bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar umat manusia. Pangan memiliki peran
sentral dalam kehidupan manusia, karena tanpa ada pangan tidak akan ada peradaban.
Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk mendapatkan pangan (makananan)
yang cukup untuk bisa bertahan hidup. Masalah pangan bukanlah sebuah perkara
ketersediaan
atau
kemampuan
membeli
pangan,
melainkan
bagaimana
keberlanjutannya memenuhi kebutuhan utama manusia. Adalah tanggung-jawab
negara untuk menjamin ketersediaan makanan yang cukup bagi warga negaranya
sendiri—sebagai bentuk intervensi dalam menjaga kedaulatan dan ketahanan pangan
nasional. Di awal kemerdekaan, Indonesia telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan
pangan dengan membuat program kegiatan dalam rangka mencapai swasembada
pangan. 1
Menurut Dwidjono Hadi Darwanto, salah satu upaya pemerintah dalam
melakukan politik pangan di Indonesia adalah dengan mencanangkan swasembada
pangan yang menjadi dasar untuk mencapai kemandirian pangan atau kondisi
1
Tribowo Yuwono, dkk. Pembangunan Pertanian: Membangun Kedaulatan Pangan.
(Yogyakarta: UGM Press, 2011), hlm. 56
1
pemenuhan kebutuhan pangan tanpa tergantung dari negara lain sehingga dapat
tercipta kemandirian bangsa. 2
Adapun dasar pemilihan swasebada pangan menitikberatkan pada beras
disebabkan beras merupakan sumber makanan utama sebagian besar masyarakat
Indonesia bahkan Asia Pasifik pada umumnya—mengkonsumsi beras sebagai
kebutuhan pokoknya. Beras sebagai kebutuhan dasar membuat posisinya sangat
srategis memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan kestabilan politik nasional 3.
Oleh karena masalah beras tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat desa
melainkan seluruh golongan dan kaum mengalami dampak jika terjadi masalah
kelangkaan beras. Pengalaman akan betapa riskannya posisi beras ketika terjadi krisis
pangan tahun 1965 dan 1997 dengan tingginya harga pangan menyebabkan
keguncangan nasional yang di awali dari krisis ekonomi hingga krisis politik yang
kemudian menyebabkan runtuhnya kekuasaan rezim saat itu.
Indonesia memiliki masalah yang sangat besar untuk dapat menjamin bagi
seluruh masyarakat akan tersedianya beras. Tentunya bukanlah hal yang mudah bagi
pemerintah untuk memikirkan usaha tersebut. Masalah krisis beras bukan hanya
terjadi akhir-akhir ini—melainkan sejak masa kolonial beras menjadi perhatian
tersendiri sehingga pemerintah kolonial membuat UU pertanahan di Jawa. Peraturan
2
Ibid.
Achmad Suryana & Sudia Mardianto (peny). Bunga Rampai Ekonomi Beras. (Jakarta:
LPEM-FEUI, 2001), hlm. xix
3
2
ini sendiri merupakan strategi pemerintah Kolonial dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat Jawa.
Semasa pemerintahan Jepang hal yang sama juga dilakukan dengan
mengintervensi beras dari hulu hingga hilir. Kebijakan ini tentunya berdampak pada
stabilitas sosial dan politik dengan menjamin kebutuhan pangan masyarakat
Indonesia, selain menjamin kebutuhan pangan bagi pihak militer. Meskipun pada
awal kemerdekaan, kebutuhan pangan sedikit tertutupi dengan berbagai masalah
bangsa seputar isu-isu gejolak awal pemerintahan, revolusi, pemberontakan, maupun
perubahan kabinet hingga perubahan bentuk pemerintahan, sehingga usaha pangan
hampir selalu terabaikan oleh pemerintah. Tahun 1945 penurunan produksi padi di
Jawa sekitar 20% akibat kekeringan yang cukup parah yang menyebabkan gagal
panen dalam areal luas. Pemerintah kemudian meluncurkan Rencana Darurat
Ekonomi, yang dinamakan “Rencana Kesejahteraan Khusus untuk Pertanian dan
Perikanan Rakyat”, yang tujuan utamanya adalah memperbaiki budidaya padi. Ini
merupakan kebijakan pertama Pemerintah Indonesia mengatasi masalah pangan
nasional.
Semasa periode Orde lama berlangsung, masalah krisis beras menjadi
masalah yang tidak pernah larut dari liputan. Ketidakstabilan kondisi pangan turut
memperkeruh situasi dalam negeri dan dijadikan sebagai cambuk untuk
mendiskreditkan kebijakan pemerintah. Buruknya kondisi dan situasi politik
Indonesia di mata dunia saat itu, menyebabkan jaminan-jaminan politik kurang
3
berarti. Akibatnya, Indonesia gagal mendapatkan jumlah import beras lebih besar
(dari rencana semula), menyebabkan kelangkaan di pasaran serta harga beras kian tak
terkendalikan. Puncak krisis pangan terjadi pada awal tahun 1965, di mana kenaikan
harga beras secara drastis di Indonesia yang mencapai 650% (hyper-inflasi) 4. Gejala
pangan (ekonomi) berubah menjadi menjadi gejolak sosial merembet kepada gejolak
politik dengan runtuhnya Orde Lama.
Ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan atas negeri ini dari peninggalan
Orde Lama mengalami berbagai ketidakstabilan ekonomi dan politik. Dengan
demikian pokok-pokok kebijakan dan rehabilitasi ekonomi yang dituangkan dalam
instruksi Presidium Kabinet Ampera. Adapun tujuan pokoknya adalah memperbaiki
kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, terutama di bidang pangan dan
sandang.
Masalah harga beras sering menjadi polemik akibat harga yang tinggi
maupun kelangkaan beras di pasaran. Hampir sepanjang tahun ketersediaan beras
menjadi isu yang hangat dibicarakan karena sering menjadi perbandingan dan
mempengaruhi harga barang-barang komoditas lain. Itulah yang menyebabkan maka
ekonomi Indonesia seringkali disebut sebagai “ekonomi beras”. 5
4
Fachry Ali, dkk. Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: Sebuah Biografi Bustanil Arifin 70
Tahun. (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 114-115
5
Arifin Hutabarat. Usaha-usaha Mengatasi Krisis Beras. (Jakarta: LPKP, 1974), hlm. 21
4
Masalah beras sebagai bahan pangan merupakan usaha pemenuhan kebutuhan
pokok hidup manusia yang berhubungan dengan karbohidrat dan kalori. Beras
memenuhi 2/3 dari kebutuhan kalori yang dibutuhkan. Inilah yang membuat beras
merupakan komponen terpenting. Hubungan pangan dan manusia cenderung
berkorelasi positif. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan
pangan juga meningkat. Oleh karena itu di samping usaha peningkatan produksi beras
perlu dipikirkan kembali penyediaan pangan lain yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumen. 6
Beras juga menjadi pendorong utama laju inflasi, karena bahan makanan
pokok ini menjadi “komoditi” untuk menciptakan kestabilan sosial dan ekonomi dan
sering dijadikan acuan terhadap komoditi lain di samping telah menjadi sebuah
ketergantungan yang erat bagi masyarakat. Hal ini berkaca pada krisis-krisis politik
yang berlangsung sepanjang Orde Lama dimana inflasi banyak disumbangkan oleh
masalah kelangkaan beras .
Karena
rentannya
komoditi
beras
terhadap
gejolak
politik
yang
mempengaruhi kestabilan nasional, maka, intervensi pemerintah terhadap mekanisme
pasar beras adalah suatu keniscayaan, karena komoditi ini berhubungan langsung
dengan kepentingan publik serta kehidupan sehari-hari dan karenanya menguasai
hajat hidup orang banyak 7. Oleh karena itu pada tahun 1966 pemerintahan pusat
menetapkan empat daerah sebagai provinsi utama bimbingan massa (Bimas) dan
6
7
Widya, Karya Nasional Pangan Dan Gizi. Jilid 2. (LIPI. 1979), hlm.142
Fachry Ali, dkk., op.cit., hlm. 100
5
intensifikasi massa (Inmas) yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah Jawa Timur, Sumatera
Utara dan Sulawesi Selatan. Program Bimas dan yang di galakkan pemerintah ini
merupakan kelanjutan dari usaha-usaha pemerintah sebelumnya dalam meningkatkan
produksi dan pendapatan usaha tani. Program Bimas ini menyediakan suatu paket
yang terdiri dari penyediaan bibit unggul, pupuk subsidi, pestisisida, penyuluhan
pertanian, stabilitas harga pangan dan perbaikan irigasi 8. Namun adakah program
tersebut terlaksana dengan baik? Seberapa jauh program tersebut membawa
perubahan bagi bangsa umumnya dan petani khususnya? Bagaimana sinergi usaha
yang dilakukan oleh pemerintah dengan petani dalam menangani masalah beras?
Tentu pertanyaan yang menarik adalah, bagaimana pelaksanaan di setiap daerah
terhadap program unggulan pemerintah terutama di Sumatera Utara yang dijadikan
salah satu provinsi pengembangan Bimas/Inmas?
Upaya peningkatan produksi pangan selama Pelita I dan II bertumpu pada
usaha menaikkan produksi padi. Padi sebagai sumber karbohidrat nabati utama yakni
52,1% jumlah karbohidrat diperoleh dari beras, 9,8% dari jagung dan 17,4% dari
umbi-umbian. 9 Meskipun pangan nasional memiliki beragam alternatif sebagai
pengganti beras, seperti jagung, umbi-umbian dan lain-lain namun preferensi
masyarakat ada pada beras sehingga kepadanya diberikan kedudukan yang strategis
dalam perekonomian kita. Sebagian besar penduduk tahun 1970 berada di pedesaan,
8
Faisal kasryno (penyunting). Prospek Pembangunan ekonomi Pedesaan Indonesia. (Jakarta:
YOI,1984), hlm.131
9
Widya, op.cit., hlm. 143
6
sekitar 35% belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya atau berada di bawah
garis kemiskinan. 10
Beras telah menjadi kisah sukses pembangunan pertanian Indonesia melalui
sebuah paket besar kebijakan yang di ambil. Menurut Jan Luiten setidaknya terdapat
beberapa hal penting atas keberhasilan pemerintah Orde Baru, seperti, melakukan
stabilisasi ekonomi dengan menempatkan pertanian sebagaimana fungsinya setelah
terpuruk akibat kekacauan pertengahan 1960-an. Keseriusan pemerintah juga terlihat
dengan
melakukan
investasi
secara
besar-besaran
di
sektor
ini
dengan
mempromosikan sejumlah terobosan paket dan proyek mendorong produktivitas padi.
Pada tahun 1979 Indonesia merupakan negara dengan pengimpor beras terbesar di
dunia, namun enam tahun kemudian tepatnya pada tahun 1985 negeri ini berhasil
mencapai swasembada beras.
11
Hal ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa
mengingat negara-negara pengekspor minyak lainnya menunjukkan pertumbuhan
pertanian yang mengalami puncaknya pada tahun 1978-81 di mana output
pertanian—khususnya beras mengalami peningkatan luar biasa sebesar 6,1 %.
Sumatera Utara menjadi bagian strategi nasional dalam usaha mencapai
swasembada pangan yang dicanangkan oleh Orde Baru. Penetapan ini juga tidak
terlepas akan kondisi geografis yang sangat strategis serta jumlah penduduk yang
mayoritas sebagai petani. Krisis beras pada tahun 1967 menjadi titik pijak bagi para
10
Ibid., hlm. 242
Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2000: Antara Drama
dan Keajaiban Pertumbuhan. (Jakarta: Kompas, 2012), hlm. 381
11
7
perumus kebijakan bahwa program penyediaan beras memegang peranan utama
dalam kebijakan stabilitas nasional secara kolektif.
Perkembangan produksi pertanian terutama tanaman pangan di Sumatera
Utara selama pelaksanaan Pelita terus mengalami peningkatan sejak tahun 19691972. Namun periode selanjutnya mengalami fluktuasi produksi. Faktor pendorong
kenaikan produksi tanaman pangan adalah meluasnya program Bimas dan Inmas di
Sumatera Utara terhadap tanaman pangan terutama padi melalui pelaksanaan
ekstensifikasi, intensifikasi serta memperkenalkan teknologi baru. Adapun sentrasentra utama produksi padi terdapat di beberapa Kabupaten seperti: Simalungun,
Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Deli Serdang dll. Pengembangkan areal Bimas
dan Inmas di Sumatera Utara juga terus mengalami peningkatan sejak 1969 walaupun
pada tahun 1974-1976 mengalami penurunan. Demikian juga perkembangan
perluasan pengairan sawah mengalami peningkatan terus-menerus.
Inilah topik yang menjadi daya tarik bagi penulis. Bagaimana Sumatera Utara
dalam hal ini sebagai lumbung padi nasional berperan dalam menjaga kestabilan
bahan pangan untuk menjamin ketersediaan makanan yang cukup secara nasional.
Kajian tentang masalah pangan atau pertanian telah banyak dilakukan mulai sejak
masa kerajaan agraris seperti zaman Majapahit hingga ke masa kolonial. Hampir
semua penelitian tersebut masih memusatkan kajiannya seputar pulau Jawa-MaduraBali. Hingga era Post Kolonial sekalipun masih berpusat ketiga pulau tadi. Hal itu
bisa di pahami, sedikitnya sumber informasi menyulutkan para peneliti untuk keluar
8
dari zona nyamannya. Inilah sebuah kontemplasi, bagaimana kita melihat daerah
berdasarkan kacamata lokal. Di era reformasi telah muncul keberanian untuk
mengangkat peristiwa secara lokal, namun tidak jarang sudut pandangnya dari pulau
Jawa.
Adapun pemilihan periode Orde Baru menjadi kajian penulis yaitu antara
tahun 1969 sampai 1997 (28 tahun)
untuk melihat pergerakan dan perubahan
kebijakan pangan yang berdampak bagi Sumatera Utara maupun nasional. Periode ini
cukup unik bagi penulis mengingat pada masa 1969 merupakan tahun awal kebijakan
Orde Baru membuat program Repelita I hingga Repelita VI pada tahun 1997.
Dalam usaha tersebut pemerintah berhasil menyusun strategi dalam
pengendalian pangan serta meningkatkan produksi secara nasional. Hingga pada
repelita ketiga, Indonesia berhasil dalam swasembada pangan (beras khususnya).
Program peningkatan produksi padi di Indonesia merupakan bagian dari “Revolusi
Hijau” atau “Green Revolution” yang dilakukan di beberapa negara produsen padi di
Asia. Untuk menghindari perbedaan konsep yang membingungkan antara konsep
Bimas (Bimbingan Massal) dengan Revolusi Hijau, penulis lebih memilih
menggunakan Bimas/Inmas karena lebih populer bagi kalangan masyarakat umum.
Inilah yang menjadi alasan penulis dalam usaha untuk merekontruksi kembali
Sumatera Utara sebagai sumber lumbung pangan (beras) nasional dalam usaha untuk
menjaga ketahanan pangan dan kestabilan politik-ekonomi nasional tentunya.
Sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan penelitian yang sama dalam
9
periode yang sama menggunakan metodologi sejarah ataupun ilmu sosial lain.
Sehingga penelitian rintisan ini dapat menjadi stimulasi bagi peneliti selanjutnya
dalam cakupan yang lebih spesifik. Diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat kita
lihat peran Sumatera Utara dalam sumbangsih pemenuhan kebutuhan pangan dalam
menjaga ketahanan pangan nasional. Indonesia yang hampir setiap tahun terusmenerus mengimpor beras pada masa Orde Lama, kini berhasil swasembada pangan
semasa Orde Baru adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah nasional sebagai
salah satu dari sekian negara berkembang yang berhasil mencapai hal itu.
Masalah yang di alami penulis melakukan penelitian tersebut adalah
mendapatkan kajian yang obyektif dari penelitian ini. Tantangan terbesar adalah sikap
kritis terhadap setiap data yang dikeluarkan oleh instansi resmi pemerintah perihal
kevalidan data, mengingat masa Orde Baru yang begitu populer dengan laporan “asal
Bapak senang” (ABS). Artinya sangat mudah bagi bawahan memberikan laporan
fiktif, tujuannya supaya pihak atasan senang mendengarkan laporan yang baik untuk
di dengar dari bawahannya. Inilah tantangan yang sangat sulit, mengingat tidak
adanya data pembanding, baik dari laporan media cetak maupun laporan instansi
sering pararel dengan data yang dikeluarkan Pemerintah.
Seperti telah di jelaskan di atas bahwa tahun 1984-1985 Indonesia mencapai
swasembada beras yang mengantarkan presiden Soeharto memperoleh perhargaan
dari FAO atas keberhasilan tersebut. Namun mengapa di tahun selanjutnya Indonesia
tidak pernah lagi mencapai swasembada? Bukankah pantas kita mencurigai apakah
10
laporan pemerintah daerah ke tangan pemerintah pusat benar-benar demikian adanya?
Atau hanya laporan
“asal Bapak senang”? Penulis sendiri berusaha keluar dari
paradigma “kesuksesan pembangunan Orde Baru” dalam mencapai swamsembada
pangan yang berhasil mengukir sejarah baru.
Fokus penelitian ini melihat kiprah Orde Baru dalam membangun ketahanan
pangan nasional melalui kebijakan pangan dengan swasembada pangan dari sudut
pencapaian daerah Sumatera Utara dengan memperhatikan pola pembangunan Topdown. Batasan tahun kajian ini di akhiri pada tahun 1997 ketika terjadi krisis ekonomi
menjadi krisis politik maupun gejolak nasional secara kolektif membuat pemerintah
Orde Baru runtuh.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kita identifikasikan beberapa
masalah utama yang di rumuskan menjadi beberapa poin penting yaitu:
1. Bagaimana pertanian dan produksi pangan di Sumatera Utara sebelum tahun
1969
2. Apa upaya peningkatan produksi pangan di Sumatera Utara tahun 1969-1997
3. Bagaimana kondisi pangan (beras) di Sumatera Utara tahun 1969-1997
1.3
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
11
Adapun tujuan penelitian yang di maksudkan adalah sasaran yang akan
dicapai mengacu pada rumusan masalah di atas. Maka diharapkan terdapat beberapa
poin sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertanian dan produksi pangan di Sumatera Utara sebelum
tahun 1969.
2. Untuk mengetahui upaya peningkatan produksi pangan di Sumatera Utara
dalam usaha menjaga ketahanan pangan.
3. Untuk mengetahui kondisi pangan (beras) di Sumatera Utara pada tahun
1969-1997
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pengetahuan
dalam kajian ekonomi beras di Sumatera Utara khususnya maupun secara
nasional umumnya, dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya
dalam kajian yang sama.
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan bagi pembuatan kebijakan dalam
menangani masalah kebutuhan pangan di masa yang akan datang dengan
melihat kondisi pangan masa orde baru sehingga masalah kebutuhan pangan
dapat diatasi.
1.4
Tinjauan Pustaka.
12
Dalam melakukan penelitian tentang beras di Sumatera Utara pada masa Orde
Baru terdapat sejumlah buku referensi yang penting untuk menjadi sumber data
sekunder dalam penulisan. Sebuah buku biografi Bustamil Arifin: Beras, Koperasi
dan Politik Orde Baru oleh Fachry Ali, dkk Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. 1996. Di
dalam buku tersebut menjelaskan data sumber yang baik bagi penelitian ini
khususnya peralihan Kolognas ke Bulog serta peran Koperasi dalam usaha mengatasi
probelm beras awal Orde Baru. Tidak melupakan juga di dalam buku biografi ini,
terdapat sejumlah tulisan atau essay dari pengamat ekonomi khusus membahas
seputar masalah utama pangan dan kebijakannya di masa Orde Baru.
Buku selanjutnya yang dijadikan sebagai bahan referensi adalah karya Arifin
Hutabarat. Usaha Mengatasi Krisis Beras. Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers.
Jakarta 1974. Buku ini merupakan sebuah seri berita dan pendapat. Sehingga banyak
merekam keadaan sosial politik maupun kebijakan seputar krisis beras
dengan
menghimpun bahan dari sejumlah dokumentasi surat kabar.
Adapun sumber referensi selanjutnya adalah Repelita III Pertanian
dikeluarkan oleh Departemen Pertanian RI pada tahun 1979. Buku ini cukup kaya
akan data seputar keberhasilan Repelita III dalam swasembada pangan serta strategi
dan kebijakan yang ditempuh. Buku yang sama seperti Bunga Rampai Ekonomi
Beras. LPEM-FEUI,2001 oleh Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional.
Termasuk juga buku Gunawan Sumodinigrat. Menuju Swasembada Pangan: Revolusi
Hijau II. RBI, Jakarta 2001. Buku ini membahas masalah usaha pemerintah dalam
13
rangka mencapai swasembada pangan serta masalah pengembangan pertanian secara
nasional. Buku ini juga menyajikan konsep dan pelaksanaan revolusi hijau yang
pernah diterapkan oleh Indonesia.
Begitu juga dengan buku Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 19691994. Diterbitkan oleh Perhepi tahun 1995. Buku ini sendiri adalah peringatan 25
tahun Perhepi sebagai sebuah organisasi yang mewadahi para peminat ekonomi
pertanian dan para ahli pertanian yang berusaha memberikan pemikiran membahas
masalah ekonomi pertanian indonesia.
Buku Mohtar Mas`oed. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde baru 1966-1971.
Jakarta: LP3ES, adalah buku yang cukup baik menyajikan informasi dari kerangka
berpikir melihat krisis ekonomi dan politik Indonesia masa transisi pemerintahan dari
Orde Lama ke Orde Baru, termasuk juga perubahan tatananan politik baru yang
terus-menerus dipertahankan.
1.5
Metode Penelitian
Untuk merekontruksi kembali peristiwa masa lampau di butuhkan metode
dalam menuliskannya. Metode yang penulis pakai yaitu metode sejarah dengan
merekontruksi secara imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh
melalui proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa
14
lalu, sehingga di dapatkan hasil penelitian yang obyektif 12. Proses rekontruksi melalui
4 tahap melakukan penulisan sejarah, yaitu:
1.
Heuristik. Yang dimaksud disini adalah proses pengumpulan data terkait.
Pengumpulan data selama proses penelitian cukup sulit di rasakan penulis, mengingat
beberapa instansi terkait yang di harapkan menjadi sumber data (informasi) tidak
memberikan data yang dibutuhkan dengan berbagai alasan. Beberapa instansi atau
lembaga pemerintah banyak berdiri setelah tahun 2000-an, sehingga tidak memiliki
data yang di butuhkan. Terdapat juga sejumlah Dinas Pertanian tidak memiliki data
tahun kajian penulis karena tidak proses pengarsipan yang tidak baik. Untuk
menutupi kekurangan tersebut penulis berusaha memperoleh data dari kajian ilmiah
yang tertulis maupun laporan Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Sumber data lain
yakni dokumen-dokumen pemerintah mengenai kebijakan beras, maupun dokumen
pemerintah daerah dan pusat yang memiliki keterkaitan dengan kajian. Sumber lain
diperoleh dengan studi kepustakaan seperti laporan penelitian, buku-buku, arsip dan
dokumen data Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Urusan Logistik (BULOG)
Sumatera Utara.
2.
Kritik. Tahap ini berguna untuk mengetahui autentiknya sumber data yang
telah terkumpul, karena masalah pemalsuan dokumen secara keseluruhan atau
sebagaian merupakan suatu hal yang biasa—sehingga sejarawan harus cermat dan
senantiasa waspada terhadapnya. Namun dalam penelitian ini penulis tidak terlalu
12
. Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. (Terj. Nugroho Notosusanto). (Jakarta: UI Press.
2006), hlm.39
15
melakukan kritik sumber, terutama kritik ekstern di karenakan penulis tidak banyak
menggunakan sumber resmi dari instansi baik pemerintah maupun yang lainnya.
3.
Interpretasi. Tahap ini dilakukan penafsiran dengan
menganalisa dan
menguraikan dari data fakta-fakta yang memiliki arti. Disini penulis berusaha untuk
merangkai setiap fakta secara kronologis. Adapun penulis menggunakan metode time
series yang untuk membantu menganalisis data tunggal secara kronologis seperti laju
angka (linear trend), laju pertumbuhan (rate ot growth), serta menghitung perbedaan
data. 13
4.
Historiografi.
Adalah tahap akhir dalam proses kegiatan penelitian ini.
Dengan menghimpun data dan fakta yang terkumpul kemudian dilakukan penulisan
secara kronologis dan rasional.
13
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. (Tiara Wacana: Yogyakarta, 2003) hlm.232
16
Download