efektifitas dan keamanan in vivo fage litik fr38 dari

advertisement
EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN IN VIVO FAGE LITIK FR38
DARI LIMBAH DOMESTIK DALAM MENURUNKAN
CEMARAN SALMONELLA P38 INDIGENOUS
PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR
DEWI SARTIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Efektifitas dan
Keamanan In Vivo Fage Litik FR38 dari Limbah Domestik dalam
Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan
Air adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di akhir Disertasi
Bogor, 2012
Dewi Sartika
P062080091
ABSTRACT
DEWI SARTIKA. Effectivity and In Vivo Safety of The Phage FR38 isolated from
Domestic Waste to Decrease The Indigenous Salmonella P38 on Sausage, Milk, and
Water. Under direction of SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO and
IMAN RUSMANA.
The ability of phage FR38 to lysis an indigenous Salmonella P38 from faeces
of diarrhea patient has been studied, however its effects on food and its safety are
not studied yet. This study was conducted to observe the effects of phage FR38 on
food, and its safety in using of the phage on food.
Lysis efectivity of phage FR38 on food were measured on sausage, milk, and
water. After phage's treatment on sausage, milk, and water, the total colony of
Salmonella P38 was counted by surface plate method. Twelve male Sprague-Dawley
rats were used for measure of phage's safety. Those rats were divided into two
group; (i) control and (ii) treated with phage FR38’s 5 ml/kg bw (1 ml = 1.59 x 107
pfu phage). The phage treatment was administered by phage intragastricly. The
clinical symptoms were observed at 15 days after treatment.
The result showed that indigenous phage FR38 had been able to decrease of
indigenous Salmonella P38 on fresh sausage, milk, and water (0,01). The body
weight, organ weight, erythrocyt, hematocrit, hemoglobin, leukocyte, total protein,
creatinine, SGOT, SGPT of phage’s treatment rat were not different with control
on 16th day (P > 0.05). It can be concluded that no effect of phage FR38 on body
weight, blood chemistry, kidney, liver functions (0,01) and histology of the rat.
Keyword: Phage FR38, Efectivity lysis, Safety, Salmonella P38
RINGKASAN
DEWI SARTIKA. Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage litik FR38 dari Limbah
Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis,
Susu, dan Air. Dibimbing Oleh SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B.
SUDARWANTO dan IMAN RUSMANA.
Sanitasi lingkungan sangat berperan pada prevalensi Salmonella di suatu
daerah. Peningkatan populasi Salmonella di lingkungan dapat mencemari makanan
baik pada bahan mentah maupun makanan jadi. Salmonella sp. merupakan bakteri
patogen pencemar pangan dan penyebab food borne diseases serta water borne
disease. Cemaran Salmonella, pada pangan telah banyak diteliti, diantaranya pada
sosis dan susu serta produk olahannya. Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella
sp. pada pangan dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia.
Dilaporkan bahwa bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba
ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan dalam
waktu yang lama (efek akumulasi). Sehingga perlu alternatif lain penurun
Salmonella sp. pada pangan. Salmonella P38 ditemukan pada feses penderita diare
di daerah sindang barang. Peneliti terdahulu telah menemukan fage FR38 dari
limbah domestik yang dapat melisiskan Salmonella P38 indigeneous secara
signifikan. Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan sanitasi pada
proses pengolahan pangan. Pemanfaatan fage FR38 pada susu, sosis dan air serta
keamanannya terhadap tubuh sejauh ini belum diketahui pengaruhnya. Penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunanan
Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta keamanannya secara in vivo.
Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengendali hayati cemaran Salmonella
P38 baik pada pangan maupun lingkungan.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedis Hewan, Laboratorium
Biologi Nutrisi PPSHB-IPB; Kandang tikus dan Laboratorium Fisiologi FKH-IPB;
Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor, serta Balai Besar Penelitian Veteriner
Cimanggu Bogor.
Efektifitas pemanfaatan Fage litik pada susu dirancang dengan cara
mengkombinasikan aplikasi penambahan fage litik pada susu pasteurisasi yang
diberi cemaran 4.3 x 104 cfu Salmonella P38 dan ditambahkan fage FR38 sebanyak
3.8 x 104 pfu fage/100 ml susu. Efektifitas fage litik pada sosis dirancang dengan
cara mengkombinasikan aplikasi penggunaan fage litik pada sosis sapi olahan yang
diberi cemaran 4.7 x 104 cfu Salmonella dan 3.8 x 10 pfu fage/20 g sosis. Efektifitas
fage litik pada air dilakukan dengan cara memberi perlakuan 3.4 x 104 pfu fage
FR38 ke dalam 100 ml aquades yang telah dicemari dengan 4.8 x 104 cfu Salmonella
P38. Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam.
Pengamatan meliputi total mikroba Salmonella P38 serta analisa proksimat
kandungan nutrisi pangan yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, serat
kasar dan kadar protein.
Uji keamanan fage dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan. Dua
belas ekor tikus berumur 2 bulan dari galur Sprague Dawley yang diperoleh dari
FKH-IPB digunakan dalam penelitian ini. Tikus percobaan diaklimatisasi di
kandang hewan selama 15 hari. Tikus percobaan dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok 1 adalah tikus kontrol dan kelompok 2 adalalah tikus yang diberi
perlakuan fage FR38. Penimbangan tikus dilakukan 2 hari sekali selama 15 hari.
Perlakuan yang diberikan adalah 1 ml /200 g bb fage (1 ml = 1.59.107 pfu). Pada
hari ke-16 tikus dibius dengan eter dan dipreparasi untuk pengambilan data. Darah
diambil dari jantung dengan menggunakan syringe 5 ml, lalu dianalisis eritrosit,
hemoglobin, hematokrit, leukosit, eritrosit, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, protein
total, diferensiasi butiran darah putih (limfosit, neutrofil, eosinofil, basofil).
Deskriptif feses diamati setiap hari. Histopathology dari organ hati, limpa, usus,
lambung, dan ginjal diamati dengan membandingkan organ yang sama pada tikus
kontrol.
Penambahan fage pada sosis ternyata menghambat laju pertumbuhan
Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang. Pada
penyimpanan 24 jam (7.5x101 cfu/ml) dan 48 jam (7.8x102 cfu/ml) ternyata fage litik
menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan
tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.57 x 106 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x108
cfu/ml) (0,01). Penambahan fage pada susu ternyata juga mempengaruhi laju
pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam di suhu ruang.
Pada penyimpanan 24 jam (9.4 x 102 cfu/ml) dan 48 jam (1.2 x 103 cfu/ml) ternyata
fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan
perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.6 x 108 cfu/ml) dan 48 jam
(7.9x1012 cfu/ml) (0,01). Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella
P38 pada air. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan dari
3.6 menjadi 9 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa Fage (Salmonella P38) yang justru
meningkatkan jumlah mikroba menjadi 9.5 x 106 cfu/ml pada lama penyimpanan 48
jam (0,01).
Uji in-vivo pada tikus menunjukkan bahwa kreatinin pada tikus yang diberi
perlakuan fage (1.331±0.527) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol (1.394±0.743) (0,01). SGOT pada tikus yang diberi
perlakuan fage (193.50 ± 34.735) tidak berbeda nyata secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol (211.67±65.503) (hitung>0.05). Hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati. Hemoglobin, eritrosit,
leukosit, trombosit dan Packed Cell Volume (PCV) pada tikus yang diberi perlakuan
fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada
hari ke-16. Pada uji histopatologi terlihat bahwa organ yang diberi perlakuan fage
tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS).
Simpulan dari penelitian ini adalah perlakuan penambahan fage FR38 pada
sosis, susu dan air ternyata dapat menahan laju kecepatan tumbuh Salmonella P38
pada penyimpanan 24 dan 48 jam secara signifikan. Konsumsi secara oral fage
sebanyak 1.59 x 107 pfu ternyata tidak berpengaruh terhadap gambaran darah,
SGOT, SGPT, kreatinin, ureum dan jaringan dibandingkan dengan kontrol pada
tikus putih (rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. Hal ini menunjukkan
bahwa fage adalah efektif menurunkan cemaran Salmonella pada pangan seperti
sosis, susu, dan air serta aman bagi tubuh tikus.
Kata kunci: Fage FR38, Efektifitas lisis, Keamanan, Salmonella P38
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN IN VIVO FAGE LITIK FR38
DARI LIMBAH DOMESTIK DALAM MENURUNKAN
CEMARAN SALMONELLA P38 INDIGENOUS
PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR
DEWI SARTIKA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar pada Ujian Tertutup:
Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, M.S.
Dr. Ir. Eti Riani, MSi
Penguji Luar pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Sc., SpF(K).
Prof. drh. Roostita Balia, Ph.D.
Judul Disertasi
:
Nama
NIM
Program Studi
:
:
:
Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik Fr38
dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran
Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air
Dewi Sartika
P062080091
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. dr. Sri Budiarti
Ketua
Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto
Anggota
Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si.
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi,
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 30 Oktober 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya, disertasi dengan judul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik
FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P388
Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air dapat diselesaikan. Penelitian ini didanai
oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana sebagai ketua Tim Penelitian adalah Dr. dr.
Sri Budiarti.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak mungkin tercipta tanpa
bantuan dari segala pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan setinggitingginya dan ucapan terima kasih kepada: Ibu Dr. dr. Sri Budiarti, sebagai ketua
Komisi Pembimbing; yang telah memberikan motivasi, ilmu, keteladanan kepada
penulis mulai dari awal pemilihan tema, pelaksanaan penelitian hingga penulisan
disertasi; inovasi, logika ilmiah dan ide-ide cemerlang beliau banyak menghiasi
disertasi ini; motto beliau ‘keep spirit and be a Samurai’ menggugah penulis untuk
bangkit menyelesaikan disertasi ini; Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto
selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah all out dalam membimbing dan
mendampingi penulis baik dalam menentukan metode, rancangan percobaan,
pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi; keteladanan dan
penerapan
planning, organizing, actuating dan controlling dalam me-manage penelitian
banyak saya adopsi dari beliau; dan Bapak Dr. Iman Rusmana, MSi selaku anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, ide dan keteladanan
baik selama pelaksanaan penelitian, penulisan disertasi hingga publikasi ilmiah;
logika ilmiah yang beliau sarankan telah memberi warna tulisan ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada:
Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB; Bapak Prof.
Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Ketua Program Studi PSL beserta staf
dosen dan akademik;
Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, Bapak Dr.Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.Eng., (Kajur THP), Ibu
Ir. Susilawati MS (Sekjur THP) yang telah memberikan izin bagi penulis untuk
mengikuti program pendidikan Doktor di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Retno
Damayanti Soejoedono, M.S. dan ibu Dr. Ir. Eti Riani, MSi sebagai penguji pada
ujian tertutup; Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Sc., SpF(K) dan Prof. drh.
Roostita Balia, Ph.D., sebagai penguji pada ujian terbuka yang telah memberi
masukan demi kesempurnaan disertasi ini; Ketua Laboratorium Biomedis Hewan,
para laboran (bu Dewi Asnita, bu Ida, mbak Endang dan pak Edi), dan Bapak drh.
Yulfian Sani, PhD. (Kepala Lab. Diagnostik Balai Besar Balitvet Cimanggu) yang
telah meluangkan waktu dan tenaga memperlancar proses penelitian ini.
Ucapan
terima kasih dan penghormatan juga penulis haturkan kepada
Ayahnda H. Syukur Siadjin, Ibunda Hj. Syukuriah yang tak pernah putus
mengingatkan penulis dengan cinta dan kasih sayangnya untuk menyelesaikan studi
ini, dalam bentuk doa, dukungan, dan semangat sampai hari ini "Allahuma firlii
waliwalidayya warhamhuma kamma rabbayyani saghiirrra". Sayangilah beliau
berdua dan sempatkan penulis berbakti kepadanya, Aamiin YRA; Mertua penulis,
Alm. Ayahnda KH. M. Burkan Saleh dan Almh. Ibunda Hj. Nuraini, yang ikut
mendoakan sewaktu beliau masih hidup. Semoga Beliau berdua tenang disisi-Nya.
Aamiin YRA; Suami penulis, Dr. Muhammad Ikbal, M.Pd. dengan cinta dan kasih
sayangnya telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan S3 di IPB;
anak-anak penulis, M. Rosikhul Ilmi, Egalita Fauziannissa, dan Najhwa Fazilla
Ikbal, yang selalu ikut mendoakan penulis dan terpaksa mengerti bahwa uminya
sedang menyelesaikan perkuliahan; Saudara penulis, kak Erwan Ekajaya, ST, M.T.,
mbak Rohai Inah, S.S., M.Si, dek Suharti Ningsih, S.P., M.Si., dek Verra Charoline,
S.E., M.H., yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, semangat serta
dukungannya: Seluruh keluarga baik di Lampung, Lahat maupun di Kerinci; Rekanrekan penulis yaitu Dr. Rastina Rachim, Dr. Nurlita Pertiwi, M.T., dan rekan S3
PSL tahun 2008; serta rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah diberikan mendapat
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi ini
bermanfaat.
Bogor, 2012
Dewi Sartika
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung karang pada tanggal 20 Desember 1970
sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan H. Syukur Siadjin dan Hj.
Syukuriah. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1994 pada Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian (THP), Universitas Lampung. Pendidikan S2 diselesaikan pada
tahun 1999 pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang dan tahun 2003
pada PPs Ilmu Pangan IPB. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor yang
didanai oleh beasiswa BPPS Dikti. Penulis bertugas pada Jurusan THP, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung, Bandar lampung sejak tahun 2008.
Selama mengikuti program S3, penulis aktif menulis artikel ilmiah di
bidang lingkungan. Artikel berjudul Economic Analysis on Deforestation telah
diterbitkan di Quantitatif International Journal 2009. Artikel lain yang berjudul
Clean Development Mechanism Project on Food industri telah disajikan pada
Annual International Conference on Green Technology and Engineering 2st tahun
2009. Artikel ilmiah yang berjudul The Effect of Phage FR38 on Sprague Dawley
Rat inferred from Blood Parameters and Organ Systems (merupakan bagian dari
disertasi S3) telah dipublikasikan pada Hayati Journal of Biosciences Vol.19 No. 3,
p.131-136 bulan September Tahun 2012.
.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................................xii
xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................xiii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................xv
xv
I PENDAHULUAN .....................................................................................................11
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................11
1.2 Perumusan Masalah ..........................................................................................44
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................78
1.4 Hipotesis Penelitian ...........................................................................................78
1.5 Novelty .............................................................................................................88
II TINJAUAN PUSTAKA ………............. .................................................................
9
2.1 Dampak cemaran Salmonellosis pada Lingkungan .........................................99
2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp .............................................................................
109
2.1.2. Patogenesis ...........................................................................................11
10
2.1.3. Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan ..............................12
11
2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada makanan ..............................14
14
2.2 Fage Litik .......................................................................................................14
15
2.2.1 Karakteristik Fage ..................................................................................14
17
2.2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage ................................................................17
18
2.3 Uji In Vivo ......................................................................................................18
18
2.3.1 Paparan Alergi dan Tanggapan Tubuh .................................................18
18
2.3.1.1 Alergen ....................................................................................18
19
2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi ........................................................19
19
2.3.1.3 Antibodi ..................................................................................21
21
2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil ...............................................................21
22
2.3.2 Uji Keamanan .......................................................................................22
24
2.3.1.1 Keamanan dan toksisitas ..........................................................22
24
2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi ...........................................23
25
2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh ......................................................24
26
2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal .........................................25
27
2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati ..............................................26
28
2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan .....................................27
30
2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Keamanan .......................27
28
2.4 Susu.....................................................................................................................
28
2.5 Sosis ....................................................................................................................
34
III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................36
32
3.1 Lokasi dan Waktu ...........................................................................................36
32
3.2 Bahan dan Alat ...............................................................................................36
32
3.3 Prosedur Penelitian .........................................................................................36
32
3.2.1 Produksi Fage ........................................................................................36
34
3.2.1.1 Pengkayaan Fage FR38 ............................................................36
34
3.2.1.2 Kuantifikasi Fage .....................................................................37
38
3.2.1.3 Efisiensi Lisis Fage ..................................................................37
38
3.2.2 Pemanfaatan fage .......................................................................................38
34
3.2.2.1 Pengolahan Susu dengan Aplikasi Fage ......................................38
34
3.2.2.2 Pengolahan Sosis dengan Aplikasi Fage ......................................39
35
3.2.2.3 Pengolahan Air dengan Aplikasi Fage .........................................40
36
3.2.2.4 Pengamatan ...................................................................................41
37
3.2.3 Uji Keamanan Secara In Vivo ....................................................................43
40
3.2.3.1 Persiapan Tikus ............................................................................43
34
3.2.3.2 Persiapan Ransum .........................................................................44
35
3.2.3.3 Konsumsi Makanan ......................................................................44
36
3.2.3.4 Pengumpulan Feses ......................................................................44
37
3.2.3.5 Pewarnaan .....................................................................................44
38
3.2.3.6 Pengamatan ...................................................................................44
38
3.4 Rancangan Percobaan ......................................................................................44
38
3.5 Analisis Data ....................................................................................................45
38
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................46
39
4.1 Perbanyakan Fage ...........................................................................................46
39
4.2 Efektifitas Fage FR38 pada Susu ...................................................................50
41
4.3 Efektifitas Fage FR38 pada Sosis ...................................................................53
44
4.4 Efektifitas Fage FR38 pada Air ......................................................................55
46
4.5 Keamananan Fage secara In Vivo ...................................................................56
47
4.5 Histopathology ...............................................................................................62
50
V SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................65
53
5.1 Simpulan ..........................................................................................................65
53
5.2 Saran ................................................................................................................66
53
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................67
54
LAMPIRAN ...............................................................................................................75
58
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Halaman
1
Bagan alir perumusan masalah ........................................... ...................................
5
2
Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di lingkungan ...........................
6 6
3
Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia .....................................
11 11
4
Siklus transmisi wabah Salmonellosis di lingkungan .............................................
13
5
Siklus replikasi fage .............................................................................................
15 30
6
Kepala, struktur, dan bentuk fage ........................................................................
16 16
7
Reproduksi fage ...................................................................................................
17 16
8
Mekanisme paparan alergen pada tubuh .............................................................
18 18
9
Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen ... ..........................................20
20
10 Prosedur pengolahan susu dengan aplikasi fage litik ............ .…………...…….35
39
11 Prosedur pengolahan sosis dengan aplikasi fage ...................................... …...…36
40
12 Pengaruh buffer ringer dan buffer SM terhadap rata-rata ukuran
flaque fage .......................................................................................................
48 40
13 Efektifitas lisis fage FR38 yang diukur berdasarkan nilai OD ............................
48 42
14 Uji bebas Salmonella, uji kuantifikasi fage, serta
pengamatan fage dengan menggunakan (TEM) .....................................................
49
15 Pengaruh perlakuan fage selama 48 jam: (A) fage FR 38 dan
Salmonella P 38; (B) Salmonella P 38; (C) Kontrol; (D) Buffer
SM dan dan (E) Nutrient Broth...................... ………….................
52
16 Pengaruh fage FR38 terhadap nilai pH susu........................................................
53 44
17 Pertumbuhan tikus kontrol dan perlakuan fage FR38 .........................................
58 48
18 Perbandingan jaringan tikus yang diberi perlakuan fage (ginjal (A),
Liver (C), Lambung (E) dan limpa (G)) dan jaringan tikus kontrol
(ginjal (B), Liver (D), Lambung (F) dan limpa (H)) HE x 200. .........................
62 51
19 Jaringan usus tikus yang diberi perlakuan FR38 (A) and Kontrol
(B) (HdanE.x200) ....................................................................................................
63
DAFTAR TABEL
No
Teks
Halaman
1
Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode 20052009 ........................................................................................................................
12
2
Infeksi Salmonella spp. Pada hewan ternak periode tahun 1990-2003 .................................................
13
3
Residu antibiotik pada produk ternak .................................................................14
14
4
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai PFU fage .......................................46
39
5
Pengaruh buffer stock terhadap nilai Plaque Forming Unit (pfu)
47
fage FR38 ........................................................................................................... 40
6
Pengaruh perlakuan Fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap
kandungan nutrisi susu .......................................................................................51
42
7
Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah
Salmonella P38 pada susu .....................................................................................
52
8
Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah
Salmonella pada sosis .......................................................................................54
45
9
Pengaruh perlakuan fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap
kandungan nutrisi sosis .......................................................................................55
45
10 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah
Salmonella P38 pada air ........................................................................................
56
11 Kreatinin dan total protein pada tikus yang diberi perlakuan fage ......................56
46
12 Nilai SGOT dan SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage ...........................57
47
13 Rata-rata berat organ selama perlakuan fage FR38 .............................................59
47
14 Penampakan feses tikus selama perlakuan fage FR38 .......................................60
49
15 Gambaran hematologi darah tikus yang diberi perlakuan fage
FR38 …… ...............................................................................................................
61
DAFTAR LAMPIRAN
No
Teks
Halaman
1
Tampilan fage FR38 ............................................................................................75
59
2
Tampilan flak dari fage FR38 ........................................................................ .....59
75
3
Proses sentrifugasi cairan fage ............................................................................75
59
4
Proses filtrasi cairan fage .....................................................................................76
60
5
Perlakuan fage pada susu .....................................................................................76
60
6
Penampakan sosis setelah mendapatkan perlakuan Salmonella P38 .................76
60
7
Penghitungan total mikroba dengan menggunakan media XLD ................... .....61
77
8
Tata letak kandang tikus ......................................................................................77
61
9
Tempat minum tikus ............................................................................................77
62
10 Makanan tikus .....................................................................................................78
62
11 Alat sonde tikus .............................................................................................. .....62
78
12 Tampilan tikus pada hari ke-16 ..........................................................................78
63
13 Pengambilan data berat badan .............................................................................79
63
14 Bentuk feses tikus ................................................................................................79
63
15 Proses anesthesia tikus ........................................................................................79
64
16 Organ tikus ..................................................................................................... .....64
80
17 Sampel organ diawetkan di dalam larutan formalin ................................................
80
18 Pengumpulan tikus setelah pembedahan .............................................................80
64
19 Artikel publikasi ilmiah ..........................................................................................
81
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Cemaran Salmonella di lingkungan seperti di tanah dan air banyak terjadi
baik di negara maju maupun berkembang. Air dan tanah yang tercemar
Salmonella , merupakan agen pencemar makanan dan minuman yang memicu
timbulnya wabah salmonellosis di lingkungan. Wabah salmonellosis di dunia
menyebabkan gastroenteritis akut atau diare (1.3 milyar jiwa) dan kematian (13
juta jiwa) (Portillo 2000). Budiarti et al. (1991) melaporkan bahwa Salmonella
derby yang diisolasi dari penderita diare di Myanmar secara in-vitro dapat melekat
dan menyerang sel Hep-2 yang mengindikasikan bahwa bakteri tersebut dapat
menyebabkan diare. Lebih dari 50% penyebab wabah diare di dunia diakibatkan
dari makanan yang tercemar Salmonella (Miliotis dan Bier 2003).
Di negara berkembang, wabah salmonellosis menyebabkan kematian
sekitar 3 juta penduduk setiap tahun (Zein et al. 2004). Wabah tersebut ternyata
tidak dapat dituntaskan dari tahun ke tahun. Acute Communicable Disease
Control (ACDC) (2009) melaporkan bahwa insiden salmonellosis yang tertinggi
pada golongan umur 15-34 tahun (22,7%); diikuti oleh golongan 1-4 tahun
(19.2%); 5-14 tahun (16.3%); > 65 tahun (10.3%); 35-44 tahun (9.2%); 45-64
tahun (8.5%); < 1 tahun (7.5%); dan 55-64 tahun (6.4%).
Di Indonesia, berdasarkan survey di rumah sakit di Jakarta, Padang,
Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar, dan Batam dari 2.812 pasien diare
penyebab utama diantaranya adalah Salmonella spp, dengan rincian kasus diare
yaitu di puskesmas (13.3%); rumah sakit rawat inap (0.45%); dan pasien rawat
jalan (0.05%) (Zein et al. 2004). Agen penyebab wabah salmonellosis menurut
Grau (1989) mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia baik
langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak. Menurut
Poernomo (2004) infeksi Salmonella spp. Pada ternak tahun 1990-2003 yang
tertinggi adalah infeksi S. enteritidis (294 kasus); diikuti S. typhimurium
(65 kasus) dan S. hadar (52 kasus). Hewan yang terinfeksi Salmonella dari
lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui fesesnya. Feses tersebut akan
mencemari kembali lingkungan sekitar seperti tanah dan air.
2
Transmisi pencemaran Salmonella sp. dari lingkungan ke pangan
menyebabkan food borne diseases dan water borne disease (Bell dan Kyriakides
2002). Cemaran Salmonella sp. pada pangan yang mengakibatkan keracunan
pangan telah banyak diteliti, misalnya pada daging mentah dan sosis (Zhuang dan
Mustapha 2005); susu serta produk olahannya (Izzo 2011).
Susu dan sosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
Salmonella sp. Deteksi cemaran Salmonella sp. pada susu sudah banyak dilakukan
yaitu pada susu sapi olahan (Bhattacharya et al. 2012); susu kambing
(Migeemanathan et al. 2011); susu mentah (Hill et al. 2012); susu bebas lemak
(Barbaree et al. 2007) dan susu bubuk (Anderson et al. 2007).
Cemaran
Salmonella sp. pada Sosis ternyata juga telah diteliti misalnya pada sosis babi di
Irlandia (Buttler et al. 2012); sosis babi segar di Brazilia (Cardoso et al. 2009);
dan sosis fermentasi (Hwang et al. 2009).
Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan
dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia, misalnya sodium benzoate,
sodium nitrat, sodium sulfit, butylated hydroxyl toluene (BHT), butylated
hydroxyl anisol (BHA), t-butyl hydroxy quinon (TBHQ). Bahan pengawet
tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan
memberi efek karsinogenik (BPOM 2003). Menurut Sinha dan D’Souza (2010),
sodium benzoat pada dosis 155 mg/kg bb berefek gangguan pada sel hati tikus.
Sodium benzoate juga merugikan bagi penderita asma yang peka terhadap aspirin
(BPOM 2003).
Menurut Essien (2007) sosis umumnya menggunakan pengawet sodium
benzoat dan sodium sulfat, sodium karbonat, BHA, BHT, ammonium karbonate,
sodium fosfat, potasium fosfat, dan lain lain. Sedangkan susu umumnya
menggunakan pengawet sodium benzoat, sodium asetat, sodium propionat,
sodium sorbat, derivat sulfit (Zuethen dan Sorensen 2003)
Harga zat pengawet yang mahal ternyata membuat produsen pangan
menggantinya dengan zat pengawet yang tidak diperbolehkan misalnya formalin,
tawas dan hydrogen peroxida. Berdasarkan survey Sinaga (2011) di 3 pasar
tradisional di Medan ternyata ikan kembung olahan mengandung formalin dengan
kadar 1.86 mg/kg; 2,47 mg/kg; dan 1.46 mg/kg. Penggunaan formalin juga
3
terdapat pada produk tahu, susu, daging sapi, daging ayam, mie, dan saos. Zat
pengawet yang tidak diperbolehkan seperti formalin selain menekan mikroba,
juga menyebabkan kerusakan pada jaringan saluran cerna (Mahdi et al. 2009).
Penurunan paparan Salmonella pada hewan juga menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai takaran memberi efek resistensi pada
mikroba sehingga produk hasil hewan seperti daging dan susu menjadi tidak aman
dikonsumsi karena menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba
tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk
ternak sudah banyak diteliti misalnya pada susu individu (80%), susu kandang
(24%), susu loper (34.4%) (Sudarwanto 1990); residu penisilin pada susu
pasteurisasi (Sudarwanto 1992); serta residu tetrasiklin, khlortetrasiklin,
oksitetrasiklin pada susu segar (Bahri 2008). Residu penisilin dan tetrasiklin juga
terdeteksi pada daging sapi dan daging ayam (Iniansredef 1999). Budiarti (2011)
melaporkan adanya paparan E. coli resisten antibiotik pada 95% manusia sehat
pada berbagai usia bahkan pada fase neonatus. Berdasarkan paparan diatas perlu
alternatif lain untuk menurunkan mikroba juga Salmonella pada pangan.
Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan pengawetan pada
proses pengolahan pangan, karena bersifat alami, dan banyak terdapat di
lingkungan (Abedon 2008); dapat diisolasi dari berbagai macam bahan pangan
misalnya fage E. coli pada kerang (Albert et al. 1994); fage E. coli pada wortel
(Endley et al. 2003); fage Propionibacterium freudenreichii pada keju (Gautier et
al. 1995); fage Campylobacter pada daging (Atterburry et al. 2001); fage
Lactobacillus spp. pada yogurt (Kilic et al. 1996).
Di Indonesia isolasi fage sudah dilakukan, seperti isolasi fage
Xanthomonas campestris (Triana, 1996); fage enteropatogenik E. coli (Budiarti et
al. 2011); dan fage Salmonella FR38 (Budiarti dan Rusmana 2010). Penemuan
fage bakteri tersebut belum diiringi pemanfaatannya di lingkungan dan pangan.
Pada penelitian ini dilakukan kajian pemanfaatan
fage litik dalam
menurunkan cemaran Salmonella pada sosis, susu, dan air. Menurut Winarno
(2004) pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahan toksik
yang membahayakan tubuh manusia. Dilaporkan oleh Budiarti dan Rusmana
(2010) fage Salmonella FR38 yang diisolasi dari limbah domestik dapat
4
melisiskan bakteri Salmonella P38 indigenous yang diisolasi dari pasien anakanak diare, secara signifikan. Salmonella P38 tersebut resisten amoxicillinclavulanic acid, ampicillin, ampicillin sulbactam, chepalotin. Sehingga diduga
fage FR 38 dapat menurunkan kontaminasi Salmonella P38 pada sosis, susu, dan
air. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh pemanfaatan
fage FR38 terhadap penurunan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta
keamanannya secara in vivo.
1.2 Perumusan Masalah
Salmonella sp. adalah bakteri patogen pencemar lingkungan tanah dan air,
yang mengakibatkan wabah salmonellosis atau diare pada hewan dan manusia.
Transmisi Salmonella dari lingkungan ke hewan atau manusia dan sebaliknya
akan membentuk siklus terus menerus (Gambar 2). Cemaran Salmonella pada
tanah, air, dan hewan menyebabkan kontaminasi pada produk pangan dan air.
Cemaran Salmonella pada pangan ditemukan juga pada sosis, susu, dan air.
Salmonella P38 adalah bakteri resisten terhadap antibiotik. Bakteri resisten
antibiotik bila mencemari pangan akan menyebabkan penyakit yang sulit diobati.
Penurunan mikroba pada pangan di Indonesia dilakukan dengan penambahan zat
pengawet pangan. Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba
ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan terus
menerus (efek akumulatif).
Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif penurun mikroba Salmonella
pada pangan yang bersifat alami dan non toksik serta ramah lingkungan. Fage litik
dapat dijadikan alternatif sebagai pengawet pada proses pengolahan pangan. Pada
penelitian in vitro diketahui, populasi Salmonella P38 dapat diturunkan dengan
melakukan penambahan Fage FR38. Fage FR38 diisolasi dari limbah domestik
dan bersifat spesifik dalam menginfeksi host (inang). Efektifitas dan keamanan
penggunaan fage pada pangan di Indonesia sejauh ini belum banyak dilakukan.
Sehingga perlu adanya kajian efektifitas dan keamanan pemanfaatan fage FR38
untuk menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu dan air. Perumusan
masalah dan pola transmisi wabah salmonellosis disajikan pada Gambar 1 dan 2.
5
SALMONELLA. MENCEMARI LINGKUNGAN TANAH DAN AIR
WABAH SALMONELLOSIS PADA HEWAN DAN MANUSIA
SALMONELLA P38 MENCEMARI PRODUK SOSIS, SUSU, DAN AIR
ZAT PENURUN CEMARAN BAKTERI PADA PANGAN DAN AIR YANG DIPERBOLEHKAN: MAHAL DAN KARSINOGENIK
PRODUSEN MENGGUNAKAN PENGAWET YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DAN ANTIBIOTIK
TOKSIK DAN BERBAHAYA BAGI KESEHATAN
FAGE FR38 MERUPAKAN ALTERNATIF BARU
MUDAH DIDAPAT DAN DIPERBANYAK
ALAMI
TIDAK TOKSIK
RAMAH LINGKUNGAN
PERMASALAHAN: PENERAPAN PADA PANGAN DAN PENELITIAN
FAGE DI INDONESIA SANGAT MINIM DILAKUKAN
PERLU PENELITIAN LEBIH LANJUT PEMANFAATAN FAGE FR38 DALAM MENURUNKAN CEMARAN
SALMONELLA P38 PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR SERTA KEAMANANNYA SECARA IN-VIVO
KEAMANAN IN-VIVO
EFISIENSI
PENURUNAN CEMARAN SALMONELLA P38
PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR
PENURUNAN WABAH SALMONELLOSIS
PENURUNAN CEMARAN SALMONELLA P38 DI LINGKUNGAN
Gambar 1 Bagan alir Perumusan Masalah
6
Salmonella mencemari lingkungan
Cemaran Salmonella di------------------tanah dan air
Fage
sebagai
---------------pencegah
infeksi
---------------------Foodborne dan
waterborne disease
Hewan
Perlakuan
Fage pada
air dan
pangan
Manusia
Wabah salmonellosis di Lingkungan
Feses mengandung Salmonella
mencemari lingkungan
Gambar 2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan
Keterangan: ------ = pemutusan rantai
Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini maka cemaran Salmonella
P38 pada sosis, susu, serta air akan menurun. Pemanfaatan fage dalam penurunan
cemaran Salmonella
akan memutus rantai berulang siklus transmisi wabah
salmonellosis di lingkungan (Gambar 2). Berdasarkan paparan di atas, maka
perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38
pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis
seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar?
2. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38
pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu
seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu?
3. Apakah fage FR38 efektif menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila
dikaji berdasarkan total mikroba?
4. Apakah penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan
fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses,
hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley?
7
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran
Salmonella
P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat
kasar.
2. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran
Salmonella
P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.
3. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran
Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba.
4. Mengetahui tingkat keamanan penggunaan fage litik secara in-vivo bila dikaji
berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan
feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
1.
H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan
cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total
mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar
air, kadar abu serta serat kasar.
H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu
serta serat kasar.
2.
H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar
abu.
H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar
abu.
3.
H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba
8
H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba
4.
H0: Penggunaan fage FR38 tidak aman secara in-vivo bila dikaji
berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ,
penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus
galur sprague dawley.
H1: Penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan
fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan
feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague
dawley.
1.5 Novelty atau kebaruan
Kebaruan dari penelitian ini adalah:
1. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti
lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.
2. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti
lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.
3. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
air bila dikaji berdasarkan total mikroba.
4. Keamanan penggunaan fage litik secara in vivo.bila dikaji berdasarkan fungsi
hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi
darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dampak Cemaran Salmonella pada Lingkungan
2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp.
Salmonella sp. adalah bakteri berbentuk batang lurus, gram negatif, tidak
berspora, bergerak dengan flagel peritrik, memiliki ukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm
(Jawetz et al. 2005). Salmonella sp. hampir tidak pernah memfermentasi laktosa
dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari manosa, memporoduksi
hidrogen sulfide atau H2S. Pada biakan agar koloninya memiliki median 2-8
milimeter, dengan bentuk bulat agak cembung, dan jernih (Robinson et al. 2000).
Menurut Cox (2000) Salmonella sp. bersifat motil dan memfermentasi glukosa
dengan membentuk gas dan asam.
Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang
lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu misalnya hijau brillian,
sodium tetrathionat, dan sodium deoxycholate (Robinson et al. 2000). Menurut
Ray (2001) Salmonella sp. mampu berkembang biak pada berbagai makanan
tanpa mempengaruhi tampilan kualitasnya.
Genus Salmonella adalah termasuk family Enterobactericeae (Jawetz
et al. 2005) dan merupakan bakteri fakultatif anaerob. Salmonella dapat tumbuh
pada suhu 5-45oC dengan suhu optimum 35-37oC (Ray 2001); mampu hidup pada
pH rendah tetapi sensitif dengan penambahan garam. Salmonella akan
membentuk rantai filamen panjang ketika tumbuh pada suhu ekstrim 4-8oC atau
44oC serta pada pH 4.4 atau 9.4 (Bhunia 2008). Semua Salmonella merupakan
patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang
makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Jawetz et al. 2005). Faktor virulensi yang
terlibat dalam patogenisitas Salmonella sp meliputi lipopolisakarida (LPS) dan
pili (Cogan dan Humprey 2003).
Klasifikasi Salmonella sp. berdasarkan dasar reaksi biokimia dan serotipe
yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik (Jawetz
et al. 2005), menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp. dapat diklasifikasikan
menjadi tiga spesies yaitu S. typhi, S. enteritidis, S. cholerasuis (Molbak et al.
2006). Berdasarkan serotipenya di klasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu S.
10
paratyphi A (Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C
(Serotipe group), dan S. typhi dari Serotipe group D (Jawetz et al. 2005).
2.1.2 Patogenesis
S. typhi, S. paratyphi A, B dan C merupakan penyebab infeksi utama pada
manusia. Bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral dan biasanya dengan cara
mengkontaminasi makanan dan minuman (Jay 2000). Diantara faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp adalah
keasaman lambung, flora normal dalam usus dan ketahanan usus lokal (Jawetz et
al. 2005).
Menurut Robinson et al. (2000) Salmonella juga terdeteksi pada
daging, susu, telur, buah dan Sayur. Telur yang terkontaminasi Salmonella yang
disimpan pada suhu kamar dapat mencapai 1011 sel/telur (Robinson et al. 2000).
Mekanisme patogenesis Salmonella biasanya melalui proses infeksi
sistemik yang mengakibatkan demam, diare, abdominal pain, dan vomitting.
Gejala timbul tergantung daya tahan tubuh, umumnya setelah terpapar 3-4 hari
(Bhunia 2008). Dosis infeksi Salmonella bervariasi yaitu 1-109 cfu/g, menurut
Bhunia (2008) dosis minimal Salmonella yang mengakibatkan penyakit adalah
103 cfu/g. Menurut Cooper (1994) dosis 103 dapat menyebabkan wabah
salmonellosis pada manusia. Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran
cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). S typhi,
paratyphi A, B, dan C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau
minuman yang tercemar (Rabson et al. 2005). Setelah berhasil melampaui usus
halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh
tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain (Gambar 3). Akibatnya
feses dan urin penderita bisa mengandung kuman S. typhi, S. paratyphi A, B dan
C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar. Pada penderita yang tergolong carrier kuman Salmonella bisa ada terus
menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun (Rabson et al. 2005).
11
Gambar 3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia
(Smida 2011)
Bakteri tersebut melalui aliran darah juga akan menyerang hati, kantong
empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang dan menyebabkan infeksi organorgan tersebut (Ray 2001). Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah
mereka menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder.
Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam
dan penyakit klinis (Rabson et al. 2005).
Gejala klinis pada salmonellosis tergantung pada sifat virulensi dan invasi
bakteri, jumlah bakteri, daya tahan tubuh hospes (umur dan kesehatan). Masa
inkubasi infeksi Salmonella pada manusia adalah 5-72 jam tetapi gejala umumnya
terjadi setelah 12-36 jam menelan makanan yang terkontaminasi Salmonella.
Tanda-tanda awal adalah diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah.
Salmonellosis bila tidak ditangani dengan tepat akan mengakibatkan kematian
(Rabson et al. 2005).
12
2.1.3 Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan
Salmonellosis adalah wabah yang timbul akibat adanya infeksi bakteri
Salmonella yang menyerang saluran gastrointestinal setelah mengkonsumsi
makanan yang tercemar Salmonella. Wabah salmonellosis telah terjadi sejak 20
tahun yang lalu di Eropa. Tahun 1980-an terjadi peningkatan yang signifikan
wabah salmonellosis yang diakibatkan oleh S. enteritidis dan pada tahun 1990
wabah ini menyebar ke negara berkembang. Wabah salmonellosis bersifat
epidemik. Wabah ini menurun setelah dilakukan beberapa implementasi kontrol
Salmonella. Prosentase wabah Salmonellosis berdasarkan usia disajikan oleh
ACDC (2009) pada Tabel 1.
Tabel 1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode 2005 - 2009
Kriteria
Berdasarkan Usia (tahun)
<1
1-4
5 - 14
15 - 34
35 - 44
45 - 54
55 - 64
65 +
Tidak teridentifikasi
Berdasarkan Ras/etnik
Asia
Hitam
Amerika
Putih
Lain-lain
Tidak teridentifikasi
2005
2006
2007
2008
2009
8.8
17.6
17.4
20.3
10.8
8.1
6.7
10.1
0.2
8.2
18.2
17.1
20.6
8.6
9.2
6.6
11.5
0
9.2
16.9
15.9
20.9
10.5
7.9
6.9
11.5
0.3
5.4
37.4
10.4
17.0
9.2
7.1
5.6
7.8
0.2
7.5
19.2
16.3
22.7
9.2
8.5
6.4
10.3
0
9.7
6.8
45.8
36.1
0.6
1.2
11.3
7.8
50.0
28.8
0.3
1.6
10.5
5.9
49.9
31.4
0.9
1.4
7.0
4.7
65.4
19.9
0.2
2.9
8.6
6.3
52.0
30.7
0.8
1.6
Agen penyebab wabah salmonellosis ini mudah ditransmisikan dari
lingkungan ke hewan dan manusia serta sebaliknya baik langsung ataupun tidak
langsung melalui produk pangan asal ternak (Grau 1989). Hewan yang terinfeksi
Salmonella dari lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui feses (Tabel
2). Feses tersebut akan mencemari lingkungan sekitar seperti tanah dan air.
Mekanisme wabah salmonellosis di lingkungan tersaji pada Gambar 4.
13
Tabel 2 Infeksi Salmonella spp. pada hewan ternak periode tahun 1990-2003
Salmonella spp.
A
B
C
D
E
F
G
H
S. Typhi
16
4
2
5
35
1
2
65
S. enteritidis
197
8
59
22
5
3
S. hadar
29
1
15
4
3
52
S. lexington
4
1
10
1
1
17
S. ouakam
23
2
3
1
29
S. schwarzengrund
19
2
1
11
4
1
38
Keterangan: A = Unggas (ayam, itik, burung); B = Ruminansia (Sapi, kerbau,
kambing, domba); C = Babi, kucing, anjing; D = Limbah (Rumah
potong hewan, alat, air, sampah, bulu); E = Pangan asal ternak
(karkas, daging, susu, telur dan produknya; F = Pakan ternak;
G = Manusia; H = Jumlah (Poernomo 2004).
Salmonella mencemari lingkungan
Cemaran Salmonella di tanah dan air
Foodborne dan
waterborne disease
Hewan
Manusia
Wabah salmonellosis di Lingkungan
Feses mengandung Salmonella
mencemari lingkungan
Gambar 4 Siklus transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan
Penurunan paparan Salmonella pada hewan ternyata juga dilakukan
dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak sesuai takaran
ternyata memberi efek negatif yaitu produk hasil hewan seperti daging dan susu
tidak aman dikonsumsi, menyebabkan reaksi alergis, keracunan, resistensi
mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada
produk ternak tersaji pada Tabel 3.
14
Tabel 3 Residu antibiotik pada produk ternak
Produk
Susu individu
Susu kandang
Susu loper
Susu pasteurisasi
Susu segar
Susu mentah
Daging sapi
(super market)
Hati sapi
(super market)
Daging ayam
(super market)
Hati ayam
(super market)
Sampel
positif (%)
80
24
34.4
32.5
5.5
63.7
70.3
59.1
100
11.1
22.2
100
12.5
12.5
41.7
100
14.3
Jenis residu
Sumber
antibiotik
antibiotik
antibiotik
penisilin
tetrasiklin
klortetrasiklin
oksitetrasiklin
penisilin
penisilin
makrolida
tetrasiklin
penisilin
makrolida
tetrasiklin
penisilin
Sudarwanto (1990)
Sudarwanto (1990)
Sudarwanto (1990)
Sudarwanto et al. (1992)
Bahri (2008)
Bahri (2008)
Bahri (2008)
Sudarwanto et al. (1992)
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
penisilin
aminoglikosida
Iniansredef (1999)
Iniansredef (1999)
2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan
Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi
Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dibandingkan penyebab
foodborne diseases lainnya. Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan
dapat menggunakan teknik biakan konvensional (Ray 2001). Terdapat lima
tahapan prosedur untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan, yaitu tahap
pre-enrichment (pra-pengayaan), selective enrichment (pengayaan selektif),
selective plating media (media pemupukan selektif), uji biokimia, dan uji
serologik (Ray 2001).
2.2 Fage litik
2.2.1 Karakteristik Fage
Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri
di dalam bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel
inang. Fage secara metabolisme hanya dapat bereproduksi setelah menginfeksi
sel inang bakteri yang cocok. Fage bersifat sangat spesifik dan tidak bersifat
15
toksik terhadap binatang dan tumbuhan. Seperti pada virus umumnya, fage
mengandung asam nukleat DNA berantai tunggal atau ganda dan RNA berantai
tunggal yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid terdiri atas subunit
kapsomer (Pelczar dan Chan 2007).
Fage berdasarkan sistem klasifikasi dari the International Committee on
Taxonomy of viruses, dimasukkan dalam kelompok ordo I, yaitu caudovirales
dengan ciri fage yang memiliki DNA double-strand dan berekor. Fage yang
merupakan virus penginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogenik
dengan daur siklus yang berbeda (Gambar 5).
Gambar 5 Siklus replikasi fage (Todar 2009)
Semua fage mempunyai inti asam nukleat yang ditutupi oleh selubung
protein atau kapsid (Gambar 6). Kapsid terdiri sub unit morfologis yang disebut
kapsomer. Kapsomer terdiri dari sub unit atau molekul protein yang disebut
protomer (Pelczar dan Chan 2007).
16
(A) Kepala fage
(B) Struktur fage
(C) Bentuk fage
Gambar 6 Kepala, struktur dan bentuk fage (Sahrojas 2010)
Cara reproduksi fage litik terdiri atas 5 tahap, yaitu tahap adsorpsi, tahap
penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Bila fage litik
menginfeksi sel bakteri maka fage akan bereplikasi di dalam sel inang membentuk
sejumlah fage baru kemudian akan membuat sel inang pecah (Hogg 2005). Pada
tahap adsorpsi, ujung ekor melekat pada sel melalui reseptor khusus pada
permukaan sel. Proses perlekatan ini bersifat spesifik dimana reseptor dan fage
bersifat sebagai pasangan (Gambar 7). Reseptor dapat berupa lipopolisakaida,
flagela, vili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel.
17
Gambar 7 Reproduksi fage (Hyglos 2012)
Pembentukan kepala, ekor, dan serabut ekor diatur melalui 3 jalur yang
dilaksanakan oleh runutan gen yang berlainan. Tahap pematangan atau perakitan
merupakan tahap penyusunan asam nukleat dan protein virus menjadi partikel
virus yang utuh. Tahap perakitan terjadi setelah sintesis protein dan asam nukleat
yang diikuti oleh lisis sel bakteri dan pelepasan fage (Hogg 2005)
2. 2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage
Penemuan dan penelitian fage telah banyak dilakukan sejak Ernest
Hanbury Hankin melakukan pengamatan pertamakali terhadap aktivitas fage yang
menginfeksi Vibrio cholerae di India pada tahun 1896. Setelah penemuan fage
pada tahun 1915-1917, penggunaan fage secara klinis pada manusia terhadap
infeksi bakteri telah dilakukan di Eropa khususnya di Eropa Timur (Pelczar dan
Chan 2007). Terapi fage telah digunakan untuk melawan penyakit infeksi pada
kulit, tulang, saluran gastrointestinal, dada, abdomen, kepala, leher, dan sistem
organ tubuh lainnya (Abedon 2008). Pada tahun 1921, Bruynoghe dan Maisin
menggunakan
fage
untuk
perlakuan
terhadap
penyakit
kulit
akibat
18
Staphylococcus. Pada tahun l940-an, perusahaan Eli Lilly di US memproduksi 7
produk fage yang digunakan untuk manusia. Kemudian pada tahun 1980-an,
Smith dan Huggins melaksanakan berbagai percobaan terapi fage (Abedon 2008).
2.3 Uji In-vivo
2.3.1 Paparan Alergi dan Respon Tubuh
2.3.1.1 Alergen
Istilah alergi adalah keadaan respon immun yang menyimpang atau respon
immun berlebihan terhadap suatu substansi atau antigen (Despopoulos dan
Silbernagl 2003). Alergi dikenal juga dengan istilah reaksi hipersensitivitas.
Secara definitif, alergi diartikan sebagai reaksi immunologi terhadap antigen
(benda asing) secara tak wajar pada seseorang yang sebelumnya terpapar oleh
antigen yang bersangkutan. Sedangkan Roitt's (2001) mendefinisikan alergi
sebagai respon hipersensitivitas yang diakibatkan bahan asing yang dapat
menimbulkan gangguan immun pada tubuh. Respon
alergi
adalah
reaksi
perlawanan yang dapat berulang terhadap suatu bahan yang diperantarai oleh
respon immunologis (Gambar 8).
Gambar 8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh (Ningrum 2009)
Zat atau senyawa yang dapat menimbulkan reaksi alergi disebut alergen.
Reaksi alergi dapat disebabkan oleh makanan seperti kasein, protein dari telur,
19
susu sapi, kacang-kacangan, gandum, ikan, kerang-kerangan dan jenis makanan
seperti coklat, jeruk, daging, kentang, apel dan tomat, antigen, vaksin, obat dan
parasit (Corwin 2008). Senyawa ideal yang dapat bersifat alergen mempunyai
berat molekul 10.000 sampai 70.000 Dalton. Berat molekul yang kurang dari
10.000 Dalton dapat bersifat alergen apabila berikatan dengan protein pembawa
alergen.
2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi
Reaksi alergi terdiri dari dua jenis yaitu reaksi tertunda (delayed) dan
langsung (immediate). Reaksi alergi tertunda biasanya bersifat lokal sedangkan
reaksi alergi langsung bersifat lebih serius dan tidak hanya melibatkan kulit, tetapi
juga permukaan mukosa (Roitt's 2008). Waktu untuk memunculkan reaksi alergi
sejak terpapar alergen pada reaksi alergi tertunda sekitar 6 jam sampai 2 hari,
sedangkan pada reaksi langsung antara beberapa menit hingga 1 jam. Jalur
immunologis dan perantara yang terlibat pada kedua jenis reaksi alergi berbeda.
Reaksi alergi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi
menurut kecepatannya dan mekanisme immun yang terjadi (Kuby 2007; Roitt's
2008). Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, reaksi anafilaksis atau reaksi alergi
yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen yang masuk
ke dalam tubuh akan menimbulkan respon immun dengan disintesisnya IgE yang
disebut proses sensitisasi. Kemudian IgE diikat oleh reseptor Fc pada permukaan
sel mast dan basofil.
Apabila tubuh sudah tersensitisasi tersebut terpapar oleh alergen yang
sama, alergen tersebut akan membentuk ikatan dengan IgE pada permukaan sel
mast dan sel basofil. Setiap alergen terikat oleh dua atau lebih molekul IgE (cross
linking) (Despopoulos
dan
Silbernagl
2003).
Kuatnya ikatan tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi-reaki biokimia dalam sel.
Roitt's (2008) menjelaskan bahwa contoh reaksi tipe I adalah alergi
terhadap makanan. Alergi makanan biasanya ditimbulkan oleh reaksi yang
diperantarai oleh IgE. Sintesis IgE pada individu yang alergi terjadi sebagai akibat
dari adanya respon immunologi terhadap alergen yang masuk ke dalam tubuh
(Gambar 9). Sedangkan untuk individu yang non alergi, respon immunologi
20
terhadap protein makanan yang masuk ke dalam tubuh adalah sintesis IgD, IgA,
IgM atau IgG (Kuby 2007).
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi alergi sitotoksik yang terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG dan IgM terhadap antigen. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan komplemen dan sel fagosit sehingga menimbulkan lisis
(Despopoulos dan Silbernagl 2003). Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit
autoimmun juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II.
Gambar 9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen (Nature 2006)
Reaksi alergi tipe III disebut juga reaksi kompleks immun terjadi akibat
penimbunan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.
Biasanya antibodi yang terlibat adalah jenis IgG. Kompleks antigen-antibodi
tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas Macrophage
Chemotactic Factors (Roitt's 2008).
Reaksi hipersensitifitas lambat atau tipe IV timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpapar antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang sudah
21
disensitisasi terhadap antigen tertentu. Dalam keadaan ini tidak ada peranan
antibodi (Corwin 2009).
2.3.1.3 Antibodi
Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang
dibentuk oleh sel plasma akibat kontak dengan antigen. Antibodi jenis IgE,
pertama kali ditemukan oleh Ishizaka. IgE atau antibodi reagenik mempunyai
berat molekul 200.000 dalton. Kadar IgE ditemukan dalam serum paling sedikit,
akan tetapi efeknya sangat nyata. Kadar IgE normal dalam serum orang Swedia
(0,1-178 IU/ml) dan untuk orang Indonesia (0-<120 IU/ml). Antibodi jenis IgE
ini banyak dihasilkan terutama pada traktus respiratorius, gastrointestinal dan
merupakan bagian dari antibodi sistem sekterotis eksternal, seperti halnya IgA
(Despopoulos dan Silbernagl 2003).
Individu yang menderita alergi dapat dicirikan dengan tingginya kadar IgE
akibat stimulasi oleh antigen seperti debu, tepung sari, jamur atau makanan.
Antibodi jenis IgE akan berikatan dengan kuat (high affinity) pada reseptor Fce
(FceRl) pada sel mast dan sel basofil, sedangkan low affinity terjadi pada reseptor
FceR (FceR2) pada sel limfosit, mast, eosinofil dan platelet (Kuby 2007).
2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil
Jumlah sel basofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah sangat sedikit,
yaitu kurang dari 0.5% dari seluruh darah putih. Sel basofil diduga berfungsi
sebagai sel fagosit, tetapi yang jelas sel tersebut berfungsi sebagai sel mediator.
Sel Mast adalah sel yang dalam struktur, fungsi dan proliferasinya sama dengan
basofil (Kuby 2007).
Berbeda dengan basofil, sel mast hanya dapat ditemukan di jaringan
khususnya paling banyak ditemukan pada permukaan jaringan seperti kulit.
Kandungan sel mast pada kulit yaitu 104 sel /mm3, kemudian pada alveoli paruparu 106 sel/gram jaringan, gastrointestinal, mukosa dan membran mukosa nasal.
Seperti halnya sel mast, sel basofil juga mempunyai reseptor dengan afinitas yang
tinggi untuk IgE, kira-kira 270.000 reseptor FceRl terdapat dalam permukaan sel.
Pada kulit, baik sel basofil maupun sel mast dapat melepaskan bahan-bahan
(mediator) yang mempunyai aktivitas
biologik,
antara
lain: meningkatkan
22
permeabilitas vaskuler, respon inflamasi, mengerutkan otot polos bronkus dan
Iain-lain (Kuby 2007).
Sel mast dan basofil akan melepaskan mediatornya apabila diaktifkan oleh
alergen spesifik dengan mekanisme IgE. Selain itu, dapat juga diaktifkan dengan:
1. Sel yang dapat merangsang pelepasan histamin: sel neutrofil, eosinofil,
limfosit, makrofag, trombosit,sel endotel.
2. Rangsangan obat: opionid, antibiotik, kontras pelemas otot.
3. Hipoksia
4. Komponen Ca-Ionophor (A-23187)
5. Anafilatoksin (polipeptida basa) : C3a, C4a dan C5a
6. Rangsangan fisis : panas, sinar matahari, dingin dan tekanan
7. Sitokin : Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-3 (IL-3) dan GM-SF
(Granidocyte-Macrophage-Colony-Stimulating Factor)
Mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil terdiri dari 2 jenis yaitu
mediator primer dan sekunder. Mediator primer sudah tersimpan dalam granula
sel dan mediator sekunder disintesis setelah aktivasi sel sasaran atau dilepaskan
pada saat kerusakan fospolipid membran dalam proses degranulasi (Kuby 2007).
2.3.2 Uji Keamanan
2.3.1.1 Keamanan dan Toksisitas
Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan terhadap fage. Uji keamanan
pada fage untuk mengetahui ada tidaknya efek toksik/racun yang terdapat pada
fage apabila digunakan sebagai bahan tambahan pada bahan pangan. Uji toksisitas
yang diteliti pada hewan percobaan biasanya untuk mengevaluasi keamanan dari
kandungan dari suatu bahan untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan
tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Pada penelitian
ini dilakukan uji keamanan pada fage selama 15 hari.
Uji keamanan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala
keracunan dan efek suatu bahan pada tubuh. Uji keamanan dalam penelitian ini
bertujuan mengukur efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian
suatu bahan sebagai dosis tunggal. atau berulang yang diberikan dalam 24 jam.
Hewan uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Suckow
23
(2001) penelitian uji keamanan ini paling sedikit menggunakan 4 hewan uji.
Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau
gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan
kematian semua (100%) hewan uji.
Pada penelitian ini dilakukan pengujian tingkat keamanan suatu bahan.
Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan dengan
pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan
ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Suckow 2001). Informasi yang didapatkan
seperti hematologi, histologi dan pathogenesis, dapat menjelaskan adanya suatu
proses aman atau tidaknya bahan bila masuk ke dalam tubuh hewan coba selama
perlakuan.
2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi Alergen
Jalur utama bagi penyerapan alergen adalah saluran cerna, paru-paru
dan kulit. Banyak alergen dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air
minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang
kaustik, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau
mereka diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lebih lamanya waktu
kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Kuby 2007).
Alergen mencapai hati melalui sistem vaskuler. Di dalam hati, alergen
mengalami biotransformasi. Hasil dari biotransformasi tersebut dapat berupa
metabolit aktif dari alergen tersebut atau berupa senyawa lainnya yang merupakan
produk sampingannya. Metabolit aktif atau senyawa sampingannya tersebut dapat
mempengaruhi fisiologi hati bila bersifat toksik. Sebagai akibatnya, fungsi hati
dapat terganggu, seperti menurunnya kemampuan sintesa protein, hambatan
konjugasi bilirubin, dan timbulnya lesi pada hepatosit yang semakin lama
berkembang menjadi nekrosis yang meluas (Kuby 2007).
Ginjal membuang alergen dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme
faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler
glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm) karena itu, sebagian besar
alergen akan lewat di glomerulus, kecuali alergen yang sangat besar (lebih besar dari
24
berat molekul 60.000 Dalton) atau yang terikat erat pada protein plasma. Alergen
dalam filtrat glomerulus akan mengalami reabsorps di sel-sel tubulus bila
koefisien partisi tinggi. Suatu alergen diekskresikan lewat tubulus ke dalam urin
melalui mekanisme difusi pasif (Roitt's 2001).
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi alergen. terutama
untuk senyawa yang polaritasnya tinggi dan yang terikat pada protein plasma.
Umumnya, alergen tersebut tidak akan diserap kembali ke dalam darah, hanya
dikeluarkan melalui feses (Kuby 2007).
2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh
Efek toksik sangat bervariasi baik dalam sifat maupun mekanisme
kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan
(dan/atau metabolitnya) dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur itu
dapat bersifat nonspesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan bahan
korosif. Tetapi seringkali strukturnya itu spesifik, misalnya struktur subseluler
tertentu. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan lesi pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau
beberapa organ saja. Organ seperti itu disebut sebagai target organ (Roitt's 2001).
Efek toksik disebut reversibel jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya.
Sebaliknya, efek bersifat irreversibel bila menetap atau justru bertambah parah
setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel ini di antaranya adalah
karsanoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan dapat
reversibel bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang
singkat. Sementara. efek ireversibel dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar
yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama efek morfologis berkaitan dengan
perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek
jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat ireversibel dan berbahaya.
Efek fungsional biasanya berupa perubahan reversibel pada fungsi organ sasaran.
Karenanya, pada penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal juga diperiksa. Uji
keamanan sangat berharga untuk memantau efek toksik pada organ sasaran dalam
penelitian jangka panjang pada hewan dan manusia (Kuby 2007).
25
2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal
Ginjal mamalia adalah sebuah organ yang sangat kompleks, baik secara
anatomis maupun fisiologis. Selain fungsi utamanya yaitu ekskretorik. ginjal
berperan besar dalam mempertahankan homeostasis tubuh, dengan mengatur
volumen cairan ekstraseluler dan komposisi elektrolit tubuh (Corwin 2009).
Urin adaiah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya,
ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, yang mengkonsentrasikan
toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui sel tubulus. Karenanya, ginjal
adalah target organ utama dari efek toksik. Beratnya beberapa efek yang
diakibatkan oleh toksikan beragam dari satu perubahan biokimia atau lebih
sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada
fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Kuby 2007).
Suatu bahan yang bersifat toksik dapat mengakibatkan gagal ginjal akut,
apabila diberikan dalam dosis tertentu pada jangka waktu yang singkat. Keadaan
ini disebut sebagai nephrotoxic acute renal failure. Kerusakan yang ditimbuikan
terjadi pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksik menyebabkan iskemia
dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas dari
membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal yang
menyebabkan kerusakan ginjal (Brady dan Brenner 2001).
Pemeriksaan fungsional ginjal secara rutin dilakukan sebagai bagian
integral dari penelitian toksisitas jangka pendek dan jangka panjang. Parameter
fungsi ginjal dapat diamati dari analisis darah seperti kadar nitrogen urea darah
(Blood Urea Nitrogen, BUN) atau ureum dan kreatinin. Nitrogen urea darah
diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin. Ureum
yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Kadar ureum juga dapat
dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hefatotoksisitas yang merupakan efek
umum beberapa toksikan. Sedangkan kreatinin adaiah suatu metabolit kreatin dan
diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Meningkatnya kadar
kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal, yang seringkali
digunakan secara klinis (Corwin 2009).
26
2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati
Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi
banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Sebagian besar
toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,
toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat
pengikatan. Kadar enzim yang melakukan metabolisme xenobiotik dalam hati
juga tinggi ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih
mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa
kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Beberapa enzim
serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati,
enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti
mitokondria, lisosom, dan nukleus. Alanine transaminase/serum glutamic-pyruvic
transaminase (SGPT) dan serum glutamic-oxaloacetic transaminase/aspartat
transaminase (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis hati akut
(Kuby 2007).
Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan
kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. Bahan yang
bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan hati secara langsung,
misalnya sebagai radikal bebas atau metabolit antara yang menyebabkan
peroksidasi membran lipid yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
hepatosit. Obat atau metabolit dapat juga merusak membran sel atau molekul
seluler lainnya, atau mengganggu jalur biokimiawi dan integritas sel.
Hepatitis toksik terjadi pada semua individu yang terpapar toksikan,
sifatnya tergantung pada dosis. Periode laten antara paparan dengan kerusakan hati
umumnya singkat, antara 24 hingga 48 jam. Bahan penyebabnya bisa bersifat
sistemik
atau
dirubah
menjadi
metabolitnya
di
dalam
hati.
Reaksi
hipersensitivitas timbul juga pada penderita hepatotoksik (Corwin 2009).
Secara mikroskopis, pada kerusakan hati setelah paparan toksikan dalam
dosis tinggi dan waktu yang singkat atau akut, akan tampak akumulasi lemak
pada hepatosit, sel-sel yang nekrotik, atau disfungsi hepatobilier. Paparan
27
toksikan pada hati dalam jangka panjang atau kronis tampak sebagai sirosis
hepatis atau perubahan ke arah neoplasia dalam gambaran mikroskopisnya
(Roitt's 2001).
2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan
Berkurangnya berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana
namun sensitif. Konsumsi makanan juga merupakan indikator yang berguna.
Seiain itu, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek
yang mirip atau memperberat manifestasi toksik zat kimia itu. Dan sebaliknya,
status gizi individu mempengaruhi efek toksik suatu bahan. Defisiensi asamasam lemak esensial biasanya menekan aktivitas sistem ini. Hal yang sama juga
terjadi pada defisiensi protein (Kuby 2007).
2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Toksisitas
Tikus dan mencit umumnya digunakan dalam uji toksisitas. Hewan ini
dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani. Seiain itu. banyak
data toksik yang dapat diperoleh pada uji toksisitas dengan menggunakan kedua
spesies hewan tersebut. Kadang kala digunakan spesies hewan lain, seperti
marmut, kelinci, atau anjing, untuk memperoleh informasi yang lebih mudah
didapatkan daripada menggunakan tikus dan mencit. Pengujian suatu toksikan
dengan menggunakan dosis tinggi secara per oral juga dimungkinkan pada
penggunaan kelinci dan anjing sebagai hewan coba, karena kapasitas lambungnya
yang relative besar, dan dapat menerima asupan per oral dalam dosis tinggi.
Hewan coba yang digunakan sebaiknya merupakan hewan dewasa namun masih
muda (Suckow et al. 2001).
Dosis yang diberikan pada hewan coba merupakan dosis yang diperkirakan
mampu diterima oleh hewan coba. Secara umum bahan yang akan diujikan pada
hewan coba harus diberikan melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia.
Jalur oral paling sering digunakan, karena sebagian besar bahan yang diujikan
merupakan bahan yang digunakan pada manusia melalui jalur ingesti. Bila akan
diberikan secara oral, bahan yang akan diujikan harus dipastikan jumlahnya sesuai
dengan dosis yang telah ditentukan sebelumnya. Pengujian bahan toksik melalui
28
jalur dermal dan inhalasi umumnya digunakan untuk menilai cemaran lingkungan
terhadap kesehatan orang-orang yang bersentuhan atau menangani bahan-bahan
tersebut. Sedangkan jalur parenteral dipakai untuk menilai toksisitas obat
parenteral (Suckow et al. 2001).
2.4 Susu
2.4.1 Persyaratan Susu
Beberapa petistilahan yang penting pada susu, adalah a) susu adalah susu
sapi melipuri susu segar, susu murni, susu pasteurisasi dan susu sterilisasi, b) susu
murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, yang diperoleh dengan
cara pemerahan yang benar tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen,
c) susu segar adalah susu murni yang tidak mengalami proses pemanasan, d) susu
pasteurisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses pasteurisasi secara
sempurna, e) susu sterilisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses
sterilisasi secara sempurna (Fennema 2008).
Dalam hal ini telah ditetapkan pula persyaratan kualitas susu murni yang
beredar (Fennema 2008), yaitu antara lain :
a) tidak ada perubahan pada warna, bau, rasa dan kekentalan,
b) berat jenis (pada suhu 27.5oc) sekurang-kurangnya 1.02g,
c) kadar lemak sekurang-kurangnya 2.8 persen,
d) kadar bahan kering tanpa lemak sekurang-kurangnya 8 persen,
e) kadar protein sekurang-kurangnya 2.7 persen,
2.4.2 Sifat Fisiko-Kimia Susu
Susu sapi bukan saja merupakan larutan yang komplek melainkan
memiliki sifat-sifat fisik yang sangat unik. Keadaan fisis yang memegang peranan
penting antara lain warna, bau, rasa dan sifat penggumpalannya. Susu memiliki
warna putih hingga kuning kekecoklat-coklaktan. Warna putih pada susu
penampakannya disebabkan penyebaran dispersi koloid lemak, kalsium kaseinat,
dan kalsium fosfat, sedangkan warna kekuningkuningan ditentukan oleh kadar
karoten dan riboflavin.
Rasa asli susu agak manis dan menyenangkan (pleasant). Adanya rasa
manis berasal dari laktosa dan rasa asin berasal dari khlorida, sitrat dan garam-
29
garam mineral lainnya. Rasa susu ini mudah sekali menjadi abnormal karena
beberapa penyebab antara lain : sari makanan ternak yang terbawa oleh susu,
enzim susu, oksidasi lemak, aktivitas mikroba dan peralatan susu. Penggumpalan
atau pengentalan merupakan salah satu sifat susu yang dapat disebabkan oleh
kegiatan enzim atau penambahan asam (Fleet, l978). Enzim renin yang diproduksi
dari lambung anak sapi atau enzim proteolitik lainnya, termasuk yang diproduksi
oleh balteri dapat menyebabkan penggumpalan susu. Pada pH titik isoelektrik
kasein, yaitu sekitar pH 4.6, kasein akan mcnggumpal karena garam-garam
kalsium dan fosfor yang semula berikatan dengan protein terlepas secara
berangsur-angsur.
Berat jenis susu segar bervariasi dari 1.0260 hingga 1.0320 pada suhu
200C, yang dalam praktek sehari-hari dibaca 26 atau 320C. Variasi tersebut sangat
bergantung pada kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak, bila kadar lemak
tinggi maka berat jenis akan rendah, karena berat jenis lemak lebih rendah
dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya.
Susu segar memiliki pH dengan kisaran 6.6 - 6.7 atau sedikit asam. Bila
ada tambahan asam akibat aktivitas mikroba, maka pH akan menurun secara
nyata. Susu yang baru perah bereaksi amfoter, karena terdapat senyawa-senyawa
bufer, yairu fosfat, sitrat dan protein yang secara normal terdapat di dalam susu.
Bila susu menunjukkan pH di atas 6.6 - 6.8 maka hal ini merupakan indikasi sapi
tersebut menderita penyakit mastiris (Fleet 1978).
2.4.3 Komposisi Kimia
Lampert (1965) menerangkan bahwa susu memiliki komposisi gizi yang
sangat komplek, beberapa komponen susu seperti laktosa, kasein dan lemak susu
tidak dapat ditemukan pada bahan makanan lain. Pengasaman susu oleh bakteri
dapat mengendapkan kasein. Bila kadar asam meningkat, pH susu menjadi 5.2 5.3 maka kasein dapat mengendap disertai dengan melarutnyaa garam-garan
kalsium dan fosfor yang semula terikat pada protein. Pada pH isoelektrik yaitu
sekitar 4.6 - 4.7, kasein diendapkan dan terbebaskan dari semua garam-garam
anorganik.
30
2.4.3.1 Lemak
Kandungan iemak bervariasi antara 3 - 6 persen (berat basah) yang dalam
susu berbentuk globula lemak yang bergaris tengah antara I - 20 mikron, biasanya
dalam setiap mililiter susu mengandung kira-kira 3 x 109 butiran lemak. Sekitar
98-99 persen lemak susu berbentuk trigliserida, yaitu tiga molekul asam lemak
yang diesterifikasikan terhadap gliserol, sedangkan lemak yang berbentuk
digliserida dan monogliserida masing-masing terdapat sekitar 0.5 dan 0.04 persen
(Fleet, 1978). Lemak terdapat dalam tiga tempat, yaitu di dalam globula, pada
membran material dan di dalam serum. Secara kuantitatif lemak tersusun oleh 9899 persen trigliserida yang terdapat dalam globula lemak, 0.2-1.0 persen
fosfolipida yang terdapat dalam membran material dan sebagian di dalam serum.
Sisanya adalah sterol, yang kandungannya berkisar antara 0.25-0.40 persen
(Fennema 2008).
Butiran lemak cenderung memisah dan timbul pada permukaan yang
merupakan suatu lapisan. Bagian lemak ini disebut krim dan cairan susu yang
terdapat di bawahnya disebut skim. Bagian lemak tersebut dapat terpisah dengan
mudah karena berat jenisnya kecil. Karena mempunyai luas permukaan yang
sangat besar, maka reaksi-reaksi kimia mudah sekali terjadi di permukaan
perbatasan lemak dengan mediumnya (Fleet 1978).
Lemak merupakan komponen susu yang penting karena beberapa hal,
antara lain: (1) mempunyai arti ekonomis yang penting, karena dapat digunakan
sebagai bahan baku dalam pembuatan mentega. Usaha-usaha seleksi sapi perah
kadang kadang ditujukan untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan air
susu dengan kadar lemak yang tinggi, (2) lemak bemilai gizi tinggi, atas dasar
jumlah kalori yang dikandungnya. Selain itu lemak juga mengandung nutrien lain,
yaitu fosfolipid, sterol, tokopherol {vitamin E), karotenoid, vitamin A dan vitamin
D, (3) lemak memegang peranan penting dalam menentukan rasa, bau dan tekstur.
Meskipun susu dipisahkan menjadi krim dan skim, maka sebanyak 70 persen
fosfolipid terdapat di dalam krim, yang dengan cepat dapat teroksidasi. Sterol
yang terdapat dalam susu berupa kolesterol sebanyak 0.015 persen, (4) lemak
merupakan konsituen yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia (Fennema
2008).
31
2.4.3.2 Laktosa
Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam susu, dalam bentuk
disakarida yang selama di pencemaan mengalami perombakan oleh enzim laktase
atau enzim -D-galaktosidase menjadi glukosa dan galaktosa (Lampert 1965).
Selain laktosa dengan kandungan antara 3.7 hingga 4.92 persen, juga ditemukan
sejumlah kecil glukosa dan galaktosa dengan kadar masing-masing sebesar 0.007
dan 0.002 persen. Di dalam susu, laktosa terdapat dalam fase larutan yang
sesungguhnya sehingga mudah dicema pada proses hidrolisis oleh enzim usus.
Setiap organisme yang dapat menghidrolisis laktosa, tentu mempunyai enzim
tersebut, misalnya Streptococcus laktis, Escherichia coli dan ragi. Laktosa tidak
dapat dihidrolisis dengan asam yang terdapat dalam kelenjar pencemaan kita, baik
di dalam perut maupun di kelenjar usus. Hidrolisis laktosa di dalam pencemaan
kita dilaksanakan oleh mikroorganisme dan oleh enzim D-galaktosidase yang
dihasilkan oleh kelenjar usus. Hasil hidrolisis tersebut berupa asam-asam organik
terutama asam laktat. Oleh karena itu proses hidrolisis tersebut dapat menaikkan
keasaman (Fennema 2008).
Komposisi kimia susu sapi adalah laktosa (4.6%), protein (3.20%), lemak
(3.45%), abu (0.85%). (Rassang dan Nasution 1962); laktosa (4.92%), protein
(3.42%), lemak (3.66%), abu (0.71%) (Lempert 1965). Komposisi ini dihitung
berdasarkan berat basah. Kandungan bahan kering susu pada setiap hasil
penelitian berbeda-beda, dan umumnya kandungan komponen lemak susu lebih
tinggi dibandingkan dari komponen susu lainnya, misalnya protein atau abu.
Keasaman ini dapat mengganggu pertumbuhan bakteri yang tidak kita
kehendaki terutama bakteri yang dapat menyebabkan diare (putrefactive
bacteria).
Sebagian kecil laktosa mengalami hidrolisis di dalam sel-sel dinding usus karena
sel-sel mukosa yang terdapat dalam dinding usus mempunyai enzim -Dgalaktosidase tersebut. Penyerapan laktosa dalam dinding usus ternyata
menstimulir mineral seperti kalsium, fosfor yang disebabkan karena kenaikan
permeabilitas dari dinding sel-sel tersebut. Apabila laktosa diinjeksikan langsung
32
ke dalam aliran darah, maka zat tersebut tidak dapat dihidrolisis melainkan akan
disekresikan melalui urin (Fennema 2008).
2.4.3.3 Protein
Kandungan protein susu umumnya dengan kisaran antara 3.20 hingga 3.60
persen (berat basah), yang terbagi atas dua bagian besar, yaitu 80 persen adalah
kasein sedangkan 20 persen sisanya merupakan protein whey (whey protein).
Kasein disebut juga kalsium fosfoprotein yaitu protein yang mengandung kalsium
dan fosfor (Fennema 2008). Kedua grup prorein susu tersebut berbeda baik secara
kimia maupun fisik, yang pada kenyataannya di dalam susu masing-masing
terdapat dalam fase yang berbeda pula. Kasein merupakan agregat koloid,
sedangkan protein whey terdapat dalam larutan bebas. Dalam hal ini kasein lebih
komplek karena mampu mengikat ion logam yang pada gilirannya mudah
mengalami presipitasi yang komplek.
2.4.3.4 Emulsi Susu
Fennema (2008) mengemukakan bahwa emulsi merupakan suatu dispersi
atau suspensi suatu cairan di dalam cairan yang lain, yang mana molekul-malekul
kedua cairan tersebut tidak saling berbaur, tetapi saling antagonistik. Struktur
pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian yang terdispersi yang terdiri dari
butir-butir yang biasanya merupakan lemak, bagian kedua disebut media
pendispersi yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah bahan
penstabil (stabilizer atau emulsifier agent), yang berfungsi menjaga agar butir
minyak atau lemak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Pada emulsi susu maka
struktur globula lemak di bagian dalamnya sebagian besar terdiri atas trigliserida,
(Fennema 2008). Permukaan dari bagian dalam tadi dilapisi dengan suatu
membran tipis yang dinamakan membran material, yang berfungsi untuk
menstabilkan struktur emulsi tersebut disamping mencegah tergabungnya globula
lemak satu dengan yang lainnya dan membentuk butiran yang lebih besar (Fox
dan Mulvihill 1982). Kasein merupakan protein dengan kadar 60 persen dari
membran material itu, sedangkan fosfolipida kira-kira 35 persen.
33
Susu merupakan emulsi minyak dalam air karena dalam hal ini butiranbutiran lemak dan senyawa-senyawa yang ada hubungannya dengan lemak,
misalnya gliserida-gliserida terdapat dalam bentuk globula-globula yang berupa
dispersi kasar. Bahan penstabil lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air
(polar), sehingga dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak/lemak susu
dalam air (Fennema 2008)). Butiran-butiran lemak ini dapat dilihat dengan
mikroskop, yang mempunyai bentuk bulat.
Di dalam satu ml susu, kira-kira terdapat tiga bilyun (3 x 109) globula
lemak. Diameter lemak bervariasi antara 0.1 mikron sampai lebih dari 15 mikron
dengan rara-rata berkisar antara 3-4 mikron dan hanya sedikit yang diameternya
kurang dari dua mikron kira-kira 9 persen globula memiliki diameter dengan
kisaran 2-7 mikron. Lemak dalam susu terdapat pada tiga tempat yaitu di dalam
globula pada membran dan di dalam serum.
Kestabilan emulsi susu sangat ditentukan oleh selapis fiIm (membran)
protein yang mengelilingi setiap butiran lemak. Bila struktur membran protein ini
rusak akibat kadar asam dalam susu terlalu tinggi atau terjadi hidrolisis oleh
enzim proteolitik maka kestabilan emulsi terganggu yang pada giliran nya protein
mengalami presipitasi atau menggumpal, yang keadaan ini disebut sebagai susu
pecah (Fennema 2008).
Kestabilan emulsi dapat juga dirusak oleh akibat pertumbuhan dan
aktivitas bakteria, misalnya Bacillus cereus yang mcnghasilkan enzim pencerna
fosfolipid pada membran material yang menyebabkan terjadi sweet curdling, yaitu
susu mengalami koagulasi tanpa penurunan pH (Fennema 2008). Susu sapi
merupakan bahan makanan bernilai gizi tinggi karena mengandung 30-35 g
protein per liter susu. Pada prinsipnya protein susu terbagi atas dua bagian besar,
yaitu 80 persen adalah kasein dengan empat macam komponen, yaitu s1-kasein,
s2-kasein, -kasein, dan k-kasein, sedangkan sisanya merupakan protein whey
yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu -laktoglobulin (-lg) dan laktalbumin (-la). Namun demikian terdapat beberapa protein lainnya, yaitu
albumin serum darah, imunoglobulin, laktoferin, proteosa-pepton dalam
konsentrasi sangat rendah (trace).
34
2.4.3.5 Vitamin dan Mineral
Susu merupakan sumber vitamin yang larut dalam air yaitu vitamin B dan
C maupun vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K. Sebagian
besar vitamin C dan B, ternyata rusak selama proses pasteurisasi. Bila air pada
susu dihilangkan dengan penguapan dan sisanya dibakar maka akan diperoleh sisa
abu putih yang mengandung bahan-bahan mineral (Fennema 2008). Dalam hal ini
dua macam mineral yang paling penting dalam susu yaitu kalsium dan fosfor.
Hanya 25 persen kalsium, 20 persen magnesium dan 44 persen fosfor terdapat
dalam bentuk tidak larut, sedangkan mineral-mineral lainnya semua dalam bentuk
larut.
Kalsium dan magnesium dalam bentuk yang tidak larut terdapat secara
kimiawi dan fisik bersenyawa dengan kaseinat, fosfat dan sitrat. Hal inilah yang
memungkinkan susu dapat mengandung kalsium dalam konsentrasi yang besar
serta pada saat yang sama dapat mempertahankan tekanan osmosa secara normal
dalam darah. Komposisi mineral utama yang terdapat dalam susu sapi adalah
kalium (0.140%), kalsium (0.125%), klorida (0.103%), fosfor (0.096), natrium
(0.056%), magnesium (0.012%), sulfur (0.025%) dari berat basah (Fennema
2008).
Di samping mineral-mineral utama terdapat pula mineral-mineral lainnya
dalam jumlah yang sangat kecil antara lain, yaitu alumunium, barium, bromin,
dan seng. Mineral-mineral tersebut sebagian berada dalam bentuk suspensi dan
sebagian lagi berada dalam bentuk larutan.
2.5 Sosis
Istilah sosis berasal dari kata latin salsus yang berarti digarami. Menurut
Standar Nasional Iindonesia (SNI), sosis daging adalah makanan yang diperoleh
dari campuran daging halus dengan tepung atau pati dengan atau tanpa
penambahan bumbu atau bahan tambahan makanan lainnya yang izinkan, dan
dimasukkan ke dalam selubung sosis. Essien (2003) mengklasifikasikan sosis
menjadi beberapa kategori yaitu: 1) sosis segar, 2) sosis asap, tanpa dimasak,
3) sosis asap dan dimasak, 4) sosis masak dan 5) sosis kering dan setengah kering
(Pearson dan Tauber 1984). Sosis segar berbeda dengan sosis jenis lainnya karena
35
sosis ini tidak mengalami pemeraman (curing) dan dijual dalam keadaan segar
tanpa dimasak, sehingga konsumen harus memasak terlebih dahulu produk sosis
ini sebelum dikonsumsi. Di lndonesia hanya dikenal satu jenis sosis yaitu sosis
emulsi yang terbuat dari daging halus yang membentuk emulsi. Adapun syarat
mutu sosis disajikan pada Tabel 5. Nitrat atau nitrit sering ditambahkan pada
proses curing, selain berfungsi untuk mempertahankan warna merah dan
memperbaiki flavor daging, juga berperan sebagai antimikroba dan antioksidan.
Nitrat dan nitrit dapat menghambat pertumbuhan spora Clostridium botulinum
dan beberapa bakteri patogen lainnya. Sedangkan sebagai antioksidan, kedua
senyawa ini dapat menghambat terjadinya oksidasi lemak pada daging yang
menyebabkan ketengikan dan perubahan warna pada daging menjadi coklat (Fista
et al. 2004).
Untuk mengurangi terjadinya oksidasi lemak sosis dan memperpanjang
umur simpan biasanya ditambahkan senyawa antioksidan sintetis seperti BHA dan
BHT. Menurut Essien (2003), batas maksimal penambahan BHA dan BHT
masing-masing sebesar 0.01%. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan
sosis meliputi bahan dasar, bahan pembantu dan bahan pelengkap yang
merupakan bahan penunjang pada produk sosis. Daging merupakan bahan dasar
yang digunakan dalam pembuatan sosis, sedangkan minyak, garam, bahan
pemanis dan bumbu-bumbu merupakan bahan pembantu, yang dapat ditambahkan
atau tidak. Sedangkan bahan penunjangnya adalah casing (selubung/selongsong).
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi dan
Biomedis Hewan; Laboratorium Biologi dan Nutrisi PPSHB-PAU; Laboratorium
Fisiologi (Kandang Tikus), Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Hewan IPB; Laboratorium Diagnostik Balai Besar Penelitian
Veteriner Cimanggu dan Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor. dari bulan April
2011- April 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah fage FR38 dan Salmonella P38, media
pengkayaan, agar lapis ganda, makanan tikus, sosis, susu dan bahan-bahan untuk
analisa pangan dan bakteri. Alat yang digunakan adalah, cawan petri, jarum ose,
refrigerator, alat-alat untuk analisa bakteri dan fage, alat analisa nutrisi dan
pengolahan untuk sosis, susu, dan air serta alat-alat untuk pemeliharaan,
pengambilan dan analisa organ tikus.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan melalui 3 tahap, meliputi:
3.3.1 Produksi Fage
Metode yang digunakan dalam memproduksi fage adalah kombinasi dari
metode Clokie dan Kropinski (2009) dan Budiarti et al. (2011).
3.3.1.1 Pengkayaan Fage FR38
Peremajaan Salmonella P38: 1 loup bakteri Salmonella P38 digoreskan
pada media agar miring SS secara aseptik, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Pengkayaan Fage: Koloni tunggal isolat Salmonella P38
diinokulasikan ke dalam media Nutrient Broth (NB) lalu diinkubasikan di dalam
Waterbath Shaker (Certomat WR) dengan kecepatan 150-200 x g pada suhu 37oC
selama 24 jam sampai OD600nm=1. Sebanyak 100 l kultur Salmonella P38
dicampurkan dengan supernatan fage FR38 100 l ke dalam tabung steril dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Campuran ditambahkan 5 ml soft
37
agar yang bersuhu 47 oC, dituang pada media Nutrient Agar (NA). Inkubasi
dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam (Atterburry et al. 2007).
Pemurnian fage:
Pemurnian fage dilakukan
berdasarkan
metode
Goodridge et al. (2001) yang dimodifikasi pada kecepatan sentrifugasi 2800 x g.
Plak dipindahkan dengan menggunakan pipet pasteur kemudian plak tersebut
dicampurkan dengan 2-3 ml 25% pelarut Ringers atau SM. Suspensi fage divortex
dan dibiarkan selama 5-10 menit pada suhu ruang. Suspensi tersebut kemudian
disentrifugasi pada kecepatan 2800 x g, suhu 4oC, selama 20 menit sebanyak 2
kali ulangan. Supernatan difiltrasi menggunakan membran filter milipore 0.22
m, kemudian supernatan disimpan untuk stok atau bahan produksi (Clokie dan
kropinski 2009).
3.2.1.2 Kuantifikasi Fage
Kuantifikasi fage diukur dengan cara menghitung jumlah plak yang
terbentuk (plaque forming units) (pfu/ml). Nilai pfu/ml ditentukan berdasarkan
metode Foschino et al. (1995). Stok fage sebanyak 1 ml diencerkan sampai 107,
kemudian dari masing-masing pengenceran tersebut diambil 100 l ditambahkan
100 l Salmonella P38 yang telah diinkubasi selama 3-4 jam pada media NB.
Suspensi diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37oC. Sebanyak 5 ml soft agar
yang masih bersuhu 42 oC dicampurkan, selanjutnya dituang ke media NA,
kemudian diinkubasi pada 37 oC selama 24 jam. Zona bening (plak) yang
terbentuk dihitung setelah diinkubasi selama 24 jam (Clokie dan kropinski 2009).
Rumus jumlah fage:
Fage/ml = (Jumlah Fage/Plated) X (1/ml Plated) X Faktor Pengenceran
3.2.1.3 Efisiensi Lisis Fage FR38
Efektifitas lisis sel Salmonella P38 oleh fage FR38 dilakukan berdasarkan
metode Atterburry et al. (2007) yang dimodifikasi pada kecepatan sentrifugasi
2800 x g. Sebanyak 100 ml kultur bakteri Salmonella P38 yang telah
ditumbuhkan di media NB sampai optical density (OD)600nm = 1 dengan jumlah
bakteri Salmonella P38 108 CFU/ml dibagi ke dalam
dua tabung sentrifuge
38
masing-masing sebanyak 50 ml, sentrifugasi dilakukan dengan sentrifuge
Beckman pada kecepatan 2800 x g, suhu 40C selama 30 menit dengan 3 kali
ulangan. Supernatan dibuang, kemudian dibuat dua perlakuan yaitu kontrol (pelet
tanpa penambahan fage) dan perlakuan pelet dengan penambahan 1 ml fage.
Selanjutnya ditambahkan masing-masing 50 ml NB yang baru, kemudian
dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan dimasukkan ke dalam inkubator shaker
dengan suhu 37oC (Clokie dan Kropinski 2009), masing-masing kultur diukur
nilai OD-nya pada waktu ke-0, 30, 60, 90, 120 menit (penetapan waktu
pengamatan berdasarkan kombinasi dari penelitian Triana (1996) dan Pratiwi
(2009)). Pengukuran OD dilakukan dengan mengambil 1 ml sampel kemudian
diencerkan dengan 4 ml NB lalu dibaca OD nya dengan spectrofotometer.
3.2.2 Pemanfaatan Fage
Penelitian Tahap II bertujuan mengukur efisiensi fage litik dalam
menurunkan cemaran mikroba pada pangan. Penelitian Tahap II ini meliputi
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Penentuan Sampel
Sampel yang akan diberi perlakuan adalah susu dan sosis.
2.
Penentuan Perlakuan
Penentuan perlakuan kombinasi fage litik yang ditambahkan dilakukan
berdasarkan penelitian terdahulu yaitu Pratiwi (2009) menggunakan perlakuan
100 l fage litik terhadap 100l E. coli resistent antibiotic ternyata efektif
menurunkan jumlah E. coli resistent antibiotic dan Triana (1996) menggunakan
perlakuan 1,5 ml fage litik terhadap 5 ml Xanthomonas campestris pv glycines
ternyata efektif menurunkan Xanthomonas campestris pv glycines. Perlakuan dari
penelitian adalah rentang dari kedua penelitian diatas, yaitu:
(a) Perlakuan Fage FR38 dan (b) Kontrol
3.2.2.1 Pengolahan Susu dengan Aplikasi Fage
Pengolahan susu dengan aplikasi fage litik dirancang dengan cara
mengkombinasikan
suhu
pasteurisasi
(Brennan
2004)
dengan
aplikasi
penambahan fage litik. Prosedur penelitian diuraikan pada Gambar 10 berikut.
Efektifitas
pemanfaatan
Fage
litik
pada
susu
diukur
dengan
cara
39
mengkombinasikan aplikasi penambahan fage litik pada susu pasteurisasi yang
diberi cemaran 4.3 x 104 cfu Salmonella P38 dan ditambahkan fage FR38
sebanyak 3.8 x 104 pfu fage/100 ml susu.
SUSU HASIL PEMERAHAN
PENYARINGAN
PENGUMPULAN
PASTEURISASI (85-950C) SELAMA 1-2 MENIT LALU DIDINGINKAN PADA SUHU RUANG
TANPA PEMBERIAN FAGE
(KONTROL)
PERLAKUAN FAGE
SUSU
PENGAMATAN
(WAKTU KONTAK 0, 24, 48 JAM)
Gambar 10. Prosedur pengolahan susu dengan aplikasi fage litik
3.2.2.2 Pengolahan Sosis dengan Aplikasi Fage
Pengolahan sosis dengan aplikasi fage litik dirancang dengan cara
mengkombinasikan prosedur Essien (2003) dengan aplikasi penggunaan fage litik.
Prosedur penelitian diuraikan pada Gambar 11 berikut. Efektifitas fage litik pada
sosis diukur dengan cara mengkombinasikan aplikasi penggunaan fage litik pada
sosis sapi olahan yang diberi cemaran 4.7 x 104 cfu Salmonella dan 3.8 x 10 pfu
fage/20 g sosis.
40
DAGING 700g
PEMBERSIHAN DAN PEMOTONGAN
CURING
GARAM 25g
DISIMPAN SELAMA 24 JAM
ES BATU DAN MARGARIN
TAPIOKA 80g, GARAM 25g, GULA 10g, BAWANG
PUTIH 10g, MERICA 10g, PALA 3g
DIGILING
DIADUK
AIR 300g
DIMASUKKAN DALAM SELONGSONG
PEMASAKAN 70OC, 20 MENIT
PENDINGINAN PADA SUHU RUANG
TANPA PEMBERIAN FAGE
(KONTROL)
PERLAKUAN FAGE
PENGIKATAN SELONGSONG
PENGAMATAN
(WAKTU KONTAK 0, 24, 48 JAM)
Gambar 11. Prosedur pengolahan sosis dengan aplikasi fage litik
3.2.2.3 Pengolahan Air dengan Aplikasi Fage
Pengolahan air dengan aplikasi fage litik dilakukan dengan cara memberi
perlakuan fage FR38 ke dalam aquades yang telah dicemari dengan Salmonella
P38. Efektifitas fage litik pada air diukur dengan cara memberi perlakuan 3.4 x
104 pfu fage FR38 ke dalam 100 ml aquades yang telah dicemari dengan 4.8 x 104
cfu Salmonella P38. Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan
48 jam.
41
3.2.2.4 Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam (waktu
kontak ditentukan berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2009). Pengamatan
meliputi total mikroba Salmonella P38 (Harrigan 1998), serta analisa proksimat
kandungan nutrisi pangan awal dan akhir yang meliputi kadar air (AOAC 2004),
kadar abu (AOAC 2004), kadar lemak (AOAC 2004), kadar protein (AOAC
2004), prosedurnya adalah:
1. Kadar Air: sebanyak 1gram sampel ditimbang dalam cawan dimasukkan
ke dalam oven pada suhu 150oC selama 8 jam, lalu ditimbang kadar
airnya. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air = Bobot sample (segar-kering) x 100%
Bobot sample segar
2. Kadar Abu: sebanyak 1 gram sample ditempatkan dalam cawan porselen
lalu dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan di dalam tanur suhu
600oC selama 2 jam dan ditimbang.
Kadar Abu =
Bobot Abu
Bobot sample
x 100%
3. Kadar Lemak Kasar: Sebanyak 2 gram sample disebar di atas kapas yang
beralas kertas saring dan di gulung membentuk thimble, lalu dimasukkan
ke dalam labu soxhlet, kemudian diekstraksi selama 6 jam dengan
menggunakan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang
terekstrak kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC selama 1
jam. Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut:
Kadar lemak = Bobot lemak terekstrak x 100%
Bobot sampel
4. Kadar protein: Sebanyak 0.25 gram sample, dimasukkan dalam labu
Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan selenium 0.25 gram dan 3 ml H2SO4
pekat. Selanjutnya dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan
mendidih) selama 1 jam, sampai larutan jernih. Setelah dingin
ditambahkan 50ml aquadest dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil
42
destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml
H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Bromcresol Green-Methyl Red berwarna
merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan
berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan
HCL 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan
juga terhadap blanko. Kadar Nitrogen total yang didapat dengan metode
ini dihitung dengan rumus di bawah ini. Kadar protein diperoleh dengan
mengalikan kadar Nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan
pangan yang berkisar 5,18 – 6,38 (AOAC, 1980).
%N = (S-B) x N HCL x 14 x 100%
w x 1000
keterangan: S: volume titran sample (ml)
B: volume titran blanko (ml)
w: bobot sample kering (mg).
5. Kadar Serat Kasar: Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dengan 100 ml
H2SO4 1.25%, dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan
destruksi selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring dengan
bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20–30 ml
air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi
kembali dengan NaOH 1.25% selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara
seperti di atas dan di bilas berturut–turut dengan 25 ml H2SO4 1.25%
mendidih dan 25 ml air sebanyak tiga kali serta 25 ml alkohol. Residu dan
kertas saring dipindahkan ke cawan porselen dan dikeringkan dalam oven
1300C selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselain
ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 6000C selama 30 menit,
didinginkan dan ditimbang kembali.
Bobot serat kasar (B) = W – W0
W = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur
= (A – (bobot kertas saring + cawan)/A
(bobot residu + kertas saring + cawan)
W0 = bobot residu setelah dibakar dalam tanur
= (B – (bobot cawan))/B
(bobot residu + cawan)
43
Kadar serat Kasar = Bobot serat kasar x 100%
Bobot sample
6. Total mikroba (dihitung dengan menggunakan metode permukaan) dengan
prosedur: agar steril terlebih dahulu dituangkan ke dalam cawan petri steril
dan dibiarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna, 0.1 ml
contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut.
Kemudian diratakan dengan menggunakan batang gelas melengkung
(hockey stick) yang telah disterilkan dengan cara mencelupkan kedalam
alkohol 95% dan dipijarkan sehingga alkohol habis terbakar.
Jumlah
koloni dihitung dengan rumus berikut:
Jumlah koloni = jumlah koloni pada cawan x 1/faktor pengenceran
3.2.3 Uji keamanan Secara In Vivo
Penelitian Tahap III bertujuan untuk melakukan pengujian keamanan
pangan penggunaan fage litik secara in-vivo. Tikus yang digunakan adalah tikus
jenis Sprague Dawley jantan usia 2 bulan (Menurut Suckow et al. (2001) tikus
dewasa memiliki volume darah lebih banyak dibandingkan anak tikus.
Pengamatan pada penelitian tahap III meliputi berat badan, urin, feses, kimia
darah dan histopathology. Perlakuan pada penelitian tahap III meliputi:
1. grup diberi ransum standar (kontrol)
2. grup diberi ransum mengandung fage Salmonella P38 (Fage FR 38)
Penelitian Tahap III ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
3.2.3.1 Persiapan Tikus
Sebelum
percobaan
dimulai,
tikus
diadaptasikan
dilingkungan
laboratorium selama 4 hari. Pada masa adaptasi tikus diberi ransum standar. Tikus
dipelihara didalam sangkar metabolik yang terbuat dari stainless steel dengan
suhu 25oC dengan siklus 12 jam terang dan 12 gelap. Setelah masa adaptasi, tikus
dibagi menjadi 2 grup dan masing-masing grup beranggotakan 6 tikus. Grup 1
merupakan kontrol dan grup 2 mendapat perlakuan kombinasi fage pada ransum.
44
3.2.3.2 Persiapan Ransum
Komposisi ransum yang dipersiapkan untuk penelitian fage litik secara
biologis adalah mengikuti komposisi ransum prosedur AOAC (2004), yang
meliputi: protein 10%, minyak jagung 8%, campuran mineral 5%, vitamin 1%,
Selulosa 1%, Air 5%, dan Pati jagung 70% (kontrol). Ransum untuk perlakuan
disiapkan dengan cara mencampurkan ransum tikus dengan kombinasi fage
(jumlahnya berdasarkan hasil penelitian tahap II).
3.2.3.3 Konsumsi Makanan
Makanan dan minuman diberikan secara konstan setiap hari (sekitar 25 g
per hari). Setiap hari pula dilakukan pengukuran jumlah yang dimakan dengan
cara menimbang makanan yang tidak termakan (sisa).
3.2.3.4 Pengumpulan Feses
Pengamatan feses dilakukan dengan cara mengamati bentuk dan warna.
3.2.3.5 Pewarnaan
Pewarnaan dilakukan untuk melihat perbedaan gambaran organ antara
perlakuan dan kontrol (Suntoro 1983).
3.2.3.6 Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada hari ke-16 untuk pengamatan darah dan
organ; hal ini dilakukan berdasarkan kombinasi laporan Mim's (2000) dan Jawi et
al. (2008) yang mengukur kadar SGOT dan SGPT darah mencit dengan metode
randomized control group post test only design. Sedangkan pengamatan berat
badan, panjang feses, dilakukan setiap 2 hari sekali (hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10,12,
14,16).
3.4 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan untuk penelitian tahap 1, 2, dan 3
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan model rancangan sebagai
berikut:
45
Yij = u + Ai + Ej
Keterangan : Yij
u
Ai
Ej
=
=
=
=
respon karena pengaruh perlakuan
pengaruh rata-rata
pengaruh perlakuan taraf ke-i
pengaruh galat percobaan pada ulangan
ke-j
3.5 Analisis Data
Data penelitian tahap ke-1, ke-2 dan ke-3 diolah dengan menggunakan
Analysis of variance (ANOVA). Uji lanjutan dilakukan dengan menggunakan
t-test, dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat perbedaan antar
perlakuan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perbanyakan Fage
4.1.1 Suhu Simpan setelah Produksi
Stock fage yang belum dimurnikan (di dalam media NB) biasanya disimpan
pada suhu kamar. Untuk mengetahui daya simpannya maka pada penelitian ini
dicobakan 2 variasi suhu yaitu suhu ruang (25oC) dan Suhu 4oC. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu juga mempengaruhi nilai pfu dari fage FR38 secara
signifikan setelah penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari (< 0.01) (Tabel 4).
Tabel 4 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai pfu fage
Lama
Simpan
(hari)
Jumlah Fage FR38 (pfu/ml)
Suhu kamar
(25oC)
4oC
0
1.5 x 107a
1.5 x107a
3
1 x 105b
9.7 x 106c
6
1.9 x 103d
3.6 x 106e
9
170f
1.8 x 106g
12
0h
3.6 x 105i
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0,01
Pada penyimpanan suhu kamar terlihat bahwa terjadi penurunan drastis
jumlah pfu dari fage pada hari ke-9 (170 pfu/ml) dan ke-12 (0 pfu/ml). Hal ini
berbeda secara signifikan dengan penyimpanan pada suhu 4oC, jumlah fage FR38
cukup stabil jumlahnya pada hari ke-9 (1.8 x 106 pfu/ml) dan ke-12 (3.6 x 105
pfu/ml). Komponen utama dari fage adalah protein (Pelczar dan Chan 2007).
Menurut Murphy (2001) protein dan pepton mudah mengalami dekomposisi
menjadi NH3, CO2, H2O. Proses dekomposisi ini diakibatkan oleh adanya proses
oksidasi pada pepton atau protein. Pada suhu rendah proses oksidasi berjalan
lambat. Menurut Fennema (2008) dan Belitz dan Grosch (1999) denaturasi protein
dapat dihambat dengan melakukan penurunan suhu penyimpanan. Penyimpanan
fage pada suhu rendah menguntungkan karena menurut Jawetz et al. (2005) pada
suhu tinggi daya infektifitas virus menurun. Kestabilan dan umur simpan fage
ternyata lebih baik bila disimpan pada suhu rendah.
47
4.1.2 Buffer Stock
Pada tahap perbanyakan fage, dilakukan pemilihan buffer yang tepat untuk
penyimpanan fage setelah proses perbanyakan. Buffer stock fage yang berbeda
yaitu buffer ringer dan buffer SM* (*merk dagang), menjadi perlakuan pada tahap
ini. Jumlah fage FR38 awal yang digunakan adalah 5.7 x 105 pfu/ml (Tabel 5).
Tabel 5 Pengaruh buffer stock terhadap nilai Plaque Forming Unit
(pfu) fage FR38
Perlakuan
Hari ke-0
Hari ke-30
(pfu)
Buffer ringer
5.7 x 105a
3.4 x 104b
5a
Buffer SM
5.7 x 10
5.3 x 105c
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (0,01)
Hasil pengamatan pada hari ke-30 menunjukkan bahwa penggunaan buffer
yang berbeda ternyata menghasilkan nilai pfu yang berbeda secara signifikan
(0,01). Penggunaan buffer SM ternyata menghasilkan nilai pfu fage FR38 lebih
tinggi (5.3 x 105 pfu/ml) dibandingkan dengan penggunaan buffer ringer (3.4 x
104 pfu/ml) pada hari ke-30. Diduga komposisi penyusun yang berbeda antara
buffer ringer dan buffer SM menyebabkan kestabilan fage berbeda pula. Menurut
Atlas (2010) komposisi buffer ringer adalah D-glucosa, magnesium klorida,
potasium klorida, sodium potasium dibasic, sodium fosfat monobasic sedangkan
komposisi buffer SM adalah NaCl, MgSO4, Tris-HCl, larutan Gelatin. Diduga
gelatin dapat membuat lebih stabil larutan buffer SM, sedangkan D-glukosa pada
buffer ringer sangat mudah berubah akibat proses oksidasi pada ikatan rangkap
HC=O apabila penyimpanan dilakukan diatas suhu 20oC (Fennema 2008).
Ketidakstabilan D-glukosa dibandingkan dengan gelatin diduga mempengaruhi
kestabilan atau umur simpan fage.
Hasil ini seiring dengan hasil pengamatan ukuran zona bening fage FR38
pada hari ke-0 dan ke-30. Pada pengamatan hari ke-30 ternyata ukuran zona
bening fage dengan menggunakan buffer SM lebih luas (median = 1.85 mm)
dibandingkan dengan menggunakan buffer ringer (median = 1.1 mm) (Gambar
12). Menurut Abedon (2008) dan Jawetz et al. (2005) kondisi lingkungan yang
tidak menguntungkan akan mengganggu daya replikasi dan infektifitas fage;
diduga hal ini berpengaruh terhadap pembentukan plak fage.
48
Ukuran Zona Bening Fage
(mm)
2,5
2
1,5
2,15
1
2,15
1,85
Buffer SM
1,1
0,5
Buffer ringer
0
0
30
Hari ke-
Gambar 12 Pengaruh buffer ringer dan buffer SM terhadap rata-rata
ukuran plaque fage (inkubasi 24 jam)
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pada penelitian selanjutnya
untuk membuat stock fage FR38 digunakan buffer stock buffer SM dan apabila
belum dimurnikan maka fage sebaiknya disimpan pada suhu 4oC.
4.1.3 Efisiensi Lisis
Pengamatan efektifitas lisis fage FR38 dilakukan berdasarkan nilai optical
density (OD). Pengamatan dilakukan pada 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Perlakuan
Fage ternyata berpengaruh sangat signifikan dalam menurunkan nilai OD media
Optical Density (OD)
dengan selang kepercayaan 99% (0,01) (Gambar 13).
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Fage
Tanpa Fage
0
30
60
90
120
waktu (menit)
Gambar 13 Efektifitas Lisis fage FR38 yang diukur berdasarkan nilai OD
Perbedaan secara signifikan terlihat pada perlakuan fage menit ke-30 (0D =
0.621); 60 (OD =0.477), 90 (OD = 0.306), dan 120 (0.110) dibandingkan
perlakuan tanpa fage FR38 dimana nilai OD pada menit ke-120 adalah 0.717.
Fage FR38 efektif melisiskan Salmonella P38 sehingga jumlahnya menurun
49
signifikan pada menit ke-120 (OD = 0.110). Pada menit ke-30 fage FR38 telah
menurunkan secara signifikan Salmonella P38 (OD = 0.621). Hal ini seiring
dengan laporan Hogg (2005) bahwa waktu yang dibutuhkan fage T4 dalam
melisiskan sel bakteri adalah 22 menit dan menghasilkan 50-200 progeni.
Menurut Mclaughlin dan King (2008) fage memiliki periode laten 15-20 menit
dan menghasilkan 100-230 progeni bila diinkubasi pada suhu 35oC. Salmonella
bermultiplikasi membutuhkan waktu 25-30 menit, tergantung pada media
tumbuhnya (Bell dan kyriakides, 2002).
Sebelum
digunakan
lebih
lanjut,
fage
hasil
perbanyakan
diuji
kemurniannya dengan melakukan uji bebas Salmonella (host fage), uji
kuantifikasi
fage serta melakukan pengamatan fage dengan menggunakan
Transmission Electronic Microscope (TEM). Hasil pengamatan terlihat pada
Gambar 14 berikut:
A. Uji bebas Salmonella
B. Uji kuantifikasi fage
C. Tampilan fage FR38 perbesaran 80.000x.
Gambar 14 Uji bebas Salmonella (host fage) (A), uji kuantifikasi fage (B) serta
pengamatan fage dengan menggunakan TEM (C)
50
Hasil pengamatan menununjukkan dengan menggunakan metode tuang,
pada permukaan media XLD terlihat tidak terdapat koloni apapun (A); jumlah
fage yang terdapat pada sampel adalah 108 pfu (B); dan sampel yang diamati
benar-benar mengandung fage (C). Hasil ini menunjukkan bahwa sampel fage
yang berhasil diperbanyak adalah murni dan tidak mengandung Salmonella P38
(host fage FR38).
4.2. Efektifitas Fage FR 38 pada Susu
4.2.1 Kandungan Nutrisi
Pada saat penyimpanan 48 jam, ternyata kandungan abu, protein dan lemak
susu yang diberi fage berbeda nyata secara signifikan dibandingkan tidak diberi
fage (0.01) (Tabel 6). Hal ini diduga fage FR38 dapat menghambat kerja
Salmonella P38 dalam mendenaturasi protein dan lemak. Pada perlakuan tanpa
fage (Salmonella P38) menunjukkan penurunan kadar lemak (1.76%), Abu
(0.18%) dan protein (1.09%) pada susu secara signifikan dibandingkan dengan
perlakuan fage FR38 yang mampu menahan laju penurunan kadar lemak (3.32%),
abu (0.25%), protein (2.20%) pada lama penyimpanan 48 jam (selang
kepercayaan 99%).
Komposisi protein (mean = 2.58%) dan lemak (mean = 4.49%) pada sampel
penelitian ini cukup tinggi. Menurut Kluwer (2005) pangan yang mengandung
lemak dan protein tinggi merupakan media tumbuh yang baik bagi Salmonella.
Hal ini terlihat dari penurunan sangat signifikan kadar lemak (1.76%) dan Protein
(1.09%) pada lama penyimpanan 48 jam. Diduga Salmonella memiliki enzim
lipase dan protease yang dapat menguraikan lemak dan protein. Perlakuan fage
ternyata dapat menghambat penurunan komposisi lemak, protein, kadar air, kadar
abu dan serat kasar susu akibat aktivitas Salmonella secara signifikan (0.01).
Hal ini membuktikan bahwa bila diaplikasikan pada pangan misalnya susu
maka fage tidak akan mempengaruhi kandungan nutrisinya. Menurut Abedon
(2008) fage bersifat infektif hanya terhadap host-nya saja.
51
Tabel 6 Pengaruh perlakuan fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap kandungan
nutrisi susu
Perlakuan
Waktu Kadar
Abu Lemak Protein
(jam)
air
(%)
Kontrol negatif
62.92a 0.64a 4.57a 2.57a
Kontrol postif (NB)
0
62.96a 0.68a 4.56a 2.59a
Kontrol positif (NB + SM)
62.96a 0.67a 4.51a 2.57a
Salmonella P38
62.95a 0.68a 4.47a 2.59a
Salmonella P38 dan Fage FR38
62.96a 0.64a 4.44a 2.58a
Kontrol negatif
62.33b 0.40b 3.86b 2.47b
Kontrol postif (NB)
62.38b 0.49b 3.89b 2.40b
Kontrol positif (NB + SM)
24 62.39b 0.41b 3.88b 2.46b
Salmonella P38
62.55c 0.29c 3.68c 2.30c
Salmonella P38 dan Fage FR38
62.44d 0.36d 3.81d 2.40d
Kontrol negatif
87.11e 0.30e 3.47e 2.46e
Kontrol postif (NB)
87.13e 0.32e 3.44e 2.41e
48
Kontrol positif (NB + SM)
87.12e 0.31e 3.45e 2.47e
Salmonella P38
87.47f 0.18f 1.76f 1.09f
Salmonella P38 dan Fage FR38
87.23g 0.25g 3.32g 2.20g
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata 0.01, untuk masing- masing
kolom
4.2.2 Total Salmonella P38
Penambahan fage pada susu ternyata mempengaruhi laju pertumbuhan
Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang (Tabel 7).
Fage FR38 menurunkan secara signifikan Salmonella P38 pada penyimpanan 24
jam (9.4 x 102 cfu/ml) dan 48 jam (1.2 x 103 cfu/ml) dibandingkan dengan
perlakuan tanpa fage FR38 (Salmonella P38) pada penyimpanan 24 jam (2.8 x 108
cfu/ml) dan 48 jam (7.9 x 1012 cfu/ml) (0,01).
Menurut Middelboe (2000) pertumbuhan fage akan terhambat bila jumlah
host sedikit atau host dalam keadaan miskin nutrisi (starvation). Hal ini
memungkinkan kesempatan untuk tumbuh bagi host fage (Salmonella P38).
Kecepatan pertumbuhan fage tergantung pada jumlah host fage tersebut (Clokie
dan Kropinski 2009). Diduga susu adalah media yang baik untuk pertumbuhan
Salmonella. Menurut Kluwer (2005) pangan yang kaya akan protein dan lemak
merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroba.
52
Tabel 7 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella
P38 pada susu
Perlakuan
Salmonella P38 total (cfu/ml)
0 Jam
24 Jam
48 Jam
Kontrol negatif
0a
0a
0a
Kontrol postif (NB)
0a
0a
0a
Kontrol positif (NB + Buffer SM)
0a
0a
0a
Salmonella P38
4.3 x 104 b 2.6 x 108c
7.9 x 1012e
Fage FR38 dan Salmonella P38
4.6 x 104 b 9.4 x 102d
1.2 x 103f
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0.01
Pada sampel susu dengan perlakuan Salmonella P38 dan lama simpan 48
jam menunjukkan sampel sudah mengalami kerusakan, yang ditandai dengan
terpisahnya padatan terlarut dan air pada saat 24 jam. Menurut Winarno (2008)
denaturasi protein diakibatkan terurainya ikatan hidrogen oleh faktor luar
(mikroba). Lepasnya ikatan hidrogen pada protein menyebabkan protein
terdenaturasi. Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya, karena
bagian luar protein yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam dan bagian hidrofob
akan melipat keluar sehingga mengakibatkan padatan terpisah dengan cairan
(Gambar 15).
(A)
(B)
(C)
(D)
(E)
Gambar 15 Pengaruh perlakuan Fage selama 48 Jam: (A) fage FR 38 dan
Salmonella P 38; (B) Salmonella P 38; (C) Kontrol; (D) Buffer
SM dan dan (E) Nutrient Broth
Bau yang timbul pada perlakuan Salmonella P38 adalah akibat terurainya
komponen lemak pada susu akibat kerja mikroorganisme. Menurut Winarno
(2008) molekul-molekul lemak yang terurai akan mengalami oksidasi dan
membentuk senyawa hidroperoksida, komponen aldehid, dan keton, reaksi ini
53
menimbulkan bau yang tidak sedap (off-odor). Hal ini seiring dengan hasil
pengamatan kandungan lemak dan protein susu.
4.2.3 pH susu
Perlakuan yang berbeda ternyata juga mempengaruhi pH susu pada saat
penyimpanan 24 jam, dan 48 jam (Gambar 16). Menurut Winarno (2008)
Penguraian lemak menjadi asam lemak menimbulkan pelepasan sebuah atom H+
yang terikat pada suatu atom karbon yang berikatan rangkap. Pelepasan atom H +
ini diduga menyebabkan penurunan pH pada susu selama penyimpanan.
Penambahan
fage
ternyata
menghambat
kerja
mikroorganisme
dalam
menguraikan lemak, hal ini terlihat pada pH susu yang disimpan 48 jam dengan
perlakuan fage masih lebih baik (6.00) dibandingkan tanpa fage (perlakuan
Salmonella P38 (5.52) secara signifikan dengan selang kepercayaan 99% (0.01).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan fage dapat menghambat
Lama Penyimpanan (Jam)
pertumbuhan Salmonella P38 dan kerusakan susu selama 48 jam.
6.00
5,52
48
6,05
6,07
6,06
5,89
24
dan Fage
6.10
6,25
6,22
6,26
6,57
6,58
6,56
6,57
6,56
0
4,5
5
5,5 pH 6
6,5
Gambar 16 Pengaruh fage FR38 terhadap nilai pH Susu
4.3 Efektifitas Fage FR38 pada Sosis
4.3.1 Total Salmonella P38
Penambahan fage FR38 pada sosis juga mempengaruhi laju pertumbuhan
Salmonella P38 selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang (Tabel 8).
Fage FR38 mampu menurunkan jumlah Salmonella P38 pada penyimpanan 24
jam (6.9 x 101 cfu/ml) dan 48 jam (7.8 x 102 cfu/ml) secara signifikan
dibandingkan dengan perlakuan Salmonella P38, pada selang kepercayaan 99%
(0,01). Hal ini berbeda sangat signifikan dengan perlakuan penambahan
54
Salmonella saja, yang meningkatkan jumlah Salmonella pada sosis masingmasing sebesar 7.5 x 106 cfu/ml (24 jam) dan 8.4 x 109cfu/ml (48 jam).
Tabel 8 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella
pada sossis
Perlakuan
Salmonella P38 total (cfu/ml)
0 Jam
24 Jam
48 Jam
Kontrol
0a
0a
0a
Kontrol positif (NB)
0a
0a
0a
Kontrol positif (NB + Buffer SM)
0a
0a
0a
4
6
Salmonella P38
4.7 x 10 b 7.5 x 10 c
8.4 x 109e
Fage FR38 dan Salmonella P38
4.5 x 104 b 6.9 x 101d
7.8 x 102f
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata 0.01
4.3.1 Kandungan Nutrisi
Penambahan fage ternyata juga mampu menghambat laju kerusakan
kandungan nutrisi akibat kerja Salmonella P38 (Tabel 9). Pada saat penyimpanan
48 jam, ternyata sosis yang diberi perlakuan fage FR38 memiliki kadar abu
(2.58%), protein (13.09%) dan lemak (6.49%) lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan dengan sosis yang diberi perlakuan tanpa fage (Salmonella P38
saja) yang memiliki kadar abu 2.49%, protein 11.06%, dan lemak 6.21% (0.01).
Pangan yang kaya akan protein dan lemak merupakan media tumbuh yang
baik bagi mikroba (Kluwer 2005). Komposisi protein (mean = 2.58%) dan lemak
(mean = 14.12%) pada sampel penelitian sosis ini cukup tinggi. Pangan yang
mengandung lemak dan protein tinggi merupakan media tumbuh yang baik bagi
Salmonella. Hal ini terlihat dari penurunan sangat signifikan kadar lemak (6.21%)
dan Protein (11.06%) pada lama penyimpanan 48 jam. Perlakuan fage ternyata
dapat menghambat penurunan komposisi lemak, protein, kadar air, kadar abu dan
serat kasar sosis akibat aktivitas Salmonella secara signifikan (0.01).
Hal ini membuktikan bahwa bila diaplikasikan pada pangan misalnya sosis
maka fage tidak akan mempengaruhi kandungan nutrisinya. Menurut Abedon
(2008) fage bersifat infektif hanya terhadap host-nya saja.
55
Tabel 9 Pengaruh perlakuan fage FR 38 dan waktu inkubasi terhadap kandungan
nutrisi sosis
Perlakuan
Waktu Kadar air
Abu Lemak Protein Serat
(jam)
kasar
(%)
Kontrol negatif
51.56a
2.68a 6.86a 14.12a 0.74a
Kontrol positif (NB)
51.55a
2.67a 6.85a 14.13a 0.75a
Kontrol positif(NB +
51.57a
2.68a 6.86a 14.12a 0.73a
Buffer SM
0
Salmonella P 38
51.56a
2.68a 6.84a 14.12a 0.74a
Salmonella P 38 dan
51.55a
2.68a 6.85a 14.13a 0.75a
Fage FR 38
Kontrol negatif
53.49b
2.65b 6.63b 13.90b 0.71b
Kontrol positif (NB)
53.48b
2.65b 6.64b 13.90b 0.71b
Kontrol positif(NB +
24
53.49b
2.64b 6.63b 13.91b 0.71b
Buffer SM
Salmonella P 38
55.11c
2. 43c 6.45c 12.79c 0.68c
Salmonella P 38 dan
53.70d
2. 55d 6.59d 13.85d 0.70d
Fage FR 38
Kontrol negatif
55.39 e
2.60e 6.51e 13.87e 0.68e
Kontrol positif (NB)
55.38e
2.61e 6.53e 13.88e 0.66e
Kontrol positif(NB +
48
55.38e
2.61e 6.52e 13.87e 0.67e
Buffer SM
Salmonella P 38
60.19f
2.49f 6.21f 11.06f 0.60f
Salmonella P 38 dan
57.61g
2.58g 6.49g 13.09g 0.63g
Fage FR 38
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata 0.01
4.4 Efektifitas Fage FR38 pada Air
Penambahan fage pada air mempengaruhi laju pertumbuhan Salmonella sp.
selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang (Tabel 10). Fage FR38
menurunkan Salmonella P38 pada penyimpanan 24 jam (3.6 x 101 cfu/ml) dan 48
jam (9 cfu/ml) secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage FR38
(Salmonella P38) pada penyimpanan 24 jam (1.3 x 107 cfu/ml) dan 48 jam (9.5 x
106 cfu/ml) (0,01) (Tabel 10).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fage FR38 lebih efektif pada air
dibandingkan sosis dan susu. Di duga konsentrasi media mempengaruhi efektifitas
dari fage. Diduga konsentrasi tinggi pada larutan (misalnya susu) menghambat
menempelnya Fage FR38 pada reseptor host (Salmonella P38) sehingga
mempengaruhi kecepatan infektifitas fage FR38 terhadap host-nya. Hal ini terlihat
dari susu, sosis, dan air, bahwa konsentrasi media yang paling rendah dan tidak
56
terhalangnya Fage FR38 dalam mengenali reseptor menyebabkan daya infektifitas
dan penetrasi lebih tinggi.
Tabel 10
Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella
P38 pada air
Perlakuan
Salmonella P38 total (cfu/ml)
0 Jam
24 Jam
48 Jam
Kontrol negatif
0a
0a
0a
Kontrol postif (NB)
0a
0a
0a
Kontrol positif (NB + Buffer SM)
0a
0a
0a
4
7
Salmonella P38
4.8 x 10 b 1.3 x 10 c
9.5 x 106e
Fage FR38 dan Salmonella P38
4.5 x 104 b 3.6 x 101d
9f
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0.01
4.5 Keamanan Fage Secara In Vivo
4.5.1 Fungsi Ginjal
Kreatinin merupakan parameter untuk mengamati fungsi ginjal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara perlakuan fage
dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (P > 0.05) (Tabel 11). Kreatinin
pada tikus yang diberi perlakuan fage (1.331±0.527) ternyata tidak berbeda nyata
secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (1.394±0.743) (P > 0.05). Menurut
Meredith (2002) Kreatinin pada tikus sprague dawley dewasa (jantan) adalah
0.39-2.29 mg/dl. Meningkatnya kadar kreatinin mengindikasikan rusaknya fungsi
ginjal (Corwin 2009). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan fage tidak
mempengaruhi fungsi ginjal.
Tabel 11 Kreatinin dan total protein pada tikus yang diberi perlakuan fage
Parameter
Fage
Kontrol
Kreatinin (mg/dl) 1.331±0.527a 1.394±0.743a
Protein (g/dl)
6.423±0.597b 6.400±0.458b
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,01)
Parameter lain untuk mengamati fungsi ginjal adalah total protein darah
pada darah (Kuby 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara perlakuan fage dibandingkan dengan kontrol (P > 0.05) (Tabel
11). Total protein darah pada tikus yang diberi perlakuan fage (6.223±0.597 g/dl)
ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol
57
(6.400±0.458 g/dl) (P > 0.05). Menurut Meredith (2002) total protein darah pada
tikus sprague dawley dewasa (jantan) normal adalah 5.9-8.4 g/dl. Kadar protein
darah yang meningkat mengindikasikan kerusakan glomerulus pada ginjal.
Berdasarkan perbandingan hasil penelitian (Tabel 11) dengan standar tikus normal
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh nilai kreatinin dan protein darah tikus
baik perlakuan maupun kontrol adalah normal. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Menurut Kuby (2007) total
protein darah yang meningkat mengindikasikan meningkatnya Immunoglobulin
(Ig) darah. Ig yang meningkat menunjukkan bahwa terdapat paparan benda asing
atau alergen pada tubuh. Dapat disimpulkan bahwa Fage FR38 tidak
menyebabkan alergen (total protein darah tikus perlakuan adalah normal).
4.5.2 Fungsi Hati
Pada penelitian ini fungsi hati diukur dengan parameter SGOT (serum
glutamic oxaloacetic transaminanse atau aspartat transaminase) dan SGPT
(serum glutamic pyruvic transaminase atau alanin transaminase). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai SGOT dan SGPT antara perlakuan
fage dibandingkan dengan kontrol (Tabel 12).
Tabel 12 Nilai SGOT dan SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage
Parameter
Fage (IU/L)
Kontrol (IU/L)
SGOT
193.50±34.735a 211.67±65.503a
SGPT
176.67±27.955b 177.00±36.630b
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,05)
SGOT pada tikus yang diberi perlakuan fage (193.50±34.735) ternyata tidak
berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (211.67±65.503)
(hitung > 0.05) (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak
mempengaruhi fungsi hati. Di duga fungsi hati dipengaruhi oleh ransum tikus
dengan komposisi tinggi nutrisi protein dan lemak (komposisi pelet jafpa adalah
protein 14%; lemak 4%; serat kasar 8%; abu 15%; kandungan air 12%). Menurut
Sartika (2003) ransum standar untuk tikus komposisinya adalah protein (kasein)
10%; minyak jagung 8%; air 5%; dan pati jagung untuk membuat 100%.
58
SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage (176.67±27.955) ternyata juga
tidak
berbeda
nyata
secara
signifikan
dibandingkan
dengan
kontrol
(177.00±36.630) (hitung > 0.05). Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) nilai
SGOT dan SGPT normal tikus adalah sangat bervariasi tergantung pada jenis
kelamin, usia, galur, makanan, dan lingkungan hidupnya. SGOT normal tikus
adalah 192-262 IU/L (Meredith 2002).
Bila dibandingkan nilai SGOT hasil
penelitian (Tabel 11) dengan standar tikus normal maka dapat disimpulkan bahwa
seluruh nilai SGOT tikus baik perlakuan maupun kontrol adalah normal. Hal ini
menunjukkan juga bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati.
4.5.3 Berat Badan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat badan selama penelitian pada
hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 pada tikus yang diberi perlakuan fage dan
kontrol ternyata tidak ada perbedaan secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari
uji T-Test pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, sampai hari ke-16 menunjukkan
bahwa perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (P > 0.05)
Berat Badan (g)
dibandingkan dengan kontrol (Gambar 17).
260
250
240
230
220
210
200
a
a
perlakuan Fage
Kontrol
0
2
4
6
8
Hari ke-
10
12
14
16
Gambar 17 Pertumbuhan tikus kontrol dan perlakuan fage FR38
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,01)
Pada hari ke-16, tikus dengan perlakuan fage FR38 (mean = 255.83, n = 6)
tidak berbeda beratnya dibandingkan kontrol (mean = 250.47g, n = 6) (P > 0.05).
Berat badan normal tikus (usia 2.0-3.5 bulan) adalah 200-350g (Derelanko dan
Hollinger 2002); 225-325g (Meredith, 2002). Berkurangnya nafsu makan dan
berat badan akibat perlakuan merupakan indikasi efek toksik dari suatu perlakuan
(Kuby 2007). Semua tikus baik perlakuan maupun kontrol terlihat tidak ada yang
59
mengalami gangguan nafsu makan dan penurunan berat badan. Hal ini
menunjukkan bahwa fage tidak mempengaruhi nafsu makan/prilaku makan dan
berat badan.
4.5.4 Berat Organ
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat organ tikus Kontrol yaitu Usus
besar, Limpa, Ginjal kanan, Ginjal kiri, Lambung, Usus halus, Hati, Paru-paru,
dan Jantung; ternyata tidak berbeda nyata dengan berat organ tikus yang diberi
perlakuan fage Salmonella P38 indigenous (usus besar, limpa, ginjal kanan, ginjal
kiri, lambung, usus halus, hati, paru-paru, dan jantung) pada hari ke-16 dengan
selang kepercayaan 99% (Tabel 13). Organ yang diberi perlakuan fage
menunjukkanberat yang normal. Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) berat
ginjal kanan yang normal adalah berkisar 1.839±0.222g dan ginjal kiri berkisar
1.717±0.155g.
Tabel 13. Rata-rata berat organ selama perlakuan fage FR38
Organ
Usus besar
Limpa
Ginjal kanan
Ginjal kiri
Lambung
Usus halus
Hati
Paru-paru
Jantung
Kontrol (g)
22.573±2.292a
0.702±0.100b
1.852±0.093c
1.822±0.029d
9.760±1.615d
7.007±0.776e
10.103±0.761f
1.992±0.126g
0.813±0.065h
Perlakuan fage (g)
21.683±1.951a
0.673±0.210b
1.842±0.005c
1.830±0.009d
7.065±1.845d
6.872±1.529e
10.002±0.798f
1.970±0.204g
0.807±0.070h
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,05)
4.5.5
Penampakan Feses
Seluruh tikus baik kontrol maupun perlakuan Fage FR38 fesesnya adalah
normal (Tabel 14). Kriteria normal adalah feses bulat, penuh, tidak pecah, tidak
lunak, warna hitam cerah. Menurut Suckow (2001) feses tikus normal memiliki
karakteristik bulat, penuh, tidak pecah, tidak lunak, warna hitam cerah. Seluruh
feses tikus baik perlakuan maupun kontrol menunjukkan tampilan feses normal.
60
Tabel 14. Penampakan feses tikus selama perlakuan fage FR38
Tikus
0
F1
F2
F3
F4
F5
F6
K1
K2
K3
K4
K5
K6
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
2
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
4
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
6
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Hari
8
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
10
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
12
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
14
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
16
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Keterangan: N = normal
4.5.6
Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (PCV).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hemoglobin dan Packed Cell Volume
(PCV) pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata
pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16 (Tabel 15). Uji-t dari
Hemoglobin dan PCV tikus hari ke-16 menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak
memperlihatkan perbedaan yang bermakna (P>0.05) dibandingkan dengan
kontrol. Hb normal tikus adalah 11.1-18 g/dl (Meredith 2002); 11-18 Derelanko
dan Hollinger (2002). Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) PCV tikus normal
adalah = 34-48%. Bila dibandingkan hasil penelitian (Tabel 15) Dapat
disimpulkan bahwa seluruh Hb dan PCV tikus baik perlakuan maupun kontrol
adalah normal.
Eritrosit dan Trombosit pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata
tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16
(Tabel 15). Hasil perhitungan dengan uji 2 nilai tengah (t-test) data eritrosit dan
trombosit setelah perlakuan fage selama 15 hari ternyata hasilnya tidak berbeda
nyata pengaruhnya dengan kontrol secara signifikan (P > 0.05). Uji-t dari data
eritrosit dan Trombosit tikus hari ke-16 menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak
memperlihatkan perbedaan yang bermakna (P>0.05) dibandingkan dengan
61
kontrol. Eritrosit normal tikus adalah (6 - 10) x 106 mm-3 (Derelanko dan
Hollinger 2002). Bila dibandingkan hasil penelitian (Tabel 15) Dapat disimpulkan
bahwa seluruh eritrosit tikus baik perlakuan maupun kontrol adalah normal.
Limfosit dan monosit pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak
berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16 (Tabel
15). Hasil Uji-t dari gambaran differensiasi darah putih limfosit dan monosit tikus
hari
ke-16
masing-masing
menunjukkan
bahwa
perlakuan
fage
tidak
memperlihatkan perbedaan yang bermakna ( > 0.05) dibandingkan dengan
kontrol. Sehingga dapat disimpulkan perlakuan fage tidak mempengaruhi monosit
dan limfosit tikus.
Tabel 15 Gambaran hematologi darah tikus yang diberi perlakuan fage FR38
Hematologi
Eritrosit (106/mm3)
Hb (g/dl)
PCV (%)
Trombosit (106/ mm3)
Leukosit (Ribu/mm3)
Neutrofil (%)
Eosinofil (%)
Basofil
(%)
Limfosit (%)
Monosit (%)
Fage FR38
8.363±0.437a
12.643±0.798b
36.125 ±1.91c
119.167±13.86d
8.425±0.687 e
20.667 ±9.331 f
1.333 ±1.033g
0
76.167 ±8.377h
1.833 ±1.329i
Kontrol
8.922±1.358a
12.58±0.776b
37.125±2.032c
123.5± 19.670d
8.2 ±2.905e
18.167 ±10,000f
1.333 ±0.512g
0
78.167 ±11.600h
2.333 ±1.584i
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,01)
Leukosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil pada tikus yang diberi perlakuan
fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada
hari ke-16 (Tabel 15). Hasil uji beda dua nilai tengah (t-test) dari neutrofil,
eosinofil, dan basofil tikus hari ke-16 masing-masing menunjukkan bahwa
perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna ( > 0.05)
dibandingkan dengan kontrol. Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) tikus
normal memiliki leukosit = (7-14) x 103 mm-3; neutrofil (4-50)%; limfosit = (4095)%; monosit = (0-8)%; eosinofil = (0-2)%; dan basofil = (0-2)%; bila
dibandingkan hasil penelitian (Tabel 15) Dapat disimpulkan bahwa seluruh tikus
baik perlakuan maupun kontrol memiliki nilai leukosit, neutrofil, limfosit,
monosit, eosinofil dan basofil normal. Menurut Kuby (2007) meningkatnya
62
eosinofil dan basofil dalam darah mengindikasikan bahwa tubuh terpapar zat
asing atau alergen. Penelitian ini menunjukkan bahwa eosinofil dan basofil yang
diberi perlakuan fage FR38 adalah normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa
fage FR38 tidak tergolong sebagai alergen dan tidak menimbulkan alergi bagi
tubuh tikus.
4.5 Histopathologi
Pada uji histopathologi terlihat bahwa organ yang diberi perlakuan fage
adalah normal tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS). Organ tikus
yang diberi perlakuan fage tidak berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 18).
(A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
(G)
(H)
Gambar 18 Perbandingan jaringan tikus yang diberi perlakuan fage (ginjal (A),
Liver (C), Lambung (E) dan limpa (G)) dan jaringan tikus kontrol
(ginjal (B), Liver (D), Lambung (F) dan limpa (H)) HE x 200.
(Keterangan: seluruh gambar TAKS)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antara
kontrol dan perlakuan Fage FR38 pada ginjal (Gambar 18). Jaringan ginjal pada
tikus perlakuan Fage FR38 pada hari ke-16 menunjukkan sebagai jaringan
normal. Pada semua tikus baik kontrol maupun perlakuan fage FR 38 tidak
terlihat lisis pada sel, alterasi dan apoptosis. Jaringan normal adalah jaringan yang
tidak mengalami lisis, alterasi dan apoptosis. Infeksi virus mengakibatkan sel lisis,
63
alterasi pada permukaan membram sel dan apoptosis (Rabson et al. 2005). Pada
semua pengamatan jaringan terlihat bahwa tidak ada sel yang mengalami lisis,
alterasi, dan apoptosis.
Jaringan hati pada tikus perlakuan Fage FR38 pada hari ke-16
menunjukkan sebagai jaringan normal (tidak ada kelainan spesifik). Pada semua
tikus baik kontrol maupun perlakuan fage FR 38 tidak terlihat sel lisis, alterasi dan
nekrosis. Menurut colville dan Bassert (2002) jaringan hati normal adalah
jaringan yang tidak mengalami lisis, alterasi dan nekrosis. Infeksi virus pada hati
mengakibatkan sel lisis, alterasi pada permukaan membram sel, dan nekrosis hati
(Rabson et al. 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antara
kontrol dan perlakuan Fage FR38 pada usus (Gambar 19). Jaringan usus pada
tikus perlakuan Fage FR38 pada hari ke-16 menunjukkan sebagai jaringan
normal. Pada semua tikus baik kontrol maupun perlakuan fage FR 38 tidak
terlihat lisis sel, alterasi dan apoptosis. Menurut colville dan Bassert (2002)
jaringan normal adalah jaringan yang tidak mengalami lisis, alterasi dan
apoptosis. Infeksi virus mengakibatkan cell lysis, alterasi pada permukaan
membram sel dan apoptosis (Rabson et al. 2005).
(A)
(B)
Gambar 19 Jaringan usus tikus yang diberi perlakuan FR38 (A) and Kontrol (B)
(HdanE.x200) (keterangan: TAKS)
64
Pada hari terakhir perlakuan, semua perlakuan (kontrol dan Fage FR38)
menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata satu sama lain. Pada jaringan terlihat
tidak ada peristiwa sel lisis, alterasi sel, apoptosis sel, dan nekrosis sel (tidak ada
kelainan spesifik). Menurut Murphy et al. (2008) infeksi virus akan memberi efek
alterasi sel dan lisis sel. Infeksi virus juga memberi efek apoptosis (Radji 2010).
Hal ini menunjukkan bahwa fage FR 38 tidak menginfeksi jaringan tikus,
melainkan pada jaringan host spesifik (Salmonella P38).
Efek infeksi virus adalah merubah morfologi sel (cytopathic effect) dan
jaringan/histology (Murphy et al. 2008) serta swollen cell (Roit and Delves 1992).
Cytopathic effect adalah gangguan metabolik yang memberi efek lesi pada sel dan
kematian sel (Dorland, 2012). Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa perlakuan fage FR38 (virus bakteri) tidak
mempengaruhi penampakan jaringan tikus. Hal ini membuktikan bahwa fage FR
38 menginfeksi host yang spesifik yaitu hanya Salmonella P38. Menurut Abedon
(2008) Fage adalah virus bakteri yang hanya melisiskan bakteri yang spesifik.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah Fage FR38 efektif menurunkan
cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu, dan air serta aman secara in vivo,
dengan rincian simpulan sebagai berikut:
1.
Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
susu. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan
menjadi 1.2 x 103 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa fage (Salmonella
P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba dari menjadi 7.9 x 1012
cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). Perlakuan fage FR38
mampu menahan laju penurunan kadar lemak (3.32%), abu (0.25%),
protein (2.20) dibandingkan tanpa perlakuan fage FR38 (Salmonella P38)
yang menurunkan kadar lemak (1.76%), abu (0.18%) dan protein
(1.09%) pada lama penyimpanan 48 jam (0,01).
2.
Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
sosis. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan
menjadi 7.8 x 102 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa fage (Salmonella
P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 8.4 x 109 cfu/ml
pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). Perlakuan fage FR38 mampu
menahan laju penurunan kadar lemak (6.49%), abu (2.58%), dan protein
(13.09%) dibandingkan tanpa perlakuan fage FR38 (Salmonella P38)
yang menurunkan kadar lemak (6.21%), abu (2.49%) dan protein
(11.06%) pada lama penyimpanan 48 jam (0,01).
3.
Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air.
Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan dari 3.6
menjadi 9 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa Fage (Salmonella P38)
yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 9.5 x 106 cfu/ml
pada lama penyimpanan 48 jam (0,01).
4.
Penggunaan fage FR38 adalah aman secara in-vivo. Tikus galur sprague
dawley yang diberi perlakuan fage FR38 secara oral sebanyak 1.59 x 107
pfu memiliki fungsi hati normal, fungsi ginjal (kreatinin = 1.331±0.527
66
mg/dl dan total protein = 6.223±0.597 g/dl) normal, hematologi darah
(hemoglobin = 12.643±0.798%; PCV = 36.125±1.91; eritrosit =
8.363±0.437 (106/mm3); leukosit = 8.425±0.687 ribu/mm3; trombosit =
119.167±13.86 (106/mm3), limfosit = 76.167 ±8.377;%, neutrofil = 20.667
±9.331, monosit = 1.833 ±1.329%, eosinofil = 1.333 ±1.033%; basofil =
0) normal dan memiliki gambaran histopatologis organ (liver, ginjal,
lambung, dan limpa) normal/tidak menunjukkan kelainan yang spesifik
(TAKS). Perlakuan fage FR38 secara oral tidak berbeda nyata secara
signifikan dibandingkan dengan kontrol (0.01).
5.2 Saran
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan fage secara oral
sebanyak 1.59 x 107 pfu adalah aman dengan gambaran darah dan
histopatologis organ tikus sprague dawley adalah normal. Diharapkan uji
coba keamanan fage pada penelitian ini dapat dilanjutkan pada hewan
percobaan yang lebih besar seperti kelinci dan monyet. Perlu aplikasi Fage
FR38 pada proses
sanitasi pengolahan pangan yang lain dan sebagai
pengendali hayati di lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abedon ST. 2008. Bacteriophage Ecology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Abshire TG, Brown JE, Ezzell JW. 2005. Production and validation of the use of
gamma phage for identification of Bacillus anthracis. J Clin
Microbiol 43:4780-4788.
ACDC. 2009. Acute Communicable Disease Control: annual morbidity report.
USA: ACDC Inc.
Adams MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. Cambridge: The Royal Society
of Chemistry.
Ahmed R, Mistry PS, Jackson. 1995. Bacillus cereus phage typing as an
epidemiological tool in outbreaks of food poisoning. J Clin Microbiol 33:636640.
Albert M, Vannesson C, Schwartzbrod I. 1994. Recovery of somatic coliphages in
shellfish. Water Sci technol 31:453-456.
Anani H, Chen W, Pelton R. 2011. Biocontrol of L. monocytogenes and E. coli in
meat by using phages immobilized on modified cellulose membranes. Appl
Environ Microbiol 77: 6379-6387.
Anderson A, Jager CB, Helmuth R, Huber I, Made D, Malorny B. Multicenter
validation study of two blockcycler- and one capillary-based real-time PCR
methods for the detection of Salmonella in milk powder. Int J of Food
Microbiol 117(2):211-216.
AOAC. 2004. Official Methods of Analysis. Association of official Analytical
Chemists. Washington: AOAC Press
Atlas RM. 2010. Handbook of microbiological media. USA: CRC Press.
Atterburry RJ, Bergen MAPV, Ortiz F, Lovell MA, Harris JA, Boer AD,
Wagenaar JA, Allen VM, Barrow PA. 2007. Bacteriophage therapy to reduce
Salmonella colonization of broiler chicken. Appl Environ Microbiol 73:45434549.
Atterburry RJ, Bergen MAPV, Ortiz F, Lovell MA, Harris JA, De Boer A,
Wagenaar JA, Allen VM, Barrow PA. 2007. Bacteriophage therapy to reduce
Salmonella colonization of broiler chickens. Appl. Environ Microbiol
73:4543-4549.
Atterbury R, Connerton P, Dodd C, Rees C. 2001. Isolation and characterisation
of Campylobacter specific bacteriophage from retail poultry. Int J Med
Microbiol 291:79-80.
Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3):225-242.
Barbaree JM, Chin BA, Guntupalli R, Hu J, Lakshmanan RS, Petrenko VA. 2007.
Detection of Salmonella typhimurium in fat free milk using a phage
68
immobilized magnetoelastic sensor. Sensor & Actuat: B. Chemic 126(2):544547.
Bell C, Kyriakides A. 2002. Salmonella.USA: Blackwell Sciences.
Bhattacharya R, Chakravortty D, Chowdhury S, Nagarajan AG. 2012. Direct
detection of Salmonella without pre-enrichment in milk, ice-cream and fruit
juice by PCR against hilA gene. Food Contr 23:559-564.
Bhunia, AK. 2008. Foodborne microbial phatogens. USA: Springer.
Blitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Germany: Springer.
BPOM. 2003. Mengenal bahan pengawet dalam produk pangan. Info POM.
Jakarta: Badan POM.
Brennan JG. 2006. Food Processing Handbook. Germany: Wiley-VCH.
Brenner FH, Stubbs AD, Farmer JJ. 1991. Phage typing of Salmonella enteritidis
in the United States. J Clin Microbiol 29:2817-2823.
Browska K, Aski M, Owczarek B. 2010. The effect phage lysate on cancer cells in
vitro. Clinic & Exp Med 10:81-86.
Budiarti S, Hirai Y, Minami J, Katayama S, Shimizu T, Okabe A. 1991. Adhesive
and invasive to Hep-2 cell of Salmonella derby. J Microbiol Immunol
35(2):111-123.
Budiarti S, Rusmana I. 2010. Kajian pemanfaatan fage litik sebagai biokontrol
bakteri patogen enterik penyebab diare [Laporan Penelitian]. Bogor: IPB.
Budiarti S, Pratiwi RH, Rusmana I. 2011. Infectivity of lytic phage to
enteropathogenic Escherichia coli from Diarrheal patients in Indonesia. J USChina Med Sci 8:72-80.
Budiarti S. 2011. Antibiotic resistence Escherichia coli isolated from faecal of
healthy human. J Int Environ Appl Sci 6(3):359-364.
Bull JJ, Otto G, Molineaux IJ, 2011. In vivo growth rates are poorly correlated
with phage therapy succes in a mouse infection model. Antimicrob Agents
Chemother 56:949-954.
Butler F, Barron UA and Redmond G. 2012. A risk characterization model of
Salmonella Typhimurium in Irish fresh pork sausages. Food Res Int
45(2):1184-1186.
Cairns T, Payne J. 2009. Quantitative models of in vitro phage-host dynamics and
their application to phage therapy. PLoS Pathogen J 5:20-25.
Cardoso M, Santos MCD, and Murmann L. 2009. Prevalence, genetic
characterization and antimicrobial resistance of Salmonella isolated from
fresh pork sausages in Porto Alegre, Brazil. Food Contr 20(3):167-172.
Castillo A, Lopez M, Hidalgo G, Vitella. 2006. Salmonella and Shigella in orange
juice and fresh orange. J Food Protect 69:2595-2599.
69
Castro D, Morińigo MA, Manzanares EM, Cornax R. 1991. Development and
application of a new scheme of phages for typing and differentiating
Salmonella strains from different sources. J Clin Microbiol 30:1418-1423.
Chakrabarti AK, Ghosh AN, Nair GB. 2000. Bacteriology development and
evaluation of a phage typing scheme for Vibrio cholerae O139. J Clin
Microbiol 38:44-49.
Clokie MRJ, Kropinski AM. 2009. Bacteriophages: Method and Protocols. UK:
Humana Press.
Cogan TA, Humphrey TJ. 2003. The rise and fall of Salmonella enteritidis in the
UK. J appl Microbiol 94:114-119.
Collier. 1998. Microbiology and Microbial Infections 9th Ed. New York: Oxford
University Press, Inc.
Cooper GL. 1994. Salmonellosis: infection in man and the chicken: pathogenesis
and developtmen of live vaccines-a review. Vet Bull 64: 123-143.
Corwin EJ. 2009. Handbook of Pathophysiology. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
Cox J. 2000. Salmonella (Introduction). In: Robinson RK, Batt CA, Pattel PD.
Encyclopedia of food microbiology third Ed. San Diego: Academic Press.
Delibato E. 2006. Development of a SYBR green real-time PCR and multichannel
electrochemical immunosensor for specific detection of Salmonella enterica.
Anal Lett J 39:1611-1620.
Derelanko MJ, Hollinger MA. 2004. Handbook Toxicology (2nd Ed). USA: CRC
Press.
Despopoulos A, Silbernagl S. 2003 Color Atlas of Physiology. New York:
Thieme.
Djojosoebagio, Soewondo.
Agricultural Univ.
2007.
Veterinery
Physiology.
Bogor:
Bogor
Duijkeren V, Wannet WJ, Houwers C. 2002. Serotype and phage type distribution
of Salmonella strains isolated from humans, cattle, pigs, and chickens in the
Netherlands from 1984 to 2001. J Clin Microbiol 40:3980-3985
Edgar R, Friedman R, Mor SM. 2011. Reversing bacterial resistance to antibiotic
by phages-mediated delivery of dominnat sensitive genes. Appl Environ
Microbiol 78:3744-3751.
Ellis DE, Whitman PA, Marshall RT. 1973. Effects homologous bacteriophage on
growth of Psedomonas fragi WY in milk. Appl & Env Microbiol 25:24-27.
Endley SI, Vega LE, Hume ME, Pillai SD. 2003. Male-specific coliphages as an
additional fecal contamination indicator for screening fresh carrots. J Food
Prot 66:88-93.
Essien E. 2003. Sausage Manufacture. England: CRC Press.
Fennema OR. 2008. Fennema's food chemistry 4th Ed. USA: CRC Press.
70
Fista GA, Bloukas JG, Siomas AS. 2004. Effect of leek and onion on processing
and quality of Greek traditional sausages. Meat Sciences 6:163-172.
Fleet GH. 1978. Dairy science and technology. Brisbane: Watson Fergusson &
Co.
Foddai A, Strain S, Whitlock RH, Elliott CT, Irene R. Grant. 2011. Clinical
veterinary microbiologynotes: application of a peptide-mediated magnetic
separation-phage assay for detection of viable Mycobacterium vium subsp.
paratuberculosis to bovine bulk tank milk and feces samples. J Clin
Microbiol 49:2017-2019.
Gast RK, Benson ST. 1995. Comparative virulence for chicks of Salmonella.
Avian Diseas J 10:567-574.
Gautier M, Roult A, Sommer P, Eret V, Jan G, Fraslin JM. 1999. Occurence of
propionibacterium freudenreichii bacteriophages in swiss cheese. Appl
Environ Microbiol 61:2572-2576.
Ghaemi A, Gill P, Jahromy SR, Roohvand F. 2010. Recombinant -Phage
Nanobioparticles for tumor therapy in mice models. Gen Vacc and Therapy J
8:3-10.
Goode D, Allen VM, Barrow PA. 2003. Reduction of chicken skin by application
lityc bacteriophage. Appl Environ Microbiol 69:5032-6.
Goodridge L, Gallaccio A, Griffiths WM. 2001. Morphological, host range, and
genetic characterization of two colifages. Appl Environ Microbiol 69: 53645371.
Grau FH. 1989. Salmonella physiology. NSW: Food Microbiology group.
Harrigan WF. 1998. Laboratory methods in food microbiology. England:
Academic Press Ltd.
Harriganw F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. San Diego:
Academic Press Ltd.
Hill B, Lindsay D, Shepherd J, Smythe B. 2012. Microbiology of raw milk in
New Zealand. Int J Food Microbiol 157:305-306.
Hogg S, 2005. Essential Microbiology. England: John Willey & Sons Ltd.
Hwang C, Ingham BH, Ingham SC, Juneja VK, Luchansky JB, Fett ACS.
Modeling the survival of Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes,
and Salmonella Typhimurium during fermentation, drying, and storage of
soudjouk-style fermented sausage. Int J Food Microbiol 129(3):244-248.
Hyglos. 2012. Bacteriophage Biology [Terhubung Berkala]. http://www.
google.com sg/image=bacteriophage&start [6 jun 2012].
Iniansredef 1999. Case study on quality control of livestock products in Indonesia.
Jepang: JICA.
Izzo MM, House JK. 2011. Prevalency of mayor enteric pathogen in Australian
dairy calves. Aust Veterinary J 169:8—5.
71
Jawetz, Melnick, Adelberg's. 2005. Medical Microbiology. McGraw-Hill
Companies. USA.
Jawi K, Indrayani S, Sumardika, Yasa. 2008. Paracetamol effect on SGPT dan
SGOT of mice. Medicin J 21:57-59.
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology 6th Ed.. Maryland: Aspen Inc.
Killic AO, Pavlova SI, Ma WG, Tao I. 1996. Analysis of Lactobacillus phages
and bacteriocins in American dairy products and characterization of phage
isolated from yogurt. Appl Environ Microbiol 62:2111-2116.
Kim JW, Dutta V, Elhanafi, D. 2012. A novel restriction-modification system is
responsible for temperature-dependent phage resistence in L. monocytogenes.
Appl Environ Microbiol 78:1995-2004.
Kuby. 2007. Immunology 6th Ed. New York: W.H. Freeman and Company.
Kudva ITS, Jelacic PI, Youderian P, dan Hovde CJ. 1999. Biocontrol of E. coli:
0157 specific bacteriophage. J Appl Environ Microbiol 65:3767-73.
Laanto E, Sundberg LR, and Bamford KH. 2011. Phage specificity of the fresh
water fish pathogen F. columnare. Appl And Env Microbiol 77:7868-7872.
Lampert LM. 1965. Modern dairy products. New York: Chemical Publishing
Company.
Li R, Mustapha. 2005. Application PCR for detection E. coli, Shigella and
Salmonella in raw and ready to eat meat product. Meat Sci J 20:402-406.
Lu Z, Breidt F, Flemming JR. 2003a. Bacteriophage ecology in commercial
sauerkraut fermentation. Appl Environ Microbiol 69:3192-3202.
Lu Z, Breidt F, Flemming JR. 2003b. Isolation and characterization of L.
Plantarun bacteriophage. From cucumbar fermentation. Int J Food Microbiol
84: 225-235.
Mahdi C. Roekan SH, Safitri A. 2009. Immunomodulasi oleh paparan formalin
dalam makanan terhadap permeabilitas barrier tractus gastrointestinal dan
alternatif perbaikannya melalui diet yogurt [Laporan Penelitian]. Malang:
Universitas brawijaya.
Maura D, Debarbieux, L. 2011. Phages as twenty-first century antibacterial tools
for food and medicine. Appl Microbiol Biotech J 90:851-860.
Mclaughlin MR, Balaa MF, Sims J, King R. 2008. Isolation of
Salmonellabacteriophages from swine effluent lagoons. J Environ Qual
35:522-528
McMeekin TA. 2003. Detecting pathogens in food. England: Woodhead
Publishing.
Meredith A. 2002. BSAVA Manual of Exotic Pets (4th Ed). British: BSAVA Press.
Migeemanathan S. Bhat R. Min-Tze L, Abdulah WNW. 2011. Effect of
temperature abuse on the survival, growth, and inactivation on Salmonella
typhimurium in goat milk. Foodborne Path & Diseas 8(11):1235-1240.
72
Miliotis MD & Bier JW. 2003. International Handbook of Foodborne Pathogens.
USA: Marcel Dekker Inc.
Mim's, C. 2000. Pathogenesis of Infectious Diseases. San Diego: Academic Press.
Molbak K, Olsen JE, Wegener HC. 2006. Salmonella inection. In: Riemann HP,
Cliver DO. Foodborne Infection and intoxications. California: Elsevier.
Murchan S, Aucken HM, O'Neill GL. 2004. Emergence, spread, and
characterization
of phagevariants
of
epidemic
methicillinresistantStaphylococcus aureus 16 in England and Wales. J Clin
Microbiol 42:5154-5160
Murphy KP. 2001. Protein Structure Stability. New Jersey: Humana Press Inc.
Nature PUBL.
2006. Penggunaan imunoterapi panda penderita alergi.
http://www. google.com. sg/image.alergen [6 jun 2012].
Nerney R, Kambashi R, Kinkese J. 2004. Mycobacteriology and aerobic
actinomycetes development of a bacteriophage phage replication assay for
diagnosis of pulmonary tuberculosis. J Clin Microbiol 42:52115-52120.
Ningrum. 2009. Rinitis alergi [Terhubung Berkala]. http://www.google.com.
sg/image.alergen [6 jun 2012].
O'Neill GL, Murchan S, Setas AG. 2001. Epidemiology identification and
characterization of phage variants of a strain of epidemic methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (EMRSA-15). J Clin Microbiol 39:1540-1548.
Pang S, Octavia S, Reevers PR. 2011. Genetic relationship polymorphisme typing
of Salmonella enterica. J Clin Microbiol 50:3727-3734;
Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meat. Connecticut: AVI Publishing
Company.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Elements of Microbiology. Marryland: Mc-Graw
Hill Book Company.
Poernomo S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di
Indonesia dan penyebaran serotipenya pada ternak. Wartazoa 14(4):143-159.
Portillo FG. 2000. Molecular and celullar biology of Salmonella pathogenesis in
microbial foodborne diseases. USA: Technomic Publishing Company Inc.
Pratiwi RH. 2009. Infektifitas fage litik dari limbah cair terhadap EPEC resisten
antibiotik [Thesis]. Bogor: IPB.
Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. 2005. Medical Imunnology. Blackwell Publ:
USA.
Radji M. 2010. Immunologi dan Virologi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.
Ray, Bibek. 2001. Fundamental Food Microbiology. Washington DC: CRC Press.
Robinson RK. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press: San
Diego.
Rode TM, Axelsson L, Granum PE. 2011. High stability of stx2 phage in food and
under food processing condition. Appl Environ Microbiol 77:5336-5341.
73
Roitt's IM. Essential Immunology. British: Blackwell Publishing.
Sahrojas. 2010. Bacteriophage [Terhubung Berkala]. http://www.google.com
sg/image=bacteriophage&start [6 jun 2012].
Sartika, D. 2003. Pengaruh penambahan besi pada bihun yang diformulasi dari
beras dengan suplementasi kedelai terhadap nilai biologis protein dan retensi
zat besi in vivo [Tesis]. Bogor: IPB.
Schofield
DA,
Molineux
IJ,
Westwater
C.
bioluminescent phage for detection of Yersinia
Microbiol 47:3887-3894.
2009.
pestis.
Diagnostic
J Clin
Sinaga EJ. Analisis kandungan formalin pada ikan kembung rebus di pasar
tradisional kota Medan tahun 2009 [Laporan Penelitian]. Medan: e-USU
repository.
Sinaga. 2009. Analisis kandungan formalin pada ikan kembung rebus di pasar
tradisional kota Medan Tahun 2009 [Laporan Penelitian]. Medan: e-USU
repository.
Sinha R, D'Souza D. 2010. Liver cell damage caused due to sodium benzoate
toxicity in mice. Int J of Biotech & Biochem 6(4):549-554.
Smida V. 2011. Salmonella infection-pathogenesis, transmission, and treatment
[Terhubung Berkala]. http://www.doctortipster.com [6 jun 2012]
Suckow D, Danneman J, Brayton J. 2001. The Laboratory Mouse. New York:
CRC Press.
Sudarwanto MB. 1990. Residu antibiotika di dalam air susu ditinjau dari
kesehatan masyarakat veteriner. Prosiding Seminar Nasional Penggunaan
Antibiotik dalam Bidang kedokteran hewan, Jakarta, 9 januari 1990. Jakarta.
hal: 88-91.
Sudarwanto MB. 1992. Residu antibiotika di dalam air susu pasteurisasi ditinjau
dari kesehatan masyarakat veteriner. J Ilmu Pertanian ind 2(1):37-40.
Suntoro SH. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Tadesse G, Ashenafi M, Ephraim E. 2005. Survival E. coli, Shigella and
Salmonella in Fermenting Borde (beverage). Meat Sci J 5:189-196.
The National Academy of Sciences. 2007. Toxicity Testing in The 21st Century: A
Vision and a Strategy. Washington: The National Academic Press.
Todar K. 2009. The microbiology word [Terhubung Berkala]. http://www. google.
com.sg/image =bacteriophage&start [20 jun 2012]
Triana S. 1996. Skrining dan isolasi bakteriofage yang menginfeksi Xanthomonas
[Skripsi]. Bogor: IPB.
Warren BR, Yuk HG, Schneider KR. 2007. Survival Shigella on tomato surface,
potato salad, and raw ground beef. Int J Food Microbiol 7:400-404.
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Bogor: MBrio Press.
74
Zein U, Sagala KH, Ginting J. 2004. Diare akut disebabkan bakteri [e-USU
Repository]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Zhuang Z, Yu L, Mustapha A. 2005. Simultaneous detection of E. coli,
Salmonella, Shigella in apple cider. J Food Protect 67:27—33.
Zuethen P & Sorensen LB. 2003. Food preservation techniques. Cambridge: CRC
Press.
Download