Studi Perubahan Perilaku Pada Gerakan Sosial

advertisement
VI. PEMBAHASAN
Hasil kegiatan kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing
merupakan rangkaian kegiatan mulai perencanaan dengan mengetahui masalah,
mencari solusi, memetakan kekuatan dan kekurangan hingga pemilihan media.
Hal tersebut bertujuan untuk membangun kapasitas sosial untuk konservasi di
kawasan. Dengan demikian mekanisme pemasaran sosial yang dipakai,
merupakan cara dalam merubah kondisi dengan menganalisa persoalan, hambatan
dan tujuan yang hendak dicapai dengan pelibatan mutlak dari kelompok
masyarakat itu sendiri (Kotler et al 2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku terjadi akibat
pengaruh transaksi sosial dalam perhitungan untung-rugi konservasi sumberdaya
hutan. Umumnya pilihan masyarakat untuk mengambil keputusan merubah
perilaku konservasi sumberdaya hutan saat ini berdasar pemikiran keuntungan
yang akan didapat di masa yang akan datang, meskipun juga memperhitungkan
kemanfaatan yang didapat pada jangka pendek seperti pengembangan pakan
ternak. Nilai penting kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing
didefinisikan sebagai kesadaran bersama dalam bentuk peningkatan kualitas hidup
(value of live) masyarakat apabila melakukan kegiatan konservasi. Peningkatan
tersebut menjadi penting bagi masyarakat di Kawasan Potorono-Gunung
Sumbing, ketika masyarakat paham bahwa kegiatan konservasi yang dilakukan
akan berhasil guna dalam bentuk pengembalian (reward) berupa pengurangan
ancaman bagi kehidupannya seperti kekurangan air, kekurangan bahan pangan
dan kekurangan kayu bakar, termasuk reward berupa peningkatan ekonomi di
masa yang akan datang.
Proses pemikiran masyarakat hingga pengambilan tindakan untuk
perubahan perilaku konservasi juga didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya. Salah satu contohnya adalah masyarakat sangat
mengerti jika tanaman buah tidak mungkin memberikan hasilnya dalam jangka
waktu sesaat, namun apabila tidak segera dilakukan penanaman sekarang maka di
masa akan datang pun tidak akan mendapatkan hasilnya. Begitu juga pemahaman
mengenai penanaman pohon, inovasi budaya merti banyu dan penanaman di
sempadan sungai untuk tujuan konservasi air, tidak mungkin akan memberikan
89
kelimpahan air dalam jangka pendek. Tetapi jika hal tersebut tidak dilakukan
maka sumber air yang ada saat ini tidak mampu mendukung kehidupan
masyarakat di masa yang akan datang. Perubahan pengertian tersebut dapat
berjalan sebagai aspek akibat dari peningkatan pengetahuan dari informasi
konservasi yang di kampanyekan (Figueroa dan Kincaid 2002).
Aksi-aksi konservasi masyarakat yang di catat pada saat wawancara
menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan konservasi dengan kampanye
Pride berpengaruh besar bagi gerakan konservasi. Hal tersebut dapat dilihat dari
aksi yang dilakukan masyarakat memiliki kesamaan bentuk dan tujuan sama yaitu
konservasi sumberdaya hutan. Termasuk dampak kampanye dalam pelembagaan
inisiatif hukum formal tingkat lokal secara partisipatif dalam bentuk peraturan
desa yang berhubungan dengan konservasi sumberdaya hutan yang di fasilitasi
oleh YBL Masta (LSM). Lebih lanjut peraturan tersebut selanjutnya mendorong
masyarakat untuk ikut berperan.
Dari hasil analisa penelitian menunjukkan bahwa perubahan perilaku
konservasi di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing tidak terjadi secara
spontan tetapi melalui proses-proses sosial. Proses perubahan sosial terdiri atas
tingkatan-tingkatan transaksi sosial dan tarik ulur untuk menjadi sebuah
keputusan bersama. Menurut Rothschild (1999) dalam Suroso (2003) proses
marketing sosial menghendaki manajemen perilaku dengan insentif-insentif
penguat atau konsekuensi yang mendukung pertukaran sukarela. Dengan
demikian perubahan sosial di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing merupakan
pilihan bagi suatu kelompok sosial atau masyarakat dengan memperhitungkan
nilai tukar perubahan (value of social change) (Kotler et al 2002).
Proses sosial dimulai dari kesadaran kolektif masyarakat ketika
pengetahuan meningkat. Kesadaran kolektif terbangun hasil dari informasi yang
disebarluaskan, diperbincangkan dan dipikirkan dalam bentuk komunikasi antar
individu atau antar kelompok sosial sejenis. Di tahap ini masyarakat melakukan
transaksi awal tentang penting atau tidak untuk memahami persoalan alih fungsi
pengelolaan lahan hutan, penebangan liar serta reboisasi dan penghijauan di
daerahnya berhubungan dengan kehidupannya. Di tahap tersebut masyarakat
90
memikirkan tentang biaya yang dibutuhkan dan keuntungan yang akan didapat
dari keputusan untuk melakukan kegiatan konservasi.
Selanjutnya setelah didapatkan suatu simpulan, individu atau kelompok
sosial tersebut membandingkan persoalan yang dihadapi dengan yang berada di
tempat lain atau dengan individu atau kelompok sosial yang berbeda. Di dalam
proses tersebut masyarakat melakukan transaksi kedua mengenai nilai keputusan
yang diambil sebelumnya termasuk membandingkan dengan pengalamanpengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Proses selanjutnya
berupa membangun opini, dugaan serta disain yang berhubungan dengan
keputusan perubahan perilaku yang hendak diambil, termasuk membuktikan
informasi-informasi yang diterima dengan kenyataan yang ada. Hingga tahap
transaksi yang terakhir berupa pemakaian atau “konsumsi” perilaku konservasi.
Di dalam tingkatan-tingkatan proses transaksi tersebut, kampanye Pride
berperan sebagai salah satu pemberi masukan lewat berbagai saluran informasi
bagi masyarakat untuk berperilaku konservasi. Hal tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut; ketika masyarakat belum paham mengenai ancaman yang ada,
hasil penelitian dasar kampanye Pride memberikan fakta hasil penelitian bersama
tentang ancaman-ancaman konservasi yang ada. Selanjutnya, ketika masyarakat
mengetahui sumber ancaman bagi hidupnya, kampanye Pride melalui media
saluran informasi seperti Poster, Leaflet dan Kunjungan Sekolah, memberikan
informasi, data dan fakta berhubungan dengan ancaman bagi masyarakat termasuk
dampak atau resiko di masa akan datang. Ketika masyarakat setelah tahu dan
paham mengenai ancaman bagi hidup dan daerahnya menginginkan pengetahuan
mengenai solusi yang sebaiknya diambil, kampanye Pride dengan menyebarkan
buklet konservasi berhubungan dengan solusi masalah termasuk dengan kegiatan
pelatihan dan kegiatan sejenis, menambah pilihan atau opsi bagi masyarakat
dengan informasi yang berisi tentang solusi persoalan. Dengan demikian sangat
penting untuk memberikan informasi yang bersifat fakta nyata bukan dibuat-buat,
maka ketika terjadi perubahan perilaku, perubahan tersebut bukan sebagai akibat
dari paksaan atau bujukan. Dengan demikian perubahan perilaku yang terjadi di
Kawasan Potorono-Gunung Sumbing bersifat sukarela, artinya masyarakat
91
melakukan perubahan perilaku konservasi sebagai kesadaran masing-masing
individu (Kotler et al 2002; Robinson 2001).
Faktor yang paling penting dari membangun kesadaran konservasi
masyarakat adalah proses difusi yang diartikan sebagai perembetan informasi
yang mempengaruhi indera ke banyak orang. Difusi dengan pemberian rangsang
luar perubahan perilaku yang akan berjalan cepat jika didukung oleh fakta empiris
melalui penelitian dasar bersama (participation trough formative research). Hal
ini memperkuat teori Dagron (2001); Salmon dan Christensen (2003); Figuoera
dan Kincaid (2002) dan Kotler et al. (2002) yang menyatakan bahwa kekuatan
dalam perubahan perilaku tergantung dari struktur awal yang direncanakan
berdasar pada fokus persoalan bersama yang hendak diselesaikan. Dengan
demikian proses perubahan perilaku yang merupakan kombinasi dari organisir,
komunikasi dan peningkatan kesadaran dapat berjalan. Young et al.(2007)
menyatakan bahwa sebuah kegiatan kampanye untuk perubahan perilaku tidak
akan berhasil apabila tidak melibatkan perubahan perilaku itu sendiri sebagai
capaian tujuan. Dengan demikian dalam mempengaruhi perubahan perilaku, hal
paling penting adalah memahami kondisi umum kelompok target, tahapan evolusi
kelompok target serta segmen masyarakat yang dapat mendukung dan atau
memperlemah pencapaian tujuan.
Hasil kajian penelitian menyatakan terdapat perubahan fase masyarakat
dari tahap “persiapan” menjadi tahap “aksi”. Hal tersebut dibuktikan dengan
gerakan-gerakan sosial yang terjadi untuk mengatasi ancaman kelangsungan
sumberdaya hutan. Salah satu indikator gerakan sosial yang terjadi adalah
pengorganisiran masyarakat di 8 desa oleh masing-masing lembaga pemerintahan
desa dengan pelibatan stakeholder yang lain untuk menyelenggarakan pekan
penanaman kawasan dan akan dijalankan setiap tahun.
Transaksi sosial di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing dari hasil kajian
penelitian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu; pertama transaksi sosial terjadi
sebagai keinginan akibat pengaruh faktor internal dan eksternal perilaku
masyarakat kawasan. Faktor internal meliputi norma, jangka hidup, mobilitas dan
pengetahuan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi hubungan sosial,
kebijakan eksternal, lingkungan dan teknologi (Pretty dan Ward 2001). Dengan
92
demikian tingkah laku orang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh sistem
sosial yang bekerja termasuk budaya, sehingga pemakaian bahasa untuk
berkomunikasi dan membangun agen perubah perilaku dalam melaksanakan
program harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat target. Seperti teori yang
dikemukakan oleh Foucault, Althauser serta Hindess dan Hirst dalam Macdonell
(2005), yang menyatakan bahwa aktivitas keseharian termasuk cara seseorang
berpikir, bertingkah laku hingga berbicara dan menulis dipengaruhi oleh struktur
kekuasaan dalam masyarakat. Kedua, transaksi sosial terjadi sebagai sebuah
pilihan antara merubah perilaku atau tetap berperilaku seperti sebelumnya.
Pertimbangan pilihan tergantung dari faktor-faktor individu yang meliputi faktor
biologi untuk memelihara kelangsungan hidup dan faktor sosiopsikologis berdasar
pengetahuan dan pengalaman yang telah dijalani (Sarwono 2002). Pilihan-pilihan
dalam perubahan sosial mengandung konsekuensi masing-masing. Seperti halnya
ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah barang maka pilihan
tersebut mengandung konsekuensi tertentu (Kotler et al. 2002). Hal serupa juga
terjadi di kawasan Potorono-Gunung Sumbing yang menunjukkan bahwa
masyarakat ketika merubah perilakunya memiliki banyak konsekuensi termasuk
memerlukan waktu yang lama dan kegiatan tidak bisa dilakukan sendiri.
Konsekuensi tersebut di pilih dengan memperhitungkan insentif jasa lingkungan
seperti air, kelimpahan pangan dan peningkatan penghasilan yang di dapat di
masa mendatang.
Menurut Suwarsono (1991), perubahan perilaku dapat dinyatakan sebagai
motif kelompok sosial atau masyarakat. Setiap pilihan perubahan sosial atau
bahkan menjadi gerakan sosial memiliki latar belakang visi dari kumpulan
individu dalam suatu wilayah. Apabila kelompok sosial atau masyarakat tidak
berada dalam cekaman ancaman yang langsung berhubungan dengan hidupnya
maka tidak akan terjadi pengembangan visi. Sehingga tidak terjadi dorongan
keinginan untuk berubah, meskipun terjadi intervensi oleh pihak luar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dengan
karakter laggart dapat berubah apabila ditekan dengan kebijakan seperti yang
terjadi di Desa Sukomakmur. Kebijakan yang dijalankan di Desa Sukomakmur
berkaitan dengan konservasi merupakan hasil kegiatan pemberdayaan untuk
93
inisiatif kebijakan lokal oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu
YBL MastA. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan sebagai strategi untuk
membangun dasar hukum kehutanan ditingkat lokal masyarakat oleh pemerintah
desa. Dari kegiatan tersebut dihasilkan peraturan desa tentang lingkungan hidup
yang sesuai dengan norma, kondisi serta keinginan masyarakat setempat. Hal
tersebut menunjukkan bahwa karakter seseorang atau sekelompok orang dapat
berubah akibat tekanan lingkungan serta sistem yang berjalan atau mengatur
(Sorjani 1985; Suseno 1999).
Studi perubahan perilaku di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing
memberikan gambaran tentang penggabungan keinginan untuk melawan atau
merubah cekaman berbentuk ancaman konservasi. Penggabungan keinginan
tersebut selanjutnya menjadi motivasi untuk mengorganisir diri baik secara
kelompok maupun antar kelompok massa untuk melakukan aksi konservasi.
Seperti diungkapkan oleh Papa et al. (2006) organisir dalam kelompok terjadi
ketika terjadi suatu persamaan, baik disebabkan oleh permasalahan atau ancaman,
kepentingan, tujuan ataupun ekonomi. Dalam hal ini usaha perbaikan manajemen
kelola hutan rakyat yang dilakukan masyarakat, dianggap mampu memberi
kontribusi pada peningkatan ekonomi (Awang et al. 2002). Usaha perbaikan
kelola hutan rakyat tersebut tidak secara individu terjadi, disebabkan informasi
yang diterima memiliki kapasitas yang sama. Ketika terjadi sebuah aksi bersama
dengan visi yang sama dalam sebuah kewilayahan maka hal tersebut membentuk
sebuah gerakan sosial. Konsekuensi sebuah gerakan sosial terutama dicirikan aksi
yang lebih kuat dibanding orasi (Borum dan Tilby 2005).
Dalam mengatasi ancaman di kawasan hutan, masing-masing individu
merasa lemah. Ketika terjadi intervensi oleh pihak luar maka terjadi pergolakan
antar individu yang mewakili proses komunikasi interpersonal. Keputusan untuk
merubah perilaku dari tiap individu sangat mempengaruhi terjadinya gerakan
sosial. Papa et al. (2006) menyatakan tentang komunikasi interpersonal yang
dilakukan semua orang hampir setiap hari hingga terjadi proses pengorganisasian
baik dalam skala kelompok kecil maupun kelompok massa yang besar. Proses
pengorganisasian sendiri didorong oleh keinginan untuk mencapai sebuah tujuan
yang sama (Suporaharjo 2005; Suryo 2001). Gerakan sosial yang merupakan hasil
94
dari komunikasi interpersonal melalui saluran-saluran media konservasi, menjadi
penghubung peningkatan pengetahuan, membangun kenyamanan pemikiran,
mendorong perubahan norma sosial dan merubah perilaku menjadi peduli
lingkungan. Begitu juga kasus gerakan sosial konservasi yang terjadi di Kawasan
Potorono-Gunung Sumbing. Masyarakat menjalankan gerakan konservasi sebagai
pengaruh dari kerelaan merubah perilaku sadar konservasi sebagai kebutuhan
yang harus dilakukan.
Hasil pengamatan studi menunjukkan, gejala gerakan sosial konservasi di
Kawasan Potorono-Gunung Sumbing diakibatkan oleh informasi konservasi yang
di terima secara terus menerus oleh masyarakat lewat berbagai macam saluran
informasi kampanye Pride. Dinyatakan oleh Kotler et al. (2002) saluran media
merupakan salah satu persyaratan dalam jaminan untuk merubah persepsi atau
pandangan orang tentang sesuatu hal. Hal ini juga didukung oleh teori Gladwell et
al. (2002) yang menyatakan bahwa informasi mengenai solusi permasalahan
kehidupan yang sedang dihadapi, akan membangkitkan kebutuhan untuk
menyelesaikan. Lebih lanjut Gladwell menyatakan, gerakan sosial di dalam
sebuah kelompok sosial atau masyarakat terjadi sebagai bentuk reaksi massa
akibat informasi yang diterima dan merembet ke seluruh komunitas.
Perembetan informasi dalam komunitas atau komunikasi interpersonal,
sangat penting artinya sebagai sebuah proses saling mempengaruhi, membangun
partisipasi bahkan menjadi norma sosial masyarakat. Komunikasi dalam
perubahan sosial mutlak diperlukan sebagai bagian perubahan sosial. Komunikasi
interpersonal dapat diaplikasikan dalam bentuk entertainment dan edukasi ataupun
lewat penyampaian verbal. Dengan demikian perubahan perilaku merupakan
pengaruh dari informasi yang disampaikan secara terus-menerus dari berbagai
jalan, baik lewat visi, verbal, pendengaran serta perasaan (Kotler et al 2002).
Beberapa persyaratan dalam komunikasi untuk membangkitkan gerakan sosial
menurut Rockefeller Foundation (2001) dalam Figuoera dan Kincaid (2002)
adalah:
1. Pemberdayaan individu dan masyarakat
2. Mengikat keputusan umum yang berhubungan dengan hidupnya
3. Fokus kepada hubungan timbal balik komunikasi
95
4. Mendasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang ideal
5. Merupakan bentuk proses yang dari suatu informasi yang belum
diketahui menjadi diketahui
6. Proses komunikasi interpersonal dikontrol oleh komunitas
Konsep gerakan sosial dan perubahan perilaku yang terjadi di kawasan
hutan produksi-lindung Potorono-Gunung Sumbing merupakan penggabungan
dari konsep untuk peningkatan pengetahuan komunitas dengan kampanye Pride
sekaligus kegiatan penyusunan kebijakan (policies) tingkat desa sebagai kegiatan
pendukung yang dilakukan oleh YBL MastA. Konsep yang dijalankan merujuk
pada pemikiran untuk mendorong perubahan perilaku secara massal berikut
mendukung keberlanjutan tata perubahan secara normatif. Diungkapkan oleh
Awang et al. (2005); Capobianco et al. (2007); Pretty dan Ward (2001) bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan karakter baru dalam sosial
masyarakat adalah kebijakan yang diberlakukan selain peningkatan pengetahuan,
inovasi sosial, teknologi, agen perubah, stimulus serta media informasi.
Kebijakan dapat berasal dari luar (kebijakan pemerintah) komunitas maupun
kebijakan bersifat internal (peraturan desa atau norma sosial).
Pengaruh perubahan perilaku dalam gerakan sosial konservasi hutan di
Kawasan Potorono-Gunung Sumbing hasil analisa survei perubahan perilaku yang
didukung dengan hasil wawancara dan observasi lapangan menunjukkan tingkat
aksi yang terjadi di konservasi di masyarakat. Aksi konservasi tersebut berjalan
secara sukarela tanpa ada paksaan. Aksi-aksi sosial konservasi yang terjadi di
Kawasan Potorono-Gunung Sumbing merupakan aspek dari keinginan bersama
untuk pelestarian sumberdaya hutan yang bertujuan mengawetkan sumber-sumber
vital kehidupan seperti air dan sumber pangan. Lebih lanjut, aksi konservasi juga
berjalan di dalam kelembagan sosial masyarakat seperti lembaga pengelola air
desa, lembaga masyarakat desa hutan dan lembaga pengelola wanawisata. Hal
tersebut mewakili proses komunikasi konservasi yang berjalan horisontal di dalam
masyarakat. Komunikasi menjadi dasar dari sebuah keputusan dan aksi bersama
(collective action) untuk melakukan sebuah gerakan konservasi (Figueroa and
Kincaid 2002; Bridges and Farland 2007; MacGovern 2005).
Download