perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PerbedaanPengaruh Pemberian Dosis Rendah Ketamin dan Ondansetron Terhadap Menggigil Pada Pasien Pasca Anestesi Inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama: Ilmu Biomedik Oleh : Agus Henryanto S500109003 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Perbedaan Pengaruh Pemberian Dosis Rendah Ketamin dan Ondansetron Terhadap Menggigil Pada Pasien Pasca Anestesi Inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran Disusun oleh: Agus Henryanto S500109003 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal Pembimbing I Prof. Bhisma Murti, dr, Msc, MPH, PhD NIP 19551021 199412 1 001 ------ Pembimbing II Purwoko, dr, SpAn,KAKV NIP. 19631018 199003 1 004 ------- Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik DR. Hari Wujoso, dr, MM. NIP 19621022 199503 1 001 commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan Alhamdulillahirobbil’alamin kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini, sebagai syarat memperoleh gelar Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif dari Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD. Dr. Moewardi Surakarta dan gelar Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dengan segala kerendahan hati bahwa tanpa bimbingan staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat : 1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. DR. Zaenal Arifin Adnan, dr, Sp.PD-KR yang telah memberikan kesempatan pendidikan kepada penulis. 2. Direktur RSUD. Dr. Moewardi, drg. Basuki, MMR yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian pada penulis. 3. Prof. DR. Didik Tamtomo, dr, MM, M.Kes, PAK, selaku Ketua Sebelas Maret Surakarta. 4. Marthunus Judin, dr, SpAn, KAP selaku Kepala SMF Ilmu Anestesiologi dan Terapi intensif FK UNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program user Pasca Sarjana Universitascommit SebelastoMaret. iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5. Marthunus Judin, dr, SpAn, KAP selaku Ketua Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi intensif FK UNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. 6. M.H Sudjito dr, SpAn, KNA selaku Ketua Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi intensif FK UNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. 7. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn, KMN selaku Sekertaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi intensif FK UNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. 8. Purwoko, dr, SpAn, KAKV selaku pembimbing substansi yang telah memberikan banyak waktu dan tenaganya untuk pembuatan karya ilmiah ini. 9. Bhisma Murti, Prof, dr, Msc, MPH, PhD selaku pembimbing metodologia yang dengan kesabarannya meneliti karya ilmiah ini sehingga menjadi lebih baik. 10. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 11. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh staf Anestesiologi dan Terapi Intensif yang kami hormati : commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Dr. Marthunus Judin, SpAn, KAP b. Dr. M.H Sudjito, SpAn, KNA c. Dr. Soemartanto, SpAn, KIC d. Dr. Purwoko, SpAn, KAKV e. Dr. Sugeng Budi Santoso, SpAn, KMN f. Dr. R.T.H. Supraptomo, SpAn g. Dr. Eko Setijanto, SpAn, MSi med. h. Dr. Heri Dwi Purnomo, SpAn, Mkes. i. Dr. Ardana, SpAn, MSi med. 12. Teman sejawat residen Anestesiologi dan Terapi Intensif, seluruh paramedis RSUD. dr. Moewardi dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung. 13. Ibuku tercinta yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis. 14. Anakku tercinta Muhammad Fauzan Rizki Putra yang telah memberikan dorongan semangat kepada penulis. Penulis sadar bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, dan mohon kiranya diharapkan akan mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih bermanfaat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan maaf yang setulus-tulusnya kepada semua dosen, teman sejawat, paramedis dan karyawan di lingkungan Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Universitas Sebelas Maret atas semua kesalahan dan kekhilafan selama menempuh Pendidikan Dokter Spesialis dan Magister Kesehatan. Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien. Surakarta,Mei 2012 Penulis Agus Henryanto commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Agus Henryanto, S500109003, 2011. Perbedaan Pengaruh Dosis Rendah Ketamin dan Ondansetron Terhadap Menggigil Pada Pasien Pasca Anestesi Inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran. Pembimbing I : Prof.Bhisma Murti, dr,Msc, MPH, PhD. Tesis : Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Latar Belakang : Menggigil pasca operasi merupakan fenomena yang sering terjadi. Mengatasi menggigil pasca anestesi menjadi sangat penting. Menggigil dicegah dengan cara farmakologi dan non farmakologi. Penelitian Dal et al (2005) membuktikan ketamin intravena memiliki anti menggigil pasca anestesi. Penelitian Powell et al (2000), pemberian ondansetron 8 mg mencegah terjadinya menggigil pasca anestesi tanpa mempengaruhi suhu inti tubuh dan suhu perifer. Tujuan : Mengetahui perbedaan pengaruh pemberian dosis rendah ketamin dan ondasetron terhadap menggigil pada pasien pasca anestesi inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran. Metode dan bahan : Disain penelitian eksperimental dengan rancangan uji klinis acak tersamar ganda dengan randomisasi (Randomized Controlled Trial) membandingkan ketamin 0,25 mg/kgBB dan ondansetron 8 mg untuk mengetahui perbedaan menggigil pasca anestesi inhalasi dengan N2O/O2/Isofluran diberikan dua puluh menit sebelum gas anestetik inhalasi dihentikan. Data penelitian dianalisa dengan Indepedent t test, dan Chi Square test dengan menggunakan SPSS. 18.00 for Windows. Hasil : Didapatkan nilai p > 0,05 (mual p = 0,544, muntah p = 0,544, menggigil p = 1,14, nistagmus p = 0,544 ), tidak ada perbedaan yang bermakna dari gejala klinik pada kelompok perlakuan ketamin dan perlakuan ondansetron. Mual, muntah dan nistagmus terjadi 12,5% (2) pada kelompok ketamin dan 6,25% (1) pada kelompok ondansetron. Pada menggigil terjadi 6,25% (1) pada kelompok ketamin dan 18,75% (3) pada kelompok ondansetron. Odd ratio mual, muntah, nistagmus adalah 0,467 dan menggigil 3,46. Pada tekanan darah setelah pemberian ketamin 0,25mg/kgBB dan ondansetron 8 mg (sistolik p = 0,83, diastolik p = 0,57), tidak ada perbedaan bermakna. Kesimpulan : Tidak ada perbedaan yang bermakna pada gejala klinik dan tekanan darah setelah pemberian ketamin 0,25 mg/kgBB dan ondansetron 8 mg. Kata Kunci : Menggigil, anti menggigil, ketamin, ondansetron. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Agus Henryanto, S500109003, 2011. Differences Effects of Low Dose Ketamine and Ondansetron Against Post-Anesthesia Shivering in Patients with Inhalation O2/N2O/Isofluran. Mentors I: Prof.Bhisma Murti, dr, MSc, MPH, PhD. Thesis: Post Graduate Program. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Background : Shivering is a postoperative phenomenon that often occurs. Addressing the post-anesthesia shivering becomes very important. Shivering can be prevented by pharmacological and non pharmacological therapy. Dal et al (2005) showed that intravenous ketamine has an anti shivering effect after anesthesia. Powell et al (2000) showed that administration 8 mg ondansetron can prevent the occurrence of post-anesthesia shivering without affecting the body's core temperature and peripheral temperature. Purpose : Knowing the difference effect of giving low doses of ketamine and ondasetron against shivering in post-anesthesia patients with O2/N2O/Isofluran inhalation. Methods and materials : Experimental research design with the design of randomized double-blind clinical trial with randomization (Randomized Controlled Trial) comparing ketamine 0.25 mg / kg and ondansetron 8 mg to find the differences between shivering post anesthesia inhalation with N2O/O2/Isofluran that given twenty minutes before gas inhalation anesthetic is stopped. Data were analyzed by Indepedent T test, and Chi Square test using SPSS. 18.00 for Windows. Results : Obtained p values> 0.05 (nausea p = 0.544, vomiting p = 0.544, shivering p = 1.14, nystagmus p = 0.544), no significant difference of clinical symptoms in the ketamine treatment group and ondansetron treatment. Nausea, vomiting and nystagmus occurred 12.5% in the ketamine group (2) and 6.25% in the ondansetron group (1). In shivering occurred 6.25% in the ketamine group (1) and 18.75% in the ondansetron group (2). Odd ratio, nausea, vomiting, nystagmus is 0.467 and chills 3.46. Blood pressure measurement after administration of ketamine 0.25 mg / kg body weight and ondansetron 8 mg (p = 0.83 systolic, diastolic p = 0.57), showed no significant difference. Conclusion : There was no significant difference in clinical symptoms and blood pressure after administration of ketamine 0.25 mg / kg body weight and ondansetron 8 mg. Keywords : Shivering, anti shivering, ketamine, ondansetron. commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................. ii KATA PENGANTAR..................................................................................... iii DAFTAR ISI................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang............................................................................. 1 1.2. Rumusan masalah.. ..................................................................... 4 1.3. Tujuan penelitian......................................................................... 5 1.4. Manfaat Penelitian....................................................................... 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi Suhu Tubuh.................................................................... 7 2.2. Homeostasis Normal..................................................................... 8 2.3. Mekanisme Pengaturan Suhu........................................................ 9 2.4. Mekanisme Pengaturan Suhu Selama Anestesi............................ 13 2.5. Hipotermi Selama Anestesi ......................................................... 17 2.6. Ketamin......................................................................................... 18 2.7.Ondansetron................................................................................... 27 2.8. Kerangka Konsep.......................................................................... 29 2.9. Hipotesis................................................................................................... 30 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Disain penelitian............................................................................ 31 3.2 Tempat dan waktu......................................................................... 32 3.3 Populasi dan Besar sample............................................................ 32 3.5.Variabel Penelitian........................................................................ 33 3.6 Definisi operasional variabel ....................................................... 33 3.7. Bahan dan cara kerja......... ........................................................... commit to user 3.8.Uji Statistik.................................................................................... 35 x 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian.......................................................................... 38 4.2. Pembahasan............................................................................... 42 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan................................................................................ 45 5.2. Saran.......................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA....................... .......................................................... 27 JADWAL DAN ORGANISASI PENELITIAN........................................... 29 LAMPIRAN commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Ilustrasi skema pengaturan suhu tubuh.........................................11 Gambar 2.2. Pengaruh anestesiterhadap mekanisme pengaturan suhu tubuh...15 Gambar 2.3. Pengaruh zat anestetik terhadap pengaturan suhu tubuh..............16 Gambar 2.4. Hipotermi selama anestesi............................................................17 Gambar 2.5. Rumus Bangun Ketamin...............................................................19 Gambar 2.6. Kerangka konsep...........................................................................31 Gambar 3.1. Disain Penelitian...........................................................................33 Gambar 4.1. Umur Pasien..................................................................................42 Gambar 4.2. Berat Badan Pasien.......................................................................43 Gambar 4.3. Tinggi Badan Pasien.....................................................................43 Gambar 4.4. Durasi Operasi Pasien...................................................................44 Gambar 4.5. Persentasi Jenis Kelamin...............................................................45 Gambar 4.6. Tekanan Darah sistolik Preoperasi................................................47 Gambar 4.7. Tekanan darah Diastolik Sebelum Perlakuan................................48 Gambar 4.8. Nadi Sebelum Perlakuan................................................................48 Gambar 4.9. Saturasi Sebelum Perlakuan...........................................................49 Gambar 4.10. Tekanan Darah Sistolik Setelah Perlakuan..................................52 Gambar 4.11. Tekanan Darah Diastolik Setelah Perlakuan................................52 Gambar 4.12. Nadi Setelah Perlakuan................................................................53 Gambar 4.13. Saturasi Setelah Perlakuan...........................................................53 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Uji Normalitas Karakteristik Data Sampel Penelitian........................ 41 Tabel 4.2 Karakteristik Data Sampel Penelitian.................................................41 Tabel 4.3 Karakteristik Data Jenis Kelamin .......................................................44 Tabel 4.4 Uji Normalitas Data Hemodinamik dan Saturasi sebelum perlakuan.45 Tabel 4.5 Data Hemodinamik dan Saturasi Sebelum Perlakuan.........................46 Tabel 4.6 Data Perbedaan Gejala Kinik Setelah Perlakuan.................................49 Tabel 4.7 Uji Normalitas Data Hemodinamik dan Saturasi Setelah Perlakuan..51 Tabel 4.8 Data Hemodinamik dan Saturasi Setelah perlakuan...........................51 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Persetujuan Etik Penelitian Lampiran 2. Rincian Informasi Lampiran 3. Lembar Informed consent Lampiran 4. Formulir Penelitian Lampiran 5. Hasil Olah Data Lampiran 6. Data Pasien commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Menggigil pasca operasi merupakan fenomena yang sering terjadi. Dan dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Pada orang dewasa telah diteliti hampir 60% pasien yang tiba di ruang pemulihan, suhu inti tubuhnya dengan pengukuran di membran timpani di bawah 360 C dan 13% pasien suhunya di bawah 350 C. Penelitian Dal et al (2011) melaporkan menggigil pasca operasi terjadi 5-65% pasien dengan anestesi umum dan 30% pada anestesi epidural. Menggigil adalah proses peningkatan suhu tubuh disertai dengan aktifitas otot. Proses ini dapat meningkatkan produksi panas 50% sampai dengan 100 % orang dewasa. Kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen hingga 300%. Kebutuhan oksigen otot jantung pun ikut meningkat menimbulkan iskemia miokard pasien-pasien dengan fungsi jantung yang terganggu. Hipotermi akan merubah kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri. Akibatnya oksigen makin sulit dilepas ke jaringan (Jan et al, 2002). Selama proses menggigil terjadi mekanisme kompensasi sistim-sistim organ tubuh. Sistim kardiovaskuler terjadi peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan isi sekuncup. Pasien normal, peningkatan curah jantung mencapai lima kali lipat, sedangkan pasien dengan gangguan fungsi jantung dan paru, kondisi menggigil menurunkan saturasi oksigen darah vena campur commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (mixed venous). Hipoksemia, asidosis laktat dan hiperkarbia menyertai kejadian menggigil pasca operasi. Dilaporkan menggigil akan meningkatkan tekanan intraokuler, tekanan intrakranial (Kose et al, 2008). Menggigil menimbulkan rasa tidak enak untuk pasien. Menggigil semakin memperberat rasa nyeri pasca operasi akibat peregangan sayatan bedah (Battarchaya et al, 2003). Faktor-faktor penyebab menggigil pasca anestesi umum adalah penggunaan obat anestesi inhalasi, durasi operasi, dan usia. Obat anestesi inhalasi seperti halotan, isofluran dan enfluran dikatakan berhubungan dengan tingginya angka kejadian menggigil pasca anestesi umum. Menggigil jarang terjadi pada usia lanjut karena usia mempengaruhi proses termoregulasi. Mengatasi menggigil pasca anestesi menjadi sangat penting. Berdasarkan penelitian diketahui mencegah menggigil pasca anestesi akan menurunkan kebutuhan oksigen dan mempertahankan kestabilan hemodinamik. Menggigil dicegah dengan cara farmakologi dan non farmakologi. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah hipotermi misalnya menutupi pasien dengan selimut penghangat, lampu penghangat, penggunaan cairan dan transfusi darah yang telah dihangatkan serta pemberian obat-obat tertentu saat menjelang pulih anestesi (Battarchaya et al, 2003). Obat-obat tertentu dengan mekanisme yang berbeda mempengaruhi proses terjadinya menggigil pasca anestesi. Banyak penelitian telah dilakukan membandingkan kemampuan berbagai terapi farmakologi baik pencegahan commit to user atau dengan menghentikan menggigil pasca anestesi umum. Terapi 2 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id farmakologi seperti : petidin (82%), klonidin (75-92%), tramadol (93%), nefopam (95%) dan ondansentron. Nefopam sebagai analgetik mempunyai efek anti menggigil yang kuat, dibuktikan oleh Rohm et al tahun (2003), menyatakan nefopam dengan dosis 10 mg efektif untuk mencegah menggigil 97% pasien. Nefopam belum ada di Indonesia sehingga dipakai obat lain untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum. Tramadol menurut Mathew et al (2005), walaupun efektif mencegah menggigil pasca anestesi tetapi memiliki efek samping mual-muntah menjadikan tramadol bukan merupakan pilihan utama. Petidin obat yang paling sering direkomendasikan, walaupun mekanisme kerjanya belum jelas dan diduga efek anti menggigil terjadi melalui reseptor kappa. Petidin juga memiliki aktifitas antagonis reseptor Nmethyl-D-aspartat (NMDA). Dalam suatu studi meta analisis, petidin sebagai obat pencegah menggigil pasca anestesi, disebutkan efek samping yang timbul disebabkan pemberian petidin adalah mual-muntah dan depresi nafas. Kerugian pemberian petidin karena interaksinya dengan obat-obatan narkotik ataupun obat anestesi yang digunakan sebelumnya akan makin meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi napas (Piper et al, 2008). Penelitian Rotua (2003) diperoleh angka kejadian menggigil pasca anestesi dengan ondansetron intravena 4,4% dan pemberian petidin IV 0,35 mg/kgBB 9,3%. Namun kedua hal ini tidak bermakna secara statistik. Penelitian Powell et al (2000), dilaporkan dengan pemberian ondansetron 8 user mg diberikan sesaat setelah commit induksitomencegah terjadinya menggigil pasca 3 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id anestesi tanpa mempengaruhi suhu inti tubuh dan suhu perifer. Penelitian ini mendukung bahwa sistim serotonin mempunyai peran dalam pengendalian suhu tubuh dan menggigil pasca anestesi. Penelitian yang dilakukan George et al (1999) menyatakan bahwa pemberian klonidin IV 2 µ/kgBB lebih efektif dibandingkan dengan pemberian petidin 0,35 mg/kgBB untuk pencegahan menggigil pasca anestesi dengan menggunakan N2O/O2/enfluran (Rotua,2003). Penelitian Dal et al (2005) membuktikan ketamin intravena memiliki anti menggigil pasca anestesi, mekanisme kerjanya diduga melalui inhibisi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa ketamin sama efektifnya dengan petidin dalam hal pencegahan menggigil pasca anestesi. Dengan pertimbangan pada hasil penelitian sebelumnya maka penulis ingin membandingkan keefektifan pencegahan menggigil pada ketamin dan ondansetron. Alasan lain dari peneliti memilih ketamin dan ondansetron adalah karena penelitian sebelumnya belum pernah ada. 1.2. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN Dengan uraian latar belakang memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian dosis rendah ketamin dan ondasetron terhadap derajat menggigil pada pasien pasca anestesi inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran ? commit to user 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum Mengetahui perbedaan pengaruh pemberian dosis rendah ketamin dan ondasetron terhadap menggigil pada pasien pasca anestesi inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran. Tujuan Khusus 1. Membandingkan menggigil setelah pemberian dosis rendah ketamin intravena 0,25 mg/kgBB dengan pemberian ondansetron intravena 8 mg pasca anestesi umum dengan menggunakan N2O/O2/Isofluran. 2. Membandingkan terjadinya efek samping mual, muntah dan nistagmus setelah pemberian dosis rendah ketamin intravena 0,25 mg/kgBB dengan pemberian ondansetron intravena 8 mg pasca anestesi umum dengan menggunakan N2O/O2/Isofluran. 1.4. MANFAAT HASIL PENELITIAN Manfaat bidang akademik Menganalisis kemampuan dosis rendah ketamin dan ondansetron terhadap pencegahan menggigil pasca anestesi umum dengan N2O/O2/Isofluran. Manfaat bidang pelayanan Memberikan data mengenai kemampuan dosis rendah ketamin dan ondansetron terhadap pencegahan menggigil pasca anestesi umum dengan N2O/O2/Isofluran. commit to user 5 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Manfaat bidang kedokteran keluarga Memberikan informasi data mengenai kemampuan dosis rendah ketamin dan ondansetron terhadap pencegahan menggigil pasca anestesi umum dengan N2O/O2/Isofluran. commit to user 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi Suhu Tubuh Manusia merupakan makhluk yang homeotermik yang berarti manusia memiliki pengaturan suhu tubuh dalam rentang yang kecil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan yang besar. Jadi suhu tubuh diupayakan tetap konstan agar metabolisme dan fungsi fisiologi berjalan normal. Manusia secara homeostatis akan mempertahankan suhu tubuh pada tingkat yang optimal bagi kelangsungan metabolisme sel yang stabil. Kegagalan untuk mempertahankan suhu tubuh menimbulkan berbagai perubahan metabolisme dan fisiologis sampai terjadi kematian (Sessler, 2003). Dalam mekanisme pengaturan suhu kita mengenal istilah suhu inti tubuh (core body temperature), yang dimaksud adalah suhu rata-rata berbagai jaringan di tubuh yang tidak terpengaruh baik secara langsung oleh perubahan suhu di lingkungan terhadap jaringan perifer. Sistim mekanisme pengaturan suhu mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang 0,2 °C dari suhu tubuh normal, yaitu 37 °C (Sessler, 2003). Anestesi mempengaruhi proses mekanisme pengaturan suhu yang apabila disertai pajanan ruang operasi yang dingin akan membuat pasien mudah menjadi hipotermi. Pemahaman proses mekanisme pengaturan suhu commit to user 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan pengaruh anestesia terhadap mekanisme pengaturan suhu dapat mencegah dan mengurangi komplikasi perubahan suhu tubuh ( Sessler, 2003). Pemantauan suhu inti tubuh dilakukan di membran timpani, arteri pulmonalis, esophagus bagian bawah dan nasofaring. Suhu inti tubuh normal berkisar antara 36,5 sampai 37,5°C, umumnya suhu inti tubuh adalah 37°C. Sistim mekanisme pengaturan suhu mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang 0,2 °C dari suhu tubuh normal. Hipotermi didefinisikan sebagai penurunan suhu inti tubuh kurang dari 35°C. Suhu inti tubuh diperkirakan besarnya dari suhu mulut, rektal dan aksila (Sessler, 2003). Hipotermi suhu inti tubuh keadaan yang sering terjadi selama anestesia umum dan anestesia regional. Kondisi ini terutama terjadi pada usia neonatus dan usia lanjut. Pada orang dewasa telah diteliti hampir 60% pasien yang tiba di ruang pemulihan, suhu tubuhnya dengan pengukuran membrane timpani di bawah 36°C dan 13% suhunya di bawah 35°C. Pasien usia lanjut (di atas 60 tahun) cenderung akan memiliki suhu rendah dan hipotermi yang terjadi akan berlangsung lebih lama. Angka kejadian pasca anestesia mencapai 40%. 2.2. Homeostasis Normal Pengaturan suhu pada manusia dan juga sebagian besar hewan mamalia terdiri dari dua komponen fungsi fisiologis, yaitu respons sadar atau respons tingkah laku dan respons autonom atau respons yang tidak disadari (Sessler, 2003). Respons sadar commit to user 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Respons sadar, termasuk di dalamnya adalah perubahan posisi tubuh (pindah dari tempat tersebut), memakai baju yang lebih tebal atau lebih tipis, mematikan pendingin ruangan atau menyalakan penghangat ruangan. Respons sadar lebih penting daripada respons autonom dalam mekanisme pengaturan suhu (Sessler, 2003). Manusia apabila suhu tubuhnya di bawah patokan normal akan meringkukkan tubuhnya. Kebalikannya apabila suhu tubuh lebih tinggi daripada patokan normal, akan merenggangkan tubuhnya. Tujuan dari tindakan tersebut adalah memperbanyak atau mengurangi pengeluaran panas tubuh (Sessler, 2003). Respons autonom Respons autonom terdiri dari fungsi-fungsi autonom, seperti vasokonstriksi pembuluh darah kulit, vasodilatasi pembuluh darah kulit atau pengeluaran keringat. Dalam respons ini juga termasuk proses-proses yang dianggap bukan autonom, seperti, pengaktifan produksi panas dari otot-otot rangka dengan peningkatan tonus otot dan menggigil. Produksi panas dari jaringan lemak coklat pada bayi merupakan mekanisme utama pembentukan panas bayi sampai umur 3 bulan. 2.3. Mekanisme Pengaturan Suhu Suhu tubuh merupakan hasil keseimbangan antara produksi panas metabolisme tubuh, pemasukan panas dari lingkungan dan pengeluaran panas ke lingkungan. Seperti sistim fisiologis lainnya, sistim mekanisme pengaturan suhu commit to user 9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id memiliki setidaknya tiga komponen ulama, yaitu:(1) Reseptor sensoris (input aferen), (2) Kendali pusat dan (3) Sistim eferent (respons eferen). Pengaturan suhu tubuh tergantung sepenuhnya dari ketiga komponen tersebut. Selama anestesi umum fungsi kendali pusat akan terganggu, sementara respons eferen relatif tidak terganggu. Kebalikannya selama anestesi regional, kendali pusat tidak terganggu namun input aferen akan dihambat secara langsung karena blokade syaraf (Sessler, 2003). Respons Sensoris Informasi perubahan suhu didapat dari sel-sel yang sensitif terhadap perubahan suhu di seluruh tubuh. Terutama yang terpenting adalah sel-sel di medulla spinalis dan permukaan kulit. Sel yang sensitif terhadap dingin secara anatomis dan fisiologis berbeda dengan sel yang sensitif terhadap panas. Rangsang dingin akan diteruskan terutama oleh serat saraf A dan rangsang panas akan diteruskan oleh serat saraf C yang tidak bermielin. Hipotalamus, sebagian dari otak besar, medulla spinalis, abdomen dan torak serta permukaan kulit masing-masing menyumbang 20% dari keseluruhan input perubahan suhu (Sessler, 2003). Respons mekanisme pengaturan suhu terhadap perubahan suhu ditentukan oieh suhu tubuh rata-rata yang didapat dari permukaan kulit, medulla spinalis, hipotalamus, rongga abdomen dan torak. Jadi reseptor sensoris rnemantau suhu dari berbagai tempat yang termosensitif dan menyalurkan Informasi perubahan suhu ke kendali (Sessler, 2003). commitpusat to user 10 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kendali Pusat Mekanisme sebenarnya bagaimana tubuh mengatur suhu belum diketahui. Berbagai umpan balik positif dan negatif bekerja menirnbulkan respons ini. Istilah kendali pusat digunakan untuk menggambarkan lokasi anatomis di susunan saraf pusat dimana interfensi mekanis, elektrik dan kimia dapat mempengaruhi sistim mekanisme pengaturan suhu. Diduga tempat tersebut hipotalamus posterior (Sessler, 2003). Menurut Sessler tahun 2003 hipotalamus berfungsi sebagai suatu termostat yang mengaktifkan mekanisme produksi panas atau mencegah pengeluaran panas. Hipotalamus memiliki suhu patokan 37°C (Gambar 2.1). Suhu diatur oleh kendali pusat, yaitu hipotolamus, yang menyesuaikan informasi perubahan suhu. Bila hipotalamus mendeteksi adanya perbedaan antara input reseptor sensoris dan patokan normal, maka hipotalamus akan menentukan organ efektor untuk menimbulkan produksi panas (Sessler, 2003). Hipotalamus bagian lain otak permukaan kulit medulla spinalis jaringan dalam Respons panas Hypotalamus Interthreshold Range 36.5 vasodialasi aktif berkeringat perilaku 37.5 vasokonstriksi termogenesis nonmenggigil menggigil perilaku Gambar 2.1. Ilustrasi skema mekanisme commit to user pengaturan suhu tubuh 11 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sistim eferen Respons mekanisme pengaturan suhu terhadap lingkungan adalah respons sadar (behavioral response) dan respons autonom. Yang paling penting diantara keduanya adalah respons sadar. Respons sadar berupa mencari tempat berteduh dan menggunakan baju penghangat. Sistim eferen berperan sebagai mekanisme efektor dalam mekanisme pengaturan suhu. Tubuh bereaksi terhadap perubahan suhu melalui mekanisme efektor yaitu meningkatkan pelepasan panas (Sessler,2003). Respons awal terhadap lingkungan dingin adalah vasokonstriksi shunt arteri vena. Kondisi suhu normal shunt arteri vena ini terbuka, aliran darah terjadi maksimal dan terjadilah pengeluaran panas melalui kulit. Vasokonstriksi ini diperantarai oleh saraf α adrenergik. Termogenesis tidak menggigil adalah suatu proses peningkatan suhu tubuh yang tidak disertai dengan peningkatan aktifitas otot. Proses ini kebanyakan terjadi di jaringan lemak coklat. Pada bayi termogenesis tidak menggigil dapat menghasilkan produksi panas sampai dua kali. Namun hanya sedikit terjadi atau bahkan tidak terjadi pada orang dewasa sehingga tidak dianggap bermakna. Kebalikannya pada bayi-bayi baru lahir termogenesis tidak menggigil amat penting. Proses ini juga terjadi pada bayi-bayi prematur dan berfungsi sampai dengan dua tahun pertama (Sessler, 2003). commit to user 12 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menggigil adalah proses peningkatan suhu tubuh disertai dengan aktifitas otot. Proses ini dapat meningkatkan pruduksi panas 50% sampai dengan 100% pada orang dewasa, Peningkatan ini dianggap kecil bila dibandingkan produksi panas yang didapat dari berolahraga. Bayi umumnya tidak mengalami proses ini. Mungkin karena jaringan muskuloskeletal belum sepenuhnya berfungsi (Sessler, 2003). 2.4. Mekanisme Pengaturan Suhu Selama Anestesia Mekanisme pengaturan suhu selama tindakan anestesia dipengaruhi oleh kondisi kesehatan pasien, perubahan akibat zat dan teknik anestetik serta faktor lingkungan yang mempengaruhi pengaturan suhu selama anestesia. a. Faktor Luar : Suhu kamar operasi Lokasi pembedahan b. Faktor pasien : Umur (neonates, bayi dan usia di atas 60 tahun) Kehamilan Penyakit lain c. Faktor Anestetik : Obat-obatan Pemberian cairan/irigasi Hipotermi lebih mudah terjadi dibanding hipertermi. Hipotermia dicegah dengan mengurangi pengeluaran panas dan penghangatan, tetapi lebih mudah dengan memperoleh panas daripada mengeluarkannya karena mekanisme kompensasi pengeluaran panas bisa gagal apabila suhu inti tubuh commit to user mencapai 40°C. Hipotermia ringan umumnya dapat ditoleransi dan dapat 13 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id digunakan sebagai mekanisme proteksi terhadap kerusakan organ (Sessler, 2003). Menurut Sessler respons sadar umumnya tidak diperhitungkan pada anestesi umum karena pasien dalam keadaan tidak sadar dan lumpuh akibat penggunaan pelumpuh otot. Seluruh zat anestetik yang sudah diuji sejauh ini akan mengganggu respons autonom. Perubahan yang ditimbulkan hampir sama yaitu, ambang batas terhadap panas akan sedikit meningkat sementara arnbang batas terhadap dingin akan dikurangi, Akibatnya rentang antar skala (intertreshold range) akan meningkat dari nilai normalnya yang hanya 0,2°C menjadi 2-4°C (Gambar 2.2). Menurut Sessler 2003 seluruh zat anestetik sejauh ini yang telah diuji secara bermakna akan menurunkan ambang mekanisme pengaturan suhu untuk vasokonstriksi. Halotan, enfluran, desfluran, N2O/fentanil, sevofluran dan propofol akan menurunkan ambang vasokonstriksi hingga 34°C sampai 35°C. Inhibisi oleh gas anestetik umumnya tidak linier (lebih besar inhibisi pada konsentrasi yang lebih besar), sementara inhibisi oleh propofol dan opioid umumnya linier (Gambar 2.3) commit to user 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 2.2. Pengaruh anestesia terhadap mekanisme pengaturan suhu tubuh (Battarchaya et al,2001) Perubahan respons vasokonstriksi saat anestesi dengan halotan dan isofluran umumnya hampir sama pada bayi, anak-anak dan orang dewasa. Namun pada usia lanjut, respons vasokonstriksi baru terjadi pada suhu inti tubuh 1,5°C lebih rendah daripada orang dewasa. Ini menjadi salah satu faktor predisposisi hipotermi pada usia lanjut (Sessler, 2003). Menggigil pasca anesthesia bisa terjadi pada pasien-pasien yang to user mengalami hipotermia intracommit operatif. Bayi umumnya tidak mengalami 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menggigil yang terjadi juga pada anak-anak. Menggigil pasca anesthesia bisa dicegah dengan mengusahakan pasien tetap dalam keadaan normotermia intra operatif. Alternatifnya diterapi dengan pemanasan permukaan kulit atau pemberian petidin. Gambar 2.3. Pengaruh zat anestetik terhadap mekanisme pengaturan suhu tubuh (Stoelting,) Isofluran dan gas-gas anestetik lainnya akan menimbulkan peningkatan ambang berkeringat yang tergantung dosis.Tetapi peningkatan ambang berkeringat ini jauh lebih sedikit dibandingkan penurunan ambang vasokonstriksi. Sebagai contohnya panggunaan 1,2 % isofluran akan menurunkan ambang vasokonstriksi sampai 33°C tetapi hanya akan meningkatkan ambang berkeringat sampai dengan 38,22°C. Sebab terjadinya keadaan seperti itu sampai sekarang mekanismenya belum diketahui, tetapi keadaan tersebut menjadi menguntungkan karena rcspons terhadap hipertemi commit to user 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id akan tercetus lebih awal karena hipertermi jauh lebih berbahaya dibandingkan hipotermi (Sessler, 2003). 2.5. Hipotermi Selama Anestesia Telah lama diketahui pasien yang mengalami anestesi umum bisa rnengalami hipotermi. Hipotermi yang ierjadi sesudah induksi anestesia memiliki pola yang khusus (Gambar 2.4): Penurunan cepat suhu inti tubuh 0,5°C sampai 1,5°C selama satu jam pertama sesudah induksi. Terjadi karena redistribusi panas. Penurunan suhu inti tubuh yang lebih lambat, selama 2 sampai 3 jam sesudahnya akibat pengeluaran panas melalui kulit yang melebihi produksi panas tubuh. Fase plateu saat suhu inti tubuh kembali stabil karena telah terjadi respons mekanisme penagaturan suhu. Gambar 2.4. Hipotermi selama anesthesia commit to user 17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Induksi anestesia akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang kemudian akan meredistribusikan panas dari pusat ke perifer. Hasilnya adalah penurunan yang bermakna suhu inti tuhuh. Meskipun redistribusi panas internal dianggap sebagai alasan utama penurunan suhu inti tubuh segera setelah induksi, faktor-faktor lain turut mempengaruhi keseimbangan suhu tubuh. Faktor-faktor tersebut di antaranya : (1) Penurunan produksi panas dalam selama tindakan anesthesia, (2) Pengeluaran panas ke lingkungan dan (3) Efek zat anestetik terhadap mekanisme pengaturan suhu. Induksi anestesi mengurangi produksi panas sampai 20% karena penurunan aktifitas otot, penurunan tingkat metabolisme dan berkurangnya kerja pernafasan. Evaporasi, vasodilatasi akibat anestesia, gangguan terhadap respons mekanisme pengaturan suhu dan suhu kamar operasi yang rendah akan meningkatkan pengeluaran panas (Tinker, 1998). 2.6. KETAMIN Ketamin merupakan suatu derifat phenycyclidine yang menimbulkan anestesia disosiasi antara sistim thalamokortikal dan sistim limbik. Mula kerja setelah pemberian intravena 30-60 detik. Lama kerjanya sekitar 20 menit. Saat ini hanya tersedia sediaan racemik dari ketamin. Isomer positif (S) ketamin menimbulkan efek analgetik yang lebih baik, metabolisme yang lebih cepat dan pemulihan lebih cepat dibandingkan isomer negative (R). Farmakokinetik dari ketamin mirip dengan thiopental dalam hal mulai kerja, durasi kerja obat dan kelarutan dalam lemak. Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh commit tonorketamin. user enzim mikrosom hepar. Menghasilkan Norketamin masih bersifat 18 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id aktif sampai dengan 1/3 kemampuan ketamin. Hal ini dapat menjelaskan pemanjangan efek ketamin bila diberikan secara berulang kali atau dengan infus intravena. Sesudah pemberian intravena hanya kurang dari 4% obat ditemukan sebagai obat yang tidak dimetabolisme. Gambar 2.5 Rumus Bangun Ketamin (Stoelting) Mekanisme aksi Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat, yang berlokasi di saluran ion. Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmiter eksitatori seperti asam glutamat, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal, talamik, limbik dan kortikal. Ketamin menghambat atau menginterferensi input sensoris ke sentral commit to user 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori. Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamat, mengurangi pelepasan glutamat di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmiter inhibisi GABA (Reves et al,2003). Farmakokinetik Ketamin dapat diberikan melalui oral, rektal, intranasal, intramuskular ataupun intravena. Untuk operasi dan manajemen nyeri paska bedah ketamin dapat diberikan secara intratekal dan epidural. Farmakokinetik ketamin menyerupai tiopental yaitu onset yang cepat, durasi yang relatif singkat, dan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Hal ini disebabkan karena ketamin mempunyai berat molekul yang kecil dan pKa yang mendekati pH fisiologi, sehinga dengan cepat melewati sawar darah otak dan mempunyai onset 30 detik setelah pemberian intravena. Konsentrasi plasma puncak dari ketamin terjadi dalam 1 menit setelah pemberian intravena dan bertahan selama 5-10 menit, dan 5 menit setelah injeksi intramuskular, bertahan 12-25 menit. Analgesia diperoleh pada dosis 0,2-0,75 mg/kgBB intravena (Reves et al,2003). Ketamin tidak terikat secara signifikan pada plasma dan didistribusikan dengan cepat pada jaringan. Pada awalnya ketamin didistribusikan pada jaringan yang perfusinya tinggi seperti otak, dimana konsentrasi puncak mungkin 4 sampai 5 kali dari darah. Kelarutan yang tinggi dalam lemak commit to user 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menyebabkan cepat menembus sawar darah otak. Selanjutnya, ketamin menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak sehingga mempermudah perjalanan obat dan kemudian menambah cepat konsentrasi obat dalam otak. Kemudian didistribusikan kembali dari otak dan jaringan yang perfusinya tinggi ke jaringan yang perfusinya rendah (Reves et al,2003). Ketamin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal hepatik melalui N-demetilasi dari ketamin oleh sitokrom P-450 menjadi norketamin (metabolit I), kemudian dihidroksilasi menjadi hidroksi-norketamin. Produk ini berkonjugasi ke derivat glukoronid yang larut dalam air dan diekskresi di urin. Norketamin adalah metabolit aktif dengan potensi anestesi sepertiga dari ketamin dan mempunyai efek analgesi (Reves et al,2003). Interaksi ketamin dengan obat pelumpuh otot adalah efek potensiasi dari obat pelumpuh otot. Kombinasi ketamin dengan teofilin dapat menyebabkan kejang. Diazepam menghambat efek kardiostimulasi dari ketamin dan memperpanjang eliminasi waktu paruh ketamin. Propranolol, fenoksibenzamin dan antagonis simpatis lain menutupi efek depresi otot jantung ketamin. Jika dikombinasi dengan halotan, ketamin menimbulkan depresi otot jantung. Terdapat toleransi untuk efek analgesi dari ketamin yang terjadi pada pasien yang menerima dosis berulang. Dalam hal ini, toleransi dapat terjadi pada pasien yang menerima lebih dari dua kontak dalam interval yang pendek. Interaksi ketamin dengan propofol adalah aditif, bukan sinergisme (Reves et al,2003). commit to user 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Farmakodinamik Susunan Saraf Pusat Ketamin menghasilkan stadium anestesi yang disebut anestesi disosiasi. Pada susunan saraf pusat, ketamin bekerja di sistem proyeksi talamoneokortikal. Secara selektif menekan fungsi saraf di korteks (khususnya area asosiasi) dan talamus ketika secara terus menerus merangsang bagian dari sistem limbik, termasuk hipokampus. Proses ini menyebabkan disorganisasi fungsional pada jalur non-spesifik di otak tengah dan area talamus. Ada juga pendapat bahwa ketamin menekan transmisi impuls di formasi retikular medula medial, yang berperan pada transmisi komponen emosi nosiseptif dari spinal cord ke pusat otak yang lebih tinggi. Ketamin juga dianggap menduduki reseptor opioid di otak dan spinal cord, yang menyebabkan ketamin memiliki sifat analgetik. Interaksi pada reseptor NMDA juga menyebabkan efek anestesi umum sebaik efek analgesia dari ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Ketamin mempunyai efek eksitatori di susunan saraf pusat sehingga meningkatkan CMRO2. Dengan peningkatan aliran darah otak yang sejalan dengan peningkatan respon sistem saraf simpatis, maka tekanan intrakranial juga meningkat setelah pemberian ketamin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam ataupun tiopental (Reves et al,2003). Ketamin menyebabkan reaksi psikis yang tidak disukai yang terjadi pada saat bangun yang disebutcommit emergence reaction. Manifestasi dari reaksi ini to user 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang bervariasi tingkat keparahannya adalah berupa mimpi buruk, perasaan melayang, ataupun ilusi yang tampak dalam bentuk histeria, bingung, euphoria dan rasa takut. Hal ini biasanya terjadi dalam satu jam pertama pemulihan dan akan berkurang satu jam sampai beberapa jam kemudian (Reves et al,2003). Ada pendapat yang menyatakan bahwa emergence reaction ini disebabkan depresi pada nukleus yang merelai sistem pendengaran dan penglihatan sehingga terjadi mispersepsi dan misinterpretasi. Insidensnya adalah 10-30 % pada orang dewasa pada pemberian ketamin sebagai obat tunggal anestesi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah umur, dosis, jenis kelamin, status psikis, dan obat yang diberikan bersamaan dengan ketamin. Orang dewasa dan perempuan lebih sering dibandingkan anak-anak dan lakilaki. Dosis yang besar (>2mg/kgBB IV) dan kecepatan pemberian ketamin mempengaruhi kejadian ini. Kelemahan psikis dan orang-orang pemimpi juga lebih mudah mengalaminya. Banyak obat telah digunakan untuk mengurangi reaksi ini, seperti golongan benzodiazepine (midazolam, lorazepam dan diazepam) (Reves et al,2003). Sistem Pernafasan Ketamin menjaga patensi dari jalan nafas dan fungsi pernafasan, meningkatkan ventilasi serta mempunyai efek minimal terhadap pusat pernafasan dimana ketamin sedikit memberikan respon terhadap CO2. Ada penurunan sementara dari volume semenit setelah bolus 2 mg/kgBB intravena. Apnoe dapat terjadi setelah pemberian dengan cepat dan dosis yang tinggi, commit to user 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id namun hal ini jarang terjadi. Bagaimanapun pemberian yang bersamaan dengan sedatif ataupun opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan (Reves et al,2003). Efek ketamin terhadap bronkus adalah relaksasi otot polos bronkus. Ketika diberikan pada pasien dengan masalah pada jalan nafas dan bronkospasme, komplians paru dapat ditingkatkan. Ketamin seefektif halotan dalam mencegah bronkospasme. Mekanismenya adalah mungkin akibat rangsang simpatis ataupun ketamin dapat secara langsung mengantagonis efek spasme dari karbakol dan histamin. Karena efek bronkodilatasi ini, ketamin dapat digunakan untuk terapi status asmatikus yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional (Reves et al,2003). Masalah pada sistem pernafasan dapat timbul akibat efek hipersalivasi dan hipersekresi kelenjar mukus di trakea-bronkeal yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akibat laringospasme. Atropin dapat diberikan untuk mengatasi hal ini. Aspirasi dapat terjadi walaupun refleks batuk, refleks menelan, refleks muntah relatif intak setelah pemberian ketamin (Reves et al,2003). Sistem Kardiovaskular Ketamin menstimulasi sistem kardiovaskuler menyebabkan peningkatan tekanan darah, curah jantung, laju jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan arteri pulmonalis, dan resistensi pembuluh darah pulmonal. Hal ini diakibatkancommit oleh karena to userpeningkatan kerja dan kebutuhan 24 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id oksigen otot jantung. Mekanisme ini sendiri masih dipertanyakan (Reves et al,2003). Ada pendapat menyatakan bahwa efek-efek ini sebagai akibat peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, sehingga pelepasan norepinefrin semakin besar yang diakibatkan oleh penekanan pada refleks baroreseptor. Pengaruh ketamin pada reseptor NMDA di nukleus traktus solitaries menyebabkan penekanan refleks baroreseptor ini (Reves et al,2003). Ketamin memiliki sifat inotropik negatip terhadap otot jantung. Tetapi respon simpatis yang sentral selalu menutupi efek depresi otot jantung ini. Ketamin juga bekerja pada sistem saraf perifer dengan menginhibisi uptake intraneuronal dari katekolamin dan menginhibisi uptake norepinefrin ekstraneuronal pada terminal saraf simpatis (Reves et al,2003). Peningkatan tekanan darah sistolik pada orang dewasa yang mendapat dosis klinis ketamin adalah 20-40 mmHg dengan peningkatan sedikit tekanan darah diastol. Biasanya tekanan darah sistemik meningkat secara progresif dalam 3-5 menit pertama setelah injeksi intra vena ketamin dan kemudian akan menurun ke level sebelum injeksi 10-20 menit kemudian (Reves et al,2003). Ketamin merupakan obat pilihan yang paling rasional untuk induksi anestesi cepat pada pasien gawat darurat terutama pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil (Reves et al,2003) commit to user 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Efek anti mengigil Ketamin merupakan suatu antagonis kompetitif reseptor NMDA yang bisa menghentikan menggigil pasca Operasi. Mekanisme bagaimana sesungguhnya ketamin dapat menghentikan menggigil pasca anestesi ini hingga kini masih belum sepenuhnya dimengerti. Selain memiliki sifat sebagai antagonis kompetitif reseptor NMDA, ketamin memiliki efek farmakologik lain termasuk agonis reseptor κ opioid, anestetik local dan berinteraksi dengan reseptor muskarinik (Stoelting,1996). Diduga bahwa antagonis reseptor NMDA mempengaruhi termoregulasi di berbagai tingkat. Penelitian pada tikus menyatakan bahwa neuron di bagian preoptik hipotalamus anterior akan terangsang dengan NMDA 5-HT bersifat sebagai suatu neuromodulator untuk meningkatkan efek perangsangan reseptor NMDA. Penelitian oleh Dal et al (2003) telah membuktikan bahwa ketamin 0,5 mg/kg BB sama efektif dengan petidin 20 mg IV dalam menghentikan menggigil pasca anestesia.Antagonis reseptor NMDA mengatur mekanisme kontrol termoregulasi(Batarchaya et al,2003) Ketamin 0.5-0.75 mg/kg lebih cepat menggurangi menggigil setelah operasi dibanding meperidine 25mg, tetapi efek samping yang dimiliki ketamin membatasi penggunannya (Kose et al,2008). Profilaksi dosis rendah ketamin efektif mencegah menggigil setelah operasi (Dal et al,2005). commit to user 26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Efek samping Ketamin mempunyai efek samping berupa mual, muntah, efek psikomimetik seperti halusinasi, diplopia, mimpi buruk, ansietas, euphoria. Kontra Indikasi Ketamin dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan seperti pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial, pasien dengan operasi mata karena ketamin dapat meningkatkan tekanan intra okular, pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit aneurisma vaskular, pasien dengan riwayat gangguan psikiatri ataupun pasien yang diduga cenderung mengalami delirium paska operasi (Reves et al,2003). Ketamin dosis rendah Ketamin dosis rendah disebut juga ketamin dosis analgesia ataupun dosis subanestesia yaitu 0,2-0,75 mg/kgBB IV. Literatur lain menyebutkan dosis analgesia dicapai pada 0,2 - 0,5 mg/kgBB IV (Reves et al,2003). Ketamin 0.5-0.75 mg/kg lebih cepat menggurangi menggigil setelah operasi dibanding meperidine 25mg, tetapi efek samping yang dimiliki ketamin membatasi penggunannya (Kose et al,2008). Profilaksi dosis rendah ketamin efektif mencegah menggigil setelah operasi (Dal et al,2005). 2.7. ONDANSETRON Ondansetron antagonis selektif respetor 5-hydroxytrytamine3 (5-HT3) yang dikenal sebagai antiemetik pada pengobatan kanker dan mual-muntah akibat anestesi. commit to user 5-Hydroxytryptamine 27 (5-HT, serotonin) adalah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id neurotransmitter monoaminergik yang memodulasi sejumlah fungsi saraf dan dihubungkan beberapa keadaan penyakit. 5-HT terutama penting pada pasienpasien dengan gangguan mental, seperti depresi, kecemasan, schizophrenia, obsessive compulsive, panik dan migrain (Ye et al,2001). 5-HT membantu mengatur kontraksi dan relaksasi otot polos pada pernafasan , saluran cerna dan pembuluh darah, pembentukan plug selama hemostasis, profokasi dari nyeri, menginduksi muntah dan tidur (Shakya et al,2010). Efek anti menggigil. Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-HT yang sering digunakan untuk mencegah timbulnya mual-muntah pasca anestesi umum. Di masa sekarang ondansetron bisa digunakan untuk pencegahan meggigil pasca anestesi. Walaupun mekanisme dari efek anti menggigil belum jelas tetapi diduga karena efek ondansetron yang menurunkan ambang dari suhu inti tubuh. Shakya et al (2010) melaporkan angka kejadian menggigil pasca anestesi pada pasien yang diberi ondansetron 4 mg IV adalah 4%. Dari penelitian Rotua (2003) diperoleh angka kejadian menggigil pasca anestesi dengan ondansetron intravena adalah 4,4% dan dengan pemberian petidin IV 0,35 mg/kgBB adalah 9,3%. Tetapi kedua hal ini tidak bermakna secara statistik. Pada penelitin yang dilakukan oleh Powell et al (2000), dilaporkan dengan pemberian ondansetron 8 mg yang diberikan sesaat setelah induksi mencegah terjadinya menggigil pasca anestesi tanpa mempengaruhi suhu inti tubuh dan suhu perifer. Hal ini mendukung bahwa sistim serotonin commit to user 28 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mempunyai peran dalam pengendalian suhu tubuh dan menggigil pasca anestesi. Ondansetron merupakan serotonin intrahipotalamus yang memiliki peran terhadap regulasi suhu, digunakan sebagai anti menggigil setelah operasi (Generali et al, 2009). Pada Generali (2009), disebutkan bahwa dengan dosis ondansetron 8 mg memberikan efek anti menggigil setelah operasi. Pemberian ondansetron 8 mg selama anestesi umum mencegah menggigil setelah operasi tanpa memberikan efek pada suhu inti tubuh (Powell et al,2000). Tramadol, nalbuphine dan Ondansetron efektif untuk pencegahah menggigil pasca anestesi setelah pemeberian morfin intratekal pada pasien yang mengalami pembedahan cesar. Tramadol dan nalbuphine lebih baik dibanding ondansetron untuk pengobatan menggigil pasca anestesi (Kyokong et al,2007). commit to user 29 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2.8. KERANGKA KONSEP Lingkungan , Penghangat permukaan/radian. Penghangat udara inspirasi Anestesia Umum Menurunkan skala termoregulasi hipotalamus sebesar 2-4°C ONDANSETRO N - 5HT3Reseptor - Menurunkan skala termoregulasi Vasodilatasi perifer distribusi Panas sentral ke perifer hipotermia HIPOTALAMU S Termogenesis commit to user Menggig il Operasi (lama dan jenis), usia, pemaparan organ dalam, jumlah perdarahan, pemakaian cairan infus/irigasi Tidak menggigil 30 - KETAMIN Antagonis reseptor NMDA Menurunkan skala termoregulasi Vasokonstriksi perifer perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2.9. HIPOTESIS Ada perbedaan pemberian dosis rendah ketamin dan ondasetron terhadap derajat menggigil dan kekerapan menggigil pada pasien pasca anestesi inhalasi dengan O2/N2O/Isofluran . commit to user 31 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.DISAIN PENELITIAN Penelitian ini eksperimental dengan rancangan uji klinis acak tersamar ganda dengan randomisasi (Randomized Controlled Trial) membandingkan ketamin 0,25 mg/kgBB dan ondansetron 8 mg untuk mengetahui perbedaan menggigil pasca anestesi inhalasi dengan N2O/O2/Isofluran diberikan dua puluh menit sebelum gas anestetik inhalasi dihentikan, dengan kerangka kerja sebagai berikut: commit to user 32 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3.2.TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Umum Daerah Moewardi Surakarta, dimulai pada Bulan Nopember 2011 sampai dengan Desember 2011. 3.3. POPULASI DAN BESAR SAMPEL Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dalam anestesi umum di Instalasi Bedah Pusat RSUD dr. Moewardi Periode September sampai dengan Oktober 2011. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus : Menggunakan rumus kalkulator aplikasi Open Epi dengan mean grup ondansetron 1, mean grup ketamin 4 dengan SD 3 dengan interval kepercayaan 95% dan kekuatan 80 % pada penelitian sebelumnya oleh Shakya et al (2010) didapatkan besar ukuran sampel untuk masing-masing grup adalah 16. Kriteria penerimaan - Pasien laki-laki atau perempuan yang menjalani operasi elektif untuk operasi sedang dan superfisial (tidak membuka rongga abdomen, toraks dan kranium). - Usia 16 – 60 tahun. - Status fisik ASA I-II. commit to user 33 perpustakaan.uns.ac.id - digilib.uns.ac.id Bersedia menjadi peserta penelitian dan memahami aturan-aturan penelitian. Kriteria penolakan - Mempunyai riwayat alergi terhadap ketamin dan ondanstron. - Riwayat kejang, hipertensi dan jantung koroner. - Jika suhu sebelum induksi > 380 C atau < 360 C. - Bila pasien mengkonsumsi obat monoaminoksidase. - Jika operasi berlangsung > 180 menit atau < 30 menit. - Mendapatkan transfusi darah atau komponen darah. - Memerlukan perawatan di ruang intesif pasca bedah. - Mengalami komplikasi selama anestesi seperti syok atau henti jantung. - Bila selama operasi pasien mendapat obat klonidin, petidin, ondansetron. 3.4. VARIABEL PENELITIAN Variabel independen - Dosis rendah ketamin. - Dosis rendah ondansentron. Variabel dependen - Menggigil. - Gejala lain : mual, muntah, nistagmus. 3.5. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL Dosis rendah ketamin Definisi : dosis rendah ketamin yang diberikan pada pasien untuk mengatasi commit to user menggigil. Dosis yang biasa digunakan adalah antara 0,25-0,5 mg/kgBB. 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Alat ukur : dengan menggunakan spuit 10mg/cc. Skala Pengukuran : ordinal. Ondansetron Definisi : ondansetron yang diberikan pada pasien untuk mengatasi menggigil. Dosis yang biasa digunakan adalah 8 mg/kgBB. Alat ukur : spuit dimana berisi ondansetron 2mg/cc. Skala pengukuran : ordinal. Menggigil pasca anestesi Definisi : aktifitas involunter dari otot-otot skeletal saat pemulihan anestesi, yang didahului oleh vasokonstriksi perifer dan hipotermia pasca anestesi. Alat ukur : Derajat menggigil dinilai berdasarkan skala menurut Dal D et al (2003) yaitu skala 0 adalah tidak menggigil, skala 1 adalah fasikulasi ringan dari wajah dan leher, skala 2 adalah tampak tremor yang mengenai lebih dari satu kelompok otot dan skala 3 adalah menggigil seluruh tubuh. Skala pengukuran : kategorikal. Mual Definisi : gerakan menyerupai muntah tetapi isi lambung tidak keluar. Alat ukur : anamnesa dan pemeriksaan fisik. Skala pengukuran : kategorikal. Muntah Definisi : keluarnya isi lambung ke dalam rongga mulut. Alat ukur : pemeriksaan fisik. commit to user Skala pengukuran : kategorikal. 35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Nistagmus Definisi : Nisatgmus adalah pergerakan bola mata yang involunter, bola mata akan bergerak cepat ke satu arah yang kemudian akan diikuti dengan gerakan bola mata yang lebih lambat ke arah yang lain. Bisa diakibatkan oleh obatobatan tertentu seperti alkohol, lithium, dilantin dan ketamin. Alat ukur : pemeriksaan fisik. Skala pengukuran : kategorikal. 3.6. BAHAN DAN CARA KERJA Alat dan bahan yang digunakan 1) Monitor tekanan darah otomatik. 2) Monitor EKG. 3) Monitor oksimetri denyut. 4) Spuit 10 cc berisi ketamin 10mg/cc. 5) Spuit 3 cc yang terisi 2cc ondansetron dimana berisi ondansetron 2mg/cc 6) Alat pengukur suhu (termometer digital). Cara kerja Semua pasien diberi obat premedikasi diazepam oral 5 mg di ruang rawat yang diberikan malam sebelum operasi dan pagi hari menjelang operasi. Dilakukan informed consent pada para peserta penelitian di ruang operasi. Di kamar operasi di pasang canule intravena untuk pemberian infus dan obat. commit to user Premedikasi menggunakan midazolam 0,05 mg/kgBB dan fentanyl 2 36 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id µg/kgBB. Dilakukan induksi anestesi dengan propofol 2 mg/kgBB,intubasi difasilitasi dengan atracurium 0,5 mg/kgBB, ventilasi kendali diberikan dengan volume tidal 8cc/kgBB dan respirasi 12x permenit. Pemeliharaan dengan isofluran dengan kombinasi N20 : O2 = 2:1. Menjelang operasi selesai pasien diusahakan spontan. Dua puluh menit sebelum anestesi dihentikan diberikan ketamin 0,5 mg/kgBB atau ondansetron 8 mg/kgBB oleh petugas yang tidak mengetahui isi suntikan tersebut kemudian dilakukan pencatatan tekanan darah, nadi, saturasi O2, suhu kamar operasi dan suhu perifer saat pemberian obat. Setelah operasi selesai, ventilasi adekuat, pasien bangun dan refleks laring telah kembali dilakukan ekstubasi. Dicatat tekanan darah, nadi, saturasi O2, kekerapan menggigil dan derajat menggigil serta suhu perifer. Setiba di ruang pulih, dicatat tekanan darah, nadi, saturasi O2, kekerapan menggigil dan derajat menggigil serta suhu membran timpani dan suhu perifer. Lima menit 1, Dicatat tekanan darah, nadi, saturasi O2, kekerapan menggigil dan derajat menggigil serta dasuhu perifer.dan seterusnya menit 10, menit 15 dan menit 30. Pencatatan dilakukan oleh petugas yang tidak tahu jenis kelompok pasien.Di ruang pulih, pasien diberikan oksigen kanul 3 l/menit dan berikan selimut penghangat. Dicatat efek samping yang timbul, jika pasien mual-muntah diberikan metoklorpamid 10 mg. Jika terjadi gengguan respirasi berat diberikan tatalaksana sesuai prosedur resusitasi dan diberikan nalokson. Pasien diobservasi di kamar pulih selama 1-2 jam. commit to user 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3.7. UJI STATISTIK Hasil penelitian disajikan dalam persentase (%) atau rata-rata (mean) dan SD dianalisis menggunakan SPSS (Statiscal Package for Social Science) 18.0 for Window Untuk menilai adanya perbedaan antara kedua kelompok perlakuan pada gejala klinis diuji dengan uji chi square test. Untuk menguji data dasar sample digunakan dengan uji independent-t test. commit to user 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN Penelitian ini mulai dilakukan mulai Januari 2011 dengan sampel 32 orang pasien di IBS (Instalasi Bedah sentral) RSUD. Dr. Moewardi. Pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel dilakukan randomisasi kemudian dibedakan menjadi 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama mendapat perlakuan ketamin 0,25/KgBB intra vena yang dianggap sebagai kelompok kontrol. Kelompok kedua diberikan perlakuan Ondansetron 8 mg intra vena dianggap sebagai kelompok yang diuji. Kedua kelompok diamati perbedaan efek setelah pemberian perlakuan yang meliputi : 1) Mual, 2) Muntah, 3) Menggigil, 4) Nistagmus yang merupakan data kategorikal dilakukan uji kualitatif dengan menggunakan uji Chi Square. Karakteristik data dari sample penelitian terdiri dari : 1) Umur, 2) Berat badan, 3) jenis kelamin, 4) Tekanan darah sistolik sebelum perlakuan, 5) Tekanan darah diastolik, 6) Nadi, 7) Saturasi Oksigen sebelum perlakuan. Pada karakteristik data sampel penelitian semuanya data numerik dilakukan uji Independent-t test. Sedangkan untuk karakteristik data sampeluntuk jenis kelamin merupakan data kategorikal dilakukan uji Chi square. 4.1.1. Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin,berat badan, tekanan darah sistolik sebelum operasi, tekanan darah diastolik sebelum perlakuan, saturasi oksigen sebelum perlakuan dan nadi sebelum perlakuan. commit to user Data-data dilakukan uji normalitas untuk mengetahui apakah data-data tersebut 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terdistribusi normal pada kedua kelompok perlakuan. Untuk karakteristik data jenis kelamin disajikan dalam jumlah dan persentasi. Tabel 4.1 Uji Normalitas Karakteristik Data Sampel Penelitian Variabel N Umur (thn) 32 Berat Badan (kg) 32 Tinggi Badan (cm) 32 Durasi (menit) 32 Keterangan : sumber data primer. Mean 40.72 55.72 160.65 69.84 SD 12.21 10.47 4.93 21.04 Shapiro-wilk 0.105 0.341 0.320 0.054 Tabel 4.2 Karakteristik Data Sampel Penelitian Variabel Umur Berat Badan Tinggi Badan Durasi Ketamin Ondansetron N Mean SD N Mean SD 16 16 16 16 39.56 53.81 160.06 74.06 12.50 11.37 4.94 21.25 16 16 16 16 41.88 57.63 161.25 82.19 12.2 9.38 7.4 25.3 t p -0.529 -1.034 -0.675 -0.986 0.973 0.868 0.583 0.483 Keterangan : sumber data primer Dari Tabel 4.2 didapatkan bahwa nilai mean dari umur adalah 39.56 dengan standar deviasi 12.50 pada kelompok ketamin dan mean 41.88 dengan standar deviasi 12.2 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -0.529 dan p= 0.973 mengandung pengertian bahwa umur pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean untuk berat badan adalah 53.81 standar devasi 11.37 pada kelompok ketamin dan mean berat badan 57.63 standar deviasi 9.38 nilai t = 1.034 dan p = 0.868 pada kelompok ondansetron menunjukkan perbedaan namun secara statistik tidak bermakna. Nilai mean dari tinggi badan adalah 160.06 dengan standar deviasi 4.94 pada kelompok ketamin dan mean 161.25 dengan standar deviasi 7.4 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -0.675 dan p = 0.583 mengandung commit to user 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengertian bahwa tinggi badan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean dari durasi adalah 74.06 dengan standar deviasi 21.25 pada kelompok ketamin dan mean 82.19 dengan standar deviasi 25.3 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -0.986 dan p = 0.483 mengandung pengertian bahwa durasi pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Gambar 4.1 Umur Pasien commit to user 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.2 Berat Badan Pasien Gambar 4.3 Tinggi Badan Pasien commit to user 42 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.4 Durasi Operasi Pasien Tabel 4.3 Karakteristik Data Jenis Kelamin Variabel Anestesi Ketamin Ondansetron Total n(%) n(%) n(%) Perempuan 7(43.75) 8(50) 15(46.875) Laki-laki 9(56.25) 8(50) 17(53.125) Jenis Kelamin : Keterangan : sumber data primer. Dari gambar 4.5 persentasi laki-laki pada kelompok ketamin adalah 43.75 % dan persentasi perempuan pada kelompok ketamin adalah 56.25 %, sedangkan pada kelompok Ondansetron persentasi pada laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu 50 %. commit to user 43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.5 Persentasi Jenis Kelamin 4.1.2. Data Hemodinamik dan Saturasi Sebelum Perlakuan Data hemodinamik dan saturasi sebelum operasi dari masing-masing kelompok. Data-data yang diambil adalah tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, saturasi dan nadi sebelum dilakukan pembiusan. Kemudian semua data diuji normalitas dan statistik. Tabel 4.4 Uji Normalitas Data Hemodinamik dan Saturasi Sebelum Perlakuan Variabel Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Tekanan Darah Diastolik(mmHg) Nadi (kali/menit) Saturasi (%) N 32 Mean 119.50 SD 6.22 Shapiro-wilk 0.06 32 75.75 2.35 0.07 32 32 81.62 97.90 6.48 1.32 0.08 0.052 Keterangan : sumber data primer. commit to user 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 4.5 Data Hemodinamik dan Saturasi Sebelum Perlakuan. Variabel Tekanan darah sistolik (mmHg) Tekanan darah diastolik (mmHg) Nadi (kali/menit) Saturasi (%) Ketamin Ondansetron t p N 16 Mean 120.81 SD 4.65 N 16 Mean 118.18 SD 7.39 1.202 0.066 16 75.94 1.39 16 75.56 3.07 0.44 0.052 16 16 79.68 97.37 5.66 1.41 16 16 83.56 98.44 6.83 1.09 -1.747 -2.384 0.360 0.296 Keterangan : angka rata-rata dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Nilai mean dari tekanan darah sistolik sebelum perlakuan (preoperasi) adalah 120.81 dengan standar deviasi 4.65 pada kelompok ketamin dan mean 118.18 dengan standar deviasi 7.39 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = 1.202 dan p = 0.066 mengandung pengertian bahwa tekanan darah sistolik sebelum perlakuan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean dari tekanan darah diastolik sebelum perlakuan adalah 75.94 dengan standar deviasi 1.39 pada kelompok ketamin dan mean 75.56 dengan standar deviasi 3.07 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = 0.44 dan p = 0.052 mengandung pengertian bahwa tekanan darah diastolik sebelum perlakuan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan nemun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean dari nadi sebelum perlakuan adalah 79.68 dengan standar deviasi 5.66 pada kelompok ketamin dan mean 83.56 dengan standar deviasi 6.83 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -1.747 dan p = 0.360 mengandung pengertian bahwa saturasi O2 sebelum perlakuan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. commit to user 45 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Nilai mean dari saturasi sebelum perlakuan adalah 97.37 dengan standar deviasi 1.41 pada kelompok ketamin dan mean 98.44 dengan standar deviasi 1.09 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -2.384 dan p = 0.296 mengandung pengertian bahwa saturasi O2 sebelum perlakuan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Gambar 4.6 Tekanan darah sistolik sebelum Perlakuan commit to user 46 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.7 Tekanan darah Diastolik Sebelum Perlakuan Gambar 4.8 Nadi Sebelum Perlakuan commit to user 47 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.9 Saturasi Sebelum Perlakuan 4.1.3. Data Perbedaan Gejala Klinik Setelah Perlakuan Data perbedaan gejala klinik diambil setelah semua sampel diberi perlakuan dari masing-masing kelompok. Data-data yang diambil adalah mual,muntah, menggigil dan nistagmus. Kemudian semua data diuji statistik. Data – data kejadian mual, muntah, menggigil dan nistagmus diuji dengan menggunakan chi-square. commit to user 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tabel 4.6 Data Perbedaan Gejala Kinik Setelah Perlakuan Variabel Anestesi Ketamin Ondansetron Total n(%) n(%) n(%) Tidak 14(87.5) 15(93.75) 29(90) Ya 2(12.5) 1(6.25) 3(10) Tidak 14(87.5) 15(93.75) 29(90) ya 2(12.5) 1(6.25) 3(10) Tidak 15(93.75) 13(81.25) 28(87.5) Ya 1(6.25) 3(18.75) 4(12.5) Tidak 14(87.5) 15(93.75) 29(87.5) Ya 2(12.5) 1(6.25) 3(12.5) OR p 0.467 0.544 0.467 0.544 3.46 1.14 0.467 0.544 Mual : Muntah : Menggigil : Nistagmus : Keterangan : angka rata-rata dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p > 0,05 (p = 0,544) yang berarti ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik dari mual pada kelompok perlakuan ketamin dan perlakuan ondansetron pada kejadian mual. Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p > 0,05 (p = 0,544) yang ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik dari muntah pada kelompok perlakuan ketamin dan perlakuan ondansetron pada kejadian muntah. commit to user 49 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p > 0,05 (p = 1,14) yang berarti ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik dari menggigil pada kelompok perlakuan ketamin dan perlakuan ondansetron pada kejadian menggigil. Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p > 0,05 (p = 0,544) yang berarti ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik dari nistagmus pada kelompok perlakuan ketamin dan perlakuan ondansetron pada kejadian nistagmus. 4.1.3. Data Hemodinamik dan Saturasi Setelah Perlakuan Data hemodinamik dan saturasi diambil setelah semua sampel diberi perlakuan yaitu 20 menit sebelum operasi selesai dari masing-masing kelompok. Data-data yang diambil adalah tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, saturasi dan nadi setelah diberikan perlakuan. Kemudian semua data diuji statistik. Tabel 4.7 Uji Normalitas Data Hemodinamik dan Saturasi Setelah Perlakuan Variabel Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Tekanan Darah Diastolik(mmHg) Nadi (kali/menit) Saturasi (%) N 32 Mean 120.81 SD 10.18 Shapiro-wilk 0.460 32 73.47 9.41 0.104 32 32 85.16 97.06 5.62 1.24 0.06 0.062 Keterangan : sumber data primer. Tabel 4.8 Data Hemodinamik dan Saturasi Setelah perlakuan. Variabel Ketamin N 16 Mean 118.81 Ondansetron SD 9.8 N 16 Mean 122.8 t SD 10.5 Tekanan darah -1.12 sistolik (mmHg) Tekanan darah 16 74.06 9.35 16 72.87 9.74 0.352 diastolik (mmHg) Nadi (kali/menit) 16 84.50 6.22 16 85.81 5.06 -0.654 Saturasi (%) 16 97.31 1.19 16 96.81 1.28 1.14 Keterangan : angka rata-rata dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% commit to user 50 p 0.828 0.772 0.363 0.952 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dari Tabel 4.8 didapatkan bahwa nilai mean dari tekanan darah sistolik setelah perlakuan adalah 118.81 dengan standar deviasi 9.8 pada kelompok ketamin dan mean 122.8 dengan standar deviasi 10.5 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -1.12 dan p = 0,83 mengandung pengertian bahwa tekanan sistolik setelah perlakuan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean untuk tekanan darah diastolik setelah adalah 74.06 standar deviasi 9.35 pada kelompok ketamin dan mean tekanan darah diastolik setelah perlakuan adalah 72.87 standar deviasi 9.74 nilai t = 0.352 dan p= 0.772 pada kelompok ondansetron menunjukkan ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Gambar 4.10 Tekanan Darah Sistolik Setelah Perlakuan commit to user 51 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Gambar 4.11 Tekanan Darah Diastolik Setelah Perlakuan Nilai mean untuk nadi setelah perlakuan adalah 84.50 standar deviasi 6.22 pada kelompok ketamin dan mean nadi setelah perlakuan adalah 85.81 standar deviasi 5.06 nilai t = -0.654 dan p= 0.363 pada kelompok ondansetron menunjukkan ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. commit to user Gambar 4.12 Nadi Setelah Perlakuan 52 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Nilai mean untuk saturasi O2 setelah perlakuan adalah 97.31 standar deviasi 1.19 pada kelompok ketamin dan mean saturasi O2 setelah perlakuan adalah 96.81 standar deviasi 1.28 nilai t = 1.14 dan p = 0.952 pada kelompok ondansetron menunjukkan ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Gambar 4.13 Saturasi Setelah Perlakuan 4.2. PEMBAHASAN 4.2.1. Karakteristik Sampel Penelitian Dari tabel 4.1 didapatkan hasil uji normalitas karakteristik sampel penelitin yang meliputi umur, berat badan, tinggi badan, jenis kelamin dan durasi dari operasi. Hasil dari uji normalitas menunjukkan bahwa karakteristik sampel penelitian terdistribusi normal pada kedua kelompok perlakuan sehingga dapat dilakukan pengujian menggunakan uji statistik parametrik. 4.2.2. Data Dasar Sampel Penelitian commit to user 53 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dari Tabel 4.2 didapatkan bahwa nilai mean dari umur adalah 39.56 tahun dengan standar deviasi 12.50 pada kelompok ketamin dan mean 41.88 tahun dengan standar deviasi 12.2 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -0.529 dan p= 0.973. Nilai mean umur pada kedua kelompok menunjukan pada penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran umur dari 27.06 – 52.06 tahun sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran umur 29.68 – 54.08 tahun. Dengan nilai p = 0.973 menunjukkan bahwa ada perbedaan tetapi tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Nilai mean untuk berat badan adalah 53.81 kilogram standar devasi 11.37 pada kelompok ketamin dan mean berat badan 57.63 kilogram standar deviasi 9.38 nilai t = -1.034 dan p = 0.868 pada kelompok ondansetron. Nilai mean berat badan pada kedua kelompok menunjukan pada penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran berat badan dari 42.44 – 65.18 kilogram sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran berat badan 48.25 – 67.01 kilogram. Dengan nilai t = 1.034 dan p = 0.868 menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Nilai mean dari tinggi badan adalah 160.06 cm dengan standar deviasi 4.94 pada kelompok ketamin dan mean 161.25 cm dengan standar deviasi 7.4 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -0.675 dan p = 0.583. Nilai mean tinggi badan pada kedua kelompok menunjukan pada penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran Tinggi badan dari commit to user 54 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 155.12 – 165 cm sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran tinggi badan 48.25 – 67.01 cm. Dengan nilai t = 1.034 dan p = 0.868 menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Nilai mean dari durasi adalah 74.06 dengan standar deviasi 21.25 pada kelompok ketamin dan mean 82.19 dengan standar deviasi 25.3 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -0.986 dan p = 0.483. Nilai mean durasi pada kedua kelompok menunjukan pada penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran durasi dari 52.81- 95.31 menit sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran berat badan 59.89 – 107.49 menit. Dengan nilai t = -0.986 dan p = 0.483 menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Dari Tabel 4.5 didapatkan bahwa nilai mean dari tekanan darah sistolik sebelum perlakuan adalah 120.81 mmHg dengan standar deviasi 4.65 pada kelompok ketamin dan mean 118.18 mmHg dengan standar deviasi 7.39 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = 1.202 dan p = 0,066. Nilai mean tekanan darah sistolik sebelum perlakuan kedua kelompok menunjukan penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran tekanan darah sistolik dari 116.16 – 125.46 mmHg sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran tekanan darah sistolik 110.79 - 125.57 mmHg. dengan nilai t = 1.202 dan p = 0,066 menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. commit to user 55 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Nilai mean tekanan darah diastolik sebelum perlakuan adalah 75.5 mmHg standar devasi 1.2 pada kelompok ketamin dan mean tekanan darah diastolik adalah 75.1 mmHg standar deviasi 2.8 nilai t = 0.42 dan p = 0.12. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran tekanan darah diastolik dari 74.3 – 76.7 mmHg sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran tekanan darah diastolik 72.3 – 77.9 mmHg. Dengan nilai t = -1.12 dan p = 0,83menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Dari Tabel 4.5 didapatkan bahwa nilai mean dari nadi sebelum perlakuan adalah 79.68 kali/menit dengan standar deviasi 5.66 pada kelompok ketamin dan mean 83.56 kali/menit dengan standar deviasi 6.83 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -1.747 dan p = 0,360. Nilai mean nadi sebelum perlakuan kedua kelompok menunjukan penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran nadi dari 74.02 – 85.34 kali/menit sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran nadi 76.73 – 90.39 kali/menit. dengan nilai t = -1.747 dan p = 0,360 menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Dari Tabel 4.5 didapatkan bahwa nilai mean dari saturasi sebelum perlakuan adalah 97.37 % dengan standar deviasi 1.41pada kelompok ketamin dan mean 98.44 % dengan standar deviasi 1.09 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -2.384 dan p = 0,296. Nilai mean nadi sebelum perlakuan kedua kelompok menunjukan penelitian ini terdapat penyebaran yang merata. Pada kelompok ketamin didapatkan penyebaran saturasi dari 95.96 – 98.78 % commit to user 56 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sedangkan pada kelompok ondansetron penyebaran saturasi 97.35 – 99.53 %. dengan nilai t = -1.747 dan p = 0,360 menunjukkan bahwa ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada kedua kelompok perlakuan. Data-data tersebut diatas merupakan data awal yang diambil sebelum pasien mengalami pembiusan. 4.2.3. Perbedaan Gejala Klinik Setelah Perlakuan Dari tabel 4.6 didapatkan bahwa nilai p > 0,05 (mual p = 0,544, muntah p = 0,544, menggigil p = 1,14, nistagmus p = 0,544 ), Ha ditolak dan Ho diterima yang berarti ada perbedaan tetapi secara statistik tidak bermakna dari gejala klinik pada kelompok perlakuan ketamin dan perlakuan ondansetron. Mual, muntah dan nistagmus terjadi 12,5% (2) pada kelompok ketamin dan 6,25% (1). Pada menggigil terjadi 6,25% (1) pada kelompok ketamin dan 18,75% (3) pada kelompok ondansetron. Odd ratio mual, muntah, nistagmus adalah 0,467 dan menggigil 3,46. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian dari Shakya et al (2010) karena beberapa hal : 1. Dosis ondansetron yang digunakan pada penelitian tersebut adalah 4 mg sedangkan dosis ondansetron yang digunakan peneliti 8 mg. 2. Jumlah sampel pada penelitian Shakya et al (2010) lebih banyak dibanding dengan jumlah sampel pada penelitian ini. 3. Pada penelitian Shakya et al (2010) perlakuan sampel adalah pasien dengan spinal anestesi. commit to user 57 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pada penelitian ini ada kesesuaian hasil dengan penelitian Shakya 2010 pada kejadian menggigil terjadi lebih banyak 3 kali pada kelompok ondansetron yaitu 3 sampel dibanding dengan kelompok ketamin 1 sampel. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Koose (2008) nistagmus dan halusinasi tidak terdapat pada kelompok ketamin pada pemberian ketamin 0,5 mg/kgBB. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Dal (2005), tidak terdapat halusinasi, takikardi, hipotensi atau nistagmus pada kelompok ketamin. 4.2.4. Perbedaan Hemodinamik Setelah Perlakuan Dari Tabel 4.8 didapatkan bahwa nilai mean dari tekanan darah sistolik setelah perlakuan adalah 118.81 dengan standar deviasi 9.8 pada kelompok ketamin dan mean 122.8 dengan standar deviasi 10.5 pada kelompok ondansetron, dengan nilai t = -1.12 dan p = 0,83 mengandung pengertian bahwa tekanan sistolik setelah perlakuan pada kelompok ketamin dan ondansetron ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean untuk tekanan darah diastolik setelah adalah 74.06 standar deviasi 9.35 pada kelompok ketamin dan mean tekanan darah diastolik setelah perlakuan adalah 72.87 standar deviasi 9.74 nilai t = 0.352 dan p= 0.772 pada kelompok ondansetron menunjukkan ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean untuk nadi setelah perlakuan adalah 84.50 standar deviasi 6.22 pada kelompok ketamin dan mean nadi setelah perlakuan adalah 85.81 standar commit to user 58 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id deviasi 5.06 nilai t = -0.654 dan p= 0.363 pada kelompok ondansetron menunjukkan ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Nilai mean untuk saturasi O2 setelah perlakuan adalah 97.31 standar deviasi 1.19 pada kelompok ketamin dan mean saturasi O2 setelah perlakuan adalah 96.81 standar deviasi 1.28 nilai t = 1.14 dan p = 0.952 pada kelompok ondansetron menunjukkan ada perbedaan namun tidak bermakna secara statistik. Ondansetron tercatat tidak memiliki efek samping pada hemodinamik (Diemunsch et al,1997). Ondansetron tidak mengubah profil hemodinamik intraoperasi ondansetron itu mempunyai efek tidak berbahaya pada sistem yang kardiovaskuler (Powell et al,2000). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Dal (2005), tidak terdapat halusinasi, takikardi, hipotensi atau nistagmus pada kelompok ketamin. commit to user 59 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN 1. Ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada gejala klinik setelah pemberian ketamin 0,25 mg/kgBB dan ondansetron 8 mg (mual p = 0,544, muntah = 0,544, nistagmus p = 0,544, menggigil p = 1,14). 2. Ada perbedaan yang tidak bermakna secara statistik pada tekanan darah setelah pemberian ketamin 0,25mg/kgBB dan ondansetron 8 mg (sistolik p = 0,83, diastolik p = 0,57). 3. Ketamin 0,25mg/kgBB bisa dijadikan pilihan anti menggigil dengan sedikit efek samping yang ditimbulkan. 4. Ondansetron 8 mg bisa dijadikan pilihan anti menggigil dengan sedikit efek samping yang ditimbulkan. 5. Ketamin 0,25 mg/kgBB memiliki efek yang tidak berbeda dengan ondansetron 8 mg untuk mengatasi gejala menggigil pasca operasi. 5.2. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian tentang perbandingan dosis ketamin untuk mengetahui dosis efektif sebagai anti menggigil pasca anestesi. 2. Perlu dilakukan penelitian tentang perbandingan dosis ondansetron untuk mengetahui dosis efektif sebagai anti menggigil pasca operasi. commit to user 60