Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Pembangunan wilayah pesisir merupakan salah satu sektor pembangunan yang memiliki arti penting bagi Indonesia. Selain karena lokasinya yang strategis, berada di wilayah peralihan darat dan laut, wilayah pesisir juga mempunyai potensi sumber daya alam dan penyedia jasa lingkungan yang sangat kaya. Sayangnya sistem perencanaan tata ruang wilayah Indonesia yang selama ini lebih menekankan pada tata ruang daratan telah menimbulkan berbagai permasalahan wilayah pesisir seperti program pembangunan antar sektor yang tumpang tindih, masalah kemiskinan masyarakat, sampai pada masalah kerusakan lingkungan. Dimulainya era baru dalam perencanan tata ruang yang memandang wilayah pesisir sebagai suatu wilayah dengan karakteristik dan fungsi tersendiri dalam kegiatan perencanaan dan bukan hanya bagian dari wilayah daratan diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang selama ini terjadi. Salah satu kawasan yang berperanan penting dalam pembangunan wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem ini merupakan salah satu ekosistem khas pembentuk daerah pesisir yang sudah diketahui memiliki banyak manfaat. Bagi manusia ekosistem ini dimanfaatkan terutama sebagai bahan bakar dan bahan bangunan. Sedangkan bagi biota laut seperti ikan dan udang, mangrove mereka jadikan sebagai tempat berkembang biak dan mencari makan. Perencanaan pengelolaan ekosistem ini secara berkelanjutan akan membantu upaya perlidungannya dari kepunahan, sehingga manfaatnya akan dapat terus dirasakan oleh makhluk hidup. Selain itu dengan kemampuannya menahan laju abrasi pantai yang dapat terjadi akibat gelombang dan tekanan air laut, kelestarian ekosistem ini dalam jangka panjang juga akan berdampak pada kelestarian wilayah pesisir. 1 Indonesia memiliki kawasan hutan mangrove yang luas yaitu sekitar 4,25 juta hektar dan meliputi 25% dari seluruh kawasan mangrove dunia. Mangrove yang ada di Indonesia juga merupakan salah satu pusat biogeografis dari sejumlah genus mangrove (Quarto, www.earthisland.org/map), dengan sekitar 75 spesies vegetasi mangrove yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia (Inoue et al 1999 dalam Gunarto, 2004). Ekosistem mangrove ini tersebar sebagian besar di Pulau Irian, Sumatera dan Kalimantan. Dengan melihat manfaat dari mangrove serta potensinya yang cukup besar, maka pengelolaan mangrove yang tepat akan berdampak pada kelestarian wilayah Indonesia secara teritorial dan juga perlindungan keanekaragaman hayati dunia. Dewasa ini ancaman terhadap keberlangsungan ekosistem mangrove semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya populasi manusia dan aktifitasnya, ekosistem ini telah mengalami konversi menjadi berbagai peruntukan di antaranya sebagai kawasan permukiman, industri, pariwisata, lahan tambak dan lahan pertanian. Akibatnya jumlah hutan mangrove semakin menurun dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terjadi penurunan luas lahan hutan mangrove di Indonesia menjadi tinggal sekitar 2,5 juta hektar (Bappenas, 2004). Propinsi Kalimantan Barat yang sebagian wilayahnya terletak di daerah pesisir memiliki potensi hutan mangrove yang cukup besar yaitu sekitar 470 ribu ha. Potensi tersebut tersebar terutama di empat Kabupaten yaitu Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang. Namun hampir setengah dari luasan tersebut (44,36%) telah mengalami kerusakan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim fakultas kehutanan IPB pada tahun 1999, diketahui bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor fisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat. Mereka yang bermata 2 pencaharian sebagai petani dan petambak memberikan pengaruh dominan terhadap kerusakan mangrove dengan mengkonversi areal hutan tersebut menjadi daerah pemukiman, pertanian dan pertambakan. Selain itu kerusakan tersebut juga dikarenakan pemanfaatan kayunya untuk industri kertas dan arang (Dahuri, 2003). Sehingga dapat dipastikan bahwa dengan meningkatnya populasi, mobilitas dan aktifitas penduduk serta semakin intensifnya kegiatan pembangunan akan mengakibatkan ekosistem mangrove semakin tereksploitasi. Kerusakan ekosistem mangrove apabila dibiarkan akan menimbulkan dampak yang serius bagi ekosistem suatu daerah secara keseluruhan. Di Kalimantan Barat salah satu dampak yang paling ekstrim adalah terjadinya peningkatan laju abrasi di sepanjang pesisir pantai. Eksploitasi tehadap hutan mangrove yang telah dilakukan sejak tahun 60-an mengakibatkan pergeseran garis pantai di beberapa daerah semakin besar, bahkan ada yang telah menyentuh badan jalan. Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa sekitar 13,51 km pantai yang tersebar di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas mengalami kondisi tersebut. Akibatnya puluhan rumah tersapu oleh arus ombak dan jalan yang berada di sepanjang garis pantai menjadi mudah rusak. Dengan telah dikeluarkannya UU Otonomi Daerah, maka pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur pengelolaan wilayah pesisir, di mana ekosistem mangrove adalah bagian di dalamnya, untuk meningkatkan kesejahteraan perundangan yang masyarakat sesuai dengan ketentuan berlaku. Berpijak pada pelimpahan kewenangan tersebut, maka dalam upaya mengatasi kerusakan ekosistem mangrove , salah satu kebijakan pengelolaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Propinsi Kalimantan Barat adalah pengembangan silvofishery dengan pilot proyek pemerintah adalah tambak udang silvofishery di Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak. Penggunaan sistem ini secara luas 3 diharapkan dapat menekan laju kerusakan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove di propinsi ini. Silvofishery merupakan suatu sistem yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung upaya pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. Dalam sistem ini kawasan hutan dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan atau biota laut lainnya, sambil dilakukan tindakan perlindungan, pelestarian dan atau rehabilitasi pada kawasan hutan yang bersangkutan. Sehingga paling tidak ada dua manfaat yang dapat diperoleh yaitu manfaat ekologis dengan terjaganya fungsi hutan dan manfaat ekonomis melalui produksi ikan atau udangnya. Ancaman terhadap eksploitasi ekosistem mangrove oleh masyarakat dapat dikurangi karena mereka dapat menjual hasil ikan atau udang yang dikembangbiakkan di areal hutan tersebut. Selain itu diharapkan juga dengan sistem ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat secara berkesinambungan mengingat bahwa masih banyak penduduk di daerah pesisir yang hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu penerapan sistem ini secara berkelanjutan akan berdampak pada kelestarian ekosistem mangrove dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah pesisir. Untuk mengetahui apakah suatu sistem silvofishery dapat terus berlanjut salah satu informasi yang diperlukan adalah keberlanjutan secara ekologi. Keberlanjutan secara ekologi berhubungan dengan kemampuan sumber daya alam yang ada untuk mendukung tambak sistem silvofishery baik berupa produk maupun jasa lingkungannnya. Jika kebutuhan akan sumber daya alam melebihi daya dukung lingkungan maka dapat dipastikan bahwa secara ekologi sistem silvofihery tidak akan lestari, dan sebaliknya. Selain itu keberlanjutan ekologi ini juga mensyaratkan adanya batasan maksimal pengkonversian hutan mangrove menjadi tambak silvofishery untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan akibat aktifitas tambak. 4 Metode yang dapat digunakan untuk menganalisa keberlanjutan secara ekologi ini adalah metode ecological footprint. Metode ini merupakan perangkat yang sangat berguna untuk mengetahui keberlanjutan suatu aktivitas atau proses pembangunan yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya alam dan daya dukung sumber daya yang ada. Di sini akan dikaji tentang hubungan antara besarnya konsumsi, yang dinyatakan dengan nilai ecological footprint, dengan ketersediaan sumber daya yang ada untuk mendukung laju konsumsi tersebut yang dinyatakan dengan area bioproduktif (Chambers et.al, 2002 dalam www.steppingforward.or.uk). Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan metode ini adalah pertama, komponen kebutuan sumber daya alam termasuk ekosistem mangrove di dalamnya akan tergambar dengan jelas baik berupa produk maupun jasa lingkungan. Kedua, dengan metode ini dapat diketahui apakah ruang ekologi yang dibutuhkan oleh suatu kegiatan sesuai dengan daya dukung sumber daya alam yang tersedia, yang nantinya digunakan sebagai indikator dalam menentukan keberlanjutannya. Manfaat lain yang diperoleh dari penggunaan metode ini adalah hasil perhitungannya dapat dijadian acuan untuk menentukan ratio antara ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dan yang harus tetap dipertahankan agar daya dukungnya tidak berkurang. Dengan menghitung besarnya ratio ini nantinya dapat ditentukan luas maksimal ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak. I.2. Rumusan Permasalahan Desa Dabung merupakan desa yang terletak pada kawasan lindung ekosistem mangrove. Kondisi mangrove di desa ini masih tergolong bagus dan tumbuh dengan subur. Bahkan pemerintah telah merencanakan hutan mangrove di desa ini dan sekitarnya yang termasuk dalam kawasan mangrove Batu Ampar akan ditetapkan sebagai Indonesia Mangrove 5 Centre yang menitikberatkan pada kegiatan penelitian dan pelestarian mangrove. Namun kelestarian mangrove di daerah ini mulai terancam dengan adanya kegiatan pertambakan oleh masyarakat. Kegiatan pertambakan yang mengkonversi hutan mangrove semakin lama semakin meningkat baik dari jumlah pelakunya maupun luas arealnya. Pada tahun 1997 saat kegiatan pertambakan pertama kali dilakukan hanya ada satu orang yang mengusahakannya dengan luas 6.2 Ha. Pada tahun 2003 luas areal mangrove yang ditebang menjadi sekitar 209 Ha dengan jumlah petambak sebanyak 34 orang. Sekarang ini luasnya telah mencapai 350 Ha dengan jumlah petambak sebanyak 54 orang. Jika diamati ada kecenderungan peningkatan luas tambak yang cukup signifikan dari waktu ke waktu yang berdampak pada menurunnya luasan ekosistem mangrove. Persoalan ini merupakan dilema terutama bagi pemerintah. Di satu sisi hutan mangrove di Desa Dabung termasuk dalam kawasan lindung dan harus dijaga kelestariannya. Namun di sisi lain tindakan masyarakat untuk mengkonversi hutan menjadi tambak sulit untuk dicegah karena berkaitan dengan kebutuhan mereka untuk melangsungkan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Untuk mengatasi persoalan ini sebenarnya ada beberapa langkah pengelolaan yang dapat diterapkan oleh pemerintah seperti pengembangan pusat penelitian dan pendidikan atau daerah ekowisata pada ekosistem mangrove. Tetapi mengingat ancaman utama kelestarian ekosistem mangrove di Desa Dabung pada saat ini adalah meningkatnya pembukaan lahan mangrove menjadi kawasan pertambakan, maka penerapan silvofishery merupakan suatu langkah yang tepat untuk menghambat laju kerusakan ekosistem mangrove dan memperbaiki kondisinya yang mulai rusak. Selain itu dengan sistem silvofishery pendapatan masyarakat masih digantungkan pada produksi tambak yang berarti tidak terlalu jauh berbeda 6 dari usaha pengelolaan yang telah dilakukan sebelumnya. Hanya saja pada sistem ini masyarakat perlu megubah tambak-tambak yang sudah ada menjadi tambak-tambak silvofishery yang lebih menekankan pada kelestarian ekosistem mangrove. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan sistem silvofihery ini diharapkan dapat meminimalkan konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat dan mendukung upaya pembangunan hutan mangrove berkelanjutan di Propinsi Kalimantan Barat. Dengan pola kegiatan yang memadukan nilai ekonomis dan ekologis, kelestarian sistem silvofisheri dengan sendirinya dapat mendukung kelestarian ekosistem hutan mangrove. Permasalahannya adalah tambak silvofishery yang dikembangkan di Desa Dabung adalah yang pertama kali dilakukan oleh pemerintah pada ekosistem mangrove. Selain tambak ini terdapat pula dua buah tambak lain milik masyarakat yang dikelola berdasarkan inisiatif mereka sendiri dan juga masih dalam taraf percobaan. Dengan kondisi seperti ini berarti informasi tentang keberlanjutan tambak silvofihery tersebut masih sangat terbatas. Sehingga diperlukan suatu kajian untuk mengungkapnya guna mendukung pengembangan sistem ini dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari. Di samping itu pemerintah juga belum menetapkan suatu ketentuan batasan maksimal atau ratio pengkonversian ekosistem mangrove menjadi lahan tambak silvofishery. Padahal penentuan besarnya lahan yang dapat dikonversi menjadi lokasi tambak sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang dapat mengancam kelestarian ekosistem mangrove dan menurunnya produktivitas tambak. Keberadaan ekosistem mangrove harus tetap dipertahankan dalam proporsi tertentu untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan komoditas 7 yang dibudidayakan terutama berkaitan dengan kemampuan ekosistem mangrove sebagai biofilter alami bagi sejumlah polutan yang dihasilkan dari tambak. Dengan tersedianya informasi tentang ratio antara ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dan yang harus dipertahankan, pembukaan areal hutan mangrove menjadi tambak dapat dikontrol. Penggunaan analisa daya dukung ecological footprint adalah untuk mengkaji seberapa besar pengunaan sumber daya alam yang ada yang dinyatakan dengan besarnya ruang ekologi yang dibandingkan dengan kapasitas sumber daya alam yang tersedia. Ruang ekologi tersebut dapat diukur dari kebutuhan makanan spesies yang dikembangkan baik dari pakan buatan seperti pellet maupun pakan alami yaitu serasah mangrove yang masuk ke dalam kolam. Berdasarkan itu ruang ekologi untuk pertanian (tanaman yang digunakan dalam pellet), perikanan (untuk produksi tambak udang dan pakan udang yang berasal dari pellet maupun dari ikan rucah), dan kehutanan (areal hutan mangrove yang diperlukan untuk menghasilkan detritus yang diperlukan sebagai pelengkap pakan udang) dapat diketahui. Selain itu diukur pula areal hutan yang diperlukan untuk menyerap CO2 dari hasil oksidasi bahan bakar minyak di udara dan areal hutan yang diperlukan untuk menghasilkan air bersih. Sedangkan kapasitas sumber daya alam yang ada dapat diukur dari luas setiap komponen ekosistem yang ada sekarang baik itu luas areal untuk kehutanan, perikanan maupun pertanian. Jika dari hasil perhitungan diketahui bahwa ruang ekologi yang dibutuhkan melebihi daya dukung ekosistem maka dapat disimpulkan sistem silvofishery yang dikembangkan tidak akan lestari dan begitu pula sebaliknya. Untuk mendapatkan informasi yang lebih luas tentang penerapan silvofishery di Desa Dabung ini, maka perlu juga dilakukan kajian pendukung terhadap aspek teknis dan ekonomis guna melengkapi 8 informasi yang mungkin tidak didapat dari analisa ecological footprint. Kajian aspek teknis akan menganalisa praktek-praktek silvofishery yang sedang dikembangkan baik menyangkut model silvofishery, penggunaan teknologi, maupun teknik perbaikan lingkungan. Kajian ini perlu dilakukan karena cara dan teknologi yang digunakan akan mempengaruhi penggunaan sumber daya alam yang pada akhirnya akan berdampak pada keberlanjutan sistem yang dikembangkan. Sedangkan kajian ekonomis diperlukan untuk mengetahui apakah silvofishery ini dapat memberikan keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat. Mengingat bahwa sistem silvofishery yang dikembangkan pada hutan mangrove di Kalimantan Barat tergolong baru maka kajian yang dilakukan tidak hanya terbatas pada sistem silvofishery yang dikembangkan oleh pemerintah saja tetapi juga oleh masyarakat. Dengan demikian pihakpihak yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan mangove dapat mengetahui upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk membentuk suatu tambak yang berkelanjutan pada hutan mangrove. Berdasarkan uraian tersebut maka ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan : 1. Bagaimana penerapan sistem silvofishery yang telah dilakukan saat ini baik oleh masyarakat maupun pemerintah. 2. Berapa besar ruang ekologi yang dibutuhkan dalam kegiatan silvofishery tersebut dan berapa besar daya dukung sumber daya alam yang tersedia. 3. Bagaimana kajian aspek teknis dan ekonomi dari setiap tambak. 4. Dari ketiga tambak silvofishery yang ada tersebut, mana yang paling layak dikembangkan baik dari segi ekologi, teknis maupun ekonomi 5. Sehubungan dengan pengelolaan ekosistem mangrove, berapa besar ratio antara luas ekosistem mangrove yang harus tetap ada dengan luas 9 ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak sehingga kelestarian usaha tambak dan lingkungan dapat terus dipertahankan. I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi keberlanjutan tiga jenis tambak silvofishery yang ada di Desa Dabung. 2. Memperkenalkan sistem silvofishery berkelanjutan yang didasarkan pada ratio antara ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak silvofishery dan yang harus tetap dipertahankan . I.4. Sasaran penelitian 1. Memaparkan praktek tambak silvofishery yang telah dikembangkan baik oleh masyarakat maupun pemerintah 2. Menentukan nilai ecological footprint dan luas area bioproduktif untuk mengetahui besarnya ruang ekologi dan daya dukung sumber daya alam yang dibutuhkan utuk kegiatan silvofishery tersebut 3. Menentukan keberlanjutan setiap tambak silvofishery yang sedang dikembangkan 4. Menganalisa aspek teknis dan ekonomis untuksetiap tambak 5. Menentukan tambak silvofishery yang paling layak dikembangkan dari segi ekologi, teknis dan ekonomi 6. Menentukan ratio antara luas ekosistem mangrove yang harus tetap ada dan yang boleh dikonversi menjadi tambak I.5. Kegunaan Penelitian Sebagai masukan bagi Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keefektifan upaya silvofishery yang telah dilakukan selama ini serta langkah-langkah inovatif yang mungkin dapat 10 ditempuh dalam perencanaan pengelolaan ekosistem mangrove di masa mendatang. Di samping itu hasil dari penelitian ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah menyangkut cara mengkonsumsi dan mengelola sumber daya alam secara lestari. I.6. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mencoba untuk memaparkan informasi-informasi mengenai tambak silvofishery yang sedang berlangsung sekarang ini. Metode yang digunakan adalah studi komparatif dengan membandingkan beberapa tambak silvofishery yang ada. Selain itu dalam penelitian ini dilakukan juga eksplorasi informasiinformasi yang berhubungan dengan ratio antara luas kawasan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak silvofishery dan yang harus dipertahankan yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sistem tambak silvofishery yang berkelanjutan. I.7.1. Pengumpulan Data I.7.1.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini akan didasarkan pada data-data sekunder dari instansi terkait dan data primer melalui survey langsung ke lapangan. Adapun data sekunder yang diperlukan antara lain adalah : - Sistem silvofishery yang telah dikembangkan di Desa Dabung Kecamatan Kubu: diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan Barat. Data ini merupakan data pokok yang akan dikumpulkan yang meliputi : produksi ikan/udang, jumlah benih dan pakan yang dipergunakan, teknik pemeliharaan, model silvofishery, tenaga kerja dan waktu yang diperlukan. Data-data pelengkap yang diperlukan antara lain adalah harga jual dan biaya produksi. - Luas hutan mangrove dan kerusakannya : diperoleh dari Dinas Kehutanan Propinsi dan Bapedalda Propinsi Kalimantan Barat 11 - Kondisi fisik dan sosial ekonomi Desa Dabung : diperoleh dari BPS Kalimantan Barat dan Kantor Kepala Desa Dabung. Di samping itu diperlukan juga informasi mengenai produksi dan luas area pertanian, perikanan dan kehutanan global serta nilai faktor ekuivalen dan faktor produksi untuk melengkapi data dalam menghitung nilai ecological footprint. Data ini dapat diperoleh dari website www.fao.org, www.panda.org atau www.footprintnetwork.org. Data primer melalui survey langsung ke lapangan akan dilkumpulkan untuk mendapatkan informasi mengenai : a. Tambak sistem silvofishery yang dikembangkan oleh masyarakat. Berdasarkan survey pendahuluan diketahui bahwa ada dua tambak yang mengunakan sistem silvofisery yang dikembangkan oleh masyarakat setempat dengan kemauan sendiri. Data yang dikumpulkan pada kedua tambak ini berkaitan dengan model tambak silvofishery yang mereka kembangkan, produksi, kebutuhan sarana produksi tambak serta jumlah biaya dan keuntungan yang diperoleh. b. Tambak sistem silvofishery yang dikembangkan oleh pemerintah. Survey ini bertujuan untuk melihat secara langsung tambak yang dikelola oleh dkp sebagai cross check data sekunder yang didapat dari laporan dinas. I.7.1.2.Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data primer digunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara, penyebaran questionaire dan observasi langsung ke lapangan. Sedangkan data sekunder didapat dari laporan-laporan instansi terkait dan hasil penelitian. I.6.1.3.Sampel Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh tambak yang menggunakan sistem silvofishery yang berada di Desa Dabung Kecamatan 12 Kubu Kabupaten Pontianak. Ada tiga buah tambak silvofishery yang ada di Desa Dabung yaitu tambak silvofishery yang dikembangkan oleh bapak Syukur, tambak silvofishery yang dikembangkan oleh Bapak Ridho Oktavianus dan tambak silvofishery milik pemerintah yang dikelola oleh dinas kelautan dan perikanan (dkp) Propinsi Kalimantan Barat. I.7.1.4.Responden Penelitian Pihak-pihak yang dijadikan responden pada penelitian ini adalah 1. Para petambak yang mengembangkan sistem silvofishery 2. Pengelola tambak silvofishery dkp 3. Pemimpin proyek tambak silvofishery pada Dinas Kelautan dan Perikanan 4. Kepala Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak I.6.2. Analisa Data I.6.2.1.Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini ada tiga macam teknik analisa data yang akan dipergunakan. Yang pertama adalah metode ecological footprint sebagai teknik analisa utama. Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah sistem silvofishery yang dikembangkan dapat terus berlanjut berdasarkan daya dukung lingkungan yang tesedia. Selain itu pula akan dapat diketahui berapa luas minimum suatu area lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kegiatan silvofishery ini terutama luas hutan mangrove sehingga dapat diprediksi upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan mangrove selanjutnya berkaitan dengan pengembangan silvofishery. Dalam metode ini semua data akan distandarisasi oleh dua faktor pengali yaitu faktor ekuivalen (equivalence factor) untuk setiap wilayah dan faktor produksi (yield factor). Faktor ekuivalen menyatakan perbandingan antara produktivitas potensial rata-rata dari wilayah produksi yang dihitung dengan produktivitas potensial rata-rata dari seluruh wilayah produksi (hutan, peternakan, perikanan, pertanian dan kawasan terbangun) yang ada 13 di dunia. Adapun faktor produksi merupakan gambaran apakah wilayah produksi yang dianalisa di suatu negara lebih atau kurang produktif dibandingkan dengan wilayah produksi yang sama pada skala global. Faktor produksi merupakan ratio antara area yang digunakan oleh suatu daerah untuk memproduksi seluruh barang dalam kategori tertentu (seperti produksi kayu dari hutan) yang dihitung pada tingkat nasional dengan area yang diperlukan untuk memproduksi barang yang sama pada skala global ((Wackernagel et.al, 2005). Karena penghitungannya berdasarkan negara tertentu maka faktor produksi ini akan berbeda-beda untuk setiap negara. Dua nilai penting yang akan dihitung dalam penelitian ini untuk menentukan sejauh mana keberlanjutan sistem silvofisheri yang telah dikembangkan adalah nilai ecological footprint (ef) dan areal bioproduktif (bp). Nilai Ecological footprint menggambarkan besarnya konsumsi dari sumber daya alam yang secara umum dapat dihitung dengan rumus : ecological footprint = area (ha) x faktor ekuivalen (gha/ha) Sedangkan areal bioproduktif menggambarkan ketersediaan sumber daya alam yang ada untuk memenuhi besarnya konsumsi yang ada, dapat dihitung dengan rumus : bp = faktor ekuivalen (gha/ha) x faktor produksi (-) x luas area (ha) Keberlanjutan tambak silvofishery ini dapat diketahui dengan membandingkan nilai ef dan bp. Jika nilai ef lebih besar berarti penggunaan sumber daya alam melampaui daya dukungnya dan sebaliknya. Teknik analisa kedua yaitu analisis aspek teknis dari sistem silvofishery yang sedang dikembangkan. Analisis aspek teknis dilakukan dengan memaparkan praktek-praktek silvofishery yang ada baik dari luas, model tambak silvofishery, pengunaan teknologi, jenis pakan, ratio jumlah pakan dan produksi, kondisi dan luas ekosistem mangrove di setiap tambak, serta produksi per siklus panen. Untuk mengkajinya akan didasarkan pada 14 tinjauan literatur yang berhubungan dengan sistem silvofishery. Dengan kajian ini dapat diketahui apakah penerapan silvofishery ini telah sesuai dengan ketentuan atau standar yang telah ditetapkan. Sedangkan teknik analisa ketiga adalah kajian aspek ekonomis, menggunakan analisis ekonomi sederhana yaitu dengan membandingkan besarnya pendapatan dengan biaya produksi yang diperlukan. Besarnya pendapatan diperoleh dengan mengalikan jumlah produksi dengan harga jual udang per kg. Sedangkan komponen biaya produksi yang dihitung adalah biaya pembelian bahan seperti bibit/benur, pupuk, pakan dan biaya tenaga kerja. Dengan analisa ini dapat diketahui kelayakan ekonomi setiap tambak silvofishery yang dikembangkan. Analisa ini merupakan analisa pelengkap agar pihak-pihak yang terlibat mengetahui sistem tambak silvofishery yang bagaimana yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomis yang paling baik. Agar hasil analisa dari masing-masing teknik yang digunakan dapat dijumlahkan, maka diperlukan skoring untuk masing-masing tambak. Karena hanya ada 3 tambak di lokasi yang diteliti, maka pemberian skor akan dimulai dari angka 1 untuk hasil analisa terendah, angka 2 untuk yang moderat dan angka 3 untuk yang tertingi hasilnya. Setelah setiap tahapan analisa diberi skor, maka untuk menentukan tambak silvofishery yang paling layak untuk dikembangkan adalah dengan mencari skor tertinggi dari hasil penjumlahkan seluruh skor yang ada untuk setiap teknik analisa. I.6.2.2.Tahapan Analisa Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap analisa. 1. Menghitung nilai ecological footprint, luas area bioproduktif, dan keberlanjutan 15 1) Menghitung nilai ecological footprint Secara umum nilai ecological footprint untuk budidaya udang dapat dihitung dengan rumus : Ef (udang) = (area produksi + area import – area eksport) x faktor ekuivalen perikanan (gha/ha), di mana Area produksi (ha) = produksi (ton) x national conversion efficiency (ton primer / ton sekunder)/ produksi global primer (ton/ha) Area import (ha) = Import (ton) x global conversion efficiency (ton primer/ton sekunder)/produksi global primer (ton/ha) Area eksport (ha) = eksport (ton) x [(area import (ha) + area produksi (ha) / import (ton) + produksi (ton))]. Namun jika menggunakan rumus di atas maka kebutuhan ruang ekologi yang berhubungan dengan ekosistem mangrove tidak akan dapat teridentifikasi. Oleh karena itulah dalam penelitian ini komponen nilai ecological footprint yang dihitung akan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Larsson et al (1994) (dalam Wolowicz, 2005), sehingga dapat diketahui seberapa besar ruang ekosistem mangrove yang diperlukan untuk mendukung sistem akuakultur silvofishery ini . Berdasarkan penelitian tersebut ada enam area komponen yang dapat dihitung yaitu area mangrove untuk post larval nursery, area hutan untuk penyerapan CO2 dari hasil pembakaran bahan bakar minyak, ekosistem pertanian untuk menghasilkan tanaman yang digunakan dalam pakan ikan/udang, wilayah laut untuk menghasilkan ikan/biota laut yang digunakan dalam pakan ikan/udang, mangrove detritus untuk menghasilkan makanan bagi udang (diasumsikan 30% dari kebutuhan makan udang), dan wilayah mangrove yang diperlukan untuk menyediakan air yang bersih bagi tambak udang. Khusus untuk penelitian ini hanya akan ada lima area yang dihitung dengan 16 meniadakan area mangrove untuk post larval nursery, karena semua petambak yang mengembangkan sistem silvofishery di Desa Dabung ini mengambil benih dari hatchery (pembenihan) sehingga tidak memerlukan area mangrove tersebut. Secara detail komponen pendukung budidaya udang windu yang akan dihitung nilai ecological footprintnya adalah: a). Area mangrove yang menghasilkan detritus untuk pakan udang Penentuan luas area mangrove yang diperlukan untuk menghasilkan detritus ditentukan berdasaran kebutuhan energi udang, jumlah kalori yang dihasilkan detritus mangrove dan banyaknya udang yang diproduksi, dengan asumsi bahwa detritus mangrove adalah 30% dari keperluan energi pakan udang. Adapun kebutuhan energi udang sebesar 5000 kkal/ kg (Zoneveld, Huisman dan Boon (1997) dalam Lamusa (2000) dan jumlah kalori detritus yang dapat diserap udang rata-rata adalah 1.350 kkal/m2/th (Soeryowinoto (1993), Odum dan Heald (1967) dalam Noer (2005)). Nilai ecological footprint detritus dihitung dengan rumus: Ef (detritus) = luas (ha) x faktor ekuivalen kehutanan(gha/ha)................................................(1) b). Area laut penghasil pakan udang Pakan udang yang berasal dari laut dapat berupa pakan segar seperti ikan dan pakan buatan seperti pellet. Untuk menentukan luas area laut penghasil pakan udang maka kebutuhan akan kedua jenis pakan ini dijumlahkan. Kebutuhan ikan segar dapat diketahui dengan menghitung jumlah ikan yang dipergunakan sebagai pakan. Sedangkan kebutuan ikan/biota laut dalam pellet dapat diketahui dengan melihat komposisi biota laut yang terdapat dalam pellet, yaitu sebesar 20% dari seluruh 17 komponen pembentuk pellet. Setelah itu nilai ecological footprintnya dapat dihitung dengan rumus berikut : Ef (pakan dari laut) = konsumsi ikan (ton/th) / produksi perikanan global (ton/ha/th) x faktor ekuivalen perikanan(gha/ha).................................................................(2) c). Area pertanian penghasil pakan udang Dalam komposisi pellet, selain biota laut juga terdapat kandungan tanaman pertanian. Berdasarkan komposisi tersebut kebutuhan akan tanaman pertanian dapat ditentukan, dan dihitung nilai ef dengan rumus : Ef (pakan dari area pertanian) = konsumsi (ton/th) / produksi pertanian global (ton/ha/th) x faktor ekuivalen pertanian (gha/ha).................................................................................(3) d). Area hutan untuk penyerapan CO2 Tambak silvofishery yang menggunakan BBM akan memerlukan sejumlah area hutan untuk menyerap emisi gas CO2 dari hasil pembakaran BBM. Untuk menentukan luas area hutan tersebut maka perlu diketahui banyaknya gas CO2 yang dihasilkan dan kemampan hutan untuk menyerap emisi CO2 setelah dikurangi yang terserap oleh laut dan dihitung nilai efnya: Ef (energi) = emisi CO2 (dikurangi % terserap oleh laut) (ton CO2/th) / penyerapan CO2 oleh hutan (ton CO2/ha/th) x faktor ekuivalen kehutanan (gha/ha) ………………….….. ……..(4) e). Area mangrove untuk menghasilkan air bersih Untuk menghitung keperluan akan air bersih yang perlu diketahui adalah volume air di setiap tambak, persentase pergantian air setiap hari, kerapatan vegetasi hutan mangrove/ha dan kemampuan vegetasi mangrove untuk menyaring air. Ratio pergantian air akan didasarkan pada tingkat teknologi tambak yang digunakan. Untuk mengetahui 18 kerapatan vegetasi pada areal penelitian, dihitung potensi ratarata seluruh vegetasi yang ada di ekosistem mangrove yang diteliti. Nilai yang didapat tersebut adalah kondisi kerapatan vegetasi yang akan dianalisa dalam penelitian ini. Sedangkan kemampuan rata-rata vegetasi mangrove untuk menyaring air menurut Sprung (2000) dua gallon atau 40 liter per tanaman mangrove. Dengan menggunakan data-data tersebut dapat ditentukan luas ekosistem mangrove yang diperlukan. Selanjutnya nilai ecological footprint untuk air bersih dapat dihitung dengan rumus : Ef (air bersih) = luas (ha) x factor ekuivalen kehutanan (gha/ha)................................................................................(5) Setelah seluruh komponen ecological footprint dihitung maka dapat ditentukan ecological footprint total dari kegiatan silvofishery masing-masing tambak baik yang diusahakan masyarakat maupun oleh pemerintah 2). Menghitung nilai area bioproduktif Secara umum area bioproduktif dihitung dengan rumus : bp = faktor ekuivalen (gha/ha) x faktor produksi (-) x luas eksisting area (ha).....................................................................................(6) Dalam penelitian ini akan ada tiga area bioproduktif yang akan dihitung yaitu : Area bioproduktif laut, pertanian, dan hutan. Penjumlahan dari ketiga area bioproduktif ini merupakan area bioproduktif total untuk setiap tambak silvofishery. 3). Menentukan keberlanjutan Adapun indikator keberlanjutan dinyatakan dengan nilai defisit ekologi (ed) yang dapat dihitung dengan : ed = ef – bp....................................................................................(7) Nilai ed negatif menunjukkan bahwa areal bioproduktif melebihi total konsumsi yang ada yang berarti aktivitas yang dilakukan berkelanjutan dan sebaliknya. Berdasarkan rumus tersebut dapat 19 dilakukan simulasi untuk memperoleh level keberlanjutan yaitu dengan mengurangi nilai ef ataupun dengan memperbesar nilai bp. Kondisi ecological deficit ini dapat dianalisa juga dengan dua cara yaitu dengan menghitung ecological trade deficit dan ecological overshoot. Untuk menghitung ecological trade deficit (etd) digunakan rumus : etd = footprint konsumsi (gha) - footprint produksi (gha)............(8) atau etd = footprint import (gha) - footprint eksport (gha)...................(9) Sedangkan untuk menghitung ecological overshoot (eo) digunakan rumus : eo = footprint produksi (gha) - area bioproduktif (gha)..............(10) Jika ed lebih menitikberatkan pada konsumsi sumber daya alam oleh populasi di daerah yang diamati, maka eo lebih menekankan pada produksi tanpa memperhitungkan apakah barang yang diproduksi tersebut nantinya akan dikonsumsi oleh populasi setempat atau untuk diekspor. Dengan menghitung eo akan didapatkan informasi tentang kemungkinan degradasi dari sumber daya alam, serta kemungkinan tekanan terhadap lingkungan yang akan terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama. Untuk menentukan apakah analisa etd atau eo yang akan dipergunakan sangat tergantung dari pola pemanfaatan udang pada lokasi penelitian. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa produksi udang windu dari tambak yang diteliti hanya dijadikan komoditi ekspor oleh masyarakat (semua hasilnya dijual kepada pengekspor dan tidak dikonsumsi oleh masyarakat setempat/dijual di pasar lokal). Sehingga dalam analisa keberlanjutannya akan lebih baik menggunakan analisa eo karena dapat dengan jelas menggambarkan besarnya ekstraksi sumber daya alam yang dikarenakan produksi udang tersebut. 20 2. Memaparkan aspek teknis dari sistem silvofishery dan dianalisa berdasarkan tinjauan literatur yang relevan. 3. Menghitung R/C ratio (pendapatan/biaya produksi) 4. Menentukan tambak silvofishery yang paling layak untuk dikembangkan berdasarkan penjumlahan seluruh skor dari setiap tahapan analisa. 5. Menentukan ratio antara ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dan yang harus dipertahankan. I.7. Kerangka Pikir Penelitian Ekosistem mangrove merupakan salah satu plasma nutfah yang memiliki banyak manfaat dan perlu dilestarikan. Namun ekosistem ini rentan untuk mengalami kerusakan. Salah satu bentuk pengelolaan yang dapat diterapkan pada ekosistem mangrove adalah pengembangan tambak silvofishery seperti yang terdapat di Desa Dabung Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak. Dengan metode yang memadukan sisi ekologi dan ekonomi, kelestarian sistem ini dapat berdampak pada kelestarian ekosistem mangrove. Namun informasi keberlanjutan tersebut masih terbatas sehingga diperlukan suatu kajian untuk mengungkapnya. Kajian dilakukan tidak hanya pada tambak sistem silvofishery milik pemerintah tetapi juga milik masyarakat. Keluaran yang diharapkan adalah informasi tentang model tambak yang paling layak dikembangkan dan adanya batasan maksimal pengkonversian ekosistem mangrove menjadi tambaktambak sistem silvofishery. Secara ringkas kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar I.1. I.8. Sistematika Pembahasan Pembahasan penelitian ini dibagi menjadi enam bagian yaitu : - Bab I, menjelaskan tentang latar belakang penulis mengangkat topik penelitiannya serta rumusan permasalahan yang terjadi pada lokasi studi yang diikuti dengan uraian tentang tujuan, sasaran dan kegunaan 21 penelitian. Pada bab ini dijelaskan pula tentang metodologi penelitian yang digunakan mulai dari pendekatan penelitian, pengumpulan data, hingga analisa data serta alur pikir penulis yang tergambar secara ringkas dalam kerangka pikir penelitian. - Bab II, berisikan tinjauan kritis penulis terhadap literatur-literatur yang berhubungan dengan pengelolaannya, ekosistem perencanaan mangrove pengelolaan dan permasalahan mangrove, sistem silvofishery dan metode ecological footprint. - Bab III, menguraikan tentang karakteristik Desa Dabung sebagai daerah percontohan tambak silvofishery seperti kondisi fisik, sosial ekonomi serta kondisi ekosistem mangrove dan pengelolaannya yang sedang dilakukan pada saat ini. - Bab IV, mendeskripsikan tentang tambak-tambak silvofishery yang ada di Desa Dabung. Pada bagian ini dilakukan ulasan tentang kondisi tambak seperti luas, teknologi yang digunakan, produksi, kebutuhan pakan, serta model silvofsihery yang digunakan. - Bab V, menjelaskan tentang hasil analisa ecological footprint yang dilengkapi pula dengan analisa teknis dan ekonomis. Pada bagian ini dijelaskan pula tentang model tambak silvofishery yang paling layak dikembangkan di Desa Dabung selanjutnya. Selain itu diuraikan pula tentang kebutuhan ekosistem mangrove untuk mendukung keberlanjutan tambak silvofishery serta ratio antara ekosistem mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak dan yang harus tetap dipertahankan. - Bab VI, berisikan kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian. Beberapa catatan penulis tentang hal-hal yang belum dapat dibahas dalam penelitian juga dipaparkan pada bagian ini dengan menyertakan saran penelitian lanjutan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan penerapan sistem silvofishery di masa mendatang. 22 Potensi mangrove yang cukup besar, mengalami kerusakan Kebijakan Pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan mangrove Penerapan Silvofishery Mengkaji keberlanjutannya Analisa pendukung Analisa Utama Tambak silvofishery yang dikembangkan pemerintah Kajian aspek teknis dan ekonomis Kajian daya dukung SDA dengan metode ecological footprint Tambak silvofishery yang dikembangkan masyarakat Tambak silvofishery yang layak dikembangkan Ratio pengkonversian mangrove Strategi dalam penerapan Silvofishery yang mendukung pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan Gambar I.1. Kerangka Pikir Penelitian 23