169 BAB V SIMPULAN Bab ini menguraikan beberapa

advertisement
BAB V
SIMPULAN
Bab ini menguraikan beberapa simpulan berdasarkan hasil temuan dan bahasan pada bab
sebelumnya. Kemudian beberapa sub bab berikutnya dipaparkan berupa kontribusi penelitian,
keterbatasan penelitian, dan implikasi hasil temuan studi, yang dapat digunakan sebagai
bahan rujukan dan informasi bagi penelitian selanjutnya serta dapat digunakan untuk
pengambilan kebijakan oleh pemangku kepentingan terkait dan pengambilan keputusan
manajemen untuk pengembangan strategi manajemen perusahaan di masa mendatang.
5.1 Simpulan
Temuan utama pada riset ini menunjukkan bahwa besaran nilai efek komunikasi TSP
memiliki pengaruh yang lebih besar pada citra TSP sebesar 37,40 persen, jika dibandingkan
dengan besaran nilai efek aktivitas TSP berdimensi tanggung jawab ekonomi, tanggung
jawab etis-legal, tanggung jawab filantropi, efek komunikasi TSP, dan efek kredibilitas
perusahaan (trustworthiness dan expertise). Berarti, komunikasi TSP memiliki efek peran
lebih utama dalam menciptakan citra TSP positif dibandingkan dengan dimensi aktivitas TSP
dan kredibilitas perusahaan.
Dimensi tanggung jawab ekonomi tidak memiliki efek signifikan pada citra TSP dan ekuitas
merek. Hal ini terjadi disebabkan oleh motif perusahaan yang dipersepsikan dan diyakini
calon konsumen dalam mengimplementasikan aktivitas tanggung jawab ekonomi tidak
ditujukan untuk kepentingan manfaat sosial, melainkan untuk kepentingan perusahaan dalam
rangka untuk meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan. Persepsi calon konsumen atas motif
perusahaan dalam aktivitas ekonomi terjadi karena pengukuran dimensi tanggung jawab
ekonomi yang digunakan hanya mencakup aktivitas yang terkait dengan peningkatan
keuntungan perusahaan dalam jangka panjang, berdasarkan Salmones et al. (2005).
Tanggung jawab etis-legal memiliki efek signifikan baik pada citra TSP maupun pada nilai
ekuitas merek. Namun, efek tanggung jawab etis-legal dalam membentuk citra TSP lebih
169
rendah (12,30 persen) dibandingkan dengan efeknya dalam membangun nilai ekuitas merek
(17,80 persen). Hal ini terjadi karena calon konsumen memersepsikan aktivitas etis-legal
sebagai aktivitas yang memberikan manfaat sosial dan bersesuaian dengan nilai norma dan
etika yang berlaku di masyarakat. Kondisi ini menimbulkan pengatribusian calon konsumen
pada penguatan nilai ekuitas merek produk atau jasa perusahaan pelaku TSP. Wujud
penguatan nilai ekuitas merek salah satunya dilihat dari, yaitu calon konsumen akan
merekomendasikan produk atau jasa perusahaan pelaku TSP ke calon konsumen lain, sebesar
99,82 persen.
Tanggung jawab filantropi memiliki efek positif pada pembentukan citra TSP, tetapi tidak
memiliki efek positif signifikan secara statistik pada ekuitas merek. Ketidaksignifikanan efek
tanggung jawab filantropi pada ekuitas merek terjadi karena faktor skeptisme pemangku
kepentingan atas aktivitas filantropi. Pemikiran skeptis pada aktivitas filantropi terjadi karena
aktivitas filantropi dipersepsikan sebagai aktivitas jangka pendek (Brady, 2003); aktivitas
sesaat bersifat insidentil
(Godfrey, 2005); aktivitas reaktif
yang tidak efektif untuk
membangun nilai merek (Ricks Jr, 2005); aktivitas yang memiliki dampak sosial bersifat
sporadis (Porter dan Kramer, 2002, 2003, 2004, 2006); aktivitas tidak murni untuk
pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup (Frankental, 2001); cenderung terisolasi dan
tidak terkoneksi atau tidak diintegrasikan dengan unit bisnis perusahaan (Halme dan Laurila,
2009); dan aktivitas yang lebih ditujukan perusahaan untuk kepentingan peningkatan kinerja
ekonomi perusahaan dan sebagai ajang promosi (Hadi, 2011; Vlachos et al., 2009; Ardana,
2008; Ambadar, 2008).
Komunikasi TSP memiliki efek positif signifikan baik pada citra TSP maupun pada ekuitas
merek. Namun, efek signifikansi komunikasi TSP pada ekuitas merek lebih rendah sebesar
31,80 persen dibandingkan pada citra TSP sebesar 37,40 persen. Hal ini didukung oleh
perspektif teori atribusi self-attribution (Bem, 1965; Schiffman dan Kanuk, 2007, hlm. 259))
dan teori atribusi outcome (Weiner et al., 1972). Berdasarkan perspektif teori atribusi ini,
calon konsumen mengatribusikan salah satu komponen pengukuran ekuitas merek, berupa
kualitas produk atau jasa perusahaan pelaku TSP yang disinyalir berkualitas tidak baik.
Kualitas produk atau jasa sebagai informasional kunci atas pengetahuan dan pengalaman
calon konsumen sebelumnya. Meskipun, informasi TSP melalui suatu media komunikasi TSP
memberikan penjelasan lebih serta rinci untuk meningkatkan pemahaman calon konsumen
170
dibandingkan dengan pengetahuan dan pengalaman awal yang dimiliki sebelum mereka
diberikan informasi TSP.
Seharusnya, kondisi tersebut membentuk pengatribusian pada pembangunan nilai ekuitas
merek yang semakin tinggi, akibat pemahaman mereka atas aktivitas TSP yang memberikan
manfaat sosial dan bersesuaian dengan pemenuhan kebutuhan pemangku kepentingan, khusus
calon konsumen. Namun, pengetahuan yang mereka terima atas informasi TSP yang
dikomunikasikan menimbulkan keraguan. Calon konsumen menyikapi informasi TSP yang
dikomunikasikan dalam kategori kurang yakin, kurang menyukai, dan kurang merasa senang,
sehingga keinginan calon konsumen untuk memiliki produk atau jasa perusahaan pelaku TSP
menurun. Hal ini didukung oleh data hasil respon calon konsumen pada beberapa indikator
komunikasi TSP bahwa informasi TSP pada media saluran komunikasi kurang diyakini
sebanyak hampir 1,00 persen, 16,00 persen calon konsumen kurang senang, 9,00 persen
kurang menyukai informasi aktivitas TSP yang dikomunikasikan melalui media saluran
komunikasi, dan sebanyak 1,00 persen calon konsumen berpikir memiliki produk atau jasa
perusahaan pelaku TSP akan merasa kurang baik akibat informasi aktivitas TSP.
Besaran nilai efek pemediasi citra TSP dalam efek komunikasi TSP pada ekuitas merek lebih
tinggi (41,70 persen) dibandingkan dengan besaran nilai efek pemediasi citra TSP dalam efek
tanggung jawab etis-legal pada ekuitas merek (21,10 persen). Ini mencerminkan bahwa
komunikasi TSP memiliki peran penting baik dalam efek membangun citra TSP maupun
membangun ekuitas merek.
Kredibilitas keahlian perusahaan memiliki efek positif signifikan pada citra TSP perusahaan
lebih besar (15,90 persen) dibandingkan dengan kredibilitas trusworthiness (13,20 persen).
Hal ini menggambarkan kredibilitas keahlian sebagai faktor utama dalam menciptakan citra
TSP positif. Kondisi ini terjadi karena calon konsumen mengatribusikan keahlian perusahaan
dalam mengimplementasikan aktivitas TSP sangat berkaitan dengan keahlian perusahaan
dalam menciptakan produk atau jasa. Sementara itu, kredibilitas kejujuran sangat berkaitan
dengan implementasi aktivitas TSP karena motif murni dan jujur.
Motif murni dan jujur dalam mengimplementasikan aktivitas TSP bukan menjadi faktor
penentu utama dalam mencitrakan TSP perusahaan, tetapi yang paling dipentingkan dalam
171
model ini adalah faktor kemampuan keahlian dan pengalaman perusahaan. Hal ini terjadi
karena kredibilitas keahlian diduga berkorelasi dengan
kemampuan perusahaan dalam
menciptakan produk atau jasa yang berkualitas dan superior. Oleh karena itu, kredibilitas
keahlian merupakan faktor yang kuat dalam menentukan citra TSP dibandingkan dengan
kredibilitas trusworthiness.
Citra TSP berdampak pada pembangunan nilai ekuitas merek positif signifikan dengan nilai
besaran efeknya sebesar 26,60 persen. Besaran efek ini diduga, nampak lebih banyak
disumbangkan oleh efek komunikasi TSP bukan disumbangkan oleh dimensi aktivitas TSP.
Dengan demikian, model riset ini memberikan gambaran bahwa komunikasi TSP sebagai
faktor kunci utama dan strategis bagi perusahaan untuk mengeliminasi pemikiran skeptis
pemangku kepentingan, khusus calon konsumen atas aktivitas TSP, yang diwujudkan dalam
pembentukan citra TSP positif dan peningkatan nilai ekuitas merek yang kuat.
Nilai estimasi efek ekuitas merek pada preferensi merek lebih tinggi (86,10 persen)
dibandingkan dengan nilai estimasi efeknya pada niat beli (41,30 persen), walaupun nilai
estimasi efek pemediasi preferensi merek dalam efek ekuitas merek pada niat beli masih lebih
rendah (81,60 persen). Nilai ini mencerminkan bahwa calon konsumen mengatribusikan
ekuitas merek pada preferensi merek lebih tinggi dibandingkan pada niat pembelian pada
produk atau jasa perusahaan pelaku TSP.
Nilai estimasi efek ekuitas merek dan preferensi merek pada niat beli hampir memiliki nilai
yang sama berkisar 40 persen, tetapi nilai ini masih berada di bawah hasil temuan Moradi dan
Zarei (2011) sebesar 63,00 persen; Chang dan Liu (2009) di atas 50 persen. Hal ini terjadi,
sebagai akibat calon konsumen saat merespon niat pembelian, masih menilai dan
memertimbangkan faktor lain, selain faktor aktivitas TSP untuk merealisasikan pembelian
faktual di masa depan. Pertimbangan faktor lain dalam merealisasikan pembelian berupa
faktor kualitas produk atau jasa dan faktor personal yang terkait dengan karakteristik calon
konsumen seperti jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan produktif.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa teori atribusi memiliki peran penting dalam
mendukung pengujian empiris pada model citra TSP dalam membangun ekuitas merek. Teori
172
atribusi terutama berperan dalam pengujian efek dimensi aktivitas TSP, komunikasi TSP dan
kredibilitas perusahaan pada citra TSP dan efek citra TSP dalam membangun nilai ekuitas
merek, yang kemudian nilai ekuitas merek ini berkonsekuensi pada pembentukan preferensi
merek dan niat beli. Teori pemangku kepentingan, teori legitimasi, dan teori kontrak sosial,
berperan terutama untuk pengujian efek tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab etis-legal,
dan tanggung jawab filantropi pada citra TSP.
5.2 Kontribusi Penelitian
5.2.1 Kontribusi Penelitian pada Pengembangan Teori dan Metodologis
Model citra TSP dalam membangun ekuitas merek ini berkontribusi pada pengembangan
konsep TSP dalam perspektif pemasaran dan perilaku konsumen menuju teori kuat, dengan
variabel anteseden berupa tiga dimensi TSP dari Carroll (1979,1991,1999), kredibilitas
perusahaan, dan komunikasi TSP. Model ini sekaligus mendukung pemikiran Maignan and
Ferrell (2001); Sen dan Bhattacharya (2001); Mohr et al. (2001); Balmer (2001); Maignan et
al. (2002, 2005); Kotler dan Lee (2005); Jones et al. (2005, 2007a, 2007b); Becker-Olsen dan
Hill (2006); Podnar dan Golob (2007); Beckmann (2007); Wang dan Juslin (2009); Marin et
al. (2009); Castaldo et al. (2009); Moreno dan Caprioti (2009); Trapero et al. (2010); dan
Tian et al. (2011). Hasil penelitian ini menepis pemikiran Jones et al. (2005) dan Oberseder
(2011) yang menyatakan bahwa kajian TSP dalam perspektif perilaku konsumen dalam
pembelian masih menunjukkan kesenjangan yang cukup besar.
Secara spesifik, model citra TSP dalam membangun ekuitas merek dari hasil penelitian ini
memberi dukungan empiris pada model Chahal dan Sharma (2006); Hoeffler dan Keller
(2002). Hasil penelitian ini juga berkontribusi untuk mendukung konsep teori TSP dari
Carroll (1979, 1991, 1999) yang berpotensi menuju konsep teori yang kuat. Dukungan yang
kuat pada konsep teori TSP dari Carroll (1979, 1991, 1999) dapat diwujudkan dengan
mengintegrasikan ketiga dimensi TSP dari Carroll dengan tidak melihat masing-masing
dimensi secara parsial, sehingga model riset ini dapat diterapkan dalam praktik. Oleh karena
itu, konsep teori TSP dari Carroll (1979, 1991, 1999) dapat menjadi aliran konsep teori yang
utama (mainstream), sesuai pernyataan Franklin (2008 dalam Vlachos et al., 2009).
173
Variabel komunikasi TSP berkontribusi pada pengembangan model citra TSP dalam
membangun ekuitas merek. Secara khusus, kontribusi komunikasi TSP dalam pembentukan
nilai ekuitas merek yang kuat relatif lebih besar, jika dibandingkan dengan dimensi aktivitas
TSP. Penguatan nilai ekuitas merek pada model ini berdasarkan konsep ekuitas merek
berbasis konsumen (Aaker, 1991, 1992, 1996) dalam konteks aktivitas TSP, yaitu penguatan
pada variabel kesadaran dan asosiasi pada merek produk atau jasa, kualitas merek produk
atau jasa yang dipersepsikan, dan loyalitas pada merek produk atau jasa perusahaan pelaku
TSP.
Kontribusi pada pengembangan teori lain berupa pengembangan efek variabel kredibiltias
perusahaan pada citra TSP, karena
pengujian empiris atas efek variabel kredibilitas
perusahaan secara langsung pada citra TSP belum pernah dilakukan. Meskipun, hasil riset
Alcaniz et al. (2010) menunjukkan bahwa variabel kredibilitas perusahaan memiliki efek
pada citra TSP, tetapi tidak secara langsung. Variabel kredibilitas perusahaan pada riset
Alcaniz et al. (2010) berperan sebagai variabel pemediasi dalam efek aktivitas TSP Altruistik
dan TSP Fit pada citra TSP.
Variabel kredibilitas perusahaan pada model penelitian ini juga dapat mendukung temuan
Alcaniz et al. (2010), yang berpotensi sebagai variabel pemediasi dalam efek aktivitas TSP
pada citra TSP. Hal ini dapat dilihat dari temuan efek aktivitas TSP (khusus tanggung jawab
etis-legal dan filantropi) pada citra TSP positif dan efek kredibilitas perusahaan pada citra
TSP juga positif. Namun, besaran nilai efek kredibilitas perusahaan (trusworthiness dan
expertise) pada citra TSP lebih tinggi dibandingkan dengan besaran nilai efek aktivitas TSP
(khusus pada efek tanggung jawab etis-legal) pada citra TSP. Di sisi lain, Becker-Olsen dan
Hill (2006); Pirsch et al. (2007); Bae dan Cameron (2006); Lafferty (2007) menyatakan
bahwa aktivitas TSP akan meningkatkan pencapai kredibilitas perusahaan. Kondisi ini
berimplikasi bahwa kredibilitas perusahaan berpotensi sebagai variabel pemediasi dalam efek
aktivitas TSP pada citra TSP, dengan mengasumsikan bahwa aktivitas TSP yang
diimplementasikan tidak memerhatikan kredibilitas perusahaan muncul terlebih dahulu
sebelum aktivitas TSP dilakukan.
Keberadaan peran variabel pemediasi citra TSP pada model riset ini berkontribusi khusus
pada aspek metodologi untuk meningkatkan nilai estimasi parameter efek tanggung jawab
174
etis-legal dan komunikasi TSP pada pembangunan nilai ekuitas merek. Kondisi ini
berimplikasi pada kontribusi teoritis bahwa citra TSP sebagai faktor penting dalam
membangun ekuitas merek. Demikian juga dengan peran pemediasi preferensi merek dalam
mengintervensi efek ekuitas merek pada niat beli, yang dapat meningkatkan besaran nilai
estimasi parameternya. Hal ini berimplikasi bahwa variabel preferensi merek berkontribusi
sangat penting dalam meningkatkan niat beli calon konsumen agar pembelian aktual
kemungkinan besar dapat terealisasi.
5.2.2 Kontribusi Penelitian pada Praktik
Model citra TSP dalam membangun ekuitas merek pada riset ini memiliki kontribusi pada
praktik bagi manajerial perusahaan. Merek perusahaan pelaku TSP yang direspon calon
konsumen memiliki nilai ekuitas merek yang kuat. Bahkan dalam dunia praktis, merek
perusahaan yang direspon pada model riset ini terkenal dalam ingatan konsumen Indonesia
maupun konsumen global. Oleh karena itu, model riset citra TSP dalam membangun nilai
ekuitas merek yang memiliki konsekuensi pada pembentukan preferensi merek dan niat beli
ini berimplikasi sebagai alat strategi pemasaran.
Perusahaan pelaku TSP dapat memiliki peluang untuk mendapatkan konsumen lebih banyak
karena niat beli calon konsumen diperkirakan cenderung akan direalisasikan pada pembelian
aktual di masa datang, yang diharapkan dapat meningkatkan nilai jual produk atau jasa dan
laba perusahaan pelaku TSP di masa depan. Kondisi ini menepiskan pemikiran manajemen
perusahaan yang selama ini bahwa aktivitas TSP adalah aktivitas yang membutuhkan
investasi biaya yang cukup tinggi. Sebaliknya, aktivitas TSP dalam jangka panjang justru
memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja bisnis perusahaan pelaku TSP. Oleh karena
itu, aktivitas TSP dapat juga dikatakan sebagai alat strategi bisnis perusahaan untuk
meningkatkan keunggulan bersaing.
Dengan demikian, model citra TSP dalam membangun nilai ekuitas merek perusahaan pelaku
TSP sangat penting bagi perusahaan karena model ini akan berdampak pada keputusan
perilaku pembelian berupa peningkatan preferensi pada merek dan niat beli calon konsumen
pada produk atau jasa perusahaan pelaku TSP semakin tinggi. Jika preferensi merek dan niat
beli dapat terealisasi dalam pembelian aktual, maka kondisi ini memiliki potensi
175
berkontribusi pada peningkatan kinerja bisnis perusahaan, diantaranya nilai pengembalian
investasi yang tinggi dalam jangka panjang dan ketertarikan jumlah investor lebih banyak,
sehingga nilai perusahaan tinggi di mata investor, seperti pemikiran Kotler dan Lee (2005,
hlm. 17).
Kontribusi pada praktik
lain, yaitu khusus terkait dengan aktivitas komunikasi TSP.
Komunikasi TSP merupakan alat kunci strategis dalam membentuk pencitraan TSP positif
untuk mengikis pemikiran skeptis pemangku kepentingan atas aktivitas operasional
perusahaan yang memiliki dampak ekternalitas negatif (Petkus dan Woodruff, 1992) dan atas
akitivitas TSP yang dipersepsikan merupakan aktivitas yang tidak murni dan hanya sebagai
ajang promosi (Frankental, 2001; Ardana, 2008; Ambadar, 2008; dan Hadi, 2011). Kondisi
ini berimplikasi pada penggunaan komunikasi TSP yang intensif dan media komunikasi yang
efektif untuk menguatkan pencitraan pada aktivitas TSP semakin positif dan untuk
menguatkan nilai ekuitas merek. Pernyataan ini bersesuaian dengan pernyataan Forman dan
Argenti (2005); Capriotti dan Moreno (2007); Nachailit dan Ussahawanitchakit (2009) bahwa
komunikasi perusahaan merupakan jantung sebuah organisasi untuk membangun reputasi
atau citra TSP perusahaan dan nilai merek perusahaan tinggi.
Secara spesifik, Forman dan Argenti (2005); Capriotti dan Moreno (2007); Nachailit dan
Ussahawanitchakit (2009) mengungkapkan bahwa jika informasi TSP pada suatu media
komunikasi laporan tahunan perusahaan semakin banyak dan intensif, maka kredibilitas
perusahaan semakin tinggi. Media komunikasi laporan tahunan ini diduga sebagai media
komunikasi efektif utama yang memiliki pengaruh pada penguatan kredibilitas perusahaan
(Capriotti dan Moreno, 2007). Hal ini berimplikasi bahwa manajerial perusahaan perlu
mengintensifkan penyebaran informasi TSP melalui media komunikasi yang efektif dan
desain komunikasi dengan isi dan format pesan yang bersifat informatif, mendidik, dan
murni. Isi dan format pesan yang informatif, mendidik, dan murni berarti menjelaskan
informasi TSP yang rinci dengan eksekusi informasi TSP bersesuaian dengan pemenuhan
kebutuhan pemangku kepentingan dan tidak mengandung persuasi pembujukan yang
berimplikasi pada ajang promosi perusahaan.
Aspek lain yang dapat dipertimbangkan dalam mendesain informasi TSP yang informatif
adalah
identitas perusahaan berupa logo dan nama merek perusahaan yang dapat
176
diintegrasikan dengan informasi TSP informatif untuk menguatkan pembangunan nilai
ekuitas merek, yang berpotensi pada penciptaan niat pembelian calon konsumen.
Isi dan format pesan yang informatif merupakan isu sentral dalam mendesain keefektifan
komunikasi sesuai dengan konsep teori Elaboration Likelihood Model. Berdasarkan
pandangan konsep ini, pemangku kepentingan, khusus calon konsumen akan memeroses
informasi dalam konteks aktivitas TSP lebih berdasarkan pada pendekatan “jalur sentral”,
bukan berdasarkan pada “jalur periferal”. Pendekatan “jalur sentral” memfokuskan pada
kejelasan inti pesan dan uraian rinci isi pesan. Pendekatan “jalur periferal” tidak
memfokuskan pada ide pesan yang bersifat sentral, tetapi berdasarkan pada isyarat lain,
seperti dampak dari sumber pembawa pesan yang menarik karena memiliki daya tarik untuk
memotivasi dan membujuk penerima pesan untuk mengikuti isi pesan (Cacioppo dan Petty,
1984; Petty et al., 1983).
Isi pesan dalam konteks aktivitas TSP dengan pendekatan “jalur periferal” dapat berkonotasi
buruk. Informasi aktivitas TSP dipersepsikan skeptis oleh pemangku kepentingan, khusus
calon konsumen. Informasi TSP diyakini hanya sebatas bagian dari alat promosi dan tidak
murni untuk kepentingan manfaat sosial, sehingga berdampak pada pembentukan citra TSP
negatif, yang kemudian berdampak pada pembangunan nilai ekuitas merek negatif, dan
berakhir pada pembentukan niat beli calon konsumen pada produk atau jasa perusahaan
pelaku TSP negatif. Pemikiran ini juga didukung oleh pemikiran Silva et al. (2007) bahwa
komunikasi TSP dengan format dan isi pesan informatif dan mendidik serta menghindari
penggunaan pesan yang menciptakan emosional, dapat menciptakan komunikasi TSP efektif
untuk mengeliminasi skeptisme pemangku kepentingan atas aktivitas TSP.
Kredibiltias keahlian (expertise) menjadi faktor utama dalam menciptakan citra TSP positif.
Hal ini berimplikasi manajerial bahwa manajemen perusahaan perlu meningkatan
kemampuan perusahaan untuk menciptakan produk berkualitas dan memiliki aspek keahlian
dan pengalaman dalam mengeksekusi aktivitas TSP yang bersesuaian antara pemenuhan
kebutuhan pemangku kepentingan, khusus calon konsumen dan aktivitas bisnis perusahaan.
Meskipun demikian, penguatan kredibilitas kejujuran perlu tetap dipertahankan dalam
mengimplementasikan aktivitas TSP demi kepentingan manfaat sosial, untuk mendapatkan
177
pencitraan TSP positif dan mengeliminasi pemikiran skeptis pemangku kepentingan.
Model riset ini berimplikasi praktis bahwa dimensi aktivitas TSP seharusnya dieksekusi
terintegrasi, tidak hanya memfokuskan pada satu bidang yang berdimensi etis-legal atau
hanya berkonsentrasi pada aktivitas berdimensi filantropi. Perusahaan juga sebaiknya
menciptakan aktivitas TSP yang inovatif (TSP innovation) dan bernilai tinggi untuk
kepentingan manfaat sosial dan peningkatan bisnis perusahaan berkelanjutan seperti usulan
Halme dan Laurila (2009). Dengan kata lain, perusahaan perlu mengeksekusi program yang
memberikan nilai sinergitas diantara ketiga dimensi TSP. Implikasi praktis ini terungkap
sebagai akibat temuan riset bahwa tanggung jawab ekonomi tidak signifikan pada citra TSP
dan ekuitas merek, serta tanggung jawab filantropi tidak memiliki efek pada ekuitas merek.
Contoh, penerapan program yang memberikan nilai sinergitas antara ketiga dimensi TSP,
yaitu program TSP yang terkait dengan isu sosial tentang kebersihan lingkungan, khusus
terkait dengan persoalan sampah yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat.
Pengelolaan sampah dikelola dengan prinsip pemberdayaan berkelanjutan, yang dapat
menciptakan nilai tambah berupa efek ganda selain menunjang peningkatan kesehatan
lingkungan juga menunjang peningkatan ekonomi masyarakat, dalam program Bank Sampah
atau tabungan Sampah.
Mekanisme pengelolaan bank sampah diatur dengan prinsip manajemen bisnis melalui
sinergitas program kelembagaan antar pemerintah, perusahaan, instansi terkait lain, dan
masyarakat. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait berfungsi sebagai pendukung kebijakan
dan strategi implementasi TSP. Perusahaan berfungsi sebagai fasilitator pendanaan. Instansi
terkait lain seperti Perguruan Tinggi berfungsi sebagai fasilitator sumberdaya pengetahuan
dan pengembangan teknologi. Masyarakat atau komunitas ikut berperan aktif secara langsung
dalam manajemen operasional Bank Sampah.
Contoh program TSP lain yang mengintegrasikan tiga dimensi aktivitas TSP, yaitu program
Kampung Ternak. Program ini dapat juga dilakukan bagi pengembangan ekonomi
masyarakat pedesaan tertinggal, sesuai dengan potensi masyarakat dan desanya.
178
Mekanisme program Kampung Ternak juga dikelola merujuk pada aspek manajemen bisnis.
Diawali oleh fasilitasi investasi ternak berupa fasilitas kandang, bibit ternak, dan fasilitas
modal kerja oleh perusahaan pelaku TSP dengan prinsip sama-sama berkembang dalam
menciptakan ekonomi masyarakat berkelanjutan. Saat usaha ternak berkembang, maka
diharapkan sirkulasi hasil usaha dapat berdampak pada peningkatan ekonomi tidak hanya
bagi masyarakat tetapi juga bagi lembaga usaha lain, termasuk lembaga keuangan dan
perusahaan pelaku TSP yang terkait.
Mekanisme pengelolaan penerapan sinergitas program TSP seperti di atas, lebih lanjut perlu
dikaji dengan tujuan program atau aktivitas TSP untuk memberdayakan masyarakat dari
keterpurukan dan keterbelakangan dan meningkatan kualitas hidup menuju pemberdayaan
ekonomi berkelanjutan dapat tercipta.
Signifikansi efek ekuitas merek pada preferensi merek dan niat beli mengimplikasikan bahwa
perusahaan dalam mengeksekusi aktivitas TSP seharusnya bernilai baik bagi perusahaan
maupun bagi kepentingan pemangku kepentingan perusahaan. Nilai bagi perusahaan yang
diciptakan dari aktivitas TSP adalah peningkatan kinerja ekonomi lebih besar dibandingkan
dengan investasi biaya TSP yang dikeluarkan. Nilai bagi pemangku kepentingan khusus
calon konsumen atas aktivitas TSP adalah kesesuaian aktivitas TSP dengan pemenuhan
kebutuhan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan
pemberdayaan ekonomi berkelanjutan dalam jangka panjang, agar
kinerja ekonomi
perusahaan meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup calon
konsumen atau pemangku kepentingan lain. Akhirnya, implementasi aktivitas TSP yang
bernilai dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat dan
sekaligus
membantu
efektivitas
dan
efisiensi
program
pembangunan
pemerintah
berkelanjutan.
Jika calon konsumen merasakan manfaat aktivitas TSP dalam jangka panjang dan
berkelanjutan, maka niat beli calon konsumen faktual di masa depan berpotensi dapat
terealisasi. Calon konsumen tidak ragu-ragu atau tidak tergoyahkan dalam mengambil
keputusan pembelian. Kondisi ini dalam jangka panjang berimplikasi pada pembentukan
pusat keuntungan perusahaan, dengan mendapatkan pertumbuhan laba meningkat, nilai
perusahaan meningkat, dan pertumbuhan tingkat pengembalian keuntungan atas aktivitas
179
investasi TSP meningkat, sehingga investasi atas aktivitas TSP bukan lagi sebagai sentra
biaya melainkan sebagai sumber keunggulan bersaing. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Porter dan Kramer (2006); Smith (2003) bahwa investasi pada TSP bukan merupakan biaya,
melainkan sesuatu yang benar dilakukan sebagai sumber keunggulan bersaing. Pemikiran ini
juga didukung oleh pemikiran Smith dan Higgins (2000) yang mengatakan bahwa penerapan
aktivitas TSP yang efektif, bermanfaat, dan tepat sasaran oleh manajemen dapat membedakan
perusahaan pelaku TSP dari pesaingnya dan mendapatkan keunggulan bersaing.
Model riset citra TSP dalam membangun nilai ekuitas merek ini dapat bermanfaat sebagai
sumber informasi bagi pengambil kebijakan pemerintah khusus terkait dengan desain strategi
dan kebijakan pengembangan TSP untuk pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia.
Pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia menjadi program penting dalam mencapai
keberhasilan program pengentasan kemiskinan di Indonesia maupun tujuan utama
Pembangunan Milenium (MDG’s).
5.3 Keterbatasan Penelitian dan Implikasi pada Penelitian Berikutnya
Penggunaan kerangka sampel dengan kriteria responden pada model riset ini adalah calon
konsumen individu sebagai salah satu pemangku kepentingan, yang belum pernah membeli
produk atau jasa perusahaan pelaku TSP dan sekaligus pernah melihat informasi aktivitas
TSP pada suatu media komunikasi. Penggunaan kriteria sampel ini dipertimbangkan
merupakan kriteria sampel yang tepat. Kriteria sempel ini bersesuaian dengan tujuan riset,
yaitu ingin melihat niat pembelian calon konsumen yang belum pernah melakukan pembelian
sebagai akibat aktivitas TSP yang berdampak pada pembentukan citra TSP positif.
Kemudian, citra TSP positif ini diharapkan dapat berdampak pada pembangunan nilai ekuitas
merek, yang akhirnya beratribusi pada pembentukan preferensi merek dan niat beli. Oleh
karena itu, penelitian ini menggunakan teknik penyampelan nonrandom atau nonprobability
sampling karena kerangka sampel dari populasi tidak memiliki informasi yang lengkap,
khusus tentang karakteristik responden dengan kriteria tersebut. Penggunaan teknik
penyampelan ini cenderung memberikan generalisasi hasil penelitian lemah, sehingga hasil
pengujian model riset ini kurang dapat digeneralisasi pada waktu yang berbeda dan tempat
yang berbeda, kecuali memiliki kesamaan dengan karakteristik responden pada riset ini.
180
Perolehan sampel dengan kriteria tersebut pada saat desain survei daring mendapatkan
kesukaran, sehingga penggunaan kriteria sampel tersebut juga memiliki keterbatasan.
Meskipun demikian, survei daring pada kenyataannya memberikan beberapa manfaat.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari desain survei daring, sesuai pemikiran Kwak dan
Radler (2002), yaitu biaya survei lebih rendah secara signifikan, responden memiliki beban
yang tidak berat dalam mengembalikan kuesioner, dan kecepatan respon lebih cepat. Oleh
karena itu, pengukuran niat beli pada riset ke depan dapat diperluas dengan menggunakan
pengukuran niat pembelian ulang pada produk atau jasa perusahaan pelaku TSP. Hal ini
berkonsekuensi pada penggunaan sampel responden berupa konsumen yang sudah pernah
beli dan perlu memasukkan konsep ekuitas merek, khusus dimensi loyalitas merek
berdasarkan konsep loyalitas keperilakuan (behavioral loyalty), seperti pemikiran McConnel
(1968); Jacoby dan Kyner, (1973); Day (1969); Aaker (1991, 19912, 1996); Oliver et al. (1997); dan
Oliver (1999).
Riset ke depan juga perlu meneliti peran variabel pemediasi kredibilitas dalam efek aktivitas
TSP pada citra TSP dan dalam efek komunikasi TSP pada citra TSP. Karena citra TSP saat
dipengaruhi kredibilitas perusahaan (keahlian dan kejujuran) memiliki besaran efek positif
lebih tinggi dibandingkan dengan efek dimensi aktivitas TSP (khusus efek tanggung jawab
etis–legal) pada citra TSP. Sejalan dengan ini, Hedberg dan Malmborg (2003); Becker-Olsen
dan Hill (2006); Pirsch et al. (2007); Bae dan Cameron (2006); Lafferty (2007); Vanhamme
dan Grobben (2009) menyatakan bahwa aktivitas TSP berperan meningkatkan kredibilitas
perusahaan dan berpotensi menguatkan efek citra TSP. Demikian juga dengan efek
komunikasi TSP dapat meningkatkan kredibiltas perusahaan dan berdampak pada
peningkatan nilai ekuitas merek (Forman dan Argenti, 2005; Capriotti dan Moreno, 2007;
Nachailit dan Ussahawanitchakit, 2009). Hal ini mengimplikasikan bahwa nilai estimasi efek
citra TSP pada pembangunan nilai ekuitas merek akan lebih tinggi sebagai akibat variabel
pemediasi kredibilitas perusahaan dan kemudian berdampak pada pembentukan niat beli.
Riset ke depan perlu menguji ulang efek ekuitas merek dan preferensi merek pada niat beli,
dengan memfokuskan pada konsumen pengguna atau pembeli merek dalam kategori produk
atau jasa perusahaan tertentu. Namun, model pengujian tetap memasukkan konteks dan
konten aktivitas TSP perusahaan. Hal ini perlu dilakukan karena nilai estimasinya belum
memberikan nilai estimasi yang lebih besar di atas 50 persen, seperti temuan Park dan
181
Srinivasan (1994), Chen dan Chang (2008); Chang dan Liu (2009); dan Moradi dan Zarei
(2011), walaupun temuan mereka tidak menggunakan konteks dan konten aktivitas TSP.
Pengujian ulang ini perlu dilakukan juga untuk mengantisipasi ada kemungkinan bias metode
umum, karena item pertanyaan dalam instrumen riset ini tidak mencantumkan jenis produk
atau jasa dan merek perusahaan pelaku TSP spesifik, yang dikhawatirkan ada responden
mengetahui lebih dari satu merek produk atau jasa perusahaan pelaku TSP yang tidak pernah
dibeli dan perusahaan tersebut memiliki karakteristik berbeda. Pada riset ini, terdapat 3,19
persen responden yang mengetahui dua perusahaan pelaku TSP dalam kategori jasa yang
sama (perbankan), sisanya 96,81 persen adalah responden yang hanya mengetahui satu
perusahaan pelaku TSP sesuai kriteria sampel. Jika format kuesioner seperti dalam riset ini
tetap digunakan, riset ke depan sebaiknya perlu mencantumkan pernyataan di awal item
pertanyaan persetujuan berupa “pertanyaan berikut berhubungan dengan hanya satu
perusahaan pelaku TSP yang produk atau jasanya tidak pernah dibeli dan komunikasi TSPnya
pernah dan sedang dilihat serta jika ada lebih dari satu perusahaan pelaku TSP, sebutkan
hanya satu nama perusahaan yang anda respon pada pertanyaan berikut:”.
Lebih lanjut, bias metode umum akan mungkin terjadi atau lebih sering muncul dengan bias
keinginan sosial dan atau bias motif konsistensi khusus pada item pertanyaan yang sangat
berkaitan dengan pernyataan sikap yang menyentuh perilaku diri responden yang sangat
sensitif. Bias keinginan sosial terjadi sebagai suatu tendensi seseorang untuk membawa
dirinya pada sesuatu yang bersesuaian dengan norma sosial ideal yang diterima, walaupun
tidak sesuai dengan perilaku atau pemikiran dan perasaan dirinya yang sebenarnya terjadi.
Dengan kata lain, ada kecenderungan responden untuk merespon item pertanyaan lebih
sebagai hasil keinginan sosial atau penerimaan sosial dibandingkan sebagai hasil pemikiran
dan perasaan mereka sebenarnya. Bahkan, bias respon demikian muncul ditujukan untuk
menyenangkan peneliti, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian yang diinginkan peneliti
(Fisher, 1993; Fisher dan Tellis, 1998; King dan Bruner, 2000). Sementara itu, bias
konsistensi terjadi ada kecenderungan responden untuk merespon item pertanyaan yang
diberikan konsisten pada setiap pertanyaan mirip, walaupun memiliki makna yang berbeda,
atau memertahankan konsistensi respon atas pertanyaan dalam instrumen penelitian yang ada
(Hartono, 2008, hlm. 197-205).
182
Dalam model riset ini, bias metode umum tersebut dapat diantisipasi dengan cara, yaitu 1)
memberikan pertanyaan kontrol di bagian awal pada kuesioner, dengan pertanyaan tentang
pengetahuan akan aktivitas TSP perusahaan, tidak pernah beli produk atau jasa perusahaan
pelaku TSP dengan meminta untuk menyebutkan nama dan jenis produk atau jasa perusahaan
pelaku TSP, dan sekaligus pernah dan atau sedang melihat informasi aktivitas TSP pada
media komunikasi; 2) mencantumkan pernyataan kerahasiaan data melalui penyampaian
pernyataan secara ekplisit pada halaman muka kuesioner, yang berisi tentang jaminan
kerahasiaan jawaban responden, ucapan terimakasih atas berpartisipasi responden dalam
pengisian kuesioner, dan pernyataan bahwa jawaban saudara sangat bermanfaat, hanya
digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; 3) memberikan souvenir sebagai wujud
ucapan terimakasih; 4) melakukan wawancara khusus pada pertanyaan yang terkait dengan
karakteristik responden serta konfirmasi atas jawaban yang penulis pertimbangkan ada
jawaban ragu-ragu karena responden memilih peringkat jawaban pada nilai netral; dan 5)
tidak mencantumkan nama variabel yang akan diukur dalam instrumen penelitian dan
pertanyaan tidak menggunakan kalimat yang mengandung makna ganda dalam satu
pertanyaan, sehingga dapat dihindari kalimat yang membuat ambigu, seperti pemikiran De
Jong et al. (2010); Hartono (2008, hlm. 224-228); King dan Bruner (2000).
Pengujian efek ekuitas merek dan preferensi merek pada niat beli pada riset ke depan perlu
diperluas, dengan memasukkan variabel karakteristik responden (jumlah pendapatan dengan
kategori tinggi dan rendah, tingkat pendidikan dengan kategori sarjana dan bukan sarjana,
dan status pekerjaan produktif dan tidak produktif), yang berfungsi sebagai variabel kontrol
atau sebagai variabel pemoderasi, seperti riset Chomvilailuk dan Butcher (2010). Khusus
untuk pengujian efek preferensi merek pada niat beli, variabel harga jual yang sangat
berkaitan dengan kualitas produk atau jasa superior (item pengukuran preferensi), dapat juga
dimasukkan sebagai variabel pemoderasi karena variabel ini dipertimbangkan akan
memoderasi efek preferensi merek pada niat beli, sesuai dengan dukungan data deskriptif
pada model riset ini dan saran Sen dan Bhattacharya (2001); Bhattacharya dan Sen (2004);
Oberseder et al. (2011) .
Riset ke depan dapat juga dilakukan untuk memeriksa keefektifan penggunaan media
komunikasi TSP dalam menciptakan efek pada citra TSP dan dapat meningkatkan penguatan
nilai ekuitas merek perusahaan, serta berdampak pada peningkatan preferensi merek dan niat
183
beli. Hal ini dilakukan karena media komunikasi TSP yang efektif dipertimbangkan sebagai
alat strategi pemasaran dalam meningkatkan keunggulan bersaing dan bahkan dapat
dikatakan sebagai jantung organisasi dalam membangun kredibiltas perusahaan dan nilai
ekuitas merek (Forman dan Argenti, 2005; Capriotti dan Moreno, 2007; Nachailit dan
Ussahawanitchakit, 2009).
Penggunaan pengukuran instrumen dimensi tanggung jawab ekonomi pada riset ke depan
perlu diperluas dengan memasukkan konteks aktivitas ekonomi yang terintegrasi dengan
kebutuhan dan kepentingan sosial, seperti konsep pengukuran dari Jackson dan Apostolakou
(2010). Perluasan pengukuran instrumen ini dilakukan karena hasil pengujian efek tanggung
jawab ekonomi pada citra TSP dan ekuitas merek tidak signifikan sebagai akibat pengukuran
dari Salmones et al. (2005) tidak merefleksikan aktivitas tanggung jawab ekonomi untuk
kepentingan sosial dan tidak memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan.
184
Download