PEMBAHASAN UMUM Jeruk keprok Garut merupakan varietas lokal yang telah menjadi komoditas unggulan nasional. Jeruk keprok garut memiliki keunggulan seperti rasa buahnya yang manis menyegarkan dan ukuran buah yang cukup besar tetapi masih memiliki biji yang cukup banyak. Buah jeruk yang banyak digemari konsumen adalah buah jeruk tanpa biji atau seedless. Jeruk keprok Garut dapat ditingkatkan kualitasnya melalui pemuliaan tanaman. Induksi keragaman jeruk keprok Garut diperlukan untuk seleksi dan menghasilkan jeruk tanpa biji. Salah satu metode untuk menghasilkan keragaman genetik adalah melalui induksi mutasi. Mutasi buatan dapat dihasilkan dengan bantuan mutagen. Mutagen fisik seperti sinar gamma menghasilkan peluang lebih tinggi dalam menghasilkan mutasi. Tingkat keberhasilan suatu mutasi dipengaruhi oleh material yang digunakan, teknik iradiasi yang diberikan, dan dosis yang tepat. Material yang dapat digunakan untuk menghasilkan keragaman yang tinggi adalah kalus embriogenik. Kalus embriogenik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kalus hasil penelitian sebelumnya yang telah berumur 4 tahun. Penelitian awal dilakukan untuk menguji kemampuan media hasil penelitian sebelumnya dan menghasilkan kalus yang cukup untuk penelitian selanjutnya. Hasil penelitian awal menunjukan bahwa media proliferasi dan regenerasi hasil penelitian sebelumnya dapat diulang dengan hasil yang sama. Media dasar yang digunakan merupakan kombinasi media MS (Murashige dan Skoog) dengan vitamin MW (Morel dan Wetmore). Vitamin MW memiliki komposisi vitamin yang lebih lengkap dibandingkan vitamin MS karena mengandung kalsium penthatonat dan Biotin. Kalus pada umumnya terbentuk karena adanya induksi zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh merupakan bahan organik bukan nutrisi yang dalam jumlah kecil mampu mendorong dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Zulkarnain 2009). Kalus jeruk keprok Garut dapat terinduksi karena adanya kombinasi zat pengatur tumbuh 2.4 D, BAP dan Casein Hydrolisat dalam konsentrasi yang tepat sehingga mampu menghasilkan kalus yang embriogenik. Zat pengatur tumbuh 2.4 D termasuk kelompok auksin yang 54 banyak berperan dalam induksi kalus sedangkan BAP termasuk kelompok sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel sehingga kalus yang terbentuk dapat berproliferasi (Haryadi 2009). Casein Hydrolisat merupakan sumber N organik yang mudah diserap oleh sel sehingga membantu dalam menghasilkan kalus yang embriogenik. Penambahan Casein Hydrolisat dapat meningkatkan hasil biomasa dan kandungan protein total yang didapat dari kultur tanaman paria belut (Trichosanthes cucumerina) (Sukma 2003) Kalus hasil perbanyakan dalam media proliferasi digunakan sebagai material untuk penelitian selanjutnya. Kalus emberiogenik merupakan kumpulan sel tunggal yang aktif membelah secara asimetris dan membentuk proembrio. Proembrio berdiferensiasi dan menghasilkan tanaman baru. Kalus dipilih untuk memdapatkan material awal dalam jumlah yang banyak, terhindar dari kimera dan untuk menghasilkan mutan solid. Mutan solid yaitu mutan yang seluruh selnya mengalami mutasi dan menghasilkan konstitusi genetik yang sama. Penggunaan jaringan atau multisel dapat memunculkan pengaruh kimera. Kimera adalah jaringan tanaman yang mengandung sel-sel termutasi dan sel-sel normal sehingga memiliki konstitusi genetik yang berbeda. Beberapa macam kimera yang dapat terjadi yaitu meriklinal, periklinal dan sektoral. Kimera jenis periklinal lebih stabil dan dapat menghasilkan mutan solid, kimera jenis meriklinal sangat tidak stabil umumnya mutasi yang terjadi akan kembali ke sifat asal, sedangkan kimera jenis sektoral akan memunculkan fenomena diplotic selection. Diplotic selection adalah kondisi dimana dalam suatu jaringan yang terkena mutasi terjadi kompetisi antara sel-sel termutasi dengan sel-sel normal, jika sel-sel termutasi dapat mendominasi maka tanaman akan menjadi mutan sedangkan jika sel-sel normal yang mendominasi maka sifat yang muncul adalah sifat awal tanaman tersebut (kembali kekondisi yang normal). Mutan solid dapat dihasilkan dari kalus, embrio, suspensi sel dan kultur protoplas (Maluszynski et al. 1995). Kalus hasil proliferasi diberikan perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis sesuai perlakuan. Pemilihan sinar gamma sebagai mutagen dikarenakan sinar gamma merupakan gelombang elektronik yang memiliki daya penetrasi yang tinggi dibandingkan sinar alfa dan beta, aplikasinya lebih mudah, peluang untuk terjadi mutasi lebih tinggi dan hasilnya dapat diulang (Van Harten 1998). 55 Kalus yang telah diberikan perlakuan iradiasi ditanam dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pengamatan dilakukan pada minggu ke-6 setelah tanam dan dihasilkan adanya perubahan warna kalus dan terhambatnya pembelahan sel pada dosis di atas 30 Gy. Peningkatan dosis iradiasi menghambat pertumbuhan sel-sel kalus akibat rusaknya ikatan atom pada molekul. Kerusakan sel yang tinggi dapat terjadi pada materi yang banyak mengandung air. Kerusakan sel dapat menyebabkan terhambatnya proliferasi sehingga menurunkan berat kalus. Kerusakan ini disebabkan adanya ion hasil iradiasi yang bereaksi dengan air. Reaksi ini menghasilkan radikal bebas dan peroksida yang sangat aktif. Energi yang sangat aktif dan labil mampu merusak setiap molekul yang ditemuinya sehingga dapat mengganggu mekanisme biologi dalam sel (Van Harten 1998). Kerusakan yang dihasilkan dapat berpengaruh secara fisiologis seperti terjadinya perubahan warna kalus dan terhambatnya pembelahan sel. Sel-sel yang mengalami kerusakan fisiologis dan mampu memperbaiki dirinya akan dapat bertahan dan berdiferensiasi pada tahap selanjutnya. Kerusakan fisiologis juga dialami pada kalus beberapa tanaman. Peningkatan dosis iradiasi sinar gamma di atas 20 Gy menyebabkan terjadinya perubahan warna kalus nilam dari putih kekuningan menjadi kecoklatan pada hari ke-30 setelah iradiasi (Kadir 2007). Peningkatan dosis sekitar 60 Gy pada jeruk mandarin kinnow (Altaf et al. 2004), dosis 20 Gy pada nilam (Kadir 2007) dan dosis 10 Gy pada jeruk siam (Husni & Kosmiatin 2011) dapat menghambat proliferasi kalus. Perubahan warna kalus dan terhambatnya proliferasi sel menunjukan tingkat sensitivitas kalus jeruk keprok Garut terhadap iradiasi sinar gamma yang diberikan. Tingkat sensitivitas suatu jaringan terhadap iradiasi dapat diketahui melalui radiosensitivitas. Pengaruh radiosensitivitas pada setiap tanaman berbedabeda. Hal ini dapat diketahui melalui pendekatan Lethal dose 50 (LD50) yaitu dosis iradiasi yang menyebabkan kematian 50% bahan tanaman yang diberi perlakuan iradiasi atau melalui pendekatan Growth Reduction (GR50) yaitu dosis yang menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% pada bahan tanaman yang diberi perlakuan iradiasi (Amano 2004). Hasil analisis diperoleh GR50 kalus embriogenik keprok Garut berada sekitar 75.31 Gy. Dosis di sekitar GR50 56 diharapkan dapat menghasilkan keragaman yang tinggi. Dosis di sekitar GR50 dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam penelitian-penelitian selanjutnya khususnya pada tanaman jeruk keprok. Keragaman yang tinggi di sekitar GR50 diharapkan dapat menghasilkan tanaman jeruk keprok Garut dengan karakter yang diinginkan. Nilai GR50 atau LD50 setiap tanaman berbeda-beda, pada kalus manggis berada di sekitar 25 Gy (Qosim 2007), biji limau langkat di sekitar 50 Gy (Noor et al. 2009), kalus embriogenik alpukat di sekitar 20 – 30 Gy (Avenido 2009) dan tunas aksilar jeruk mandarin Nova di sekitar 20 Gy (Vos 2009). Dosis iradiasi yang diberikan untuk mendapatkan mutan tergantung pada jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, kekerasan bahan yang akan dimutasi (Soerdjono 2003). Keberhasilan program pemuliaan mutasi sangat bergantung pada pemilihan mutagen (fisik atau kimia), metode aplikasi (akut atau kronik), dosis yang optimum, tahap perkembangan fisiologi materi tanaman (dorman atau pertumbuhan), bagian tanaman atau jaringan yang diperlukan (mata tunas, setek, jaringan, nuselus, zigot atau embrio) dan teknik penanaman materi yang diiradiasi dan seleksi pada generasi selanjutnya (Donini et al.1990). Sel-sel kalus hasil iradiasi yang mampu bertahan dapat berdiferensiasi dalam media pendewasaan yang mengandung ABA. Sel-sel aktif akan berubah dan memasuki tahapan embriogenesis dengan bantuan ABA. Sel kalus akan berubah menjadi proembrio, kemudian membentuk globular yang selanjutnya berubah menjadi seperti jantung, torpedo dan kotiledon. Kemampuan diferensiasi dari setiap sel hasil iradiasi, selain pengaruh mutasi juga dipengaruhi adanya ABA dalam media. Embrio somatik pada proses pendewasaan akan berhenti berproliferasi, ukurannya membesar, dan mulai mengakumulasi cadangan nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Embrio dirangsang untuk menjadi dewasa dengan menggunakan asam absisik (ABA) dan meningkatkan potensial osmotik (Egerstsdotter 1999). ABA berperan sebagai inhibitor, termasuk kelompok zat pengatur tumbuh yang yang banyak berperan dalam peningkatan embriogenesis, ketahanan terhadap stres, dormansi, perkecambahan dan pertumbuhan (Haryadi 2009). Berdasarkan beberapa penelitian pada jeruk keprok batu (Merigo 2011), jeruk siam (Husni et al. 2010), nenas simadu (Purnamaningsih et al. 2009), ABA berperan dalam meningkatkan perkembangan 57 embrio sehingga mampu berdiferensiasi menjadi embrio dewasa. Kemampuan sel-sel kalus hasil iradiasi pada setiap dosis perlakuan memiliki kemampuan yang berbeda dalam membentuk embrio. Hasil tersebut dikarenakan iradiasi sinar gamma yang menembus inti sel dapat menyebabkan terjadinya mutasi yang bersifat acak. Mutasi yang dihasilkan tidak bisa diarahkan pada target tertentu karena banyak faktor yang mempengaruhi. Pengaruh iradiasi dapat menyebabkan terjadinya mutasi genom, kromosom, gen ataupun sitoplasma. Beberapa faktor yang berpengaruh pada keberhasilan terjadinya mutasi seperti genotipe yang digunakan, bagian tanaman yang diiradiasi dan dosis iradiasi yang digunakan (Donini et al. 1990). Pengaruh mutasi yang bersifat acak terlihat dari hasil regenerasi kalus yang diberi perlakuan iradiasi. Pembentukan embrio somatik yang dihasilkan tidak menunjukan pola yang teratur. Pembentukan embrio somatik pada setiap dosis menunjukan respon yang berbeda. Pola ini terlihat dari jumlah embrio somatik yang dihasilkan antar dosis iradiasi tidak sama. Hasil ini menunjukan pengaruh acak dari ionisasi sinar gamma sehingga kita tidak bisa menduga hasil akhir yang akan diperoleh. Sifat acak dapat terlihat pada sejumlah embrio somatik yang dihasilkan. Dosis iradiasi 20 Gy dan 100 Gy menghasilkan embrio somatik dengan jumlah tinggi sedangkan pada dosis iradiasi 90 Gy menghasilkan embrio somatik paling rendah. Hasil di atas menunjukan bahwa pengaruh iradiasi yang menyebabkan terjadinya mutasi ini dapat bersifat positif maupun negatif. Sifat positif mucul dikarenakan mutasi yang terjadi dapat mengaktifkan gen-gen yang berperan dalam mekanisme pembentukan embrio, sedangkan sifat negatif muncul jika gen-gen pembentuk embrio menjadi tidak aktif. Mutasi ini diduga mutasi titik dimana terjadi kesalahan berpasangan basa pada rantai nukleotida baik secara transversi maupun transisi. Sifat acak iradiasi juga berpengaruh pada regenerasi kalus nanas, dimana pada dosis 20 Gy menghasilkan embrio somatik lebih tinggi dibandingkan pada dosis 15 Gy (Purnamaningsih et al. 2006). Embrio somatik yang terbentuk selanjutnya ditanam dalam media perkecambahan yaitu media dasar MS yang ditambahkan zat pengatur tumbuh GA3. Embrio somatik yang memiliki struktur bipolar ini akan tumbuh membentuk 58 kecambah dan selanjutnya akan berkembang menjadi planlet atau tunas regeneran dengan munculnya pucuk dan akar. Sejumlah embrio somatik yang ditanam dalam media perkecambahan tidak semua mampu berkecambah. Jumlah embrio somatik pada setiap dosis perlakuan yang berhasil berkecambah bervariasi. Total embrio somatik yang dihasilkan dalam media pendewasaan yaitu 887 embrio somatik, dan yang mampu berkecambah hanya 31.76% yaitu sejumlah 283 kecambah. Hasil ini menunjukan terjadi penghambatan embrio somatik untuk berkecambah. Pengaruh ionisasi akibat iradiasi sinar gamma ini dapat terbawa pada setiap tahap diferensiasi. Mutasi yang terjadi pada setiap sel tidak sama sehingga pengaruh yang munculpun tidak sama. Kalus yang mampu berdiferensiasi membentuk embrio memiliki kemampuan yang berbeda pula untuk berkecambah, dan kecambah yang dihasilkanpun bervariasi berupa kecambah normal atau kecambah abnormal. Mutasi yang terjadi diduga berada di daerah kromosom. Mutasi kromosom dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada struktur dan jumlah kromosom. Mutasi struktur dapat menyebabkan terjadinya delesi, inversi, duplikasi dan translokasi, sedangkan mutasi jumlah kromosom dapat menyebabkan terjadinya penambahan atau pengurangan jumlah kromosom dalam sel (Van Harten 1998). Keberhasilan embrio berkecambah juga karena adanya pengaruh GA3 dalam media perkecambahan. GA3 merupakan salah satu zat pengatur tumbuh kelompok Giberelin yang umumnya digunakan untuk memecah dormansi, menginduksi perkecambahan dan elongasi tunas (Haryadi 2009). Dosis iradiasi 20 Gy menghasilkan jumlah embrio somatik berkecambah tertinggi dan semakin meningkat dosis iradiasi menurunkan jumlah embrio yang berkecambah. Hasil yang sama juga dilaporkan bahwa peningkatan dosis iradiasi sinar gamma menghambat kemampuan regenerasi embrio tanaman nilam (Kadir 2007), manggis (Qosim 2007), krisan (Yamaghuci 2008) dan nanas (Suminar 2010). Embrio somatik yang berkecambah memiliki morfologi yang beragam. untuk memaksimalkan pertumbuhan kecambah agar memiliki morfologi yang dapat diidentifikasi keragamannya maka perlu dinormalkan dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Penanaman berulang dilakukan empat kali (SK1-SK4) dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh yang dilakukan setiap empat minggu 59 sampai dihasilkan tunas regeneran dengan morfologi normal. Penanaman kecambah pada empat minggu pertama dihasilkan tunas dengan morfologi beragam seperti tunas roset, tunas vitrous, tunas abnormal (tanpa batang dan daun),tunas yang terhambat pertumbuhannya,daun yang abnormal dan batang yang berkerut. Pemberian mutagen sinar gamma yang menghasilkan radikal bebas dan terbentuknya senyawa hidrogen peroksida yang bersifat toksik dapat bereaksi dengan senyawa penting dalam proses metabolisme dan mengakibatkan gejala abnormalitas. Keadaan ini menyebabkan terjadi kerusakan fisiologis dan proses pembelahan serta diferensiasi sel menjadi terhambat yang pada akhirnya memacu kerusakan jaringan (Ismachin 1988). Keragaman morfologi yang dihasilkan diduga tidak hanya karena pengaruh iradiasi tetapi ada juga karena pengaruh variasi somaklonal. Variasi somaklonal adalah sel-sel termutasi yang dihasilkan pada perbanyakan klonal. Penyebab utama terjadinya variasi somaklonal seperti perbanyakan tanaman dengan menggunakan kalus, penggunaan zat pengatur tumbuh 2.4 D atau dicamba, penggunaan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi tinggi dan subkultur berulang yang tinggi (Zulkarnain 2009). Keragaman akibat variasi somaklonal dapat dilihat dari morfologi tunas yang dihasilkan, seperti pada kalus nanas yang telah berumur 4 tahun dan telah mengalami penanaman berulang yang tinggi dihasilkan tunas regeneran dengan morfologi yang beragam (Roostika 2012). Penurunan jumlah kecambah atau tunas pada setiap penanaman dalam media MS tanpa zat pengatur tumbuh menunjukan adanya pengaruh iradiasi yang menghambat diferensiasi kecambah menjadi tunas regeneran normal. Tunas regeneran yang dihasilkan mempunyai bentuk yang normal dengan karakter morfologi yang dapat dibedakan keragamannya. Keragaman pada morfologi tunas regeneran yang dihasilkan diharapkan memiliki keragaman secara genetik pula. Perubahan akibat mutasi dapat menyebabkan proses fisiologis yang dikendalikan secara genetik dalam tanaman menjadi tidak normal dan menimbulkan variasi-variasi genetik baru (Soeranto 2003). Tunas-tunas regeneran yang dihasilkan menunjukan adanya perbedaan morfologi. Perbedaan yang dihasilkan setiap tunas regeneran menunjukan adanya 60 keragaman dan diharapkan menghasilkan perubahan genetik. Menurut Miglani (2006), jika dua atau lebih genotipe ditumbuhkan pada kondisi lingkungan yang sama (in vitro) sehingga menghasilkan pertumbuhan yang berbeda, maka kedua regeneran tersebut mempunyai genotipe yang berbeda. Identifikasi keragaman hasil induksi mutasi dapat berdasarkan penanda morfologi dan molekuler. Pengamatan awal untuk melihat adanya keragaman dapat melalui pengamatan morfologi dan untuk memastikan keragaman yang dihasilkan dilakukan identifikasi secara molekuler. Pengamatan morfologi diamati secara visual dengan mengamati fenotipe tunas regeneran yang dihasilkan. Pengamatan keragaman morfologi dapat diamati secara kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan kualitatif yaitu dengan menggambarkan fenotipe tunas regeneran, sedangkan pengamatan kuantitatif yaitu dengan melakukan pengukuran dan diperoleh data keragaman tunas regeneran. Keragaman morfologi dapat pula diidentifikasi berdasarkan jumlah dan ukuran stomata. Stomata merupakan celah dalam epidermis yang dibatasi oleh dua sel epidermis khusus yaitu sel penutup. Dengan mengubah bentuknya sel penutup mengatur pelebaran dan penyempitan celah. Sel yang mengelilingi stomata dinamakan sel tetangga yang berperan dalam perubahan osmotik yang menyebabkan gerakan sel penutup dalam mengatur lebar celah (Estiti 1995). Kerapatan stomata sangat tergantung pada ukuran sel, jika ukuran sel penjaga kecil maka kerapatan stomata lebih banyak. Begitu juga,sebaliknya jika ukuran sel penjaga lebih besar maka kerapatan stomata menurun. Kerapatan stomata sangat tergantung pada genotipe dan kondisi lingkungan. Genotipe yang memiliki tingkat ploidi besar biasanya genotipe tersebut memiliki kerapatan stomata rendah (Willmer 1983). Jumlah dan kerapatan stomata yang dihasilkan akan berpengaruh pada ukuran stomata. Stomata yang ditemukan dalam jumlah yang banyak akan memiliki kerapatan yang tinggi dengan ukuran stomata kecil-kecil, sedangkan jumlah stomata yang sedikit akan memiliki kerapatan yang rendah dengan ukuran stomata yang besar. Hasil pengamatan pada stomata tunas regeneran jeruk keprok Garut hasil iradiasi menghasilkan tunas yang berbeda yaitu pada M40/3 danM60/2 dengan ukuran panjang dan lebar stomata lebih besar dan diduga berhubungan 61 dengan tingkat ploidi. Menurunnya jumlah stomata dan meningkatnya ukuran (panjang dan lebar) stomata berhubungan dengan tingkat ploidi dari tanaman tersebut. Semakin meningkatnya panjang dan lebar stomata menunjukan semakin banyak jumlah kloropas sel penjaga. Jumlah kloroplas sel penjaga menentukan jumlah ploidi genotipe tersebut. Berdasarkan penelitian Roostika et al. (2009) bahwa dari sejumlah kloroplas sel penjaga yang diamati pada tanaman purwaceng sesuai dengan jumlah kromosom tanaman tersebut. Begitu pula hasil dari penelitian Winarto et al. (2010) pada tanaman hias anthorium. Pengamatan morfologi secara in vitro memiliki kelemahan terutama dalam hal konsistensi hasil karena penampakan karakter morfologi mungkin berubah setelah tanaman mencapai fase pertumbuhan tertentu. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda morfologi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan memiliki tingkat keragaman atau polimorfisme yang rendah (Asiedu et al. 1989). Keragaman genetik tunas regeneran hasil mutasi sinar gamma secara in vitro dapat dipastikan keragamannya melalui penanda molekuler. Salah satu penanda yang dapat digunakan dan memiliki kelebihan dibandingkan penanda RAPD adalah penanda ISSR. Aplikasi penanda ISSR tidak dibutuhkan sampel dalam jumlah yang besar sehingga memudahkan khususnya untuk tanaman yang dihasilkan secara in vitro. Tahapan yang dilakukan yaitu isolasi DNA, amplifikasi dengan PCR, uji kualitas dan kuantitas, dan terakhir elektroforesis. Tunas regeneran terpilih dianalisis dengan penandan ISSR dengan menggunakan 8 primer. Hasil analisis elektroforesis menghasilkan hanya 7 primer yang mampu mengamplifikasi. Amplifikasi terjadi jika dua mikrosatelit sekuen berulang yang sama dalam orientasi terbalik berlokasi cukup dekat satu sama lain sehingga memungkinkan sekuen di antaranya untuk teramplifikasi (Pharmawati 2009). Hasil amplifikasi dari 7 primer menghasilkan sejumlah pita, dan pola pitanya dikelompokan menjadi dua yaitu pita polimarfik dan pita monomorfik. Polimorfik ditandai dengan ada atau tidaknya pita yang dihasilkan suatu sampel. Polimorfik merupakan gambaran amplifikasi yang diperoleh dari perbedaan fragmen DNA yang diobservasi dan diskor sebagai tanda ada atau tidaknya perbedaan sekuen sehingga menunjukan ada tidaknya variasi (McGregor et al. 62 2000). Meningkatnya pita polimorfik yang dihasilkan dalam suatu populasi menunjukan adanya keragaman genetik (Xia et al. 2007). Hasil elektroforesis menghasilkan sejumlah pita dengan ketebalan berbeda, dihasilkan pita yang jelas, pita yang tebal dan menumpuk, dan pita yang tipis atau redup. Jumlah pita dan intensitas pita DNA yang dihasilkan tergantung pada kemampuan primer mengenali urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA yang digunakan (Poerbo & Martanti 2008). Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik sering menghasilkan pita DNA amplifikasi yang redup (Poerbo & Martanti 2008). Demikian pula apabila konsentrasi DNA terlalu rendah akan menghasilkan fragmen sebagai pita yang sangat tipis pada gel atau bahkan pita tidak terlihat secara visual. Sebaliknya konsentrasi DNA yang terlalu tinggi akan menyebabkan fragmen terlihat tebal sehingga sulit dibedakan antara satu pita dengan pita yang lain (Roslim et al. 2003). Tunas regeneran jeruk hasil induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma secara in vitro berdasarkan data pita polimorfik yang dianalisis dengan NTSYS menghasilkan dendogram dengan keragaman genetik sekitar 0-26%. Hasil analisis penanda RAPD pada tunas manggis in vitro hasil iradiasi menghasilkan keragaman sebesar 9-40% (Qosim 2006), begitu pula pada tunas nanas in vitro berdasarkan analisis penanda ISSR menghasilkan keragaman sebesar 4- 28% (Suminar 2010). Pertumbuhan tunas mutan putatif dapat dipercepat dengan melakukan penyambungan. Penyambungan merupakan suatu teknik menggabungkan dua bagian tanaman dan dihasilkan satu tanaman sambung. Dalam budidaya tanaman teknik penyambungan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan batang atas, untuk mempercepat masa tanaman berproduksi, untuk peremajaan tanaman dan untuk menghasilkan bibit tanaman bebas penyakit (Mangoendidjojo 2003). Penyambungan terdiri dari batang atas dan batang bawah. Batang atas umumnya adalah tanaman yang telah terseleksi dan memiliki keunggulan. Tanaman yang digunakan sebagai batang bawah harus memenuhi kriteria seperti memiliki perakaran yang kuat, memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi tanah yang kurang subur, memiliki kemampuan tumbuh sebaik batang atas, memiliki 63 ketahanan terhadap penyakit, dapat bersinergi dengan batang atas sehingga menghasilkan buah yang berkualitas atau unggul, memiliki kesesuaian yang luas (Mangoendidjojo 2003). Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan penyambungan yaitu teknik penyambungan yang tepat dan benar, kesesuaian antara batang atas dan batang bawah, faktor lingkungan dan tipe penyambungan yang dipilih. Tipe penyambungan menurut Toruna (2006) terdiri atas tipe penyambungan membentuk huruf “L”, tipe penyambungan membentuk huruf “V”, penyambungan miring, penyambungan horisontal dan penyambungan dengan teknik diselipkan. Penyambungan dengan teknik potong membentuk huruf “V” menghasilkan persentase penyambungan yang tinggi seperti penyambungan pada tanaman kina (Toruna 2006). Penyambungan pada penelitian yang dilakukan adalah dengan tipe diselipkan dan dihasilkan persentase kematian yang tinggi khususnya pada tanaman dengan ukuran diameter yang jauh berbeda. Waktu yang dibutuhkan untuk batang atas menyambung dengan batang bawah pada setiap tanaman berbeda-beda. Mekanisme terjadinya penyambungan ini diawali dengan pemilihan tipe penyambungan yang tepat. Penyambungan dilakukan dengan benar dan tepat sehingga antara kambium batang atas tepat menempel pada kambium batang bawah. Suhu lingkungan yang sesuai akan mempercepat induksi kalus. Kalus yang terbentuk adalah jaringan parenkim yang saling jalin menjalin antara batang atas dan batang bawah. Kalus yang terbentuk seiring waktu akan berdiferensiasi membentuk kambium baru yang akan menempel pada kambium lama. Semakin banyak kambium baru menempel pada kambium lama maka persentase keberhasilan penyambungan semakin tinggi (Hartmann et al. 1997). Penyambungan jeruk keperok Garut hasil iradiasi dibutuhkan waktu sekitar 4 minggu untuk beradaptasi dan munculnya kalus yang membentuk kambium baru. Waktu penyambungan pada tanaman karet dibutuhkan sekitar 3 minggu (Kala et al. 2002), pada tanaman kina perkembangan penyambungan dapat diamati pada minggu ke-3 dan ke-4 sedangkan pada tanaman duku perkembangan kalus masih terjadi sampai planlet berumur tiga bulan (Faiz 2003). Penyambungan yang gagal dapat disebabkan karena tidak adanya pertautan yang 64 sempurna antara batang atas dan batang bawah dan munculnya jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik merupakan rongga-rongga yang muncul akibat matinya sel-sel pembuluh dan dapat menghalangi bertemunya jaringan batang atas dan batang bawah. Jaringan nekrotik muncul karena terhambatnya transportasi air dan mineral dari batang bawah ke batang atas. Penyambungan secara in vitro memiliki tinggat keberhasilan lebih tinggi dikarenakan pada saat inkubasi faktor lingkungan tidak menjadi kendala sehingga persentase kemampuan hasil sambungan untuk hidup menjadi lebih tinggi. Berbeda dengan penyambungan secara exvitro, pengaruh lingkungan menjadi kendala terbesar dimana kondisi cuaca tidak dapat diprediksi sehingga mempengaruhi suhu dan kelembaban lingkungan. Respon pertumbuhan tanaman sambung hasil ex vitro lebih cepat dibandingkan tanaman sambung in vitro. Tanaman sambung ex vitro membutuhkan waktu lebih singkat untuk siap dibawa ke lapang dibandingkan tanaman sambung in vitro yang perlu diadaptasi dalam aklimatisasi yang masih memungkinkan terjadinya kematian tanaman.