RI: Negara Maju Jangan Hanya Berkomitmen

advertisement
RI: Negara Maju
Jangan Hanya Berkomitmen
Rabu, 5 Desember 2007
DENPASAR (Suara Karya): Pemerintah Indonesia berharap negara-negara maju tidak hanya
memberikan komitmen pengurangan emisi, namun juga menyetujui kerangka kesepakatan
penanganan masalah pemanasan global yang bersifat mengikat.
Harapan tersebut dilontarkan Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup
Deplu RI, Salman Al-Farisi, saat tampil dalam forum Konferensi PBB mengenai
Perubahan Iklim (UNFCCC), kemarin, di Nusa Dua, Bali.
Salman yang juga salah satu juru runding delegasi RI di forum UNFCCC
menekankan, dukungan penuh seluruh pihak terhadap upaya pengurangan emisi
akan merupakan sumbangan nyata terhadap upaya pengurangan dampak perubahan
iklim global. "Ini yang kita upayakan bisa menjadi kesepakatan dalam konferensi di
Bali ini," ujarnya.
Pada forum UNFCCC yang berlangsung 3-14 Desember 2007 di Bali, sedikitnya 189
negara berkumpul guna menyepakati pengaturan baru menyangkut upaya
mengatasi perubahan iklim pasca-Protokol Kyoto pada tahun 2012.
Sementara itu, sejumlah LSM internasional pada hari kedua UNFCCC mendesak
negara-negara maju penyumbang utama karbon agar menyetujui kesepakatan
tentang pengurangan emisi yang bersifat mengikat. Menurut juru bicara kelompok
LSM internasional Equiterre Canada, Steve Guilbeault, tanpa kesepakatan mengikat,
maka itikad negara-negara maju mengenai upaya penanganan perubahan iklim
global kembali dipertanyakan. "Apakah mereka serius atau hanya membuang-buang
waktu banyak orang," katanya.
Kesepakatan yang mengikat dan berisi rincian mengenai pengaturan dan target
pengurangan emisi, menurut Guilbeault, akan menjawab keraguan dunia atas
keseriusan negara-negara maju.
Kelompok pemerhati hutan tropis (TFG) yang berbasis di Santa Barbara, AS, juga
meragukan komitmen banyak negara tentang penyelamatan hutan tropis. Itu setelah
mereka melihat perkembangan pasca-KTT Bumi, 25 tahun lalu. "Kami masih
bertanya-tanya, iya atau tidak, tentang komitmen menyelamatkan hutan ini," kata
juru bicara TFG J Abraham Powel.
Dia mengingatkan bahwa 25 tahun yang lalu, ketika pertemuan Rio berlangsung, ide
menyelamatkan hutan tropis begitu populer. "Semua orang memakai kaos
bertuliskan
'Selamatkan
hutan',"
katanya.
Namun
kenyataan
kemudian
memperlihatkan hal berbeda, karena hutan tropis terus hilang.
Sedangkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan, negara berkembang
perlu meningkatkan investasi untuk prediksi iklim, monitoring dan penelitian ilmiah
di bidang adaptasi guna menjawab dampak ekonomi dan fisik akibat perubahan
iklim.
Menurut Sekretaris Jenderal WMO Michel Jarraud, para pembuat kebijakan tidak
hanya harus berinvestasi dalam program mitigasi terhadap dampak perubahan iklim,
namun juga memperkuat upaya dan mengambil langkah baru yang dapat membantu
publik dan pelaku bisnis beradaptasi dengan berkurangnya sumber air bersih, cuaca
yang ekstrem, dan bencana yang mungkin diakibatkan oleh perubahan iklim.
"Sekarang saat yang tepat untuk menyadari bahwa tidak cukup hanya dengan upaya
mitigasi dalam mengatasi perubahan iklim, namun juga diperlukan perhatian yang
lebih besar kepada proses adaptasi," katanya.
Koordinator Iklim Friends of Earth International (FOEI)/Walhi, Stephanie Long,
menyatakan negara-negara kaya seharusnya membayar utang atas kerusakan iklim
kepada negara berkembang secara radikal untuk mengurangi emisi serta membantu
komunitas yang rentan terhadap dampak perubahan iklim tersebut.
"FOEI/Walhi mendesak para anggota yang terlibat dalam UNFCCC untuk bisa
mendorong mandat Bali yang membahas tentang krisis iklim, termasuk mengawasi
komitmen negara maju yang ambisius mengurangi gas emisi dari negara
berkembang," kata Long di Nusa Dua, Bali, Selasa.
FOEI sendiri, kata dia, saat ini tengah berusaha melakukan negosiasi dalam kegiatan
itu agar negara maju (industri) bisa menyetujui agenda dan bernegosiasi guna
menghasilkan suatu kerangka kerja internasional untuk pengurangan emisi sampai
tahun 2012.
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan
Desember dijadikan bulan untuk melakukan gerakan penghijauan, sehingga
Indonesia menjadi sehat dan ramah lingkungan.
"Dalam Desember ini telah ditanam tidak kurang dari 89 juta pohon. Gerakan
penanaman ini diharapkan bisa dilakukan setiap tahun dengan menanam pepohonan
yang jauh lebih banyak," kata Presiden di Denpasar, Selasa.
Ketika berdialog dengan sejumlah siswa, guru, dan penggiat LSM peduli lingkungan
dalam rangkaian acara menerima 15 peserta kampanye bersepeda Jakarta-Bali
(bicycle for earth goes to Bali) itu, Presiden mengatakan, gerakan penghijauan
dalam dua hingga lima tahun mendatang belum banyak memberikan manfaat.
Namun jika terus dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan semua
pihak, dia yakin dalam 25-30 tahun mendatang langkah itu mampu mengubah wajah
Indonesia menjadi sehat dan ramah lingkungan.
"Sekarang ini perlu aksi nyata, bukan lagi komitmen dan kemauan, untuk ikut
menahan pemanasan global," ujar Presiden, didampingi Menko Kesra Aburizal
Bakrie, Menko Polhukam Widodo AS, Mensesneg Hatta Rajasa, Sekretaris Kabinet
Sudi Silalahi, dan Gubernur Bali Dewa Beratha.
Presiden menyeru seluruh lapisan masyarakat agar memiliki kesadaran tinggi untuk
melakukan berbagai kegiatan guna menyelamatkan lingkungan dan Bumi. Salah
satunya adalah dengan melakukan gerakan penghijauan dengan menanam berbagai
jenis pepohonan.
Selain itu Presiden juga mengharapkan masyarakat terus melaksanakan gerakan
hemat energi dengan cara mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang
berasal dari bahan fosil. (Antara/Hasyim)
Download