja, pada masa itu dikenal sebagai masa
transisi yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum menginjak masa dewasa. Pada
masa itu, terjadi suatu krisis formasi identitas. Erikson (dalam Santrock, 2012)
menyebutkan bahwa krisis yang dialami masa remaja disebut dengan identity versus
identity confusion.
Batasan usia seseorang dikatakan remaja dimulai dari rentang usia 12 sampai 21
tahun, dengan rincian yaitu usia 12-15 tahun merupakan remaja awal, 15-18 tahun adalah
remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah remaja akhir (Mönks, Knoers, & Haditono,
2004). Bagi para remaja awal yang baru saja meninggalkan peran masa kanak-kanaknya,
munculnya krisis ditandai dengan meningkatnya kesibukan untuk mencari jawaban atas
pertanyaan “Siapa aku?” (Herbert, 2006). Selain krisis tersebut, Hall (dalam Rice &
Dolgin, 2002) menyebut dengan Bahasa Jerman bahwa periode transisi yang khas dialami
remaja merupakan periode sturm und drang. Sebutan tersebut kemudian diartikan dengan
Bahasa Inggris sebagai periode storm and stress. Pandangan tersebut didasarkan pada sifat
atau emosi yang bergejolak yang identik pada remaja, misalnya hari ini terlihat apatis
namun keesokan hari terlihat memiliki semangat menggebu-gebu.
Transisi yang dialami remaja awal menjadi tantangan tersendiri karena pada masa itu
terjadi berbagai perubahan dan perkembangan secara bersamaan (Santrock, 2012). Arnett
(1999) menjelaskan bahwa penting bagi remaja untuk menyesuiakan perubahan-perubahan
1
tersebut, seperti perubahan biologis, psikologis, dan sosial yang khas untuk periode ini.
Perubahan-perubahan itu dijelaskan lebih luas oleh Schraml, Perski, Grossi, & SimonssonSarnecki (2011) bahwa perubahan yang terjadi pada remaja tidak hanya sebatas perubahan
bentuk badan dan bangkitnya gairah seksualitas, namun juga termasuk perubahan
psikologis (berkaitan dengan kepribadian/perkembangan identitas, nilai-nilai personal,
komitmen dan harapan, munculnya keinginan mandiri dan tidak tergantung) dan perubahan
sosial (ambiguitas peran antara kanak-kanak vs dewasa, pengaruh kelompok pertemanan,
dan hubungan seksual) yang dapat memunculkan konflik dengan orangtua, gangguan
suasana hati, dan perilaku berisiko.
Seperti masa transisi pada umumnya, transisi yang dialami remaja ditandai dengan
ketidakstabilan dan perubahan menuju ke perilaku dan sikap yang baru (Hurlock, 1949).
Adanya berbagai perubahan serta krisis yang muncul tersebut mutlak terjadi. Maka dari itu,
mereka membutuhkan penyesuaian yang baik supaya remaja awal dapat melewati masa itu
dengan baik pula. Di samping itu, mengacu pada pandangan Erikson (dalam Santrock,
2012) yang menyatakan bahwa bagi individu yang sukses menyelesaikan krisisinya, maka
perkembangannya pun akan menjadi lebih sehat. Sayangnya, kemampuan remaja awal
untuk menyesuaikan belum berkembang sempurna karena pada masa itu mereka sedang
mengalami transisi peran yang berbeda yang mengakibatkan kondisi tidak stabil.
Ketidakstabilan dan ketidakkonsistensian remaja merupakan indikasi adanya
ketidakmatangan (Hurlock, 1949). Akibat dari perkembangan yang belum matang itu
memungkinkan untuk munculnya masalah pada remaja, terlebih lagi bagi remaja awal.
Masalah dapat berkembang lebih parah jika mereka mendapat tuntutan atau harapan yang
terlalu tinggi di tengah ketidakmatangannya, seperti harapan supaya dapat berpikir dan
berperilaku lebih dewasa dibandingkan saat kanak-kanak, harapan untuk berprestasi,
belajar memetakan sendiri masa depannya, memperluas jaringan komunikasi dan harapan
xvi
lain yang berhubungan dengan kedewasaan. Berkaitan dengan krisis yang terjadi, bagi
remaja yang gagal dalam menetapkan identitas personal maka mereka dapat mengalami
depresi, perasaan tidak berharga, dan meremehkan diri sendiri (Erikson, dalam Herbert,
2006). Tanda-tanda tersebut adalah indikasi adanya difusi identitas.
Beberapa uraian dari tokoh-tokoh mengenai gejolak perubahan dan masalah yang
dialami remaja awal sudah dipaparkan di atas. Berdasarkan hal itu, preliminary research
dilakukan untuk mendukung serta mengroscek adanya masalah yang dialami remaja awal.
Preliminary research dilakukan dengan mewawancarai seorang remaja putra berinisial IR
yang berusia 13 tahun pada hari Senin, 18 Juli 2016 di kediamannya. Responden tersebut
adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Yogyakarta. Ketika dilakukan wawancara, IR
mengaku dan menyadari perubahan-perubahan yang terjadi setelah ia menginjak remaja.
“Banyak perubahan yang saya rasakan. Tubuhnya semakin besar,
suaranya memberat, dan emosinya tambah. Misalnya disuruh Ibu gak
boleh main, terus aku jengkel. Ngrasa lebih gampang jengkel
daripada dulu.”
Berdasarkan dari pernyataan yang diungkapkan IR di atas, diketahui bahwa IR
memang menyadari bahwa terdapat perubahan-perubahan yang dialaminya ketika masuk
masa remaja. Perubahan yang ia keluhkan terutama adalah mengenai gejolak emosi.
Selama dilakukan wawancara, IR sering menceritakan kekesalannya terhadap Ibunya.
Konflik-konflik tersebut muncul karena ia dilarang Ibu untuk pergi bermain dan justru
diminta untuk belajar di rumah saja, padahal ia sudah merasa lelah dengan rutinitas di
sekolah dan ingin bermain dengan teman-temannya. IR juga menceritakan kekesalan lain
terhadap Ibunya karena ia sudah sangat lapar dan ditambah kecewa karena tidak disediakan
makan siang sepulang sekolah.
Selain IR, wawancara terbuka untuk mengetahui gejolak perubahan saat remaja awal
juga dilakukan dengan remaja lain. Kali ini, wawancara dilakukan pada remaja putri
xvi
berinisial AA yang berusia 13 tahun. Seperti halnya IR, AA duduk kelas VIII SMP Negeri
5 Yogyakarta. Wawancara dilakukan pada hari Sabtu, 23 Juli 2016 di SMP Negeri 5
Yogyakarta. AA menyatakan bahwa masa remaja sangatlah berbeda dengan masa kanakkanak yang tidak banyak memiliki beban. Beban-beban itu antara lain beban tugas sekolah
dan permasalahan dengan teman. Selain kedua beban tersebut, seperti halnya dengan IR,
AA juga mengaku adanya beban di dalam keluarga karena sering timbulnya konflik
dengan orangtua semenjak ia remaja. Salah satu sebab terjadinya konflik tersebut adalah
tuntutan-tuntutan yang diberikan, seperti tuntutan berperilaku dan berpikir lebih dewasa
daripada saat masih kanak-kanak. Bahkan, tidak jarang AA menangis karena berkonflik
dengan orangtuanya.
Mengkaji dari keluhan yang diungkapkan IR dan AA, pada dasarnya masalahmasalah tersebut adalah hal yang wajar. Alasan yang membuat hal-hal tersebut bermasalah
adalah kondisi ketidakstabilan emosi ala remaja yang sedang dialami mereka yang sesuai
dengan pernyataan Hall (dalam Rice & Dolgin, 2002) sebelumnya. Mönks, Knoers, &
Haditono (2006) menjelaskan bahwa remaja belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik
maupun psikisnya. Kondisi tersebut menjadikan remaja kurang mampu untuk mengatur
emosi yang muncul sebaik orang dewasa. Pengalaman yang kurang dalam menghadapi
masalah pun bisa menjadi penyebab rentannya mereka mengalami keterpurukan.
Remaja yang masih berstatus pelajar juga tentunya akan menghadapi masalah yang
lebih kompleks. Munculnya peluang menghadapi tuntutan dan masalah akan lebih besar
karena akan ditambah dengan faktor sekolah. Di dalam seting akademik, muncul istilah
learned helplessness. Learned helplessness diartikan sebagai suatu persepsi yang berasal
dari pengalaman bahwa setiap hal yang dilakukan akan menggiring pada kegagalan
(Slavin, 2009). Pengalaman tersebut mungkin terjadi di saat para siswa dituntut berprestasi
oleh guru namun sering gagal dalam pencapaiannya. Bagi siswa yang memiliki
xvi
pengalaman gagal berulang kali dapat mengembangkan defensive pessimism untuk
menghindari umpan balik (Martin, Marsh, & Debus, dalam Slavin, 2009). Akibatnya jika
berlarut-larut, mereka akan meyakini bahwa dirinya memang tidak dapat sukses.
Sebagai remaja yang masih berstatus pelajar, konfrontasi tantangan akan datang dari
berbagai hal, seperti menyelesaikan tugas sekolah yang tidak sedikit, ujian, kegiatan
ekstrakurikuler yang diharapkan menunjang keterampilan mereka serta masalah-masalah
lain seperti berkonflik dengan teman-teman, keluarga, atau bermasalah dengan diri sendiri.
Dengan kondisi semacam itu, mereka akan memecah perhatian agar dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Belum lagi kebutuhan mereka untuk bermain dengan teman-teman
yang berkurang akan menjadi faktor yang dapat menggiring remaja mengalami stres.
Bukan tidak mungkin jika suatu saat para remaja akan mengalami burnout, yaitu perasaan
tidak berdaya, tidak memiliki harapan, yang disebabkan oleh stres akibat pekerjaan yang
sangat berat (Santrock, 1996). Faktanya, keluhan mengenai banyaknya tugas juga
diungkapkan oleh IR. Banyaknya tugas yang diberikan membuatnya lelah dan malas untuk
mengerjakan. Bahkan IR mengaku bahwa ia sempat tidak mengerjakan tugas karena terlalu
lelah dengan tugas-tugas yang diberikan.
Di dalam istilah psikologi, kata stres memiliki dua macam arti. Pada titik tertentu,
stres dapat menjadi hal yang positif dan membangun yang disebut dengan eustres. Di sisi
lain, jika tuntutan yang ada dirasa lebih besar dari kemampuannya maka stres menjadi hal
yang merugikan dan disebut dengan distres. Pada penelitian ini, keprihatinan yang dikaji
adalah mengenai distres. Stres
yang merujuk pada distres
diartikan sebagai
ketidakseimbangan antara tuntutan yang dihadapi dengan sumber daya yang dimiliki
(Sarafino & Smith, 2014). Artinya, ketika seorang remaja menilai bahwa berbagai tuntutan
yang dihadapkannya lebih besar daripada kemampuannya, maka ia akan mengalami stres
(distres).
xvi
Ketika stres yang bersifat negatif tersebut muncul secara berlarut-larut, akibatnya
dampak-dampak negatif pun akan muncul. Terdapat penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui dampak distres yang berbahaya pada remaja. Penelitian tersebut menghasilkan
temuan bahwa distres pada remaja dapat menggiring inisiasi penggunaan tembakau dan
keputusan untuk mulai merokok (Holliday & Gould, 2016). Tidak kalah berbahaya dengan
rokok, distres juga dapat berakibat munculnya depresi baik pada remaja laki-laki maupun
perempuan (Petersen, dalam Steinberg, 2011). Selain rokok dan depresi, fungsi imun pun
akan terpengaruh karena adanya distres yang berkepanjangan. Sarafino & Smith (2014)
menyatakan bahwa beberapa situasi distres diawali dengan krisis, kemudian kondisi
emosional berikutnya cenderung secara terus menerus akan menekan proses kekebalan
tubuh atau imun seiring berjalannya waktu. Berdasarkan dari pernyataan tersebut maka
wajar jika banyak siswa yang sering atau mudah jatuh sakit ketika menghadapi situasi
menekan, seperti ujian beruntun atau tugas yang berat.
Perubahan-perubahan yang dialami remaja mutlak terjadi. Meskipun setiap remaja
menghadapi hal itu, tidak semua akan berujung mengalami distres akibat perubahanperubahan tersebut. Dengan demikian, tidak semua remaja pula akan merasakan dampakdampak negatif dari munculnya distres. Hal itu dikarenakan pada setiap individu memiliki
faktor protektif yang dapat diandalkan. Beberapa faktor protektif tersebut adalah dukungan
sosial, keterampilan mengatasi stres yang efektif, dan faktor-faktor kepribadian seperti
ketahanan, efikasi diri, dan optimisme (Passer & Smith, 2009). Faktor-faktor tersebut
nantinya mampu membantu mencegah timbulnya kerugian dari situasi menekan, dalam hal
ini adalah dstres. Berkaitan dengan hal-hal yang dapat mempengaruhi distres, sebuah
penelitian dilakukan pada remaja di Swedia yang menghasilkan temuan bahwa persepsi
atas tuntutan yang tinggi, rendahnya tingkat harga diri, gangguan tidur, dan rendahnya
xvi
dukungan sosial yang diterima merupakan faktor-faktor penting dari munculnya stres
(Schraml, Perski, Grossi, & Simonsson-Sarnecki, 2011).
Dari berbagai faktor yang mempengaruhi stres yang telah disebutkan di atas,
dukungan sosial adalah salah satu faktor yang sering dikaji. Atas dasar pernyataan yang
dikemukakan Passer & Smith (2009), dukungan sosial adalah faktor protektif terkuat untuk
menangani stres (distres). Berkaitan dengan hal itu, setiap periode perkembangan memiliki
karakteristik tertentu yang mempengaruhi sumber dukungan sosial yang paling berperan.
Sumber dukungan sosial yang diterima remaja dapat berasal dari mana saja, baik dari
orangtua, guru, dan teman-teman. Akan tetapi, sumber-sumber tersebut perlu disesuaikan
kembali dengan kondisi yang sedang dialami remaja. Kaplan (1998) menjelaskan bahwa
ketika remaja kelekatan dengan orangtua akan berkurang, sedangkan kelekatan dengan
teman-teman menjadi lebih meningkat. Mönks, Knoers, & Haditono (2006) menjelaskan
hal itu sebagai hal yang wajar dan mudah dimengerti ketika mereka memilih mencari
teman sebaya yang dapat lebih mengerti karena memiliki nasib yang sama. Dalam hal ini
khususnya bagi pelajar SMP, membuka pertemanan yang luas tentunya akan memberikan
manfaat tersendiri.
Terdapat penelitan lain yang juga membahas dukungan sosial teman sebaya yang
diterima remaja yang mengalami distres. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
siswa SMP yang tidak memiliki teman akan berimbas pada rendahnya perilaku prososial,
prestasi akademik, dan tekanan emosional (emotional distress) (Wentzel, Barry, &
Caldwell, dalam Arends, 2009). Selain itu, rendahnya dukungan sosial teman sebaya juga
dapat meningkatkan kemungkinan munculnya simtom-simtom depresi pada remaja
(Young, Berenson, & Cohen, 2005). Dengan demikian, penting bagi remaja untuk
memiliki pertemanan yang luas untuk membuka peluang menerima dukungan sosial dari
teman-temannya. Dukungan dari teman-teman dipandang masuk akal untuk mampu
xvi
mempengaruhi berkurangnya distres karena pada saat remaja mereka cenderung lebih
memilih mencari teman sebaya karena mereka adalah pihak yang memiliki nasib yang
sama yang notabenenya adalah pihak yang juga paling mengerti (Mönks, Knoers, &
Haditono, 2006). Teori-teori tersebut nampaknya memang sesuai dengan kondisi di
lapangan. Hal itu berdasarkan dari ungkapan yang dilontarkan narasumber AA yang
mengaku bahwa teman adalah pihak yang dapat membantunya melupakan masalah yang
sedang ia hadapi, baik masalah dengan orangtua, tugas sekolah, maupun dengan teman
yang lain.
Pengaruh positif dari dukungan sosial telah dijelaskan di atas. Mengacu dari
beberapa teori dan penelitian yang telah dikemukakan itu, serta mempertimbangkan
karakteristik masa remaja awal, maka penelitian ini memilih dukungan sosial, khususnya
dukungan sosial teman sebaya sebagai faktor yang dapat mempengaruhi distres remaja
awal. Jadi, rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara dukungan
sosial teman sebaya dan distres pada remaja awal? Penelitian ini juga diharapkan mampu
mengetahui seberapa besar efek dari dukungan sosial tersebut.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan pemaparan masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk menguji secara empirik tentang hubungan antara dukungan sosial yang
diberikan teman sebaya dan distres pada remaja awal SMP Negeri 5 Yogyakarta.
xvi
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu
Psikologi, khususnya bidang Psikologi Klinis yang berhubungan dengan stres yang
dialami remaja.
2. Manfaat Praktis
a.
Remaja diharapkan mampu mengembangkan sumber daya yang dimiliki untuk
menangkal timbulnya stres yang berdampak negatif. Pada penelitian ini, sumber
daya berfokus pada keterampilan sosial untuk memperluas pertemanan mereka.
Jadi, mereka dapat saling memberikan dukungan sosial, baik untuk mencegah
stres yang dialami diri sendiri maupun teman-temannya.
b.
Remaja dikenal sebagai kelompok perkembangan yang memiliki berbagai
masalah. Sayangnya, tidak banyak orang yang memahami karakteristik dari
penyebab mereka berperilaku demikian. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan
mampu memberikan informasi mengenai karakteristik dan masalah yang sering
dialami remaja yang menggiring mereka mengalami stres. Dengan demikian, bagi
pihak-pihak terkait seperti orangtua dan guru, mampu memahami, mengawasi,
dan membantu remaja untuk dapat menangani tekanan yang muncul pada masa
remaja.
xvi
Download