Komunikasi Kabinet Kerja

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hokum Nasional
ll.May.Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
Somber: 1<-.CMP/t-S
I Hanrn~•: ft~sA /o:z,->.-46(;-rll!( ,szctr-
Subjek: PEMt=!<I/IJT71H- f::ABI/1/I=T /Cef2VA
Hlm/Kol: Vi
B!dang:
/z.....r
2
Komunikasi Kabinet Kerja
Oleh GUN GUN HERYANTO
H
ilang satu, tumbuh seribu
isu. Begitulah kiranya
gambaran dinamika politik nasional kita terutama terkait
dengan eksistensi Kabinet Kerja
Jokowi. Hampir tak ada ruang
tersisa dari sorotan publik,
pro-kontra, bingkai pemberitaan
media, dan pergunjingan propaganda di beragam kanal komunikasi elite dan warga.
Seusai merombak kabinet secara terbatas, menyeruak harapan di masyarakat,
para menteri bisa fokus bekeija merealisasikan sejumlah agenda dan memastikan
optimisme tumbuh kembang dalam basis
fundamental birokrasi yang dipimpin Jokowi. Salah satu fungsi penting yang harus
serius ditangani Jokowi dttngan sejumlah
menterinya adalah optimalisasi tata kelola
komunikasi pemcrintal1an.
Koordinasi menjadi kata kunci yang
relevan diperhatikan. Dengan begitu, semua elemen yang menggerakkan roda
pemerintahan tak bcrjalan serampangan.
Konteks komunikasi
Kasus Menteri Koordinator Kcmaritiman Rizal Ramli menjadi studi kasus
yang menarik dalam tclaah aktor atau
komunikator politik di Kabinet Kerja. Kritik tajam dalam pernyataan terbukanya
kepada media tentang rencana pembelian
pesawat Airbus A350 olch Garuda serta
proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) mencengangkan banyak kalangan, mungkin termasuk di lingkar utama Istana. Jika mcmakai pendekatan Dominic Ifanta dahun tulisannya Argumentativeness and ~erbal Aggressiveness
(1996), tindakan Rizal Ramli bisa dikategorikan sebagai agresi khas orang atau
kelompok pengkritik di luar kekuasaan.
Biasanya, ada dua sifat agresi yang dominan pada diri pengkritik, yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal.
Kesukaan berdebat merupakan tendensi
mengajak bercakap-cakap tentang topik-
topik kontroversial. Sementara keagresifan verbal adalah kebiasaan menyerang ide,
keyakinan, ego, atau konsep diri di mana
argum~n bernalar.
Di alam demokrasi yang menjadikan
kebebasan berpendapat sebagai nilai fundamental, sesungguhnya tindakan seperti
yang dilakukan Rizal Ramli bukan masalah
besar. Namun, dengan catatan jika ia berposisi sebagai ekonom independen atau
kritikus di luar birokrasi pemerintahan.
Sangat mungk:in, secara substansial isi
pesan dalam bungkus agresivitas verbal
Rizal Ramli itu ada benarnya. Misalnya,
memperingatkan keras Garuda jika menggelontorkan dana untuk membeli sejumlah pesawat Airbus A350. Pun demikian
dengan kritik Rizal soal megaproyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW
yang dianggapnya tak realistis. Seperti apa
relasi kuasa di balik konstruksi makna
yang didistribusikan Rizal kepada khalayak, hanya dia dan pihak-pihak tertentu
yang tahu. Siapa yang sesungguhnya dibidik dalam kritik Rizal dan adakah back
up dukungan dari orang atau kekuatan
tertentu yang menjadi struktur tak terlihat
di balik pernyataan Rizal? Sangat spekulatif dan multitafsir, meski jika ditelisik
bisa saja dipetakan.
Yang mcnjadi masalah utama adalah
meletakkan agresivitas verbal Rizal Ramli
dalam konteks komunika'ii politik Kabinet
Kerja. Ini berdampak pada munculnya
masalah baru, yakni etika dan prosedur
komunikasi serta manajemen birokrasi di
bawah kepemimpinan Jokowi.
Dalam telaal1 Dan ~immo di bukunya
Political Communication and Public Opinion in America (1996), mustahil seorang
pemimpin dapat mengoordinasikan tata
nilai politik dan idealisasi sosial secara
seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik. Hal yang dituntut pasti dari Jokowi adalah kinerja
optimal Kabinet Ket~ja, sehingga pemerintah harus hadir dalam denyut keseharian masyarakat dan menjadi bagian
utuh penyelesaian masalall.
___ _
Sambungan
Somber:
Hariffgl:
Jika para menteri sibuk silang sengketa
dengan sesama kolega atau menteri
koordinator terkesan memprovokasi untuk berdebat secara terbuka dengan wapres, tentu bukan hanya tidak elegan,
tetapi juga menimbulkan masalah baru.
Hal seperti m1 bisa mengganggu
koordinasi, menciptakan kesenjangan komunikasi, dan sangat mungkin merusak
harmoni di an tara para menteri di Kabinet
Kerja. Jika tidak hati-hati dalam manajemen konfliknya, perilaku sejenis ini juga
berpotensi merusak persepsi positif dan
reputasi pemerintahan Jokowi. Kritik Rizal secara prosedural dan etis akan lebih
tepat disampaikan di rapat kabinet, bukan
secara sporadis dilempar kepada publik
karena berpotensi digoreng "setengah rnatang" oleh banyak pihak hingga akhirnya
dikonsumsi secara tak sehat oleh masyarakat awan1.
Meminjam konstruksi berpikir teori
manajemen pri\'asi komu~ikasi dari Petronio dalam Boundaries ofPrivacy: Dialectics of Disclosure (2002), harusnya Rizal
memiliki pilihan d<m peraturan sendiri
mengenai apa yang harus dikatakan dan
apa yang harus disimpan dari publik berdasarkan "kalkulus mentalnya". Rizal wajib mempertimbangkan kriteria penting
tidaknya sesuatu yang mau dia sampaikan
kepada publik mengingat konsekuensi
pernyataannya bagi tugas pokok kabinet
dan reputasi pemerintahan tempat dia
bekerja. Jika secara argumentatif kritik
Rizal masuk akal dan visioner, tentu harus
Rizal perjuangkan di rapat-rapat kabinet,
bukan berdialektika secara prematur di
media massa. Terlebih dalam sistem presidensial, tugas menteri membantu presiden untuk menyukseskan sejumlah agenda yang telah dicanangkan, baik jangka
pendek, menengah, maupun panjang.
Kerja vs wacana
Sesungguhnya kasus Rizal Ramli hanya
satu di antara sekian persoalan komunikasi yang muncul di era Jokowi. Sekadar
mengingatkan, eli fase awal pemerintahan,
Menko Polhukam (saat itu) Tedjo Edhy
Purdijatno dan Sekretaris Kabinet (saat
Hlm/Kol:
itu) Andi Widjajanto sering kali disorot
karena kontroversinya mengelola komunikasi politik di tengah banyak tekanan.
Koordinasi komunikasi dan administrasi pemerintahan menjadi salah satu
titik lemah selain penanganan hi dang ekonomi, politik, hukum, dan keamanan. Sementara Kabinet Kerja harus berkejaran
dengan waktu dan harapan rakyat yang
membubung tinggi. Upaya mencari titik
keseimbangan politik di antara beragam
kekuatan yang terfragmentasi sedemikian
rupa membuat Jokowi belum optimal
mengubah wacana kampanyenya saat pilpres dengan kerja nyata yang terkoordinasikan dengan baik.
Saatnya narasi revolusi mental dengan
landasan nilai kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya itu mengejawantah dalam kerja untuk rakyat. Walter Fisher,
teoretikus paradigma naratif, menekar!kan
pentingnya membangun rasionalitas naratif. Tak semua narasi memiliki power
yang sama untuk bisa dipercayai. Ada dua
hal prinsip yang harus kctemu, yakni
koherensi dan kebenaran. Bukan hanya
koheren sebagai sebuah wacana, tetapi
juga ada kebenaran yang dapat dirasakan
banyak orang.
Untuk mengurai kusut masainya persoalan tata kelola komunikasi ini, Jokowi
harus memastikan semua menterinya loyal, memiliki visi-misi yang sama dengan
Presiden, serta tahu persis Kabinet Kerja
akan melangkah ke mana. Kabinet Kerja
bukan semata menampung para penunggang gelap kekuasaan dan bukan pula
kritikus yang hobi meniupkan gelembung
isu, tetapi tunakuasa saat diajak bekerja.
Kabinet Kerja benar-benar butuh menteri
yang bekerja bukan mengumbar wacana!
GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political
Literacv Institute
dan Dosen Komunikasi Politik
UIN Jakarta
Download