4 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Bayi Kurang Bulan 2.1.1. Definisi Bayi kurang bulan adalah bayi yang dilahirkan dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu (Damanik, 2008). Menurut WHO (2012), di definisikan sebagai bayi lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 minggu usia kehamilan. 2.1.2. Epidemiologi World Health Organization (WHO) mencatat selama periode pertengahan 1990-an hingga tahun 2007 terdapat sekitar 130juta lahir bayi kurang bulan (BKB) atau dengan ratio setiap 10 kelahiran bayi, terdapat 1 bayi yang lahir BKB. Dilaporkan 85% BKB terjadi di negara-negara miskin terutama Asia. Kelahiran dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu mempunyai risiko tinggi terhadap berbagai penyakit yang berhubungan dengan prematuritas. Data luaran lama rawat, kesakitan, dan kematian BKB late preterm di Indonesia masih terbatas. (Artana, 2012). 2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko Sulit untuk memisahkan secara sempurna faktor-faktor yang terkait dengan prematuritas dari faktor-faktor yang terkait dengan PJT (pertumbuhan janin terhambat). Ada korelasi yang positif kuat antara kelahiran premature maupun PJT dengan status sosioekonomi yang rendah. Pada keluarga yang status ekonominya rendah, kasus-kasus kurang gizi, anemia, dan penyakit pada ibu; perawatan pranatal yang tidak adekuat, adiksi obat; komplikasi pada masa kehamilan, maupun pada proses melahirkan; dan riwayat aborsi, lahir mati, bayi prematur atau berat badan lahir rendah; kejadiannya relatif tinggi. Faktor-faktor terkait lainnya seperti keluarga dengan orang tua tunggal, kehamilan pada usia belasan tahun, jarak waktu kehamilan yang dekat, dan ibu-ibu yang sebelumnya telah melahirkan lebih dari 4anak juga lebih sering ditemukan (Kliegman, 2011). Universitas Sumatera Utara 5 TABEL 2.1. Penyebab kelahiran preterm yang dapat diidentifikasikan (Kliegman, 2011) Janin Gawat janin Kehamilan multipel Eritroblastosis Hidrops non imun Plasenta Plasenta previa Abrupsio plasenta Uterus Uterus bikornus Serviks tidak kompeten (dilatasi prematur) Ibu Pre-eklamsia Penyakit medis yang kronis (misalnya, penyakit jantung sianosis, penyakit ginjal) Infeksi (misalnya, streptokokus grup b, infeksi saluran kencing, korioamnionitis) Penyalahgunaan obat (misalnya, kokain) Lainnya Ketuban pecah prematur Polihidramnion Iatrogenik 2.2. Penyakit Jantung Bawaan 2.2.1. Definisi Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan abnormalitas pada struktur maupun fungsi sirkulasi yang telah ada sejak lahir (Sani,2007). Proses pembentukan jantung ini terjadi pada awal pembuahan (konsepsi). Pada waktu Universitas Sumatera Utara 6 jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam kandungan, ada kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung pada janin ini, terjadi pada usia 3bulan pertama kehamilan, karena jantung terbentuk sempurna pada saat janin berusia 4bulan (Dhania, 2009). 2.2.2. Epidemiologi Penyakit Jantung Bawaan ini terjadi pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup. Insiden lebih tinggi pada lahir mati (2%), abortus (10-25%), dan bayi prematur (2%) (Tank, 2004). Berdasarkan penelitian lain, 1 orang bayi dilahirkan dari bapak dengan PJB, sedangkan tidak ada dari 4 orang ibu dengan PJB, mempunyai bayi dengan PJB. Dari 28 bayi dengan PJB, 4 bayi meninggal (14,3%) selama 5hari pengamatan. (Harimurti, 1996). 2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Pada sebagian kasus, penyebab dari PJB ini tidak diketahui (Sastroasmoro, 1994). Beberapa faktor yang diyakini dapat menyebabkan PJB ini secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi 2, yaitu genetik dan lingkungan. Pada faktor genetik hal yang penting kita perhatikan adalah adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit jantung (Fachri, 2007). Dalam hubungan keluarga yang dekat risiko terjadinya PJB yang terjadi 79,1%, untuk Heterotaxsia, 11,7% untuk Conotruncal Defects, 24,3% untuk Atrioventricular Septal Defect, 12,9% untuk Left Ventricular Outflow Tract Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal Defect dan 3,4% untuk Isolated Ventricular Septal Defect (Poulsen, 2009).Pada faktor lingkungan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah paparan lingkungan yang tidak baik, adanya infeksi virus pada trisemester pertama, adanya penyakit sistemik, adanya penggunaan alkohol dan obat-obatan (Indriwanto, 2009). Universitas Sumatera Utara 7 2.2.4. Klasifikasi Secara garis besar PJB ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar yaitu, asianotik dan sianotik (Widyantoro, 2009). 2.2.4.1. PJB Non Sianotik Penyakit Jantung Bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis (Roebiono, 2003). Berdasarkan ada tidaknya pirau, kelompok asianotik terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok dengan pirau dari kiri kekanan dan kelompok tanpa pirau (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan adalah sebagai berikut : A. Defek Septum Ventrikel Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada jantung berupa lubang pada septum yang memisahkan ventrikel sehinggal terdapat hubungan antara antar rongga ventrikel (Ramaswamy, 2013). Defek septum ventrikel merupakan penyakit jantung bawaan yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 30% dari semua jenis penyakit jantung bawaan(Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994) DSV terbagi atas beberapa klasifikasi, diantaranya : 1. Defek Septum Ventrikel Perimembran, yang dibagi menjadi : a.Defek perimembran inlet,mengarah ke posterior ke daerah inlet septum. b.Defek perimembran outlet,mengarah ke depan, dibawah akar aorta ke dalamseptum pars muskularis. c.Defek trabekular, mengarah ke bawah, kearah septum trabekularis. d.Defek perimembran konfluen, yang mencakup ketiga bagian septummuskular, sehingga merupakan defek yang besar. 2. Defek Septum Ventrikel Muskular, yang dibagi menjadi : a. Defek muskular inlet b. Defek trabekular c. Defek muskular outlet Universitas Sumatera Utara 8 Gejala klinis DSV cukup bervariasi, mulai dari asimtomatis, gagal jantung berat, ataupun gagal tumbuh. Semua ini sangat bergantung pada besarnya defek serta derajat piraunya sendiri, sedangkan lokasi defek sendiri tidak mempengaruhi derajat ringannya manifestasi klinis yang akan terjadi (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis ditegakkan dengan ekokardiografi, ekokardiografi dapat menentukan perkiraan ukuran dan lokasi DSV. Koreksi dilakukan dengan tindakan pembedahan, kecuali dalam keadaan tertentu (Aaronson dan Ward, 2008). B. Defek Septum Atrium Defek septum atrium adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium kiri dan kanan. Secara anatomis defek ini dibagi menjadi defek septum atrium primum, sekundum, tipe sinus venousus, dan tipe sinus koronarius. Prevalensi defek septum atrium pada remaja lebih tinggi dibanding pada masa bayi dan anak, oleh karena sebagian besar pasien asimtomatik sehinga diagnosis baru ditegakkan setelah anak besar atau remaja (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Klasifikasi DSA dibagi menurut letak defek pada septum atrium, yaitu : Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum. Kejadian DSA Ostium primum pada wanita sama dengan pria dan terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus PJB. Ostium Sekundum, defek ini, pada daerah fosa ovalis, adalah bentuk defek sekat atrium yang paling sering dan bersama dengan katup atrioventrikular normal. Defek ini mungkin tunggal atau multiple. Wanita 3 kali lebih banyak dari pada pria. Sinus Venosus, defek terletak pada bagian atas sekat atrium berhubungan dekat dengan masuknya vena cava superior. Seringkali, satu atau lebih vena pulmonalis (biasanya dari paru kanan) secara anomali mengalirkan kedalam vena cava superior (Bernstein, 2011). Universitas Sumatera Utara 9 Defek yang terjadi dapat berbagai jenis, mulai dari yang berukuran kecil sampai sangat besar dan menyebabkan pirau dari atrium kiri ke atrium kanan dengan beban volume lebih banyak di atrium dan ventrikel kanan.Gejala pada anak dan neonatus umumnya asimtomatis, namun bila pirau cukup besar pasien dapat mengalami sesak nafas dan sering mengalami infeksi paru (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis DSA ditegakkan dengan memasukkan kateter secara langsung untuk mengetahui adanya defek atau tidak. Penatalaksanaan DSA dapat dilakukan dengan pembedahan untuk melakukan penutupan pada defek di septumnya atau dengan kateterisasi (Markham, 2012). C. Defek Septum Atrioventrikularis Defek septum atrioventrikularis ( DSAV) ditandai dengan penyatuan DSA dan DSV disertai abnormalitas katup atrioventrikular (Bernstein, 2007). Kelainan ini sering menyertai sindrom down. Gejala dapat timbul pada minggu pertama dan gagal jantung pada bulan-bulan pertama kelahiran. Biasanya pasien dengan defek septum atrioventrikularis memerlukan operasi korektif pada umur dibawah 1 tahun (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). D. Duktus Arteriosus Persisten Duktus Arteriosus Persisten (DAP) disebabkan oleh duktus arteriosus yang tetap terbuka setalah bayi lahir. Kelainan ini merupakan 7% dari PJB dan sering dijumpai pada bayi BBLR (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994) Jika duktus tetap terbuka setelah penurunan resistensi vaskular paru,maka darah aorta dapat bercampur kedarah arteri pulmonalis. Gejala klinis yang muncul tergantung ukuran duktus, duktus berukuran kecil tidak menyebabkan gejala,dan biasanya diketahui jika terdapat suara murmur saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan DAP berukuran besar, pasien akan mengalami gejala gagal jantung. Gangguan pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala utama pada bayi yang menderita DAP besar (Bernstein, 2011). Universitas Sumatera Utara 10 Diagnosis dengan menggunakan ekokardiografi atau dengan EKG (Kim, 2012).Tindakan penatalaksanaan dari DAP ini adalah ligasi (Aaronson dan Ward, 2008). Kelompok tanpa pirau meliputi : A. Stenosis Pulmonalis Istilah stenosis pulmonalis digunakan secara umum untuk menunjukan adanya terdapat obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan atau arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis ditegakkan dengan ekokardiografi dan penatalaksanaan dilakukan dengan tindakan bedah valvulotomy (Ren, 2012). B. Stenosis Aorta Stenosis aorta adalah penyempitan aorta yang dapat terjadi pada tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular. Kelainan ini mungkin tidak terdiagnosis pada masa anak karena katup berfungsi normal, hanya pada auskultasi ditemukan bising sistolik yang lunak di daerah aorta (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis ditegakkan dengan ekokardiografi dan radiografi dada. Penatalaksanaannya adalah dengan penggantian katup aorta (Ren, 2012). C. Koarktasio Aorta Koarktasio aorta adalah penyempitan terlokalisasi pada aorta yang umumnya terjadi pada daerah duktus arteriosus. Koarktasio aorta dapat pula terjadi praduktal atau pascaduktal. Gejala dapat timbul mendadak. Tanda klasik koarktasio aorta adalah nadi brakialis yang teraba normal atau kuat, sedangkan nadi femoralis serta dorsalis pedis tidak teraba atau teraba kecil (Soeroso dan Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan pemeriksaan radiografi dada atau dapat pula dengan ekokardiografi. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan maupun dengan tindakan operatif tergantung dari keadaannya (Rao, 2012). Universitas Sumatera Utara 11 2. PJB Sianotik Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa yang disebabkan oleh terdapatnya >5g/dl hemoglobin terreduksi dalam sirkulasi. Manifestasi klinis pasien penyakit jantung bawaan sianotik sangat bervariasi. Sebagian pasien menunjukan gejala sianosis akibat hipoksemia. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, PJB sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada PJB non sianotik (Prasodo, 1994) A. Tetralogi Fallot Tetralogi fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling banyak ditemukan yakni merupakan lebih kurang 10% dari seluruh penyakit jantung bawaan. Tetralogi fallot merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu defek septum ventrikel, over-raiding aorta, stenosis pulmonal, serta hipertrofi ventrikel kanan. Komponen yang paling penting, yang menentukan derajat beratnya penyakit, adalah stenosis pulmonal. Stenosis pulmonal ini bersifat progresif, semakin lama semakin berat. Dengan terdapatnya defek septum ventrikel besar yang disertai stenosis pulmonal, maka tekanan sistolik puncak ventrikel kanan menjadi sama dengan tekanan sistolik puncak ventrikel kiri. Karena tekanan ventrikel kiri ini berada di bawah pengawasan baroreseptor, maka tekanan sistolik ventrikel kanan tidak akan melampaui tekanan sistemik. Hal inilah yang menerangkan mengapa pada tetralogi of fallot tidak atau jarang terjadi gagal jantung, karena tidak ada beban volume sehingga ukuran jantung umumnya normal (Prasodo, 1994). Diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan ekokardiografi, radiografi dada, maupun EKG. Penatalaksanaa penyakit ini dengan melakukan tindakan operatif (Bhimji, 2013). B. Transposisi Arteri Besar Pada anomali ini, vena sistemik kembali secara normal ke atrium kanan dan vena-vena pulmonalis ke atrium kiri. Hubungan antara atrium dan ventrikel juga normal. Namun, aorta keluar dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis Universitas Sumatera Utara 12 keluar dari ventrikel kiri (Bernstein, 2011). Akibatnya, aorta menerima darah vena sistemik dari vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, dan darah diteruskan ke sirkulasi sistemik. Sedang darah dari vena pulmonalis dialirkan ke atrium kiri, ventrikel kiri, dan diteruskan ke arteri pulmonalis dan seterusnya keparu.Manifestasi klinis pasien dengan transposisi arteri besar bergantung pada adanya pencampuran yang adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru, dan ada tidaknya stenosis pulmonal. Apabila pencampuran hanya melalui foramen ovale, atau duktus arteriosus yang kecil maka keadaan tidak adekuat dan bayi akan tampak sianotik (Prasodo, 1994). Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan pemeriksaan radiografi dada dan ekokardiografi. Adapun penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan tindakan operatif, namun tindakan ini bergantung pada umur dan tingkat keparahan pasien (Charpie, 2012) C. Atresia Pulmonal dengan Defek Septum Ventrikel Kelainan ini merupakan 20% dari pasien dengan gejala menyerupai tetralogi fallot dan merupakan penyebab penting sianosis pada neonatus (Prasodo, 1994).Keadaan ini merupakan bentuk ekstrem dari tetralogi fallot (Bernstein, 2011). D. Ventrikel Kanan dengan Jalur Ganda Sesuai dengan namanya, maka pada kelainan ini kedua arteri besar keluar dari ventrikel kanan, masing-masing dengan konusnya. Presentasi klinis pasien dengan ventrikel kanan dengan jalur ganda sangat bervariasi, bergantung kepada kelainan hemodinamiknya: kelainan ini dapat menyerupai defek septum ventrikel, transposisi, atau tetralogi fallot. Oleh karena itu tidak mungkin dilakukan atas dasar gambaran klinis (Prasodo,1994). Universitas Sumatera Utara 13 E. Trunkus Arteriosus Trunkus arteriosus ditandai oleh keluarnya pembuluh tunggal dari jantung yang menampung aliran darah dari kedua ventrikel, yang memasok darah sistemik,paru dan koroner. Secara normal trunkus primitif yang keluar dari ventrikel primitif terbagi menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Apabila pembagian ini tidak terjadi, maka dari kedua ventrikel hanya keluar satu pembuluh darah, yaitu trunkus arteriosus. Presentasi klinis pasien trunkus arteriosus mirip dengan pada defek septum ventrikel yang besar (Prasodo, 1994). 2.3. Hubungan bayi lahir kurang bulan dengan penyakit jantung bawaan Pada penelitian sebelumnya yang disebutkan dalam jurnal preterm birth and congenital heart defects (Lass, et al,2012) bayi lahir kurang bulan menjadi risiko untuk terjadinya penyakit jantung bawaan pada beberapa kategori. Untuk sebagian besar kategori PJB, terdapat asosiasi dengan kromosom ataupun anomali yang terjadi. ASD (atrium septal defek) diketahui memiliki frekuensi yang tinggi pada bayi lahir kurang bulan, bahkan yang disertai dengan down syndrome. Diketahui juga bahwa lingkungan menjadi faktor risiko untuk terjadinya bayi kurang bulan maupun penyakit jantung bawaan,misalnya polusi udara, infeksi virus seperti rubella juga memiliki peran untuk terjadinya penyakit jantung bawaan.Pada ibu dengan riwayat diabetes juga ditemukan peningkatan kejadian PJB. Bayi kurang bulan secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan penyakit jantung bawaan. Polihidramnion yang diikuti dengan penyakit jantung bawaan sejak fetus dapat meningkatkan risiko bayi kurang bulan. PJT (pertumbuhan janin terhambat) biasanya akan diikuti oleh bayi lahir kurang bulan, yang kemudian akan meningkatkan risiko penyakit jantung bawaan. Universitas Sumatera Utara 14 Bahkan dalam studi diketahui penyakit janin terhambat menyebabkan bayi lahir kurang bulan dengan total kasus mencapai 20%. Tetralogi offallot dan atresia pulmonal yang disertai defek septum ventrikel diketahui memiliki hubungan dengan pertumbuhan terhambat, kematian janin, dan bayi lahir kurang bulan. Universitas Sumatera Utara