1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang presisten dan serius
yang harus diberi perhatian. Skizofrenia merupakan sindrom heterogen
kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi,
halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan
fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008). Epidemiologic Catchment Area
Study
menyatakan
bahwa
rata-rata
prevalensi
seseorang
terkena
skizofrenia di Amerika Serikat adalah kurang lebih 1% sedangkan di
Indonesia sekitar 1% sampai 2% (Crismon dkk, 2008). Menurut Survei
Kesehatan Mental Rumah Tangga Tahun 1995, di Indonesia terjadi
gangguan terkait masalah kejiwaan pada 185 orang dari setiap 1.000
anggota rumah tangga (Keliat, 2008).
Pengobatan farmakologik yang efektif sebagai terapi pada pasien
skizofrenia adalah antipsikotik yang terdiri dari dua jenis, yaitu
antipsikotik generasi pertama dan antipsikotik generasi kedua (Aditama,
2011). Antipsikotik generasi pertama memiliki keterbatasan, berupa efek
samping ekstrapiramidal (EPS), misalnya parkinsonisme, diskinesia,
akatisia, dan distonia yang sangat mengganggu sehingga pasien tidak
melanjutkan pengobatan (Wijono dkk., 2013).
1
2
Namun, obat antipsikotik generasi pertama masih banyak
digunakan walaupun lebih cenderung mengatasi gejala positif serta
memiliki efek samping ekstrapiramidal yang lebih tinggi. Hal ini
disebabkan penggunaan jangka panjang antipsikotik generasi kedua dapat
menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada metabolisme tubuh dan
jantung (Abidi, 2003). Selain itu antipsikotik generasi pertama memiliki
harga yang cenderung lebih murah dibandingkan dengan antipsikotik
generasi kedua (Aditama, 2011).
Efek ekstrapiramidal dapat muncul sejak awal pemberian obat
antipsikotik tergantung besarnya dosis, terutama terjadi pada penggunaan
antipsikotik generasi pertama yang memiliki afinitas tinggi terhadap
reseptor dopamin. Timbulnya efek ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan
pasien minum obat yang berakibat munculnya kekambuhan (Brati et al,
2007). Obat antikolinergik, seperti triheksifenidil, atropin sulfas dan
difenhidramin dapat diberikan untuk mengatasinya (Wijono dkk, 2013).
Triheksifenidil adalah obat antikolinergik yang sering digunakan
untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal. Konsensus WHO tahun 1990
menetapkan penggunaan obat triheksifenidil dalam mengatasi efek
samping ekstrapiramidal (WHO dalam Wijono dkk, 2013). Hasil
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian obat triheksifenidil
selalu disertakan pada sebagian besar terapi antipsikotik untuk pasien
skizofrenia, serta triheksifenidil ini merupakan satu-satunya obat
antikolinergik yang dijumpai sebagai obat tambahan antipsikotik dengan
3
tujuan mengurangi efek samping pemberian antipsikotik konvensional
(Rahaya dkk, 2016).
Pemberian trihekifenidil ini tentunya akan sangat mendukung
kelancaran terapi utama yaitu antipsikotik karena dapat menurunkan efek
samping yang akan berdampak langsung pada peningkatan kepatuhan
pasien dalam terapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi penggunaan triheksifenidil pada pasien skizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang selama periode Januari –
Juni 2015.
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang dipilih sebagai
tempat penelitian karena rumah sakit ini memiliki prevalensi pasien
skizofrenia yang tinggi. Hal ini disebabkan rumah sakit ini merupakan
rumah sakit rujukan bagi pasien skizofrenia di Provinsi Jawa Tengah
sehingga diharapkan peneliti dapat dengan mudah memperoleh jumlah
pasien skizofrenia yang dibutuhkan untuk dijadikan sampel pada penelitian
ini. Selain itu, terapi pengobatan menggunakan obat triheksifenidil juga
sering diberikan pada pasien skizofrenia yang mendapatkan perawatan di
rumah sakit ini. Hal tersebut menjadi faktor alasan mengapa Rumah Sakit
Prof. Dr. Soerojo Magelang ini sesuai dan dipilih oleh peneliti untuk
dijadikan tempat penelitian mengenai evaluasi penggunaan triheksifenidil
pada pasien skizofrenia.
4
B. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana karakteristik pasien skizofrenia yang menjalani perawatan
di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang?
2.
Bagaimana pola penggunaan triheksifenidil pada pasien skizofrenia
yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soerojo Magelang?
3.
Bagaimana penggunaan triheksifenidil pada pasien skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang
berdasarkan kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat serta tepat
dosis?
4.
Bagaimana status pulang dan prognosis pasien skizofrenia setelah
mendapatkan terapi triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui karakteristik pasien skizofrenia yang menjalani perawatan
di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.
5
2.
Mengetahui pola penggunaan triheksifenidil pada pasien skizofrenia
yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soerojo Magelang.
3.
Mengetahui ketepatan pola penggunaan triheksifenidil pada pasien
skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Soerojo ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan
tepat dosis.
4.
Mengetahui status pulang dan prognosis pasien skizofrenia setelah
mendapatkan terapi triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan informasi penggunaan triheksifenidil pada pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.
2.
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi rumah sakit dalam
pelayanan medik, khususnya mengenai evaluasi pengobatan.
3.
Bagi peneliti dapat menambah pengalaman dan wawasan mengenai
penelitian.
4.
Sebagai bahan referensi dan studi pendahuluan dalam penelitian bagi
peneliti selanjutnya.
6
E. Tinjauan Pustaka
1.
Skizofrenia
a. Defenisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya
terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran. Hal ini berarti pikirannya
terbagi atau terpecah (Rudyanto, 2007). Skizofrenia adalah sindrom
heterogen kronis dari ketidakteraturan dan pikiran-pikiran yang aneh,
delusi, halusinasi, defisit kognitif defisit, dan gangguan fungsi psikososial
(Dipiro et al., 2009).
b. Etiologi
Etiologi skizofrenia belum diketahui, namun skizofrenia dapat
dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling
berinteraksi. Penyebab tersebut antara lain :
1) Genetik
Faktor genetik memegang peran penting sebagai penyebab
terjadinya skizofrenia. Adapun pewarisan predisposisi genetik dari
skizofrenia adalah sebagai berikut : prevalensi saudara kandung bukan
kembar 8%, prevalensi anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%,
prevalensi anak dengan kedua orang tua skizofrenia 40%, prevalensi anak
kembar dua telur 12%, dan prevalensi anak kembar satu telur 47%
(Prabowo, 2007).
7
2) Perubahan struktur dan fungsi otak
Abnormalitas otak bervariasi antarindividu yang didiagnosis
skizofrenia. Gangguan perkembangan atau degenerasi saraf dapat menjadi
penyebab perubahan struktur dan fungsi otak. Salah satu gangguan
perkembangan saraf yang diduga menjadi penyebab skizofrenia adalah
adanya gangguan kehamilan pada trimester kedua (Crismon dkk., 2008).
3) Biokimiawi
Skizofrenia merupakan aktivitas dopamin otak yang berlebihan.
Saat ini didapat hipotesis yang mengemukakan adanya peranan dopamin,
katekolamin, norepinefrin dan GABA pada skizofrenia (Lumbantobing,
2007).
c. Patofisiologi
1) Hipotesis dopaminergik
Salah satu hipotesis patofisiologi skizofrenia adalah hipotesis
dopaminergik. Saat ini terdapat lima macam reseptor dopamin yaitu
reseptor D1, D2, D3, D4, dan D5 yang dikelompokkan menjadi dua famili
yaitu famili D1 dan D2. Reseptor dopamin yang lebih berperan pada
penyakit skizofrenia adalah reseptor D2 yang meliputi reseptor D2, D3,
dan D4 (Ikawati, 2008).
2) Disfungsi Glutamatergik
Glutamat diduga terlibat dalam patofisiologi skizofrenia karena
adanya hipotesis “eksitotoksisitas glutamat” (glutamate excito-toxicity)
8
yang melukiskan fenomena kadar glutamat berlebihan yang dapat
menyebabkan degenerasi dan disfungsi neuronal (gangguan sistem
persarafan), mengaktivasi secara berlebihan (overactivates) berbagai
reseptor selulernya dan menginduksi kematian sel (Anurogo dkk., 2014).
3) Abnormalitas Serotonin
Penurunan aktivitas serotonin juga berkaitan dengan peningkatan
aktivitas dopamin. Kekurangan neurotransmiter serotonin menyebabkan
berbagai gejala perilaku dan perubahan biologis, misalnya agresi, kesulitan
belajar dan timbulnya berbagai gangguan psikiatri termasuk skizofrenia.
(Pusponegoro, 2007).
d. Gejala
Secara umum gejala skizofrenia dapat dikelompokkan menjadi 3
jenis, antara lain :
1) Gejala positif, yaitu gejala yang bersifat aneh (bizarre) berupa
halusinasi,
delusi,
gangguan
pikiran,
ketidakmampuan
pembicaraan, dan gangguan gerak.
2) Gejala negatif, yaitu gejala yang berhubungan dengan emosi
dan perilaku. Gejala negatif meliputi :
a) alogia (kehilangan kemampuan berpikir atau berbicara)
b) avolition (kehilangan motivasi)
c) emosi/perasaan menjadi tumpul,
d) efek datar
9
e) anhedonia (berkurangnya kemampuan untuk merasakan
kesenangan, mengisolasi diri dari kehidupan sosial)
f)
sulit untuk berkonsentrasi
3) Gejala kognitif, kategori gejala lain berupa gangguan memori,
perhatian serta perburukan dalam melaksanakan aktivitas.
(Crismon dkk., 2008)
e. Diagnosa
Menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4th edition, Text Revision (DSM-IV-TR), kriteria diagnosis
skizofrenia adalah sebagai berikut :
1) Disfungsi menetap atau terus-menerus yang berlangsung
selama lebih dari enam bulan.
2) Terdapat dua atau lebih gejala di bawah ini selama satu bulan :
a) halusinasi
b) waham
c) bicara tidak teratur
d) disorganisasi perilaku dan perilaku katatonik
e) gejala negatif seperti alogia, avolition, anhedonia
f)
Gangguan fungsi secara signifikan (kerja, interpersonal
atau perawatan diri)
g) Adanya
gangguan
mood
dan
tidak
mengalami
skizoafektif
(Dipiro et al., 2009)
10
f. Tipe-tipe Skizofrenia
Skizofrenia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe, antara
lain :
1) Skizofrenia Paranoid
Gambaran klinis dari tipe ini lebih dominan oleh adanya waham
yang relatif stabil dan disertai dengan adanya halusinasi pendengaran dan
persepsi.
Kriteria tipe paranoid :
a) Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi
yang menonjol secara berulang-ulang.
b) Kondisi yang terjadi secara tidak nyata (tidak menonjol)
pada gangguan-gangguan, seperti pembicaraan dan
perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau
afek yang datar atau tidak sesuai.
2) Skizofrenia Hebefrenik
Pada tipe ini terdapat gangguan afektif yang sangat menonjol,
ditemukan waham dan halusinasi yang mengambang dan gangguan proses
berpikir. Penderita biasanya memiliki mood yang tidak stabil, sering
mengatakan hal-hal yang tidak jelas (membingungkan) dan memiliki
pandangan kosong tanpa maksud dan perasaan.
3) Skizofrenia Katatonik
Gambaran klinis skizofrenia tipe ini didominasi adanya dua atau
lebih hal-hal berikut :
11
a) Imobilitas motorik, seperti adanya katalepsi atau stupor.
b) Negativisme yang berlebihan (tidak adanya motivasi
terhadap semua bentuk perintah atau mempertahankan
postur yang kaku dengan menentang segala usaha untuk
menggerakkannya) atau mutism.
c) Aktivitas motorik yang berlebihan
d) Melakukan gerakan-gerakan aneh yang dilakukan secara
sengaja atau sadar.
e) Pembicaraan yang tidak bermakna.
4) Skizofrenia Tak Terinci
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria umum diagnosis
skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria paranoid, hebefrenik, katatonik,
residual atau pasca skizofrenia.
5) Depresi Pasca-Skizofrenia
Pada tipe ini penderita sudah mengalami skizofrenia selama 12
bulan dan masih terdapat gejala. Episode depresi yang berlangsung lama
minimal selama 2 minggu dan timbul sesudah suatu serangan penyakit
skizofrenia.
6) Skizofrenia Residual
Kriteria skizofrenia tipe ini, yaitu:
a) Tidak terdapat delusi, halusinasi, pembicaraan dan
perilaku yang tidak terorganisasi.
b) Gejala negatif skizofrenia dalam jangka panjang.
12
c) Adanya riwayat satu episodik psikotik yang memenuhi
kriteria skizofrenia pada masa lalu.
d) Berkurangnya motivasi dan minat dalam kehidupan
sehari-hari.
7) Skizofrenia Simpleks.
Skizofrenia tipe ini muncul gejala negatif seperti keanehan tingkah
laku, tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja,
tanpa didahului oleh gejala psikotik bersifat nyata yang bersifat perlahan
namun progresif (Lathifa, 2011).
2.
Terapi Skizofrenia
Secara umum, tahapan terapi pada pasien skizofrenia dibagi
menjadi tiga yaitu tahap terapi akut, terapi stabilisasi dan terapi
pemeliharaan yang memiliki tujuan masing-masing. Sasaran terapi juga
bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakit (Aditama, 2011).
Pada fase akut, tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien.
Terapi akut dilakukan pada tujuh hari pertama untuk mengurangi agitasi,
agresi, ansietas, dan lain-lain. Sedangkan fase stabilisasi bertujuan untuk
mengurangi risiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien
terhadap kehidupan dalam masyarakat. Terapi stabilisasi dimulai pada
minggu kedua atau ketiga. Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan
obat-obat antipsikotik (Aditama, 2011).
13
Fase yang terakhir adalah fase pemeliharaan yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan, mengontrol gejala dan mengajarkan keterampilan
untuk hidup sehari-hari (Aditama, 2011). Dosis pada terapi pemeliharaan
dapat diberikan setengah dari dosis akut (Crismon dkk, 2008).
3.
Obat Antipsikotik
Terapi pada skizofrenia dengan psikotik dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :
a) Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik golongan ini disebut juga sebagai antipsikotik
golongan pertama, contohnya klorpromazin, haloperidol, flufenazin,
loksapin, molidon dan lainnya. Mekanisme kerja antipsikotik ini yaitu
dengan menghambat reseptor dopamin terutama reseptor D2 di sistem
limbik, termasuk daerah ventral striatum. Saat obat golongan ini berikatan
dengan reseptornya, maka akan terjadi penurunan aktivitas dopamin akibat
berkurangnya dopamin endogen yang berikatan dengan reseptor. Hal ini
akan mengurangi gejala positif skizofrenia, namun blokade dopaminergik
di striatum tersebut mengakibatkan timbulnya efek samping gejala
ekstrapiramidal (Potter, 2007).
b) Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik golongan ini disebut juga antipsikotik generasi kedua,
contohnya klozapin, olanzapin, risperidon dan lainnya. Mekanisme obatobat golongan ini yaitu menghambat reseptor serotonin sehingga dapat
meningkatkan aktivitas dopamin. Reaksi ini dapat memperbaiki gejala
14
negatif skizofrenia yang sebelumnya terjadi akibat hipodopaminergik
(Aditama, 2011). Obat golongan ini memiliki ikatan yang lebih sedikit
dengan reseptor dopamin sehingga efek ekstrapiramidal yang dihasilkan
lebih rendah dibandingkan dengan antipsikotik tipikal (Irma, 2012).
4.
Efek Samping Ekstrapiramidal
Obat-obat antipsikotik secara signifikan menimbulkan efek
samping yang menjadi penyebab utama ketidakpatuhan pasien dalam
pengobatan. Salah satu efek samping yang terjadi pada penggunaan
antipsikotik yaitu efek ekstrapiramidal. Antipsikotik atipikal lebih sedikit
menyebabkan efek ekstrapiramidal sehingga direkomendasikan sebagai
obat lini pertama. Ekstrapiramidal terutama terjadi pada antipsikotik yang
memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin yang tinggi (Aditama, 2011).
Gejala ekstrapiramidal yang paling sering terjadi adalah :
a) Pseudoparkinson
Pseudoparkinson adalah efek yang memiliki gejala menyerupai
parkinson, yang terjadi karena adanya pengeblokan reseptor dopamin di
nigrostriatal. Tanda-tanda dari pseudoparkinson ini adalah tremor tangan,
hipokinesia, anggota tubuh menjadi kaku, mimik wajah seperti topeng,
sekresi saliva yang berlebihan, serta mulut mengunyah seperti kelinci
(rabbit syndrom). Mula efek samping timbul secara bertahap, dan efek
samping bisa tidak muncul selama beberapa minggu setelah pemberian
antipsikotik (Swayami, 2014).
15
b) Distonia Akut
Distonia adalah suatu gejala ekstrapiramidal yang ditandai
terjadinya kekejangan otot dengan onset cepat.
Reaksi distonia akut
terjadi beberapa jam atau hari setelah pemberian terapi antipsikotik tipikal
potensi tinggi. Hal ini ditandai dengan adanya kontraksi otot- yang singkat
ataupun menetap cukup lama yang menghasilkan gerakan abnormal atau
menyebabkan suatu postur tertentu ( Irma, 2012).
c) Akatisia
Akatisia merupakan keadaan penderita skizofrenia yang sering
melakukan gerakan-gerakan secara terus-menerus (tidak dapat berhenti)
sehingga sulit duduk dengan tenang (Crismon dkk, 2008). Saat ini, akatisia
dikarakteristikkan dengan kegelisahan yang dirasakan baik secara subjektif
maupun objektif. Secara subjektif diartikan sebagai perasaan tidak nyaman
dan perasaan gelisah dari dalam yang menimbulkan penderitaan,
sedangkan kegelisahan secara objektif terlihat sebagai dorongan untuk
terus-menerus bergerak. Kegelisahan secara objektif merupakan akibat
adanya kegelisahan subjektif yang dirasakan dari dalam ( Irma, 2012).
5. Tatalaksana Terapi Ekstrapiramidal
Efek-efek samping ekstrapiramidal dapat membatasi penggunaan
antipsikotik sehingga menyebabkan gangguan terapi pada pasien. Terdapat
beberapa cara penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi efek
16
ekstrapiramidal mencakup usaha preventif dan farmakologis. Usaha
preventif yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan pemberian
antipsikotik adalah memodifikasi faktor penyebab seperti pemberian dosis
obat antipsikotik yang lebih kecil, peningkatan dosis bertahap, memilih
penggunaan oral dibandingkan injeksi (Irma, 2012).
Penurunan dosis antipsikotik dilakukan terlebih dahulu jika efek
ekstrapiramidal terjadi, namun jika cara tersebut tidak berhasil
menanggulangi efek ekstrapiramidal maka diberikan terapi farmakologis.
Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi EPS adalah (Crismon dkk,
2002) :
1) Obat Antimuskarinik, misalnya triheksifenidil, benztropin, dan
biperiden.
2) Obat Antihistamin, misalnya difenhidramin.
3) Obat Agonis Dopamin, misalnya amantadin.
4) Benzodiazepin,
misalnya
diazepam,
lorazepam,
dan
klonazepam.
5) Obat golongan β-blocker, misalnya propanolol.
6. Triheksifenidil (THP)
a. Mekanisme Kerja
Triheksifenidil ini spesifik untuk reseptor muskarinik (menghambat
reseptor asetilkolin muskarinik). Triheksifenidil bekerja melalui neuron
dopaminergik. Mekanismenya mungkin melibatkan peningkatan pelepasan
dopamin dari vesikel presinaptik, penghambatan ambilan kembali dopamin
17
ke dalam terminal saraf presinaptik atau menimbulkan suatu efek agonis
pada reseptor dopamin pascasinaptik. Triheksifenidil memiliki efek
menekan dan menghambat reseptor muskarinik sehingga menghambat
sistem saraf parasimpatik dan juga memblok reseptor muskarinik pada
sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi (Swayami, 2014).
Selain itu, triheksifenidil menunjukkan aksi spasmolitik langsung
pada otot polos dan midriatik yang lemah, serta memiliki efek memblok
kardiovagal. Dalam dosis kecil, obat ini dapat menekan sistem saraf pusat,
tetapi dalam dosis besar menyebabkan efek kegembiraan di otak yang
menyerupai tanda-tanda keracunan atropin (PubChem, 2015).
b. Efek Samping
Pemberian obat triheksifenidil dapat menimbulkan efek samping
yang serius. Efek samping
yang ditimbulkan oleh penggunaan
triheksifenidil dapat terjadi karena obat ini bekerja dengan menghambat
reseptor asetilkolin muskarinik. Efek samping yang dihasilkan dapat
berupa pandangan mata menjadi kabur, berkurangnya sekresi saliva,
fotofobia, konstipasi, retensi urin, hipertermia, penurunan daya ingat,
menyebabkan hambatan ejakulasi, glaukoma sudut sempit, sinus takikardi
dan dapat menimbulkan delirium hingga koma. Selain itu, pemberian obat
ini juga dapat menyebabkan kembalinya gejala psikotik seperti halusinasi,
kebingungan, dan agresif (Wijono dkk, 2003).
WHO mengeluarkan konsensus yang memberi panduan tentang
penggunaan triheksifenidil sebagai penanganan efek samping obat ini,
18
yang menyebutkan bahwa pemberian triheksifenidil bersama dengan
antipsikotik untuk mencegah gejala ekstrapiramidal harus dievaluasi ulang
setiap tiga bulan dengan mengurangi dosis triheksifenidil sampai hilang.
Jika akibat pengurangan dosis tersebut timbul gejala ekstrapiramidal, maka
diberikan kembali sesuai dosis terapi dan dievaluasi ulang setiap enam
bulan (Wijono dkk, 2003).
c. Kontraindikasi
Triheksifenidil
kontraindikasi
untuk
pasien
yang
memiliki
glaukoma sudut sempit, ileus paralitik, dan hipertrofi prostat (Depkes RI,
2011). Publikasi penggunaan triheksifenidil yang aman pada wanita hamil,
menyusui dan pada pediatrik belum pernah dipublikasikan sehingga
keuntungan pemberian triheksifenidil harus lebih dipertimbangkan
daripada kemungkinan risiko yang ditimbulkan (Swayami, 2014).
d. Interaksi Obat
Antihipertensi, antihistamin, fenotiazin, atau antidepresan trisiklik
yang diberikan bersama triheksifenidil dapat menyebabkan mulut kering,
pandangan kabur, detak jantung meningkat dan kebingungan mental. Efek
aditif terhadap triheksifenidil akan timbul dengan pemberian depresan
sistem saraf pusat seperti cannabinoid, etanol, barbiturat dan analgesik
narkotik (Swayami, 2014).
Triheksifenidil dapat berinteraksi dengan obat
imipramin,
desipramin, dan obat antikolinergik lain. Selain itu juga bersifat antagonis
dengan chlorhydria, seperti asam glutamat dan betazol (Depkes RI, 2011).
19
e. Penggunaan Klinik
1) Dosis Pemakaian
1.
2.
3.
4.
Anemnesis : riwayat pemakaian antipsikotika, dosis dan lamanya
Riwayat kondisi umum.
Pemeriksaan fisik dan gejala sindrom ekstrapiramidal (Instrumen Skala Penilaian Gejala Ekstrapiramidal
(SPGE)
Pemeriksaan penunjang lain : Lab dll.
Ya
Tidak
Terjadi EPS
Pemberian anti
EPS atau
triheksifenidil
profilaktik
Distonia
Difenhidramin
2 ml im atau
injeksi
Benzodiazepin
(diazepam 10
mg im) atau
Sulfas Atropin
1-2 amp im
Gejala
EPS
tidak
ada
Riwayat EPS Sebelumnya
Predisposisi terjadi EPS
Gejala Sisa EPS
Parkinsonisme
Turunkan dosis
antipsikotik
Difenhidramin
25-100 mg/hari
atau
Triheksifenidil
1-3 x 2 mg/hari
Triheksifenidil
1-3 x 2 mg
Ganti
Antipsikotik
Antipsikotik
saja
Akatisia
Diskinesia tardif
Turunkan dosis
antipsikotik
Beta bloker :
Propanolol 3x 1040 mg/hr per-oral
atau
Klonidin 3x0,1
mg/hr per-oral
Ganti antipsikotika
Diskinesia tardif
Ringan 
Olanzapin/Quetiapin
Diskinesia tardif
Berat  klozapin
Gejala
EPS
tidak
ada
Diazepam injeksi atau
Lorazepam oral
Ganti Antipsikotik
1.
2.
1.
2.
Lanjutkan pengobatan gejala EPS
Turunkan/stop pengobatan EPS jika selama 14 hari tidak ada gejala
Pengobatan EPS
Observasi 3 bulan
EPS muncul kembali
Tidak ada EPS
Antipsikotik
saja
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Efek Ekstrapiramidal di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM
20
Dosis triheksifenidil yang digunakan untuk mengatasi efek
samping ekstrapiramidal akibat pengobatan lain adalah 1-3 x 2
mg/hari. Dosis yang disarankan untuk terapi awal adalah 1 mg dosis
tunggal. Pada hari kedua dan selanjutnya dosis ditingkatkan menjadi 2
mg dengan interval 1-3 kali sehari. Pasien yang berusia > 65 tahun
perlu diberikan dosis yang lebih kecil (Depkes RI, 2011). Literatur
lain menyatakan triheksifenidil diberikan 1–4 mg 2 kali sampai 3 kali
sehari dan dosis tidak lebih dari 15 mg sehari (Swayami, 2014).
2) Cara pemberian
Obat ini paling baik diberi bersama makanan. Jika timbul efek
samping mulut kering, maka diberi sebelum makan. Jika timbul efek
samping mual atau sekresi saliva berlebihan, maka diberi sesudah
makan. Obat diberi pada jam yang sama setiap hari (Depkes RI, 2011).
7. Penggunaan Obat yang Rasional
Menurut WHO (1998), penggunaan obat yang rasional adalah
pasien mendapatkan pengobatan yang tepat, sesuai indikasi, dosis, dalam
periode waktu yang adekuat, dan biaya yang terjangkau. Berdasarkan
American Phychiatric Association Practice Guidelines; Work Group on
Schizophrenia tahun 2004, penggunaan obat antipsikotik yang rasional
yaitu mencakup tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis.
a) Tepat indikasi, penulisan obat dalam resep ditegakkan dari
pertimbangan medik yang tepat, seperti diagnosis dokter dan secara
farmakologi merupakan pilihan terbaik bagi pasien.
21
b) Tepat pasien, tidak ada kontraindikasi dengan kondisi pasien dan
meminimalkan efek atau reaksi merugikan bagi pasien.
c) Tepat obat, pemilihan obat didasarkan atas pertimbangan efikasi,
keamanan, kesesuaian dengan kondisi pasien, serta harga. Perlu
diperhatikan juga riwayat pengobatan pasien, efek samping obat,
jenis pengobatan seperti rute pemberiannya.
d) Tepat dosis, ditentukan atas pertimbangan farmakokinetik obat,
termasuk dosis, cara pemberian, frekuensi dan durasi, serta
pertimbangan interaksi dengan obat lain atau makanan tertentu.
Pengobatan yang tidak rasional dapat menyebabkan penurunan
mutu pelayanan kesehatan dan pengobatan yang berdampak langsung pada
upaya dalam menurunkan mortilitas dan morbiditas penyakit. Selain itu,
akan meningkatkan efek samping yang berbahaya bagi pasien serta
kepercayaan pasien mengenai obat yang tidak tepat.
8. Keterangan Empiris
Aspek-aspek pengobatan rasional adalah tepat indikasi, tepat
pasien, tepat obat dan tepat dosis. Melalui penelitian ini dapat diperoleh
keterangan mengenai karakteristik pasien, pola penggunaan triheksifenidil,
ketepatan penggunaan triheksifenidil yang meliputi kriteria tepat indikasi,
tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis, serta status pulang pasien
skizofrenia yang mendapat triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.
22
9.
Kerangka Konsep Penelitian
Rekam medis pasien
Skizofrenia yang
mendapatkan triheksifenidil
selama Januari-Juni 2015
(86 pasien)
Karakteristik pasien
Pola
Penggunaan
THP
Terapi pengobatan
dengan THP
Masing-masing
dipresentasekan
Pola kombinasi THP
dengan antipsikotik
Pola penggunaan THP
Status Pulang
dan Prognosis
Pasien
Masing-masing
dipresentasekan
Tepat Indikasi
Tepat Pasien
Tepat Obat
Tepat Dosis
Tepat
Tidak Tepat
Masing-masing
dipresentasekan
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Obat lain yang diresepkan
bersama THP
Download