22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 2. Pada bulan pertama kebuntingan, didapatkan jumlah sel darah merah yang beragam antarkelompok perlakuan meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata secara statistik. Jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) menunjukkan nilai jumlah sel darah merah yang paling tinggi dengan jumlah 14,83±0,87 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah terendah ada pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak plus (kontrol) dengan jumlah sel darah merah 11,50±1,50 x 106/mm3. Satu-satunya faktor yang secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut ialah faktor superovulasi (SO), sedangkan faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Tabel 2 Bulan Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan Kontrol TM SO TM SO*TM Kontrol SO Kontrol SO 1 11,50±1,50a 13,73±0,85 a 11,71±3,20a 14,83±0,87 a * - - 2 11,73±1,73 a 14,85±0,72 ab a 15,68±0,96 b * - - 11,55±1,90 a 15,03±0,48 ab 16,08±0,51 b * - - 11,40±1,60 a 15,13±0,55 b 15,43±0,52 b * * - 10,95±0,91 a 14,88±0,46 c c * * * 3 4 5 12,38±2,17 13,05±1,58 ab 13,33±0,94 ab 13,40±0,77 b 14,88±0,96 Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Pada kelompok domba yang disuperovulasi, domba induk memiliki jumlah fetus lebih banyak daripada kelompok perlakuan lainnya sehingga sangat mempengaruhi metabolisme induk domba tersebut. Perubahan metabolisme 23 tersebut disebabkan oleh lebih banyaknya sekresi hormon kebuntingan (Andriyanto dan Manalu 2011). Selain sekresi hormon kebuntingan yang meningkat, kondisi kebuntingan juga mempengaruhi sekresi hormon lain yang juga mempengaruhi proses metabolisme seperti hormon tiroid (Guyton dan Hall 1997). Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi ialah adanya peningkatan jumlah sel darah merah. Walaupun kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus, akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi peningkatan jumlah sel darah merah. Berdasarkan penghitungan statistik, faktor pemberian ekstrak temulawak plus (TM) dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah setiap kelompok perlakuan. Pada bulan kedua, didapatkan jumlah sel darah merah tertinggi, yaitu pada kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) dengan jumlah 15,68±0,96 x 106/mm3 dan terendah pada kelompok kontrol dengan jumlah sel darah merah 11,73±1,73 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan pertama. Peningkatan jumlah sel darah merah dari bulan pertama ke bulan kedua dari kelompok domba kontrol adalah sebesar 2%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi memiliki nilai peningkatan yang sama, yaitu sebesar 5,7%. Peningkatan jumlah sel darah merah terbesar ada pada kelompok domba yang disuperovulasi, yaitu sebesar 8,2%. Berdasarkan perhitungan statistik, pada bulan kedua mulai terlihat adanya nilai yang berbeda nyata pada kelompok perlakuan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah pada bulan kedua ialah faktor superovulasi. Pada bulan ketiga kebuntingan, kondisinya tidak berbeda jauh dengan bulan kedua maupun bulan pertama, yaitu kelompok domba yang disuperovulasi dan diberi ekstrak temulawak memiliki jumlah sel darah merah tertinggi, sedangkan pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak memiliki jumlah sel darah merah terendah. Perbedaan yang 24 muncul pada bulan ketiga dan bulan pertama hanya terdapat pada peningkatan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Namun, jika dibandingkan pada bulan kedua, hanya kelompok kontrol yang mengalami penurunan jumlah sel darah merah, yaitu sebesar 1,53%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok perlakuan terjadi seiring dengan peningkatan umur kebuntingan. Faktor pemberian ekstrak temulawak plus mulai memberikan pengaruh pada jumlah sel darah merah pada bulan keempat. Pada bulan keempat, selain faktor pemberian ekstrak temulawak plus, faktor superovulasi juga memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah pada kelompok domba perlakuan. Akan tetapi, faktor kombinasi antara superovulasi dengan pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) belum memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah kelompok domba perlakuan. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak dan disuperovulasi memberikan jumlah tertinggi dibanding kelompok lainnya. Meskipun mempunyai nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain, kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi sekaligus mengalami penurunan jumlah sel darah merah sebesar 4% dibandingkan pada bulan ketiga. Pada bulan kelima kebuntingan, faktor superovulasi, faktor pemberian ekstrak temulawak plus, dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus secara signifikan telah memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan bulan keempat, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok pada bulan kelima mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah yang tidak signifikan, yaitu sebesar 0,52%. Selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah, didapatkan jumlah sel darah merah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (TM SO) selalu memberikan jumlah sel darah merah tertinggi, sedangkan kelompok domba yang tidak diberi ekstrak temulawak plus dan tidak disuperovulasi (kontrol) selalu memberikan jumlah sel darah merah yang terendah. Selain itu, selama lima bulan pengamatan terhadap 25 jumlah sel darah merah didapatkan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dari kelompok kontrol maupun kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM). Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibanding kelompok SO maupun kelompok TM dan SO, namun selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah. Pada bulan kelima kebuntingan, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) yang justru mengalami sedikit peningkatan. Jumlah sel darah merah dalam sistem sirkulasi tubuh diatur secara terbatas sehingga memadai untuk selalu menyediakan oksigen bagi jaringan (Guyton dan Hall 1997). Sel darah merah mempunyai tiga fungsi penting yaitu transportasi oksigen ke jaringan, transportasi karbon dioksida ke paru-paru, dan sebagai penyangga atau buffer ion hidrogen (Meyer dan Harvey 2004). Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan secara keseluruhan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987) didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 x 106/mm3. Nilai tersebut juga tidak berbeda jauh dari hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Kozat et al. pada tahun 2003 yang melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba tidak bunting adalah sebesar 11,72±71 x 106/mm3. Pada tahun 2006, Kozat et al. juga melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba bunting adalah sebesar 12,02±69 x 106/mm3 yang berarti bahwa jumlah sel darah merah pada domba bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting. Selain peningkatan, penurunan jumlah sel darah merah juga terjadi pada setiap kelompok domba perlakuan. Penurunan jumlah sel darah merah terjadi menjelang kelahiran yang juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Maheshwari et al. (2001). Penurunan jumlah sel darah merah pada bulan kelima terjadi karena peningkatan stres menjelang kelahiran. Pada masa menjelang kelahiran, terjadi peningkatan hormon-hormon stres yang mempengaruhi metabolisme tubuh (Guyton dan Hall 1997). Penurunan jumlah sel darah merah 26 menjelang kelahiran juga dilaporkan pada penelitian yang dilakukan Iriadam (2007). Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba pada pertengahan masa kebuntingan adalah 16,94±0,23 x 106/mm3 sedangkan pada akhir kebuntingan ialah 15,40±0,49 x 106/mm3. Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Jumlah sel darah merah mengalami kenaikan sampai dengan bulan ketiga dan mengalami penurunan pada bulan keempat menuju bulan kelima. Pada kelompok kambing yang melahirkan anak kembar dan normal akan mengalami peningkatan jumlah sel darah merah sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan (Maheshwari et al. 2001). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian pada kelompok domba yang disuperovulasi (SO) yang sampai pada bulan keempat kebuntingan terus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel darah merah akan mengalami peningkatan pada bulan-bulan awal kebuntingan. Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan ialah faktor superovulasi. Perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus dan perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak memberikan pengaruh sampai bulan ketiga. Pemberian ekstrak temulawak plus baru mempengaruhi jumlah sel darah merah pada masa menjelang kelahiran, yaitu bulan keempat dan kelima sedangkan interaksi antara faktor superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus dalam mempengaruhi jumlah sel darah merah baru terjadi pada bulan kelima. Menjelang kelahiran, terjadi peningkatan stres pada tubuh induk yang mempengaruhi level antioksidan alami tubuh. Jumlah antioksidan tersebut sangat berpengaruh pada umur sel darah merah (Kurata et al. 1993). Salah satu senyawa bermanfaat yang dimiliki temulawak ialah kurkuminoid. Kurkuminoid mampu memperbaiki level dari malonildialdehida (MDA), superoksida dismutase (SOD), dan glutation peroksidase (GSH-Px) (Kalpravidh et al. 2010). Ketiga senyawa tersebut merupakan antioksidan alami yang ada di dalam tubuh yang dapat mengurangi kerusakan sel karena stress oksidatif. 27 Jumlah sel darah merah akan mengalami penurunan pada masa akhir kebuntingan atau menjelang kelahiran. Penurunan jumlah sel darah merah tersebut tidak hanya terjadi pada domba namun juga pada hewan bunting lainnya, seperti pada kuda, babi, dan anjing (Jain 1993; Vihan dan Rai 1987). Penurunan jumlah sel darah merah pada masa akhir kebuntingan menimbulkan efek hemodilusi atau pengenceran darah sebagai akibat dari meningkatkanya plasma darah. Kondisi tersebut juga telah diteliti pada kambing yang sedang bunting (Azab dan Maksoud 1999). Mekanisme kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah selama kebuntingan sangat terkait dengan proses hormonal. Perlakuan superovulasi sebelum adanya perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, konsentrasi rata-rata hormon estrogen induk, konsentrasi hormon progesteron, jumlah litter size, rata-rata bobot lahir anak, dan produksi susu masing-masing sebesar 112, 67, 42, 27, 32, dan 35% (Adriani et al. 2007). Selanjutnya, profil kenaikan dan penurunan dari jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 1. Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan. Kenaikan kadar hormon estrogen dan progesteron memiliki hubungan yang erat dengan total bobot lahir anak. Semakin tinggi konsentrasi progesteron 28 dan estrogen selama kebuntingan maka bobot total lahir anak juga semakin tinggi (Sumaryadi 2004). Total bobot lahir anak menggambarkan proses pertumbuhan yang dialami fetus selama kebuntingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan hormon progesteron selama kebuntingan memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1998) Kelompok perlakuan yang mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus (TM dan TM SO) memiliki jumlah sel darah merah yang lebih tinggi dari kontrol. Kandungan vitamin A, D, dan B kompleks yang terdapat pada ekstrak temulawak plus diduga memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah sel darah merah. Pada manusia, suplementasi vitamin A dilaporkan dapat menurunkan tingkat kematian pada anak yang baru lahir ketika ibunya menderita defisiensi vitamin A (Rotondi dan Khobzi 2010). Pemberian piridoksin (B6) mampu meningkatkan proliferasi sel diferensiasi neuroblast pada saraf (Yoo et al. 2011). Vitamin D dan K secara sinergis memberikan manfaat pada tulang dan sistem kardiovaskular (Kidd dan Paris 2010). Pemberian suplementasi vitamin D pada induk babi selama kebuntingan dapat memberikan kecukupan kebutuhan mineralisasi tulang fetus (Witschi et al. 2011). 4.2. Hematokrit Nilai hematokrit setiap kelompok perlakuan selama lima bulan dapat dilihat pada Tabel 3. Faktor yang memberikan pengaruh pada nilai hematokrit dari bulan pertama sampai dengan bulan kelima ialah faktor superovulasi. Faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi antara superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada perbedaan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan. Selama lima bulan pengamatan terhadap nilai hematokrit kelompok domba perlakuan selalu didapatkan nilai hematokrit tertinggi pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi (TM SO), sedangkan nilai terendah ditemukan pada kelompok domba yang yang tidak diberi ekstrak temulawak plus dan tidak disuperovulasi (kontrol). Selain itu, nilai hematokrit dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu lebih tinggi dibanding kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) dan kelompok domba kontrol. Nilai hematokrit dari 29 kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus selalu lebih tinggi dari kontrol namun lebih rendah dari kelompok domba yang disuperovulasi dan kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Perbedaan nilai hematokrit yang ada tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan. Tabel 3 Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan Bulan Kontrol TM SO TM SO*TM Kontrol SO Kontrol SO 1 23,80±1,58a 26,85±1,30a 24,90±2,69a 26,85±1,30a * - - 2 24,15±1,52 a b * - - 3 23,78±1,07a 28,20±0,80b * - - 4 23,43±0,99 a 27,50±0,55 b * - - 23,05±0,26 a 27,00±0,66 b * - - 5 27,28±1,13 ab 27,00±1,14ab 27,15±1,27 b 26,80±0,43 b 25,13±2,47 ab 24,90±1,79ab 24,55±0,55 a 24,40±1,32 a 28,20±0,80 Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Nilai hematokrit bulan pertama dari kelompok yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus, yaitu 26,85±1,30%, memberikan nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus yang juga memiliki jumlah sel darah merah tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Nilai hematokrit pada bulan kedua dari setiap kelompok domba perlakuan mengalami kenaikan dengan pola perbandingan yang hampir sama kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Pada bulan kedua, nilai hematokrit tertinggi sebesar 28,20±0,80% ada pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus yang menunjukkan kenaikan nilai hematokrit sebesar 5% dibanding pada bulan pertama. Nilai hematokrit terendah pada bulan kedua sebesar 24,15±1,52% pada kelompok domba kontrol yang menunjukkan kenaikan sebesar 1,5%. Hematokrit merupakan nilai yang menunjukkan fraksi sel darah merah di dalam darah (Cunningham 1997). Kenaikan nilai hematokrit pada domba 30 penelitian secara nyata hanya terjadi pada bulan kedua. Kenaikan nilai hematokrit pada bulan kedua sejalan dengan kenaikan jumlah sel darah merah pada bulan kedua pada setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting (1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang dilaporkan oleh Ginting adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat et al. (2003) yang melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting adalah 34±3% sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al. 2006). Kelompok domba perlakuan yang memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai tersebut ialah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Pengamatan nilai hematokrit tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 2. Grafik 2 Nilai hematokrit induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan sama persis dengan pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah 31 merahnya. Hal tersebut terjadi karena nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah merah. Pola kenaikan nilai hematokrit terjadi pada bulan-bulan awal kebuntingan, sedangkan pada masa menjelang kelahiran mengalami penurunan karena jumlah sel darah merah juga mengalami penurunan. Penurunan nilai hematokrit juga akan terus terjadi sampai dengan periode setelah kelahiran (Azab dan Maksoud 1999). Secara fisiologis, nilai hematokrit pada hewan bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ketika tidak bunting. Hal tersebut dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah. Selain volume plasma darah, total air tubuh juga meningkat termasuk air ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Kenaikan volume plasma darah pada kebuntingan kembar jauh lebih tinggi dibandingkan pada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan plasma darah di dalam tubuh akan menyebabkan pengenceran darah atau dikenal dengan hemodilusi yang pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 1997). Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al. 2010). Kondisi hemodilusi juga memperlancar aliran darah dalam pembuluh darah kapiler plasenta. Aliran pembuluh darah yang lancar pada plasenta akan meningkatkan proses difusi oksigen dan nutrisi pada fetus (Pere et al. 1996). Kondisi hemodilusi pada akhir masa kebuntingan juga dilaporkan terjadi pada kambing Saanen (Biagi et al. 1988) dan pada kambing Danish landrace (Mbassa dan Poulsen 1991). 4.3. Hemoglobin Fungsi utama hemoglobin ialah untuk pengangkutan oksigen dan karbon dioksida di dalam darah (Cunningham 1997). Kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) yang melaporkan kadar hemoglobin pada 32 penelitiannya sebesar 11 gram%. Nilai tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin yang dilaporkan Kozat et al. (2003), yaitu sebesar 12,2±0,7 gram% pada domba tidak bunting dan sebesar 12,3±0,58 gram% pada domba bunting. Kadar hemoglobin pada domba yang bunting dan tidak bunting tidak begitu mengalami perubahan (Kozat et al. 2006). Perbedaan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan secara umum dipengaruhi oleh faktor superovulasi. Pada bulan kedua, kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan hampir memiliki nilai yang sama sehingga tidak didapatkan faktor yang secara signifikan mempengaruhi kadar hemoglobin. Pada bulan kelima, faktor pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh pada perbedaan kadar hemoglobin domba penelitian. Perbedaan kadar hemoglobin yang disebabkan oleh faktor pemberian ekstrak temulawak plus tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merahnya. Data kadar hemoglobin domba penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 4 Kadar hemoglobin (gram%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan Bulan Kontrol TM SO TM SO*TM Kontrol SO Kontrol SO 1 12,30±1,10a 14,03±0,79a 12,98±1,07a 14,25±1,20a * - - 2 13,00±1,28a 14,75±0,99a 14,05±1,79a 14,98±0,95a - - - 3 12,90±1,49 a 15,68±0,74 b * - - 4 12,45±0,65 a 15,38±0,33 b * - - 5 12,55±0,42a 15,20±0,42c * * - 14,70±0,90 ab 14,70±0,50 b 14,00±0,14b 13,25±1,76 ab 12,43±0,99 a 13,58±0,53b Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Kadar hemoglobin dalam darah tidak mengalami perubahan yang signifikan meskipun jumlah sel darah merah mengalami perubahan selama masa kebuntingan (Jain 1993; Iriadam 2007). Kadar hemoglobin yang cenderung stabil selama proses kebuntingan memberikan banyak manfaat. Kadar hemoglobin yang stabil menjaga dan mencegah penurunan kadar oksigen dalam darah. Proses difusi oksigen dari darah induk ke darah fetus bergantung pada perbedaan tekanan 33 oksigen antara darah induk dan fetus. Oleh karena itu, jika terjadi penurunan kadar hemoglobin di dalam darah induk dapat menyebabkan penurunan pengangkutan oksigen ke fetus (Guyton dan Hall 1997). Kadar hemoglobin darah baru mengalami perubahan berupa penurunan pada periode setelah melahirkan (Azab dan Maksoud 1999). Pengamatan jumlah kadar hemoglobin tiap bulan selama lima bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Gambar 3. Grafik 3 Kadar hemoglobin induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan. Pola kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki pola yang hampir sama dengan kenaikan dan penurunan pada jumlah sel darah merah dan hematokritnya kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus. Pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus justru terjadi kenaikan kadar hemoglobin dari bulan keempat sampai bulan kelima. Secara umum, pola kenaikan kadar hemoglobin sama dengan pola kenaikan jumlah sel darah merah dan hematokritnya, yaitu kenaikan terjadi pada masa-masa awal kebuntingan. Pada masa-masa akhir kebuntingan 34 terjadi penurunan baik kadar hemoglobin, hematokrit, ataupun jumlah sel darah merahnya. Pola kenaikan kadar hemoglobin, hematokrit, dan sel darah merah yang terjadi pada masa-masa awal kebuntingan terkait dengan proses metabolisme yang terjadi. Pola perubahan gambaran darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, di antaranya pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan,siklus reproduksi, dan kebuntingan (Jain 1993). Kondisi kebuntingan menyebabkan perubahan pada proses metabolisme yang terlihat dari gambaran darahnya. Proses perubahan gambaran darah tersebut merupakan mekanisme fisiologi yang berbeda yang merupakan proses adaptasi tubuh induk selama masa kebuntingan (Azab dan Maksoud 1999). Perlakuan superovulasi secara nyata meningkatkan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba penelitian. Peningkatan nilai-nilai tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi selama periode kebuntingan. Faktor superovulasi secara signifikan memberikan pengaruh kenaikan pada periode awal kebuntingan dan penurunan pada akhir masa kebuntingan. Perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh signifikan pada gambaran sel darah merah pada akhir periode kebuntingan. Pemberian ekstrak temulawak plus memberikan pengaruh karena di dalamnya terkandung zat berkhasiat seperti kurkuminoid dan beberapa vitamin. Kurkuminoid berkhasiat sebagai antioksidan sedangkan vitamin berperan dalam proses metabolisme selama periode kebuntingan.