BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dan tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia selalu membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya untuk terus bertahan hidup. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun sudah mempunyai kedudukan dan kekayaan, manusia tetap membutuhkan manusia lainnya. Oleh karena itu, kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari tolong-menolong sesama agar manusia dapat terus memenuhi segala kebutuhan hidup. Dalam ilmu psikologi, perilaku tolong menolong disebut juga perilaku prososial. Perilaku prososial adalah tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan hal tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2005). Perilaku prososial melihat manusia melakukan tindakan menolong tanpa melihat motif dibalik manusia melakukan tindakan tersebut. Apakah seseorang menolong agar suatu saat ia akan mendapatkan pertolongan, agar ia dipandang oleh orang lain sebagai pencitraan diri atau memang mungkin murni ingin menolong untuk menolong tanpa pamrih. Perilaku prososial pertama kali dikenalkan oleh kelompok sosial terkecil, yaitu keluarga. Keluarga adalah model penting serta sumber dan pendorong 1 standar perilaku yang jelas (Eisenberg et. al., dalam Papalia et. al., 2009). Keluarga, terutama orang tua mengajarkan banyak hal mengenai norma dan moral yang berlaku pada masyarakat kepada anak. Norma dan moral yang diajarkan oleh orang tua pada anak sejak dini diyakini akan menentukan kepribadian anak pada tahap perkembangan selanjutnya. Hal tersebut sama seperti keyakinan tokoh psikologi, Sigmund Freud, yang menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-anak untuk membentuk karakter seseorang (dalam Alwisol, 2009). Saat usia dini, anak mulai diajari untuk berbagi dan saling menolong. Bahkan sangat mungkin anak akan dipuji karena membantu atau ditegur karena lupa memberikan bantuan saat diperlukan. Anak belajar norma sosial untuk membantu ini dan mungkin mengembangkan kebiasaan membantu. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mengajarkan perilaku prososial kepada anak sangatlah penting. Orang tua dapat mengajarkan perilaku prososial dengan mengingat dua prinsip belajar umum yang memiliki peran sangat penting yaitu anak belajar menolong melalui penguatan (efek imbalan dan hukuman karena membantu), serta modeling (mengamati orang lain yang memberi pertolongan) (dalam Papalia et. al., 2009). Anak cenderung membantu dan membagi apabila diberi penghargaan atas perilaku prososialnya. Bentuk penguatan yang diberikan oleh orang tua ketika anak memberikan pertolongan adalah seperti pujian ataupun memberikan hadiah. Bentuk penguatan (reinforcement) yang diberikan oleh orang tua setelah anak memberikan pertolongan mampu menegaskan pada diri anak bahwa dirinya memang anak yang suka menolong. Akan tetapi, cara orang tua bersosialisasi dengan anak dalam mengajarkan perilaku prososial akan dapat 2 saling berbeda antara satu orang tua dengan orang tua lainnya, yang disebut dengan pola asuh. Perbedaan dalam pola asuh akan terus berpengaruh hingga perkembangan remaja (Collins et. al., dalam Rathus, 2008). Berdasarkan Model Baumrid (dalam Santrock, 2002), terdapat tiga macam pola asuh, yaitu (1) pola asuh otoritarian (authoritarian parenting); pola asuh yang mana orang tua membatasi, menghukum dan mendesak remaja untuk mengikuti arahan-arahan dan menghormati usaha dan kerja keras; (2) pola asuh otoritatif (authoritative parenting); pola asuh yang mana orang tua menghargai individualitas remaja tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial; dan terakhir (3) pola asuh permisif (permissive parenting); pola asuh yang mana orang tua memberikan kebebasan pada anak dalam mengambil keputusan tanpa adanya kontrol dan perhatian orang tua, atau cenderung sangat pasif ketika menanggapi ketidakpatuhan. Ketika pola asuh yang tergolong dalam faktor situasional terjadinya perilaku prososial memiliki peranan dalam pembentukan perilaku tersebut, terdapat faktor dalam diri yang turut berperan dalam terbentuknya perilaku prososial, yaitu emosi. Emosi seseorang dapat memengaruhi kecenderungan untuk menolong (Baron et. al., dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Pada masa remaja, individu lebih cenderung sadar tentang siklus emosional mereka, seperti perasaan bersalah dan marah. Kesadaran ini dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengatasi emosi mereka. Remaja juga menjadi lebih terampil dalam menyampaikan emosi mereka kepada orang lain. Sebagai contoh, mereka menjadi sadar akan pentingnya menutupi amarah mereka dalam suatu hubungan, dan 3 mereka lebih cenderung memahami pentingnya kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi mereka secara konstruktif untuk meningkatkan kualitas hubungan (Saarni et. al., dalam Santrock, 2012). Meskipun kemampuan kognitif meningkat dan kesadaran remaja mempersiapkan mereka untuk mengatasi fluktuasi emosional lebih efektif, banyak remaja yang tidak efektif mengelola emosi mereka (Somerville et. al., dalam Santrock, 2012). Tidak efektifnya remaja dalam mengelola emosi mereka tentu akan memengaruhi hubungan mereka dengan orang lain. Kemampuan remaja untuk memahami diri sendiri dan orang lain berkaitan dengan kecerdasan emosi yang ada pada diri. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri untuk berempati terhadap perasaan orang lain dan untuk mengatur emosi yang secara bersama berperan dalam peningkatan taraf hidup seseorang (Salovey & Meyer, dalam Martin, 2003). Sayangnya, tidaklah mudah untuk mencapai kecerdasan emosi. Meskipun tidak mudah dicapai, bukan berarti kecerdasan emosi tidak dapat dipelajari. Lima aspek kecerdasan emosi yang dapat dilakukan untuk mencapai kecerdasan emosi (Goleman, 2000), yaitu (a) mengenali emosi, merupakan dasar kecerdasan emosi; kemampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita tidak berada dalam kekuasaan perasaan; (b) mengelola emosi, menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat; orang yang pintar dalam kemampuan ini dapat bangkit kembali dengan cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan; (c) memotivasi diri sendiri, menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri 4 sendiri, dan untuk berkreasi; (d) mengenali emosi orang lain, empati merupakan keterampilan dasar dalam bergaul. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain; dan terakhir (e) membina hubungan, seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan-keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Salah satu bentuk kecerdasan emosi pada remaja terlihat pada SMA 112, salah satu SMA di Jakarta Barat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menerima siswa-siswa berkebutuhan khusus. Di SMA ini terdaftar sebanyak 10 siswa/i berkebutuhan khusus dan proses belajar mengajar mereka tetap dijadikan satu dengan siswa-siswa normal lainnya. Meskipun demikian, hal tersebut justru tidak menimbulkan bullying di dalam lingkungan sekolah. Para siswa berkebutuhan khusus sering merasa terbantu dengan kehadiran teman-teman lainnya, seperti membantu mengarahkan ke kantin atau ke kelas bagi siswa penyandang tunanetra. Selain itu, sosialisasi antara mereka pun terjalin dengan sangat baik tanpa saling membeda-bedakan satu sama lain (Bapak Yaya, Guru SMA 112 Jakarta, Wawancara Pribadi, Juli 2013). Empati, salah satu aspek kecerdasan emosi, tergambar pada siswa/i SMA 112 Jakarta. Adanya siswa-siswa berkebutuhan khusus di kelas-kelas reguler tidak membuat mereka menjadi korban bully oleh siswa/i lain. Siswa/i lain justru mampu berempati dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh siswa-siswa berkebutuhan khusus. Dengan adanya empati, akan mempermudah siswa/i 5 bersosialisasi dengan siswa-siswa berkebutuhan khusus ataupun sebaliknya. Hal inilah yang disebut dengan membina hubungan, yang juga salah satu aspek dari kecerdasan emosi. Setelah mengetahui keadaan emosi remaja yang cenderung tidak stabil berdasarkan hasil penelitian ahli sebelumnya serta fenomena yang terjadi di atas, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana kecerdasan emosi remaja berhubungan dengan perilaku prososial yang merupakan tindakan mutlak dilakukan oleh setiap manusia sebagai makhluk sosial. Namun, peneliti tidak hanya melihat dari aspek kecerdasan emosi saja yang merupakan faktor dalam diri terbentuknya perilaku prososial, akan tetapi juga akan melihat faktor situasional terbentuknya perilaku prososial, hal ini dikarenakan peneliti meyakini bahwa setiap perilaku selalu didorong oleh faktor dari dalam dan dari luar individu. Oleh karena itu, peneliti mengambil aspek pola asuh sebagai faktor luar atau situasional perilaku prososial. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, berikut ini adalah permasalahan penelitian yang hendak dijawab melalui penelitian ini: a. Adakah hubungan pola asuh dan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja akhir? b. Adakah hubungan pola asuh dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir? c. Adakah hubungan pola asuh dengan perilaku prososial pada remaja akhir? 6 d. Adakah hubungan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja akhir? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh informasi tentang: a. Hubungan pola asuh dan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja akhir. b. Hubungan pola asuh dengan kecerdasan emosi pada remaja akhir. c. Hubungan pola asuh dan perilaku prososial pada remaja di akhir. d. Hubungan kecerdasan emosi dengan perilaku prososial pada remaja akhir. 1.4 Manfaat Penelitian a. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman mengenai hubungan pola asuh dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada remaja. b. Secara praktis Penelitian ini diharapkan mampu dijadikan pengetahuan baik bagi para remaja, orang tua atau pun tenaga pengajar mengenai hubungan pola asuh serta kecerdasan emosi dalam pembentukan perilaku prososial pada remaja. 7 1.5 Definisi Operasional a. Perilaku Prososial Peneliti menggunakan definisi operasional perilaku prososial menurut Mussen (dalam Suroso, 2008), yaitu perilaku prososial merupakan perilaku yang menguntungkan orang lain, serta perilaku yang mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. b. Pola Asuh Peneliti menggunakan definisi operasional pola asuh menurut Baumrid (dalam Santrock, 2012), yaitu dalam pola asuh para orang tua tidak boleh menghukum dan mengucilkan anak, tetapi sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka. c. Kecerdasan Emosi Peneliti menggunakan definisi operasional kecerdasan emosi menurut Goleman (2000), yaitu kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. 8