Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi Kerja

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Migrasi Kerja
Migrasi kerja merupakan reaksi atas tekanan interaksi faktor-faktor
positif, negatif dan netral (Hugo 1981). Suryana (1979) menyatakan tekanan itu
berupa tekanan fisik, ekonomi, sosial, atau budaya, yang mana pergerakan itu
didorong oleh keinginan untuk mendapatkan perbaikan tingkat hidup. Suryana
(1979) lebih lanjut menyatakan bahwa mobilitas kerja diartikan sebagai
perpindahan matapencaharian tanpa memperhatikan adanya perpindahan
geografis.
Sumaryanto dan Sudaryanto (1989) menyatakan bahwa mobilitas kerja
atau kecenderungan migrasi, baik komutasi maupun sirkulasi, dipengaruhi oleh
faktor demografis (usia muda dan jumlah anggota keluarga berpengaruh positif),
ekspektasi pendapatan di daerah asal (ekspektasi rendah berpengaruh negatif), dan
kualitas sumberdaya (kualitas berpengruh negatif). Tujuan komutasi (jenis
mobilitas tenaga kerja yang dilakukan dengan cara pulang pergi setiap hari kerja)
dan sirkulasi (mobilitas yang dilakukan oleh tenaga kerja yang menginap di
daerah tujuan, tetapi basis rumah tinggal tetap di daerah asal) adalah untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga. Sumaryanto dan Sudaryanto (1989)
lebih lanjut menyatakan bahwa migrasi terutama disebabkan oleh faktor ekonomi,
seperti tarikan upah yang lebih tinggi dan keinginan untuk mengisi waktu luang di
saat-saat tidak melaut.
Para migran umumnya berpendidikan lebih baik, memiliki ketrampilan
yang lebih baik demikian pula motivasi untuk maju lebih besar. Ini digambarkan
dengan kesediaan para migran menanggung resiko, walaupun biaya (costs)
sebagian besar ditanggung sendiri, meskipun keuntungan masih lebih bersifat
harapan (Poeloengan 2003).
Sjaastad (1962); Bodenhofer (1967) diacu dalam Poeloengan (2003),
mendekati migrasi lewat teori human investment, dimana migrasi adalah suatu
investasi sumberdaya manusia yang menyangkut biaya-biaya dan
keuntungan. Biaya-biaya bermigrasi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Resiko, dalam hal ini menyangkut pekerjaan baru yang dilakukan
7
2) Pendapatan yang hilang (earning forgone)
3) Ketidaknyamanan di lingkungan kerja yang baru
4) Psychic costs (biaya psikhis) karena berbagai ketidaknyamanan tersebut.
Keuntungan yang diperoleh adalah pendapatan yang lebih baik yang diperoleh di
daerah baru nantinya. Poeloengan (2003) menyatakan bahwa pendapatan yang
dimaksud tersebut dalam bentuk expected income (pendapatan yang diharapkan).
Pernyataan ini juga diperkuat oleh penelitian Ginting (1994) mengenai analisis
faktor penentu keputusan mobilitas kerja sektor pertanian ke non pertanian,
dimana pendapatan yang diharapkan berpengaruh nyata pada α = 10%, selain
usia dan jumlah beban tanggungan keluarga yang juga berpengaruh nyata pada
nilai tersebut. Todaro (1992) menyatakan bahwa perbedaan tingkat upah sangat
berpengaruh dalam pengambilan keputusan mobilitas kerja, sedangkan faktor
demografi seperti usialah yang berpengaruh terhadap keputusan migrasi kerja.
Dari uraian di atas dengan jelas beberapa ahli migrasi menunjukkan
bahwa faktor yang berpengaruh terhadap keputusan untuk bermigrasi adalah
pendapatan yang diharapkan diperoleh di daerah baru. Tentunya tingkat
pendapatan di daerah kerja tujuan migran tadi diharapkan lebih tinggi
dibandingkan daerah asal. Secara spesifik Pernia (1977) diacu dalam Poeloengan
(2003), menemukan tingkat pendapatan migran lebih tinggi 16,35% dari tingkat
pendapatan non migran. Hal ini memberikan gambaran mikro bahwa dengan
melakukan migrasi, para migran mendapatkan pendapatan dan kesejahteraan
yang lebih baik dibanding yang tidak bermigrasi.
Migrasi kerja ini juga terjadi di Kelurahan Kali Baru, Jakarta Utara (Maria
1996), dimana migrasi yang dilakukan para nelayan lebih didorong oleh beberapa
sebab, yaitu tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan tingkat
pendapatan nelayan, dimana lebih dari 50% nelayan yang melakukan migrasi
kerja menyatakan bahwa kondisi perumahan dan kondisi sosial ekonominya
mengalami peningkatan.
Dari hasil penelitian Ginting (1994), dikatakan bahwa alokasi tenaga
kerja dari tempat yang kurang produktif ke tempat yang lebih produktif akan
memberikan output yang lebih tinggi. Jadi pada dasarnya adanya migrasi kerja
akan memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi makro suatu
8
wilayah. Adanya migrasi kerja yang menghasilkan pendapatan yang lebih baik,
akan memberikan pengaruh pada konsumsi yang pada gilirannya akan
memberikan pengaruh pada variabel makro ekonomi lainnya.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi migrasi secara umum dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu faktor pendorong (push factor) yang berupa
situasi kelautan yang tidak sesuai bagi nelayan, dan faktor penarik (pull factor)
yang berupa kondisi sektor lain yang lebih menarik (Erwidodo 1992). Sumaryanto
dan Sudaryanto (1989) menyatakan bahwa faktor penarik dapat berupa
produktivitas yang lebih tinggi di tempat lain atau fasilitas lain yang
memungkinkan individu itu memperoleh kehidupan yang lebih baik, seperti
jaminan hari tua yang lebih mapan, status sosial yang lebih tinggi, kenyamanan
kerja yang lebih baik, sedangkan faktor pendorong umumnya berupa suatu set
peubah yang menyebabkan individu tersebut merasa sulit memperbaiki taraf
hidupnya di tempat asal, seperti pemilikan aset produktif yang sangat rendah,
tingkat pendidikan yang semakin baik, pendapatan yang diharapkan kurang
memadai, produktivitas kerja di tempat asal rendah. Kesempatan kerja di bidang
perikanan yang luas merupakan hal yang menggiurkan pada jaman dulu, karena
banyak nelayan yang berjaya, sehingga banyak orang yang ingin menjadi nelayan,
tetapi pada kenyataannya dengan semakin berkembangnya teknologi dan tingkat
penguasaan terhadap unit penangkapan serta modal, hanya nelayan-nelayan yang
memiliki kreativitas tinggi dan modal yang memadailah yang bisa bertahan. Hal
ini menyebabkan banyaknya nelayan-nelayan kecil kesulitan dalam menangkap
ikan berhubung unit penangkapan yang masih tradisional, sehingga memaksa para
nelayan kecil untuk segera melakukan migrasi kerja jikalau ingin terus bertahan
hidup.
Faktor pendorong dan penarik yang dominan adalah faktor ekonomi, yaitu
perbedaan upah antara nelayan dengan non nelayan dimana penghasilan sebagai
nelayan lebih rendah dari penghasilan di sektor industri dan jasa (Todaro 1992).
Hal ini memang tidak sepenuhnya benar, karena kalau dikaji lebih mendalam,
nelayan memiliki penghasilan yang jauh lebih besar khususnya pada musim
9
panen. Sayangnya kebanyakan nelayan kurang bisa memanfaatkan
penghasilannya untuk jangka panjang. Para nelayan lebih tertarik untuk membeli
barang-barang seperti elektronik yang sebenarnya kurang dibutuhkan, juga tidak
sedikit nelayan yang menghamburkan uangnya untuk berjudi, mabuk-mabukan
dan menghabiskannya di tempat-tempat lokalisasi.
Menurut Munir (1981) diacu dalam LDFEUI (1981), faktor-faktor
pendorong terdiri atas :
1) Makin berkurangnya sumber-sumber alam,
2) Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal akibat masuknya teknologi
yang menggunakan mesin, dan
3) Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, SARA di daerah asal.
Dan faktor-faktor penarik terdiri atas :
1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki
lapangan pekerjaan yang cocok,
2) Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik, dan
3) Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Pernyataan Munir (1981) di atas diperkuat oleh Yosephine (1989) dalam
penelitiannya mengenai faktor-faktor penentu migrasi masuk dan migrasi keluar
antar provinsi di Indonesia, menyimpulkan tingkat upah dan kemungkinan untuk
memperoleh kesempatan kerja di daerah tujuan sebagai faktor penarik, sedangkan
rendahnya tingkat upah di daerah asal sebagai faktor pendorong. Lee (1966) diacu
dalam Yosephine (1989) mengatakan bahwa motif ekonomi merupakan motif
utama seseorang pindah, dimana migran umumnya mengalir ke daerah yang
aktivitas ekonominya sudah maju, yang mana tingkat industrialisasi juga memiliki
peranan penting dalam proses migrasi. Lebih jauh Lee (1966) diacu dalam
Yosephine (1989) mengatakan bahwa tindakan migrasi merupakan tindakan
rasional yang berdasar pada motivasi memaksimalkan kesejahteraan.
Utama (1994) dalam penelitiannya mengenai migrasi dari dan ke
Sumatera, Jawa dan Kawasan Timur Indonesia, menyatakan ada dua faktor yang
mempengaruhi migrasi bagi para transmigran, yaitu:
10
1) Faktor-faktor fisik seperti banyaknya kota besar di suatu daerah yang
mencerminkan tingkat aglomerasi, pemusatan kegiatan dan tersedianya
infrastruktur fisik maupun sosial.
2) Faktor-faktor ekonomi seperti penanaman modal, tingkat upah, dan
kesempatan kerja atau probabilitas memperoleh pekerjaan.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa rata-rata pengaruh di daerah tujuan lebih
besar dibanding di daerah asal, yang mana penanaman modal adalah daya tarik
utama bagi migrasi di Kawasan Timur Indonesia.
Ananta (1993) mengemukakan beberapa penyebab migrasi yaitu:
1) Keputusan pribadi calon migran
2) Keputusan pemerintah melalui program transmigrasi yang mana sebagai
upaya untuk meningkatkan mutu modal manusia melalui peningkatan
pendidikan.
Keputusan untuk bermigrasi juga ditentukan oleh produktivitas, dalam hal ini
upah yang diharapkan dari daerah tujuan. Peningkatan mutu modal manusia
(lewat pendidikan) merupakan salah satu kunci peningkatan produktivitas.
Mobilitas penduduk akan berpengaruh positif terhadap peningkatan produktivitas
jika migran memiliki mutu modal manusia yang baik, dalam hal ini berupa
pendidikan, kesehatan, dan keamanan si pekerja.
Lebih jauh Lee (1966) diacu dalam Ananta (1993) mengemukakan faktorfaktor penyebab pengambilan keputusan bermigrasi adalah sebagai berikut:
1) Faktor-faktor yang ada di daerah asal (faktor-faktor negatif) yaitu sempitnya
peluang usaha dan kesempatan kerja, upah yang rendah, tingginya biaya
hidup, dan tingginya pajak,
2) Faktor-faktor yang ada di daerah tujuan (faktor-faktor positif) yaitu luasnya
peluang usaha dan kesempatan kerja, upah yang tinggi, fasilitas sosial yang
gratis atau murah, biaya hidup relatif rendah, adanya institusi ekonomi yang
efisien,
3) Faktor pribadi seperti pengaruh psikologis dan karakteristik seseorang, dan
4) Hambatan antara berupa biaya perpindahan.
11
2.3 Nelayan
Berdasarkan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan,
nelayan adalah orang yang matapencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Dalam kesehariannya, nelayan memiliki status yang membedakan posisi masingmasing nelayan itu sendiri. Menurut Hermanto (1986), ada lima macam status
nelayan, yaitu:
1) Juragan darat, yaitu orang yang memiliki perahu dan alat tangkap tetapi tidak
ikut dalam operasi penangkapan di laut. Juragan darat hanya menerima bagi
hasil penangkapannya yang diusahakan orang lain. Biasanya juragan darat
menanggung seluruh biaya operasi penangkapan.
2) Juragan darat-laut, yaitu orang yang memiliki perahu, alat tangkap, dan ikut
dalam operasi penangkapan. Juragan ini juga menerima bagi hasil sebagai
nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan.
3) Juragan laut, yaitu orang yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap, tetapi
bertanggungjawab dalam operasi penangkapan di laut (nahkoda).
4) Buruh / pandega, yaitu orang yang tidak memiliki unit pengangkapan dan
hanya berfungsi sebagai anak buah kapal. Buruh / pandega umumnya
menerima bagi hasil penangkapan dan jarang menerima upah harian.
5) Anggota kelompok, bentuk usaha secara kelompok ini merupakan suatu
sistem kelembagaan baru dalam usaha penangkapan. Perahu yang diusahakan
adalah perahu hasil pembelian dari modal yang dikumpulkan oleh tiap anggota
kelompok. Pemimpin kelompok umumnya berfungsi sebagai juragan laut,
sedangkan anggota kelompok berfungsi sebagai anak buah kapal.
Menurut Satria (2002), nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan
pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alatalat/perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan,
tetapi ahli mesin, juru masak, dan yang sejenisnya yang bekerja di atas kapal
penangkap ikan dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung
melakukan penangkapan. Hal ini lebih menjelaskan pengertian nelayan yang ada
dalam buku Ensiklopedia Indonesia (Anonim 1983), menyebutkan bahwa nelayan
adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara
12
langsung (seperti para penebar dan penarik jaring), maupun secara tidak langsung
(seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal,
juru masak kapal penangkap ikan) sebagai matapencaharian. Dalam buku
Ensiklopedia Indonesia, ada tiga pengertian nelayan yaitu:
1) Nelayan Juragan, yaitu nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang
mampu mengupah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya
menangkap ikan di laut. Nelayan juragan memiliki sawah tadah hujan yang
dikerjakan pada waktu tertentu saja. Nelayan juragan ada dua macam, yaitu :
(1) nelayan juragan laut, bila ia masih aktif di laut, (2) nelayan juragan darat,
bila ia sudah tua dan hanya mengendalikan usahanya dari daratan. Pihak lain
yang memiliki perahu dan alat penangkap ikan tetapi bukan merupakan kaum
nelayan asli, disebut tauke atau cukong.
2) Nelayan Pekerja, yaitu nelayan yang tidak punya alat produksi, tetapi hanya
memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu
menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Dalam hubungan kerja antara
nelayan pekerja dan nelayan juragan, berlaku perjanjian tak tertulis yang
sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Dalam hal ini juragan berkewajiban
mengutamakan bahan makanan dan kayu bakar untuk keperluan operasi
penangkapan ikan. Jika nelayan pekerja memerlukan lagi bahan makanan
untuk dapur keluarga yang ditinggalkannya selama berlayar, maka nelayan itu
harus berhutang lagi pada juragan. Hasil penangkapan ikan di laut dibagi
menurut pengaturan tertentu yang berbeda-beda dengan juragan yang
bersangkutan. Umumnya bagian nelayan pekerja selalu habis untuk membayar
hutangnya.
3) Nelayan Pemilik, yaitu nelayan yang hanya memiliki perahu kecil untuk
dirinya sendiri dan alat penangkap ikan yang sederhana, sehingga nelayan
pemilik disebut juga nelayan perorangan atau nelayan miskin. Tidak memiliki
tanah sawah untuk diusahakan pada musim hujan. Sebagian besar dari nelayan
pemilik tidak mempunyai modal kerja sendiri, tetapi meminjam dari pelepas
uang dengan perjanjian tertentu. Umumnya nelayan-nelayan yang sering kali
meminjam uang tergolong nelayan baru yang memulai usahanya dari bawah
yang mana suatu saat kelompok ini dapat menjadi nelayan juragan.
Download