II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Lanskap Ekologi lanskap merupakan kajian di dalam ilmu lanskap yang mempelajari struktur, fungsi, dan perubahan yang terjadi di dalam lanskap. Struktur lanskap adalah pola ruang dari berbagai komponen lanskap yang mencakup ukuran, bentuk, kerapatan, keanekaragaman, dan konfigurasinya. Tiga struktur dasar lanskap adalah matriks (matrix), bidang lahan (patch), dan koridor (corridor)(Forman dan Godron, 1986). Matriks umumnya mengelilingi suatu bidang lahan yang bentuknya berbeda dengan matriks. Bidang lahan merupakan lahan yang memiliki permukaan tidak berbentuk lurus yang berbeda kenampakannya dengan matriks di sekitarnya. Bidang lahan yang mengalami kerusakan (disturbance patch) akan membentuk suatu pulau dengan lahan yang rusak di dalam matriks yang masih utuh. Bidang lahan yang ditumbuhi tumbuhan introduksi (introduced patch) misalnya lahan perairan yang ditumbuhi oleh eceng gondok di tengah hamparan persawahan. Lahan sisa (remnant patch) merupakan lahan yang tidak dibudidayakan, di persawahan dapat berupa semak-semak di lahan pinggir. Koridor merupakan lahan sempit yang kedua sisinya linier dan berbeda dengan matriks, misalnya tumbuhan pinggir, pematang sawah, dan sebagainya (Samways, 1995). Fungsi lanskap adalah interaksi yang berlangsung diantara berbagai komponen penyusun lanskap. Interaksi tersebut meliputi aliran energi, materi/bahan, dan spesies. Perubahan lanskap adalah perubahan struktur dan fungsi lanskap yang berlangsung setiap saat, misalnya pada lanskap persawahan di musim hujan sebagian besar tersusun dari hamparan padi dan di musim kemarau sebagian ditanami palawija (Forman dan Godron, 1986). Kajian ekologi lanskap terutama menekankan pada pola dari berbagai tipe habitat pada suatu wilayah dan pengaruh-pengaruh habitat tersebut terhadap proses-proses ekosistem dan distribusi spesies (Primach et al., 1988). Dalam hal ini ekologi lanskap mendalami analisis ekosistem sampai ke interaksi antar ekosistem dan melibatkan atribut-atribut ekosistem alami maupun ekosistem buatan termasuk ekosistem pertanian (agroekosistem) (Risser, 1985). Lanskap dimana di atasnya terdapat aktivitas ekosistem pertanian dikenal sebagai lanskap pertanian. Lanskap pertanian memiliki karakteristik yang beragam, sehingga komoditas pertanian yang dihasilkan juga bervariasi dengan kondisi biofisik yang mempengaruhinya (Samways, 1995). Perbedaan kondisi biofisik antara daerah dataran tinggi (hulu) dengan daerah dataran rendah (hilir) menghasilkan formasi lanskap pertanian dengan struktur yang bervariasi (Yokohari dan Kato, 1995). Secara biofisik struktur di daerah hulu berbeda nyata dengan di daerah hilir, tetapi secara ekologis antara daerah hulu dengan daerah hilir terdapat hubungan yang saling mempengaruhi dalam hal aliran energi, materi, maupun pengaruh lainnya. Oleh karena itu hubungan hulu dan hilir secara komprehensif merupakan hal yang penting (Kosasih et al., 1993). 4 Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan lanskap pertanian seharusnya tak hanya didasarkan pada luasan daerah secara administratif, tetapi juga perlu mempertimbangkan luasan daerah secara ekologis dalam suatu unit daerah aliran sungai (DAS). Dalam kaitan ini maka upaya pengelolaan tak dapat hanya dilakukan secara parsial, tetapi memerlukan pendekatan yang holistik berdasarkan pertimbangan kondisi biofisik, sosial – ekonomi, dan teknik budidaya. Hal ini sangat relevan sebagai paradigma baru seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah dalam pembangunan, sehingga hubungan hulu dan hilir perlu diharmonisasikan (Arifin dan Takeuchi, 2001; Sudaryanto et al., 2000). Karena itu kajian tingkat wilayah pada suatu DAS merupakan hal penting untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya berkelanjutan pada tingkat lanskap (Irawan et al., 1993; Pakpahan dan Syafaat, 1999). 2.2. Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) atau watershed adalah suatu bentang alam yang menerima dan menyimpan curah hujan yang jatuh di atasnya, dan kemudian mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama, dan akhirnya bermuara di suatu tubuh air bumi berupa danau, waduk, atau lautan (Asdak, 1995; Notohadiprawiro, 1980). Dipandang dari segi terbentuknya, DAS merupakan hasil dari proses geologis dengan kelakuan berdasarkan proses-proses hidrologis. Dari segi hidrologis maka DAS merupakan kesatuan wilayah tata-air dengan berbagai komponennya, dimana keadaan, tindakan, atau pengaruh yang terjadi pada salah satu komponennya akan mempengaruhi keseluruhan komponen atau wilayah secara keseluruhan. Masukan terhadap sistem hidrologi DAS adalah curah hujan, sedangkan keluarannya adalah aliran sungai beserta sedimen dan zat hara yang dikandungnya. Berdasarkan fungsi hidrologisnya, suatu DAS dapat dibagi menjadi (1) daerah tadahan (catchment area) yang merupakan daerah hulu atau daerah kepala sungai, dan (2) daerah penyaluran air (commanded area) yang terdiri dari bagian tengah dan hilir. Di suatu DAS, bentuk-bentuk lahan khusus dapat digambarkan, besaran iklim dapat diukur, dan proses-proses yang berlangsung dapat dikaji berdasarkan pertukaran (pemasukan dan pengeluaran) energi dan materi. DAS juga mempunyai bentuk, ruang atau luas, dan ketercapaian medan/aksesibilitas (Notohadiprawiro, 1980). Sosrodarsono dan Takeda (1977) membagi bentuk DAS menjadi radial, bulu burung, dan paralel. Batas suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari bentang aliran airnya. Biasanya bentang aliran tersebut dibatasi oleh pemisah topografi (topographic divided) berupa punggung-punggung bukit, puncak-puncak gunung, dan lapisan kedap air di bawah permukaan tanah. Pemisah-pemisah topografi tersebut secara faktual merupakan batas antara DAS yang satu dengan DAS lainnya. DAS yang besar biasanya terdiri dari beberapa SubDAS yang lebih kecil, dan masing-masing SubDAS tersebut juga terdiri 5 dari beberapa Sub-SubDAS. DAS secara keseluruhan relatif tetap, tetapi SubDAS atau Sub-SubDAS dapat berubah, misal karena bocornya aliran ke wilayah DAS lain (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). DAS dapat dipandang sebagai sistem ekologi atau ekosistem dimana di dalamnya terdapat komponen lingkungan fisik (tanah dan iklim) dan komponen biologi (jasad hidup) yang saling berinteraksi, serta terjadi keseimbangan dinamik antara energi dan materi yang masuk dengan energi dan materi yang keluar. Dalam keadaan alami, energi matahari dan iklim di suatu DAS serta unsur-unsur endogenik di bawah permukaan DAS merupakan masukan (input), sedangkan air dan sedimen yang keluar dari muara DAS serta air yang kembali ke udara melalui evapotranspirasi merupakan keluaran (output). Ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi bagian hulu, tengah, dan hilir. Ciri bagian hulu antara lain tingkat kemiringan lereng > 15 %, konsentrasi kerapatan drainase tinggi, tingkat permukaan air tanah ditentukan pola drainase, dan bukan merupakan daerah banjir. Bagian hilir mempunyai tingkat kemiringan < 8 %, kerapatan drainase tinggi, merupakan daerah pemanfaatan, dan pada beberapa tempat merupakan daerah genangan (banjir). Bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua bagian DAS tersebut (Asdak, 1995). Pola penggunaan lahan (land use) merupakan faktor penting dalam pengelolaan wilayah DAS. Hal ini karena pola penggunaan lahan merupakan konfigurasi spasial/ tata-ruang di suatu wilayah dan secara umum merefleksikan aktivitas manusia yang membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi pemukiman, dan keperluan lain. Pola penggunaan lahan umumnya merupakan paduan antara manusia penghuni wilayah tersebut, tingkat teknologi usahatani yang digunakan, dan jumlah kebutuhan hidup yang harus dipenuhi (Mather, 1986). Tergantung kepadatan penduduk dan kebutuhan hidup, maka keseimbangan penggunaan lahan mengalami perubahan. Penggunaan lahan di dalam DAS mengalami peningkatan bukan saja karena pertambahan jumlah penduduk, tetapi juga karena intensitas dan jenis kebutuhan manusia dalam memanfaatkan lahan juga meningkat. Keragaman penggunaan lahan sebagai ruang terbukan hijau (green open space) di suatu DAS berupa hutan, talun, kebun campuran, pekarangan, ladang/tegalan, dan persawahan. Lanskap persawahan di suatu DAS terdapat di dataran rendah (hilir) hingga dataran tinggi (hulu). Terdapat perbedaan secara gradual kondisi lanskap persawahan dari dataran rendah hingga ke dataran tinggi dalam hal skala unit lahan/pertanaman, fasilitas irigasi/drainase, dan sebagainya (Chandrapanya, 1977; Ohkuro et al., 1995). 6 2.3. Gulma dalam Konteks Regional DAS merupakan suatu unit fisiografik yang dianggap memadai untuk mengkaji gulma dalam konteks regional. Dalam hal ini gulma tak hanya dipandang penting dalam konteks lokal, tetapi juga penting dalam konteks regional. Beberapa hal yang menjadi alasan utama perlunya mengkaji gulma dalam konteks regional adalah (1) kenyataan bahwa banyak spesies gulma mempunyai kisaran toleransi lingkungan yang lebar dan distribusi lokasi yang luas, (2) karakteristik umum dari spesies gulma cenderung untuk menyebar dari suatu lokasi ke lokasi lain, dan (3) untuk mengapresiasi sepenuhnya kompleksitas masalah gulma yang terjadi di lapangan. Toleransi dan distribusi gulma merupakan bagian dari adaptasi umum spesies terhadap kisaran kondisi lingkungan, biasanya dibatasi kondisi agroklimat regional yang spesifik, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor lingkungan (yang menentukan tipe-tipe habitat), faktor biotik, dan aktivitas manusia. Faktor historis khususnya praktik budidaya juga memainkan peranan penting dalam pencapaian spesies gulma di suatu lokasi (Auld et al., 1987; Radosevich et al., 1997). Penyebaran spesies gulma menimbulkan konsekuensi masalah bagi masyarakat petani, sebab akan mengakibatkan kerugian bagi petani yang pertanamannya diinvasi dan diinfestasi. Fenomena ini dikenal sebagai efek eksternal dan menjadikan masalah gulma sebagai masalah regional. Keuntungan eksternal terjadi ketika petani mampu mengendalikan gulma di pertanamannya yang mempunyai potensi menyebar, sehingga mengurangi resiko invasi dan infestasi gulma ke pertanaman petani tetangganya. Sebaliknya jika petani tersebut tidak mampu mengendalikan gulma di pertanamannya, maka terdapat resiko invasi dan infestasi gulma ke pertanaman petani tetangganya. Hal itu akan mengakibatkan petani tetangganya menderita kerugian karena harus mengeluarkan biaya untuk melakukan pengendalian dan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat infestasi gulma. Oleh karena itu dalam konteks regional penyebaran gulma menimbulkan masalah ke banyak orang khususnya masyarakat petani. Dalam situasi demikian maka peranan peraturan/legislasi mengenai lalu-lintas/perpindahan tanaman menjadi sangat penting untuk mengurangi atau menekan penyebaran gulma (Radosevich et al., 1997). Dalam kaitan ini maka perlu dilakukan pemantauan secara kontinyu terhadap pergerakan spesies-spesies tumbuhan eksotik baik yang berstatus sebagai tanaman maupun gulma. Pemantauan seperti itu akan memberikan informasi mengenai kisaran posisi distribusinya, sehingga dapat membantu upaya pengelolaan untuk mencegah perubahan statusnya dari tanaman mejadi gulma dan menekan penyebaran lebih lanjut dari yang telah berstatus sebagai gulma agar tidak menjadi gulma yang invasif. Hal ini karena spesiesspesies gulma invasif sering menjadi sangat sulit untuk dikendalikan ketika telah menginvasi dan menginfestasi suatu pertanaman (Godilano, 2003). Proses invasi terjadi melalui 3 fase, 7 yaitu fase introduksi (proses penginvasian ke daerah baru yang sebelumnya belum pernah ditumbuhi), fase kolonisasi (proses pemapanan di daerah baru hingga mampu bertahan dan bereproduksi, serta menghasilkan pertumbuhan populasi yang berlanjut), dan fase naturalisasi (proses penyebaran menjadi lebih luas dan pertumbuhan populasi lebih lanjut hingga menjadi bagian tetap dari komunitas gulma di daerah itu). Kemampuan gulma menginvasi dan menginfestasi sangat ditentukan karakteristik adaptasi dan kesesuaian habitatnya (McLaren et al., 1998). Oleh karena itu pengendalian gulma perlu diupayakan secara sungguh-sungguh untuk menekan dan mengurangi infestasinya agar tidak menimbulkan kerugian, serta meminimalkan peluang tumbuh dan berkembangnya spesiesspesies gulma yang baru (Godilano, 2003). Dengan menempatkan masalah gulma dalam konteks regional, maka kompleksitas masalah gulma di lapangan dapat dikaji melalui pemodelan yang disusun berdasarkan data berbasis regional. Dalam hal ini basis data regional mencakup distribusi dan kelimpahan spesies gulma yang ada, serta berbagai data lain yang secara aktual maupun secara potensial berpengaruh. Melalui pemodelan tersebut maka dapat dilakukan pengkajian terhadap masalah gulma di lapangan yang kompleks dengan mengakomodasi semaksimal mungkin faktor-faktor yang berpengaruh. Disamping itu berdasarkan pemodelan tersebut juga dapat diformulasikan kebijaksanaan pengelolaan dan prioritas penelitian masalah gulma, serta perencanaan strategi dan penentuan rekomendasi pengendalian gulma (Auld et al., 1987; Briese et al., 2000). 2.4. Gulma di Lanskap Persawahan Gulma merupakan masalah aktual yang selalu terjadi di lanskap persawahan (De Datta, 1995; Moody, 1995). Komunitas gulma di pertanaman padi sawah terdiri dari berbagai macam famili, genus, dan spesies. Smith (1983) mencatat ada sekitar 60 famili, 150 genus, dan 350 spesies gulma di pertanaman padi sawah. Selanjutnya Sastroutomo (1990) mencatat 33 jenis gulma yang sering dijumpai tumbuh di pertanaman padi sawah, dengan 10 jenis diantaranya merupakan jenis yang dominan. Keberadaan gulma menimbulkan persaingan terhadap tanaman padi sawah dalam penggunaan unsur hara, air, cahaya, dan ruang. Gulma yang tidak disiang dengan baik dapat menurunkan produksi padi sawah sebesar 18 – 35 % (Ardjasa et al., 1980; Burhan, 1994; Burhan dan Zakaria, 1999). Komposisi gulma di lanskap persawahan bersifat dinamik dan berubah karena faktorfaktor tertentu. Faktor-faktor tersebut dapat berupa karakter spesies gulma itu sendiri maupun pengaruh luar (Aldrich, 1984). Pengaruh luar berupa lingkungan makro maupun lingkungan mikro, serta praktik budidaya. Lingkungan makro adalah lingkungan regional skala luas yang mencakup banyak aspek tanah dan iklim. Lingkungan mikro adalah berbagai aspek lingkungan skala kecil yang dipengaruhi topografi mikro, batu-batuan, bahan organik, 8 unsur hara, dan sebagainya (Radosevich et al., 1997). Faktor-faktor tanah yang mempunyai pengaruh utama terhadap gulma adalah kesuburan, air tanah, aerasi, pH, dan temperatur tanah. Temperatur tanah terutama berpengaruh terhadap perkecambahan dan dormansi biji gulma. Karena tanah merupakan reservoir biji dan propagule gulma, maka beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan tanah bertindak sebagai penyelamat biji-biji gulma akan berpengaruh terhadap kehadiran gulma. Temperatur udara berpengaruh terhadap distribusi gulma secara latitudinal maupun elevasional (Akobundu, 1987). Perbedaan temperatur udara dan intensitas cahaya mempengaruhi komposisi dan penyebaran jenis gulma (Connolly dan Dahl, 1970; Everaarts, 1981). Peningkatan porsi penyinaran meningkatkan laju fotosintesis, pertumbuhan relatif, dan bobot kering gulma golongan rumput dan daun lebar (Sutarto dan Bangun, 1988). Meski secara umum tumbuh dan berkembangnya jenis-jenis gulma dalam suatu wilayah/lahan ditentukan faktor-faktor tanah, iklim, dan spesies gulma itu sendiri, tetapi dalam suatu kesatuan wilayah yang sempit maka faktor topografi dan iklim mikro menjadi faktor yang penting (Partomihardjo dan Suhardjono, 1988). Sementara praktik budidaya berpengaruh terhadap komunitas gulma baik secara ekologi maupun evolusi, dan intesifikasi praktik budidaya sering mengakibatkan timbulnya spesies-spesies gulma berbahaya (noxious weed) melalui seleksi interspesifik dan intragenotipik (Hill et al., 1997; Janiya dan Moody, 1995). Karena itu komunitas gulma dapat berubah karena pengaruh praktik-praktik budidaya seperti, penyiapan lahan/pegolahan tanah, kultivar tanaman, jarak tanam, cara pengairan, pemupukan, dan cara pengendalian gulma termasuk penggunaan herbisida (Moody, 1995; Sundaru dan Pane, 1984; Vongsaroj, 1995). Hubungan timbal-balik antara faktor lingkungan dengan gulma dan antar gulma itu sendiri pada suatu habitat seperti persawahan dalam batas regional tertentu sering disebut sebagai ekotopologi gulma (Wirjahardja dan Sindoro, 1984). Penyiapan lahan/pengolahan tanah merupakan sarana penting untuk pengendalian gulma. Ketika pembajakan dengan tenaga hewan dilakukan pada kondisi basah dan mayoritas biji-biji gulma telah berkecambah, maka bibit-bibit gulma akan tercabut ke atas, terbunuh, dan kemudian tertutup tanah. Namun ketika pembajakan dengan tenaga traktor dilakukan pada kondisi kering, maka biji-biji gulma di permukaan tanah akan terbenam dan sebaliknya yang terbenam dari musim sebelumnya akan terangkat ke atas untuk berkecambah, sehingga terjadi infestasi gulma yang tinggi. Kultivar-kultivar unggul padi baru umumnya kurang kompetitif terhadap gulma dibandingkan jenis-jenis padi tradisional, karena kultivar-kultivar unggul tersebut berhabitus pendek, berdaun tegak, dan berumur pendek sehingga untuk mencegah persaingan gulma perlu pengendalian gulma yang lebih awal. Sifat-sifat kultivar padi yang mampu bersaing dengan gulma antara lain berhabitus tinggi, berdaun panjang dan lebar, konfigurasi daun agak datar, dan mempunyai 9 pertumbuhan awal yang cepat (Moody, 1991; Moody, 1995; Vongsaroj, 1995). Pengaturan jarak tanam merupakan hal penting dalam pengendalia gulma. Pada padi tapin jarak tanam menentukan tingkat infestasi gulma, sedangkan pada padi tabela secara umum petani menyebar benih dalam jumlah banyak untuk menghasilkan populasi tanaman padi yang tinggi agar mampu bersaing dengan gulma (Kanchanonamai, 1981). Cara pengairan yang tepat merupakan sarana yang efektif untuk pengendalian gulma. Pada pengaturan pengairan yang berbeda terdapat jenis gulma yang berbeda, dan penggenangan selama 30 hari setelah tanam (HST) pada padi tapin dapat menekan pertumbuhan gulma (Pablico dan Moody, 1993; Sundaru dan Pane, 1984). Pemupukan selain berpengaruh terhadap tanaman juga berpengaruh terhadap gulma. Pertumbuhan dan persaingan gulma biasanya dipengaruhi pemberian N dan P sebelum tanam. Peningkatan dosis N dapat mengakibatkan penurunan hasil yang lebih besar karena umumnya gulma lebih tanggap terhadap penambahan pupuk N daripada padi sawah (Sundaru dan Pane, 1984). Pengendalian gulma secara mekanis dengan penyiangan perlu dilakukan pada stadium awal pertumbuhan. Penyiangan pada padi tapin dianjurkan untuk dilakukan pada 20 – 30 HST dan penundaan penyiangan hingga primordia bunga akan sangat menurunkan produksi (Vongsaroj, 1995). Penggunaan herbisida perlu dilakukan pada takaran dan waktu yang tepat. Aplikasi herbisida dengan takaran yang berlebihan dapat mengakibatkan meningkatnya kasus resistensi gulma, dan berubahnya beberapa spesies gulma yang tadinya tidak penting menjadi spesies gulma penting (Janiya dan Moody, 1995; Vongsaroj, 1995). Tolok-ukur infestasi gulma yang umum dipakai adalah tingkat kepadatan. Namun beberapa peubah lain seperti bentuk pertumbuhan (habitus), daya adaptasi, dan distribusinya juga sangat penting (Aldrich, 1984). Distribusi spasial gulma mencerminkan konfigurasi aktual komunitas gulma di lapangan, sehingga menentukan interaksi dan persaingan antara gulma dengan tanaman (Kropff et al., 1993; Kropff dan Bastiaans, 1997). Oleh karena komunitas gulma bersifat dinamis, maka distribusi spasial gulma juga bervariasi antar waktu (secara temporal), atau mengalami dinamika spatio-temporal (Azmi dan Baki, 1995; Bakar dan Baki, 1999; Janiya dan Moody, 1995). Derksen (1994) mengamati bahwa perubahan komunitas gulma yang bersifat spatio-temporal lebih menampakkan indikasi fluktuasional daripada indikasi direksional yang berupa perubahan konsisten dalam komposisi komunitas gulma. Baki (1995) juga mengamati bahwa perubahan spatio-temporal dalam komunitas gulma bersifat fluktuasional dan eratik, serta tergantung musim tanam, praktik budidaya yang diterapkan, dan sifat inherent komposisi komunitas gulma. Perubahan komunitas gulma dapat terjadi secara allogenik ataupun autogenik. Perubahan allogenik dikendalikan oleh tenaga dari luar agroekosistem padi. Tenaga ini antara lain meliputi pengelolaan pengairan (jumlah dan lama tersedianya air), dan praktik-praktik agronomi (penyiapan 10 lahan/pengolahan tanah, penggunaan herbisida, dan sebagainya)(Azmi dan Baki, 1995). Praktik pengendalian gulma biasanya tak mudah menghilangkan suatu spesies gulma dari pertanaman padi, tetapi dapat mengubah hubungan antar spesies gulma, interaksi persaingan, dan pola-pola perkembangan alami yang terjadi di dalam komunitas gulma (Cook, 1990; Moody, 1991). Perubahan autogenik terjadi karena pengaruh dari dalam agroekosistem itu sendiri. Perubahan seperti ini dapat terjadi karena persaingan inter- dan intraspesifik diantara jenis-jenis gulma yang berdekatan, dan hal itu mengakibatkan pergantian spesies-spesies gulma yang kurang mampu bersaing dengan spesies-spesies gulma yang menang dalam persaingan (Azmi dan Baki, 1995). Mengingat komunitas gulma secara ekologis maupun secara evolutif tanggap terhadap praktik budidaya, maka berbagai praktik budidaya yang diterapkan seperti cara penanaman, penyiapan lahan/pengolahan tanah, kultivar tanaman padi yang ditanam, pengaturan pengairan, pemupukan, pengendalian gulma, dan penggunaan herbisida perlu dipertimbangkan (Blacklow, 1997. Pertimbangan seperti itu perlu dilakukan sebagai bagian dari penerapan strategi pengendalian gulma jangka panjang dengan tujuan mengoptimalkan produktivitas tanaman padi sawah melalui pengelolaan gulma di bawah tingkat yang merugikan. Strategi tersebut harus berarti pula mengupayakan berkurangnya masalah gulma di masa mendatang dan bukan sebaliknya masalah gulma menjadi semakin besar dan sulit (Burhan dan Zakaria, 1999; Kon, 1993). Oleh karena itu pertimbangan dari tiap praktik budidaya yang diterapkan menjadi sangat penting dan kombinasi praktik budidaya yang diterapkan hendaknya spesifik sesuai dengan distribusi spasial komunitas gulma di lapangan (Kropff dan Bastiaans, 1997). Distribusi spasial komunitas gulma di lapangan belum sepenuhnya terlihat dari pengkajian komunitas gulma melalui analisis vegetasi sebagaimana yang biasa dilakukan. Untuk itu maka Park et al. (1995) mengaplikasikan sistem informasi geografik (SIG) guna menentukan distribusi spasial komunitas gulma pada pertanaman padi lahan basah di Korea (Selatan). Dari aplikasi tersebut didapatkan bahwa meskipun berdasarkan analisis vegetasi spesies gulma Eleocharis kuroguwai merupakan yang dominan pada padi lahan basah di seluruh Korea (Selatan), tetapi menurut teknologi SIG terdapat perbedaan distribusi spasial yang tinggi antar daerah. Dalam kaitan ini maka penggunaan analisis SIG akan dapat membantu perencanaan strategi dan penentuan rekomendasi pengendalian gulma yang tepat, serta pemantauan dan pengevaluasian efektivitasnya. 11