BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar umat manusia. Pangan memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia, karena tanpa ada pangan tidak akan ada peradaban. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk mendapatkan pangan (makananan) yang cukup untuk bisa bertahan hidup. Masalah pangan bukanlah sebuah perkara ketersediaan atau kemampuan membeli pangan, melainkan bagaimana keberlanjutannya memenuhi kebutuhan utama manusia. Adalah tanggung-jawab negara untuk menjamin ketersediaan makanan yang cukup bagi warga negaranya sendiri—sebagai bentuk intervensi dalam menjaga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Di awal kemerdekaan, Indonesia telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan membuat program kegiatan dalam rangka mencapai swasembada pangan. 1 Menurut Dwidjono Hadi Darwanto, salah satu upaya pemerintah dalam melakukan politik pangan di Indonesia adalah dengan mencanangkan swasembada pangan yang menjadi dasar untuk mencapai kemandirian pangan atau kondisi 1 Tribowo Yuwono, dkk. Pembangunan Pertanian: Membangun Kedaulatan Pangan. (Yogyakarta: UGM Press, 2011), hlm. 56 1 pemenuhan kebutuhan pangan tanpa tergantung dari negara lain sehingga dapat tercipta kemandirian bangsa. 2 Adapun dasar pemilihan swasebada pangan menitikberatkan pada beras disebabkan beras merupakan sumber makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan Asia Pasifik pada umumnya—mengkonsumsi beras sebagai kebutuhan pokoknya. Beras sebagai kebutuhan dasar membuat posisinya sangat srategis memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan kestabilan politik nasional 3. Oleh karena masalah beras tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat desa melainkan seluruh golongan dan kaum mengalami dampak jika terjadi masalah kelangkaan beras. Pengalaman akan betapa riskannya posisi beras ketika terjadi krisis pangan tahun 1965 dan 1997 dengan tingginya harga pangan menyebabkan keguncangan nasional yang di awali dari krisis ekonomi hingga krisis politik yang kemudian menyebabkan runtuhnya kekuasaan rezim saat itu. Indonesia memiliki masalah yang sangat besar untuk dapat menjamin bagi seluruh masyarakat akan tersedianya beras. Tentunya bukanlah hal yang mudah bagi pemerintah untuk memikirkan usaha tersebut. Masalah krisis beras bukan hanya terjadi akhir-akhir ini—melainkan sejak masa kolonial beras menjadi perhatian tersendiri sehingga pemerintah kolonial membuat UU pertanahan di Jawa. Peraturan 2 Ibid. Achmad Suryana & Sudia Mardianto (peny). Bunga Rampai Ekonomi Beras. (Jakarta: LPEM-FEUI, 2001), hlm. xix 3 2 ini sendiri merupakan strategi pemerintah Kolonial dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Jawa. Semasa pemerintahan Jepang hal yang sama juga dilakukan dengan mengintervensi beras dari hulu hingga hilir. Kebijakan ini tentunya berdampak pada stabilitas sosial dan politik dengan menjamin kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, selain menjamin kebutuhan pangan bagi pihak militer. Meskipun pada awal kemerdekaan, kebutuhan pangan sedikit tertutupi dengan berbagai masalah bangsa seputar isu-isu gejolak awal pemerintahan, revolusi, pemberontakan, maupun perubahan kabinet hingga perubahan bentuk pemerintahan, sehingga usaha pangan hampir selalu terabaikan oleh pemerintah. Tahun 1945 penurunan produksi padi di Jawa sekitar 20% akibat kekeringan yang cukup parah yang menyebabkan gagal panen dalam areal luas. Pemerintah kemudian meluncurkan Rencana Darurat Ekonomi, yang dinamakan “Rencana Kesejahteraan Khusus untuk Pertanian dan Perikanan Rakyat”, yang tujuan utamanya adalah memperbaiki budidaya padi. Ini merupakan kebijakan pertama Pemerintah Indonesia mengatasi masalah pangan nasional. Semasa periode Orde lama berlangsung, masalah krisis beras menjadi masalah yang tidak pernah larut dari liputan. Ketidakstabilan kondisi pangan turut memperkeruh situasi dalam negeri dan dijadikan sebagai cambuk untuk mendiskreditkan kebijakan pemerintah. Buruknya kondisi dan situasi politik Indonesia di mata dunia saat itu, menyebabkan jaminan-jaminan politik kurang 3 berarti. Akibatnya, Indonesia gagal mendapatkan jumlah import beras lebih besar (dari rencana semula), menyebabkan kelangkaan di pasaran serta harga beras kian tak terkendalikan. Puncak krisis pangan terjadi pada awal tahun 1965, di mana kenaikan harga beras secara drastis di Indonesia yang mencapai 650% (hyper-inflasi) 4. Gejala pangan (ekonomi) berubah menjadi menjadi gejolak sosial merembet kepada gejolak politik dengan runtuhnya Orde Lama. Ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan atas negeri ini dari peninggalan Orde Lama mengalami berbagai ketidakstabilan ekonomi dan politik. Dengan demikian pokok-pokok kebijakan dan rehabilitasi ekonomi yang dituangkan dalam instruksi Presidium Kabinet Ampera. Adapun tujuan pokoknya adalah memperbaiki kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, terutama di bidang pangan dan sandang. Masalah harga beras sering menjadi polemik akibat harga yang tinggi maupun kelangkaan beras di pasaran. Hampir sepanjang tahun ketersediaan beras menjadi isu yang hangat dibicarakan karena sering menjadi perbandingan dan mempengaruhi harga barang-barang komoditas lain. Itulah yang menyebabkan maka ekonomi Indonesia seringkali disebut sebagai “ekonomi beras”. 5 4 Fachry Ali, dkk. Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: Sebuah Biografi Bustanil Arifin 70 Tahun. (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 114-115 5 Arifin Hutabarat. Usaha-usaha Mengatasi Krisis Beras. (Jakarta: LPKP, 1974), hlm. 21 4 Masalah beras sebagai bahan pangan merupakan usaha pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia yang berhubungan dengan karbohidrat dan kalori. Beras memenuhi 2/3 dari kebutuhan kalori yang dibutuhkan. Inilah yang membuat beras merupakan komponen terpenting. Hubungan pangan dan manusia cenderung berkorelasi positif. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan pangan juga meningkat. Oleh karena itu di samping usaha peningkatan produksi beras perlu dipikirkan kembali penyediaan pangan lain yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. 6 Beras juga menjadi pendorong utama laju inflasi, karena bahan makanan pokok ini menjadi “komoditi” untuk menciptakan kestabilan sosial dan ekonomi dan sering dijadikan acuan terhadap komoditi lain di samping telah menjadi sebuah ketergantungan yang erat bagi masyarakat. Hal ini berkaca pada krisis-krisis politik yang berlangsung sepanjang Orde Lama dimana inflasi banyak disumbangkan oleh masalah kelangkaan beras . Karena rentannya komoditi beras terhadap gejolak politik yang mempengaruhi kestabilan nasional, maka, intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar beras adalah suatu keniscayaan, karena komoditi ini berhubungan langsung dengan kepentingan publik serta kehidupan sehari-hari dan karenanya menguasai hajat hidup orang banyak 7. Oleh karena itu pada tahun 1966 pemerintahan pusat menetapkan empat daerah sebagai provinsi utama bimbingan massa (Bimas) dan 6 7 Widya, Karya Nasional Pangan Dan Gizi. Jilid 2. (LIPI. 1979), hlm.142 Fachry Ali, dkk., op.cit., hlm. 100 5 intensifikasi massa (Inmas) yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Program Bimas dan yang di galakkan pemerintah ini merupakan kelanjutan dari usaha-usaha pemerintah sebelumnya dalam meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani. Program Bimas ini menyediakan suatu paket yang terdiri dari penyediaan bibit unggul, pupuk subsidi, pestisisida, penyuluhan pertanian, stabilitas harga pangan dan perbaikan irigasi 8. Namun adakah program tersebut terlaksana dengan baik? Seberapa jauh program tersebut membawa perubahan bagi bangsa umumnya dan petani khususnya? Bagaimana sinergi usaha yang dilakukan oleh pemerintah dengan petani dalam menangani masalah beras? Tentu pertanyaan yang menarik adalah, bagaimana pelaksanaan di setiap daerah terhadap program unggulan pemerintah terutama di Sumatera Utara yang dijadikan salah satu provinsi pengembangan Bimas/Inmas? Upaya peningkatan produksi pangan selama Pelita I dan II bertumpu pada usaha menaikkan produksi padi. Padi sebagai sumber karbohidrat nabati utama yakni 52,1% jumlah karbohidrat diperoleh dari beras, 9,8% dari jagung dan 17,4% dari umbi-umbian. 9 Meskipun pangan nasional memiliki beragam alternatif sebagai pengganti beras, seperti jagung, umbi-umbian dan lain-lain namun preferensi masyarakat ada pada beras sehingga kepadanya diberikan kedudukan yang strategis dalam perekonomian kita. Sebagian besar penduduk tahun 1970 berada di pedesaan, 8 Faisal kasryno (penyunting). Prospek Pembangunan ekonomi Pedesaan Indonesia. (Jakarta: YOI,1984), hlm.131 9 Widya, op.cit., hlm. 143 6 sekitar 35% belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya atau berada di bawah garis kemiskinan. 10 Beras telah menjadi kisah sukses pembangunan pertanian Indonesia melalui sebuah paket besar kebijakan yang di ambil. Menurut Jan Luiten setidaknya terdapat beberapa hal penting atas keberhasilan pemerintah Orde Baru, seperti, melakukan stabilisasi ekonomi dengan menempatkan pertanian sebagaimana fungsinya setelah terpuruk akibat kekacauan pertengahan 1960-an. Keseriusan pemerintah juga terlihat dengan melakukan investasi secara besar-besaran di sektor ini dengan mempromosikan sejumlah terobosan paket dan proyek mendorong produktivitas padi. Pada tahun 1979 Indonesia merupakan negara dengan pengimpor beras terbesar di dunia, namun enam tahun kemudian tepatnya pada tahun 1985 negeri ini berhasil mencapai swasembada beras. 11 Hal ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa mengingat negara-negara pengekspor minyak lainnya menunjukkan pertumbuhan pertanian yang mengalami puncaknya pada tahun 1978-81 di mana output pertanian—khususnya beras mengalami peningkatan luar biasa sebesar 6,1 %. Sumatera Utara menjadi bagian strategi nasional dalam usaha mencapai swasembada pangan yang dicanangkan oleh Orde Baru. Penetapan ini juga tidak terlepas akan kondisi geografis yang sangat strategis serta jumlah penduduk yang mayoritas sebagai petani. Krisis beras pada tahun 1967 menjadi titik pijak bagi para 10 Ibid., hlm. 242 Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2000: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. (Jakarta: Kompas, 2012), hlm. 381 11 7 perumus kebijakan bahwa program penyediaan beras memegang peranan utama dalam kebijakan stabilitas nasional secara kolektif. Perkembangan produksi pertanian terutama tanaman pangan di Sumatera Utara selama pelaksanaan Pelita terus mengalami peningkatan sejak tahun 19691972. Namun periode selanjutnya mengalami fluktuasi produksi. Faktor pendorong kenaikan produksi tanaman pangan adalah meluasnya program Bimas dan Inmas di Sumatera Utara terhadap tanaman pangan terutama padi melalui pelaksanaan ekstensifikasi, intensifikasi serta memperkenalkan teknologi baru. Adapun sentrasentra utama produksi padi terdapat di beberapa Kabupaten seperti: Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Deli Serdang dll. Pengembangkan areal Bimas dan Inmas di Sumatera Utara juga terus mengalami peningkatan sejak 1969 walaupun pada tahun 1974-1976 mengalami penurunan. Demikian juga perkembangan perluasan pengairan sawah mengalami peningkatan terus-menerus. Inilah topik yang menjadi daya tarik bagi penulis. Bagaimana Sumatera Utara dalam hal ini sebagai lumbung padi nasional berperan dalam menjaga kestabilan bahan pangan untuk menjamin ketersediaan makanan yang cukup secara nasional. Kajian tentang masalah pangan atau pertanian telah banyak dilakukan mulai sejak masa kerajaan agraris seperti zaman Majapahit hingga ke masa kolonial. Hampir semua penelitian tersebut masih memusatkan kajiannya seputar pulau Jawa-MaduraBali. Hingga era Post Kolonial sekalipun masih berpusat ketiga pulau tadi. Hal itu bisa di pahami, sedikitnya sumber informasi menyulutkan para peneliti untuk keluar 8 dari zona nyamannya. Inilah sebuah kontemplasi, bagaimana kita melihat daerah berdasarkan kacamata lokal. Di era reformasi telah muncul keberanian untuk mengangkat peristiwa secara lokal, namun tidak jarang sudut pandangnya dari pulau Jawa. Adapun pemilihan periode Orde Baru menjadi kajian penulis yaitu antara tahun 1969 sampai 1997 (28 tahun) untuk melihat pergerakan dan perubahan kebijakan pangan yang berdampak bagi Sumatera Utara maupun nasional. Periode ini cukup unik bagi penulis mengingat pada masa 1969 merupakan tahun awal kebijakan Orde Baru membuat program Repelita I hingga Repelita VI pada tahun 1997. Dalam usaha tersebut pemerintah berhasil menyusun strategi dalam pengendalian pangan serta meningkatkan produksi secara nasional. Hingga pada repelita ketiga, Indonesia berhasil dalam swasembada pangan (beras khususnya). Program peningkatan produksi padi di Indonesia merupakan bagian dari “Revolusi Hijau” atau “Green Revolution” yang dilakukan di beberapa negara produsen padi di Asia. Untuk menghindari perbedaan konsep yang membingungkan antara konsep Bimas (Bimbingan Massal) dengan Revolusi Hijau, penulis lebih memilih menggunakan Bimas/Inmas karena lebih populer bagi kalangan masyarakat umum. Inilah yang menjadi alasan penulis dalam usaha untuk merekontruksi kembali Sumatera Utara sebagai sumber lumbung pangan (beras) nasional dalam usaha untuk menjaga ketahanan pangan dan kestabilan politik-ekonomi nasional tentunya. Sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan penelitian yang sama dalam 9 periode yang sama menggunakan metodologi sejarah ataupun ilmu sosial lain. Sehingga penelitian rintisan ini dapat menjadi stimulasi bagi peneliti selanjutnya dalam cakupan yang lebih spesifik. Diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat kita lihat peran Sumatera Utara dalam sumbangsih pemenuhan kebutuhan pangan dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Indonesia yang hampir setiap tahun terusmenerus mengimpor beras pada masa Orde Lama, kini berhasil swasembada pangan semasa Orde Baru adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah nasional sebagai salah satu dari sekian negara berkembang yang berhasil mencapai hal itu. Masalah yang di alami penulis melakukan penelitian tersebut adalah mendapatkan kajian yang obyektif dari penelitian ini. Tantangan terbesar adalah sikap kritis terhadap setiap data yang dikeluarkan oleh instansi resmi pemerintah perihal kevalidan data, mengingat masa Orde Baru yang begitu populer dengan laporan “asal Bapak senang” (ABS). Artinya sangat mudah bagi bawahan memberikan laporan fiktif, tujuannya supaya pihak atasan senang mendengarkan laporan yang baik untuk di dengar dari bawahannya. Inilah tantangan yang sangat sulit, mengingat tidak adanya data pembanding, baik dari laporan media cetak maupun laporan instansi sering pararel dengan data yang dikeluarkan Pemerintah. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa tahun 1984-1985 Indonesia mencapai swasembada beras yang mengantarkan presiden Soeharto memperoleh perhargaan dari FAO atas keberhasilan tersebut. Namun mengapa di tahun selanjutnya Indonesia tidak pernah lagi mencapai swasembada? Bukankah pantas kita mencurigai apakah 10 laporan pemerintah daerah ke tangan pemerintah pusat benar-benar demikian adanya? Atau hanya laporan “asal Bapak senang”? Penulis sendiri berusaha keluar dari paradigma “kesuksesan pembangunan Orde Baru” dalam mencapai swamsembada pangan yang berhasil mengukir sejarah baru. Fokus penelitian ini melihat kiprah Orde Baru dalam membangun ketahanan pangan nasional melalui kebijakan pangan dengan swasembada pangan dari sudut pencapaian daerah Sumatera Utara dengan memperhatikan pola pembangunan Topdown. Batasan tahun kajian ini di akhiri pada tahun 1997 ketika terjadi krisis ekonomi menjadi krisis politik maupun gejolak nasional secara kolektif membuat pemerintah Orde Baru runtuh. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kita identifikasikan beberapa masalah utama yang di rumuskan menjadi beberapa poin penting yaitu: 1. Bagaimana pertanian dan produksi pangan di Sumatera Utara sebelum tahun 1969 2. Apa upaya peningkatan produksi pangan di Sumatera Utara tahun 1969-1997 3. Bagaimana kondisi pangan (beras) di Sumatera Utara tahun 1969-1997 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian 11 Adapun tujuan penelitian yang di maksudkan adalah sasaran yang akan dicapai mengacu pada rumusan masalah di atas. Maka diharapkan terdapat beberapa poin sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertanian dan produksi pangan di Sumatera Utara sebelum tahun 1969. 2. Untuk mengetahui upaya peningkatan produksi pangan di Sumatera Utara dalam usaha menjaga ketahanan pangan. 3. Untuk mengetahui kondisi pangan (beras) di Sumatera Utara pada tahun 1969-1997 Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Sebagai teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan dalam kajian ekonomi beras di Sumatera Utara khususnya maupun secara nasional umumnya, dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya dalam kajian yang sama. 2. Dapat menjadi referensi dan rujukan bagi pembuatan kebijakan dalam menangani masalah kebutuhan pangan di masa yang akan datang dengan melihat kondisi pangan masa orde baru sehingga masalah kebutuhan pangan dapat diatasi. 1.4 Tinjauan Pustaka. 12 Dalam melakukan penelitian tentang beras di Sumatera Utara pada masa Orde Baru terdapat sejumlah buku referensi yang penting untuk menjadi sumber data sekunder dalam penulisan. Sebuah buku biografi Bustamil Arifin: Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru oleh Fachry Ali, dkk Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. 1996. Di dalam buku tersebut menjelaskan data sumber yang baik bagi penelitian ini khususnya peralihan Kolognas ke Bulog serta peran Koperasi dalam usaha mengatasi probelm beras awal Orde Baru. Tidak melupakan juga di dalam buku biografi ini, terdapat sejumlah tulisan atau essay dari pengamat ekonomi khusus membahas seputar masalah utama pangan dan kebijakannya di masa Orde Baru. Buku selanjutnya yang dijadikan sebagai bahan referensi adalah karya Arifin Hutabarat. Usaha Mengatasi Krisis Beras. Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers. Jakarta 1974. Buku ini merupakan sebuah seri berita dan pendapat. Sehingga banyak merekam keadaan sosial politik maupun kebijakan seputar krisis beras dengan menghimpun bahan dari sejumlah dokumentasi surat kabar. Adapun sumber referensi selanjutnya adalah Repelita III Pertanian dikeluarkan oleh Departemen Pertanian RI pada tahun 1979. Buku ini cukup kaya akan data seputar keberhasilan Repelita III dalam swasembada pangan serta strategi dan kebijakan yang ditempuh. Buku yang sama seperti Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-FEUI,2001 oleh Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional. Termasuk juga buku Gunawan Sumodinigrat. Menuju Swasembada Pangan: Revolusi Hijau II. RBI, Jakarta 2001. Buku ini membahas masalah usaha pemerintah dalam 13 rangka mencapai swasembada pangan serta masalah pengembangan pertanian secara nasional. Buku ini juga menyajikan konsep dan pelaksanaan revolusi hijau yang pernah diterapkan oleh Indonesia. Begitu juga dengan buku Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 19691994. Diterbitkan oleh Perhepi tahun 1995. Buku ini sendiri adalah peringatan 25 tahun Perhepi sebagai sebuah organisasi yang mewadahi para peminat ekonomi pertanian dan para ahli pertanian yang berusaha memberikan pemikiran membahas masalah ekonomi pertanian indonesia. Buku Mohtar Mas`oed. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, adalah buku yang cukup baik menyajikan informasi dari kerangka berpikir melihat krisis ekonomi dan politik Indonesia masa transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, termasuk juga perubahan tatananan politik baru yang terus-menerus dipertahankan. 1.5 Metode Penelitian Untuk merekontruksi kembali peristiwa masa lampau di butuhkan metode dalam menuliskannya. Metode yang penulis pakai yaitu metode sejarah dengan merekontruksi secara imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa 14 lalu, sehingga di dapatkan hasil penelitian yang obyektif 12. Proses rekontruksi melalui 4 tahap melakukan penulisan sejarah, yaitu: 1. Heuristik. Yang dimaksud disini adalah proses pengumpulan data terkait. Pengumpulan data selama proses penelitian cukup sulit di rasakan penulis, mengingat beberapa instansi terkait yang di harapkan menjadi sumber data (informasi) tidak memberikan data yang dibutuhkan dengan berbagai alasan. Beberapa instansi atau lembaga pemerintah banyak berdiri setelah tahun 2000-an, sehingga tidak memiliki data yang di butuhkan. Terdapat juga sejumlah Dinas Pertanian tidak memiliki data tahun kajian penulis karena tidak proses pengarsipan yang tidak baik. Untuk menutupi kekurangan tersebut penulis berusaha memperoleh data dari kajian ilmiah yang tertulis maupun laporan Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Sumber data lain yakni dokumen-dokumen pemerintah mengenai kebijakan beras, maupun dokumen pemerintah daerah dan pusat yang memiliki keterkaitan dengan kajian. Sumber lain diperoleh dengan studi kepustakaan seperti laporan penelitian, buku-buku, arsip dan dokumen data Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Urusan Logistik (BULOG) Sumatera Utara. 2. Kritik. Tahap ini berguna untuk mengetahui autentiknya sumber data yang telah terkumpul, karena masalah pemalsuan dokumen secara keseluruhan atau sebagaian merupakan suatu hal yang biasa—sehingga sejarawan harus cermat dan senantiasa waspada terhadapnya. Namun dalam penelitian ini penulis tidak terlalu 12 . Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. (Terj. Nugroho Notosusanto). (Jakarta: UI Press. 2006), hlm.39 15 melakukan kritik sumber, terutama kritik ekstern di karenakan penulis tidak banyak menggunakan sumber resmi dari instansi baik pemerintah maupun yang lainnya. 3. Interpretasi. Tahap ini dilakukan penafsiran dengan menganalisa dan menguraikan dari data fakta-fakta yang memiliki arti. Disini penulis berusaha untuk merangkai setiap fakta secara kronologis. Adapun penulis menggunakan metode time series yang untuk membantu menganalisis data tunggal secara kronologis seperti laju angka (linear trend), laju pertumbuhan (rate ot growth), serta menghitung perbedaan data. 13 4. Historiografi. Adalah tahap akhir dalam proses kegiatan penelitian ini. Dengan menghimpun data dan fakta yang terkumpul kemudian dilakukan penulisan secara kronologis dan rasional. 13 Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2003) hlm.232 16