EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN IN VIVO FAGE LITIK FR38 DARI LIMBAH DOMESTIK DALAM MENURUNKAN CEMARAN SALMONELLA P38 INDIGENOUS PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR DEWI SARTIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir Disertasi Bogor, 2012 Dewi Sartika P062080091 ABSTRACT DEWI SARTIKA. Effectivity and In Vivo Safety of The Phage FR38 isolated from Domestic Waste to Decrease The Indigenous Salmonella P38 on Sausage, Milk, and Water. Under direction of SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO and IMAN RUSMANA. The ability of phage FR38 to lysis an indigenous Salmonella P38 from faeces of diarrhea patient has been studied, however its effects on food and its safety are not studied yet. This study was conducted to observe the effects of phage FR38 on food, and its safety in using of the phage on food. Lysis efectivity of phage FR38 on food were measured on sausage, milk, and water. After phage's treatment on sausage, milk, and water, the total colony of Salmonella P38 was counted by surface plate method. Twelve male Sprague-Dawley rats were used for measure of phage's safety. Those rats were divided into two group; (i) control and (ii) treated with phage FR38’s 5 ml/kg bw (1 ml = 1.59 x 107 pfu phage). The phage treatment was administered by phage intragastricly. The clinical symptoms were observed at 15 days after treatment. The result showed that indigenous phage FR38 had been able to decrease of indigenous Salmonella P38 on fresh sausage, milk, and water (0,01). The body weight, organ weight, erythrocyt, hematocrit, hemoglobin, leukocyte, total protein, creatinine, SGOT, SGPT of phage’s treatment rat were not different with control on 16th day (P > 0.05). It can be concluded that no effect of phage FR38 on body weight, blood chemistry, kidney, liver functions (0,01) and histology of the rat. Keyword: Phage FR38, Efectivity lysis, Safety, Salmonella P38 RINGKASAN DEWI SARTIKA. Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air. Dibimbing Oleh SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan IMAN RUSMANA. Sanitasi lingkungan sangat berperan pada prevalensi Salmonella di suatu daerah. Peningkatan populasi Salmonella di lingkungan dapat mencemari makanan baik pada bahan mentah maupun makanan jadi. Salmonella sp. merupakan bakteri patogen pencemar pangan dan penyebab food borne diseases serta water borne disease. Cemaran Salmonella, pada pangan telah banyak diteliti, diantaranya pada sosis dan susu serta produk olahannya. Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia. Dilaporkan bahwa bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan dalam waktu yang lama (efek akumulasi). Sehingga perlu alternatif lain penurun Salmonella sp. pada pangan. Salmonella P38 ditemukan pada feses penderita diare di daerah sindang barang. Peneliti terdahulu telah menemukan fage FR38 dari limbah domestik yang dapat melisiskan Salmonella P38 indigeneous secara signifikan. Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan sanitasi pada proses pengolahan pangan. Pemanfaatan fage FR38 pada susu, sosis dan air serta keamanannya terhadap tubuh sejauh ini belum diketahui pengaruhnya. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunanan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta keamanannya secara in vivo. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengendali hayati cemaran Salmonella P38 baik pada pangan maupun lingkungan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedis Hewan, Laboratorium Biologi Nutrisi PPSHB-IPB; Kandang tikus dan Laboratorium Fisiologi FKH-IPB; Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor, serta Balai Besar Penelitian Veteriner Cimanggu Bogor. Efektifitas pemanfaatan Fage litik pada susu dirancang dengan cara mengkombinasikan aplikasi penambahan fage litik pada susu pasteurisasi yang diberi cemaran 4.3 x 104 cfu Salmonella P38 dan ditambahkan fage FR38 sebanyak 3.8 x 104 pfu fage/100 ml susu. Efektifitas fage litik pada sosis dirancang dengan cara mengkombinasikan aplikasi penggunaan fage litik pada sosis sapi olahan yang diberi cemaran 4.7 x 104 cfu Salmonella dan 3.8 x 10 pfu fage/20 g sosis. Efektifitas fage litik pada air dilakukan dengan cara memberi perlakuan 3.4 x 104 pfu fage FR38 ke dalam 100 ml aquades yang telah dicemari dengan 4.8 x 104 cfu Salmonella P38. Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam. Pengamatan meliputi total mikroba Salmonella P38 serta analisa proksimat kandungan nutrisi pangan yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, serat kasar dan kadar protein. Uji keamanan fage dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan. Dua belas ekor tikus berumur 2 bulan dari galur Sprague Dawley yang diperoleh dari FKH-IPB digunakan dalam penelitian ini. Tikus percobaan diaklimatisasi di kandang hewan selama 15 hari. Tikus percobaan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 adalah tikus kontrol dan kelompok 2 adalalah tikus yang diberi perlakuan fage FR38. Penimbangan tikus dilakukan 2 hari sekali selama 15 hari. Perlakuan yang diberikan adalah 1 ml /200 g bb fage (1 ml = 1.59.107 pfu). Pada hari ke-16 tikus dibius dengan eter dan dipreparasi untuk pengambilan data. Darah diambil dari jantung dengan menggunakan syringe 5 ml, lalu dianalisis eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, eritrosit, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, protein total, diferensiasi butiran darah putih (limfosit, neutrofil, eosinofil, basofil). Deskriptif feses diamati setiap hari. Histopathology dari organ hati, limpa, usus, lambung, dan ginjal diamati dengan membandingkan organ yang sama pada tikus kontrol. Penambahan fage pada sosis ternyata menghambat laju pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang. Pada penyimpanan 24 jam (7.5x101 cfu/ml) dan 48 jam (7.8x102 cfu/ml) ternyata fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.57 x 106 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x108 cfu/ml) (0,01). Penambahan fage pada susu ternyata juga mempengaruhi laju pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam di suhu ruang. Pada penyimpanan 24 jam (9.4 x 102 cfu/ml) dan 48 jam (1.2 x 103 cfu/ml) ternyata fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.6 x 108 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x1012 cfu/ml) (0,01). Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan dari 3.6 menjadi 9 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa Fage (Salmonella P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 9.5 x 106 cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). Uji in-vivo pada tikus menunjukkan bahwa kreatinin pada tikus yang diberi perlakuan fage (1.331±0.527) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (1.394±0.743) (0,01). SGOT pada tikus yang diberi perlakuan fage (193.50 ± 34.735) tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (211.67±65.503) (hitung>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati. Hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit dan Packed Cell Volume (PCV) pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16. Pada uji histopatologi terlihat bahwa organ yang diberi perlakuan fage tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS). Simpulan dari penelitian ini adalah perlakuan penambahan fage FR38 pada sosis, susu dan air ternyata dapat menahan laju kecepatan tumbuh Salmonella P38 pada penyimpanan 24 dan 48 jam secara signifikan. Konsumsi secara oral fage sebanyak 1.59 x 107 pfu ternyata tidak berpengaruh terhadap gambaran darah, SGOT, SGPT, kreatinin, ureum dan jaringan dibandingkan dengan kontrol pada tikus putih (rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. Hal ini menunjukkan bahwa fage adalah efektif menurunkan cemaran Salmonella pada pangan seperti sosis, susu, dan air serta aman bagi tubuh tikus. Kata kunci: Fage FR38, Efektifitas lisis, Keamanan, Salmonella P38 ©Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN IN VIVO FAGE LITIK FR38 DARI LIMBAH DOMESTIK DALAM MENURUNKAN CEMARAN SALMONELLA P38 INDIGENOUS PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR DEWI SARTIKA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, M.S. Dr. Ir. Eti Riani, MSi Penguji Luar pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Sc., SpF(K). Prof. drh. Roostita Balia, Ph.D. Judul Disertasi : Nama NIM Program Studi : : : Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik Fr38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air Dewi Sartika P062080091 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. dr. Sri Budiarti Ketua Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto Anggota Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si. Anggota Mengetahui Ketua Program Studi, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian : 30 Oktober 2012 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, disertasi dengan judul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P388 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air dapat diselesaikan. Penelitian ini didanai oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana sebagai ketua Tim Penelitian adalah Dr. dr. Sri Budiarti. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak mungkin tercipta tanpa bantuan dari segala pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan setinggitingginya dan ucapan terima kasih kepada: Ibu Dr. dr. Sri Budiarti, sebagai ketua Komisi Pembimbing; yang telah memberikan motivasi, ilmu, keteladanan kepada penulis mulai dari awal pemilihan tema, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi; inovasi, logika ilmiah dan ide-ide cemerlang beliau banyak menghiasi disertasi ini; motto beliau ‘keep spirit and be a Samurai’ menggugah penulis untuk bangkit menyelesaikan disertasi ini; Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah all out dalam membimbing dan mendampingi penulis baik dalam menentukan metode, rancangan percobaan, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi; keteladanan dan penerapan planning, organizing, actuating dan controlling dalam me-manage penelitian banyak saya adopsi dari beliau; dan Bapak Dr. Iman Rusmana, MSi selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, ide dan keteladanan baik selama pelaksanaan penelitian, penulisan disertasi hingga publikasi ilmiah; logika ilmiah yang beliau sarankan telah memberi warna tulisan ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada: Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB; Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Ketua Program Studi PSL beserta staf dosen dan akademik; Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bapak Dr.Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.Eng., (Kajur THP), Ibu Ir. Susilawati MS (Sekjur THP) yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengikuti program pendidikan Doktor di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, M.S. dan ibu Dr. Ir. Eti Riani, MSi sebagai penguji pada ujian tertutup; Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Sc., SpF(K) dan Prof. drh. Roostita Balia, Ph.D., sebagai penguji pada ujian terbuka yang telah memberi masukan demi kesempurnaan disertasi ini; Ketua Laboratorium Biomedis Hewan, para laboran (bu Dewi Asnita, bu Ida, mbak Endang dan pak Edi), dan Bapak drh. Yulfian Sani, PhD. (Kepala Lab. Diagnostik Balai Besar Balitvet Cimanggu) yang telah meluangkan waktu dan tenaga memperlancar proses penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghormatan juga penulis haturkan kepada Ayahnda H. Syukur Siadjin, Ibunda Hj. Syukuriah yang tak pernah putus mengingatkan penulis dengan cinta dan kasih sayangnya untuk menyelesaikan studi ini, dalam bentuk doa, dukungan, dan semangat sampai hari ini "Allahuma firlii waliwalidayya warhamhuma kamma rabbayyani saghiirrra". Sayangilah beliau berdua dan sempatkan penulis berbakti kepadanya, Aamiin YRA; Mertua penulis, Alm. Ayahnda KH. M. Burkan Saleh dan Almh. Ibunda Hj. Nuraini, yang ikut mendoakan sewaktu beliau masih hidup. Semoga Beliau berdua tenang disisi-Nya. Aamiin YRA; Suami penulis, Dr. Muhammad Ikbal, M.Pd. dengan cinta dan kasih sayangnya telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan S3 di IPB; anak-anak penulis, M. Rosikhul Ilmi, Egalita Fauziannissa, dan Najhwa Fazilla Ikbal, yang selalu ikut mendoakan penulis dan terpaksa mengerti bahwa uminya sedang menyelesaikan perkuliahan; Saudara penulis, kak Erwan Ekajaya, ST, M.T., mbak Rohai Inah, S.S., M.Si, dek Suharti Ningsih, S.P., M.Si., dek Verra Charoline, S.E., M.H., yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, semangat serta dukungannya: Seluruh keluarga baik di Lampung, Lahat maupun di Kerinci; Rekanrekan penulis yaitu Dr. Rastina Rachim, Dr. Nurlita Pertiwi, M.T., dan rekan S3 PSL tahun 2008; serta rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, 2012 Dewi Sartika RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung karang pada tanggal 20 Desember 1970 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan H. Syukur Siadjin dan Hj. Syukuriah. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1994 pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian (THP), Universitas Lampung. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 1999 pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang dan tahun 2003 pada PPs Ilmu Pangan IPB. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor yang didanai oleh beasiswa BPPS Dikti. Penulis bertugas pada Jurusan THP, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar lampung sejak tahun 2008. Selama mengikuti program S3, penulis aktif menulis artikel ilmiah di bidang lingkungan. Artikel berjudul Economic Analysis on Deforestation telah diterbitkan di Quantitatif International Journal 2009. Artikel lain yang berjudul Clean Development Mechanism Project on Food industri telah disajikan pada Annual International Conference on Green Technology and Engineering 2st tahun 2009. Artikel ilmiah yang berjudul The Effect of Phage FR38 on Sprague Dawley Rat inferred from Blood Parameters and Organ Systems (merupakan bagian dari disertasi S3) telah dipublikasikan pada Hayati Journal of Biosciences Vol.19 No. 3, p.131-136 bulan September Tahun 2012. . DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................................xii xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................xiii xiii DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................xv xv I PENDAHULUAN .....................................................................................................11 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................11 1.2 Perumusan Masalah ..........................................................................................44 1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................78 1.4 Hipotesis Penelitian ...........................................................................................78 1.5 Novelty .............................................................................................................88 II TINJAUAN PUSTAKA ………............. ................................................................. 9 2.1 Dampak cemaran Salmonellosis pada Lingkungan .........................................99 2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp ............................................................................. 109 2.1.2. Patogenesis ...........................................................................................11 10 2.1.3. Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan ..............................12 11 2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada makanan ..............................14 14 2.2 Fage Litik .......................................................................................................14 15 2.2.1 Karakteristik Fage ..................................................................................14 17 2.2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage ................................................................17 18 2.3 Uji In Vivo ......................................................................................................18 18 2.3.1 Paparan Alergi dan Tanggapan Tubuh .................................................18 18 2.3.1.1 Alergen ....................................................................................18 19 2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi ........................................................19 19 2.3.1.3 Antibodi ..................................................................................21 21 2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil ...............................................................21 22 2.3.2 Uji Keamanan .......................................................................................22 24 2.3.1.1 Keamanan dan toksisitas ..........................................................22 24 2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi ...........................................23 25 2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh ......................................................24 26 2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal .........................................25 27 2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati ..............................................26 28 2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan .....................................27 30 2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Keamanan .......................27 28 2.4 Susu..................................................................................................................... 28 2.5 Sosis .................................................................................................................... 34 III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................36 32 3.1 Lokasi dan Waktu ...........................................................................................36 32 3.2 Bahan dan Alat ...............................................................................................36 32 3.3 Prosedur Penelitian .........................................................................................36 32 3.2.1 Produksi Fage ........................................................................................36 34 3.2.1.1 Pengkayaan Fage FR38 ............................................................36 34 3.2.1.2 Kuantifikasi Fage .....................................................................37 38 3.2.1.3 Efisiensi Lisis Fage ..................................................................37 38 3.2.2 Pemanfaatan fage .......................................................................................38 34 3.2.2.1 Pengolahan Susu dengan Aplikasi Fage ......................................38 34 3.2.2.2 Pengolahan Sosis dengan Aplikasi Fage ......................................39 35 3.2.2.3 Pengolahan Air dengan Aplikasi Fage .........................................40 36 3.2.2.4 Pengamatan ...................................................................................41 37 3.2.3 Uji Keamanan Secara In Vivo ....................................................................43 40 3.2.3.1 Persiapan Tikus ............................................................................43 34 3.2.3.2 Persiapan Ransum .........................................................................44 35 3.2.3.3 Konsumsi Makanan ......................................................................44 36 3.2.3.4 Pengumpulan Feses ......................................................................44 37 3.2.3.5 Pewarnaan .....................................................................................44 38 3.2.3.6 Pengamatan ...................................................................................44 38 3.4 Rancangan Percobaan ......................................................................................44 38 3.5 Analisis Data ....................................................................................................45 38 IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................46 39 4.1 Perbanyakan Fage ...........................................................................................46 39 4.2 Efektifitas Fage FR38 pada Susu ...................................................................50 41 4.3 Efektifitas Fage FR38 pada Sosis ...................................................................53 44 4.4 Efektifitas Fage FR38 pada Air ......................................................................55 46 4.5 Keamananan Fage secara In Vivo ...................................................................56 47 4.5 Histopathology ...............................................................................................62 50 V SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................65 53 5.1 Simpulan ..........................................................................................................65 53 5.2 Saran ................................................................................................................66 53 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................67 54 LAMPIRAN ...............................................................................................................75 58 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1 Bagan alir perumusan masalah ........................................... ................................... 5 2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di lingkungan ........................... 6 6 3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia ..................................... 11 11 4 Siklus transmisi wabah Salmonellosis di lingkungan ............................................. 13 5 Siklus replikasi fage ............................................................................................. 15 30 6 Kepala, struktur, dan bentuk fage ........................................................................ 16 16 7 Reproduksi fage ................................................................................................... 17 16 8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh ............................................................. 18 18 9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen ... ..........................................20 20 10 Prosedur pengolahan susu dengan aplikasi fage litik ............ .…………...…….35 39 11 Prosedur pengolahan sosis dengan aplikasi fage ...................................... …...…36 40 12 Pengaruh buffer ringer dan buffer SM terhadap rata-rata ukuran flaque fage ....................................................................................................... 48 40 13 Efektifitas lisis fage FR38 yang diukur berdasarkan nilai OD ............................ 48 42 14 Uji bebas Salmonella, uji kuantifikasi fage, serta pengamatan fage dengan menggunakan (TEM) ..................................................... 49 15 Pengaruh perlakuan fage selama 48 jam: (A) fage FR 38 dan Salmonella P 38; (B) Salmonella P 38; (C) Kontrol; (D) Buffer SM dan dan (E) Nutrient Broth...................... …………................. 52 16 Pengaruh fage FR38 terhadap nilai pH susu........................................................ 53 44 17 Pertumbuhan tikus kontrol dan perlakuan fage FR38 ......................................... 58 48 18 Perbandingan jaringan tikus yang diberi perlakuan fage (ginjal (A), Liver (C), Lambung (E) dan limpa (G)) dan jaringan tikus kontrol (ginjal (B), Liver (D), Lambung (F) dan limpa (H)) HE x 200. ......................... 62 51 19 Jaringan usus tikus yang diberi perlakuan FR38 (A) and Kontrol (B) (HdanE.x200) .................................................................................................... 63 DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode 20052009 ........................................................................................................................ 12 2 Infeksi Salmonella spp. Pada hewan ternak periode tahun 1990-2003 ................................................. 13 3 Residu antibiotik pada produk ternak .................................................................14 14 4 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai PFU fage .......................................46 39 5 Pengaruh buffer stock terhadap nilai Plaque Forming Unit (pfu) 47 fage FR38 ........................................................................................................... 40 6 Pengaruh perlakuan Fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap kandungan nutrisi susu .......................................................................................51 42 7 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella P38 pada susu ..................................................................................... 52 8 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella pada sosis .......................................................................................54 45 9 Pengaruh perlakuan fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap kandungan nutrisi sosis .......................................................................................55 45 10 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella P38 pada air ........................................................................................ 56 11 Kreatinin dan total protein pada tikus yang diberi perlakuan fage ......................56 46 12 Nilai SGOT dan SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage ...........................57 47 13 Rata-rata berat organ selama perlakuan fage FR38 .............................................59 47 14 Penampakan feses tikus selama perlakuan fage FR38 .......................................60 49 15 Gambaran hematologi darah tikus yang diberi perlakuan fage FR38 …… ............................................................................................................... 61 DAFTAR LAMPIRAN No Teks Halaman 1 Tampilan fage FR38 ............................................................................................75 59 2 Tampilan flak dari fage FR38 ........................................................................ .....59 75 3 Proses sentrifugasi cairan fage ............................................................................75 59 4 Proses filtrasi cairan fage .....................................................................................76 60 5 Perlakuan fage pada susu .....................................................................................76 60 6 Penampakan sosis setelah mendapatkan perlakuan Salmonella P38 .................76 60 7 Penghitungan total mikroba dengan menggunakan media XLD ................... .....61 77 8 Tata letak kandang tikus ......................................................................................77 61 9 Tempat minum tikus ............................................................................................77 62 10 Makanan tikus .....................................................................................................78 62 11 Alat sonde tikus .............................................................................................. .....62 78 12 Tampilan tikus pada hari ke-16 ..........................................................................78 63 13 Pengambilan data berat badan .............................................................................79 63 14 Bentuk feses tikus ................................................................................................79 63 15 Proses anesthesia tikus ........................................................................................79 64 16 Organ tikus ..................................................................................................... .....64 80 17 Sampel organ diawetkan di dalam larutan formalin ................................................ 80 18 Pengumpulan tikus setelah pembedahan .............................................................80 64 19 Artikel publikasi ilmiah .......................................................................................... 81 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Cemaran Salmonella di lingkungan seperti di tanah dan air banyak terjadi baik di negara maju maupun berkembang. Air dan tanah yang tercemar Salmonella , merupakan agen pencemar makanan dan minuman yang memicu timbulnya wabah salmonellosis di lingkungan. Wabah salmonellosis di dunia menyebabkan gastroenteritis akut atau diare (1.3 milyar jiwa) dan kematian (13 juta jiwa) (Portillo 2000). Budiarti et al. (1991) melaporkan bahwa Salmonella derby yang diisolasi dari penderita diare di Myanmar secara in-vitro dapat melekat dan menyerang sel Hep-2 yang mengindikasikan bahwa bakteri tersebut dapat menyebabkan diare. Lebih dari 50% penyebab wabah diare di dunia diakibatkan dari makanan yang tercemar Salmonella (Miliotis dan Bier 2003). Di negara berkembang, wabah salmonellosis menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk setiap tahun (Zein et al. 2004). Wabah tersebut ternyata tidak dapat dituntaskan dari tahun ke tahun. Acute Communicable Disease Control (ACDC) (2009) melaporkan bahwa insiden salmonellosis yang tertinggi pada golongan umur 15-34 tahun (22,7%); diikuti oleh golongan 1-4 tahun (19.2%); 5-14 tahun (16.3%); > 65 tahun (10.3%); 35-44 tahun (9.2%); 45-64 tahun (8.5%); < 1 tahun (7.5%); dan 55-64 tahun (6.4%). Di Indonesia, berdasarkan survey di rumah sakit di Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar, dan Batam dari 2.812 pasien diare penyebab utama diantaranya adalah Salmonella spp, dengan rincian kasus diare yaitu di puskesmas (13.3%); rumah sakit rawat inap (0.45%); dan pasien rawat jalan (0.05%) (Zein et al. 2004). Agen penyebab wabah salmonellosis menurut Grau (1989) mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia baik langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak. Menurut Poernomo (2004) infeksi Salmonella spp. Pada ternak tahun 1990-2003 yang tertinggi adalah infeksi S. enteritidis (294 kasus); diikuti S. typhimurium (65 kasus) dan S. hadar (52 kasus). Hewan yang terinfeksi Salmonella dari lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui fesesnya. Feses tersebut akan mencemari kembali lingkungan sekitar seperti tanah dan air. 2 Transmisi pencemaran Salmonella sp. dari lingkungan ke pangan menyebabkan food borne diseases dan water borne disease (Bell dan Kyriakides 2002). Cemaran Salmonella sp. pada pangan yang mengakibatkan keracunan pangan telah banyak diteliti, misalnya pada daging mentah dan sosis (Zhuang dan Mustapha 2005); susu serta produk olahannya (Izzo 2011). Susu dan sosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan Salmonella sp. Deteksi cemaran Salmonella sp. pada susu sudah banyak dilakukan yaitu pada susu sapi olahan (Bhattacharya et al. 2012); susu kambing (Migeemanathan et al. 2011); susu mentah (Hill et al. 2012); susu bebas lemak (Barbaree et al. 2007) dan susu bubuk (Anderson et al. 2007). Cemaran Salmonella sp. pada Sosis ternyata juga telah diteliti misalnya pada sosis babi di Irlandia (Buttler et al. 2012); sosis babi segar di Brazilia (Cardoso et al. 2009); dan sosis fermentasi (Hwang et al. 2009). Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia, misalnya sodium benzoate, sodium nitrat, sodium sulfit, butylated hydroxyl toluene (BHT), butylated hydroxyl anisol (BHA), t-butyl hydroxy quinon (TBHQ). Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik (BPOM 2003). Menurut Sinha dan D’Souza (2010), sodium benzoat pada dosis 155 mg/kg bb berefek gangguan pada sel hati tikus. Sodium benzoate juga merugikan bagi penderita asma yang peka terhadap aspirin (BPOM 2003). Menurut Essien (2007) sosis umumnya menggunakan pengawet sodium benzoat dan sodium sulfat, sodium karbonat, BHA, BHT, ammonium karbonate, sodium fosfat, potasium fosfat, dan lain lain. Sedangkan susu umumnya menggunakan pengawet sodium benzoat, sodium asetat, sodium propionat, sodium sorbat, derivat sulfit (Zuethen dan Sorensen 2003) Harga zat pengawet yang mahal ternyata membuat produsen pangan menggantinya dengan zat pengawet yang tidak diperbolehkan misalnya formalin, tawas dan hydrogen peroxida. Berdasarkan survey Sinaga (2011) di 3 pasar tradisional di Medan ternyata ikan kembung olahan mengandung formalin dengan kadar 1.86 mg/kg; 2,47 mg/kg; dan 1.46 mg/kg. Penggunaan formalin juga 3 terdapat pada produk tahu, susu, daging sapi, daging ayam, mie, dan saos. Zat pengawet yang tidak diperbolehkan seperti formalin selain menekan mikroba, juga menyebabkan kerusakan pada jaringan saluran cerna (Mahdi et al. 2009). Penurunan paparan Salmonella pada hewan juga menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai takaran memberi efek resistensi pada mikroba sehingga produk hasil hewan seperti daging dan susu menjadi tidak aman dikonsumsi karena menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk ternak sudah banyak diteliti misalnya pada susu individu (80%), susu kandang (24%), susu loper (34.4%) (Sudarwanto 1990); residu penisilin pada susu pasteurisasi (Sudarwanto 1992); serta residu tetrasiklin, khlortetrasiklin, oksitetrasiklin pada susu segar (Bahri 2008). Residu penisilin dan tetrasiklin juga terdeteksi pada daging sapi dan daging ayam (Iniansredef 1999). Budiarti (2011) melaporkan adanya paparan E. coli resisten antibiotik pada 95% manusia sehat pada berbagai usia bahkan pada fase neonatus. Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif lain untuk menurunkan mikroba juga Salmonella pada pangan. Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan pengawetan pada proses pengolahan pangan, karena bersifat alami, dan banyak terdapat di lingkungan (Abedon 2008); dapat diisolasi dari berbagai macam bahan pangan misalnya fage E. coli pada kerang (Albert et al. 1994); fage E. coli pada wortel (Endley et al. 2003); fage Propionibacterium freudenreichii pada keju (Gautier et al. 1995); fage Campylobacter pada daging (Atterburry et al. 2001); fage Lactobacillus spp. pada yogurt (Kilic et al. 1996). Di Indonesia isolasi fage sudah dilakukan, seperti isolasi fage Xanthomonas campestris (Triana, 1996); fage enteropatogenik E. coli (Budiarti et al. 2011); dan fage Salmonella FR38 (Budiarti dan Rusmana 2010). Penemuan fage bakteri tersebut belum diiringi pemanfaatannya di lingkungan dan pangan. Pada penelitian ini dilakukan kajian pemanfaatan fage litik dalam menurunkan cemaran Salmonella pada sosis, susu, dan air. Menurut Winarno (2004) pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahan toksik yang membahayakan tubuh manusia. Dilaporkan oleh Budiarti dan Rusmana (2010) fage Salmonella FR38 yang diisolasi dari limbah domestik dapat 4 melisiskan bakteri Salmonella P38 indigenous yang diisolasi dari pasien anakanak diare, secara signifikan. Salmonella P38 tersebut resisten amoxicillinclavulanic acid, ampicillin, ampicillin sulbactam, chepalotin. Sehingga diduga fage FR 38 dapat menurunkan kontaminasi Salmonella P38 pada sosis, susu, dan air. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta keamanannya secara in vivo. 1.2 Perumusan Masalah Salmonella sp. adalah bakteri patogen pencemar lingkungan tanah dan air, yang mengakibatkan wabah salmonellosis atau diare pada hewan dan manusia. Transmisi Salmonella dari lingkungan ke hewan atau manusia dan sebaliknya akan membentuk siklus terus menerus (Gambar 2). Cemaran Salmonella pada tanah, air, dan hewan menyebabkan kontaminasi pada produk pangan dan air. Cemaran Salmonella pada pangan ditemukan juga pada sosis, susu, dan air. Salmonella P38 adalah bakteri resisten terhadap antibiotik. Bakteri resisten antibiotik bila mencemari pangan akan menyebabkan penyakit yang sulit diobati. Penurunan mikroba pada pangan di Indonesia dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan. Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan terus menerus (efek akumulatif). Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif penurun mikroba Salmonella pada pangan yang bersifat alami dan non toksik serta ramah lingkungan. Fage litik dapat dijadikan alternatif sebagai pengawet pada proses pengolahan pangan. Pada penelitian in vitro diketahui, populasi Salmonella P38 dapat diturunkan dengan melakukan penambahan Fage FR38. Fage FR38 diisolasi dari limbah domestik dan bersifat spesifik dalam menginfeksi host (inang). Efektifitas dan keamanan penggunaan fage pada pangan di Indonesia sejauh ini belum banyak dilakukan. Sehingga perlu adanya kajian efektifitas dan keamanan pemanfaatan fage FR38 untuk menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu dan air. Perumusan masalah dan pola transmisi wabah salmonellosis disajikan pada Gambar 1 dan 2. 5 SALMONELLA. MENCEMARI LINGKUNGAN TANAH DAN AIR WABAH SALMONELLOSIS PADA HEWAN DAN MANUSIA SALMONELLA P38 MENCEMARI PRODUK SOSIS, SUSU, DAN AIR ZAT PENURUN CEMARAN BAKTERI PADA PANGAN DAN AIR YANG DIPERBOLEHKAN: MAHAL DAN KARSINOGENIK PRODUSEN MENGGUNAKAN PENGAWET YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DAN ANTIBIOTIK TOKSIK DAN BERBAHAYA BAGI KESEHATAN FAGE FR38 MERUPAKAN ALTERNATIF BARU MUDAH DIDAPAT DAN DIPERBANYAK ALAMI TIDAK TOKSIK RAMAH LINGKUNGAN PERMASALAHAN: PENERAPAN PADA PANGAN DAN PENELITIAN FAGE DI INDONESIA SANGAT MINIM DILAKUKAN PERLU PENELITIAN LEBIH LANJUT PEMANFAATAN FAGE FR38 DALAM MENURUNKAN CEMARAN SALMONELLA P38 PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR SERTA KEAMANANNYA SECARA IN-VIVO KEAMANAN IN-VIVO EFISIENSI PENURUNAN CEMARAN SALMONELLA P38 PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR PENURUNAN WABAH SALMONELLOSIS PENURUNAN CEMARAN SALMONELLA P38 DI LINGKUNGAN Gambar 1 Bagan alir Perumusan Masalah 6 Salmonella mencemari lingkungan Cemaran Salmonella di------------------tanah dan air Fage sebagai ---------------pencegah infeksi ---------------------Foodborne dan waterborne disease Hewan Perlakuan Fage pada air dan pangan Manusia Wabah salmonellosis di Lingkungan Feses mengandung Salmonella mencemari lingkungan Gambar 2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan Keterangan: ------ = pemutusan rantai Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini maka cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu, serta air akan menurun. Pemanfaatan fage dalam penurunan cemaran Salmonella akan memutus rantai berulang siklus transmisi wabah salmonellosis di lingkungan (Gambar 2). Berdasarkan paparan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar? 2. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu? 3. Apakah fage FR38 efektif menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba? 4. Apakah penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley? 7 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar. 2. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu. 3. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba. 4. Mengetahui tingkat keamanan penggunaan fage litik secara in-vivo bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley. 1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah: 1. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar. H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar. 2. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu. H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu. 3. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba 8 H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba 4. H0: Penggunaan fage FR38 tidak aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley. H1: Penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley. 1.5 Novelty atau kebaruan Kebaruan dari penelitian ini adalah: 1. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar. 2. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu. 3. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba. 4. Keamanan penggunaan fage litik secara in vivo.bila dikaji berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dampak Cemaran Salmonella pada Lingkungan 2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp. Salmonella sp. adalah bakteri berbentuk batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, memiliki ukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm (Jawetz et al. 2005). Salmonella sp. hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari manosa, memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S. Pada biakan agar koloninya memiliki median 2-8 milimeter, dengan bentuk bulat agak cembung, dan jernih (Robinson et al. 2000). Menurut Cox (2000) Salmonella sp. bersifat motil dan memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam. Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat, dan sodium deoxycholate (Robinson et al. 2000). Menurut Ray (2001) Salmonella sp. mampu berkembang biak pada berbagai makanan tanpa mempengaruhi tampilan kualitasnya. Genus Salmonella adalah termasuk family Enterobactericeae (Jawetz et al. 2005) dan merupakan bakteri fakultatif anaerob. Salmonella dapat tumbuh pada suhu 5-45oC dengan suhu optimum 35-37oC (Ray 2001); mampu hidup pada pH rendah tetapi sensitif dengan penambahan garam. Salmonella akan membentuk rantai filamen panjang ketika tumbuh pada suhu ekstrim 4-8oC atau 44oC serta pada pH 4.4 atau 9.4 (Bhunia 2008). Semua Salmonella merupakan patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Jawetz et al. 2005). Faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas Salmonella sp meliputi lipopolisakarida (LPS) dan pili (Cogan dan Humprey 2003). Klasifikasi Salmonella sp. berdasarkan dasar reaksi biokimia dan serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik (Jawetz et al. 2005), menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp. dapat diklasifikasikan menjadi tiga spesies yaitu S. typhi, S. enteritidis, S. cholerasuis (Molbak et al. 2006). Berdasarkan serotipenya di klasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu S. 10 paratyphi A (Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C (Serotipe group), dan S. typhi dari Serotipe group D (Jawetz et al. 2005). 2.1.2 Patogenesis S. typhi, S. paratyphi A, B dan C merupakan penyebab infeksi utama pada manusia. Bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral dan biasanya dengan cara mengkontaminasi makanan dan minuman (Jay 2000). Diantara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp adalah keasaman lambung, flora normal dalam usus dan ketahanan usus lokal (Jawetz et al. 2005). Menurut Robinson et al. (2000) Salmonella juga terdeteksi pada daging, susu, telur, buah dan Sayur. Telur yang terkontaminasi Salmonella yang disimpan pada suhu kamar dapat mencapai 1011 sel/telur (Robinson et al. 2000). Mekanisme patogenesis Salmonella biasanya melalui proses infeksi sistemik yang mengakibatkan demam, diare, abdominal pain, dan vomitting. Gejala timbul tergantung daya tahan tubuh, umumnya setelah terpapar 3-4 hari (Bhunia 2008). Dosis infeksi Salmonella bervariasi yaitu 1-109 cfu/g, menurut Bhunia (2008) dosis minimal Salmonella yang mengakibatkan penyakit adalah 103 cfu/g. Menurut Cooper (1994) dosis 103 dapat menyebabkan wabah salmonellosis pada manusia. Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). S typhi, paratyphi A, B, dan C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar (Rabson et al. 2005). Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain (Gambar 3). Akibatnya feses dan urin penderita bisa mengandung kuman S. typhi, S. paratyphi A, B dan C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang tercemar. Pada penderita yang tergolong carrier kuman Salmonella bisa ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun (Rabson et al. 2005). 11 Gambar 3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia (Smida 2011) Bakteri tersebut melalui aliran darah juga akan menyerang hati, kantong empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang dan menyebabkan infeksi organorgan tersebut (Ray 2001). Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah mereka menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis (Rabson et al. 2005). Gejala klinis pada salmonellosis tergantung pada sifat virulensi dan invasi bakteri, jumlah bakteri, daya tahan tubuh hospes (umur dan kesehatan). Masa inkubasi infeksi Salmonella pada manusia adalah 5-72 jam tetapi gejala umumnya terjadi setelah 12-36 jam menelan makanan yang terkontaminasi Salmonella. Tanda-tanda awal adalah diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah. Salmonellosis bila tidak ditangani dengan tepat akan mengakibatkan kematian (Rabson et al. 2005). 12 2.1.3 Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan Salmonellosis adalah wabah yang timbul akibat adanya infeksi bakteri Salmonella yang menyerang saluran gastrointestinal setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar Salmonella. Wabah salmonellosis telah terjadi sejak 20 tahun yang lalu di Eropa. Tahun 1980-an terjadi peningkatan yang signifikan wabah salmonellosis yang diakibatkan oleh S. enteritidis dan pada tahun 1990 wabah ini menyebar ke negara berkembang. Wabah salmonellosis bersifat epidemik. Wabah ini menurun setelah dilakukan beberapa implementasi kontrol Salmonella. Prosentase wabah Salmonellosis berdasarkan usia disajikan oleh ACDC (2009) pada Tabel 1. Tabel 1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode 2005 - 2009 Kriteria Berdasarkan Usia (tahun) <1 1-4 5 - 14 15 - 34 35 - 44 45 - 54 55 - 64 65 + Tidak teridentifikasi Berdasarkan Ras/etnik Asia Hitam Amerika Putih Lain-lain Tidak teridentifikasi 2005 2006 2007 2008 2009 8.8 17.6 17.4 20.3 10.8 8.1 6.7 10.1 0.2 8.2 18.2 17.1 20.6 8.6 9.2 6.6 11.5 0 9.2 16.9 15.9 20.9 10.5 7.9 6.9 11.5 0.3 5.4 37.4 10.4 17.0 9.2 7.1 5.6 7.8 0.2 7.5 19.2 16.3 22.7 9.2 8.5 6.4 10.3 0 9.7 6.8 45.8 36.1 0.6 1.2 11.3 7.8 50.0 28.8 0.3 1.6 10.5 5.9 49.9 31.4 0.9 1.4 7.0 4.7 65.4 19.9 0.2 2.9 8.6 6.3 52.0 30.7 0.8 1.6 Agen penyebab wabah salmonellosis ini mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia serta sebaliknya baik langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak (Grau 1989). Hewan yang terinfeksi Salmonella dari lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui feses (Tabel 2). Feses tersebut akan mencemari lingkungan sekitar seperti tanah dan air. Mekanisme wabah salmonellosis di lingkungan tersaji pada Gambar 4. 13 Tabel 2 Infeksi Salmonella spp. pada hewan ternak periode tahun 1990-2003 Salmonella spp. A B C D E F G H S. Typhi 16 4 2 5 35 1 2 65 S. enteritidis 197 8 59 22 5 3 S. hadar 29 1 15 4 3 52 S. lexington 4 1 10 1 1 17 S. ouakam 23 2 3 1 29 S. schwarzengrund 19 2 1 11 4 1 38 Keterangan: A = Unggas (ayam, itik, burung); B = Ruminansia (Sapi, kerbau, kambing, domba); C = Babi, kucing, anjing; D = Limbah (Rumah potong hewan, alat, air, sampah, bulu); E = Pangan asal ternak (karkas, daging, susu, telur dan produknya; F = Pakan ternak; G = Manusia; H = Jumlah (Poernomo 2004). Salmonella mencemari lingkungan Cemaran Salmonella di tanah dan air Foodborne dan waterborne disease Hewan Manusia Wabah salmonellosis di Lingkungan Feses mengandung Salmonella mencemari lingkungan Gambar 4 Siklus transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan Penurunan paparan Salmonella pada hewan ternyata juga dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak sesuai takaran ternyata memberi efek negatif yaitu produk hasil hewan seperti daging dan susu tidak aman dikonsumsi, menyebabkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk ternak tersaji pada Tabel 3. 14 Tabel 3 Residu antibiotik pada produk ternak Produk Susu individu Susu kandang Susu loper Susu pasteurisasi Susu segar Susu mentah Daging sapi (super market) Hati sapi (super market) Daging ayam (super market) Hati ayam (super market) Sampel positif (%) 80 24 34.4 32.5 5.5 63.7 70.3 59.1 100 11.1 22.2 100 12.5 12.5 41.7 100 14.3 Jenis residu Sumber antibiotik antibiotik antibiotik penisilin tetrasiklin klortetrasiklin oksitetrasiklin penisilin penisilin makrolida tetrasiklin penisilin makrolida tetrasiklin penisilin Sudarwanto (1990) Sudarwanto (1990) Sudarwanto (1990) Sudarwanto et al. (1992) Bahri (2008) Bahri (2008) Bahri (2008) Sudarwanto et al. (1992) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) penisilin aminoglikosida Iniansredef (1999) Iniansredef (1999) 2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dibandingkan penyebab foodborne diseases lainnya. Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan dapat menggunakan teknik biakan konvensional (Ray 2001). Terdapat lima tahapan prosedur untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan, yaitu tahap pre-enrichment (pra-pengayaan), selective enrichment (pengayaan selektif), selective plating media (media pemupukan selektif), uji biokimia, dan uji serologik (Ray 2001). 2.2 Fage litik 2.2.1 Karakteristik Fage Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri di dalam bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel inang. Fage secara metabolisme hanya dapat bereproduksi setelah menginfeksi sel inang bakteri yang cocok. Fage bersifat sangat spesifik dan tidak bersifat 15 toksik terhadap binatang dan tumbuhan. Seperti pada virus umumnya, fage mengandung asam nukleat DNA berantai tunggal atau ganda dan RNA berantai tunggal yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid terdiri atas subunit kapsomer (Pelczar dan Chan 2007). Fage berdasarkan sistem klasifikasi dari the International Committee on Taxonomy of viruses, dimasukkan dalam kelompok ordo I, yaitu caudovirales dengan ciri fage yang memiliki DNA double-strand dan berekor. Fage yang merupakan virus penginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogenik dengan daur siklus yang berbeda (Gambar 5). Gambar 5 Siklus replikasi fage (Todar 2009) Semua fage mempunyai inti asam nukleat yang ditutupi oleh selubung protein atau kapsid (Gambar 6). Kapsid terdiri sub unit morfologis yang disebut kapsomer. Kapsomer terdiri dari sub unit atau molekul protein yang disebut protomer (Pelczar dan Chan 2007). 16 (A) Kepala fage (B) Struktur fage (C) Bentuk fage Gambar 6 Kepala, struktur dan bentuk fage (Sahrojas 2010) Cara reproduksi fage litik terdiri atas 5 tahap, yaitu tahap adsorpsi, tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Bila fage litik menginfeksi sel bakteri maka fage akan bereplikasi di dalam sel inang membentuk sejumlah fage baru kemudian akan membuat sel inang pecah (Hogg 2005). Pada tahap adsorpsi, ujung ekor melekat pada sel melalui reseptor khusus pada permukaan sel. Proses perlekatan ini bersifat spesifik dimana reseptor dan fage bersifat sebagai pasangan (Gambar 7). Reseptor dapat berupa lipopolisakaida, flagela, vili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel. 17 Gambar 7 Reproduksi fage (Hyglos 2012) Pembentukan kepala, ekor, dan serabut ekor diatur melalui 3 jalur yang dilaksanakan oleh runutan gen yang berlainan. Tahap pematangan atau perakitan merupakan tahap penyusunan asam nukleat dan protein virus menjadi partikel virus yang utuh. Tahap perakitan terjadi setelah sintesis protein dan asam nukleat yang diikuti oleh lisis sel bakteri dan pelepasan fage (Hogg 2005) 2. 2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage Penemuan dan penelitian fage telah banyak dilakukan sejak Ernest Hanbury Hankin melakukan pengamatan pertamakali terhadap aktivitas fage yang menginfeksi Vibrio cholerae di India pada tahun 1896. Setelah penemuan fage pada tahun 1915-1917, penggunaan fage secara klinis pada manusia terhadap infeksi bakteri telah dilakukan di Eropa khususnya di Eropa Timur (Pelczar dan Chan 2007). Terapi fage telah digunakan untuk melawan penyakit infeksi pada kulit, tulang, saluran gastrointestinal, dada, abdomen, kepala, leher, dan sistem organ tubuh lainnya (Abedon 2008). Pada tahun 1921, Bruynoghe dan Maisin menggunakan fage untuk perlakuan terhadap penyakit kulit akibat 18 Staphylococcus. Pada tahun l940-an, perusahaan Eli Lilly di US memproduksi 7 produk fage yang digunakan untuk manusia. Kemudian pada tahun 1980-an, Smith dan Huggins melaksanakan berbagai percobaan terapi fage (Abedon 2008). 2.3 Uji In-vivo 2.3.1 Paparan Alergi dan Respon Tubuh 2.3.1.1 Alergen Istilah alergi adalah keadaan respon immun yang menyimpang atau respon immun berlebihan terhadap suatu substansi atau antigen (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Alergi dikenal juga dengan istilah reaksi hipersensitivitas. Secara definitif, alergi diartikan sebagai reaksi immunologi terhadap antigen (benda asing) secara tak wajar pada seseorang yang sebelumnya terpapar oleh antigen yang bersangkutan. Sedangkan Roitt's (2001) mendefinisikan alergi sebagai respon hipersensitivitas yang diakibatkan bahan asing yang dapat menimbulkan gangguan immun pada tubuh. Respon alergi adalah reaksi perlawanan yang dapat berulang terhadap suatu bahan yang diperantarai oleh respon immunologis (Gambar 8). Gambar 8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh (Ningrum 2009) Zat atau senyawa yang dapat menimbulkan reaksi alergi disebut alergen. Reaksi alergi dapat disebabkan oleh makanan seperti kasein, protein dari telur, 19 susu sapi, kacang-kacangan, gandum, ikan, kerang-kerangan dan jenis makanan seperti coklat, jeruk, daging, kentang, apel dan tomat, antigen, vaksin, obat dan parasit (Corwin 2008). Senyawa ideal yang dapat bersifat alergen mempunyai berat molekul 10.000 sampai 70.000 Dalton. Berat molekul yang kurang dari 10.000 Dalton dapat bersifat alergen apabila berikatan dengan protein pembawa alergen. 2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi Reaksi alergi terdiri dari dua jenis yaitu reaksi tertunda (delayed) dan langsung (immediate). Reaksi alergi tertunda biasanya bersifat lokal sedangkan reaksi alergi langsung bersifat lebih serius dan tidak hanya melibatkan kulit, tetapi juga permukaan mukosa (Roitt's 2008). Waktu untuk memunculkan reaksi alergi sejak terpapar alergen pada reaksi alergi tertunda sekitar 6 jam sampai 2 hari, sedangkan pada reaksi langsung antara beberapa menit hingga 1 jam. Jalur immunologis dan perantara yang terlibat pada kedua jenis reaksi alergi berbeda. Reaksi alergi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme immun yang terjadi (Kuby 2007; Roitt's 2008). Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, reaksi anafilaksis atau reaksi alergi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon immun dengan disintesisnya IgE yang disebut proses sensitisasi. Kemudian IgE diikat oleh reseptor Fc pada permukaan sel mast dan basofil. Apabila tubuh sudah tersensitisasi tersebut terpapar oleh alergen yang sama, alergen tersebut akan membentuk ikatan dengan IgE pada permukaan sel mast dan sel basofil. Setiap alergen terikat oleh dua atau lebih molekul IgE (cross linking) (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Kuatnya ikatan tersebut menyebabkan terjadinya reaksi-reaki biokimia dalam sel. Roitt's (2008) menjelaskan bahwa contoh reaksi tipe I adalah alergi terhadap makanan. Alergi makanan biasanya ditimbulkan oleh reaksi yang diperantarai oleh IgE. Sintesis IgE pada individu yang alergi terjadi sebagai akibat dari adanya respon immunologi terhadap alergen yang masuk ke dalam tubuh (Gambar 9). Sedangkan untuk individu yang non alergi, respon immunologi 20 terhadap protein makanan yang masuk ke dalam tubuh adalah sintesis IgD, IgA, IgM atau IgG (Kuby 2007). Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi alergi sitotoksik yang terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG dan IgM terhadap antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan sel fagosit sehingga menimbulkan lisis (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimmun juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II. Gambar 9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen (Nature 2006) Reaksi alergi tipe III disebut juga reaksi kompleks immun terjadi akibat penimbunan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Biasanya antibodi yang terlibat adalah jenis IgG. Kompleks antigen-antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factors (Roitt's 2008). Reaksi hipersensitifitas lambat atau tipe IV timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang sudah 21 disensitisasi terhadap antigen tertentu. Dalam keadaan ini tidak ada peranan antibodi (Corwin 2009). 2.3.1.3 Antibodi Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma akibat kontak dengan antigen. Antibodi jenis IgE, pertama kali ditemukan oleh Ishizaka. IgE atau antibodi reagenik mempunyai berat molekul 200.000 dalton. Kadar IgE ditemukan dalam serum paling sedikit, akan tetapi efeknya sangat nyata. Kadar IgE normal dalam serum orang Swedia (0,1-178 IU/ml) dan untuk orang Indonesia (0-<120 IU/ml). Antibodi jenis IgE ini banyak dihasilkan terutama pada traktus respiratorius, gastrointestinal dan merupakan bagian dari antibodi sistem sekterotis eksternal, seperti halnya IgA (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Individu yang menderita alergi dapat dicirikan dengan tingginya kadar IgE akibat stimulasi oleh antigen seperti debu, tepung sari, jamur atau makanan. Antibodi jenis IgE akan berikatan dengan kuat (high affinity) pada reseptor Fce (FceRl) pada sel mast dan sel basofil, sedangkan low affinity terjadi pada reseptor FceR (FceR2) pada sel limfosit, mast, eosinofil dan platelet (Kuby 2007). 2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil Jumlah sel basofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah sangat sedikit, yaitu kurang dari 0.5% dari seluruh darah putih. Sel basofil diduga berfungsi sebagai sel fagosit, tetapi yang jelas sel tersebut berfungsi sebagai sel mediator. Sel Mast adalah sel yang dalam struktur, fungsi dan proliferasinya sama dengan basofil (Kuby 2007). Berbeda dengan basofil, sel mast hanya dapat ditemukan di jaringan khususnya paling banyak ditemukan pada permukaan jaringan seperti kulit. Kandungan sel mast pada kulit yaitu 104 sel /mm3, kemudian pada alveoli paruparu 106 sel/gram jaringan, gastrointestinal, mukosa dan membran mukosa nasal. Seperti halnya sel mast, sel basofil juga mempunyai reseptor dengan afinitas yang tinggi untuk IgE, kira-kira 270.000 reseptor FceRl terdapat dalam permukaan sel. Pada kulit, baik sel basofil maupun sel mast dapat melepaskan bahan-bahan (mediator) yang mempunyai aktivitas biologik, antara lain: meningkatkan 22 permeabilitas vaskuler, respon inflamasi, mengerutkan otot polos bronkus dan Iain-lain (Kuby 2007). Sel mast dan basofil akan melepaskan mediatornya apabila diaktifkan oleh alergen spesifik dengan mekanisme IgE. Selain itu, dapat juga diaktifkan dengan: 1. Sel yang dapat merangsang pelepasan histamin: sel neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, trombosit,sel endotel. 2. Rangsangan obat: opionid, antibiotik, kontras pelemas otot. 3. Hipoksia 4. Komponen Ca-Ionophor (A-23187) 5. Anafilatoksin (polipeptida basa) : C3a, C4a dan C5a 6. Rangsangan fisis : panas, sinar matahari, dingin dan tekanan 7. Sitokin : Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-3 (IL-3) dan GM-SF (Granidocyte-Macrophage-Colony-Stimulating Factor) Mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil terdiri dari 2 jenis yaitu mediator primer dan sekunder. Mediator primer sudah tersimpan dalam granula sel dan mediator sekunder disintesis setelah aktivasi sel sasaran atau dilepaskan pada saat kerusakan fospolipid membran dalam proses degranulasi (Kuby 2007). 2.3.2 Uji Keamanan 2.3.1.1 Keamanan dan Toksisitas Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan terhadap fage. Uji keamanan pada fage untuk mengetahui ada tidaknya efek toksik/racun yang terdapat pada fage apabila digunakan sebagai bahan tambahan pada bahan pangan. Uji toksisitas yang diteliti pada hewan percobaan biasanya untuk mengevaluasi keamanan dari kandungan dari suatu bahan untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan pada fage selama 15 hari. Uji keamanan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan dan efek suatu bahan pada tubuh. Uji keamanan dalam penelitian ini bertujuan mengukur efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal. atau berulang yang diberikan dalam 24 jam. Hewan uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Suckow 23 (2001) penelitian uji keamanan ini paling sedikit menggunakan 4 hewan uji. Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua (100%) hewan uji. Pada penelitian ini dilakukan pengujian tingkat keamanan suatu bahan. Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan dengan pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Suckow 2001). Informasi yang didapatkan seperti hematologi, histologi dan pathogenesis, dapat menjelaskan adanya suatu proses aman atau tidaknya bahan bila masuk ke dalam tubuh hewan coba selama perlakuan. 2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi Alergen Jalur utama bagi penyerapan alergen adalah saluran cerna, paru-paru dan kulit. Banyak alergen dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau mereka diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lebih lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Kuby 2007). Alergen mencapai hati melalui sistem vaskuler. Di dalam hati, alergen mengalami biotransformasi. Hasil dari biotransformasi tersebut dapat berupa metabolit aktif dari alergen tersebut atau berupa senyawa lainnya yang merupakan produk sampingannya. Metabolit aktif atau senyawa sampingannya tersebut dapat mempengaruhi fisiologi hati bila bersifat toksik. Sebagai akibatnya, fungsi hati dapat terganggu, seperti menurunnya kemampuan sintesa protein, hambatan konjugasi bilirubin, dan timbulnya lesi pada hepatosit yang semakin lama berkembang menjadi nekrosis yang meluas (Kuby 2007). Ginjal membuang alergen dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm) karena itu, sebagian besar alergen akan lewat di glomerulus, kecuali alergen yang sangat besar (lebih besar dari 24 berat molekul 60.000 Dalton) atau yang terikat erat pada protein plasma. Alergen dalam filtrat glomerulus akan mengalami reabsorps di sel-sel tubulus bila koefisien partisi tinggi. Suatu alergen diekskresikan lewat tubulus ke dalam urin melalui mekanisme difusi pasif (Roitt's 2001). Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi alergen. terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi dan yang terikat pada protein plasma. Umumnya, alergen tersebut tidak akan diserap kembali ke dalam darah, hanya dikeluarkan melalui feses (Kuby 2007). 2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh Efek toksik sangat bervariasi baik dalam sifat maupun mekanisme kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan (dan/atau metabolitnya) dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur itu dapat bersifat nonspesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan bahan korosif. Tetapi seringkali strukturnya itu spesifik, misalnya struktur subseluler tertentu. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan lesi pada tempat bahan itu bersentuhan dengan tubuh. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Organ seperti itu disebut sebagai target organ (Roitt's 2001). Efek toksik disebut reversibel jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, efek bersifat irreversibel bila menetap atau justru bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel ini di antaranya adalah karsanoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan dapat reversibel bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang singkat. Sementara. efek ireversibel dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama efek morfologis berkaitan dengan perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat ireversibel dan berbahaya. Efek fungsional biasanya berupa perubahan reversibel pada fungsi organ sasaran. Karenanya, pada penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal juga diperiksa. Uji keamanan sangat berharga untuk memantau efek toksik pada organ sasaran dalam penelitian jangka panjang pada hewan dan manusia (Kuby 2007). 25 2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal Ginjal mamalia adalah sebuah organ yang sangat kompleks, baik secara anatomis maupun fisiologis. Selain fungsi utamanya yaitu ekskretorik. ginjal berperan besar dalam mempertahankan homeostasis tubuh, dengan mengatur volumen cairan ekstraseluler dan komposisi elektrolit tubuh (Corwin 2009). Urin adaiah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya, ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, yang mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui sel tubulus. Karenanya, ginjal adalah target organ utama dari efek toksik. Beratnya beberapa efek yang diakibatkan oleh toksikan beragam dari satu perubahan biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Kuby 2007). Suatu bahan yang bersifat toksik dapat mengakibatkan gagal ginjal akut, apabila diberikan dalam dosis tertentu pada jangka waktu yang singkat. Keadaan ini disebut sebagai nephrotoxic acute renal failure. Kerusakan yang ditimbuikan terjadi pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksik menyebabkan iskemia dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas dari membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal yang menyebabkan kerusakan ginjal (Brady dan Brenner 2001). Pemeriksaan fungsional ginjal secara rutin dilakukan sebagai bagian integral dari penelitian toksisitas jangka pendek dan jangka panjang. Parameter fungsi ginjal dapat diamati dari analisis darah seperti kadar nitrogen urea darah (Blood Urea Nitrogen, BUN) atau ureum dan kreatinin. Nitrogen urea darah diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin. Ureum yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Kadar ureum juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hefatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan. Sedangkan kreatinin adaiah suatu metabolit kreatin dan diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal, yang seringkali digunakan secara klinis (Corwin 2009). 26 2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang melakukan metabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Beberapa enzim serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati, enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti mitokondria, lisosom, dan nukleus. Alanine transaminase/serum glutamic-pyruvic transaminase (SGPT) dan serum glutamic-oxaloacetic transaminase/aspartat transaminase (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis hati akut (Kuby 2007). Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. Bahan yang bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan hati secara langsung, misalnya sebagai radikal bebas atau metabolit antara yang menyebabkan peroksidasi membran lipid yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan hepatosit. Obat atau metabolit dapat juga merusak membran sel atau molekul seluler lainnya, atau mengganggu jalur biokimiawi dan integritas sel. Hepatitis toksik terjadi pada semua individu yang terpapar toksikan, sifatnya tergantung pada dosis. Periode laten antara paparan dengan kerusakan hati umumnya singkat, antara 24 hingga 48 jam. Bahan penyebabnya bisa bersifat sistemik atau dirubah menjadi metabolitnya di dalam hati. Reaksi hipersensitivitas timbul juga pada penderita hepatotoksik (Corwin 2009). Secara mikroskopis, pada kerusakan hati setelah paparan toksikan dalam dosis tinggi dan waktu yang singkat atau akut, akan tampak akumulasi lemak pada hepatosit, sel-sel yang nekrotik, atau disfungsi hepatobilier. Paparan 27 toksikan pada hati dalam jangka panjang atau kronis tampak sebagai sirosis hepatis atau perubahan ke arah neoplasia dalam gambaran mikroskopisnya (Roitt's 2001). 2.3.1.6 Efek Toksikan Terhadap Berat Badan Berkurangnya berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif. Konsumsi makanan juga merupakan indikator yang berguna. Seiain itu, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek yang mirip atau memperberat manifestasi toksik zat kimia itu. Dan sebaliknya, status gizi individu mempengaruhi efek toksik suatu bahan. Defisiensi asamasam lemak esensial biasanya menekan aktivitas sistem ini. Hal yang sama juga terjadi pada defisiensi protein (Kuby 2007). 2.3.1.7 Penggunaan Hewan Coba pada Uji Toksisitas Tikus dan mencit umumnya digunakan dalam uji toksisitas. Hewan ini dipilih karena murah, mudah didapat, dan mudah ditangani. Seiain itu. banyak data toksik yang dapat diperoleh pada uji toksisitas dengan menggunakan kedua spesies hewan tersebut. Kadang kala digunakan spesies hewan lain, seperti marmut, kelinci, atau anjing, untuk memperoleh informasi yang lebih mudah didapatkan daripada menggunakan tikus dan mencit. Pengujian suatu toksikan dengan menggunakan dosis tinggi secara per oral juga dimungkinkan pada penggunaan kelinci dan anjing sebagai hewan coba, karena kapasitas lambungnya yang relative besar, dan dapat menerima asupan per oral dalam dosis tinggi. Hewan coba yang digunakan sebaiknya merupakan hewan dewasa namun masih muda (Suckow et al. 2001). Dosis yang diberikan pada hewan coba merupakan dosis yang diperkirakan mampu diterima oleh hewan coba. Secara umum bahan yang akan diujikan pada hewan coba harus diberikan melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering digunakan, karena sebagian besar bahan yang diujikan merupakan bahan yang digunakan pada manusia melalui jalur ingesti. Bila akan diberikan secara oral, bahan yang akan diujikan harus dipastikan jumlahnya sesuai dengan dosis yang telah ditentukan sebelumnya. Pengujian bahan toksik melalui 28 jalur dermal dan inhalasi umumnya digunakan untuk menilai cemaran lingkungan terhadap kesehatan orang-orang yang bersentuhan atau menangani bahan-bahan tersebut. Sedangkan jalur parenteral dipakai untuk menilai toksisitas obat parenteral (Suckow et al. 2001). 2.4 Susu 2.4.1 Persyaratan Susu Beberapa petistilahan yang penting pada susu, adalah a) susu adalah susu sapi melipuri susu segar, susu murni, susu pasteurisasi dan susu sterilisasi, b) susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen, c) susu segar adalah susu murni yang tidak mengalami proses pemanasan, d) susu pasteurisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses pasteurisasi secara sempurna, e) susu sterilisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses sterilisasi secara sempurna (Fennema 2008). Dalam hal ini telah ditetapkan pula persyaratan kualitas susu murni yang beredar (Fennema 2008), yaitu antara lain : a) tidak ada perubahan pada warna, bau, rasa dan kekentalan, b) berat jenis (pada suhu 27.5oc) sekurang-kurangnya 1.02g, c) kadar lemak sekurang-kurangnya 2.8 persen, d) kadar bahan kering tanpa lemak sekurang-kurangnya 8 persen, e) kadar protein sekurang-kurangnya 2.7 persen, 2.4.2 Sifat Fisiko-Kimia Susu Susu sapi bukan saja merupakan larutan yang komplek melainkan memiliki sifat-sifat fisik yang sangat unik. Keadaan fisis yang memegang peranan penting antara lain warna, bau, rasa dan sifat penggumpalannya. Susu memiliki warna putih hingga kuning kekecoklat-coklaktan. Warna putih pada susu penampakannya disebabkan penyebaran dispersi koloid lemak, kalsium kaseinat, dan kalsium fosfat, sedangkan warna kekuningkuningan ditentukan oleh kadar karoten dan riboflavin. Rasa asli susu agak manis dan menyenangkan (pleasant). Adanya rasa manis berasal dari laktosa dan rasa asin berasal dari khlorida, sitrat dan garam- 29 garam mineral lainnya. Rasa susu ini mudah sekali menjadi abnormal karena beberapa penyebab antara lain : sari makanan ternak yang terbawa oleh susu, enzim susu, oksidasi lemak, aktivitas mikroba dan peralatan susu. Penggumpalan atau pengentalan merupakan salah satu sifat susu yang dapat disebabkan oleh kegiatan enzim atau penambahan asam (Fleet, l978). Enzim renin yang diproduksi dari lambung anak sapi atau enzim proteolitik lainnya, termasuk yang diproduksi oleh balteri dapat menyebabkan penggumpalan susu. Pada pH titik isoelektrik kasein, yaitu sekitar pH 4.6, kasein akan mcnggumpal karena garam-garam kalsium dan fosfor yang semula berikatan dengan protein terlepas secara berangsur-angsur. Berat jenis susu segar bervariasi dari 1.0260 hingga 1.0320 pada suhu 200C, yang dalam praktek sehari-hari dibaca 26 atau 320C. Variasi tersebut sangat bergantung pada kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak, bila kadar lemak tinggi maka berat jenis akan rendah, karena berat jenis lemak lebih rendah dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya. Susu segar memiliki pH dengan kisaran 6.6 - 6.7 atau sedikit asam. Bila ada tambahan asam akibat aktivitas mikroba, maka pH akan menurun secara nyata. Susu yang baru perah bereaksi amfoter, karena terdapat senyawa-senyawa bufer, yairu fosfat, sitrat dan protein yang secara normal terdapat di dalam susu. Bila susu menunjukkan pH di atas 6.6 - 6.8 maka hal ini merupakan indikasi sapi tersebut menderita penyakit mastiris (Fleet 1978). 2.4.3 Komposisi Kimia Lampert (1965) menerangkan bahwa susu memiliki komposisi gizi yang sangat komplek, beberapa komponen susu seperti laktosa, kasein dan lemak susu tidak dapat ditemukan pada bahan makanan lain. Pengasaman susu oleh bakteri dapat mengendapkan kasein. Bila kadar asam meningkat, pH susu menjadi 5.2 5.3 maka kasein dapat mengendap disertai dengan melarutnyaa garam-garan kalsium dan fosfor yang semula terikat pada protein. Pada pH isoelektrik yaitu sekitar 4.6 - 4.7, kasein diendapkan dan terbebaskan dari semua garam-garam anorganik. 30 2.4.3.1 Lemak Kandungan iemak bervariasi antara 3 - 6 persen (berat basah) yang dalam susu berbentuk globula lemak yang bergaris tengah antara I - 20 mikron, biasanya dalam setiap mililiter susu mengandung kira-kira 3 x 109 butiran lemak. Sekitar 98-99 persen lemak susu berbentuk trigliserida, yaitu tiga molekul asam lemak yang diesterifikasikan terhadap gliserol, sedangkan lemak yang berbentuk digliserida dan monogliserida masing-masing terdapat sekitar 0.5 dan 0.04 persen (Fleet, 1978). Lemak terdapat dalam tiga tempat, yaitu di dalam globula, pada membran material dan di dalam serum. Secara kuantitatif lemak tersusun oleh 9899 persen trigliserida yang terdapat dalam globula lemak, 0.2-1.0 persen fosfolipida yang terdapat dalam membran material dan sebagian di dalam serum. Sisanya adalah sterol, yang kandungannya berkisar antara 0.25-0.40 persen (Fennema 2008). Butiran lemak cenderung memisah dan timbul pada permukaan yang merupakan suatu lapisan. Bagian lemak ini disebut krim dan cairan susu yang terdapat di bawahnya disebut skim. Bagian lemak tersebut dapat terpisah dengan mudah karena berat jenisnya kecil. Karena mempunyai luas permukaan yang sangat besar, maka reaksi-reaksi kimia mudah sekali terjadi di permukaan perbatasan lemak dengan mediumnya (Fleet 1978). Lemak merupakan komponen susu yang penting karena beberapa hal, antara lain: (1) mempunyai arti ekonomis yang penting, karena dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mentega. Usaha-usaha seleksi sapi perah kadang kadang ditujukan untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan air susu dengan kadar lemak yang tinggi, (2) lemak bemilai gizi tinggi, atas dasar jumlah kalori yang dikandungnya. Selain itu lemak juga mengandung nutrien lain, yaitu fosfolipid, sterol, tokopherol {vitamin E), karotenoid, vitamin A dan vitamin D, (3) lemak memegang peranan penting dalam menentukan rasa, bau dan tekstur. Meskipun susu dipisahkan menjadi krim dan skim, maka sebanyak 70 persen fosfolipid terdapat di dalam krim, yang dengan cepat dapat teroksidasi. Sterol yang terdapat dalam susu berupa kolesterol sebanyak 0.015 persen, (4) lemak merupakan konsituen yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia (Fennema 2008). 31 2.4.3.2 Laktosa Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam susu, dalam bentuk disakarida yang selama di pencemaan mengalami perombakan oleh enzim laktase atau enzim -D-galaktosidase menjadi glukosa dan galaktosa (Lampert 1965). Selain laktosa dengan kandungan antara 3.7 hingga 4.92 persen, juga ditemukan sejumlah kecil glukosa dan galaktosa dengan kadar masing-masing sebesar 0.007 dan 0.002 persen. Di dalam susu, laktosa terdapat dalam fase larutan yang sesungguhnya sehingga mudah dicema pada proses hidrolisis oleh enzim usus. Setiap organisme yang dapat menghidrolisis laktosa, tentu mempunyai enzim tersebut, misalnya Streptococcus laktis, Escherichia coli dan ragi. Laktosa tidak dapat dihidrolisis dengan asam yang terdapat dalam kelenjar pencemaan kita, baik di dalam perut maupun di kelenjar usus. Hidrolisis laktosa di dalam pencemaan kita dilaksanakan oleh mikroorganisme dan oleh enzim D-galaktosidase yang dihasilkan oleh kelenjar usus. Hasil hidrolisis tersebut berupa asam-asam organik terutama asam laktat. Oleh karena itu proses hidrolisis tersebut dapat menaikkan keasaman (Fennema 2008). Komposisi kimia susu sapi adalah laktosa (4.6%), protein (3.20%), lemak (3.45%), abu (0.85%). (Rassang dan Nasution 1962); laktosa (4.92%), protein (3.42%), lemak (3.66%), abu (0.71%) (Lempert 1965). Komposisi ini dihitung berdasarkan berat basah. Kandungan bahan kering susu pada setiap hasil penelitian berbeda-beda, dan umumnya kandungan komponen lemak susu lebih tinggi dibandingkan dari komponen susu lainnya, misalnya protein atau abu. Keasaman ini dapat mengganggu pertumbuhan bakteri yang tidak kita kehendaki terutama bakteri yang dapat menyebabkan diare (putrefactive bacteria). Sebagian kecil laktosa mengalami hidrolisis di dalam sel-sel dinding usus karena sel-sel mukosa yang terdapat dalam dinding usus mempunyai enzim -Dgalaktosidase tersebut. Penyerapan laktosa dalam dinding usus ternyata menstimulir mineral seperti kalsium, fosfor yang disebabkan karena kenaikan permeabilitas dari dinding sel-sel tersebut. Apabila laktosa diinjeksikan langsung 32 ke dalam aliran darah, maka zat tersebut tidak dapat dihidrolisis melainkan akan disekresikan melalui urin (Fennema 2008). 2.4.3.3 Protein Kandungan protein susu umumnya dengan kisaran antara 3.20 hingga 3.60 persen (berat basah), yang terbagi atas dua bagian besar, yaitu 80 persen adalah kasein sedangkan 20 persen sisanya merupakan protein whey (whey protein). Kasein disebut juga kalsium fosfoprotein yaitu protein yang mengandung kalsium dan fosfor (Fennema 2008). Kedua grup prorein susu tersebut berbeda baik secara kimia maupun fisik, yang pada kenyataannya di dalam susu masing-masing terdapat dalam fase yang berbeda pula. Kasein merupakan agregat koloid, sedangkan protein whey terdapat dalam larutan bebas. Dalam hal ini kasein lebih komplek karena mampu mengikat ion logam yang pada gilirannya mudah mengalami presipitasi yang komplek. 2.4.3.4 Emulsi Susu Fennema (2008) mengemukakan bahwa emulsi merupakan suatu dispersi atau suspensi suatu cairan di dalam cairan yang lain, yang mana molekul-malekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur, tetapi saling antagonistik. Struktur pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya merupakan lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah bahan penstabil (stabilizer atau emulsifier agent), yang berfungsi menjaga agar butir minyak atau lemak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Pada emulsi susu maka struktur globula lemak di bagian dalamnya sebagian besar terdiri atas trigliserida, (Fennema 2008). Permukaan dari bagian dalam tadi dilapisi dengan suatu membran tipis yang dinamakan membran material, yang berfungsi untuk menstabilkan struktur emulsi tersebut disamping mencegah tergabungnya globula lemak satu dengan yang lainnya dan membentuk butiran yang lebih besar (Fox dan Mulvihill 1982). Kasein merupakan protein dengan kadar 60 persen dari membran material itu, sedangkan fosfolipida kira-kira 35 persen. 33 Susu merupakan emulsi minyak dalam air karena dalam hal ini butiranbutiran lemak dan senyawa-senyawa yang ada hubungannya dengan lemak, misalnya gliserida-gliserida terdapat dalam bentuk globula-globula yang berupa dispersi kasar. Bahan penstabil lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar), sehingga dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak/lemak susu dalam air (Fennema 2008)). Butiran-butiran lemak ini dapat dilihat dengan mikroskop, yang mempunyai bentuk bulat. Di dalam satu ml susu, kira-kira terdapat tiga bilyun (3 x 109) globula lemak. Diameter lemak bervariasi antara 0.1 mikron sampai lebih dari 15 mikron dengan rara-rata berkisar antara 3-4 mikron dan hanya sedikit yang diameternya kurang dari dua mikron kira-kira 9 persen globula memiliki diameter dengan kisaran 2-7 mikron. Lemak dalam susu terdapat pada tiga tempat yaitu di dalam globula pada membran dan di dalam serum. Kestabilan emulsi susu sangat ditentukan oleh selapis fiIm (membran) protein yang mengelilingi setiap butiran lemak. Bila struktur membran protein ini rusak akibat kadar asam dalam susu terlalu tinggi atau terjadi hidrolisis oleh enzim proteolitik maka kestabilan emulsi terganggu yang pada giliran nya protein mengalami presipitasi atau menggumpal, yang keadaan ini disebut sebagai susu pecah (Fennema 2008). Kestabilan emulsi dapat juga dirusak oleh akibat pertumbuhan dan aktivitas bakteria, misalnya Bacillus cereus yang mcnghasilkan enzim pencerna fosfolipid pada membran material yang menyebabkan terjadi sweet curdling, yaitu susu mengalami koagulasi tanpa penurunan pH (Fennema 2008). Susu sapi merupakan bahan makanan bernilai gizi tinggi karena mengandung 30-35 g protein per liter susu. Pada prinsipnya protein susu terbagi atas dua bagian besar, yaitu 80 persen adalah kasein dengan empat macam komponen, yaitu s1-kasein, s2-kasein, -kasein, dan k-kasein, sedangkan sisanya merupakan protein whey yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu -laktoglobulin (-lg) dan laktalbumin (-la). Namun demikian terdapat beberapa protein lainnya, yaitu albumin serum darah, imunoglobulin, laktoferin, proteosa-pepton dalam konsentrasi sangat rendah (trace). 34 2.4.3.5 Vitamin dan Mineral Susu merupakan sumber vitamin yang larut dalam air yaitu vitamin B dan C maupun vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K. Sebagian besar vitamin C dan B, ternyata rusak selama proses pasteurisasi. Bila air pada susu dihilangkan dengan penguapan dan sisanya dibakar maka akan diperoleh sisa abu putih yang mengandung bahan-bahan mineral (Fennema 2008). Dalam hal ini dua macam mineral yang paling penting dalam susu yaitu kalsium dan fosfor. Hanya 25 persen kalsium, 20 persen magnesium dan 44 persen fosfor terdapat dalam bentuk tidak larut, sedangkan mineral-mineral lainnya semua dalam bentuk larut. Kalsium dan magnesium dalam bentuk yang tidak larut terdapat secara kimiawi dan fisik bersenyawa dengan kaseinat, fosfat dan sitrat. Hal inilah yang memungkinkan susu dapat mengandung kalsium dalam konsentrasi yang besar serta pada saat yang sama dapat mempertahankan tekanan osmosa secara normal dalam darah. Komposisi mineral utama yang terdapat dalam susu sapi adalah kalium (0.140%), kalsium (0.125%), klorida (0.103%), fosfor (0.096), natrium (0.056%), magnesium (0.012%), sulfur (0.025%) dari berat basah (Fennema 2008). Di samping mineral-mineral utama terdapat pula mineral-mineral lainnya dalam jumlah yang sangat kecil antara lain, yaitu alumunium, barium, bromin, dan seng. Mineral-mineral tersebut sebagian berada dalam bentuk suspensi dan sebagian lagi berada dalam bentuk larutan. 2.5 Sosis Istilah sosis berasal dari kata latin salsus yang berarti digarami. Menurut Standar Nasional Iindonesia (SNI), sosis daging adalah makanan yang diperoleh dari campuran daging halus dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu atau bahan tambahan makanan lainnya yang izinkan, dan dimasukkan ke dalam selubung sosis. Essien (2003) mengklasifikasikan sosis menjadi beberapa kategori yaitu: 1) sosis segar, 2) sosis asap, tanpa dimasak, 3) sosis asap dan dimasak, 4) sosis masak dan 5) sosis kering dan setengah kering (Pearson dan Tauber 1984). Sosis segar berbeda dengan sosis jenis lainnya karena 35 sosis ini tidak mengalami pemeraman (curing) dan dijual dalam keadaan segar tanpa dimasak, sehingga konsumen harus memasak terlebih dahulu produk sosis ini sebelum dikonsumsi. Di lndonesia hanya dikenal satu jenis sosis yaitu sosis emulsi yang terbuat dari daging halus yang membentuk emulsi. Adapun syarat mutu sosis disajikan pada Tabel 5. Nitrat atau nitrit sering ditambahkan pada proses curing, selain berfungsi untuk mempertahankan warna merah dan memperbaiki flavor daging, juga berperan sebagai antimikroba dan antioksidan. Nitrat dan nitrit dapat menghambat pertumbuhan spora Clostridium botulinum dan beberapa bakteri patogen lainnya. Sedangkan sebagai antioksidan, kedua senyawa ini dapat menghambat terjadinya oksidasi lemak pada daging yang menyebabkan ketengikan dan perubahan warna pada daging menjadi coklat (Fista et al. 2004). Untuk mengurangi terjadinya oksidasi lemak sosis dan memperpanjang umur simpan biasanya ditambahkan senyawa antioksidan sintetis seperti BHA dan BHT. Menurut Essien (2003), batas maksimal penambahan BHA dan BHT masing-masing sebesar 0.01%. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis meliputi bahan dasar, bahan pembantu dan bahan pelengkap yang merupakan bahan penunjang pada produk sosis. Daging merupakan bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan sosis, sedangkan minyak, garam, bahan pemanis dan bumbu-bumbu merupakan bahan pembantu, yang dapat ditambahkan atau tidak. Sedangkan bahan penunjangnya adalah casing (selubung/selongsong). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi dan Biomedis Hewan; Laboratorium Biologi dan Nutrisi PPSHB-PAU; Laboratorium Fisiologi (Kandang Tikus), Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB; Laboratorium Diagnostik Balai Besar Penelitian Veteriner Cimanggu dan Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor. dari bulan April 2011- April 2012. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah fage FR38 dan Salmonella P38, media pengkayaan, agar lapis ganda, makanan tikus, sosis, susu dan bahan-bahan untuk analisa pangan dan bakteri. Alat yang digunakan adalah, cawan petri, jarum ose, refrigerator, alat-alat untuk analisa bakteri dan fage, alat analisa nutrisi dan pengolahan untuk sosis, susu, dan air serta alat-alat untuk pemeliharaan, pengambilan dan analisa organ tikus. 3.3 Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui 3 tahap, meliputi: 3.3.1 Produksi Fage Metode yang digunakan dalam memproduksi fage adalah kombinasi dari metode Clokie dan Kropinski (2009) dan Budiarti et al. (2011). 3.3.1.1 Pengkayaan Fage FR38 Peremajaan Salmonella P38: 1 loup bakteri Salmonella P38 digoreskan pada media agar miring SS secara aseptik, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Pengkayaan Fage: Koloni tunggal isolat Salmonella P38 diinokulasikan ke dalam media Nutrient Broth (NB) lalu diinkubasikan di dalam Waterbath Shaker (Certomat WR) dengan kecepatan 150-200 x g pada suhu 37oC selama 24 jam sampai OD600nm=1. Sebanyak 100 l kultur Salmonella P38 dicampurkan dengan supernatan fage FR38 100 l ke dalam tabung steril dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Campuran ditambahkan 5 ml soft 37 agar yang bersuhu 47 oC, dituang pada media Nutrient Agar (NA). Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam (Atterburry et al. 2007). Pemurnian fage: Pemurnian fage dilakukan berdasarkan metode Goodridge et al. (2001) yang dimodifikasi pada kecepatan sentrifugasi 2800 x g. Plak dipindahkan dengan menggunakan pipet pasteur kemudian plak tersebut dicampurkan dengan 2-3 ml 25% pelarut Ringers atau SM. Suspensi fage divortex dan dibiarkan selama 5-10 menit pada suhu ruang. Suspensi tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 2800 x g, suhu 4oC, selama 20 menit sebanyak 2 kali ulangan. Supernatan difiltrasi menggunakan membran filter milipore 0.22 m, kemudian supernatan disimpan untuk stok atau bahan produksi (Clokie dan kropinski 2009). 3.2.1.2 Kuantifikasi Fage Kuantifikasi fage diukur dengan cara menghitung jumlah plak yang terbentuk (plaque forming units) (pfu/ml). Nilai pfu/ml ditentukan berdasarkan metode Foschino et al. (1995). Stok fage sebanyak 1 ml diencerkan sampai 107, kemudian dari masing-masing pengenceran tersebut diambil 100 l ditambahkan 100 l Salmonella P38 yang telah diinkubasi selama 3-4 jam pada media NB. Suspensi diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37oC. Sebanyak 5 ml soft agar yang masih bersuhu 42 oC dicampurkan, selanjutnya dituang ke media NA, kemudian diinkubasi pada 37 oC selama 24 jam. Zona bening (plak) yang terbentuk dihitung setelah diinkubasi selama 24 jam (Clokie dan kropinski 2009). Rumus jumlah fage: Fage/ml = (Jumlah Fage/Plated) X (1/ml Plated) X Faktor Pengenceran 3.2.1.3 Efisiensi Lisis Fage FR38 Efektifitas lisis sel Salmonella P38 oleh fage FR38 dilakukan berdasarkan metode Atterburry et al. (2007) yang dimodifikasi pada kecepatan sentrifugasi 2800 x g. Sebanyak 100 ml kultur bakteri Salmonella P38 yang telah ditumbuhkan di media NB sampai optical density (OD)600nm = 1 dengan jumlah bakteri Salmonella P38 108 CFU/ml dibagi ke dalam dua tabung sentrifuge 38 masing-masing sebanyak 50 ml, sentrifugasi dilakukan dengan sentrifuge Beckman pada kecepatan 2800 x g, suhu 40C selama 30 menit dengan 3 kali ulangan. Supernatan dibuang, kemudian dibuat dua perlakuan yaitu kontrol (pelet tanpa penambahan fage) dan perlakuan pelet dengan penambahan 1 ml fage. Selanjutnya ditambahkan masing-masing 50 ml NB yang baru, kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan dimasukkan ke dalam inkubator shaker dengan suhu 37oC (Clokie dan Kropinski 2009), masing-masing kultur diukur nilai OD-nya pada waktu ke-0, 30, 60, 90, 120 menit (penetapan waktu pengamatan berdasarkan kombinasi dari penelitian Triana (1996) dan Pratiwi (2009)). Pengukuran OD dilakukan dengan mengambil 1 ml sampel kemudian diencerkan dengan 4 ml NB lalu dibaca OD nya dengan spectrofotometer. 3.2.2 Pemanfaatan Fage Penelitian Tahap II bertujuan mengukur efisiensi fage litik dalam menurunkan cemaran mikroba pada pangan. Penelitian Tahap II ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut: 1. Penentuan Sampel Sampel yang akan diberi perlakuan adalah susu dan sosis. 2. Penentuan Perlakuan Penentuan perlakuan kombinasi fage litik yang ditambahkan dilakukan berdasarkan penelitian terdahulu yaitu Pratiwi (2009) menggunakan perlakuan 100 l fage litik terhadap 100l E. coli resistent antibiotic ternyata efektif menurunkan jumlah E. coli resistent antibiotic dan Triana (1996) menggunakan perlakuan 1,5 ml fage litik terhadap 5 ml Xanthomonas campestris pv glycines ternyata efektif menurunkan Xanthomonas campestris pv glycines. Perlakuan dari penelitian adalah rentang dari kedua penelitian diatas, yaitu: (a) Perlakuan Fage FR38 dan (b) Kontrol 3.2.2.1 Pengolahan Susu dengan Aplikasi Fage Pengolahan susu dengan aplikasi fage litik dirancang dengan cara mengkombinasikan suhu pasteurisasi (Brennan 2004) dengan aplikasi penambahan fage litik. Prosedur penelitian diuraikan pada Gambar 10 berikut. Efektifitas pemanfaatan Fage litik pada susu diukur dengan cara 39 mengkombinasikan aplikasi penambahan fage litik pada susu pasteurisasi yang diberi cemaran 4.3 x 104 cfu Salmonella P38 dan ditambahkan fage FR38 sebanyak 3.8 x 104 pfu fage/100 ml susu. SUSU HASIL PEMERAHAN PENYARINGAN PENGUMPULAN PASTEURISASI (85-950C) SELAMA 1-2 MENIT LALU DIDINGINKAN PADA SUHU RUANG TANPA PEMBERIAN FAGE (KONTROL) PERLAKUAN FAGE SUSU PENGAMATAN (WAKTU KONTAK 0, 24, 48 JAM) Gambar 10. Prosedur pengolahan susu dengan aplikasi fage litik 3.2.2.2 Pengolahan Sosis dengan Aplikasi Fage Pengolahan sosis dengan aplikasi fage litik dirancang dengan cara mengkombinasikan prosedur Essien (2003) dengan aplikasi penggunaan fage litik. Prosedur penelitian diuraikan pada Gambar 11 berikut. Efektifitas fage litik pada sosis diukur dengan cara mengkombinasikan aplikasi penggunaan fage litik pada sosis sapi olahan yang diberi cemaran 4.7 x 104 cfu Salmonella dan 3.8 x 10 pfu fage/20 g sosis. 40 DAGING 700g PEMBERSIHAN DAN PEMOTONGAN CURING GARAM 25g DISIMPAN SELAMA 24 JAM ES BATU DAN MARGARIN TAPIOKA 80g, GARAM 25g, GULA 10g, BAWANG PUTIH 10g, MERICA 10g, PALA 3g DIGILING DIADUK AIR 300g DIMASUKKAN DALAM SELONGSONG PEMASAKAN 70OC, 20 MENIT PENDINGINAN PADA SUHU RUANG TANPA PEMBERIAN FAGE (KONTROL) PERLAKUAN FAGE PENGIKATAN SELONGSONG PENGAMATAN (WAKTU KONTAK 0, 24, 48 JAM) Gambar 11. Prosedur pengolahan sosis dengan aplikasi fage litik 3.2.2.3 Pengolahan Air dengan Aplikasi Fage Pengolahan air dengan aplikasi fage litik dilakukan dengan cara memberi perlakuan fage FR38 ke dalam aquades yang telah dicemari dengan Salmonella P38. Efektifitas fage litik pada air diukur dengan cara memberi perlakuan 3.4 x 104 pfu fage FR38 ke dalam 100 ml aquades yang telah dicemari dengan 4.8 x 104 cfu Salmonella P38. Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam. 41 3.2.2.4 Pengamatan Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam (waktu kontak ditentukan berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2009). Pengamatan meliputi total mikroba Salmonella P38 (Harrigan 1998), serta analisa proksimat kandungan nutrisi pangan awal dan akhir yang meliputi kadar air (AOAC 2004), kadar abu (AOAC 2004), kadar lemak (AOAC 2004), kadar protein (AOAC 2004), prosedurnya adalah: 1. Kadar Air: sebanyak 1gram sampel ditimbang dalam cawan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 150oC selama 8 jam, lalu ditimbang kadar airnya. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air = Bobot sample (segar-kering) x 100% Bobot sample segar 2. Kadar Abu: sebanyak 1 gram sample ditempatkan dalam cawan porselen lalu dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan di dalam tanur suhu 600oC selama 2 jam dan ditimbang. Kadar Abu = Bobot Abu Bobot sample x 100% 3. Kadar Lemak Kasar: Sebanyak 2 gram sample disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan di gulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet, kemudian diekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut: Kadar lemak = Bobot lemak terekstrak x 100% Bobot sampel 4. Kadar protein: Sebanyak 0.25 gram sample, dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan selenium 0.25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya dilakukan destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam, sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50ml aquadest dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil 42 destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Bromcresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCL 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Kadar Nitrogen total yang didapat dengan metode ini dihitung dengan rumus di bawah ini. Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan yang berkisar 5,18 – 6,38 (AOAC, 1980). %N = (S-B) x N HCL x 14 x 100% w x 1000 keterangan: S: volume titran sample (ml) B: volume titran blanko (ml) w: bobot sample kering (mg). 5. Kadar Serat Kasar: Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1.25%, dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas saring dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20–30 ml air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan NaOH 1.25% selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas dan di bilas berturut–turut dengan 25 ml H2SO4 1.25% mendidih dan 25 ml air sebanyak tiga kali serta 25 ml alkohol. Residu dan kertas saring dipindahkan ke cawan porselen dan dikeringkan dalam oven 1300C selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan porselain ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 6000C selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali. Bobot serat kasar (B) = W – W0 W = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = (A – (bobot kertas saring + cawan)/A (bobot residu + kertas saring + cawan) W0 = bobot residu setelah dibakar dalam tanur = (B – (bobot cawan))/B (bobot residu + cawan) 43 Kadar serat Kasar = Bobot serat kasar x 100% Bobot sample 6. Total mikroba (dihitung dengan menggunakan metode permukaan) dengan prosedur: agar steril terlebih dahulu dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna, 0.1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Kemudian diratakan dengan menggunakan batang gelas melengkung (hockey stick) yang telah disterilkan dengan cara mencelupkan kedalam alkohol 95% dan dipijarkan sehingga alkohol habis terbakar. Jumlah koloni dihitung dengan rumus berikut: Jumlah koloni = jumlah koloni pada cawan x 1/faktor pengenceran 3.2.3 Uji keamanan Secara In Vivo Penelitian Tahap III bertujuan untuk melakukan pengujian keamanan pangan penggunaan fage litik secara in-vivo. Tikus yang digunakan adalah tikus jenis Sprague Dawley jantan usia 2 bulan (Menurut Suckow et al. (2001) tikus dewasa memiliki volume darah lebih banyak dibandingkan anak tikus. Pengamatan pada penelitian tahap III meliputi berat badan, urin, feses, kimia darah dan histopathology. Perlakuan pada penelitian tahap III meliputi: 1. grup diberi ransum standar (kontrol) 2. grup diberi ransum mengandung fage Salmonella P38 (Fage FR 38) Penelitian Tahap III ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut: 3.2.3.1 Persiapan Tikus Sebelum percobaan dimulai, tikus diadaptasikan dilingkungan laboratorium selama 4 hari. Pada masa adaptasi tikus diberi ransum standar. Tikus dipelihara didalam sangkar metabolik yang terbuat dari stainless steel dengan suhu 25oC dengan siklus 12 jam terang dan 12 gelap. Setelah masa adaptasi, tikus dibagi menjadi 2 grup dan masing-masing grup beranggotakan 6 tikus. Grup 1 merupakan kontrol dan grup 2 mendapat perlakuan kombinasi fage pada ransum. 44 3.2.3.2 Persiapan Ransum Komposisi ransum yang dipersiapkan untuk penelitian fage litik secara biologis adalah mengikuti komposisi ransum prosedur AOAC (2004), yang meliputi: protein 10%, minyak jagung 8%, campuran mineral 5%, vitamin 1%, Selulosa 1%, Air 5%, dan Pati jagung 70% (kontrol). Ransum untuk perlakuan disiapkan dengan cara mencampurkan ransum tikus dengan kombinasi fage (jumlahnya berdasarkan hasil penelitian tahap II). 3.2.3.3 Konsumsi Makanan Makanan dan minuman diberikan secara konstan setiap hari (sekitar 25 g per hari). Setiap hari pula dilakukan pengukuran jumlah yang dimakan dengan cara menimbang makanan yang tidak termakan (sisa). 3.2.3.4 Pengumpulan Feses Pengamatan feses dilakukan dengan cara mengamati bentuk dan warna. 3.2.3.5 Pewarnaan Pewarnaan dilakukan untuk melihat perbedaan gambaran organ antara perlakuan dan kontrol (Suntoro 1983). 3.2.3.6 Pengamatan Pengamatan dilakukan pada hari ke-16 untuk pengamatan darah dan organ; hal ini dilakukan berdasarkan kombinasi laporan Mim's (2000) dan Jawi et al. (2008) yang mengukur kadar SGOT dan SGPT darah mencit dengan metode randomized control group post test only design. Sedangkan pengamatan berat badan, panjang feses, dilakukan setiap 2 hari sekali (hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10,12, 14,16). 3.4 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan untuk penelitian tahap 1, 2, dan 3 adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan model rancangan sebagai berikut: 45 Yij = u + Ai + Ej Keterangan : Yij u Ai Ej = = = = respon karena pengaruh perlakuan pengaruh rata-rata pengaruh perlakuan taraf ke-i pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-j 3.5 Analisis Data Data penelitian tahap ke-1, ke-2 dan ke-3 diolah dengan menggunakan Analysis of variance (ANOVA). Uji lanjutan dilakukan dengan menggunakan t-test, dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat perbedaan antar perlakuan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perbanyakan Fage 4.1.1 Suhu Simpan setelah Produksi Stock fage yang belum dimurnikan (di dalam media NB) biasanya disimpan pada suhu kamar. Untuk mengetahui daya simpannya maka pada penelitian ini dicobakan 2 variasi suhu yaitu suhu ruang (25oC) dan Suhu 4oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu juga mempengaruhi nilai pfu dari fage FR38 secara signifikan setelah penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari (< 0.01) (Tabel 4). Tabel 4 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai pfu fage Lama Simpan (hari) Jumlah Fage FR38 (pfu/ml) Suhu kamar (25oC) 4oC 0 1.5 x 107a 1.5 x107a 3 1 x 105b 9.7 x 106c 6 1.9 x 103d 3.6 x 106e 9 170f 1.8 x 106g 12 0h 3.6 x 105i Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0,01 Pada penyimpanan suhu kamar terlihat bahwa terjadi penurunan drastis jumlah pfu dari fage pada hari ke-9 (170 pfu/ml) dan ke-12 (0 pfu/ml). Hal ini berbeda secara signifikan dengan penyimpanan pada suhu 4oC, jumlah fage FR38 cukup stabil jumlahnya pada hari ke-9 (1.8 x 106 pfu/ml) dan ke-12 (3.6 x 105 pfu/ml). Komponen utama dari fage adalah protein (Pelczar dan Chan 2007). Menurut Murphy (2001) protein dan pepton mudah mengalami dekomposisi menjadi NH3, CO2, H2O. Proses dekomposisi ini diakibatkan oleh adanya proses oksidasi pada pepton atau protein. Pada suhu rendah proses oksidasi berjalan lambat. Menurut Fennema (2008) dan Belitz dan Grosch (1999) denaturasi protein dapat dihambat dengan melakukan penurunan suhu penyimpanan. Penyimpanan fage pada suhu rendah menguntungkan karena menurut Jawetz et al. (2005) pada suhu tinggi daya infektifitas virus menurun. Kestabilan dan umur simpan fage ternyata lebih baik bila disimpan pada suhu rendah. 47 4.1.2 Buffer Stock Pada tahap perbanyakan fage, dilakukan pemilihan buffer yang tepat untuk penyimpanan fage setelah proses perbanyakan. Buffer stock fage yang berbeda yaitu buffer ringer dan buffer SM* (*merk dagang), menjadi perlakuan pada tahap ini. Jumlah fage FR38 awal yang digunakan adalah 5.7 x 105 pfu/ml (Tabel 5). Tabel 5 Pengaruh buffer stock terhadap nilai Plaque Forming Unit (pfu) fage FR38 Perlakuan Hari ke-0 Hari ke-30 (pfu) Buffer ringer 5.7 x 105a 3.4 x 104b 5a Buffer SM 5.7 x 10 5.3 x 105c Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (0,01) Hasil pengamatan pada hari ke-30 menunjukkan bahwa penggunaan buffer yang berbeda ternyata menghasilkan nilai pfu yang berbeda secara signifikan (0,01). Penggunaan buffer SM ternyata menghasilkan nilai pfu fage FR38 lebih tinggi (5.3 x 105 pfu/ml) dibandingkan dengan penggunaan buffer ringer (3.4 x 104 pfu/ml) pada hari ke-30. Diduga komposisi penyusun yang berbeda antara buffer ringer dan buffer SM menyebabkan kestabilan fage berbeda pula. Menurut Atlas (2010) komposisi buffer ringer adalah D-glucosa, magnesium klorida, potasium klorida, sodium potasium dibasic, sodium fosfat monobasic sedangkan komposisi buffer SM adalah NaCl, MgSO4, Tris-HCl, larutan Gelatin. Diduga gelatin dapat membuat lebih stabil larutan buffer SM, sedangkan D-glukosa pada buffer ringer sangat mudah berubah akibat proses oksidasi pada ikatan rangkap HC=O apabila penyimpanan dilakukan diatas suhu 20oC (Fennema 2008). Ketidakstabilan D-glukosa dibandingkan dengan gelatin diduga mempengaruhi kestabilan atau umur simpan fage. Hasil ini seiring dengan hasil pengamatan ukuran zona bening fage FR38 pada hari ke-0 dan ke-30. Pada pengamatan hari ke-30 ternyata ukuran zona bening fage dengan menggunakan buffer SM lebih luas (median = 1.85 mm) dibandingkan dengan menggunakan buffer ringer (median = 1.1 mm) (Gambar 12). Menurut Abedon (2008) dan Jawetz et al. (2005) kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan akan mengganggu daya replikasi dan infektifitas fage; diduga hal ini berpengaruh terhadap pembentukan plak fage. 48 Ukuran Zona Bening Fage (mm) 2,5 2 1,5 2,15 1 2,15 1,85 Buffer SM 1,1 0,5 Buffer ringer 0 0 30 Hari ke- Gambar 12 Pengaruh buffer ringer dan buffer SM terhadap rata-rata ukuran plaque fage (inkubasi 24 jam) Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pada penelitian selanjutnya untuk membuat stock fage FR38 digunakan buffer stock buffer SM dan apabila belum dimurnikan maka fage sebaiknya disimpan pada suhu 4oC. 4.1.3 Efisiensi Lisis Pengamatan efektifitas lisis fage FR38 dilakukan berdasarkan nilai optical density (OD). Pengamatan dilakukan pada 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Perlakuan Fage ternyata berpengaruh sangat signifikan dalam menurunkan nilai OD media Optical Density (OD) dengan selang kepercayaan 99% (0,01) (Gambar 13). 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Fage Tanpa Fage 0 30 60 90 120 waktu (menit) Gambar 13 Efektifitas Lisis fage FR38 yang diukur berdasarkan nilai OD Perbedaan secara signifikan terlihat pada perlakuan fage menit ke-30 (0D = 0.621); 60 (OD =0.477), 90 (OD = 0.306), dan 120 (0.110) dibandingkan perlakuan tanpa fage FR38 dimana nilai OD pada menit ke-120 adalah 0.717. Fage FR38 efektif melisiskan Salmonella P38 sehingga jumlahnya menurun 49 signifikan pada menit ke-120 (OD = 0.110). Pada menit ke-30 fage FR38 telah menurunkan secara signifikan Salmonella P38 (OD = 0.621). Hal ini seiring dengan laporan Hogg (2005) bahwa waktu yang dibutuhkan fage T4 dalam melisiskan sel bakteri adalah 22 menit dan menghasilkan 50-200 progeni. Menurut Mclaughlin dan King (2008) fage memiliki periode laten 15-20 menit dan menghasilkan 100-230 progeni bila diinkubasi pada suhu 35oC. Salmonella bermultiplikasi membutuhkan waktu 25-30 menit, tergantung pada media tumbuhnya (Bell dan kyriakides, 2002). Sebelum digunakan lebih lanjut, fage hasil perbanyakan diuji kemurniannya dengan melakukan uji bebas Salmonella (host fage), uji kuantifikasi fage serta melakukan pengamatan fage dengan menggunakan Transmission Electronic Microscope (TEM). Hasil pengamatan terlihat pada Gambar 14 berikut: A. Uji bebas Salmonella B. Uji kuantifikasi fage C. Tampilan fage FR38 perbesaran 80.000x. Gambar 14 Uji bebas Salmonella (host fage) (A), uji kuantifikasi fage (B) serta pengamatan fage dengan menggunakan TEM (C) 50 Hasil pengamatan menununjukkan dengan menggunakan metode tuang, pada permukaan media XLD terlihat tidak terdapat koloni apapun (A); jumlah fage yang terdapat pada sampel adalah 108 pfu (B); dan sampel yang diamati benar-benar mengandung fage (C). Hasil ini menunjukkan bahwa sampel fage yang berhasil diperbanyak adalah murni dan tidak mengandung Salmonella P38 (host fage FR38). 4.2. Efektifitas Fage FR 38 pada Susu 4.2.1 Kandungan Nutrisi Pada saat penyimpanan 48 jam, ternyata kandungan abu, protein dan lemak susu yang diberi fage berbeda nyata secara signifikan dibandingkan tidak diberi fage (0.01) (Tabel 6). Hal ini diduga fage FR38 dapat menghambat kerja Salmonella P38 dalam mendenaturasi protein dan lemak. Pada perlakuan tanpa fage (Salmonella P38) menunjukkan penurunan kadar lemak (1.76%), Abu (0.18%) dan protein (1.09%) pada susu secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan fage FR38 yang mampu menahan laju penurunan kadar lemak (3.32%), abu (0.25%), protein (2.20%) pada lama penyimpanan 48 jam (selang kepercayaan 99%). Komposisi protein (mean = 2.58%) dan lemak (mean = 4.49%) pada sampel penelitian ini cukup tinggi. Menurut Kluwer (2005) pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi merupakan media tumbuh yang baik bagi Salmonella. Hal ini terlihat dari penurunan sangat signifikan kadar lemak (1.76%) dan Protein (1.09%) pada lama penyimpanan 48 jam. Diduga Salmonella memiliki enzim lipase dan protease yang dapat menguraikan lemak dan protein. Perlakuan fage ternyata dapat menghambat penurunan komposisi lemak, protein, kadar air, kadar abu dan serat kasar susu akibat aktivitas Salmonella secara signifikan (0.01). Hal ini membuktikan bahwa bila diaplikasikan pada pangan misalnya susu maka fage tidak akan mempengaruhi kandungan nutrisinya. Menurut Abedon (2008) fage bersifat infektif hanya terhadap host-nya saja. 51 Tabel 6 Pengaruh perlakuan fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap kandungan nutrisi susu Perlakuan Waktu Kadar Abu Lemak Protein (jam) air (%) Kontrol negatif 62.92a 0.64a 4.57a 2.57a Kontrol postif (NB) 0 62.96a 0.68a 4.56a 2.59a Kontrol positif (NB + SM) 62.96a 0.67a 4.51a 2.57a Salmonella P38 62.95a 0.68a 4.47a 2.59a Salmonella P38 dan Fage FR38 62.96a 0.64a 4.44a 2.58a Kontrol negatif 62.33b 0.40b 3.86b 2.47b Kontrol postif (NB) 62.38b 0.49b 3.89b 2.40b Kontrol positif (NB + SM) 24 62.39b 0.41b 3.88b 2.46b Salmonella P38 62.55c 0.29c 3.68c 2.30c Salmonella P38 dan Fage FR38 62.44d 0.36d 3.81d 2.40d Kontrol negatif 87.11e 0.30e 3.47e 2.46e Kontrol postif (NB) 87.13e 0.32e 3.44e 2.41e 48 Kontrol positif (NB + SM) 87.12e 0.31e 3.45e 2.47e Salmonella P38 87.47f 0.18f 1.76f 1.09f Salmonella P38 dan Fage FR38 87.23g 0.25g 3.32g 2.20g Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata 0.01, untuk masing- masing kolom 4.2.2 Total Salmonella P38 Penambahan fage pada susu ternyata mempengaruhi laju pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang (Tabel 7). Fage FR38 menurunkan secara signifikan Salmonella P38 pada penyimpanan 24 jam (9.4 x 102 cfu/ml) dan 48 jam (1.2 x 103 cfu/ml) dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage FR38 (Salmonella P38) pada penyimpanan 24 jam (2.8 x 108 cfu/ml) dan 48 jam (7.9 x 1012 cfu/ml) (0,01). Menurut Middelboe (2000) pertumbuhan fage akan terhambat bila jumlah host sedikit atau host dalam keadaan miskin nutrisi (starvation). Hal ini memungkinkan kesempatan untuk tumbuh bagi host fage (Salmonella P38). Kecepatan pertumbuhan fage tergantung pada jumlah host fage tersebut (Clokie dan Kropinski 2009). Diduga susu adalah media yang baik untuk pertumbuhan Salmonella. Menurut Kluwer (2005) pangan yang kaya akan protein dan lemak merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroba. 52 Tabel 7 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella P38 pada susu Perlakuan Salmonella P38 total (cfu/ml) 0 Jam 24 Jam 48 Jam Kontrol negatif 0a 0a 0a Kontrol postif (NB) 0a 0a 0a Kontrol positif (NB + Buffer SM) 0a 0a 0a Salmonella P38 4.3 x 104 b 2.6 x 108c 7.9 x 1012e Fage FR38 dan Salmonella P38 4.6 x 104 b 9.4 x 102d 1.2 x 103f Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0.01 Pada sampel susu dengan perlakuan Salmonella P38 dan lama simpan 48 jam menunjukkan sampel sudah mengalami kerusakan, yang ditandai dengan terpisahnya padatan terlarut dan air pada saat 24 jam. Menurut Winarno (2008) denaturasi protein diakibatkan terurainya ikatan hidrogen oleh faktor luar (mikroba). Lepasnya ikatan hidrogen pada protein menyebabkan protein terdenaturasi. Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya, karena bagian luar protein yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam dan bagian hidrofob akan melipat keluar sehingga mengakibatkan padatan terpisah dengan cairan (Gambar 15). (A) (B) (C) (D) (E) Gambar 15 Pengaruh perlakuan Fage selama 48 Jam: (A) fage FR 38 dan Salmonella P 38; (B) Salmonella P 38; (C) Kontrol; (D) Buffer SM dan dan (E) Nutrient Broth Bau yang timbul pada perlakuan Salmonella P38 adalah akibat terurainya komponen lemak pada susu akibat kerja mikroorganisme. Menurut Winarno (2008) molekul-molekul lemak yang terurai akan mengalami oksidasi dan membentuk senyawa hidroperoksida, komponen aldehid, dan keton, reaksi ini 53 menimbulkan bau yang tidak sedap (off-odor). Hal ini seiring dengan hasil pengamatan kandungan lemak dan protein susu. 4.2.3 pH susu Perlakuan yang berbeda ternyata juga mempengaruhi pH susu pada saat penyimpanan 24 jam, dan 48 jam (Gambar 16). Menurut Winarno (2008) Penguraian lemak menjadi asam lemak menimbulkan pelepasan sebuah atom H+ yang terikat pada suatu atom karbon yang berikatan rangkap. Pelepasan atom H + ini diduga menyebabkan penurunan pH pada susu selama penyimpanan. Penambahan fage ternyata menghambat kerja mikroorganisme dalam menguraikan lemak, hal ini terlihat pada pH susu yang disimpan 48 jam dengan perlakuan fage masih lebih baik (6.00) dibandingkan tanpa fage (perlakuan Salmonella P38 (5.52) secara signifikan dengan selang kepercayaan 99% (0.01). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan fage dapat menghambat Lama Penyimpanan (Jam) pertumbuhan Salmonella P38 dan kerusakan susu selama 48 jam. 6.00 5,52 48 6,05 6,07 6,06 5,89 24 dan Fage 6.10 6,25 6,22 6,26 6,57 6,58 6,56 6,57 6,56 0 4,5 5 5,5 pH 6 6,5 Gambar 16 Pengaruh fage FR38 terhadap nilai pH Susu 4.3 Efektifitas Fage FR38 pada Sosis 4.3.1 Total Salmonella P38 Penambahan fage FR38 pada sosis juga mempengaruhi laju pertumbuhan Salmonella P38 selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang (Tabel 8). Fage FR38 mampu menurunkan jumlah Salmonella P38 pada penyimpanan 24 jam (6.9 x 101 cfu/ml) dan 48 jam (7.8 x 102 cfu/ml) secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan Salmonella P38, pada selang kepercayaan 99% (0,01). Hal ini berbeda sangat signifikan dengan perlakuan penambahan 54 Salmonella saja, yang meningkatkan jumlah Salmonella pada sosis masingmasing sebesar 7.5 x 106 cfu/ml (24 jam) dan 8.4 x 109cfu/ml (48 jam). Tabel 8 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella pada sossis Perlakuan Salmonella P38 total (cfu/ml) 0 Jam 24 Jam 48 Jam Kontrol 0a 0a 0a Kontrol positif (NB) 0a 0a 0a Kontrol positif (NB + Buffer SM) 0a 0a 0a 4 6 Salmonella P38 4.7 x 10 b 7.5 x 10 c 8.4 x 109e Fage FR38 dan Salmonella P38 4.5 x 104 b 6.9 x 101d 7.8 x 102f Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata 0.01 4.3.1 Kandungan Nutrisi Penambahan fage ternyata juga mampu menghambat laju kerusakan kandungan nutrisi akibat kerja Salmonella P38 (Tabel 9). Pada saat penyimpanan 48 jam, ternyata sosis yang diberi perlakuan fage FR38 memiliki kadar abu (2.58%), protein (13.09%) dan lemak (6.49%) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan sosis yang diberi perlakuan tanpa fage (Salmonella P38 saja) yang memiliki kadar abu 2.49%, protein 11.06%, dan lemak 6.21% (0.01). Pangan yang kaya akan protein dan lemak merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroba (Kluwer 2005). Komposisi protein (mean = 2.58%) dan lemak (mean = 14.12%) pada sampel penelitian sosis ini cukup tinggi. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi merupakan media tumbuh yang baik bagi Salmonella. Hal ini terlihat dari penurunan sangat signifikan kadar lemak (6.21%) dan Protein (11.06%) pada lama penyimpanan 48 jam. Perlakuan fage ternyata dapat menghambat penurunan komposisi lemak, protein, kadar air, kadar abu dan serat kasar sosis akibat aktivitas Salmonella secara signifikan (0.01). Hal ini membuktikan bahwa bila diaplikasikan pada pangan misalnya sosis maka fage tidak akan mempengaruhi kandungan nutrisinya. Menurut Abedon (2008) fage bersifat infektif hanya terhadap host-nya saja. 55 Tabel 9 Pengaruh perlakuan fage FR 38 dan waktu inkubasi terhadap kandungan nutrisi sosis Perlakuan Waktu Kadar air Abu Lemak Protein Serat (jam) kasar (%) Kontrol negatif 51.56a 2.68a 6.86a 14.12a 0.74a Kontrol positif (NB) 51.55a 2.67a 6.85a 14.13a 0.75a Kontrol positif(NB + 51.57a 2.68a 6.86a 14.12a 0.73a Buffer SM 0 Salmonella P 38 51.56a 2.68a 6.84a 14.12a 0.74a Salmonella P 38 dan 51.55a 2.68a 6.85a 14.13a 0.75a Fage FR 38 Kontrol negatif 53.49b 2.65b 6.63b 13.90b 0.71b Kontrol positif (NB) 53.48b 2.65b 6.64b 13.90b 0.71b Kontrol positif(NB + 24 53.49b 2.64b 6.63b 13.91b 0.71b Buffer SM Salmonella P 38 55.11c 2. 43c 6.45c 12.79c 0.68c Salmonella P 38 dan 53.70d 2. 55d 6.59d 13.85d 0.70d Fage FR 38 Kontrol negatif 55.39 e 2.60e 6.51e 13.87e 0.68e Kontrol positif (NB) 55.38e 2.61e 6.53e 13.88e 0.66e Kontrol positif(NB + 48 55.38e 2.61e 6.52e 13.87e 0.67e Buffer SM Salmonella P 38 60.19f 2.49f 6.21f 11.06f 0.60f Salmonella P 38 dan 57.61g 2.58g 6.49g 13.09g 0.63g Fage FR 38 Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata 0.01 4.4 Efektifitas Fage FR38 pada Air Penambahan fage pada air mempengaruhi laju pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang (Tabel 10). Fage FR38 menurunkan Salmonella P38 pada penyimpanan 24 jam (3.6 x 101 cfu/ml) dan 48 jam (9 cfu/ml) secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage FR38 (Salmonella P38) pada penyimpanan 24 jam (1.3 x 107 cfu/ml) dan 48 jam (9.5 x 106 cfu/ml) (0,01) (Tabel 10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fage FR38 lebih efektif pada air dibandingkan sosis dan susu. Di duga konsentrasi media mempengaruhi efektifitas dari fage. Diduga konsentrasi tinggi pada larutan (misalnya susu) menghambat menempelnya Fage FR38 pada reseptor host (Salmonella P38) sehingga mempengaruhi kecepatan infektifitas fage FR38 terhadap host-nya. Hal ini terlihat dari susu, sosis, dan air, bahwa konsentrasi media yang paling rendah dan tidak 56 terhalangnya Fage FR38 dalam mengenali reseptor menyebabkan daya infektifitas dan penetrasi lebih tinggi. Tabel 10 Pengaruh fage FR38 dan waktu inkubasi terhadap jumlah Salmonella P38 pada air Perlakuan Salmonella P38 total (cfu/ml) 0 Jam 24 Jam 48 Jam Kontrol negatif 0a 0a 0a Kontrol postif (NB) 0a 0a 0a Kontrol positif (NB + Buffer SM) 0a 0a 0a 4 7 Salmonella P38 4.8 x 10 b 1.3 x 10 c 9.5 x 106e Fage FR38 dan Salmonella P38 4.5 x 104 b 3.6 x 101d 9f Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 0.01 4.5 Keamanan Fage Secara In Vivo 4.5.1 Fungsi Ginjal Kreatinin merupakan parameter untuk mengamati fungsi ginjal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara perlakuan fage dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (P > 0.05) (Tabel 11). Kreatinin pada tikus yang diberi perlakuan fage (1.331±0.527) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (1.394±0.743) (P > 0.05). Menurut Meredith (2002) Kreatinin pada tikus sprague dawley dewasa (jantan) adalah 0.39-2.29 mg/dl. Meningkatnya kadar kreatinin mengindikasikan rusaknya fungsi ginjal (Corwin 2009). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Tabel 11 Kreatinin dan total protein pada tikus yang diberi perlakuan fage Parameter Fage Kontrol Kreatinin (mg/dl) 1.331±0.527a 1.394±0.743a Protein (g/dl) 6.423±0.597b 6.400±0.458b Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,01) Parameter lain untuk mengamati fungsi ginjal adalah total protein darah pada darah (Kuby 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara perlakuan fage dibandingkan dengan kontrol (P > 0.05) (Tabel 11). Total protein darah pada tikus yang diberi perlakuan fage (6.223±0.597 g/dl) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol 57 (6.400±0.458 g/dl) (P > 0.05). Menurut Meredith (2002) total protein darah pada tikus sprague dawley dewasa (jantan) normal adalah 5.9-8.4 g/dl. Kadar protein darah yang meningkat mengindikasikan kerusakan glomerulus pada ginjal. Berdasarkan perbandingan hasil penelitian (Tabel 11) dengan standar tikus normal maka dapat disimpulkan bahwa seluruh nilai kreatinin dan protein darah tikus baik perlakuan maupun kontrol adalah normal. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi ginjal. Menurut Kuby (2007) total protein darah yang meningkat mengindikasikan meningkatnya Immunoglobulin (Ig) darah. Ig yang meningkat menunjukkan bahwa terdapat paparan benda asing atau alergen pada tubuh. Dapat disimpulkan bahwa Fage FR38 tidak menyebabkan alergen (total protein darah tikus perlakuan adalah normal). 4.5.2 Fungsi Hati Pada penelitian ini fungsi hati diukur dengan parameter SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminanse atau aspartat transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase atau alanin transaminase). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai SGOT dan SGPT antara perlakuan fage dibandingkan dengan kontrol (Tabel 12). Tabel 12 Nilai SGOT dan SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage Parameter Fage (IU/L) Kontrol (IU/L) SGOT 193.50±34.735a 211.67±65.503a SGPT 176.67±27.955b 177.00±36.630b Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,05) SGOT pada tikus yang diberi perlakuan fage (193.50±34.735) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (211.67±65.503) (hitung > 0.05) (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati. Di duga fungsi hati dipengaruhi oleh ransum tikus dengan komposisi tinggi nutrisi protein dan lemak (komposisi pelet jafpa adalah protein 14%; lemak 4%; serat kasar 8%; abu 15%; kandungan air 12%). Menurut Sartika (2003) ransum standar untuk tikus komposisinya adalah protein (kasein) 10%; minyak jagung 8%; air 5%; dan pati jagung untuk membuat 100%. 58 SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage (176.67±27.955) ternyata juga tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (177.00±36.630) (hitung > 0.05). Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) nilai SGOT dan SGPT normal tikus adalah sangat bervariasi tergantung pada jenis kelamin, usia, galur, makanan, dan lingkungan hidupnya. SGOT normal tikus adalah 192-262 IU/L (Meredith 2002). Bila dibandingkan nilai SGOT hasil penelitian (Tabel 11) dengan standar tikus normal maka dapat disimpulkan bahwa seluruh nilai SGOT tikus baik perlakuan maupun kontrol adalah normal. Hal ini menunjukkan juga bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati. 4.5.3 Berat Badan Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat badan selama penelitian pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 pada tikus yang diberi perlakuan fage dan kontrol ternyata tidak ada perbedaan secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari uji T-Test pada hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, sampai hari ke-16 menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (P > 0.05) Berat Badan (g) dibandingkan dengan kontrol (Gambar 17). 260 250 240 230 220 210 200 a a perlakuan Fage Kontrol 0 2 4 6 8 Hari ke- 10 12 14 16 Gambar 17 Pertumbuhan tikus kontrol dan perlakuan fage FR38 Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,01) Pada hari ke-16, tikus dengan perlakuan fage FR38 (mean = 255.83, n = 6) tidak berbeda beratnya dibandingkan kontrol (mean = 250.47g, n = 6) (P > 0.05). Berat badan normal tikus (usia 2.0-3.5 bulan) adalah 200-350g (Derelanko dan Hollinger 2002); 225-325g (Meredith, 2002). Berkurangnya nafsu makan dan berat badan akibat perlakuan merupakan indikasi efek toksik dari suatu perlakuan (Kuby 2007). Semua tikus baik perlakuan maupun kontrol terlihat tidak ada yang 59 mengalami gangguan nafsu makan dan penurunan berat badan. Hal ini menunjukkan bahwa fage tidak mempengaruhi nafsu makan/prilaku makan dan berat badan. 4.5.4 Berat Organ Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat organ tikus Kontrol yaitu Usus besar, Limpa, Ginjal kanan, Ginjal kiri, Lambung, Usus halus, Hati, Paru-paru, dan Jantung; ternyata tidak berbeda nyata dengan berat organ tikus yang diberi perlakuan fage Salmonella P38 indigenous (usus besar, limpa, ginjal kanan, ginjal kiri, lambung, usus halus, hati, paru-paru, dan jantung) pada hari ke-16 dengan selang kepercayaan 99% (Tabel 13). Organ yang diberi perlakuan fage menunjukkanberat yang normal. Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) berat ginjal kanan yang normal adalah berkisar 1.839±0.222g dan ginjal kiri berkisar 1.717±0.155g. Tabel 13. Rata-rata berat organ selama perlakuan fage FR38 Organ Usus besar Limpa Ginjal kanan Ginjal kiri Lambung Usus halus Hati Paru-paru Jantung Kontrol (g) 22.573±2.292a 0.702±0.100b 1.852±0.093c 1.822±0.029d 9.760±1.615d 7.007±0.776e 10.103±0.761f 1.992±0.126g 0.813±0.065h Perlakuan fage (g) 21.683±1.951a 0.673±0.210b 1.842±0.005c 1.830±0.009d 7.065±1.845d 6.872±1.529e 10.002±0.798f 1.970±0.204g 0.807±0.070h Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,05) 4.5.5 Penampakan Feses Seluruh tikus baik kontrol maupun perlakuan Fage FR38 fesesnya adalah normal (Tabel 14). Kriteria normal adalah feses bulat, penuh, tidak pecah, tidak lunak, warna hitam cerah. Menurut Suckow (2001) feses tikus normal memiliki karakteristik bulat, penuh, tidak pecah, tidak lunak, warna hitam cerah. Seluruh feses tikus baik perlakuan maupun kontrol menunjukkan tampilan feses normal. 60 Tabel 14. Penampakan feses tikus selama perlakuan fage FR38 Tikus 0 F1 F2 F3 F4 F5 F6 K1 K2 K3 K4 K5 K6 N N N N N N N N N N N N 2 N N N N N N N N N N N N 4 N N N N N N N N N N N N 6 N N N N N N N N N N N N Hari 8 N N N N N N N N N N N N 10 N N N N N N N N N N N N 12 N N N N N N N N N N N N 14 N N N N N N N N N N N N 16 N N N N N N N N N N N N Keterangan: N = normal 4.5.6 Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (PCV). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hemoglobin dan Packed Cell Volume (PCV) pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16 (Tabel 15). Uji-t dari Hemoglobin dan PCV tikus hari ke-16 menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol. Hb normal tikus adalah 11.1-18 g/dl (Meredith 2002); 11-18 Derelanko dan Hollinger (2002). Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) PCV tikus normal adalah = 34-48%. Bila dibandingkan hasil penelitian (Tabel 15) Dapat disimpulkan bahwa seluruh Hb dan PCV tikus baik perlakuan maupun kontrol adalah normal. Eritrosit dan Trombosit pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16 (Tabel 15). Hasil perhitungan dengan uji 2 nilai tengah (t-test) data eritrosit dan trombosit setelah perlakuan fage selama 15 hari ternyata hasilnya tidak berbeda nyata pengaruhnya dengan kontrol secara signifikan (P > 0.05). Uji-t dari data eritrosit dan Trombosit tikus hari ke-16 menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (P>0.05) dibandingkan dengan 61 kontrol. Eritrosit normal tikus adalah (6 - 10) x 106 mm-3 (Derelanko dan Hollinger 2002). Bila dibandingkan hasil penelitian (Tabel 15) Dapat disimpulkan bahwa seluruh eritrosit tikus baik perlakuan maupun kontrol adalah normal. Limfosit dan monosit pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16 (Tabel 15). Hasil Uji-t dari gambaran differensiasi darah putih limfosit dan monosit tikus hari ke-16 masing-masing menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna ( > 0.05) dibandingkan dengan kontrol. Sehingga dapat disimpulkan perlakuan fage tidak mempengaruhi monosit dan limfosit tikus. Tabel 15 Gambaran hematologi darah tikus yang diberi perlakuan fage FR38 Hematologi Eritrosit (106/mm3) Hb (g/dl) PCV (%) Trombosit (106/ mm3) Leukosit (Ribu/mm3) Neutrofil (%) Eosinofil (%) Basofil (%) Limfosit (%) Monosit (%) Fage FR38 8.363±0.437a 12.643±0.798b 36.125 ±1.91c 119.167±13.86d 8.425±0.687 e 20.667 ±9.331 f 1.333 ±1.033g 0 76.167 ±8.377h 1.833 ±1.329i Kontrol 8.922±1.358a 12.58±0.776b 37.125±2.032c 123.5± 19.670d 8.2 ±2.905e 18.167 ±10,000f 1.333 ±0.512g 0 78.167 ±11.600h 2.333 ±1.584i Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda secara signifikan (0,01) Leukosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16 (Tabel 15). Hasil uji beda dua nilai tengah (t-test) dari neutrofil, eosinofil, dan basofil tikus hari ke-16 masing-masing menunjukkan bahwa perlakuan fage tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna ( > 0.05) dibandingkan dengan kontrol. Menurut Derelanko dan Hollinger (2002) tikus normal memiliki leukosit = (7-14) x 103 mm-3; neutrofil (4-50)%; limfosit = (4095)%; monosit = (0-8)%; eosinofil = (0-2)%; dan basofil = (0-2)%; bila dibandingkan hasil penelitian (Tabel 15) Dapat disimpulkan bahwa seluruh tikus baik perlakuan maupun kontrol memiliki nilai leukosit, neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil normal. Menurut Kuby (2007) meningkatnya 62 eosinofil dan basofil dalam darah mengindikasikan bahwa tubuh terpapar zat asing atau alergen. Penelitian ini menunjukkan bahwa eosinofil dan basofil yang diberi perlakuan fage FR38 adalah normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa fage FR38 tidak tergolong sebagai alergen dan tidak menimbulkan alergi bagi tubuh tikus. 4.5 Histopathologi Pada uji histopathologi terlihat bahwa organ yang diberi perlakuan fage adalah normal tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS). Organ tikus yang diberi perlakuan fage tidak berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 18). (A) (B) (C) (D) (E) (F) (G) (H) Gambar 18 Perbandingan jaringan tikus yang diberi perlakuan fage (ginjal (A), Liver (C), Lambung (E) dan limpa (G)) dan jaringan tikus kontrol (ginjal (B), Liver (D), Lambung (F) dan limpa (H)) HE x 200. (Keterangan: seluruh gambar TAKS) Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antara kontrol dan perlakuan Fage FR38 pada ginjal (Gambar 18). Jaringan ginjal pada tikus perlakuan Fage FR38 pada hari ke-16 menunjukkan sebagai jaringan normal. Pada semua tikus baik kontrol maupun perlakuan fage FR 38 tidak terlihat lisis pada sel, alterasi dan apoptosis. Jaringan normal adalah jaringan yang tidak mengalami lisis, alterasi dan apoptosis. Infeksi virus mengakibatkan sel lisis, 63 alterasi pada permukaan membram sel dan apoptosis (Rabson et al. 2005). Pada semua pengamatan jaringan terlihat bahwa tidak ada sel yang mengalami lisis, alterasi, dan apoptosis. Jaringan hati pada tikus perlakuan Fage FR38 pada hari ke-16 menunjukkan sebagai jaringan normal (tidak ada kelainan spesifik). Pada semua tikus baik kontrol maupun perlakuan fage FR 38 tidak terlihat sel lisis, alterasi dan nekrosis. Menurut colville dan Bassert (2002) jaringan hati normal adalah jaringan yang tidak mengalami lisis, alterasi dan nekrosis. Infeksi virus pada hati mengakibatkan sel lisis, alterasi pada permukaan membram sel, dan nekrosis hati (Rabson et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh antara kontrol dan perlakuan Fage FR38 pada usus (Gambar 19). Jaringan usus pada tikus perlakuan Fage FR38 pada hari ke-16 menunjukkan sebagai jaringan normal. Pada semua tikus baik kontrol maupun perlakuan fage FR 38 tidak terlihat lisis sel, alterasi dan apoptosis. Menurut colville dan Bassert (2002) jaringan normal adalah jaringan yang tidak mengalami lisis, alterasi dan apoptosis. Infeksi virus mengakibatkan cell lysis, alterasi pada permukaan membram sel dan apoptosis (Rabson et al. 2005). (A) (B) Gambar 19 Jaringan usus tikus yang diberi perlakuan FR38 (A) and Kontrol (B) (HdanE.x200) (keterangan: TAKS) 64 Pada hari terakhir perlakuan, semua perlakuan (kontrol dan Fage FR38) menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata satu sama lain. Pada jaringan terlihat tidak ada peristiwa sel lisis, alterasi sel, apoptosis sel, dan nekrosis sel (tidak ada kelainan spesifik). Menurut Murphy et al. (2008) infeksi virus akan memberi efek alterasi sel dan lisis sel. Infeksi virus juga memberi efek apoptosis (Radji 2010). Hal ini menunjukkan bahwa fage FR 38 tidak menginfeksi jaringan tikus, melainkan pada jaringan host spesifik (Salmonella P38). Efek infeksi virus adalah merubah morfologi sel (cytopathic effect) dan jaringan/histology (Murphy et al. 2008) serta swollen cell (Roit and Delves 1992). Cytopathic effect adalah gangguan metabolik yang memberi efek lesi pada sel dan kematian sel (Dorland, 2012). Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perlakuan fage FR38 (virus bakteri) tidak mempengaruhi penampakan jaringan tikus. Hal ini membuktikan bahwa fage FR 38 menginfeksi host yang spesifik yaitu hanya Salmonella P38. Menurut Abedon (2008) Fage adalah virus bakteri yang hanya melisiskan bakteri yang spesifik. 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah Fage FR38 efektif menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu, dan air serta aman secara in vivo, dengan rincian simpulan sebagai berikut: 1. Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan menjadi 1.2 x 103 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa fage (Salmonella P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba dari menjadi 7.9 x 1012 cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). Perlakuan fage FR38 mampu menahan laju penurunan kadar lemak (3.32%), abu (0.25%), protein (2.20) dibandingkan tanpa perlakuan fage FR38 (Salmonella P38) yang menurunkan kadar lemak (1.76%), abu (0.18%) dan protein (1.09%) pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). 2. Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan menjadi 7.8 x 102 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa fage (Salmonella P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 8.4 x 109 cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). Perlakuan fage FR38 mampu menahan laju penurunan kadar lemak (6.49%), abu (2.58%), dan protein (13.09%) dibandingkan tanpa perlakuan fage FR38 (Salmonella P38) yang menurunkan kadar lemak (6.21%), abu (2.49%) dan protein (11.06%) pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). 3. Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan dari 3.6 menjadi 9 cfu/ml dibandingkan dengan tanpa Fage (Salmonella P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 9.5 x 106 cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01). 4. Penggunaan fage FR38 adalah aman secara in-vivo. Tikus galur sprague dawley yang diberi perlakuan fage FR38 secara oral sebanyak 1.59 x 107 pfu memiliki fungsi hati normal, fungsi ginjal (kreatinin = 1.331±0.527 66 mg/dl dan total protein = 6.223±0.597 g/dl) normal, hematologi darah (hemoglobin = 12.643±0.798%; PCV = 36.125±1.91; eritrosit = 8.363±0.437 (106/mm3); leukosit = 8.425±0.687 ribu/mm3; trombosit = 119.167±13.86 (106/mm3), limfosit = 76.167 ±8.377;%, neutrofil = 20.667 ±9.331, monosit = 1.833 ±1.329%, eosinofil = 1.333 ±1.033%; basofil = 0) normal dan memiliki gambaran histopatologis organ (liver, ginjal, lambung, dan limpa) normal/tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS). Perlakuan fage FR38 secara oral tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (0.01). 5.2 Saran Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan fage secara oral sebanyak 1.59 x 107 pfu adalah aman dengan gambaran darah dan histopatologis organ tikus sprague dawley adalah normal. Diharapkan uji coba keamanan fage pada penelitian ini dapat dilanjutkan pada hewan percobaan yang lebih besar seperti kelinci dan monyet. Perlu aplikasi Fage FR38 pada proses sanitasi pengolahan pangan yang lain dan sebagai pengendali hayati di lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Abedon ST. 2008. Bacteriophage Ecology. Cambridge: Cambridge University Press. Abshire TG, Brown JE, Ezzell JW. 2005. Production and validation of the use of gamma phage for identification of Bacillus anthracis. J Clin Microbiol 43:4780-4788. ACDC. 2009. Acute Communicable Disease Control: annual morbidity report. USA: ACDC Inc. Adams MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Ahmed R, Mistry PS, Jackson. 1995. Bacillus cereus phage typing as an epidemiological tool in outbreaks of food poisoning. J Clin Microbiol 33:636640. Albert M, Vannesson C, Schwartzbrod I. 1994. Recovery of somatic coliphages in shellfish. Water Sci technol 31:453-456. Anani H, Chen W, Pelton R. 2011. Biocontrol of L. monocytogenes and E. coli in meat by using phages immobilized on modified cellulose membranes. Appl Environ Microbiol 77: 6379-6387. Anderson A, Jager CB, Helmuth R, Huber I, Made D, Malorny B. Multicenter validation study of two blockcycler- and one capillary-based real-time PCR methods for the detection of Salmonella in milk powder. Int J of Food Microbiol 117(2):211-216. AOAC. 2004. Official Methods of Analysis. Association of official Analytical Chemists. Washington: AOAC Press Atlas RM. 2010. Handbook of microbiological media. USA: CRC Press. Atterburry RJ, Bergen MAPV, Ortiz F, Lovell MA, Harris JA, Boer AD, Wagenaar JA, Allen VM, Barrow PA. 2007. Bacteriophage therapy to reduce Salmonella colonization of broiler chicken. Appl Environ Microbiol 73:45434549. Atterburry RJ, Bergen MAPV, Ortiz F, Lovell MA, Harris JA, De Boer A, Wagenaar JA, Allen VM, Barrow PA. 2007. Bacteriophage therapy to reduce Salmonella colonization of broiler chickens. Appl. Environ Microbiol 73:4543-4549. Atterbury R, Connerton P, Dodd C, Rees C. 2001. Isolation and characterisation of Campylobacter specific bacteriophage from retail poultry. Int J Med Microbiol 291:79-80. Bahri S. 2008. Beberapa aspek keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(3):225-242. Barbaree JM, Chin BA, Guntupalli R, Hu J, Lakshmanan RS, Petrenko VA. 2007. Detection of Salmonella typhimurium in fat free milk using a phage 68 immobilized magnetoelastic sensor. Sensor & Actuat: B. Chemic 126(2):544547. Bell C, Kyriakides A. 2002. Salmonella.USA: Blackwell Sciences. Bhattacharya R, Chakravortty D, Chowdhury S, Nagarajan AG. 2012. Direct detection of Salmonella without pre-enrichment in milk, ice-cream and fruit juice by PCR against hilA gene. Food Contr 23:559-564. Bhunia, AK. 2008. Foodborne microbial phatogens. USA: Springer. Blitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Germany: Springer. BPOM. 2003. Mengenal bahan pengawet dalam produk pangan. Info POM. Jakarta: Badan POM. Brennan JG. 2006. Food Processing Handbook. Germany: Wiley-VCH. Brenner FH, Stubbs AD, Farmer JJ. 1991. Phage typing of Salmonella enteritidis in the United States. J Clin Microbiol 29:2817-2823. Browska K, Aski M, Owczarek B. 2010. The effect phage lysate on cancer cells in vitro. Clinic & Exp Med 10:81-86. Budiarti S, Hirai Y, Minami J, Katayama S, Shimizu T, Okabe A. 1991. Adhesive and invasive to Hep-2 cell of Salmonella derby. J Microbiol Immunol 35(2):111-123. Budiarti S, Rusmana I. 2010. Kajian pemanfaatan fage litik sebagai biokontrol bakteri patogen enterik penyebab diare [Laporan Penelitian]. Bogor: IPB. Budiarti S, Pratiwi RH, Rusmana I. 2011. Infectivity of lytic phage to enteropathogenic Escherichia coli from Diarrheal patients in Indonesia. J USChina Med Sci 8:72-80. Budiarti S. 2011. Antibiotic resistence Escherichia coli isolated from faecal of healthy human. J Int Environ Appl Sci 6(3):359-364. Bull JJ, Otto G, Molineaux IJ, 2011. In vivo growth rates are poorly correlated with phage therapy succes in a mouse infection model. Antimicrob Agents Chemother 56:949-954. Butler F, Barron UA and Redmond G. 2012. A risk characterization model of Salmonella Typhimurium in Irish fresh pork sausages. Food Res Int 45(2):1184-1186. Cairns T, Payne J. 2009. Quantitative models of in vitro phage-host dynamics and their application to phage therapy. PLoS Pathogen J 5:20-25. Cardoso M, Santos MCD, and Murmann L. 2009. Prevalence, genetic characterization and antimicrobial resistance of Salmonella isolated from fresh pork sausages in Porto Alegre, Brazil. Food Contr 20(3):167-172. Castillo A, Lopez M, Hidalgo G, Vitella. 2006. Salmonella and Shigella in orange juice and fresh orange. J Food Protect 69:2595-2599. 69 Castro D, Morińigo MA, Manzanares EM, Cornax R. 1991. Development and application of a new scheme of phages for typing and differentiating Salmonella strains from different sources. J Clin Microbiol 30:1418-1423. Chakrabarti AK, Ghosh AN, Nair GB. 2000. Bacteriology development and evaluation of a phage typing scheme for Vibrio cholerae O139. J Clin Microbiol 38:44-49. Clokie MRJ, Kropinski AM. 2009. Bacteriophages: Method and Protocols. UK: Humana Press. Cogan TA, Humphrey TJ. 2003. The rise and fall of Salmonella enteritidis in the UK. J appl Microbiol 94:114-119. Collier. 1998. Microbiology and Microbial Infections 9th Ed. New York: Oxford University Press, Inc. Cooper GL. 1994. Salmonellosis: infection in man and the chicken: pathogenesis and developtmen of live vaccines-a review. Vet Bull 64: 123-143. Corwin EJ. 2009. Handbook of Pathophysiology. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Cox J. 2000. Salmonella (Introduction). In: Robinson RK, Batt CA, Pattel PD. Encyclopedia of food microbiology third Ed. San Diego: Academic Press. Delibato E. 2006. Development of a SYBR green real-time PCR and multichannel electrochemical immunosensor for specific detection of Salmonella enterica. Anal Lett J 39:1611-1620. Derelanko MJ, Hollinger MA. 2004. Handbook Toxicology (2nd Ed). USA: CRC Press. Despopoulos A, Silbernagl S. 2003 Color Atlas of Physiology. New York: Thieme. Djojosoebagio, Soewondo. Agricultural Univ. 2007. Veterinery Physiology. Bogor: Bogor Duijkeren V, Wannet WJ, Houwers C. 2002. Serotype and phage type distribution of Salmonella strains isolated from humans, cattle, pigs, and chickens in the Netherlands from 1984 to 2001. J Clin Microbiol 40:3980-3985 Edgar R, Friedman R, Mor SM. 2011. Reversing bacterial resistance to antibiotic by phages-mediated delivery of dominnat sensitive genes. Appl Environ Microbiol 78:3744-3751. Ellis DE, Whitman PA, Marshall RT. 1973. Effects homologous bacteriophage on growth of Psedomonas fragi WY in milk. Appl & Env Microbiol 25:24-27. Endley SI, Vega LE, Hume ME, Pillai SD. 2003. Male-specific coliphages as an additional fecal contamination indicator for screening fresh carrots. J Food Prot 66:88-93. Essien E. 2003. Sausage Manufacture. England: CRC Press. Fennema OR. 2008. Fennema's food chemistry 4th Ed. USA: CRC Press. 70 Fista GA, Bloukas JG, Siomas AS. 2004. Effect of leek and onion on processing and quality of Greek traditional sausages. Meat Sciences 6:163-172. Fleet GH. 1978. Dairy science and technology. Brisbane: Watson Fergusson & Co. Foddai A, Strain S, Whitlock RH, Elliott CT, Irene R. Grant. 2011. Clinical veterinary microbiologynotes: application of a peptide-mediated magnetic separation-phage assay for detection of viable Mycobacterium vium subsp. paratuberculosis to bovine bulk tank milk and feces samples. J Clin Microbiol 49:2017-2019. Gast RK, Benson ST. 1995. Comparative virulence for chicks of Salmonella. Avian Diseas J 10:567-574. Gautier M, Roult A, Sommer P, Eret V, Jan G, Fraslin JM. 1999. Occurence of propionibacterium freudenreichii bacteriophages in swiss cheese. Appl Environ Microbiol 61:2572-2576. Ghaemi A, Gill P, Jahromy SR, Roohvand F. 2010. Recombinant -Phage Nanobioparticles for tumor therapy in mice models. Gen Vacc and Therapy J 8:3-10. Goode D, Allen VM, Barrow PA. 2003. Reduction of chicken skin by application lityc bacteriophage. Appl Environ Microbiol 69:5032-6. Goodridge L, Gallaccio A, Griffiths WM. 2001. Morphological, host range, and genetic characterization of two colifages. Appl Environ Microbiol 69: 53645371. Grau FH. 1989. Salmonella physiology. NSW: Food Microbiology group. Harrigan WF. 1998. Laboratory methods in food microbiology. England: Academic Press Ltd. Harriganw F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. San Diego: Academic Press Ltd. Hill B, Lindsay D, Shepherd J, Smythe B. 2012. Microbiology of raw milk in New Zealand. Int J Food Microbiol 157:305-306. Hogg S, 2005. Essential Microbiology. England: John Willey & Sons Ltd. Hwang C, Ingham BH, Ingham SC, Juneja VK, Luchansky JB, Fett ACS. Modeling the survival of Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes, and Salmonella Typhimurium during fermentation, drying, and storage of soudjouk-style fermented sausage. Int J Food Microbiol 129(3):244-248. Hyglos. 2012. Bacteriophage Biology [Terhubung Berkala]. http://www. google.com sg/image=bacteriophage&start [6 jun 2012]. Iniansredef 1999. Case study on quality control of livestock products in Indonesia. Jepang: JICA. Izzo MM, House JK. 2011. Prevalency of mayor enteric pathogen in Australian dairy calves. Aust Veterinary J 169:8—5. 71 Jawetz, Melnick, Adelberg's. 2005. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies. USA. Jawi K, Indrayani S, Sumardika, Yasa. 2008. Paracetamol effect on SGPT dan SGOT of mice. Medicin J 21:57-59. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology 6th Ed.. Maryland: Aspen Inc. Killic AO, Pavlova SI, Ma WG, Tao I. 1996. Analysis of Lactobacillus phages and bacteriocins in American dairy products and characterization of phage isolated from yogurt. Appl Environ Microbiol 62:2111-2116. Kim JW, Dutta V, Elhanafi, D. 2012. A novel restriction-modification system is responsible for temperature-dependent phage resistence in L. monocytogenes. Appl Environ Microbiol 78:1995-2004. Kuby. 2007. Immunology 6th Ed. New York: W.H. Freeman and Company. Kudva ITS, Jelacic PI, Youderian P, dan Hovde CJ. 1999. Biocontrol of E. coli: 0157 specific bacteriophage. J Appl Environ Microbiol 65:3767-73. Laanto E, Sundberg LR, and Bamford KH. 2011. Phage specificity of the fresh water fish pathogen F. columnare. Appl And Env Microbiol 77:7868-7872. Lampert LM. 1965. Modern dairy products. New York: Chemical Publishing Company. Li R, Mustapha. 2005. Application PCR for detection E. coli, Shigella and Salmonella in raw and ready to eat meat product. Meat Sci J 20:402-406. Lu Z, Breidt F, Flemming JR. 2003a. Bacteriophage ecology in commercial sauerkraut fermentation. Appl Environ Microbiol 69:3192-3202. Lu Z, Breidt F, Flemming JR. 2003b. Isolation and characterization of L. Plantarun bacteriophage. From cucumbar fermentation. Int J Food Microbiol 84: 225-235. Mahdi C. Roekan SH, Safitri A. 2009. Immunomodulasi oleh paparan formalin dalam makanan terhadap permeabilitas barrier tractus gastrointestinal dan alternatif perbaikannya melalui diet yogurt [Laporan Penelitian]. Malang: Universitas brawijaya. Maura D, Debarbieux, L. 2011. Phages as twenty-first century antibacterial tools for food and medicine. Appl Microbiol Biotech J 90:851-860. Mclaughlin MR, Balaa MF, Sims J, King R. 2008. Isolation of Salmonellabacteriophages from swine effluent lagoons. J Environ Qual 35:522-528 McMeekin TA. 2003. Detecting pathogens in food. England: Woodhead Publishing. Meredith A. 2002. BSAVA Manual of Exotic Pets (4th Ed). British: BSAVA Press. Migeemanathan S. Bhat R. Min-Tze L, Abdulah WNW. 2011. Effect of temperature abuse on the survival, growth, and inactivation on Salmonella typhimurium in goat milk. Foodborne Path & Diseas 8(11):1235-1240. 72 Miliotis MD & Bier JW. 2003. International Handbook of Foodborne Pathogens. USA: Marcel Dekker Inc. Mim's, C. 2000. Pathogenesis of Infectious Diseases. San Diego: Academic Press. Molbak K, Olsen JE, Wegener HC. 2006. Salmonella inection. In: Riemann HP, Cliver DO. Foodborne Infection and intoxications. California: Elsevier. Murchan S, Aucken HM, O'Neill GL. 2004. Emergence, spread, and characterization of phagevariants of epidemic methicillinresistantStaphylococcus aureus 16 in England and Wales. J Clin Microbiol 42:5154-5160 Murphy KP. 2001. Protein Structure Stability. New Jersey: Humana Press Inc. Nature PUBL. 2006. Penggunaan imunoterapi panda penderita alergi. http://www. google.com. sg/image.alergen [6 jun 2012]. Nerney R, Kambashi R, Kinkese J. 2004. Mycobacteriology and aerobic actinomycetes development of a bacteriophage phage replication assay for diagnosis of pulmonary tuberculosis. J Clin Microbiol 42:52115-52120. Ningrum. 2009. Rinitis alergi [Terhubung Berkala]. http://www.google.com. sg/image.alergen [6 jun 2012]. O'Neill GL, Murchan S, Setas AG. 2001. Epidemiology identification and characterization of phage variants of a strain of epidemic methicillin-resistant Staphylococcus aureus (EMRSA-15). J Clin Microbiol 39:1540-1548. Pang S, Octavia S, Reevers PR. 2011. Genetic relationship polymorphisme typing of Salmonella enterica. J Clin Microbiol 50:3727-3734; Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meat. Connecticut: AVI Publishing Company. Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Elements of Microbiology. Marryland: Mc-Graw Hill Book Company. Poernomo S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipenya pada ternak. Wartazoa 14(4):143-159. Portillo FG. 2000. Molecular and celullar biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne diseases. USA: Technomic Publishing Company Inc. Pratiwi RH. 2009. Infektifitas fage litik dari limbah cair terhadap EPEC resisten antibiotik [Thesis]. Bogor: IPB. Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. 2005. Medical Imunnology. Blackwell Publ: USA. Radji M. 2010. Immunologi dan Virologi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. Ray, Bibek. 2001. Fundamental Food Microbiology. Washington DC: CRC Press. Robinson RK. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press: San Diego. Rode TM, Axelsson L, Granum PE. 2011. High stability of stx2 phage in food and under food processing condition. Appl Environ Microbiol 77:5336-5341. 73 Roitt's IM. Essential Immunology. British: Blackwell Publishing. Sahrojas. 2010. Bacteriophage [Terhubung Berkala]. http://www.google.com sg/image=bacteriophage&start [6 jun 2012]. Sartika, D. 2003. Pengaruh penambahan besi pada bihun yang diformulasi dari beras dengan suplementasi kedelai terhadap nilai biologis protein dan retensi zat besi in vivo [Tesis]. Bogor: IPB. Schofield DA, Molineux IJ, Westwater C. bioluminescent phage for detection of Yersinia Microbiol 47:3887-3894. 2009. pestis. Diagnostic J Clin Sinaga EJ. Analisis kandungan formalin pada ikan kembung rebus di pasar tradisional kota Medan tahun 2009 [Laporan Penelitian]. Medan: e-USU repository. Sinaga. 2009. Analisis kandungan formalin pada ikan kembung rebus di pasar tradisional kota Medan Tahun 2009 [Laporan Penelitian]. Medan: e-USU repository. Sinha R, D'Souza D. 2010. Liver cell damage caused due to sodium benzoate toxicity in mice. Int J of Biotech & Biochem 6(4):549-554. Smida V. 2011. Salmonella infection-pathogenesis, transmission, and treatment [Terhubung Berkala]. http://www.doctortipster.com [6 jun 2012] Suckow D, Danneman J, Brayton J. 2001. The Laboratory Mouse. New York: CRC Press. Sudarwanto MB. 1990. Residu antibiotika di dalam air susu ditinjau dari kesehatan masyarakat veteriner. Prosiding Seminar Nasional Penggunaan Antibiotik dalam Bidang kedokteran hewan, Jakarta, 9 januari 1990. Jakarta. hal: 88-91. Sudarwanto MB. 1992. Residu antibiotika di dalam air susu pasteurisasi ditinjau dari kesehatan masyarakat veteriner. J Ilmu Pertanian ind 2(1):37-40. Suntoro SH. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Tadesse G, Ashenafi M, Ephraim E. 2005. Survival E. coli, Shigella and Salmonella in Fermenting Borde (beverage). Meat Sci J 5:189-196. The National Academy of Sciences. 2007. Toxicity Testing in The 21st Century: A Vision and a Strategy. Washington: The National Academic Press. Todar K. 2009. The microbiology word [Terhubung Berkala]. http://www. google. com.sg/image =bacteriophage&start [20 jun 2012] Triana S. 1996. Skrining dan isolasi bakteriofage yang menginfeksi Xanthomonas [Skripsi]. Bogor: IPB. Warren BR, Yuk HG, Schneider KR. 2007. Survival Shigella on tomato surface, potato salad, and raw ground beef. Int J Food Microbiol 7:400-404. Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Bogor: MBrio Press. 74 Zein U, Sagala KH, Ginting J. 2004. Diare akut disebabkan bakteri [e-USU Repository]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Zhuang Z, Yu L, Mustapha A. 2005. Simultaneous detection of E. coli, Salmonella, Shigella in apple cider. J Food Protect 67:27—33. Zuethen P & Sorensen LB. 2003. Food preservation techniques. Cambridge: CRC Press.