BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku 2.1.1. Teori Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan, apabila dilihat dari segi biologis. Secara lebih jelas perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Notoatmodjo (2007) yang mengutip pendapat Skinner, seorang ahli psikologi mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut merespon, sehingga teori Skiner ini disebut teori “S-O-R”, atau stimulus Organisme Respons. Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok. 1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance) Universitas Sumatera Utara Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu : a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Maksudnya adalah bahwa kesehatan ini sangat dinamis dan relative, sehingga orang yang sehat juga perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memeliharan serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman. 2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem/Fasilitas Pelayanan atau Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior) Perilaku ini adalah mengenai upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri. 3. Perilaku Kesehatan Lingkungan Bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi Universitas Sumatera Utara kesehatannya. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak menganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana pengelolaan pembuangan limbah, pengelolaan sampah dan sebagainya. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara garis besar perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni aspek fisik, psikis dan sosial. akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci, perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). 2.2. Konsep Keluarga 2.2.1. Definisi Keluarga Friedman (1998) mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan 2 orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. 2.2.2. Tipe Keluarga Menurut Suprajitno (2004), pembagian tipe keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi 2 yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Keluarga inti (nuclear family). Adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. 2. Keluarga besar (extended family). Adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi). Namun, dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme, pengelompokkan tipe keluarga selain kedua di atas berkembang menjadi : a. Keluarga bentukan kembali (dyadic family) Adalah keluarga yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya. b. Orang tua tunggal (single parent family) Adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya. c. Ibu dengan anak tanpa perkawinan (the unmarried teenage mother) d. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone). e. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non-marital heterosexual cohabiting family). Biasanya dapat dijumpai pada daerah kumuh perkotaan (besar), tetapi pada akhirnya mereka dinikahkan oleh pemerintah daerah (kabupaten atau kota) meskipun usia pasangan tersebut telah tua demi status anak-anaknya. Universitas Sumatera Utara f. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family). 2.2.3. Struktur Keluarga Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya. Friedman (1998) mengutip pendapat Parad dan Caplan (1965) mengatakan ada 4 elemen struktur keluarga yaitu : 1. Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendirian perannya dilingkungan masyarakat atau peran formal dan informal. 2. Nilai atau norma keluarga. Menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. 3. Pola komunikasi keluarga. Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah-ibu (orangtua), orangtua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain (keluarga besar) dengan keluarga inti. 4. Struktur kekuatan keluarga. Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan. Universitas Sumatera Utara 2.2.4. Fungsi Keluarga Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut : 1. Fungsi afektif (the affective function) Adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain, Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga. 2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement function) Adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. 3. Fungsi reproduksi (the reproductive function) Adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. 4. Fungsi ekonomi (the economic function) Yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function). Yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan. Universitas Sumatera Utara 2.2.5. Tugas Keluarga di Bidang Kesehatan Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan (Suprajitno, 2004), meliputi : 1. Mengenal masalah kesehatan keluarga Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatan kadang kala seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. 2. Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan. 3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan Sering kali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri. Jika demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di Universitas Sumatera Utara rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan memiliki tindakan untuk pertolongan pertama. 4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga. 5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan disekitamya bagi keluarga. 2.3. Gangguan Jiwa 2.3.1. Definisi Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan kondisi adanya gejala klinis berupa sindrom pola perilaku dan pola psikologik yang sangat berkaitan dengan adanya rasa tidak nyaman rasa nyeri, dan tidak tentram (Haryadi, 2014). Klassifikasi gangguan jiwa menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) di Indonesia edisi ke tiga diterbitkan pada tahun 1993. Nomor kode dan diagnosis gangguan jiwa merujuk pada ICD – 10 (The International Classification of disease and related health problems, tenth edition,1992) yang diterbitkan WHO. Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder), tidak mengenal istilah penyakit jiwa (mental disease atau mental illness). Dari konsep di atas dirumuskan konsep gangguan jiwa didapatkan butir-butir (Pramesti, 2013): a. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa sindrom-sindrom atau pola perilaku sindrom atau pola psikologik Universitas Sumatera Utara b. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan (distress) antara lain berupa rasa nyeri, tidak nyaman,tidak tentram, terganggu, disfungsi tubuh dan lain-lain. c. Gejala klinis tersebut menimbulkan disabilitas (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup. 2.3.2. Klasifikasi Gangguan Jiwa Klasifikasi gangguan jiwa menurut PPDGJ-III ( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi ke III) tahun 1993 adalah sebagai berikut : a. Gangguan mental organik dan simtomatik. Ciri khas: etiologi organik / fisik jelas, primer / sekunder. b. Skizofrenia, gangguan Skizotipal, dan gangguan Waham. Ciri khas : gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas. c. Gangguan suasana perasaan (Mood/Afektif). Ciri khas : gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik). d. Gangguan Neurotik, gangguan Somatoform, dan gangguan stres. Ciri khas : gejala non-psikotik, etiologi non organik. e. Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik. Ciri khas: gejala disfungsi fisiologis, etiologi non-organik. f. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ciri khas : gejala perilaku, etiologi non-organik. Universitas Sumatera Utara g. Retardasi mental. Ciri khas : gejala perkembangan IQ, onset masa kanak. h. Gangguan perkembangan psikologis. Ciri khas: gejala perkembangan khusus, onset masa kanak. i. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja. Ciri khas: gejala perilaku/emosional, onset masa kanak. X. Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis. Ciri khas : tidak tergolong gangguan jiwa. 2.4. Skizofrenia 2.4.1. Definisi Skizofrenia Skizofrenia, yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun keluarga sering mendapatkan pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena ketidaktahuan yang meluas akan gangguan ini (Kaplan dan Sadock, 2010). Kraepelin menerjemahkan istilah demensia prekoks yaitu suatu istilah yang menekankan proses kognitif (dementia) dan awitan dini (prekoks) yang nyata dari gangguan ini. Eugen Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia untuk menunjukkan adanya skisme (perpecahan) antara pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien dengan gangguan ini. Gejala tersebut meliputi gangguan asosiasi, gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi, yang dirangkum menjadi empat yaitu asosiasi, afek, autisme, dan ambivalensi (Kaplan dan sadock 2010). Universitas Sumatera Utara Dalam International Classification of Disease (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V Skizofrenia: Kriteria diagnosa. A. Dua (atau lebih) dari kondisi berikut ini, yang setiap satunya muncul dalam waktu tertentu selama 1 bulan (atau kurang jika berhasil diobati). Setidaknya salah satu dari (1), (2), atau (3): 1. Delusi 2. Halusinasi 3. Kemampuan berbicara yang tidak teratur (misalnya, kecepatan dan keteraturan) 4. Sangat kacau atau perilaku katatonik 5. Gejala negatif (yaitu, berkurang ekspresi emosional atau kemauan) B. Penyebab utama timbulnya gangguan ini, dari kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, dimana terlihat dengan jelas berkurangnya level fungsi yang dilakukan bila dibandingkan dengan level fungsi yang diperoleh sebelum timbulnya penyakit ini (kejadiannya ketika masa kanak-kanak atau remaja, adanya kegagalan untuk mencapai tingkat fungsi interpersonal, pendidikan, atau dunia pekerjaan yang diharapkan). C. Gejala berkelanjutan selama minimal 6 bulan. Masa yang 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan benar) yang memenuhi kriteria A (yaitu , gejala fase aktif) dan mungkin termasuk masa gejala prodromal residual. Selama masa prodromal atau residual ini, tanda-tanda gangguan dapat dibuktikan hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala Universitas Sumatera Utara yang tertera dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim). D. Gangguan Schizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan fitur psikotik telah dikesampingkan karena 1) tidak ada depresi atau kejadian yang berlebihan telah terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, atau 2) jika masa suasana hati telah terjadi selama gejala fase aktif berlangsung, terlihat berkurang dari waktu masa aktif dan residual dari penyakit tersebut. E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya, penyalahgunaan obat, pengobatan ) atau kondisi medis lainnya. F. Jika ada gejala gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi masa kanak-kanak, diagnosis skizofrenia tambahan hanya dilakukan jika adanya perasaan halusinasi atau delusi yang berlebihan, sebagai gejala lain yang berkenaan dengan skizofrenia, juga timbul sekurang-kurangnya selama 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan benar). 2.4.2. Gambaran Klinis Skizofrenia Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama dalam fase residual dimana pasien lebih banyak menarik diri atau mengisolasi diri. Pasien dapat mengalami Anhedonia yaitu ketidakmampuan merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteriorasi yaitu perburukan yang terjadi secara berangsur-angsur. Episode pertama psikotik sering didahului oleh suatu periode misalnya perilaku dan pikiran eksentrik (fase prodromal). Kepribadian prepsikotik juga dapat ditemui pada Universitas Sumatera Utara beberapa pasie skizofrenia yang ditandai dengan penarikan diri dan terlalu kaku secara sosial, sangat pemalu, dan sering mengalami kesulitan di sekolah meski I.Qnya normal. Suatu pola yang sering ditemui yaitu keterlibatan dalam aktivitas antisosial ringan dalam satu atau dua tahun sebelum episode psikotik. Beberapa pasien sebelum didiagnosa skizofrenia, mempunyai gangguan kepribadian skizoid, ambang, anti sosial, atau skizotipal (Amir, 2010). 2.4.3 Jenis-jenis Skizofrenia Terdapat beberapa jenis Skizofrenia (PPDGJ III, 1993) yaitu : 1. Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Paranoid adalah skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara mana pun. Gambaran klinis didominasi oleh waham-waham yang secara relatif stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan-gangguan persepsi. 2. Skizofrenia Hebefrenik Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas, dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus, perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan. 3. Skizofrenia Katatonik Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis dan stupor, atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode Universitas Sumatera Utara kegelisahan yang disertai kekerasan mungkin merupakan gambaran yang mencolok. 4. Skizofrenia Tak terinci (Undifferentiated) Yaitu kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan satu pun sub tipe tersebut di atas 5. Depresi pasca skizofrenia Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan risiko bunuh diri. 6. Skizofrenia Residual Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenia di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala “negatif” jangka panjang, walaupun belum tentu ireversibel. 7. Skizofrenia Simpleks Suatu kelainan yang tidak lazim dimana ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh. Tidak terdapat waham dan halusinasi, serta gangguan ini bersifat kurang nyata psikotik jika dibandingkan dengan skizofrenia subtype hebefrenik, paranoid dan katatonik. 8. Skizofrenia Lainnya Termasuk : skizofrenia senestopatik dan gangguan skizofreniform YTT. 9. Skizofrenia YTT Universitas Sumatera Utara 2.4.4. Pengobatan Skizofrenia Menurut Kaplan & Sadock (2010) prinsip Terapeutik pada penggunaan obat antipsikotik pada skizofrenia seyogianya mengikuti lima prinsip utama: 1. Klinisi sebaiknya secara cermat menentukan gejala target yang akan diobati. 2. Obat antipsikotik yang telah bekerja dengan baik dimasa lalu bagi seorang pasien sebaiknya digunakan kembali. 3. Lama minimum percobaan antipsikotik adalah 4 sampai 6 minggu pada dosis adekuat. Bila percobaan tidak berhasil, obat antipsikotik yang berbeda, biasanya dari kelas yang berbeda, dapat dicoba. 4. Secara umum, penggunaan lebih dari satu obat antipsikotik pada satu waktu adalah jarang namun pada pasien yang resisten pengobatan dapat di kombinasi dengan obat lainnya. 5. Pasien sebaiknya dipertahankan pada dosis obat efektif yang serendah mungkin. Dosis rumatan seringkali lebih rendah daripada yang digunakan untuk mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik. 2.5. Pemasungan 2.5.1. Pengertian Pemasungan Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalam Minas & Diatri, 2008). Universitas Sumatera Utara Pasung adalah istilah yang digunakan di Indonesia yang memiliki padanan arti dalam bahasa Inggris “Restraints atau Restrained”. Istilah ini tidak hanya digunakan untuk merujuk tindakan membelenggu pasien, tetapi juga merujuk kepada mengunci pasien di kamar atau mengurungnya di dalam kandang ternak (Keithaon, 2013). Pemasungan adalah tindakan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat seperti skizofrenia) dengan cara dikurung, dirantai kakinya dimasukkan kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga kebebasannya menjadi hilang. Pasung merupakan salah satu perlakuan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat perawatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai manusia. Dengan demikian pemasungan dapat dianalogikan sebagai segala bentuk tindakan yang menghalangi setiap orang dengan gangguan jiwa memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara. Hak-hak tersebut meliputi hak memperoleh pengobatan, hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh kehidupan sosial. Pemasungan dilakukan dengan menggunakan cara pengikatan, pengisolasian atau penelantaran. Pengikatan merupakan semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh dan membuat tidak dapat bergerak dengan mudah atau yang membatasi kebebasan dalam menggerakkan tangan, kaki atau kepala. Pengisolasian merupakan tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa dalam suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan/area tersebut. Penelantaran adalah bentuk pengabaian secara fisik dan emosional yang Universitas Sumatera Utara mengakibatkan gangguan nyata dan potensial terhadap perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup atau martabatnya. Bentuk penelantaran dan dampak penelantaran pada orang dengan gangguan jiwa misalnya; tidak diberikan pengobatan yang layak, tidak dipenuhi kebutuhan dasar (need basic) hidupnya seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan (Utami, 2013). Pemasungan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa lebih banyak pada daerah-daerah yang tingkat ekonomi dan pengetahuannya rendah. Hal ini disebabkan keterbatasan ekonomi dalam keluarga dan juga kurangnya pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa. Kemudian kebiasaan pemasungan dilakukan pada tempat-tempat yang tidak layak; seperti gubuk, kandang ternak, ruangan yang tidak memenuhi standar kesehatan dan jauh dari pemukiman warga lainnya. 2.5.2. Alasan dan Dampak Pemasungan Kasus pemasungan di masyarakat ibarat teori gunung es dipermukaan laut; artinya bahwa data pemasungan yang diperoleh melalui hasil penjaringan diberbagai daerah belum menunjukkan data yang sebenarnya, karena kasus pemasungan ternyata masih banyak yang tidak termonitor oleh pemerintah. Fenomena ini disebabkan keluarga yang masih malu dan menganggap aib bagi keluarganya yang harus disembunyikan dan ditutupi dari publik serta keterbatasan pembiayaan dan rendahnya ilmu pengetahuan tentang penanganan gangguan jiwa. Masyarakat melakukan pemasungan ketika mereka tidak sanggup untuk memberikan perawatan terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. khawatir terhadap efek pengobatan, ingin menghindari stigma yang melekat Universitas Sumatera Utara pada pasien gangguan jiwa atau secara umum untuk menjaga agar anggota keluarga dan masyarakat dari perilaku agresif anggota keluarga yang sedang mengalami gangguan jiwa. Menurut Kemenkes RI alasan pemasungan yang dilakukan oleh keluarga terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa antara lain : a. Perjalanan penyakit dan respons terhadap terapi Gangguan jiwa memiliki karakteristik kronik dan kambuhan. Sama dengan penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, diabetes dan lain-lain, kondisi tersebut menjadikan gangguan jiwa sepertinya sulit untuk dikontrol, disembuhkan dan sangat tergantung dengan pengobatan jangka panjang. Ketidakmampuan untuk mengendalikan ini seringkali menjadi alasan bagi tindakan pemasungan untuk “mengamankan” orang dengan gangguan jiwa dari kemungkinan bahaya bagi dirinya maupun orang lain. Sebagai contoh; keluarga mengambil tindakan untuk pemasungan dikarenakan kuatir anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa akan pergi dan tidak tahu jalan pulang atau melindungan keamanan masyarakat sekitar karena berpotensi untuk merusak atau melukai orang lain. b. Tingkat ketergantungan dan beban keluarga Gangguan jiwa juga mengakibatkan disfungsi dan disabilitas bagi orang yang mengalaminya. Disfungsi ini mengakibatkan tingkat ketergantungan orang dengan gangguan jiwa terhadap keluarga menjadi lebih besar. Ketergantungan yang dimaksud tidak hanya menyangkut aktivitas kehidupan sehari-hari seperti perawatan diri dan pengobatan, namun juga aspek finansial. Kondisi ini lebih Universitas Sumatera Utara diperumit bila anggota keluarga yang merawat terpaksa meninggalkan pekerjaan dan penghasilannya untuk merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa tersebut. c. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan akan gangguan jiwa Kurangnya informasi dan akses terhadap informasi juga mempengaruhi persepsi dan pemahaman keluarga maupun lingkungannya terhadap gangguan jiwa itu sendiri. Selain itu stigmatisasi juga mengakibatkan seseorang berpikir salah tentang apa yang terjadi. Kurangnya pemahaman atau kesalahan persepsi mengakibatkan banyaknya kasus gangguan jiwa yang tidak dikenali. Pada tingkat masyarakat awam, gangguan jiwa seringkali dikaitkan dengan aspek religi dan spiritual. Gangguan jiwa seringkali dikaitkan dengan guna-guna, ilmu hitam, kutukan, tumbal, tanggungan dosa keluarga dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan orang dengan gangguan jiwa seringkali “berobat” ke pengobatan tradisional, sehingga memperlama durasi tanpa pengobatan yang benar dan hal ini mengakibatkan semakin beratnya gejala (termasuk gejala akut) dan kronisitas penyakit, makanya pasung pun seringkali dianggap sebagai “pengobatan”. d. Akses ke layanan kesehatan Kasus pemasungan yang telah teridentifikasi menunjukkan adanya riwayat akses ke pelayanan kesehatan jiwa. Namun demikian, akses yang dimaksud sangat terbatas pada Rumah sakit Jiwa. Hal tersebut tentunya menjadi halangan yang tidak mudah diselesaikan oleh orang dengan gangguan jiwa maupun keluarganya untuk melanjutkan proses terapi atau sepanjang proses terapi itu sendiri, Universitas Sumatera Utara misalnya; keluarga kurang bisa dilibatkan dalam proses pengobatan akibat tidak mudah bagi keluarga untuk datang dan belajar bagaimana cara merawat anggota keluarganya. Halangan-halangan tersebut berkaitan dengan letak geografik, akses transportasi, kesulitan untuk pergi dikarenakan pekerjaan dan adanya biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya. e. Pembiayaan Sebahagian besar kasus pemasungan yang ditemukan saat ini lebih banyak terjadi didaerah terpencil dan berada dalam kondisi kemiskinan. Namun kasus pemasungan sebenarnya tidak hanya dialami oleh orang-orang dari kalangan ekonomi sosial yang rendah. Bagi mereka yang terbatas dalam ekonomi, masalah pembiayaan menjadi isu yang penting dan tidak mudah untuk diselesaikan. Memang ada sistem bantuan pembiayaan kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan membantu orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya utnuk mendapatkan pengobatan. Namun dalam prosesnya untuk mendapatkan jaminan kesehatan tersebut tidaklah mudah. Didaerah terpencil, biaya yang terkait dengan transportasi lebih banyak menjadi masalah dalam pengobatan (Utami, 2013). Selain hal tersebut di atas, yang menjadi alasan pemasungan terjadi menurut Yusuf (2013) oleh karena : 1) kurangnya ketersediaan layanan kesehatan jiwa di masyarakat, 2) tidak ada kesinambungan program layanan antara rumah sakit dan komunitas, 3) stigma dan kurangnya pemahaman masyarakat akan masalahan kesehatan jiwa, 4) kurangnya dukungan keluarga, dan 5) kurangnya dukungan pemerintah terutama terkait hukum, kebijakan dan sistem pembiayaan yang adekuat. Universitas Sumatera Utara 2.5.3. Menghapus Pemasungan Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidaktahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat, kondisi berfikir yang salah tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan penyembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial (Tarjum, 2007). Akibatnya masyarakat mengambil jalan pintas dengan melalukan pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI pada tahun 2010 telah mencanangkan Indonesia Bebas Pasung Tahun 2014 melalui : a. Terselenggaranya perlindungan HAM bagi orang dengan gangguan jiwa. b. Tercapainya peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan dibidang kesehatan jiwa. c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas disetiap tingkat layanan masyarakat (Program Direktorat Bina Keswa Kemenkes RI, 2014). Atas landasan ketentuan tersebut, maka seharusnya tindakan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa tidak dibenarkan dan harusnya tidak terjadi karena pemasungan merupakan penanganan yang salah. Penderita gangguan jiwa dapat dipulihkan melalui pengobatan medis yang terintegrasi dengan kegiatan komunitas sosial, sehingga pasien gangguan jiwa tidak perlu dipasung dan Pemerintah Indonesia harus sanggup menghapuskan pasung bagi pasien penderita gangguan jiwa. Universitas Sumatera Utara 2.6. Landasan Teori Penanganan pasien penderita skizofrenia dengan cara pemasungan merupakan tindakan yang dianggap salah. Tetapi pemasungan terhadap penderita skizofrenia dilakukan oleh keluarga disebabkan faktor-faktor yang kompleks baik dari aspek pengetahuan tentang skizofrenia maupun yang lainnya. Hal ini senada dengan teori Lawrance Green (1980) yang menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok; yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu : faktor predisposisi (predisposition factor), faktor pemungkinan (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor). Faktor predisposisi mencakup faktor yang mempengaruhi pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa; baik faktor kurangnya pemahaman dan pengetahuan akan skizofrenia, tingkat ketergantungan maupun beban keluarga. Selain aspek rendahnya pemahaman dan pengetahuan, hal lain yang mengakibatkan pemasungan adalah adanya keyakinan dari sebahagian masyarakat bahwa fenomena gangguan jiwa dikarenakan guna-guna, ilmu hitam dan lain-lain yang nuansanya adalah mistis dan religi. Selanjutnya faktor pemungkin yang mencakup fasilitas pelayanan dan akses ke layanan kesehatan jiwa dalam penanganan penderita skizofrenia. Faktor pemungkin ini juga menyangkut keterjangkauan berbagai sumber daya, pembiayaan, jarak dan ketersediaan transportasi dalam proses pemulihan penderita skizofrenia. Universitas Sumatera Utara Kemudian faktor penguat yang menentukan dukungan dari berbagai pihak, baik keluarga, masyarakat maupun pemerintah dalam penanganan kasus pemasungan orang dengan gangguan skizofrenia. 2.7. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut: Variabel Independen Faktor predisposing: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Pendidikan Variabel Dependen Kasus Faktor Enabling: 1. Fasilitas Kesehatan jiwa 2. Pembiayaan 3. Akses ke layanan 4. Jarak Faktor Reinforcing: 1. Sumber informasi 2. Dukungan Petugas dan keluarga Kontrol Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Dari teori Lawrence Green dalam Soekidjo, 2007 menyatakan bahwa proses perubahan Perilaku ada 3 faktor yang mempengaruhi yaitu faktor Predisposing, Faktor Enabling dan Faktor Reinforcing. Universitas Sumatera Utara