BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Undang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Namun sangat disayangkan bahwa
sekolah yang merupakan lembaga pendidikan tempat mencerdaskan siswasiswinya harus diwarnai oleh tindak kekerasan. Kekerasan di sekolah yang terjadi
saat ini semakin kompleks dan memprihatinkan. Mulai dari tindakan tawuran
pelajar, perselisihan pribadi, diskriminasi dan bullying.
Bullying merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi Indonesia saat
ini. Berdasarkan data dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun
2012 hingga 2015, dari 2 ribu anak di seluruh Indonesia, 87% mengalami kasus
kekerasan termasuk bullying (Setyawan, 2015). Lebih lanjut, jumlah kasus
bullying tersebut mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun
aduan pungutan liar. Hasil Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah
Karakter tahun 2014 juga menyatakan, hampir setiap sekolah di Indonesia
memiliki kasus bulying, meski hanya bullying verbal dan psikologis atau mental.
Susanto sebagai Ketua Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter
1
2
menilai bahwa Indonesia sudah masuk kategori "darurat bullying di sekolah”
(Herman, 2014).
Tidak hanya di Indonesia, bullying juga terjadi di berbagai belahan dunia.
Smith et al. (2002) menjelaskan bahwa fenomena bullying juga terjadi di berbagai
bangsa di seluruh budaya dan mempengaruhi anak-anak dan remaja di seluruh
dunia. Hasil survei yang dilakukan Smith dan rekan-rekannya (1990) pada 21
negara yang ada di benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia
menunjukkan bahwa fenomena bullying merupakan masalah yang harus segera
ditangani secara serius.
Bullying dapat terjadi pada semua tingkat, baik pada masa SD, SMP,
maupun SMA. Prevalensi tertingginya terjadi pada masa SMA. Masa-masa SMA
adalah masa dimana seorang anak berada dalam fase remaja, yaitu dalam usia 1518 tahun. Hurlock (1980) berpendapat bahwa remaja merupakan masa
pemberontakan atau masa melepaskan diri dari pengaruh orang tua. Seorang
remaja seringkali menampilkan berbagai gejolak emosi, menarik diri dari
keluarga, serta mengalami permasalahan baik di lingkungan keluarga, sekolah
atau di lingkungan pergaulannya. Oleh karena itu pada masa SMA inilah banyak
terjadi kasus bullying.
Survei yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini pada 2008 (dalam
Wiyani, 2012) juga mendukung penyataan di atas. Yayasan ini melakukan survei
tentang bullying di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan
Jakarta. Hasilnya menunjukkan tingkat bullying adalah sebesar 67,9% di Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan 66,1% di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
3
Beberapa kejadian bullying yang menimpa remaja di Sekolah Menengah
Atas sempat menghebohkan pemberitaan di media masa. Pada bulan Juli 2014
terjadi kasus bullying menimpa 15 siswa kelas X SMA Negeri 70 Jakarta oleh
seniornya yang berjumlah 13 orang (Harahap, 2014). Kasus bullying yang terjadi
bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa korban. Dua orang siswa kelas XI SMA
Negeri 3 Setiabudi Jakarta meninggal dunia karena tindakan bullying yang
dilakukan
lima
orang
senior.
Kejadian
tersebut
terjadi
saat
kegiatan
ekstrakurikuler pencinta alam di Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat yang
dilaksanakan selama dua hari. Menurut keterangan pihak dokter, tubuh korban
dipenuhi luka lebam (Fahmi, 2014; Irwanto, 2014). Kasus bullying yang terbaru
terjadi awal bulan Mei 2016, beredar sebuah video bullying yang dilakukan oleh
siswa SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta (Siswanto, 2016). Bullying tersebut
menimpa siswa kelas X berinisial A (15) yang dilakukan oleh empat seniornya
kelas XII. Korban dimaki-maki serta disiram dengan air botol kemasan dan abu
rokok pada bagian kepala. Berbagai kejadian bullying tersebut hanya sebagian
dari kasus bullying yang terjadi dan berhasil diungkap oleh media.
Bullying di sekolah pertama kali diteliti secara ilmiah oleh Dan Olweus di
Skandinavia pada tahun 1970. Olweus (1999) menyatakan bahwa bullying
merupakan tindakan agresif yang disengaja, dilakukan berulang-ulang dan dari
waktu ke waktu, serta terdapat ketidakseimbangan kekuatan. Ketidakseimbangan
kekuatan antara pelaku dan korban bullying bisa bersifat real maupun perasaan
(Wiyani, 2012). Contoh yang bersifat real berupa ukuran badan, kekuatan fisik,
gender (jenis kelamin), dan status sosial. Contoh yang bersifat perasaan seperti
4
perasaan lebih superior dan kepandaian berbicara atau pandai bersilat lidah. Lebih
lanjut, Wiyani (2012) menyatakan, adanya unsur ketidakseimbangan kekuatan
inilah yang membedakan bullying dengan konflik lainnya. Pada konflik antara dua
orang yang memiliki kekuatan sama, masing-masing memiliki kemampuan untuk
menawarkan solusi dan berkompromi dalam menyelesaikan masalah. Pada kasus
bullying, ketidakseimbangan kekuatan menghalangi pelaku dan korban untuk
menyelesaikan konflik mereka sendiri sehingga diperlukan kehadiran pihak
ketiga.
Coloroso (2007) membagi bullying kedalam tiga bentuk, yaitu bullying yang
bersifat fisik, verbal, dan psikologis/relasional. Bullying fisik seperti memukul,
menampar, dan menendang. Bullying verbal seperti memaki, menggosip, dan
mengejek.
Bullying
psikologis
seperti
mengintimidasi,
mengucilkan,
mengabaikan, dan mendiskriminasi. Kategori bullying psikologis yang berupa
pengucilan menempati peringkat pertama dengan persentase 41,2% untuk tingkat
SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA. Peringkat kedua ditempati oleh kekerasan
verbal (mengejek) dan yang terakhir oleh kekerasan fisik (memukul) (Yayasan
SEJIWA dalam Wiyani, 2012).
Penulis melakukan penggalian data awal penelitian dengan menyebarkan
skala kepada 40 siswa, serta melakukan wawancara terhadap beberapa orang
siswa dan guru Bimbingan Konseling (BK) untuk mengetahui fenomena bullying
di SMA Negeri 8 Surakarta. Hasil penyebaran skala dan wawancara tersebut
menunjukkan fakta bahwa terjadi bullying di SMA Negeri 8 Surakarta. Bentuk
bullying yang dilakukan seperti bullying verbal, bullying fisik, serta bullying
5
relasional/psikologis. Seorang siswa juga pernah menerima bullying berupa ejekan
secara terus menerus hingga menangis dan mengadu kepada guru BK.
Ada tiga pihak yang terlibat dalam kejadian bullying, yaitu pelaku, korban,
dan bystander. Pelaku merupakan siswa yang melakukan bullying terhadap siswa
lain. Korban merupakan siswa yang menjadi target bullying. Bystander
merupakan orang yang menyaksikan kejadian bullying. Bystander dibagi kedalam
tiga kategori, yaitu mendukung yang korban, hanya melihat dan tidak ikut terlibat,
dan ikut bergabung melakukan bullying.
Bagi sebagian orang, bullying mungkin hanya dianggap sebagai sebuah
candaan dan bersifat wajar. Padahal, bullying merupakan permasalahan yang
dampaknya harus ditanggung oleh semua pihak, baik itu korban, pelaku, maupun
bystander. Penelitian terbaru dari Sigurdson et al., (2015) menunjukkan hasil
bahwa keterlibatan dalam bullying pada masa remaja berhubungan dengan
masalah kesehatan mental di kemudian hari dan berkemungkinan menghambat
perkembangan menuju masa dewasa yang mandiri. Anak-anak yang terlibat dalam
bullying, baik menjadi korban maupun pelaku memiliki risiko lebih tinggi secara
signifikan terhadap masalah psikosomatis dan psikososial daripada anak-anak
yang tidak terlibat (Gini, 2008).
Meta-analisis yang dilakukan oleh Hawker dan Bulton (dalam Cowie &
Jennifer, 2008) menunjukkan hasil bahwa menjadi korban bullying sangat
berkaitan dengan depresi, kesepian, dan self-esteem yang rendah. Bahkan dampak
terparah dari bullying dapat menyebabkan depresi yang berujung pada bunuh diri.
Berdasarkan sebuah studi longitudinal di California yang mengambil sampel
6
sebanyak 11 negara, menunjukkan hasil bahwa orang dewasa cenderung
melakukan bunuh diri ketika mereka menjadi korban bullying di awal masa
remaja (Copeland et al., 2013). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Menteri
Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan bahwa sebanyak 40 % anakanak
di
Indonesia
meninggal
karena
bunuh
diri
akibat
tidak
kuat
menahan bullying (Syah, 2015). Sedangkan bagi pelaku bullying gangguan sosialpsikologis yang sering muncul adalah depresi, kesepian, dan isolasi sosial (Crick
& Grotpeter dalam Cowie & Jennifer, 2008). Bagi bystander, gangguan yang
muncul adalah kecemasan dan penurunan kadar kortisol (Carney et al., 2010).
Berdasarkan penelitian di atas, maka disimpulkan bahwa bullying memang
terjadi di sekolah dan berdampak negatif bagi perkembangan sosioemosional
pelaku, korban, maupun bystander. Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
namun lebih berfokus pada pelaku bullying.
Penyebab seseorang menjadi pelaku bullying tidak dapat dipisahkan dari
faktor keluarga, terutama orang tua. Seorang anak memulai interaksi pertamanya
dengan orang tua. Orang tua merupakan agen sosialisasi utama yang memainkan
peran penting dalam perkembangan psikologis anak. Melalui sikap dan perilaku
yang diperoleh dari orang tua, anak mendapatkan kesan pertama mengenai dunia.
Attachment (kelekatan) antara orang tua dan anak sangat diperlukan oleh seorang
anak, bahkan ketika mereka telah tumbuh dewasa.
Istilah attachment mengacu pada hubungan emosional awal antara bayi dan
pengasuh (biasanya satu atau kedua orang tua). Papalia (2013) menyatakan,
attachment adalah ikatan emosional menetap yang bersifat timbal balik antara
7
bayi dan pengasuh, yang masing-masing berkontribusi terhadap kualitas
hubungan tersebut. Aattachment yang dibangun pada masa bayi tersebut akan
berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan anak selanjutnya.
Ainswort (dalam Papalia, 2013) kemudian membagi attachment menjadi
tiga bentuk, yaitu secure attachment (kelekatan aman), dan dua bentuk insecure
attachment (kelekatan tidak aman) yaitu avoidant dan ambivalent attachment.
Setiap pola attachment memiliki konsekuensi masing-masing. Hubungan orang
tua dan anak yang baik berfungsi sebagai secure base dimana anak dapat
mengeksplorasi lingkungan mereka (Bowlby, 1988). Ketika pengasuh secara
konsisten sensitif, mendukung, responsif, dan menerima perilaku anak mereka
menghasilkan kualitas hubungan yang tinggi atau secure attachment (Weinfield et
al., 1999).
Attachment yang baik dengan orang tua akan mendorong kepercayaan untuk
terlibat hubungan dengan orang lain dan sebagai dasar pengembangan
keterampilan interpersonal (Santrock, 2014). Makin aman kelekatan seorang anak
terhadap orang dewasa yang bersifat mengasuh akan membuat anak semakin
mudah untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain (Papalia,
2013). Remaja dengan secure attachment lebih sedikit mengalami masalah, baik
itu masalah gangguan perilaku, kenakalan dan agresi (Morreti & Pelled, 2004).
Lebih lanjut, Morreti & Pelled (2004) menyatakan bahwa remaja dengan secure
attachment mampu mengelola masa transisi menuju Sekolah Menengah Atas
dengan lebih baik, menjalani hubungan yang positif, dan lebih sedikit mengalami
8
konflik dengan keluarga maupun teman-temannya dibandingkan remaja dengan
insecure attachment.
Secure attachment terkait dengan sosialisasi masa depan yang positif, yaitu
lebih rendah dalam permasalahan eksternal seperti agresi. Sebuah penelitian
terbaru dilakukan oleh Bloodworth (2015) menunjukkan bahwa seorang remaja
dengan secure attachment memiliki perilaku agresif yang lebih rendah. Siswa
dengan secure attachment akan cenderung menjalin pertemanan yang baik dan
menghindari dari terlibat perilaku agresi, termasuk bullying. Walden dan Beran
(2010) menyatakan bahwa siswa dengan kualitas attachment yang rendah
cenderung menjadi korban maupun pelaku bullying dibandingkan siswa dengan
secure attachment.
Terdapat faktor lain dari diri individu yang diduga mempengaruhi seseorang
untuk melakukan tindakan bullying, yaitu kontrol diri. Rendahnya kontrol diri
dipandang sebagai bagian penting yang berhubungan dengan berbagai macam
perilaku menyimpang, termasuk bullying.
Kontrol diri didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan diri dari
emosi yang kita miliki, impuls, dan keinginan (Sarafino, 2012). Kontrol diri
merupakan
pengendalian
pertimbangan-pertimbangan
tingkah
laku
terlebih
dahulu
dimana
seseorang
sebelum
melakukan
memutuskan
untuk
bertindak sesuatu. Semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki seseorang, maka akan
semakin intens pula orang tersebut mengadakan pengendalian terhadap tingkah
laku.
9
Gottfredson dan Hirschi (dalam Gibson, 2010) menyatakan bahwa kontrol
diri merupakan blokade yang menjembatani individu dengan aktivitas yang
menyimpang. Kontrol diri menunjukkan kemampuan untuk meninggalkan
kesenangan jangka pendek yang berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka
panjang yang negatif. Lebih lanjut, Gottfredson dan Hirsch (dalam Gibson, 2010)
menyatakan bahwa kontrol diri yang rendah meningkatkan kemungkinan pada
hampir semua jenis tindakan kejahatan dan penyimpangan yang membawa
kesenangan, kepuasan, dan pemenuhan dalam jangka pendek. Seperti kenakalan
remaja, tindakan kriminal, dan penyimpangan umum sepanjang kehidupan.
Kontrol diri yang baik sangat diperlukan oleh remaja. Individu dengan
kontrol diri yang rendah akan bertindak tanpa mempertimbangkan konsekuensi
jangka panjang akibat dari perilaku mereka. Sedangkan kontrol diri yang tinggi
akan mencegah individu untuk melakukan tindakan negatif, termasuk bullying
yang dapat berdampak negatif pada semua pihak.
Beberapa penelitian mencoba mengaitkan antara kontrol diri dan perilaku
bullying. Pada tahun 2013, Chui dan Chan melakukan penelitian terhadap 365
siswa di Macau yang berusia antara 10 dan 17 tahun. Penelitian tersebut
menunjukkan hasil bahwa bullying berhubungan negatif dengan tingkat kontrol
diri siswa (Chui & Chan, 2013). Penelitian terbaru dari Moon dan Alarid (2015)
dengan partisipan 300 orang remaja mendapatkan hasil bahwa kontrol diri yang
rendah kemungkinan besar akan terlibat bullying fisik dan psikologis. Dapat
disimpulkan bahwa kontrol diri yang dimiliki seseorang berpengaruh terhadap
bullying.
10
Berdasarkan berbagai pemaparan yang telah diuraikan di atas, dapat
diketahui bahwa secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri memiliki
peran terhadap terjadinya bullying. Secure attachment dengan orang tua dapat
mempengaruhi perkembanagan perilaku agresi remaja, termasuk bullying. Begitu
pula dengan kontol diri, remaja yang mampu mengendalikan diri dari berbagai
emosi negatif dan impulsif menunjukkan bullying yang rendah. Oleh sebab itu,
penulis melakukan penelitian dengan judul “Bullying Ditinjau dari Secure
Attachment dengan Orang Tua dan Kontrol Diri pada Siswa SMA Negeri 8
Surakarta”
B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada hubungan antara secure attachment dengan orang tua dan
kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta?
2. Apakah ada hubungan antara secure attachment dengan orang tua dengan
bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta?
3. Apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan bullying pada siswa
SMA negeri 8 Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hubungan antara secure attachment dengan orang tua dan
kontrol diri dengan bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta.
11
2. Mengetahui hubungan antara secure attachment dengan orang tua dengan
bullying pada siswa SMA negeri 8 Surakarta.
3. Mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan bullying pada siswa
SMA negeri 8 Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan di
bidang psikologi, terutama psikologi pendidikan, perkembangan dan sosial
yang berkaitan dengan bullying.
2. Hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya terutama yang berhubungan dengan secure attachment dengan
orang tua dan kontrol diri terhadap bullying.
b. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada orang tua akan
pentingnya secure attachment terhadap anak dalam masa pertumbuhan
mereka.
2. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada guru dan siswa
mengenai pentingnya mengembangkan kemampuan kontrol diri siswa
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat berperilaku sesuai normanorma yang ada.
3. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
pengaruh secure attachment dengan orang tua dan kontrol diri sebagai
12
faktor bullying kepada pihak-pihak yang bergerak di bidang pencegahan
bullying seperti guru, bimbingan konseling, psikolog, keluarga, dan siswa.
Download