BAB V SIMPULAN Bab ini menguraikan beberapa simpulan berdasarkan hasil temuan dan bahasan pada bab sebelumnya. Kemudian beberapa sub bab berikutnya dipaparkan berupa kontribusi penelitian, keterbatasan penelitian, dan implikasi hasil temuan studi, yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan dan informasi bagi penelitian selanjutnya serta dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan oleh pemangku kepentingan terkait dan pengambilan keputusan manajemen untuk pengembangan strategi manajemen perusahaan di masa mendatang. 5.1 Simpulan Temuan utama pada riset ini menunjukkan bahwa besaran nilai efek komunikasi TSP memiliki pengaruh yang lebih besar pada citra TSP sebesar 37,40 persen, jika dibandingkan dengan besaran nilai efek aktivitas TSP berdimensi tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab etis-legal, tanggung jawab filantropi, efek komunikasi TSP, dan efek kredibilitas perusahaan (trustworthiness dan expertise). Berarti, komunikasi TSP memiliki efek peran lebih utama dalam menciptakan citra TSP positif dibandingkan dengan dimensi aktivitas TSP dan kredibilitas perusahaan. Dimensi tanggung jawab ekonomi tidak memiliki efek signifikan pada citra TSP dan ekuitas merek. Hal ini terjadi disebabkan oleh motif perusahaan yang dipersepsikan dan diyakini calon konsumen dalam mengimplementasikan aktivitas tanggung jawab ekonomi tidak ditujukan untuk kepentingan manfaat sosial, melainkan untuk kepentingan perusahaan dalam rangka untuk meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan. Persepsi calon konsumen atas motif perusahaan dalam aktivitas ekonomi terjadi karena pengukuran dimensi tanggung jawab ekonomi yang digunakan hanya mencakup aktivitas yang terkait dengan peningkatan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang, berdasarkan Salmones et al. (2005). Tanggung jawab etis-legal memiliki efek signifikan baik pada citra TSP maupun pada nilai ekuitas merek. Namun, efek tanggung jawab etis-legal dalam membentuk citra TSP lebih 169 rendah (12,30 persen) dibandingkan dengan efeknya dalam membangun nilai ekuitas merek (17,80 persen). Hal ini terjadi karena calon konsumen memersepsikan aktivitas etis-legal sebagai aktivitas yang memberikan manfaat sosial dan bersesuaian dengan nilai norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Kondisi ini menimbulkan pengatribusian calon konsumen pada penguatan nilai ekuitas merek produk atau jasa perusahaan pelaku TSP. Wujud penguatan nilai ekuitas merek salah satunya dilihat dari, yaitu calon konsumen akan merekomendasikan produk atau jasa perusahaan pelaku TSP ke calon konsumen lain, sebesar 99,82 persen. Tanggung jawab filantropi memiliki efek positif pada pembentukan citra TSP, tetapi tidak memiliki efek positif signifikan secara statistik pada ekuitas merek. Ketidaksignifikanan efek tanggung jawab filantropi pada ekuitas merek terjadi karena faktor skeptisme pemangku kepentingan atas aktivitas filantropi. Pemikiran skeptis pada aktivitas filantropi terjadi karena aktivitas filantropi dipersepsikan sebagai aktivitas jangka pendek (Brady, 2003); aktivitas sesaat bersifat insidentil (Godfrey, 2005); aktivitas reaktif yang tidak efektif untuk membangun nilai merek (Ricks Jr, 2005); aktivitas yang memiliki dampak sosial bersifat sporadis (Porter dan Kramer, 2002, 2003, 2004, 2006); aktivitas tidak murni untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup (Frankental, 2001); cenderung terisolasi dan tidak terkoneksi atau tidak diintegrasikan dengan unit bisnis perusahaan (Halme dan Laurila, 2009); dan aktivitas yang lebih ditujukan perusahaan untuk kepentingan peningkatan kinerja ekonomi perusahaan dan sebagai ajang promosi (Hadi, 2011; Vlachos et al., 2009; Ardana, 2008; Ambadar, 2008). Komunikasi TSP memiliki efek positif signifikan baik pada citra TSP maupun pada ekuitas merek. Namun, efek signifikansi komunikasi TSP pada ekuitas merek lebih rendah sebesar 31,80 persen dibandingkan pada citra TSP sebesar 37,40 persen. Hal ini didukung oleh perspektif teori atribusi self-attribution (Bem, 1965; Schiffman dan Kanuk, 2007, hlm. 259)) dan teori atribusi outcome (Weiner et al., 1972). Berdasarkan perspektif teori atribusi ini, calon konsumen mengatribusikan salah satu komponen pengukuran ekuitas merek, berupa kualitas produk atau jasa perusahaan pelaku TSP yang disinyalir berkualitas tidak baik. Kualitas produk atau jasa sebagai informasional kunci atas pengetahuan dan pengalaman calon konsumen sebelumnya. Meskipun, informasi TSP melalui suatu media komunikasi TSP memberikan penjelasan lebih serta rinci untuk meningkatkan pemahaman calon konsumen 170 dibandingkan dengan pengetahuan dan pengalaman awal yang dimiliki sebelum mereka diberikan informasi TSP. Seharusnya, kondisi tersebut membentuk pengatribusian pada pembangunan nilai ekuitas merek yang semakin tinggi, akibat pemahaman mereka atas aktivitas TSP yang memberikan manfaat sosial dan bersesuaian dengan pemenuhan kebutuhan pemangku kepentingan, khusus calon konsumen. Namun, pengetahuan yang mereka terima atas informasi TSP yang dikomunikasikan menimbulkan keraguan. Calon konsumen menyikapi informasi TSP yang dikomunikasikan dalam kategori kurang yakin, kurang menyukai, dan kurang merasa senang, sehingga keinginan calon konsumen untuk memiliki produk atau jasa perusahaan pelaku TSP menurun. Hal ini didukung oleh data hasil respon calon konsumen pada beberapa indikator komunikasi TSP bahwa informasi TSP pada media saluran komunikasi kurang diyakini sebanyak hampir 1,00 persen, 16,00 persen calon konsumen kurang senang, 9,00 persen kurang menyukai informasi aktivitas TSP yang dikomunikasikan melalui media saluran komunikasi, dan sebanyak 1,00 persen calon konsumen berpikir memiliki produk atau jasa perusahaan pelaku TSP akan merasa kurang baik akibat informasi aktivitas TSP. Besaran nilai efek pemediasi citra TSP dalam efek komunikasi TSP pada ekuitas merek lebih tinggi (41,70 persen) dibandingkan dengan besaran nilai efek pemediasi citra TSP dalam efek tanggung jawab etis-legal pada ekuitas merek (21,10 persen). Ini mencerminkan bahwa komunikasi TSP memiliki peran penting baik dalam efek membangun citra TSP maupun membangun ekuitas merek. Kredibilitas keahlian perusahaan memiliki efek positif signifikan pada citra TSP perusahaan lebih besar (15,90 persen) dibandingkan dengan kredibilitas trusworthiness (13,20 persen). Hal ini menggambarkan kredibilitas keahlian sebagai faktor utama dalam menciptakan citra TSP positif. Kondisi ini terjadi karena calon konsumen mengatribusikan keahlian perusahaan dalam mengimplementasikan aktivitas TSP sangat berkaitan dengan keahlian perusahaan dalam menciptakan produk atau jasa. Sementara itu, kredibilitas kejujuran sangat berkaitan dengan implementasi aktivitas TSP karena motif murni dan jujur. Motif murni dan jujur dalam mengimplementasikan aktivitas TSP bukan menjadi faktor penentu utama dalam mencitrakan TSP perusahaan, tetapi yang paling dipentingkan dalam 171 model ini adalah faktor kemampuan keahlian dan pengalaman perusahaan. Hal ini terjadi karena kredibilitas keahlian diduga berkorelasi dengan kemampuan perusahaan dalam menciptakan produk atau jasa yang berkualitas dan superior. Oleh karena itu, kredibilitas keahlian merupakan faktor yang kuat dalam menentukan citra TSP dibandingkan dengan kredibilitas trusworthiness. Citra TSP berdampak pada pembangunan nilai ekuitas merek positif signifikan dengan nilai besaran efeknya sebesar 26,60 persen. Besaran efek ini diduga, nampak lebih banyak disumbangkan oleh efek komunikasi TSP bukan disumbangkan oleh dimensi aktivitas TSP. Dengan demikian, model riset ini memberikan gambaran bahwa komunikasi TSP sebagai faktor kunci utama dan strategis bagi perusahaan untuk mengeliminasi pemikiran skeptis pemangku kepentingan, khusus calon konsumen atas aktivitas TSP, yang diwujudkan dalam pembentukan citra TSP positif dan peningkatan nilai ekuitas merek yang kuat. Nilai estimasi efek ekuitas merek pada preferensi merek lebih tinggi (86,10 persen) dibandingkan dengan nilai estimasi efeknya pada niat beli (41,30 persen), walaupun nilai estimasi efek pemediasi preferensi merek dalam efek ekuitas merek pada niat beli masih lebih rendah (81,60 persen). Nilai ini mencerminkan bahwa calon konsumen mengatribusikan ekuitas merek pada preferensi merek lebih tinggi dibandingkan pada niat pembelian pada produk atau jasa perusahaan pelaku TSP. Nilai estimasi efek ekuitas merek dan preferensi merek pada niat beli hampir memiliki nilai yang sama berkisar 40 persen, tetapi nilai ini masih berada di bawah hasil temuan Moradi dan Zarei (2011) sebesar 63,00 persen; Chang dan Liu (2009) di atas 50 persen. Hal ini terjadi, sebagai akibat calon konsumen saat merespon niat pembelian, masih menilai dan memertimbangkan faktor lain, selain faktor aktivitas TSP untuk merealisasikan pembelian faktual di masa depan. Pertimbangan faktor lain dalam merealisasikan pembelian berupa faktor kualitas produk atau jasa dan faktor personal yang terkait dengan karakteristik calon konsumen seperti jumlah pendapatan, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan produktif. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa teori atribusi memiliki peran penting dalam mendukung pengujian empiris pada model citra TSP dalam membangun ekuitas merek. Teori 172 atribusi terutama berperan dalam pengujian efek dimensi aktivitas TSP, komunikasi TSP dan kredibilitas perusahaan pada citra TSP dan efek citra TSP dalam membangun nilai ekuitas merek, yang kemudian nilai ekuitas merek ini berkonsekuensi pada pembentukan preferensi merek dan niat beli. Teori pemangku kepentingan, teori legitimasi, dan teori kontrak sosial, berperan terutama untuk pengujian efek tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab etis-legal, dan tanggung jawab filantropi pada citra TSP. 5.2 Kontribusi Penelitian 5.2.1 Kontribusi Penelitian pada Pengembangan Teori dan Metodologis Model citra TSP dalam membangun ekuitas merek ini berkontribusi pada pengembangan konsep TSP dalam perspektif pemasaran dan perilaku konsumen menuju teori kuat, dengan variabel anteseden berupa tiga dimensi TSP dari Carroll (1979,1991,1999), kredibilitas perusahaan, dan komunikasi TSP. Model ini sekaligus mendukung pemikiran Maignan and Ferrell (2001); Sen dan Bhattacharya (2001); Mohr et al. (2001); Balmer (2001); Maignan et al. (2002, 2005); Kotler dan Lee (2005); Jones et al. (2005, 2007a, 2007b); Becker-Olsen dan Hill (2006); Podnar dan Golob (2007); Beckmann (2007); Wang dan Juslin (2009); Marin et al. (2009); Castaldo et al. (2009); Moreno dan Caprioti (2009); Trapero et al. (2010); dan Tian et al. (2011). Hasil penelitian ini menepis pemikiran Jones et al. (2005) dan Oberseder (2011) yang menyatakan bahwa kajian TSP dalam perspektif perilaku konsumen dalam pembelian masih menunjukkan kesenjangan yang cukup besar. Secara spesifik, model citra TSP dalam membangun ekuitas merek dari hasil penelitian ini memberi dukungan empiris pada model Chahal dan Sharma (2006); Hoeffler dan Keller (2002). Hasil penelitian ini juga berkontribusi untuk mendukung konsep teori TSP dari Carroll (1979, 1991, 1999) yang berpotensi menuju konsep teori yang kuat. Dukungan yang kuat pada konsep teori TSP dari Carroll (1979, 1991, 1999) dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan ketiga dimensi TSP dari Carroll dengan tidak melihat masing-masing dimensi secara parsial, sehingga model riset ini dapat diterapkan dalam praktik. Oleh karena itu, konsep teori TSP dari Carroll (1979, 1991, 1999) dapat menjadi aliran konsep teori yang utama (mainstream), sesuai pernyataan Franklin (2008 dalam Vlachos et al., 2009). 173 Variabel komunikasi TSP berkontribusi pada pengembangan model citra TSP dalam membangun ekuitas merek. Secara khusus, kontribusi komunikasi TSP dalam pembentukan nilai ekuitas merek yang kuat relatif lebih besar, jika dibandingkan dengan dimensi aktivitas TSP. Penguatan nilai ekuitas merek pada model ini berdasarkan konsep ekuitas merek berbasis konsumen (Aaker, 1991, 1992, 1996) dalam konteks aktivitas TSP, yaitu penguatan pada variabel kesadaran dan asosiasi pada merek produk atau jasa, kualitas merek produk atau jasa yang dipersepsikan, dan loyalitas pada merek produk atau jasa perusahaan pelaku TSP. Kontribusi pada pengembangan teori lain berupa pengembangan efek variabel kredibiltias perusahaan pada citra TSP, karena pengujian empiris atas efek variabel kredibilitas perusahaan secara langsung pada citra TSP belum pernah dilakukan. Meskipun, hasil riset Alcaniz et al. (2010) menunjukkan bahwa variabel kredibilitas perusahaan memiliki efek pada citra TSP, tetapi tidak secara langsung. Variabel kredibilitas perusahaan pada riset Alcaniz et al. (2010) berperan sebagai variabel pemediasi dalam efek aktivitas TSP Altruistik dan TSP Fit pada citra TSP. Variabel kredibilitas perusahaan pada model penelitian ini juga dapat mendukung temuan Alcaniz et al. (2010), yang berpotensi sebagai variabel pemediasi dalam efek aktivitas TSP pada citra TSP. Hal ini dapat dilihat dari temuan efek aktivitas TSP (khusus tanggung jawab etis-legal dan filantropi) pada citra TSP positif dan efek kredibilitas perusahaan pada citra TSP juga positif. Namun, besaran nilai efek kredibilitas perusahaan (trusworthiness dan expertise) pada citra TSP lebih tinggi dibandingkan dengan besaran nilai efek aktivitas TSP (khusus pada efek tanggung jawab etis-legal) pada citra TSP. Di sisi lain, Becker-Olsen dan Hill (2006); Pirsch et al. (2007); Bae dan Cameron (2006); Lafferty (2007) menyatakan bahwa aktivitas TSP akan meningkatkan pencapai kredibilitas perusahaan. Kondisi ini berimplikasi bahwa kredibilitas perusahaan berpotensi sebagai variabel pemediasi dalam efek aktivitas TSP pada citra TSP, dengan mengasumsikan bahwa aktivitas TSP yang diimplementasikan tidak memerhatikan kredibilitas perusahaan muncul terlebih dahulu sebelum aktivitas TSP dilakukan. Keberadaan peran variabel pemediasi citra TSP pada model riset ini berkontribusi khusus pada aspek metodologi untuk meningkatkan nilai estimasi parameter efek tanggung jawab 174 etis-legal dan komunikasi TSP pada pembangunan nilai ekuitas merek. Kondisi ini berimplikasi pada kontribusi teoritis bahwa citra TSP sebagai faktor penting dalam membangun ekuitas merek. Demikian juga dengan peran pemediasi preferensi merek dalam mengintervensi efek ekuitas merek pada niat beli, yang dapat meningkatkan besaran nilai estimasi parameternya. Hal ini berimplikasi bahwa variabel preferensi merek berkontribusi sangat penting dalam meningkatkan niat beli calon konsumen agar pembelian aktual kemungkinan besar dapat terealisasi. 5.2.2 Kontribusi Penelitian pada Praktik Model citra TSP dalam membangun ekuitas merek pada riset ini memiliki kontribusi pada praktik bagi manajerial perusahaan. Merek perusahaan pelaku TSP yang direspon calon konsumen memiliki nilai ekuitas merek yang kuat. Bahkan dalam dunia praktis, merek perusahaan yang direspon pada model riset ini terkenal dalam ingatan konsumen Indonesia maupun konsumen global. Oleh karena itu, model riset citra TSP dalam membangun nilai ekuitas merek yang memiliki konsekuensi pada pembentukan preferensi merek dan niat beli ini berimplikasi sebagai alat strategi pemasaran. Perusahaan pelaku TSP dapat memiliki peluang untuk mendapatkan konsumen lebih banyak karena niat beli calon konsumen diperkirakan cenderung akan direalisasikan pada pembelian aktual di masa datang, yang diharapkan dapat meningkatkan nilai jual produk atau jasa dan laba perusahaan pelaku TSP di masa depan. Kondisi ini menepiskan pemikiran manajemen perusahaan yang selama ini bahwa aktivitas TSP adalah aktivitas yang membutuhkan investasi biaya yang cukup tinggi. Sebaliknya, aktivitas TSP dalam jangka panjang justru memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja bisnis perusahaan pelaku TSP. Oleh karena itu, aktivitas TSP dapat juga dikatakan sebagai alat strategi bisnis perusahaan untuk meningkatkan keunggulan bersaing. Dengan demikian, model citra TSP dalam membangun nilai ekuitas merek perusahaan pelaku TSP sangat penting bagi perusahaan karena model ini akan berdampak pada keputusan perilaku pembelian berupa peningkatan preferensi pada merek dan niat beli calon konsumen pada produk atau jasa perusahaan pelaku TSP semakin tinggi. Jika preferensi merek dan niat beli dapat terealisasi dalam pembelian aktual, maka kondisi ini memiliki potensi 175 berkontribusi pada peningkatan kinerja bisnis perusahaan, diantaranya nilai pengembalian investasi yang tinggi dalam jangka panjang dan ketertarikan jumlah investor lebih banyak, sehingga nilai perusahaan tinggi di mata investor, seperti pemikiran Kotler dan Lee (2005, hlm. 17). Kontribusi pada praktik lain, yaitu khusus terkait dengan aktivitas komunikasi TSP. Komunikasi TSP merupakan alat kunci strategis dalam membentuk pencitraan TSP positif untuk mengikis pemikiran skeptis pemangku kepentingan atas aktivitas operasional perusahaan yang memiliki dampak ekternalitas negatif (Petkus dan Woodruff, 1992) dan atas akitivitas TSP yang dipersepsikan merupakan aktivitas yang tidak murni dan hanya sebagai ajang promosi (Frankental, 2001; Ardana, 2008; Ambadar, 2008; dan Hadi, 2011). Kondisi ini berimplikasi pada penggunaan komunikasi TSP yang intensif dan media komunikasi yang efektif untuk menguatkan pencitraan pada aktivitas TSP semakin positif dan untuk menguatkan nilai ekuitas merek. Pernyataan ini bersesuaian dengan pernyataan Forman dan Argenti (2005); Capriotti dan Moreno (2007); Nachailit dan Ussahawanitchakit (2009) bahwa komunikasi perusahaan merupakan jantung sebuah organisasi untuk membangun reputasi atau citra TSP perusahaan dan nilai merek perusahaan tinggi. Secara spesifik, Forman dan Argenti (2005); Capriotti dan Moreno (2007); Nachailit dan Ussahawanitchakit (2009) mengungkapkan bahwa jika informasi TSP pada suatu media komunikasi laporan tahunan perusahaan semakin banyak dan intensif, maka kredibilitas perusahaan semakin tinggi. Media komunikasi laporan tahunan ini diduga sebagai media komunikasi efektif utama yang memiliki pengaruh pada penguatan kredibilitas perusahaan (Capriotti dan Moreno, 2007). Hal ini berimplikasi bahwa manajerial perusahaan perlu mengintensifkan penyebaran informasi TSP melalui media komunikasi yang efektif dan desain komunikasi dengan isi dan format pesan yang bersifat informatif, mendidik, dan murni. Isi dan format pesan yang informatif, mendidik, dan murni berarti menjelaskan informasi TSP yang rinci dengan eksekusi informasi TSP bersesuaian dengan pemenuhan kebutuhan pemangku kepentingan dan tidak mengandung persuasi pembujukan yang berimplikasi pada ajang promosi perusahaan. Aspek lain yang dapat dipertimbangkan dalam mendesain informasi TSP yang informatif adalah identitas perusahaan berupa logo dan nama merek perusahaan yang dapat 176 diintegrasikan dengan informasi TSP informatif untuk menguatkan pembangunan nilai ekuitas merek, yang berpotensi pada penciptaan niat pembelian calon konsumen. Isi dan format pesan yang informatif merupakan isu sentral dalam mendesain keefektifan komunikasi sesuai dengan konsep teori Elaboration Likelihood Model. Berdasarkan pandangan konsep ini, pemangku kepentingan, khusus calon konsumen akan memeroses informasi dalam konteks aktivitas TSP lebih berdasarkan pada pendekatan “jalur sentral”, bukan berdasarkan pada “jalur periferal”. Pendekatan “jalur sentral” memfokuskan pada kejelasan inti pesan dan uraian rinci isi pesan. Pendekatan “jalur periferal” tidak memfokuskan pada ide pesan yang bersifat sentral, tetapi berdasarkan pada isyarat lain, seperti dampak dari sumber pembawa pesan yang menarik karena memiliki daya tarik untuk memotivasi dan membujuk penerima pesan untuk mengikuti isi pesan (Cacioppo dan Petty, 1984; Petty et al., 1983). Isi pesan dalam konteks aktivitas TSP dengan pendekatan “jalur periferal” dapat berkonotasi buruk. Informasi aktivitas TSP dipersepsikan skeptis oleh pemangku kepentingan, khusus calon konsumen. Informasi TSP diyakini hanya sebatas bagian dari alat promosi dan tidak murni untuk kepentingan manfaat sosial, sehingga berdampak pada pembentukan citra TSP negatif, yang kemudian berdampak pada pembangunan nilai ekuitas merek negatif, dan berakhir pada pembentukan niat beli calon konsumen pada produk atau jasa perusahaan pelaku TSP negatif. Pemikiran ini juga didukung oleh pemikiran Silva et al. (2007) bahwa komunikasi TSP dengan format dan isi pesan informatif dan mendidik serta menghindari penggunaan pesan yang menciptakan emosional, dapat menciptakan komunikasi TSP efektif untuk mengeliminasi skeptisme pemangku kepentingan atas aktivitas TSP. Kredibiltias keahlian (expertise) menjadi faktor utama dalam menciptakan citra TSP positif. Hal ini berimplikasi manajerial bahwa manajemen perusahaan perlu meningkatan kemampuan perusahaan untuk menciptakan produk berkualitas dan memiliki aspek keahlian dan pengalaman dalam mengeksekusi aktivitas TSP yang bersesuaian antara pemenuhan kebutuhan pemangku kepentingan, khusus calon konsumen dan aktivitas bisnis perusahaan. Meskipun demikian, penguatan kredibilitas kejujuran perlu tetap dipertahankan dalam mengimplementasikan aktivitas TSP demi kepentingan manfaat sosial, untuk mendapatkan 177 pencitraan TSP positif dan mengeliminasi pemikiran skeptis pemangku kepentingan. Model riset ini berimplikasi praktis bahwa dimensi aktivitas TSP seharusnya dieksekusi terintegrasi, tidak hanya memfokuskan pada satu bidang yang berdimensi etis-legal atau hanya berkonsentrasi pada aktivitas berdimensi filantropi. Perusahaan juga sebaiknya menciptakan aktivitas TSP yang inovatif (TSP innovation) dan bernilai tinggi untuk kepentingan manfaat sosial dan peningkatan bisnis perusahaan berkelanjutan seperti usulan Halme dan Laurila (2009). Dengan kata lain, perusahaan perlu mengeksekusi program yang memberikan nilai sinergitas diantara ketiga dimensi TSP. Implikasi praktis ini terungkap sebagai akibat temuan riset bahwa tanggung jawab ekonomi tidak signifikan pada citra TSP dan ekuitas merek, serta tanggung jawab filantropi tidak memiliki efek pada ekuitas merek. Contoh, penerapan program yang memberikan nilai sinergitas antara ketiga dimensi TSP, yaitu program TSP yang terkait dengan isu sosial tentang kebersihan lingkungan, khusus terkait dengan persoalan sampah yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat. Pengelolaan sampah dikelola dengan prinsip pemberdayaan berkelanjutan, yang dapat menciptakan nilai tambah berupa efek ganda selain menunjang peningkatan kesehatan lingkungan juga menunjang peningkatan ekonomi masyarakat, dalam program Bank Sampah atau tabungan Sampah. Mekanisme pengelolaan bank sampah diatur dengan prinsip manajemen bisnis melalui sinergitas program kelembagaan antar pemerintah, perusahaan, instansi terkait lain, dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait berfungsi sebagai pendukung kebijakan dan strategi implementasi TSP. Perusahaan berfungsi sebagai fasilitator pendanaan. Instansi terkait lain seperti Perguruan Tinggi berfungsi sebagai fasilitator sumberdaya pengetahuan dan pengembangan teknologi. Masyarakat atau komunitas ikut berperan aktif secara langsung dalam manajemen operasional Bank Sampah. Contoh program TSP lain yang mengintegrasikan tiga dimensi aktivitas TSP, yaitu program Kampung Ternak. Program ini dapat juga dilakukan bagi pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan tertinggal, sesuai dengan potensi masyarakat dan desanya. 178 Mekanisme program Kampung Ternak juga dikelola merujuk pada aspek manajemen bisnis. Diawali oleh fasilitasi investasi ternak berupa fasilitas kandang, bibit ternak, dan fasilitas modal kerja oleh perusahaan pelaku TSP dengan prinsip sama-sama berkembang dalam menciptakan ekonomi masyarakat berkelanjutan. Saat usaha ternak berkembang, maka diharapkan sirkulasi hasil usaha dapat berdampak pada peningkatan ekonomi tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi lembaga usaha lain, termasuk lembaga keuangan dan perusahaan pelaku TSP yang terkait. Mekanisme pengelolaan penerapan sinergitas program TSP seperti di atas, lebih lanjut perlu dikaji dengan tujuan program atau aktivitas TSP untuk memberdayakan masyarakat dari keterpurukan dan keterbelakangan dan meningkatan kualitas hidup menuju pemberdayaan ekonomi berkelanjutan dapat tercipta. Signifikansi efek ekuitas merek pada preferensi merek dan niat beli mengimplikasikan bahwa perusahaan dalam mengeksekusi aktivitas TSP seharusnya bernilai baik bagi perusahaan maupun bagi kepentingan pemangku kepentingan perusahaan. Nilai bagi perusahaan yang diciptakan dari aktivitas TSP adalah peningkatan kinerja ekonomi lebih besar dibandingkan dengan investasi biaya TSP yang dikeluarkan. Nilai bagi pemangku kepentingan khusus calon konsumen atas aktivitas TSP adalah kesesuaian aktivitas TSP dengan pemenuhan kebutuhan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan ekonomi berkelanjutan dalam jangka panjang, agar kinerja ekonomi perusahaan meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup calon konsumen atau pemangku kepentingan lain. Akhirnya, implementasi aktivitas TSP yang bernilai dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat dan sekaligus membantu efektivitas dan efisiensi program pembangunan pemerintah berkelanjutan. Jika calon konsumen merasakan manfaat aktivitas TSP dalam jangka panjang dan berkelanjutan, maka niat beli calon konsumen faktual di masa depan berpotensi dapat terealisasi. Calon konsumen tidak ragu-ragu atau tidak tergoyahkan dalam mengambil keputusan pembelian. Kondisi ini dalam jangka panjang berimplikasi pada pembentukan pusat keuntungan perusahaan, dengan mendapatkan pertumbuhan laba meningkat, nilai perusahaan meningkat, dan pertumbuhan tingkat pengembalian keuntungan atas aktivitas 179 investasi TSP meningkat, sehingga investasi atas aktivitas TSP bukan lagi sebagai sentra biaya melainkan sebagai sumber keunggulan bersaing. Hal ini sejalan dengan pemikiran Porter dan Kramer (2006); Smith (2003) bahwa investasi pada TSP bukan merupakan biaya, melainkan sesuatu yang benar dilakukan sebagai sumber keunggulan bersaing. Pemikiran ini juga didukung oleh pemikiran Smith dan Higgins (2000) yang mengatakan bahwa penerapan aktivitas TSP yang efektif, bermanfaat, dan tepat sasaran oleh manajemen dapat membedakan perusahaan pelaku TSP dari pesaingnya dan mendapatkan keunggulan bersaing. Model riset citra TSP dalam membangun nilai ekuitas merek ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi bagi pengambil kebijakan pemerintah khusus terkait dengan desain strategi dan kebijakan pengembangan TSP untuk pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia. Pemberdayaan masyarakat miskin di Indonesia menjadi program penting dalam mencapai keberhasilan program pengentasan kemiskinan di Indonesia maupun tujuan utama Pembangunan Milenium (MDG’s). 5.3 Keterbatasan Penelitian dan Implikasi pada Penelitian Berikutnya Penggunaan kerangka sampel dengan kriteria responden pada model riset ini adalah calon konsumen individu sebagai salah satu pemangku kepentingan, yang belum pernah membeli produk atau jasa perusahaan pelaku TSP dan sekaligus pernah melihat informasi aktivitas TSP pada suatu media komunikasi. Penggunaan kriteria sampel ini dipertimbangkan merupakan kriteria sampel yang tepat. Kriteria sempel ini bersesuaian dengan tujuan riset, yaitu ingin melihat niat pembelian calon konsumen yang belum pernah melakukan pembelian sebagai akibat aktivitas TSP yang berdampak pada pembentukan citra TSP positif. Kemudian, citra TSP positif ini diharapkan dapat berdampak pada pembangunan nilai ekuitas merek, yang akhirnya beratribusi pada pembentukan preferensi merek dan niat beli. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teknik penyampelan nonrandom atau nonprobability sampling karena kerangka sampel dari populasi tidak memiliki informasi yang lengkap, khusus tentang karakteristik responden dengan kriteria tersebut. Penggunaan teknik penyampelan ini cenderung memberikan generalisasi hasil penelitian lemah, sehingga hasil pengujian model riset ini kurang dapat digeneralisasi pada waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda, kecuali memiliki kesamaan dengan karakteristik responden pada riset ini. 180 Perolehan sampel dengan kriteria tersebut pada saat desain survei daring mendapatkan kesukaran, sehingga penggunaan kriteria sampel tersebut juga memiliki keterbatasan. Meskipun demikian, survei daring pada kenyataannya memberikan beberapa manfaat. Beberapa manfaat yang diperoleh dari desain survei daring, sesuai pemikiran Kwak dan Radler (2002), yaitu biaya survei lebih rendah secara signifikan, responden memiliki beban yang tidak berat dalam mengembalikan kuesioner, dan kecepatan respon lebih cepat. Oleh karena itu, pengukuran niat beli pada riset ke depan dapat diperluas dengan menggunakan pengukuran niat pembelian ulang pada produk atau jasa perusahaan pelaku TSP. Hal ini berkonsekuensi pada penggunaan sampel responden berupa konsumen yang sudah pernah beli dan perlu memasukkan konsep ekuitas merek, khusus dimensi loyalitas merek berdasarkan konsep loyalitas keperilakuan (behavioral loyalty), seperti pemikiran McConnel (1968); Jacoby dan Kyner, (1973); Day (1969); Aaker (1991, 19912, 1996); Oliver et al. (1997); dan Oliver (1999). Riset ke depan juga perlu meneliti peran variabel pemediasi kredibilitas dalam efek aktivitas TSP pada citra TSP dan dalam efek komunikasi TSP pada citra TSP. Karena citra TSP saat dipengaruhi kredibilitas perusahaan (keahlian dan kejujuran) memiliki besaran efek positif lebih tinggi dibandingkan dengan efek dimensi aktivitas TSP (khusus efek tanggung jawab etis–legal) pada citra TSP. Sejalan dengan ini, Hedberg dan Malmborg (2003); Becker-Olsen dan Hill (2006); Pirsch et al. (2007); Bae dan Cameron (2006); Lafferty (2007); Vanhamme dan Grobben (2009) menyatakan bahwa aktivitas TSP berperan meningkatkan kredibilitas perusahaan dan berpotensi menguatkan efek citra TSP. Demikian juga dengan efek komunikasi TSP dapat meningkatkan kredibiltas perusahaan dan berdampak pada peningkatan nilai ekuitas merek (Forman dan Argenti, 2005; Capriotti dan Moreno, 2007; Nachailit dan Ussahawanitchakit, 2009). Hal ini mengimplikasikan bahwa nilai estimasi efek citra TSP pada pembangunan nilai ekuitas merek akan lebih tinggi sebagai akibat variabel pemediasi kredibilitas perusahaan dan kemudian berdampak pada pembentukan niat beli. Riset ke depan perlu menguji ulang efek ekuitas merek dan preferensi merek pada niat beli, dengan memfokuskan pada konsumen pengguna atau pembeli merek dalam kategori produk atau jasa perusahaan tertentu. Namun, model pengujian tetap memasukkan konteks dan konten aktivitas TSP perusahaan. Hal ini perlu dilakukan karena nilai estimasinya belum memberikan nilai estimasi yang lebih besar di atas 50 persen, seperti temuan Park dan 181 Srinivasan (1994), Chen dan Chang (2008); Chang dan Liu (2009); dan Moradi dan Zarei (2011), walaupun temuan mereka tidak menggunakan konteks dan konten aktivitas TSP. Pengujian ulang ini perlu dilakukan juga untuk mengantisipasi ada kemungkinan bias metode umum, karena item pertanyaan dalam instrumen riset ini tidak mencantumkan jenis produk atau jasa dan merek perusahaan pelaku TSP spesifik, yang dikhawatirkan ada responden mengetahui lebih dari satu merek produk atau jasa perusahaan pelaku TSP yang tidak pernah dibeli dan perusahaan tersebut memiliki karakteristik berbeda. Pada riset ini, terdapat 3,19 persen responden yang mengetahui dua perusahaan pelaku TSP dalam kategori jasa yang sama (perbankan), sisanya 96,81 persen adalah responden yang hanya mengetahui satu perusahaan pelaku TSP sesuai kriteria sampel. Jika format kuesioner seperti dalam riset ini tetap digunakan, riset ke depan sebaiknya perlu mencantumkan pernyataan di awal item pertanyaan persetujuan berupa “pertanyaan berikut berhubungan dengan hanya satu perusahaan pelaku TSP yang produk atau jasanya tidak pernah dibeli dan komunikasi TSPnya pernah dan sedang dilihat serta jika ada lebih dari satu perusahaan pelaku TSP, sebutkan hanya satu nama perusahaan yang anda respon pada pertanyaan berikut:”. Lebih lanjut, bias metode umum akan mungkin terjadi atau lebih sering muncul dengan bias keinginan sosial dan atau bias motif konsistensi khusus pada item pertanyaan yang sangat berkaitan dengan pernyataan sikap yang menyentuh perilaku diri responden yang sangat sensitif. Bias keinginan sosial terjadi sebagai suatu tendensi seseorang untuk membawa dirinya pada sesuatu yang bersesuaian dengan norma sosial ideal yang diterima, walaupun tidak sesuai dengan perilaku atau pemikiran dan perasaan dirinya yang sebenarnya terjadi. Dengan kata lain, ada kecenderungan responden untuk merespon item pertanyaan lebih sebagai hasil keinginan sosial atau penerimaan sosial dibandingkan sebagai hasil pemikiran dan perasaan mereka sebenarnya. Bahkan, bias respon demikian muncul ditujukan untuk menyenangkan peneliti, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian yang diinginkan peneliti (Fisher, 1993; Fisher dan Tellis, 1998; King dan Bruner, 2000). Sementara itu, bias konsistensi terjadi ada kecenderungan responden untuk merespon item pertanyaan yang diberikan konsisten pada setiap pertanyaan mirip, walaupun memiliki makna yang berbeda, atau memertahankan konsistensi respon atas pertanyaan dalam instrumen penelitian yang ada (Hartono, 2008, hlm. 197-205). 182 Dalam model riset ini, bias metode umum tersebut dapat diantisipasi dengan cara, yaitu 1) memberikan pertanyaan kontrol di bagian awal pada kuesioner, dengan pertanyaan tentang pengetahuan akan aktivitas TSP perusahaan, tidak pernah beli produk atau jasa perusahaan pelaku TSP dengan meminta untuk menyebutkan nama dan jenis produk atau jasa perusahaan pelaku TSP, dan sekaligus pernah dan atau sedang melihat informasi aktivitas TSP pada media komunikasi; 2) mencantumkan pernyataan kerahasiaan data melalui penyampaian pernyataan secara ekplisit pada halaman muka kuesioner, yang berisi tentang jaminan kerahasiaan jawaban responden, ucapan terimakasih atas berpartisipasi responden dalam pengisian kuesioner, dan pernyataan bahwa jawaban saudara sangat bermanfaat, hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; 3) memberikan souvenir sebagai wujud ucapan terimakasih; 4) melakukan wawancara khusus pada pertanyaan yang terkait dengan karakteristik responden serta konfirmasi atas jawaban yang penulis pertimbangkan ada jawaban ragu-ragu karena responden memilih peringkat jawaban pada nilai netral; dan 5) tidak mencantumkan nama variabel yang akan diukur dalam instrumen penelitian dan pertanyaan tidak menggunakan kalimat yang mengandung makna ganda dalam satu pertanyaan, sehingga dapat dihindari kalimat yang membuat ambigu, seperti pemikiran De Jong et al. (2010); Hartono (2008, hlm. 224-228); King dan Bruner (2000). Pengujian efek ekuitas merek dan preferensi merek pada niat beli pada riset ke depan perlu diperluas, dengan memasukkan variabel karakteristik responden (jumlah pendapatan dengan kategori tinggi dan rendah, tingkat pendidikan dengan kategori sarjana dan bukan sarjana, dan status pekerjaan produktif dan tidak produktif), yang berfungsi sebagai variabel kontrol atau sebagai variabel pemoderasi, seperti riset Chomvilailuk dan Butcher (2010). Khusus untuk pengujian efek preferensi merek pada niat beli, variabel harga jual yang sangat berkaitan dengan kualitas produk atau jasa superior (item pengukuran preferensi), dapat juga dimasukkan sebagai variabel pemoderasi karena variabel ini dipertimbangkan akan memoderasi efek preferensi merek pada niat beli, sesuai dengan dukungan data deskriptif pada model riset ini dan saran Sen dan Bhattacharya (2001); Bhattacharya dan Sen (2004); Oberseder et al. (2011) . Riset ke depan dapat juga dilakukan untuk memeriksa keefektifan penggunaan media komunikasi TSP dalam menciptakan efek pada citra TSP dan dapat meningkatkan penguatan nilai ekuitas merek perusahaan, serta berdampak pada peningkatan preferensi merek dan niat 183 beli. Hal ini dilakukan karena media komunikasi TSP yang efektif dipertimbangkan sebagai alat strategi pemasaran dalam meningkatkan keunggulan bersaing dan bahkan dapat dikatakan sebagai jantung organisasi dalam membangun kredibiltas perusahaan dan nilai ekuitas merek (Forman dan Argenti, 2005; Capriotti dan Moreno, 2007; Nachailit dan Ussahawanitchakit, 2009). Penggunaan pengukuran instrumen dimensi tanggung jawab ekonomi pada riset ke depan perlu diperluas dengan memasukkan konteks aktivitas ekonomi yang terintegrasi dengan kebutuhan dan kepentingan sosial, seperti konsep pengukuran dari Jackson dan Apostolakou (2010). Perluasan pengukuran instrumen ini dilakukan karena hasil pengujian efek tanggung jawab ekonomi pada citra TSP dan ekuitas merek tidak signifikan sebagai akibat pengukuran dari Salmones et al. (2005) tidak merefleksikan aktivitas tanggung jawab ekonomi untuk kepentingan sosial dan tidak memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. 184