pendugaan status kesuburan perairan danau lido

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Danau Lido
Danau memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan secara ekologis maupun
secara ekonomis. Secara ekologis danau antara lain sebagai daerah resapan air,
sumber air bagi kehidupan, dan pengendali banjir. Salah satu danau yang memiliki
fungsi ekologis dan ekonomis yaitu Danau Lido. Danau Lido yang biasanya dikenal
dengan istilah Situ Lido oleh masyarakat sekitar memiliki bentuk tidak beraturan,
banyak dijumpai teluk sempit dengan tepi danau yang curam, ditumbuhi oleh
belukar dan pohon karet.
Danau lido merupakan danau yang relatif kecil dan
termasuk kategori danau buatan yang dibuat pada abad ke-18 yaitu ketika
dibendungnya Sungai Ciletuh untuk pembangunan jalan raya Bogor-Sukabumi
(Ubaidillah 2003 in Nancy 2007). Danau Lido mempunyai satu inlet dan dua outlet.
Sumber utama air Danau Lido berasal dari aliran Sungai Ciletuh dan sumber air
lainnya berasal dari air permukaan dan air dalam tanah (ground water).
Pemanfaatan Danau Lido yang sudah dilakukan saat ini adalah sebagai objek
wisata, kepentingan rumah tangga, dan kegiatan perikanan dengan sistem KJA.
Budidaya jaring apung tersebut mulai dikembangkan sekitar tahun 1978 oleh Balai
Penelitian Perikanan Air Tawar (BALITKANWAR) Bogor, yang selanjutnya diikuti
penduduk setempat (Ubaidillah 2003 in Nancy 2007).
2.2. Kesuburan Perairan
Kesuburan perairan adalah suatu gambaran yang mencerminkan kaya
miskinnya sistem trofik dari suatu ekosistem (Odum 1993). Kesuburan perairan
dibagi kedalam dua kelompok tingkat kesuburan yaitu oligotrof dan eutrof. Perairan
oligotrof adalah perairan yang miskin unsur hara, sedangkan eutrof adalah perairan
yang kaya akan unsur hara.
Danau yang memiliki status oligotrof merupakan danau muda yang memiliki
sedikit nutrien yang dapat menghasilkan hanya sedikit biomassa fitoplankton.
Danau oligotrof biasanya memiliki kedalaman yang besar, dengan hipolimnion lebih
besar dari epilimnion, dan mempunyai produktivitas perairan yang rendah.
5
Kerapatan plankton rendah, blooming plankton jarang terjadi karena nutrien yang
tersedia sedikit (Jorgensen 1980; Henderson-Sellers & Markland 1987).
Pada danau eutrof kualitas air menjadi buruk dengan konsentrasi oksigen
terlarut rendah dan biomassa fitoplankton meningkat.
Pada stadia hypertrofik,
pertumbuhan biomassa fitoplankton di batasi oleh cahaya atau temperatur bukan
oleh ketersediaan nutrien. Hal ini menyebabkan ekologi perairan cenderung menjadi
tidak stabil dan secara periodik menjadi menurun (Henderson-Sellers & Markland
1987). Karakteristik danau oligotrof dan eutrof disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik danau oligotrof dan eutrof (Ryding & Rast 1989)
Tingkat kesuburan perairan
Oligotrof
Eutrof
Parameter
Biologi
Produksi tanaman air
Frekuensi blooming algae
Kuantitas algae hijau dan biru
Karakteristik kelompok algae
rendah
jarang
rendah
Algae hijau:
Desmids
Staurastrum
Diatom
Tabellaria
Cyclotella
Kimia
Oksigen di hypolimnion
Fisika
Kedalaman rata-rata
Volume hypolimnion
tinggi
sering
tinggi
Algae biru
Anabaena
Aphanizomenon
Mycrocystis
Oscillatoria
Diatom
Melosira
Fragilaria
Stephanodiscus
Asterionella
tinggi
rendah
tinggi
tinggi
rendah
rendah
Menurut OECD (1982) in Ryding and Rast (1989) eutrofikasi adalah
peningkatan nutrien di perairan yang dapat meningkatkan produksi alga, makrofita,
dan penurunan kualitas air, sehingga menurunkan nilai guna suatu perairan. Proses
eutrofikasi ini sebenarnya merupakan proses yang alami tetapi pada beberapa
dekade ini akibat dari perilaku manusia khususnya dari erosi tanah, limbah pertanian,
limbah domestik, dan limbah industri memberikan kontribusi terhadap proses
kultural eutrofikasi (Henderson-Sellers & Markland 1987).
Istilah kultural
eutrofikasi muncul akibat adanya aktivitas manusia meningkatkan masukan nutrien
allochthonous (nutrien dari luar masuk ke dalam sistem) ke dalam perairan.
6
2.3. Fitoplankton
Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang melayang-layang di dalam
air, mempunyai klorofil sehingga mampu berfotosintesis. Banyak jenis fitoplankton
memiliki perbedaan kebutuhan fisiologi dan berbagai respon terhadap parameter
fisika-kimia seperti cahaya, temperatur, dan sejumlah besar nutrien (Wetzel 2001).
Perubahan genera pada kelompok alga tidak hanya secara spasial (vertikal dan
horizontal), tetapi secara musim.
Beberapa faktor penting yang mengatur
pertumbuhan dan suksesi fitoplankton adalah cahaya, suhu, bahan anorganik, bahan
organik, interaksi dari komponen bahan organik dengan ketersediaan bahan
anorganik, dan faktor biologi yaitu kompetisi terhadap ketersediaan sumberdaya
serta predasi oleh organisme lain (Henderson-Sellers & Markland, 1987). Menurut
Goldman and Horne (1983) terdapat faktor yang mengontrol laju pertumbuhan
populasi fitoplankton yaitu pertumbuhan maksimum ditentukan oleh temperatur dan
kemampuan untuk mencapai intensitas cahaya, dan nutrien yang optimum.
Klorofil-a merupakan pigmen fotosintesis primer, sehingga dapat digunakan
untuk menduga konsentrasi biomassa algae pada air contoh yang mengandung
fitoplankton.
Menurut Wetzel (2001), 10% biomassa dari fitoplankton adalah
klorofil-a. Status kesuburan berdasarkan konsentrasi klorofil a yaitu untuk perairan
oligotrof 0-4 mg/m3, mesotrof 4-10 mg/m3, dan eutrof 10-100 mg/m3 (HendersonSellers & Markland, 1987).
2.4. Parameter Fisika-Kimia Perairan
Parameter-parameter fisika-kimia perairan yang menjadi indikator dalam
penentuan tingkat kesuburan antara lain konsentrasi nutrien berupa nitrogen dan
fosfor, kecerahan perairan, dan oksigen terlarut (DO). Selain itu, morfometri danau
juga dapat menunjukkan potensi produktivitas suatu perairan.
2.4.1. Fosfor
Fosfor pada perairan tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen,
melainkan bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan
senyawa organik yang berupa partikulat. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang
dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi
tumbuhan tingkat tinggi dan fitoplankton. Fosfor merupakan faktor pembatas bagi
7
tumbuhan dan fitoplankton serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas
perairan (Goldman & Horne 1983).
Fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfat dalam bentuk ortofosfat untuk
pertumbuhannya karena dapat dimanfaatkan secara langsung. Keberadaan fosfor
secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir
ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom).
Hubungan antara
peningkatan fosfat total dengan produktivitas perairan dikemukakan oleh
Vollenweider (1968) in Wetzel (2001), disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Hubungan antara produktivitas perairan dengan konsentrasi fosfat total
(Vollenweider 1968 in Wetzel 2001)
Tingkat produktivitas perairan
Fosfat total (μg/liter)
Ultra-oligotrof
<5
Oligo-mesotrofik
5-10
Meso-eutrof
10-30
Eutrof
30-100
Hypereutrof
>100
Sumber fosfat dapat berasal dari aktivitas pertanian dan perikanan.
Penggunaan pupuk dalam pertanian dapat meningkatkan fosfat ke perairan. Pakan
yang terbuang dan sisa metabolisme ikan dari kegiatan budidaya dengan sistem KJA
dapat meningkatkan fosfat di perairan (Halls & Yamazaki 2001).
2.4.2. Nitrogen
Nitrogen merupakan senyawa yang banyak terdapat di atmosfer. Nitrogen
tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh organisme perairan. Pemanfaatan
nitrogen oleh organisme perairan harus melalui proses fiksasi terlebih dahulu.
Nitrogen anorganik terdiri atas amonia (NH3), amonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat
(NO3), dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas (Goldman & Horne 1983).
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
bentuk nitrogen utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat sangat mudah
larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna
senyawa nitrogen di perairan. Nitrat dapat dihasilkan dari kegiatan pertanian karena
pupuk yang digunakan mengandung nitrogen. Fitoplankton akan memanfaatkan
8
nitrogen dalam bentuk amonia jika kosentrasi nitrat di perairan rendah (Goldman &
Horne 1983).
Amonia dapat menjadi racun bagi tumbuhan dan biota akuatik terutama pada
tingkat pH yang tinggi. Konsentrasi nitrat meningkat di perairan dengan adanya
nitrifikasi (Goldman & Horne 1983).
Proses nitrifikasi adalah proses oksidasi
amonia dan nitrit menjadi nitrat dengan bantuan bakteri. Nitrat dapat digunakan
untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrof memiliki
kadar nitrat antara 0-1 mg/liter, perairan mesotrof memiliki kadar nitrat antara 1-5
mg/liter, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5-50 mg/liter
(Wetzel 2001).
2.4.3. Oksigen terlarut (Dissolved oxygen/DO)
Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air.
Oksigen terlarut merupakan indikator penting bagi proses–proses kimia dan biologi.
Oksigen di perairan berasal dari difusi udara maupun dari proses fotosintesis oleh
organisme nabati seperti fitoplankton dan tumbuhan air.
Difusi oksigen dari
atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant) atau
pergolakan massa air akibat adanya arus (Wetzel 2001).
Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, bertambahnya
kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Semakin dalam suatu perairan,
kadar DO perairan tersebut akan semakin menurun. Hal ini terkait dengan faktor
cahaya yang mempengaruhi aktivitas fitoplankton di perairan. Semakin dalam suatu
perairan, maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin kecil
dan lama-kelamaan tidak ada cahaya yang masuk (Henderson-Seller & Markland
1987). Pada perairan oligotrof, konsentrasi DO masih tersedia sampai mencapai
dekat dasar perairan. Pada perairan eutrof, konsentrasi DO tertinggi terdapat di
kedalaman permukaan karena melimpahnya fitoplankton.
DO menurun seiring
dengan bertambahnya kedalaman, bahkan mencapai nol karena adanya dekomposisi
biomassa alga yang telah mati dan mengalami pembusukan di dasar perairan
(Henderson-Seller & Markland 1987).
Konsentrasi DO akan bervariasi dalam waktu 24 jam. Pada siang hari, terjadi
fotosintesis dan respirasi, sedangkan pada malam hari, baik produser primer maupun
9
konsumer melakukan respirasi, sehingga terjadi penurunan DO. Pada danau eutrof,
hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerob (Henderson-Seller & Markland 1987).
2.4.4. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara
visual Secchi disk (Goldman & Horne 1983). Kecerahan merupakan salah satu
metode yang dipakai untuk mengetahui status kesuburan suatu danau. Teknik ini
dapat menduga turbiditas total perairan yang dihasilkan dari bahan organik maupun
anorganik, sehingga teknik ini dapat menduga produktivitas primer dari suatu
perairan yang berhubungan dengan status kesuburan perairan. Pada perairan yang
memiliki status kesuburan oligotrof memiliki kedalaman Secchi disk sebesar lebih
dari 6 m, kesuburan mesotrof berkisar antara 3-6 m, dan kesuburan eutrof kurang
dari 3 m (Henderson-Seller & Markland 1987).
2.4.5. Morfometri
Bentuk dan ukuran danau akan mempengaruhi parameter fisika, kimia, dan
biologi danau. Morfometri adalah suatu metode pengukuran dan analisis secara
kuantitatif dimensi permukaan (surface dimension) dan dimensi bawah permukaan
(subsurface dimension) (Wetzel 2001; Cole 1983). Panjang garis tepi (shore line)
dapat menggambarkan tingkat beban masukan (nutrien influx) dari daratan.
Semakin panjang garis tepi maka kesempatan untuk berhubungan dengan daratan
makin besar dan potensi beban masukkan ke badan air juga akan semakin besar
sehingga berpotensi untuk meningkatkan produktivitas perairan (Welch 1952).
Indeks perkembangan garis tepi (SDI) dapat menggambarkan potensi
produktvitas suatu perairan. Jika nilai SDI mendekati satu maka danau berbentuk
lingkaran teratur; nilai SDI antara 1-2 danau berbentuk subcircular atau ellips dan
jika SDI lebih besar dari dua, danau berbentuk tidak beraturan. Tingkat kesuburan
suatu perairan sangat berkaitan dengan bentuk danau. Semakin banyak bagian yang
berteluk dan berhubungan dengan daratan akan mengakibatkan kemungkinan
masuknya nutrien dari daratan semakin besar, sehingga perairan tersebut semakin
produktif (Cole 1983).
Morfoedaphic index (MEI) merupakan salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengetahui produktivitas suatu perairan.
Konsep dari MEI
10
mengacu pada teori termodinamik yaitu materi yang masuk ke perairan (nutrien)
akan memberikan energi di dalam sistem perairan. Materi (nutrien) yang masuk ke
dalam perairan dan berada di dalam perairan dipengaruhi oleh morfologi danau.
Oleh karena itu, nilai MEI salah satunya dapat didekati melalui rasio antara TDS
dengan kedalaman rata-rata. Nilai TDS ini digunakan sebagai gambaran nutrien
yang berada di perairan. Morfologi atau morfometri danau digambarkan melalui
kedalaman rata-rata. Semakin besar nilai MEI, maka potensi produktivitas suatu
perairan juga semakin besar (Ryder 1982). Berdasarkan konsep MEI tersebut, maka
nilai MEI dapat digunakan di dalam penentuan produksi ikan alami di suatu perairan.
Konsep penentuan produksi ikan melalui MEI adalah adanya berbagai faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi produktivitas suatu perairan. Produktivitas
perairan akan dipengaruhi oleh masukan nutrien.
Selain itu faktor lain yang
berpengaruh adalah energi dari matahari seperti cahaya dan suhu. Nutrien, cahaya,
dan suhu akan berpengaruh terhadap produksi organisme autrotrof.
Organisme
autotrof akan dimanfaatkan oleh organisme pada tingkat trofik berikutnya, termasuk
ikan. Dengan demikian, produktivitas perairan akan berpengaruh terhadap produksi
ikan pada perairan tersebut.
2.5. Parameter Fisika-Kimia Perairan Lainnya
Intensitas cahaya matahari akan mengalami penurunan seiring dengan
bertambahnya kedalaman.
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk
menjelaskan proses ini adalah hukum Beer-Lambert (The Beer-Lambert Law)
(Sullivan et al. 2006; www.lifesciences.napier.ac.uk).
Hukum Beer-Lambert
menjelaskan terjadinya penurunan intensitas cahaya matahari secara eksponesial
dengan bertambahnya kedalaman.
Intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan akan berkurang karena ada
cahaya cahaya yang diserap oleh permukaan perairan dan cahaya yang disebarkan ke
kolom perairan.
Penurunan intensitas cahaya matahari dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain adanya partikel tersuspensi dan terlarut di suatu perairan
dan juga perbedaan panjang gelombang yang masuk ke perairan.
Penurunan
intensitas cahaya tersebut dapat diketahui melalui pendekatan sebagai berikut.
11
E z = E0 .e − Kd . z
Gambar 2. Hubungan intesitas cahaya matahari dengan kedalaman
Penurunan intensitas cahaya atau disebut dengan peredupan cahaya dapat
diketahui melalui pengukuran intensitas cahaya di beberapa kedalaman, sehingga
didapatkan koefisien peredupan dari suatu perairan. Penetuan koefisien peredupan
disajikan sebagai berikut.
E z = E 0 .e − Kd . z
ln E z = ln E 0 − Kd .z. ln e
Kd .z = ln E 0 − ln E z
Keterangan :
Ez
E0
Kd
z
= Intesitas cahaya matahari di kedalaman z
= Intesitas cahaya matahari di permukaan
= Koefisien peredupan cahaya
= Kedalaman
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian
dari permukaan laut (alititude), waktu, dan penutupan awan, serta kedalaman badan
air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air.
Kelarutan gas-gas di perairan menurun dengan meningkatnya suhu perairan.
Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme,
dekomposisi, dan respirasi organisme air (Goldman & Horne 1983).
Padatan terlarut total (Total dissolved solid/TDS) adalah bahan-bahan terlarut
(diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6-10-3 mm) yang berupa senyawa-
12
senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring dengan kertas saring.
TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa
ditemukan di perairan (Ryder et al. 1974 in Cole 1983).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
didalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi
dan
terlarut
mikroorganisme lain).
(misalnya
lumpur,
pasir
halus,
plankton,
dan
Peningkatan nilai kekeruhan pada perairan dangkal dan
jernih dapat mengurangi produktivitas primer.
Nilai pH tersebut mendukung keberlangsungan hidup organisme perairan.
Perubahan pH harian secara umum sebagian besar dipengaruhi oleh proses
fotosintesis dan respirasi dari berbagai organisme. Pertumbuhan algae secara pesat
dapat mengurangi keberadaan karbondioksida, sehingga pH meningkat. Menurut
Philip (1927) in Welch (1952), pada perairan yang mengandung banyak algae dapat
terjadi perubahan pH 7,7 menjadi 9,6.
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau
dikenal dengan sebutan acid-nuetralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di
dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.
Alkalinitas juga diartikan
sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan
(Alaerts & Santika 1984). Pembentuk alkalinitas yang utama adalah bikarbonat,
karbonat dan hidroksida.
Pada perairan alami bikarbonat yang paling banyak.
Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar terhadap
nilai alkalinitas.
Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi lebih produktif
dibandingkan dengan perairan dengan alkalinitas yang rendah (Wetzel 2001).
2.6. Pendugaan Status Kesuburan Perairan
Kegiatan budidaya perikanan dengan sistem KJA dan pertanian dapat
meningkatkan kesuburan perairan karena adanya masukan bahan organik dan
anorganik.
Status kesuburan dapat diketahui dengan menggunakan beberapa
pendekatan antara lain Trophic State
Index (TSI), Trophic Index (TRIX), dan
Indeks Nygaard (In).
TSI dikemukakan oleh Carlson (1977) dengan menggunakan biomassa alga
sebagai dasar penentuan status kesuburan perairan. Pendugaan status kesuburan
13
dengan TSI digunakan pengamatan terhadap beberapa parameter (multi parameter).
Biomassa alga ini dapat diestimasi dengan melakukan pengukuran terhadap
kedalaman Secchi disk, konsentrasi klorofil-a, dan fosfat total.
Penggandaan
biomassa alga ditunjukkan dengan pengurangan terhadap kedalaman Secchi disk.
Fosfat total akan mengurangi nilai kedalaman Secchi disk. Peningkatan fosfat total
akan mempengaruhi pertumbuhan biomassa alga. Pendugaan biomassa alga dapat
dilihat dari kandungan klorofil-a.
TRIX dikemukakan oleh Volenweider et al. (1998) dengan menggunakan
parameter-parameter yang berhubungan langsung dengan kesuburan perairan.
Parameter yang digunakan dalam TRIX merupakan parameter yang menggambarkan
suatu produktivitas perairan dan masing-masing parameter yang digunakan memiliki
hubungan antara satu dengan yang lainnya. Parameter-parameter yang digunakan
adalah konsentrasi nutrien (N,P), oksigen terlarut, dan klorofil-a.
Indeks Nygaard (In) diformulasikan oleh Nygaard (1949) in Rawson (1956)
dalam studinya terhadap perkembangan dan pertumbuhan struktur komunitas
fitoplankton di perairan. Adanya hubungan yang erat antara jumlah jenis penyusun
komunitas fitoplankton terhadap tingkat kesuburan perairan. Fitoplankton dapat
menjadi penciri suatu kondisi lingkungan, sehingga dapat dijadikan suatu indikator
status kesuburan. Penggunaan indeks Nygaard ditentukan dengan mencari rasio
jumlah jenis fitoplankton. Komposisi jenis fitoplankton yang dijadikan penentuan
dalam indeks Nygaard adalah kelas Myxophyceae, ordo Clorococcales, ordo Centric
diatom, divisi Euglenophyta dan juga kelas Desmidiaceae.
Beberapa jenis
fitoplankton dari kelas Myxophyceae, ordo Clorococcales, ordo Centric diatom, dan
divisi Euglenophyta, memiliki kelimpahan yang tinggi pada suatu perairan dengan
konsentrasi nutrien yang tinggi. Oleh karena itu, jenis-jenis dari kelompok tersebut
pada umumnya dapat dijadikan sebagai indikator perairan eutrof.
Kelas
Desmidiacae merupakan kelas yang menjadi penciri suatu perairan dengan
konsentrasi nutrien dan calsium (Ca) yang rendah, sehingga dapat dijadikan sebagai
indikator perairan oligotrof.
Download