Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Usus Besar
Panjang usus besar adalah 1,5 m dengan diameter sebesar 6,5 cm, yang
meluas dari mulai ileus hingga ke anus. Berada dan melekat pada dinding perut
posterior oleh mesokolon yang merupakan lapisan rangkap dari peritoneum.
Struktural dari usus besar terdiri dari empat bagian, yaitu sekum, kolon, rektum
dan kanal anus (Principles of Anatomy and Physiology, 2008). Bagian yang
terbuka dari sekum bergabung dengan sebuah saluran panjang yang disebut kolon
(saluran makanan), yang terbagi atas kolon bagian ascending, transverse,
descending dan sigmoid. Bagian dari kolon ascending dan descending terletak
retroperitoneal sedangkan bagian transverse dan sigmoid terletak intraperitoneal
(Principles of Anatomy and Physiology, 2008). Makanan yang sudah mencapai
usus halus secara per bagian akan mencapai kolon. Kolon akan menyerap kembali
air, ion-ion termasuk natrium dan klorida serta vitamin dan nutrisi lain dari
makanan yang masih dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan yang lainnya akan
menjadi produk sisa (feses) (Sherwood, 2010). Gerak peristaltik menyebabkan
feses bergerak menuruni sekum dan menuju ke rektum yang berada di anterior
sekum dan coccyx, di bagian ini feses akan disimpan sementara sebelum akhirnya
akan diekskresikan melalui anus.
Vaskularisasi utama rektum disuplai oleh cabang superior arteri
hemoroidal dari mesentrika inferior, tetapi bagian rektum yang lebih bawah
disuplai oleh arteri hemoroidal bagian tengah dari iliaka interna, dan arteri
hemoroidal inferior dari arteri pudendal (Kapoor,2013) yang dapat dilihat pada
gambar 2.1. Usus besar memiliki nodus limfa yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan terhadap infeksi dan kanker sebelum menyebar ke seluruh tubuh.
Universitas Sumatera Utara
6
Gambar 2.1 Anatomi usus besar dan Vaskularisasinya
(Human Anatomy Lange, 2014)
Dinding dari usus besar memiki empat lapisan, yaitu : mukosa, sub
mukosa, muskularis dan serosa. Pada gambar 2.2 menunjukkan lapisan mukosa
tersusun dari epithelium kolumnar selapis, lamina propria (areolar connective
tissue) dan muskularis mukosa (otot polos). Bagian epitelium berfungsi dalam
absorpsi air serta mengandung sel goblet. Sel absorpsi dan sel goblet terletak pada
tubulus kelenjar usus yang panjang dan lurus yang dikenal dengan Lieberkühn
cript yang meluas sepanjang mukosa dan ditunjukkan pada gambar 2.3. Usus
besar tidak memiliki lipatan sirkuler atau vili, tetapi memilki microvili yang
berada pada sel absorpsi sehingga kebanyakan proses absorpsi zat terjadi di usus
halus. Submukosa mengandung aerolar connective tissue. Bagian muskularis
memiliki otot polos longitudinal pada lapisan luar dan otot polos sirkuler pada
Universitas Sumatera Utara
7
lapisan dalam. Lapisan longitudinal-nya tebal dan memiliki pita-pita yang dikenal
sebagai Teniae coli yang kebanyakan berada di sepanjang usus besar. Bagian
serosa usus besar merupakan bagian dari peritoneum visceral. Peritoneum visceral
memiliki kantungan kecil yang diisi oleh lemak yang dilekatkan ke teniae coli
yang disebut omental appendices (Principles of Anatomy and Physiology, 2008).
Gambar 2.2 Lapisan lumen usus besar
(Principles of Anatomy and Physiology, 2008)
Gambar 2.3 Histologi usus besar
(Principles of Anatomy and Physiology, 2008)
Universitas Sumatera Utara
8
2.2
Kanker Kolorektal
2.2.1. Definisi Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal adalah kanker yang dimulai dari bagian kolon atau
rektum (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal dapat terjadi terpisah
sebagai kanker kolon ataupun kanker rektum, tergantung darimana asal kanker
dimulai. Kebanyakan pertumbuhan kanker kolorektal terjadi secara lambat dalam
beberapa tahun. Pertumbuhan awal jaringan tumor terjadi dalam bentuk polip non
kanker sebelum berkembang menjadi kanker pada lapisan dalam kolon dan
rektum (American Cancer Society, 2014).
Tumor yang terbentuk dapat jinak ataupun ganas. Polip merupakan tumor
yang jinak dan non kanker, beberapa polip dapat berubah menjadi kanker
tergantung pada jenis dari polip-nya. Adenoma merupakan polip yang dapat
menjadi kanker dan beberapa dokter berpendapat bahwa Hyperplastic Polyps and
Inflammatory Polyps dapat menjadi prakanker dan berpotensi besar menjadi
adenoma dan kanker, terutama ketika polip ini tumbuh pada kolon ascending,
sehingga ketiga jenis polip ini dikenal sebagai polip pre kanker (American Cancer
Society, 2014). Berdasarkan data American Cancer Society sebesar 95% kanker
kolon dan atau rektum adalah Adenokarsinoma, yaitu kanker yang berasal dari sel
kelenjar yang melapisi bagian dalam usus besar.
Diagnosis dari adenokarsinoma sesuai dengan adanya keberadaan dari
“Paneth cells” yang tersebar, sel neuroendokrin atau fokus kecil dari diferensiasi
sel squamous. Tumor yang berpenetrasi melalui mukosa muskularis kedalam
submukosa yang dipertimbangkan sebagai keganasan pada kolon dan atau rektum
(IARC, 2011).
2.2.2
Epidemiologi
Secara epidemiologis kejadian kanker kolorektal di dunia mencapai urutan
keempat, dimana jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk (IPD, 2009). Pada
tahun 2011 diestimasikan bahwa sekitar 141,210 kasus baru dan 49,380 kematian
terjadi akibat kanker kolorektal di Amerika Serikat. Sekitar 72% kasus tersebut
Universitas Sumatera Utara
9
terjadi pada bagian kolon dan 28% pada rektum (SEER, 2013). Dari data yang
dikeluarkan oleh International Agency for research on Cancer pada tahun 2013,
berdasarkan GLOBOCAN 2012 terjadi peningkatan sebanyak 14,1 juta kasus baru
kanker di dunia dengan 1,4 juta atau 9.7% didiagnosis sebagai kanker kolorektal.
Kanker kolorektal merupakan masalah yang sering mengganggu kesehatan
masyarakat Indonesia dan menduduki urutan ketiga kanker tertinggi. Rata – rata
jumlah insidensi kanker kolorektal menurut usia per 100.000 populasi Indonesia
adalah 19,1 untuk laki-laki dan 15,6 untuk perempuan (Ferlay, J, et.al dalam
Abdullah, 2012). Jumlah ini lebih rendah daripada jumlah insidensi di Australia,
Selandia Baru dan Eropa bagian Barat, tetapi jumlah kasusnya tinggi di Indonesia
oleh karena Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah populasi
terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 235 juta populasi, yang
tergambar pada tabel 2.1 dan gambar 2.4.
Penelitian epidemiologi sebelumnya yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan RI tahun 1995, sebagaimana dikutip oleh Murdani Abdullah (2012)
menunjukkan bahwa usia pasien kanker kolorektal di Indonesia lebih muda
daripada pasien di negara-negara berkembang lainnya. Lebih dari 30% kasus
merupakan usia 40 tahun atau lebih muda, sedangkan hanya 2-8 % yang lebih
muda dari 50 tahun di negara berkembang lain (Lee, P.Y. ; Parramore, J.B. dalam
Abdullah, 2012).
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel 2.1 Karakteristik Demografi di Negara- Negara Asia dibandingkan dengan
Amerika Serikat
(United States Census Bureau, International Database, 2008)
Universitas Sumatera Utara
11
Gambar 2.4 Jumlah Insidensi dari Kanker Kolon dan Rektum menurut jenis
kelamin di Negara - Negara Asia dibandingkan dengan Amerika
Serikat
(Taiwan Cancer Registry Annual Report, 2005 (Taiwan); GLOBOCAN, 2002 ;
IARC, 2003)
2.2.3
Etiologi
Kanker kolorektal terjadi melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Dua sindroma yang secara genetik diturunkan dan
yang paling umum berhubungan dengan kanker kolorektal adalah Familial
Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer
(HNPC) (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal berkembang secara
sporadik dalam waktu yang cukup lama sebagai akibat dari faktor lingkungan
yang menimbulkan perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua
jenis kanker kolorektal baik herediter maupun sporadik tidak muncul secara
Universitas Sumatera Utara
12
mendadak, melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasikan pada mukosa
kolon (dysplasia adenoma). Secara umum terdapat dua faktor resiko yang dapat
berpengaruh terhadap angka kejadian kanker kolorektal, yaitu :
1.
Faktor Resiko yang Tidak dapat Diubah
a.
Usia
Kecenderungan dari diagnosis kanker kolorektal meningkat setelah usia 40
tahun dan meningkat tajam setelah usia 50 tahun (SEER, 2013 ; World Cancer
Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Lebih dari
90% kasus kanker kolorektal terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan didiagnosis
rata-rata pada usia 72 tahun (National Cancer Institute, 2006 ; SEER, 2013), tetapi
insidensi kanker kolorektal tampaknya meningkat pada usia muda sekarang ini
(Neufeld, D, et.al, 2009). Kenyataannya saat ini di Amerika Serikat, kanker
kolorektal merupakan satu dari sepuluh kanker yang umum didiagnosis pada lakilaki dan wanita yang berusia antara 20 – 49 tahun ( Haggar, 2009).
b.
Riwayat Menderita Polip Adenomatous atau Kanker Kolorektal
Polip neoplastik kolorektum, yaitu adenoma tubular dan vilus, merupakan
lesi prekursor dari kanker kolorektal (Haggar, F.A, 2009). Hampir 95% dari
kanker kolorektal yang sporadik berkembang dari adenoma - adenoma ini. Jika
memiliki riwayat polip adenomatous, maka akan meningkatkan resiko terjadinya
kanker kolorektal oleh karena itu, bagi pasien yang memiliki riwayat kanker
kolorektal dan telah dilakukan pengangkatan total tetap memiliki kecenderungan
untuk terjadinya kanker baru di lokasi lain di kolon dan rektum (American Cancer
Society, 2014).
Perkembangan adenoma untuk menjadi keganasan biasanya membutuhkan
masa periode latensi yang panjang dengan perkiraan antara 5-10 tahun (Davies,
R.J., et.al ; de Jong, A.E., et.al. dalam Haggar, F.A., 2009). Deteksi dan
pengangkatan adenoma sebelum bertransformasi menjadi keganasan dapat
mengurangi resiko terjadinya kanker kolorektal (Grande, 2008). Pengangkatan
total dari polip adenoma atau karsinoma lokal dihubungkan dengan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
13
perkembangan dari kanker dibagian mana saja dari kolon dan rektum (De Jong,
A.E. dalam Haggar, 2009).
c.
Riwayat Menderita Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Inflammatory Bowel Disease (IBD) digunakan untuk menggambarkan dua
penyakit, yaitu Ulcerative colitis dan Penyakit Crohn. Ulcerative colitis
menyebabkan inflamasi pada mukosa kolon dan rektum (Hanggar, F.A., et.al,
2009 ; World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research,
2007). Penyakit Crohn menyebabkan inflamasi dari keseluruhan dinding usus dan
dapat melibatkan bagian dari sistem pencernaan lain mulai dari mulut hingga ke
anus. Kondisi-kondisi ini meningkatkan resiko keseluruhan individu untuk
menderita kanker kolorektal (National Institute of Health, 2006). Seseorang yang
memiliki IBD dapat berkembang menjadi dysplasia. Dysplasia merupakan istilah
yang digunakkan untuk menggambarkan abnormalitas sel yang melapisi kolon
atau rektum (lesi prakanker) (American Cancer Society, 2014). Resiko relatif
kanker kolorektal pada pasien IBD memiliki estimasi antara 4 hingga 20 kali.
Oleh karena itu, individu yang menderita IBD tanpa batasan usia diharapkan
melakukan skrining kanker kolorektal sedini mungkin dan secara regular
(American Cancer Society, 2014 ; Haggar, 2009).
d.
Riwayat Keluarga yang Menderita Kanker kolorektal atau Polip
Adenomatous
Mayoritas penderita kanker kolorektal terjadi pada orang-orang tanpa
riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal ataupun penyakit pendukung
lainnya. Meskipun demikian, lebih dari 20% penderita kanker kolorektal memiliki
anggota keluarga yang pernah menderita penyakit ini (World Cancer Research
Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Pasien dengan riwayat
menderita kanker kolorektal ataupun polip adenomatous dalam satu atau lebih
tingkatan keluarga berada pada resiko tinggi. Kanker kolorektal terjadi lebih
tinggi pada orang-orang dengan riwayat keluarga, seperti riwayat kanker
kolorektal ataupun polip adenomatous pada usia yang lebih muda dari 60 tahun
dalam satu tingkatan keluarga, atau riwayat kanker kolorektal ataupun polip
Universitas Sumatera Utara
14
adenomatous dalam dua atau lebih tingkatan keluarga tanpa batasan usia
(Boardman, 2007). Belum jelas alasan yang dapat menjelaskan hal ini, tetapi
lebih kepada faktor genetik, faktor lingkungan dan beberapa kombinasi keduanya
(American Cancer Society, 2014 ; Haggar, 2009). Jika seseorang memiliki riwayat
keluarga menderita polip adenomatous atau kanker kolorektal, mulailah
melakukan skrining sebelum usia 50 tahun.
e.
Faktor Genetik
Sekitar 5 hingga 10% penderita kanker kolorektal memiliki riwayat
kerusakan (mutasi) pada gen dalam keluarga. Kerusakan ini menyebabkan
terjadinya kanker pada usia muda yang sekarang ini terjadi cukup sering
(American Cancer Society, 2014). Kondisi genetik yang paling umum adalah
Familial adenomatous polyposis (FAP) dan Hereditary nonpolyposis colorectal
cancer (HNPCC), yang juga disebut sindroma Lynch. HNPCC dihubungkan
dengan mutasi gen-gen yang terlibat pada jalur perbaikan DNA, yaitu gen MLH1
dan MSH2 (World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer
Research, 2007) . FAP disebabkan oleh mutasi gen penekan tumor yaitu APC
(Wilmink, A.B., 1997 dalam Haggar, 2009).
Jumlah kejadian HNPCC sekitar 2 - 6%. Usia rata-rata penderita HNPCC
yang didiagnosis adalah pertengahan 40 tahun. Penderita HNPCC juga memilki
polip, tetapi jumlahnya hanya beberapa, tidak seperti FAP yang bisa mencapai
ratusan (American Cancer Society, 2014 ; National Institute of Health, 2006).
Sedangkan jumlah kejadian FAP kurang dari 1%. Seseorang dengan FAP
memiliki karakteristik perkembangan ratusan polip, biasanya pada usia yang
relatif muda, dan bertransformasi menjadi malignan pada awal usia 20 tahun. Saat
usia 40 tahun, hampir seluruh penderita ini akan berkembang menjadi kanker jika
tidak dilakukan pengangkatan kolon (National Institute of Health, 2006 ; World
Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007).
Universitas Sumatera Utara
15
2.
Faktor Resiko yang dapat Diubah
a.
Faktor Resiko Lingkungan
Kanker kolorektal secara luas dipertimbangkan sebagai penyakit
lingkungan, pengertian dari ‘Lingkungan’ secara luas meliputi budaya, sosial, dan
faktor gaya hidup. Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang
penyebabnya dapat dirubah dan dapat diidentifikasi, sehingga dapat dilakukan
pencegahan (Haggar, F.A., 209). Beberapa bukti resiko lingkungan muncul dari
penelitian terhadap para imigran dan keturunan mereka. Para imigran yang berasal
baik dari negara yang beresiko rendah sampai dengan beresiko tinggi, kejadian
kanker kolorektal cenderung meningkat mengikuti populasi kecenderungan di
negara tuan rumah (Janout, A, et.al, dalam Haggar, 2009) (Johnson, I.T, Lund,
E.K., 2007). Sebagai contoh, keturunan dari Eropa Selatan bermigrasi ke
Austaralia dan para imigran Jepang bermigrasi ke Hawaii, resiko kanker
kolorektal meningkat dibandingkan dengan populasi negara asal. Selain dari
imigrasi, terdapat faktor geografis lain yang mempengaruhi perbedaan insidensi
kanker kolorektal, salah satunya adalah penduduk kota. Insidensi penduduk kota
meningkat secara konstan. Penduduk baru merupakan prediktor resiko yang baik
dibandingkan dengan penduduk asli, dengan jumlah insidensi kanker kolon lebih
tinggi daripada kanker rektum dan insidensi laki-laki lebih tinggi daripada wanita
(Boyle, 2002).
b.
Diet dan Asupan Makanan
Diet sangat kuat mempengaruhi faktor resiko kanker kolorektal dan
perubahan kebiasaan makan dapat mengurangi lebih dari 70% kejadian kanker
kolorektal. Resiko ini meningkat pada konsumsi makanan yang tinggi lemak,
terutama lemak hewan, dan daging serta kurang mengonsumsi sayuran dan buahbuahan (Boyle, 2002). Implikasi dari lemak, sebagai faktor etiologi yang
mungkin, dihubungkan dengan konsep dari diet Barat yang mendukung
perkembangan dari flora bakteri yang mampu mendegradasi asam empedu
menjadi senyawa N- nitrosol yang bersifat carsinogenic. Konsumsi daging yang
tinggi juga memilki implikasi terhadap perkembangan kanker kolorektal (Nur,
Universitas Sumatera Utara
16
F.D., 2003). Hubungan positif konsumsi daging lebih kuat pada kanker kolon
daripada kanker rektum (Alexander, D.D., et.al., 2011 ; Larsson, S.C. dan Wolk,
A, 2006). Mekanisme konsumsi daging merah terhadap perkembangan kanker
kolorektal adalah berdasarkan keberadaan dari zat besi heme di daging merah.
Dalam beberapa hal, daging yang dimasak dalam suhu tinggi, menghasilkan
gugus amina heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik, kedua gugus ini
diyakini memiliki sifat carsinogenic (Santarelli, R.L., 2008 ; Sinha, R, 2002
dalam Haggar, 2009).
Diet tinggi sayuran dan buah-buahan dihubungkan dengan penurunan
resiko kanker kolorektal, tetapi tidak pada semua studi pengamatan. Hubungan
antara konsumsi buah dan sayuran serta insidensi kanker kolon dan rektum telah
diteliti dalam dua metode kohort oleh Nurses’ Health Study dengan sampel wanita
sebanyak 88,764 dan Health Professionals’ Follow-up Study dengan sampel pria
sebanyak 47,325 (Boyle, 2002). Perbedaan asupan serat pada makanan
berhubungan dengan perbedaan geografis pada insidensi kanker kolorektal.
Sebagai contoh, asupan serat berperan dalam perbedaan jumlah insidensi kanker
kolorektal antara Afrika dan negara-negara Barat, dengan dasar bahwa asupan
makanan yang tinggi serat dapat mengencerkan kandungan feses, meningkatkan
kepadatan feses dan mengurangi waktu transit (World Cancer Research Fund and
American Institute for Cancer Research, 2007).
c.
Aktivitas fisik dan Obesitas
Faktor gaya hidup memiliki hubungan dengan kanker kolorektal. Dua
faktor resiko yang dapat diubah dan yang saling berhubungan sebanyak empat per
tiga dari kanker kolorektal yaitu, inaktivitas fisik dan kelebihan berat badan.
Bukti-bukti menunjukkan penurunan resiko kanker kolorektal dengan peningkatan
aktivitas fisik, termasuk efek respon terhadap dosis, frekuensi dan intensitas
aktivitas fisik berbanding terbalik dengan resiko (Boyle, 2002). Bukti dari World
Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research menunjukkan
penurunan resiko kanker kolorektal akibat aktivitas fisik yang teratur dan diet
yang sehat menunjukkan hasil yang lebih kuat pada kanker kolon daripada kanker
Universitas Sumatera Utara
17
rektum. Aktivitas fisik yang sedang meningkatkan kecepatan metabolik dan
meningkatkan pengambilan (uptake) maksimal dari oksigen (De Jong, A.E., et.al.
dalam Haggar, 2009). Dalam jangka waktu yang panjang, aktivitas fisik yang
teratur meningkatkan efisiensi dan kapasitas metabolik tubuh, dan meningkatkan
motilitas usus (Boyle, 2002). Aktivitas fisik setara dengan berjalan selama 4 jam
per minggu dapat mengurangi resiko kanker kolorektal pada wanita ketika
diperbandingkan dengan kelompok yang sedikit bergerak (RR, 0,62 ; 95% CI,
0.40, 0.97), peningkatan aktivitas fisik pria dan wanita serupa pada usia lebih dari
45 tahun (Boyle, 2002).
Rendahnya aktivitas fisik dalam rutinitas sehari – hari juga dapat
berkontribusi dalam peningkatan insidensi obesitas pada pria dan wanita yang
juga faktor penting dalam kanker kolorektal. Beberapa hubungan biologis yang
berhubungan dengan kelebihan berat badan dan obesitas, meningkatkan sirkulasi
estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin serta mempengaruhi resiko kanker,
dan dihubungkan dengan kelebihan adipos pada abdomen (Haggar, 2009).
Penelitian-penelitian
mengungkapkan
bahwa
individu-individu
yang
menggunakan / membakar energi lebih efisien dalam penurunan resiko kanker
kolorektal (Boyle, 2002).
d.
Merokok
Hubungan antara merokok dan kanker paru telah jelas diketahui, tetapi
merokok juga memiliki efek berbahaya pada kolon dan rektum (Boyle, 2002).
Bukti menunjukkan bahwa 12% kematian akibat kanker kolorektal disumbangkan
oleh merokok. Giovannucci menyimpulkan bahwa 21 dari 22 penelitian
menemukan bahwa jangka panjang perokok berat memiliki 23 kali lipat
peningkatan
resiko
adenoma
kolorektal.
Kandungan
carsinogenic
yang
ditemukkan di dalam rokok meningkatkan pertumbuhan kanker di kolon dan
rektum serta mencapai mukosa kolon dan rektum, baik melalui saluran
pencernaan atau sistem sirkulasi dan kemudian menyebabkan kerusakan atau
perubahan dari gen yang mengekspresikan kanker (National Institute of Health,
2006). Merokok juga berhubungan penting dengan formasi dan kecepatan
Universitas Sumatera Utara
18
pertumbuhan dari polip adenoma sebagai prekursor lesi dari kanker kolorektal.
Polip yang lebih besar ditemukan di kolon dan rektum yang berkaitan dengan
merokok jangka panjang. Bukti juga menunjukkan rata-rata usia muda dari onset
kanker kolorektal disepanjang pria dan wanita yang merokok.
e.
Konsumsi Alkohol
Sebagaimana merokok, konsumsi rutin dari alkohol berhubungan dengan
peningkatan resiko dari perkembangan kanker kolorektal. Konsumsi alkohol
merupakan faktor dari onset kanker kolorektal pada usia muda. Metabolit reaktif
di alkohol seperti acetaldehyde dapat menjadi carsinogenic (Po¨schl, G dan Seitz,
H.K. dalam Haggar, 2009). Alkohol juga dapat berperan sebagi pelarut, memicu
penetrasi dari molekul carsinogenic lainnya kedalam mukosa sel (Po¨schl, G dan
Seitz, H.K. dalam Haggar, 2009). Sebagai tambahan, efek alkohol dapat dimediasi
melalui produksi prostaglandin, peroksidasi lipid, dan generasi dari radikal bebas.
Seseorang yang mengonsumsi alkohol akan terjadi penurunan nutrisi esensial dari
makanan yang telah dikonsumsi, sehingga jaringan tubuh mudah mengalami
proses karsinogenik (World Cancer Research Fund and American Institute for
Cancer Research, 2007).
2.2.4
Manifestasi Klinis
Diagnosa dini dari kanker kolorektal dapat mempengaruhi survival rate,
gejala awal seperti nyeri perut dapat membingungkan dengan penyakit lain.
1.
Gejala- gejala dari kanker kolon
Gejala-gejala yang umum adalah nyeri abdomen, rektum berdarah,
perubahan aktivitas usus dan penurunan berat badan yang tanpa disadari. Kanker
kolon dapat muncul dengan diare ataupun konstipasi, perubahan aktivitas usus ini
lebih menunju kepada kanker kolon daripada perubahan aktivitas usus yang
abnormal secara kronis. Gejala-gejala yang jarang meliputi mual dan muntah,
malaise, anorexia dan distensi abdomen (American Cancer Society, 2014).
Gejala-gejala tergantung pada lokasi kanker, ukuran kanker dan
keberadaan dari metastasis. Kanker kolon kiri lebih sering menyebabkan obstruksi
Universitas Sumatera Utara
19
usus secara parsial ataupun komplet daripada kolon sebelah kanan oleh karena
lumen kolon sebelah kiri lebih sempit dan feses yang berada di sebelah kiri
memiliki bentuk yang lebih bagus, karena reabsorpsi air dibagian proksimal
kolon. Exopitik kanker yang besar lebih menyebabkan obstruksi dari lumen kolon,
obstruksi parsial menyebabkan konstipasi, mual dan distensi abdomen, serta nyeri
abdomen. Obstruksi parsial secara paradoksikal menyebabkan diare yang
intermiten karena feses yang bergerak pada tempat obstruksi.
Kanker pada bagian distal terakadang menyebabkan perdarahan rektum
yang kasat mata, tetapi kanker pada bagian proksimal jarang menyebabkan gejalagejala ini oleh karena darah bercampur dengan feses dan didegradasi secara
kimiawi saat transit di kolon. Perdarahan pada bagian proksimal kanker terjadi
secara tersembunyi dan dapat menyebabkan pasien mengalami anemia defisiensi
besi tanpa perdarahan rektum yang kasat mata. Anemia dapat menyebabkan
kelemahan, letih, dyspnea, atau palpitasi. Kanker yang lebih lanjut, terutama
metastasis, dapat menyebabkan cancer cachexia, dengan karakteristik dari empat
gejala berikut yaitu penurunan berat badan yang tidak disadari, anoreksia,
kelemahan otot, dan perburukan kesehatan.
2.
Gejala-gejala dari kanker rektum
Kanker rektum memiliki gejala yang hampir sama dengan gejala dari
kanker kolon dan penyakit usus lainnya. Perkembangan tumor pada rektum atau
kanal anus dapat mengubah konsistensi, bentuk dan frekuensi dari aktivitas usus.
Perdarahan pada rektum dengan ditemukan feses berdarah dengan warna merah
cerah ataupun dapat terjadi perubahan warna feses menjadi merah gelap ataupun
berwarna merah bata. Secara umum gejala-gejala tersebut adalah nyeri pada
rektum, nyeri abdomen, frekuensi gas yang sering atau kram perut, perasaan
bloating, perubahan nafsu makan, penurunan berat badan dan perasaan letih.
2.2.5 Patogenesis
Perjalanan penyakit dari kanker kolorektal terjadi akibat perubahan pada
gen kunci pengatur pertumbuhan, yaitu APC, tp53, TGF-β Tumor-Suppressor
Pathway (gen penekan tumor) , K-ras (proto-onkogen).
Universitas Sumatera Utara
20
a.
APC
Kanker kolorektal terjadi akibat banyak perubahan genetik, tetapi jalur
sinyal tertentu telah secara jelas dipilih sebagai faktor kunci dalam pembetukan
tumor. Aktifasi dari jalur sinyal Wnt menjadi awal dari kejadian kanker
kolorektal. APC merupakan komponen dari kompleks degradasi protein β-catenin
yaitu proteolisis. Mutasi kanker kolorektal yang paling sering adalah
menginaktifasi gen-gen yang mengkode protein APC. Akibat ketidakberadaan
fungsi APC, Wnt mensinyal secara tidak wajar. Mutasi dari gen APC
menyebabkan poliposis adenomatous familial, hampir 100% karier dari gen ini
merupakan resiko dari kanker kolorektal pada usia 40 tahun (Markowitz, S.D.,
Bertagnolli, M.M., 2009).
b.
Tp53
Inaktifasi dari jalur p53 akibat mutasi dari TP 53 merupakan kunci genetik
kedua dari tahapan kanker kolorektal. Pada kebanyakan tumor-tumor, dua alel
Tp53 diinaktifasi, biasanya oleh kombinasi dari mutasi missense yang
menginaktifasi aktivitas transkripsi p53 dan delesi kromosom 17p yang
mengeliminasi alel kedua Tp53. Inaktifasi dari TP53 sering terjadi dengan transisi
dari adenoma besar menjadi karsinoma invasif. Pada kebanyakan kanker
kolorektal dengan mismatch dan kerusakan proses perbaikan, aktivitas dari jalur
p53 berkurang oleh mutasi pada BAX yang merupakan penginduksi dari apoptosis
(Markowitz, S.D., Bertagnolli, M.M., 2009).
c.
TGF-β Tumor-Suppressor Pathway
Mutasi dari sinyal TGF-β merupakan tahap ketiga dari progresi kanker
kolorektal. Mutasi somatik menginaktifasi TGFBR2 sekitar sepertiga dari kanker
kolorektal. Kurang lebih setengah dari semua kanker kolorektal dengan gangguan
perbaikan tipe wild, sinyal dari TGF-β dihancurkan oleh inaktifasi mutasi
missense pada domain TGFBR2 kinase. Mutasi yang menginaktifasi jalur TGF-β
terjadi dengan transisi dari adenoma ke dysplasia high-grade atau karsinoma
(Markowitz, S.D., Bertagnolli, M.M., 2009).
Universitas Sumatera Utara
21
d. K-ras
Proto-onkogen seperti K-ras, merupakan komponen dari jalur sinyal yang
mempromosikan pertumbuhan normal selular dan proliferasi. Mutasi dari protoonkogen menyebabkan produk gen aktif dengan menghasilkan efek tumorigenik
(Lange, 2011). Berikut merupakan jalur-jalur gen pengatur pertumbuhan yang
ditunjukkan oleh gambar berikut.
Gambar 2.5 Jalur gen-gen dan faktor pertumbuhan yang mengontrol progresi dari
kanker kolorektal
(Molecular Basis of Colorectal, N Engl J Med, December 17, 2009)
Universitas Sumatera Utara
22
Gambar 2.6 Skema perubahan morfologi dan molecular dalam adenokarsinoma.
Ditunjukkan bahwa kehilangan dari gen penekan tumor (APC)
terjadi pada awal kejadian
(Robbins Basic Pathology, 7th ed)
2.2.6 Stadium Patologi
Estimasi paling baik dalam prognosis kanker kolorektal yang berhubungan
dengan perluasan anatomi penyakit adalah pemeriksaan patologi dari reseksi
spesimen. Staging dari kanker kolorektal relatif lurus kedapan. Pada mulanya
staging menggunakan klasifikasi Dukes, dimana pasien dikategorikan menjadi
tiga kategori (stages A, B, C). Kemudian dilakukan modifikasi oleh Astler-Coller
mejadi empat kategori ( stage : D). Gunderson & Sosin memodifikasi kembali
pada tahun 1978. Yang terbaru adalah sistem TNM oleh American Joint
Committee on Cancer (AJCC) yang mengelompokkan menjadi empat stage (stage
I-IV) yang ditunjukkan untuk tabel 2.2 (Fleming, 2012).
Universitas Sumatera Utara
23
Tabel 2.2 Perbandingan klasifikasi berdasarkan TNM dan Dukes
(http://www.hopkinscoloncancercenter.org, diakses 21 mei 2014)
T (Tumor) = tumor primer
TX – tumor primer tidak dapat dinilai
T0 – tidak ada tumor primer
Tis – karsinoma in situ: intraepitelial atau invasi dari lamina propria
T1 – invasi tumor ke submukosa
T2 – invasi tumor ke muskularis propria
T3 – invasi tumor melalui muskularis propria ke subserosa
T4 – invasi langsung tumor ke organ-organ lain atau struktur-struktur dan/atau
perforasi peritoneum visceral
N (Nodus) = Nodus Limfe Regional
NX – nodus limfa regional tidak dapat dinilai
N0 – tidak ada metastasis nous limfa
N1 – metastasis pada satu sampai tiga nodus limfa
N2 – metastasis pada empat atau lebih nodus limfa
M (Metastasis) = penyebaran
MX – metastasis tidak dapat dinilai
M0 – tidak ada metastasis
M1 – terdapat metastasis
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar
2.7
Gambaran
klasifikasi
TNM
pada
(http://www.hopkinscoloncancercenter.org,
kanker
diakses
kolorektal
21
mei
2014)
- Jenis Histopatologi
Untuk
gambaran
tipe
histologi,
secara
internasional
klasifikasi
histopatologi untuk tumor kolorektal menggunakan klasifikasi menurut World
Health Organization (WHO) yang ditunjukkan pada gambar 2.8 berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
25
Gambar 2.8 Klasifikasi histologi tumor kolon dan rektum menurut WHO
(IARC, 2011).
2.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Meliputi perubahan pola makan, gejala-gejala non spesifik yang muncul
seperti perubahan aktivitas usus, nyeri abdomen, penurunan berat badan yang
tanpa disadari, perdarahan pada bagian rektum, perasaan cepat letih. Penggalian
riwayat penyakit dan riwayat dalam keluarga serta gaya hidup dari penderita
(American Cancer Society, 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
Dokter melakukan palpasi pada abdomen secara hati-hati untuk merasakan
masa atau pembesaran organ-organ (hepatolomegali, splenomegali, dll). Dokter
juga melakukan pemeriksaan colok dubur (DRE). Saat pemeriksaan, dokter akan
memasukkan lubrikan pada jari telunjuk yang telah menggunakan sarung tangan
untuk merasakan massa abnormal pada daerah ini. Pemeriksaan rektum akan
Universitas Sumatera Utara
26
menunjukkan masa pada pasien dengan kanker rektum, tetapi tidak pada kanker
kolon (American Cancer Society, 2014).
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pendukung
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah
lengkap, fungsi hati dan Tumor markers. Pemeriksaan darah lengkap ditujukkan
untuk melihat apakah pasien menderita anemia. Pada beberapa penderita kanker
kolorektal menderita anemia oleh karena pendarahan jangka panjang yang
disebabkan oleh tumor. Pemeriksaan enzim hati ditujukkan untuk menilai fungsi
hati, karena kanker kolorektal dapat menyebar ke organ hati. Sedangkan
pemeriksaan
tumor
markers
untuk
melihat
substansi-substansi
yang
dihasilakannya, seperti carcinoembryonci antigen (CEA) dan CA 19-9, yang
dikeleuarkan ke aliran darah. Pemeriksaan darah untuk penanda tumor lebih
sering digunakan dibandingkan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk memonitor
pasien yang telah didiagnosis untuk kanker kolorektal. Penanda tumor ini juga
dapat digunakan untuk menunjukkan keberhasilan pengobatan (American Cancer
Society, 2014).
Selain itu terdapat pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu Fecal Occult
Blood Test (FOBT) yang digunakan untuk menemukan darah yang tersembunyi di
feses. Pemeriksaan ini didasari pada pembuluh darah pada permukaan dari polip
kolorektal yang lebih besar atau kanker yang mudah rapuh dan rusak saat feses
keluar. Kerusakan pembuluh darah biasanya mengeluarkan sejumlah kecil dari
darah ke feses, tetapi jarang yang terlihat pada feses. Namun pemeriksaan ini
tidak dapat menunjukkan asal darah baik dari kolon ataupun dari bagian lain
sistem pencernaan. Jika hasil positif, pemeriksaan kolonoskopi dibutuhkan untuk
menemukan penyebab perdarahan. Selain kanker perdarahan dapat disebabkan
oleh ulkus, hemoroid, divertikulosis, ataupun penyakit inflamasi usus (American
Cancer Society, 2014).
a. Biopsi
Biasanya jika suspek kanker kolorektal ditemukan pada pemeriksaan
diagnostik, dilakukan biopsi saat kolonoskopi. Pada biopsi, dokter akan
Universitas Sumatera Utara
27
menyingkirkan bagian kecil dari jaringan dengan alat khusus yang dilewati
melalui scope. Dapat tejadi perdarahan setelah tindakan ini, tetapi berhenti dalam
periode waktu yang singkat. Sangat jarang, bagian kolon membutuhkan operasi
pengangkatan untuk menegakkan diagnosis (American Cancer Society, 2014).
b. Sigmoidoskopi Fleksibel
Pada pemeriksaan ini, dokter akan melihat bagian dari kolon dan rektum
dengan sigmoidoskop fleksibel, yang dilengkapi dengan cahaya dan kamer di
ujungnya. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, dapat dilihat bagian dalam
rektum dan bagian dari kolon untuk mendeteksi abnormalitas dan menentukkan
apakah dapat disingkirkan atau tidak. Namun kelemahan dari alat ini, hanya dapat
melihat bagian dalam kurang dari setengah panjang kolon (American Cancer
Society, 2014).
c. Kolonoskopi
Dengan menggunakan pemeriksaan ini dapat melihat panjang keseluruhan
kolon dan rektum dibandingkan dengan sigmoidoskopi. Dengan bantuan kamera
pada bagian ujung alat dan dihubungkan dengan monitor sehingga dokter dapat
melihat bagian dalam kolon. Alat-alat khusus dapat dimasukkan bersamaan
dengan
kolonoskopi
untuk
biopsi
ataupun
pengangkatan
hal-hal
yang
mencurigakan seperti polip, jika dibutuhkan (American Cancer Society, 2014).
Kolonskopi merupakan prosedur yang aman, tetapi dalam beberapa
keadaan kolonoskopi dapat menusuk dinding kolon atau rektum, yang dapt
meyebabkan perforasi. Hal ini dapat menjadi komplikasi serius yang berdampak
pada infeksi abdomen yang serius dan membutuhkan operasi perbaikan (American
Cancer Society, 2014).
d. Double-contrast Barium Enema
Double- contrast barium enema (DCBE) juga disebut dengan air-contrast
barium enema atau barium enema dengan kontras udara. Pada dasarnya alat ini
merupakan jenis dari pemeriksaan X-ray. Barium sulfat, yang merupakan cairan
yang pucat seperti kapur dan udara digunakan untuk menggambarkan bagian
terdalam dari kolon dan rektum untuk melihat area abnormal pada x-ray. Jika
Universitas Sumatera Utara
28
bagian yang dicurigai terlihat pada pemeriksaan, kolonsokopi dibtuhkan untuk
eksplorasi lebih lanjut (American Cancer Society, 2014).
e. CT Colonografi (Virtual Colonoscopy)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang lebih maju dari tipe
computed tomography (CT atau CAT) scan pada kolon dan rektum. CT scan
merupakan pemeriksaan x-ray yang menghasilkan detail gambaran potong silang
dari tubuh. CT scanner mengambil beberapa gambaran yang dari tubuh yang
dirotasikan. Pada CT kolonografi, merupakan program computer khusus yang
menciptakan gambaran x-ray dua dimensi dan gambaran tiga dimensi “fly-trough”
didalam dari kolon dan rektum, yang dapat melihat polip atau kanker.
Pemeriksaan ini tidak invasiv sperti kolonoskopi. Dalam pemeriksaan ini pasien
diminta untuk mengosongkan isi usus terutama kolon dan rektum agar
menghasilkan gambaran yang baik (American Cancer Society, 2014).
f. Endorectal Ultrasound
Pemeriksaan ini menggunakan transduser khusus yang dimasukkan secara
langsung kedalam rektum. Alat ini digunakan untuk melihat seberapa jauh
penetrasi kanker melalui dinding rektum dan apakah sudah terjadi penyebaran ke
organ atau jaringan terdekat seperti nodus limfa (American Cancer Society, 2014).
g. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan
Sama seperti ct scan, MRI menunjukkan detail gambar dari jaringan lunak
di tubuh. MRI membantu pasien dengan kanker rektum untuk melihat apakah
sudah terjadi penyebaran tumor ke struktur terdekat. Untuk mendukung akurasi
dari pemeriksaan, beberapa dokter menggunakan endorectal MRI. Dokter
meletakkan probe nya yaitu endorectal coil, didalam rektum. Alat ini berada
didalam selama 30 hingga 45 menit selama pemeriksaan dan tidak nyaman. MRI
juga melihat area abnormal pada hati yang dapat dikarenakan penyebaran kanker
atau melihat otak dan korda spinal (American Cancer Society, 2014).
2.2.8 Penatalaksanaan
Berdasarkan stage dari kanker, dua atau lebih dari jenis pengobatan dapat
dikombinasi pada saat yang sama atau digunakkan secara bergantian.
Universitas Sumatera Utara
29
Penatalaksanaan akan disesuaikan dengan keadaan klinis dari pasien. Dalam
penentuan keputusan penatalaksanaan pasien bisa mencari pendapat kedua dari
tenaga kesehatan yang ahli lainnya. Pengobatan dari kanker dapat berupa terapi
local atau sistemik. Terapi lokal berupa operasi dan radiasi, dimana kanker yang
berasa didekat kolon atau rektum dihancurkan atau diangkat. Ketika kanker
kolorektal telah menyebar ke organ tubuh lain, terapi lokal dapat digunakan
sebagai kontrol penyakit pada area spesifik tersebut. Sedangkan terapi sistemik
berupa kemoterapi dan terapi biologis. Obat-obat masuk ke aliran darah dan
menghancurkan kanker diseluruh tubuh (American Cancer Society, 2014).
1. Operasi
a. Operasi Kolon
Operasi umumnya merupakan pengobatan utama pada awal stage kanker
kolon.
- Open Colectomy
Kolektomi yang dikenal juga dengan hemicolectomy, partial colectomy,
atau segmental resection adalah pengangkatan bagian kolon, yang juga terdapat
disekitar nodus limfa. Operasi open colectomy dilakukan melalui insisi tunggal di
abdomen. Satu hari pra operasi, pasien disuruh untuk mengosongkan seluruh isi
usus, dengan memberikan laxative dan enema. Sebelum operasi, pasien juga akan
diberi anastesi umum (American Cancer Society, 2014).
Sekitar seperempat hingga sepertiga dari kolon diangkat, tetapi panjang
pasti yang akan diangkat tergantung dari ukuran dan lokasi pasti dari kanker.
Bagian dari kolon hasil dari operasi akan mengalami penyatuan kembali. Nodus
limfe terdekat juga akan diangkat pada saat yang bersamaan (American Cancer
Society, 2014).
-Laparoscopic – assisted colectomy
Metode terbaru dalam pengangktan bagian kolon dan nodus limfe terdekat
mungkin merupakan pilihan untuk beberapa stage awal dari kanker. Ahli bedah
melakukan insisi kecil pada abdomen dan memasukkan instrumen panjang untuk
Universitas Sumatera Utara
30
pengangkatan kolon dan nodus limfe. Alat tersebut adalah laparoscope yang
memiliki kamera kecil pada ujungnya. Oleh karena insisi yang lebih kecil
daripada open colectomy, proses penyembuhan sedikit lebih cepat dan rasa sakit
yang sedikit daripada operasi kolon yang standar. Teknik ini membutuhkan ahli
bedah yang berpengalaman (American Cancer Society, 2014).
-Polipektomi dan Eksisi Lokal
Beberapa kanker kolon stadium awal (tumor stage 0 dan stage 1 awal) atau
polip dapat diangkat dengan operasi melalui colonoscope. Polipektomi dilakukan
dengan mengangkat kanker dari polip dengan cara memotong batang (area yang
mirip dengan jamur). Eksisi lokal menyingkirkan kanker di permukaan dan
sejumlah kecil jaringan disekitar (American Cancer Society, 2014).
b. Operasi Rektum
-Reseksi Lokal Transanal
Reseksi lokal transanal dilakukan dengan alat-alat yang dimasukkan
melalui anus, tanpa membuat pembukaan pada kulit abdomen. Operasi ini
memotong keseluruhan lapisan rektum dan menyingkirkan kanker disekeliling
dari jaringan normal dan menutup lubang pada dinding rektum. Prosedur ini dapat
digunakan untuk stage 1 yaitu T1 N0 M0 kanker rektum yang relatif kecil dan
tidak terlalu jauh dari anus, dilakukan dengan anastesi lokal (American Cancer
Society, 2014).
-Transanal endoscopic Microsurgery
Dilakukan pada awal stage 1 (T1 N0 M0) yang lebih tinggi pada rektum,
dibandingkan menggunakan standar reseksi transanal.
-Low Anterior Resection
Beberapa stage 1 kanker rektum dan kebanyakan stage II atau III pada
sepertiga atas rektum dapat diangkat dengan low anterior resection. Dengan
metode ini, bagian rektum yang mengandung tumor disingkirkan tanpa mengenai
anus. Kolon lalu melekat pada bagian rektum yang tersisa sehingga setelah
Universitas Sumatera Utara
31
operasi, gerakkan usus akan sama seperti keadaan normal (American Cancer
Society, 2014).
Low anterior resection lebih kepada operasi abdomen. Pasien akan
diminta mengonsumsi laxative dan enema sebelum operasi untuk membersihkan
isi usus (American Cancer Society, 2014).
-Proktektomi dengan anastomosis kolon – anal
Stage I dan kebanyakan stage II dan III dari kanker rektum pada
pertengahan dan sepertiga bawah membuthkan pengangkatan seluruh rektum
(proktektomi). Kemudian kolon dihubungkan dengan anus ( anastomosis kolon –
anal). Rektum harus disingkirkan dengan eksisi mesorektum total (EMT), yang
membutuhkan pengangkatan seluruh nodus limfa didekat rektum. Prosedur ini
sulit, tetapi teknik modern mungkin untuk dilakukan (American Cancer Society,
2014).
Tekadang ketika anastomosis kolon – anal selesai, kantungan kecil
tebentuk karena penggandaan segmen yang pendek dari belakang kolon ( colonic
J-pouch) atau oleh pembesaran segmen (coloplasty). Bagian kecil yang terbentuk
ini berfungsi sama seperti fungsi rektum sebelum operasi yaitu sebagai penyimpan
feses (American Cancer Society, 2014).
-Reseksi Abdominoperineal (RAP)
Operasi ini lebih dilakukan daripada low anteriror resection. dapat
dilakukan untk mengobati kanker stage 1 dan stage II dan III pada sepertiga
bawah rektum (bagian didekat anus), terutama jika kanker tumbuh didekat otot
sphincter ( otot yang mempertahankan anus tertutup dan mencegah kebocoran
feses) (American Cancer Society, 2014).
-Pelvic Exenteration
Jika kanker rektum tumbuh didalam organ terdekat. Bukan saja dokter
bedah mengangkat rektum tetapi organ terdekatnya juga sperti kandung kemih,
prostat, atau uterus, jika terjadi penyebaran ke oragan – organ tersebut. Pasien
akan membutuhkan kolostomi setelah pelvic exenterasi. Jika kandung kemih
Universitas Sumatera Utara
32
diangkat, pasien membutuhkan urostomi ( pembukaan bagian depan abdomen
tempat urin keluar dan ditahan oleh kantungan portable) (American Cancer
Society, 2014).
2. Operasi dan Pengobatan lokal untuk metastasis kanker kolorektal
Terkadang operasi kanker yang telah menyebar dapat membantu hidup
lebih panjang, dan dapat menyembuhkan. Pada beberapa kasus, jika tidak
memungkinkan pengangkatan tumor dengan operasi, pengobatan non-operasi
mungkin dapat digunakan untuk mengahancurkan tumor di hati (American Cancer
Society, 2014).
a. Obat – Obatan Kanker kolorektal
Obat - obat berikut biasanya dikonsumsi secara kombinasi guna efektifitas
pengobatan.
-5-fluoreuracil (5-FU), diberikan dengan obat leucovorin yang serupa
vitamin yang dikenal dengan asam folinik, yang menyebabkan efek obat
sebelumnya lebih bagus.
-Capecitabine (Xeloda®) , bentuk pill. Sekali berada didalam tubuh, obat
ini berubah menjadi 5-FU
-Irinotecan (Camptosar®)
-Oxaliplatin (Eloxatin®)
2.2.9 Pencegahan
1. Screening
Kunci dari pencegahan kanker kolorektal yaitu screening yang regular,
dimulai pada usia 50 tahun. The U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF)
merekomendasikan penggunaan fecal occult blood (FOB), sigmoidoskop, atau
kolonoskopi pada awal usia 50 tahun dan dilanjutkan hingga usia 75 tahun.
Individu dengan resiko tinggi kanker kolorektal harus melakukan screening yang
dimulai pada usai lebih muda dan membutuhkan pemeriksaan lebih sering
(American Cancer Society, 2014).
Universitas Sumatera Utara
33
2. Modifikasi Diet
Makanan berserat dapat mengurangi resiko kanker kolon. Mekanisme
melibatkan penurunan paparan mukosa terhadap kasinogen intraluminal yang
disebabkan oleh stimulasinya transit usus, pengurangan konsentrasi dari
karsinogen di feses yang disebabkan oleh peningkatan kepadatan feses,
peningkatan konsentrasi asam lemak rantai pendek antikanker dan stabilisasi
kadar insulin akibat tertunda-nya penyerapan pati yang mungkin mempromosikan
karsinogen kolon (American Cancer Society, 2014).
Universitas Sumatera Utara
Download