Gempabumi Sumba 12 Februari 2016, Konsekuensi Subduksi Lempeng Indo-Australia di Bawah Busur Sunda Ataukah Busur Banda? Supriyanto Rohadi, Bambang Sunardi, Rasmid Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG [email protected] Gempabumi mengguncang Sumba, pada tanggal 12 Februari 2016 pukul 17:02:24 WIB, dengan posisi hiposenter pada 9,770 LS; 119,340 BT, magnitudo 6,6 SR dan kedalaman 10 km. Getaran gempabumi ini dirasakan cukup kuat di beberapa kota seperti Bima (III-IV MMI), Denpasar (II-III MMI), Mataram (III MMI) dan Waingapu (IV-V MMI). Analisis kontrol kualitas (QC) oleh ahli seismologi Pusat Gempabumi Nasional memperbaharui hasil penentuan parameter gempabumi sebelumnya, yaitu dengan posisi hiposenter 9,86 0 LS, 119,320 BT, kedalaman 54 km dan magnitudo 6,2 Mw. Analisis QC dilakukan dengan pembacaan waktu tiba secara manual, sehingga meningkatkan akurasi pembacaan sinyal dan mempertimbangkan aspek tektonik wilayah tersebut. Peranan ahli seismologi pada saat QC sangat penting untuk mendapatkan hasil parameter gempabumi yang akurat dan reliable. Gempabumi yang terjadi di wilayah Sumba ini, merupakan hasil dinamika lempeng tektonik di wilayah tersebut. Kegempaan di wilayah Sumba kemungkinan merupakan konsekuensi subduksi pada batas konvergensi busur Sunda, mungkin juga pada busur Banda, atau pada batas kedua busur tersebut. Batas konvergen tektonik aktif ini adalah hasil subduksi lempeng Indo-Australia yang menunjam di bawah lempeng Sunda yang merupakan bagian dari lempeng Eurasia. Pergerakan lempeng Indo-Australia (Gambar 1) memiliki kecepatan yang berbeda-beda, misalnya adalah 63 mm/tahun di zona selatan selat Sunda, 67 mm/tahun di zona selatan Jawa dan 70 mm/tahun di zona selatan Bali (Simons dkk., 2007). Gempabumi Sumba pada tanggal 12 Februari 2016 ini tergolong gempabumi kuat, namun menariknya tidak ada laporan kerusakan berat di sekitar wilayah yang terguncang gempabumi ini (BNPB). Oleh karena itu diperlukan pengolahan dan analisis dari data lebih lanjut untuk menjawab mengapa dampak gempabumi ini tidak signifikan. Gambar 1. Arah subduksi lempeng pada busur Sunda di selatan Jawa dan Bali, serta plot episenter gempabumi Sumba 12 Februari 2016. Berdasarkan hasil QC kedalaman gempabumi ini adalah 54 km atau berada pada zona Benioff, jarak yang relatif cukup panjang untuk penjalaran gelombang gempabumi. Oleh karena itu, gempabumi pada kedalaman tersebut memungkinkan untuk terjadi atenuasi (pelemahan atau peredaman) gelombang menuju permukaan. Apabila atenuasi gelombang memang dominan terjadi, maka getaran gempabumi ini wajar bila tidak menimbulkan kerusakan yang berarti di wilayah sekitar episenter. Disamping kedalaman, kondisi geologi setempat baik struktur ataupun jenis batuan berperan terhadap atenuasi penjalaran gelombang menuju permukaan. Struktur geologi dengan geometri tertentu memungkinkan untuk dapat menyebabkan superposisi gelombang gempabumi yang tidak kontruktif sehingga justru mendukung terjadinya atenuasi. Struktur geologi yang tidak kompak juga berkontribusi terhadap atenuasi gelombang gempabumi. Selain itu, pola radiasi gelombang juga sangat berpengaruh terhadap besarnya getaran gempabumi yang tiba di suatu wilayah. Pola radiasi gempabumi Sumba kemungkinan tidak dominan pada arah vertikal terhadap sumber, namun spekulasi ini tentu butuh penelitian lebih lanjut. Tingkat kerusakan akibat gempabumi tidak semata-mata dikarenakan besarnya gempabumi, namun juga dipengaruhi oleh kualitas bangunan di suatu wilayah. Gambar 2. Plot kegempaan dan mekanisme sumber gempabumi Sumba 12 Februari 2016. Analisis mekanisme sumber gempabumi yang dilakukan oleh Puslitbang BMKG menggunakan data rekaman jaringan seismograf BMKG, menunjukkan bahwa mekanisme sumber gempabumi Sumba tersebut adalah patahan naik (thrusting) sedikit oblique (Gambar 2), sedangkan hasil analisis USGS mekanismenya adalah murni patahan naik. Apabila gempabumi ini memiliki mekanisme murni patahan naik, maka mengindikasikan bahwa gempabumi ini merupakan konsekuensi subduksi lempeng Indo-Ausralia dibawah lempeng Sunda (bagian dari lempeng Eurasia) pada busur Sunda. Namun bila mekanisme fokal adalah naik dengan kombinasi sedikit oblique, maka mengindikasikan patahan terjadi pada zona transisi busur Sunda dan busur Banda. Patahan naik dengan kombinasi sedikit oblique secara tektonik dapat dipahami terjadi di wilayah ini karena merupakan tektonik zona perbatasan busur kegempaan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya mekanisme sumber gepabumi ini, karena berperan penting terkait usaha mitigasi bencana gempabumi di wilayah ini. Pendapat lama namun menarik yang berasal dari ahli geologi bernama Chamalaun (1982) menyatakan bahwa pulau Sumba tidak menunjukkan fitur tektonik subduksi dari sistem busur Sunda ataupun tumbukan tektonik sistem busur Banda, namun pulau Sumba merupakan batas dua busur tersebut. Pulau Sumba diduga adalah fragmen benua Australia menuju ke arah selatan atau bisa jadi fragmen Sundaland menuju ke arah utara, yang terperangkap di belakang bagian timur palung Jawa. Data tidak secara meyakinkan mendukung salah satu hipotesis tersebut, tetapi cenderung mendukung pulau Sumba berasal dari fragmen benua Australia. Gempabumi merupakan hasil dinamika lempeng sebagai konsekuensi aktivitas yang terjadi di dalam bumi. Ahli seismologi berpendapat bahwa beberapa mekanisme pengontrol terjadinya gempabumi, diantaranya adalah konveksi mantel (mantle convection), gaya dorong punggung samudera (ridge push) dan gaya tarikan lempeng (slab pull). Konveksi mantel merupakan sirkulasi fluida di dalam bumi akibat distribusi panas bumi yang tidak merata. Panas di dalam bumi dihasilkan oleh peluruhan unsur radioaktif, seperti uranium yang ditemukan pada kerak dan mantel bumi. Ridge push atau gaya dorong punggung samudera, gaya ini terbentuk akibat magma leleh yang sangat panas keluar dari punggung di tengah samudera. Astenosfer dan litosfer di punggungan samudera yang terpanaskan akan mengembang dan terangkat. Pengangkatan ini menghasilkan suatu kemiringan (lereng) menjauhi punggung samudera. Batuan yang terbentuk dari magma tersebut pada awalnya adalah sangat panas, kurang padat dan lebih bersifat mengapung daripada batuan yang berada jauh dari punggung samudera. Batuan dari magma tersebut lama kelamaan mendingin dan menjadi padat. Selanjutnya, gaya gravitasi menyebabkan batuan yang telah memadat tersebut menggelincir dari punggung samudera. Siklus keluarnya magma leleh terjadi secara kontinyu menyebabkan terbentuk batuan yang lebih dingin dan padat, selanjutnya membentuk litosfer baru. Pemekaran pada batas lempeng ini diduga menimbulkan gaya dorong yang mengendalikan pergerakan lempeng itu sendiri. Gaya yang ditimbulkan ini disebut gaya dorong punggung samudera atau disebut gaya gelincir gravitasi (gravitational sliding). Selain konveksi mantel dan gaya dorong punggung samudera, mekanisme lain yang menjadi pengontrol pergerakan lempeng adalah gaya tarik lempeng. Mekanisme ini terjadi pada batas subduksi ketika lempeng samudera yang relatif lebih tua, padat, dan dingin menunjam ke astenosfer. Bagian ujung lempeng yang menunjam ini jauh lebih dingin dan lebih berat daripada mantel sehingga lempeng tersebut terus menunjam, dan menarik bagian lempeng yang belum menunjam. Gaya tarik yang bekerja pada bagian lempeng yang belum menunjam ini disebut gaya tarik lempeng atau slab pull. Gambar 3. Irisan vertikal kegempaan di wilayah Sumba. Pada Gambar 3 ditunjukkan proyeksi distribusi vertikal kegempaan di bawah pulau Sumba, Gambar 3 (kiri) adalah bagian barat atau busur Sunda dimana mengindikasikan pola subduksi dengan jelas. Gambar 3 (kanan) adalah di bagian timur yaitu zona transisi atau mungkin busur Banda dimana kurang menunjukan pola subsuksi dengan jelas dibandingkan di bagian barat. Menurut Whitney dan Hengesh (2015), di bagian barat dari pulau Sumba (~120 º BT), kerak samudera lempeng Australia telah seluruhnya mengalami subduksi di bawah lempeng Eurasia di palung Jawa (Java trench). Di zona ini kerak samudera lempeng Indo-Australia mengalami subduksi dibawah paparan Sunda dan busur kepulauan, karena aktifnya mekanisme proses tarikan lempeng (slab pull) yang kemungkinan terjadi di muka palung zona subduksi (Schellart, 2004). Gempabumi Sumba ini kadang disebut gempabumi zona subduksi Benioff style (Balley, 1983) atau subduksi dengan kegempaan bersumber pada zona Benioff, subduksi model ini dapat dibuktikan dari distribusi kegempaan pada zona tersebut (Hengesh and Whitney, 2014).