I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan delimitasi batas maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: • Tujuan delimitasi • Prinsip delimitasi Konvensi PBB 1982 • Prinsip lain dari Mahkamah Internasional • Pertimbangan yang relevan dan tidak relevan • Pendekatan tiga tahap (three-stage approach) • Pengertian dan peran pulau – Pasal 121 LOSC, State practice, case law C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis b. Keaktivan berdiskusi E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) + TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.Berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : I Made Andi Arsana II. BAHAN AJAR 1. Pengertian dan Tujuan Delimitasi Delimitasi batas maritim antar negara adalah penentuan batas wilayah atau kekauasaan antara satu negara dengan negara lain (tetangganya) di laut. Di dalam konteks batas maritim perlu terlebih dahulu difahami pengertian tentang limit batas maritim (maritime limits) dan batas maritim (maritime boundaries), Limit batas maritim adalah batas terluar zona maritim sebuah negara (laut teritorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang lebarnya diukur dari garis pangkal. Pada dasarnya limit batas maritim ini ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada 1 tumpang tindih dengan negara lain. Penentuan limit batas maritm dilakukan oleh suatu negara yang letaknya di tengah samudera dan jauh sekali dari negara-negara lain, maka negara tersebut bisa menentukan batas terluar zona maritimnya secara sepihak tanpa harus berurusan dengan negara tetangga. Batas terluar ini disebut dengan limit batas maritim (maritime limits) (Antunes, 2000). Sebagai contoh, di sebelah selatan P. Jawa, karena jauh dari negara lain maka Indonesia dapat mengklaim secara penuh batas territorial 12 mil dan ZEE selebar 200 mil laut dari garis pangkal. Batas terluar territorial dan ZEE semacam ini disebut dengan "maritime limits". Meski demikian, kenyataannya jarang ada satu negara yang bisa menentukan zona maritim tanpa berurusan dengan negara lain. Misalnya, di Selat Malaka, Indonesia tidak mungkin mengklaim 200 mil ZEE karena jaraknya dengan Malaysia dekat sekali, sementara itu, Malaysia juga berhak atas ZEE. Disinilah diperlukan usaha membagi laut. Prosesnya disebut maritime delimitation yang dilakukan secara bilateral. Proses maritime delimitation ini menghasilkan maritime boundaries (batas maritim). Sebagai ilustrasi dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 (Andi, I. M. A, 2011) Gambar 1 : Maritime Limits dan Maritime Boundary (Sumber : Arsana, I.M.A, 2011) Zona maritim yang bisa diklaim oleh negara pantai untuk fungsi kedaulatan maupun hak berdaulat baik dengan metode Maritime Limits dan Maritime Boundary (tergantung kondisi lapangan) harus mengacu kepada ketentuan UNCLOS 1982 (United Nations 2 Convention on the Law of the Sea tahun 1982). Gambar 2 mengilustrasikan zona maritim yang bisa diklaim oleh negara pantai diukur dari garis pangkal. Zona Yurisdiksi Maritim Landas kontinen Garis pangkal Perairan pedalaman dasar laut, lapisan tanah, spesies sedenter Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Kawasan Laut Bebas tubuh air, dasar laut, lapisan tanah bawah 12 M Laut Teritorial zona Tambahan 200 M 12 M Shelf Permukaan laut Slop Atas [email protected] © 2008 Dataran tinggi atau Teras Slop bawah tanjakan Laut dalam I Made Andi and Arsana (c) 2011 Why do you want to take this off? What you are doing is a crime unethical I Made Andi Arsana Teknik Geodesi dan Geomatika, UGM Gambar 2 : Zona Batas Maritim menurut UNCLOS 1982 (Sumber : Andi,I.M.A.,2009) 1. Laut Teritorial (sovereignty) Pasal 3 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa setiap negara pantai berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini. Di dalam TALOS (The Manual on Technical Aspect of the UNCLOS) ditegaskan lagi bahwa laut teritorial diukur dari garis pangkal ke arah laut dengan jarak yang tidak melebih 12 mil laut. Dengan demikian, di kawasan laut yang terletak di bagian dalam garis batas teritorialnya, sebuah negara pantai memiliki kedaulatan penuh. Namun demikian sesuai dengan UNCLOS, negara tersebut juga harus memberikan lintas damai kepada kapal-kapal negara lain sepanjang kapal-kapal negara asing tidak melanggar hukum dan perdamaian (sebagai catatan 1 mil laut = 1852 m ). 2. Zona Tambahan (sovereign rights) Dalam Pasal 33 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa negara pantai dapat melaksanakan pengawasan pada wilayah laut di luar laut teritorialnya sejauh maksimum 24 mil laut dari garis pangkal. Pengawasan yang dimaksud adalah untuk: a) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam laut teritorialnya b) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya. 3 3. Zona Ekonomi Eksklusif (sovereign rights) Bab V pasal 55, 56 dan 57 UNCLOS 1982 mengatur mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982, berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain di atur. Di dalam ZEE, negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam, kebebasan navigasi, hak penerbangan udara, dan melakukan penanaman kabel serta jalur pipa ( Andi,I.M.A, 2007). 4. Landas Kontinen (sovereign rights) Pasal 76 UNCLOS 1982 menyebutkan tentang batas landas kontinen, yaitu meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Pasal 77 menyebutkan bahwa negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi terdiri dari sumberdaya mineral, sumberdaya non hayati, sumberdaya hayati jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat sudah dapat dipanen tetap berada pada atau di bawah dasar laut. 2.Prinsip delimitasi Konvensi PBB 1982 Kompleksitas delimitasi batas maritim, dimana melibatkan aspek legal dan teknis seperti disebutkan dalam pasal-pasal UNCLOS di atas, akan memberikan hasil akhir berupa garis batas hasil demilitasi antara dua Negara atau lebih. Setelah proses delimitasi tersebut dilakukan sesungguhnya akan menghasilkan dua hal bagi sebuah Negara pantai, yaitu terjaminnya hak Negara pantai dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah perairan termasuk hasil delimtasi dan kejelasan kegiatan navigasi yang di wilayah Negara tersebut dan juga memberikan kejelasan kewajibnan yang harus dipenuhi oleh sebuah Negara pantai, khususnya tanggung jawab konservasi dan security atas wilayah laut yang dimiliki. Delimitasi batas maritime harus dilakukan ketika terjadi tumpang tindih klaim (overlapping klaim) antara dua Negara atau lebih. Tumpang tindih klaim dapat diterjadi di wilayah laut territorial, ZEE maupun landas kontinen. Sesuai hukum yang berlaku, masing-masing tumpang tindih klaim tersebut diselesaikan dengan metode yang berbeda. Ilustrasi tumpang tindih klaim antara dua Negara dapat dilihat pada gambar 3. 4 Gambar 3. Ilustrasi tumpang tindih klaim ZEE Proses delimitasi batas maritime antara dua atau lebih Negara pantai diatur oleh prinsipprinsip dan aturan hukum internasional public. Hukum internasional menyediakan aturan main yang menjelaskan bagaimana delimitasi seharusnya dilakukan. Namun demikian, delimitasi batas maritime biasanya diselesaikan melalui perundingan (negoisasi) antara pihak-pihak yang terlibat atau dengan mengajukan kasus delimitasi kepada pihak ketiga yang dipercaya, misalnya Mahkamah Internasional dan International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS). Selain cara tersebut dapat juga dilakukan mediasi dan arbritasi yaitu dengan melibatkan pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua Negara terlibat. Pihak ketiga ini bisa institusi maupun perorangan. 1. Delimitasi Laut territorial Delimitasi laut teritorla diatur dalam pasal 15 UNCLOS. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa dua Negara yang saling berhadapan atau berdampingan tidak diperkenankan mengklaim laut territorial melebihi garis tengan (median line) antara kedua Negara tersebut, kecuali jika kedua Negara tersebut membuat kesepakatan lain, atau karena adanya hak menurut pertimbangan sejarah atau kondisi khusus lainnya yang memungkinkan tidak diterapkannya prinsip garis tengah. Kondisi khusus yang bisa mempengaruhi pemilihan garis batas maritim selain garis tengah antara lain adanya pulau-pulau lepas pantai, bentuk garis pantai atau klaim khusus atas wilayah perairan berdasarkan pertimbangan sejarah. Menurut pasal 15 UNCLOS, sebuah Negara bisa memilih untuk tidak menetapkan prinsip garis sama jarak atau garis tengah jika pihak yang terlibat setuju, atau jika ada pertimbangan historis atau kondisi istimewa lainnya. Satu Negara A bisa saja mengklaim adanya pertimbangan sejarah atau kondisi istimewa sehingga memungkinkan untuk tidak 5 menggunakan garis tengah atau garis sama jarak akan tetapi Negara B bisa juga tidak menyetujui apa yang dikemukakan oleh Negara A. Akibatnya antara Negara A dan B akan terjadi sengketa yang perlu penyelesaian. Visualisasi delimitasi laut territorial dapat dilihat pada gambar 4. State practsise untuk hal metode delimitasi batas laut territorial antara dua atau lebih Negara yang bersebarangan menunjukkan bahwa garis tengan yang merupakan garis sama jarak dari titik-titik terdekat kedua Negara, telah diterima sebagai garis batas maritim (Churcil dan Lowe, 1999:182). Dalam kasus dua atau lebih Negara yang berdampingan, kedua penulis juga menyatakan hal senada yaitu digunakannya prinsipprinsip sama jarak yang merupakan perpanjangan garis batas darat di pantai. Meski demikian, adanya beberapa unsur lepas pantai seperti pulau-pulau besar dan kecil, misalnya dapat mengakibatkan dipilihnya metode lain menurut kesepakatan (Churcill and Lowe, 1999: 183). 2. Delimitais Zona Tambahan UNCLOS 1982 dengan jelas menyatakan bahwa zona tambahan semestinya mencakup lebar maksimum hingga 24 mil laut, tanpa menyebut aturan secara eksplisit mengenai delimitasi zona tambahan itu. Menurut Churcill dan Lowe (1999: 136-137) ada setidaknya dua alasan untuk hal tersebut. Mereka mengemukakan pertama adalah zona tambahan sebenarnya ada di dalam ZEE oleh karena itu delimitasi zona tambahan adalah juga bagian dari delimitasi sebagian atau keseluruhan ZEE. Alasan kedua adalah karena zona tambahan bukanlah merupakan wilayah kedaulatan atau yurisdiksi eksklusif, sehingga tidak ada alasan adanya delimitasi khusus untuk zona tambahan. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Hayasi (1997:572). 3. Delimitasi Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS 1982 delimitasi batas landas kontinen diatur dengan pasal 83, yang pada dasarnya tidak memuat petunjuk rinci prinsip delimitasi. Pasal 83 (1) menyatakan delimitasi landas kontinen antara Negara-negara dengan pantai yang berseberangan atau berdampingan dipengaruhi oleh perjanjian-perjanjian berdasarkan hukum internasional, seperti dinyatakan pada pasal 38 Statuta Makmamah Internasional, untuk mencapai solusi yang adil. Statuta Mahkamah Internasional yang diacu dalam pasal 83 UNCLOS tidak memberikan petunjuk tentang delimitasi batas maritim. Sebagai gantinya, UNCLOS mewajibkan pengadilan untuk mengacu kepada konvensi internasional, baik itu umum maupun khusus;memperhatikan aturan yang diakui oleh Negara-negara yang bertikai; kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum; dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh Negara-negara beradab di dunia. Dengan demikian, pasal 83 UNCLOS tidak menentukan secara spesifik metode delimitasi yang diwajibkan untuk landas kontinen tetapi lebih menekankan perlunya mencapai solusi yang adil (Prescott dan Schofeild, 2005: 220). 6 4. Delimatasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Di dalam UNCLOS delimitasi ZEE diatur oleh Pasal 74, dan hampir identik pasal 83 tentang delimitasi landas kontinen dimana tidak satupun dari pasal 74 maupun 83 menyebutkan petunjuk rinci tentang proses delimitasi tetapi hanya menyebutkan perlunya mencapai solusi yang adil. Dalam praktiknya, batas ZEE yang disetujui pada umumnya sama dengan batas landas kontinen, meskipun sebenarnya batas landas kontinen berlaku untuk dasar laut sedangkan batas ZEE berlaku untuk kolom air. Sehingga koordinat titiktitik batas untuk ZEE dan landas kontinen umumnya sama. Visualisasi delimitasi batas ZEE dapat dilihat pada gambar 4. Seperti halnya delimitasi untuk landas kontinen, tidak ada petunjuk rinci tentang delimitasi ZEE. Para pembuat kesepakatan batas bisa saja secara bebas mempertimbangkan segala faktor yang dianggap relevan dan berpengaruh terhadap garis batas. Meski demikian, baik ZEE maupun landas kontinen, prinsip “two-stage approach” pada umumnya dianggap sebagai alternative pendekatan yang bisa diterima dalam delimitasi batas maritime. OIeh karena itu, garis ekuidistan biasanya ditarik sebagai garis batas sementara dan kemudian garis ekuidistan tersebut dimodifikasi berdasarkan pertimbangan yang relevan. Prescott dan Schofield (2005: 221) menyatakan bahwa jurisprudensi dan praktik Negara dalam decade terakhir cenderung untuk lebih menekankan peran fundamental geografi dalam delimitasi batas maritime pada kawasan 200 mil laut dari garis pangkal, dibandingkan faktor lainnya. Namun demikian, apapun pertimbangan yang digunakan dengan mencapai kesepakatan garis batas maritime, pihak-pihak terkait tidak wajib untuk mengumumkan cara dan alasan dicapainya sebuah kesepakatan delimitasi batas maritime. Hal ini karena delimitasi batas maritime, pada kenyataanya adalah proses politis dan berkaitan dengan isu yang sangat sensitive dan berhubungan dengan kedaulatan dan hak berdaulat suatu Negara. 7 Gambar 4. Proses Delimitasi Batas Maritim Laut Teritorial dan ZEE 3. Pertimbangan yang relevan dan tidak relevan Pada prinsip delimitasi yang sudah dijelaskan di atas, pada kenyataannya prinsip delimitasi yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional dan ITLOS menggunakan beberapa faktor yang relevan yang digunakan untuk proses delimitasi. Faktor-faktor tersebut adalah Geografis pantai dan panjang garis pantai/garis pangkal relevan. Geografi pantai khususnya penting penting karena zona maritime diukur dari muka pantai, yang dalam hal ini ukuran (luas) daratan di belakang pantai tersebut tidak relevan dalam proses delimitasi. Dalam kasus delimitasi batas landas kontinen antara Libya dan Malta (1985), panjang garis pantai masingmasing Negara yang trlibat secara signifikan mempengaruhi batas final, dalam hal ini garis final akhirnya berlokasi lebih dekat ke Malta karena Malta memiliki garis pantai yang lebih pendek dibandingkan Libya. Selain panjang garis pantai, pertimbangan geografis lain adalah bentuk pantai, yang juga bisa mempengaruhi pemilihan metode yang paling sesui untuk delimitasi. Sebuah pantai yang cekung (concave), misalnya bukan sebuah bentuk yang menguntungkan bagi penerapan garis ekuidistan untuk delimitasi batas maritim, karena ini akan mengakibatkan penyelesaian yang tidak adil karena yang memiliki garis pantai cekung akan terdesak/terkurung tidak memiliki akses ke laut lepas. Beberapa hal yang umumnya dianggap tidak relevan dalam delimitasi batas maritime antara lain masalah ekonomi, terdapatnya kekayaan alam dan ukuran daratan (land mass). Kondisi Negara yang kurang menguntungkan (miskin) tidak boleh dijadikan alasan untuk mendapatkan wilayah laut yang lebih besar atau lebih kecil dari semestinya. Demikian pula kekayaan alam di laut atau di dasar laut tidak bisa secara langsung mempengaruhi delimitasi batas maritime dan menguntungkan suatu pihak atas kemungkinan eksplorasi dan eksploitasi 8 kekayaan alam tersebut. Faktor terakhir adalah luas daratan, dimana sebuah Negara yang lebih luas tidak serta merta bisa mengajukan klaim wilayah maritime yang lebih luas. Dalam hal ini, yang berpengaruh adalah panjang garis pantai bukan luas daratan. 4.Pendekatan tiga tahap (three-stage approach) Dalam praktek delimitasi batas maritim yang dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional digunakan pendekatan tiga tahap dalam proses delimitasi untuk mendapatkan garis final. Tahapan yang dilalui antara lain: membuat garis batas sementara; menentukan faktor relevan yang mengubah konfigurasi garis tengah, dan uji proporsionalitas. Misalkan ada dua buah Negara yang berbatasan, maka pada tahap pertama adalah penarikan median line dari menggunakan garis pangkal sesuai dengan kondisi geografis Negara masing-masing. Setelah garis median line terbentuk, jika ada fitur maritime, misalnya pulau atau LTE, sebuah Negara yang terletak dekat dengan garis hasil median line, diperhitungkan efeknya pada garis median line dan kemudian dilakukan perubahan garis tersebut. Setelah perubahan faktor yang relevan dilakukan uji disproporsionalitas untuk melihat garis final yang terbentuk sesuai untuk masing-masing Negara. Gambar 5 menunjukkan bagaimana pendekatan tiga tahap dilakukan. Gambar 5. Pendekatan Tiga Tahap 5.Pengertian dan peran pulau – Pasal 121 LOSC, State practice, case law Pulau menurut Pasal 121 UNCLOS 1982 didefinisikan sebagai wilayah tanah (area of land) terbentuk secara alami (naturally formed), dikelilingi air (surrounded by water) dan harus berada di atas permukaan air saat pasut tertinggi (above water at high tide). Pulau berhak mengklaim zona maritime secara lengkap meliputi Laut territorial, ZEE dan Landas 9 Kontinen, sementara karang (rocks) hanya bisa mengklaim laut territorial dan zona tambahan dan tidak bisa mendukung kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi secara mandiri. Oleh karena itu, sebuah pulau dapat berlaku sebagai bagian dari garis pangkal bagi Negara pantai yang memiliki kedaulatan atas pulau itu. Untuk Negara kepulauan seperti Indonesia, pulau terluar sangat penting karena sangat berpengaruh pada luasan kawasan maritime yang bisa diklaim Indonesia. Hal ini menjadi alasan keluarnya Peraturan Presiden (PP) No. 78/2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. III. EVALUASI 1. Jelaskan prinsip delimitasi laut territorial untuk dua atau lebih Negara disertai gambar. 2. Jelaskan prinsip delimitasi ZEE untuk dua Negara atau lebih disertai gambar. 3. Jelaskan prinsip delimitasi Landas Kontinen untuk dua atau lebih Negara disertai gambar. 4. Jelaskan definisi dan peran pulau bagi sebuah Negara dalam hal klaim wilayah maritim. 5. Apa yang dimaksud pendekatan tiga tahap dalam delimitasi batas maritime, lengkapi dengan ilustrasi. 6. Apa perbedaan pulau dan karang? Dan bagaimana peran masing-masing pada klaim maritime sebuah Negara? Lengkapi dengan gambar. Jawaban soal evaluasi akan didskusikan di kelas DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Anonim, 1982, United Nations Convention on the Law of the Sea, United Nations Organisation, New York. 2. Anonim, 2000, Handbook on the Delimitation of Maritime Boundaries, United Nations Organisation, New York. 3. Anonim, 2006, A Manual On Technical Aspects Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea – 1982, Special Publication No. 51, 4th Edition - March 2006, Published by the International Hydrographic Bureau, MONACO 4. Churchill, R. and Lowe, A. (1999). The Law of the Sea, Manchester University Press Cole, George. M. (1997). Water Boundaries 5. Evans, Malcolm D. (1988). Relevant Circumstances and Maritime Delimitation, Clarendon Press – Oxford 6. Sutisna, S., 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal 10