BAB 3 - Bappenas

advertisement
BAB II
PROSPEK EKONOMI TAHUN 2006
Prospek ekonomi tahun 2006 diperkirakan lebih baik dari tahun 2005 meskipun
tekanan eksternal masih cukup berat berupa harga minyak dunia yang diperkirakan
masih tinggi dan siklus pengetatan moneter di AS yang masih berlanjut. Stabilitas
ekonomi diperkirakan akan membaik dengan nilai tukar yang relatif stabil, laju
inflasi yang terkendali, serta suku bunga yang menurun. Pertumbuhan ekonomi
diupayakan mencapai 6,1 persen dalam tahun 2006 dengan mendorong
pertumbuhan ekonomi sejak awal tahun 2006 melalui pemanfaatan pengeluaran
pemerintah sejak awal tahun 2006 serta peningkatan investasi dan penguatan daya
beli masyarakat. Penguatan daya beli masyarakat dan peningkatan investasi yang
lambat dapat menghambat pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi menjadi
sekitar 5,7 persen.
A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK
Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun 2005 diperkirakan lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2004, tantangan pokok yang dihadapi oleh
perekonomian Indonesia pada tahun 2006 masih besar.
Pertama adalah meningkatkan stabilitas ekonomi terutama dalam menjaga stabilitas
harga dan nilai tukar rupiah. Tantangan ini cukup berat dengan masih besarnya
tekanan eksternal terutama harga minyak dunia yang diperkirakan masih tinggi dan
kemungkinan berlanjutnya siklus pengetatan moneter di negara-negara maju yang
diperkirakan masih berlangsung paling tidak sampai dengan semester I/2006.
Sementara itu ekspektasi masyarakat terhadap inflasi masih tinggi berkaitan dengan
rencana penyesuaian harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah
(administered price) serta kenaikan gaji dan upah yang diberlakukan awal tahun 2006.
Kedua adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sejak triwulan I/2005 hingga
triwulan III/2005, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat. Perlambatan ini
antara lain disebabkan oleh permintaan domestik yang melemah, tercermin dari
menurunnya kepercayaan konsumen, terbatasnya ekspansi fiskal, dan meningkatnya
suku bunga di dalam negeri. Tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk
mendorong permintaan domestik, perlambatan ekonomi dapat berlanjut.
Survai yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan keyakinan konsumen yang cenderung melemah. Sampai bulan
November 2005, indeks keyakinan konsumen yang dikumpulkan oleh BI hanya
mencapai 80,3. Indeks di bawah 100 menunjukkan pesimisme responden dilihat
dari tingkat harapannya saat ini dan mendatang.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−1
Minat investasi, yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan PMA belum
menunjukkan kenaikan pada tingkat yang memadai. Dalam tahun 2005, nilai
persetujuan PMDN dan PMA meningkat sebesar 14,7 persen dan 30,4 persen
dibandingkan periode yang sama tahun 2004. Meskipun meningkat, secara nominal
tingkatnya masih lebih rendah dibandingkan nilai persetujuan investasi tahun 2000
dan 2001.
Lebih lanjut, indeks tendensi bisnis yang dikumpulkan oleh BPS juga
menunjukkan kecenderungan yang menurun. Untuk triwulan IV/2005, indeks
tendensi bisnis mencapai 98,6, turun dibandingkan triwulan III/2005 (105,7).
Seperti indeks keyakinan konsumen, indeks tendensi bisnis di bawah 100
menunjukkan pesimisme pelaku usaha.
Dalam tiga triwulan pertama tahun 2005, pengeluaran pemerintah dalam
pendapatan nasional secara riil hanya meningkat sebesar 0,6 persen. Sejak triwulan
III/2004, pengeluaran pemerintah bersifat mengurang terhadap pertumbuhan
ekonomi dengan pengurangan terbesar pada triwulan I dan II/2005. Sumbangan
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sejak triwulan I/2003
dapat dilihat pada Grafik II.1.
Grafik II.1.
SUMBANGAN PENGELUARAN PEMERINTAH
8
6
%
4
2
0
-2
2003:1
2003:3
2004:1
Pertumbuhan Ekonomi
2004:3
2005:1
2005:3
Andil Pengeluaran Pemerintah
Disamping permintaan domestik yang melemah pada tahun 2005,
perekonomian nasional dalam tahun 2006 juga dihadapkan pada permintaan
eksternal yang relatif stagnan. Dalam tahun 2006, perekonomian dunia diperkirakan
hanya tumbuh 4,3 persen. Meskipun tingkat pertumbuhan ini relatif sama dengan
tahun 2005; namun lebih rendah dibandingkan tahun 2004 (5,1 persen). Selanjutnya
harga komoditi ekspor non-migas pada tahun 2006 juga diperkirakan menurun.
Ketiga adalah meningkatkan kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja
yang semakin luas dan mengurangi kemiskinan. Dengan jumlah pengangguran yang
semakin bertambah, kualitas pertumbuhan perlu ditingkatkan agar kegiatan
ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi lebih
banyak jumlah penduduk miskin.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−2
Dalam tahun 2004, jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,3 juta orang (9,9
persen dari total angkatan kerja). Pada bulan Februari 2005, jumlah pengangguran
terbuka meningkat menjadi 10,9 juta orang (10,3 persen) dan pada bulan Oktober
2005 diperkirakan meningkat lagi menjadi 11,6 juta orang (10,8 persen) antara lain
karena pengaruh kenaikan BBM. Sejak krisis, kemampuan ekonomi untuk
menciptakan lapangan kerja masih rendah. Dalam tahun 2000 – 2004, setiap 1
persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya hanya mampu menciptakan
lapangan kerja rata-rata bagi sekitar 215 ribu orang; sedangkan dalam tahun 1994
untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu diciptakan lapangan kerja
bagi sekitar 375 ribu orang.
Dalam tahun 2006, tantangan untuk menciptakan lapangan kerja semakin besar
dengan tambahan angkatan kerja baru dan dorongan kenaikan Upah Minimum
Provinsi akibat dari kenaikan harga BBM di dalam negeri. Dengan tambahan
angkatan kerja baru rata-rata sekitar 2 juta orang per tahun, pertumbuhan ekonomi
harus mencapai lebih dari 6 persen dengan kualitas yang lebih tinggi dalam
menciptakan lapangan kerja. Kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan
kerja dapat dilihat pada Grafik II.2.
Ribu Orang/1% Pertumbuhan Ekonomi
Grafik II.2.
PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA
400
300
200
100
0
1994
1995
1996
2000
2001
2002
2003
2004
Per 1% Pertumbuhan Ekonomi
Dalam pada itu, meskipun menunjukkan kecenderungan menurun dibandingkan
saat terjadinya krisis, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun
2004 masih berjumlah sekitar 36,1 juta jiwa (16,7 persen). Pada bulan Februari
2005, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 35,1 juta jiwa (16,0 persen).
Dengan bertambahnya pengangguran terbuka dan meningkatnya laju inflasi pada
tahun 2005, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan
masih cukup besar. Perkembangan jumlah penduduk miskin tahun 1976 – 2005
dapat dilihat pada Grafik II.3.
Upah riil buruh tani sebagai salah satu indikator kemiskinan juga menunjukkan
perkembangan yang relatif stagnan. Pada akhir September 2005, upah riil buruh
tani hanya meningkat 1,7 persen dibandingkan akhir tahun 2004. Upah riil buruh
tani Jawa menurun sebesar 0,3 persen, sedangkan di luar Jawa meningkat sebesar
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−3
4,7 persen. Perkembangan perkembangan upah riil buruh tani sejak Januari 2004
dapat dilihat pada Grafik II.4.
60
45
48
36
36
27
24
18
12
9
0
% Penduduk Miskin
Penduduk Miskin (juta orang)
Grafik II.3.
PENDUDUK MISKIN
0
1975
1980
1985
1990
Penduduk Miskin
1995
2000
2005
% Penduduk Miskin
Grafik II.4.
INDEKS UPAH RIIL BURUH TANI
Indeks (1996:01 = 100)
140
135
130
125
120
115
110
Jan'04
Mar
Mei
Jawa
Jul
Sep
Nov Jan'05
Luar Jawa
Mar
Mei
Jul
Sep
Nasional
Untuk menghadapi tantangan-tantangan pokok tersebut di atas perlu ditempuh
strategi pokok sebagai berikut. Pertama, memperbaiki stabilitas ekonomi dengan
meningkatkan koordinasi dan efektivitas kebijakan fiskal dan moneter. Kedua,
memperkuat peranan permintaan domestik secara seimbang untuk mendorong
perekonomian dengan kemungkinan melambatnya permintaan eksternal. Dengan
kebijakan moneter yang diperkirakan masih ketat sampai pertengahan tahun 2006,
kebijakan fiskal perlu memberi dorongan kepada perekonomian sejak awal tahun
2006. Ketiga, mengurangi secara cepat ekonomi biaya tinggi untuk mendorong
investasi dan meningkatkan daya saing ekspor non-migas.
Strategi pokok tersebut dijabarkan dalam upaya-upaya sebagai berikut. Pertama,
stabilitas ekonomi ditingkatkan terutama untuk menurunkan laju inflasi secara
bertahap dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam kaitan itu, koordinasi dan
sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter perlu ditingkatkan. Koordinasi dilakukan
untuk mengendalikan likuiditas perekonomian dengan memperhatikan timing dari
implementasi kebijakan fiskal dan moneter serta pengaruhnya terhadap
perekonomian secara menyeluruh. Dengan ekspektasi terhadap inflasi yang masih
tinggi pada triwulan I dan II/2006 serta kemungkinan berlanjutnya siklus
pengetatan moneter oleh negara-negara maju, kebijakan moneter diarahkan untuk
mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan suku bunga yang
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−4
secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap rupiah serta menjaga tekanan
inflasi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 2006 perlu didorong oleh
kebijakan fiskal. Meskipun kebijakan fiskal pada tahun 2006 tetap diarahkan untuk
mengurangi defisit anggaran sebesar 0,7 persen PDB, pengaruh peluncuran dana
pada awal tahun 2006 dapat memberi dorongan bagi kegiatan ekonomi dan pada
gilirannya akan memberi pengaruh pada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan
tekanan inflasi yang masih besar pada awal tahun 2006, rencana untuk
mengucurkan dana APBN dalam triwulan I/2006 perlu diarahkan pada kegiatankegiatan pembangunan yang tidak bersifat inflatoir. Dorongan fiskal terhadap
perekonomian juga perlu diberikan pada belanja daerah dengan semakin besarnya
fungsi pelayanan kepada masyarakat yang diberikan kepada daerah. Dalam kaitan
itu, keselarasan antara APBN dan APBD sangat penting untuk meningkatkan
efektivitas dari penggunaannya.
Ketiga, iklim investasi perlu segera ditingkatkan agar mampu menarik penanaman
modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai faktor pokok yang selama
ini menghambat investasi antara lain prosedur perijinan yang panjang dan lama,
ketidakpastian hukum, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah serta
antar sektor, iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif bagi penciptaan iklim
usaha yang sehat, administrasi perpajakan dan kepabeanan yang berbelit, serta
dukungan infrastruktur yang kurang memadai perlu ditangani dengan segera.
Pembenahan sektor riil ini semakin penting dengan semakin ketatnya persaingan
antar negara untuk menarik investasi. Tantangan eksternal untuk menarik investasi
dapat dilihat pada Boks II.1.
BOKS II.1.
TANTANGAN EKSTERNAL MENARIK INVESTASI
Tantangan eksternal untuk menarik investasi ke Indonesia dalam tahun 2006 dan
tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat.
Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) dunia
menurun sejak tahun 2000 dan stagnan sejak tahun 2003. Meskipun perekonomian
dunia tahun 2004 membaik setelah mengalami resesi tahun 2001, arus masuk
penanaman modal asing (PMA) dunia pada tahun 2004 masih 53,4 persen lebih
rendah dibandingkan tahun 2000. Beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan
tersebut antara lain meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa
aman dalam kegiatan penanaman modal.
Kedua, meskipun arus masuk PMA ke negara berkembang dan Asia meningkat
terutama pada tahun 2004, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. RRC
diperkirakan tetap menjadi negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke
kawasan Asia dalam tahun-tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−5
dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja
yang memadai.
Arus masuk PMA ke RRC pada tahun 2004 meningkat menjadi US$ 60,6 miliar atau
naik sekitar 13,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dibandingkan arus masuk
PMA ke Asia tahun 2004 sebesar US$ 147,6 miliar, arus masuk ke RRC tersebut
mencapai lebih dari 40 persen. Selain ke RRC, peningkatan arus masuk PMA juga
terjadi di Korea Selatan yang naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 2003 menjadi US$
7,8 miliar pada tahun 2004; Malaysia yang naik dari US$ 2,5 miliar menjadi US$ 4,6
miliar; serta Vietnam yang naik dari US$ 1,5 miliar menjadi US$ 1,6 miliar pada
periode yang sama. Pada tahun 2004 Indonesia mengalami arus masuk PMA (neto)
sebesar US$ 1,0 miliar setelah mengalami net-outflow sejak tahun 1998 kecuali pada
tahun 2002.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tantangan eksternal untuk
mendorong investasi tahun 2006 dan tahun-tahun mendatang bertambah berat
dengan kecenderungan global arus masuk PMA yang menurun serta tingginya daya
tarik RRC dan persaingan di kawasan regional dalam menarik PMA. Arus masuk PMA
pada beberapa kawasan dunia dan beberapa negara di Asia dapat dilihat pada Tabel
II.1.
Tabel II.1.
ARUS PENANAMAN MODAL ASING
(US$ Miliar)
Rt2 92-9
1998
1999
2000
2001
Dunia
310,9
690,9 1086,8 1388,0
817,6
Negara Maju
180,8
472,5
828,4 1108,0
571,5
Negara Berkembang
118,6
194,1
231,9
252,5
219,7
Afrika
5,9
9,1
11,6
8,7
19,6
Amerika Latin
38,2
82,5
107,4
97,5
88,1
Asia
74,1
102,2
112,6
146,1
111,9
RRC
32,8
45,5
40,3
40,7
46,9
Hongkong
7,8
14,8
24,6
61,9
23,8
Singapura
8,3
7,7
16,1
17,2
15,0
India
1,7
2,6
2,2
2,4
3,4
Korea Selatan
1,2
5,0
9,4
8,6
3,7
Malaysia
5,8
2,7
3,9
3,8
0,6
Thailand
2,3
7,5
6,1
3,4
3,8
Vietnam
1,6
1,7
1,5
1,3
1,3
Indonesia
3,5
-0,2
-1,9
-4,6
-3,0
Sumber: UNCTAD, World Investment Report, 2005
2002
716,1
547,8
155,5
13,0
50,5
92,0
52,7
9,7
5,8
3,4
3,0
3,2
0,9
1,2
0,1
2003
632,6
442,2
166,3
18,0
46,9
101,3
53,5
13,6
9,3
4,3
3,8
2,5
2,0
1,5
-0,6
2004
648,1
380,0
233,2
18,1
67,5
147,5
60,6
34,0
16,1
5,3
7,7
4,6
1,1
1,6
1,0
Dari Tabel II.1 dapat dilihat bahwa daya tarik investasi di Indonesia sebelum krisis
(1991 – 1996) dilihat dari arus masuk PMA, lebih baik dibandingkan Thailand.
Namun dalam masa krisis dan setelah krisis daya tarik investasi Indonesia menurun,
bahkan di bawah Vietnam.
Dalam upaya untuk meningkatkan iklim investasi, pada rencana pembangunan
tahun 2006, prosedur perijinan investasi diupayakan untuk diperpendek dari 151
hari menjadi sekitar 30 hari. Dengan waktu selama 151 hari tersebut, prosedur
perijinan investasi di Indonesia tercatat terlama kedua di Asia. Selain membutuhkan
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−6
biaya yang tinggi, prosedur perijinan yang lama mengakibatkan dunia usaha tidak
dapat secara cepat memanfaatkan peluang yang ada.
Dengan diperpendek menjadi 30 hari, prosedur perijinan di Indonesia
diperkirakan mampu bersaing dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing
membutuhkan waktu selama 32 hari dan 33 hari. Selain memperpendek prosedur
perijinan, perhatian perlu diberikan pada upaya mengurangi biaya perijinan dalam
rangka mendorong usaha kecil dan menengah. Rincian prosedur perijinan investasi
di Indonesia dan perbandingan prosedur perijinan investasi di Asia dapat dilihat
pada Tabel II.2 dan Boks II.2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
TABEL II.2.
PROSEDUR MEMULAI USAHA DI INDONESIA
Prosedur
Waktu (hari)
Mendapatkan
nama
perusahaan
dari
7
Departemen Hukum
Menandatangani nota pendirian usaha di notaris
7
Mendapatkan ijin domisili dari Lurah
10
Mendapatkan NPWP
14
Menempatkan modal awal ke bank
4
Membayar PNBP untuk pelayanan hukum
1
Mendaftarkan ke Departemen Hukum untuk
75
persetujuan pendirian perusahaan
Mendapatkan nomor registrasi perusahaan pada
15
Departemen Perdagangan
9.
Mengurus pada asosiasi untuk dipublikasi pada
daftar perusahaan
10 Mendapatkan SIUP
11. Mendaftarkan
pada
Departemen
Ketenagakerjaan
12. Mendaftar program Jamsostek
Jumlah
Sumber: FIAS (2005)
Biaya (Rp)
500.000
10.000.000
Scr resmi tidak dipungut
Tidak ada
Tidak ada
200.000
1.100.000
250.000 (PMA); Rp
150.000 (PMDN dan
bukan PMA/PMDN)
850.000
2
14
1
1
151
400.000
Secara resmi tidak
dipungut
Tidak ada
13.200.000 – 13.300.000
BOKS II.2.
PROSEDUR PERIJINAN DAN BIAYA MEMULAI USAHA
Biaya untuk memperoleh izin usaha/investasi di Indonesia tergolong tinggi tercermin
dari prosedur yang lebih banyak, waktu yang lebih lama, dan biaya yang relatif tinggi.
Untuk mendapatkan izin usaha di Indonesia dibutuhkan 12 prosedur, waktu 151 hari,
dan biaya 126 persen pendapatan per kapita.
Sementara itu, negara Asia lainnya seperti Malaysia hanya membutuhkan 9 prosedur,
waktu 32 hari, tanpa biaya; Cina 12 prosedur, waktu 41 hari, biaya 15 persen
pendapatan per kapita; Filipina 11 prosedur, waktu 50 hari, biaya 20 persen
pendapatan perkapita; dan Thailand 8 prosedur, waktu 33 hari, biaya 7 persen
pendapatan per kapita. Waktu dan biaya (baik dalam persentase terhadap pendapatan
per kapita maupun dalam USD dapat dilihat pada Grafik II.5 – II.7.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−7
Grafik II.5.
WAKTU UNTUK MEMULAI USAHA
Laos
Indonesia
Kamboja
India
Arab Saudi
Yaman
Bhutan
Vietnam
Papua Nugini
Uni Emirat Arab
Sri Lanka
Filipina
Iran
Taiwan
Syria
Lebanon
Cina
Bangladesh
Kuwait
Israel
Oman
Thailand
Malaysia
Pakistan
Korea
Nepal
Mongolia
Hongkong
Singapura
0
50
100
150
Hari
200
Grafik II.6.
BIAYA UNTUK MEMULAI USAHA
Kamboja
Yaman
Lebanon
Indonesia
Bangladesh
Nepal
Arab Saudi
India
Pakistan
Syria
Papua Nugini
Vietnam
Uni Emirat Arab
Malaysia
Filipina
Laos
Korea
Cina
Bhutan
Sri Lanka
Mongolia
Iran
Thailand
Taiwan
Israel
Oman
Hongkong
Kuwait
Singapura
0
100
200
300
(dalam % pendapatan per kapita]
400
500
Grafik II.7.
BIAYA UNTUK MEMULAI USAHA
Arab Saudi
Uni Emirat Arab
Lebanon
Korea
Kamboja
Yaman
Indonesia
Malaysia
Israel
Hongkong
Taiwan
Syria
Kuwait
Oman
Bangladesh
India
Singapura
Filipina
Nepal
Pakistan
Cina
Papua Nugini
Thailand
Iran
Vietnam
Sri Lanka
Bhutan
Laos
Mongolia
0
1000
2000
3000
Dolar AS
4000
5000
6000
Salah satu faktor yang menghambat bagi berkembangnya iklim investasi adalah
banyaknya peraturan-peraturan daerah yang mengakibatkan iklim usaha tidak sehat.
Hambatan peraturan daerah terhadap investasi dapat dilihat pada Boks II.3.
BOKS II.3.
PERATURAN DAERAH (PERDA) DIRASAKAN MENGHAMBAT INVESTASI
Timbulnya peraturan daerah (perda) yang mengganggu investasi antara lain disebabkan
oleh keinginan daerah untuk segera meningkatkan PAD yang selama ini hanya sekitar
10–30 persen APBD. Keinginan yang didorong oleh perspektif jangka pendek (myopic)
ini mengakibatkan timbulnya berbagai pungutan di daerah yang berdampak buruk pada
kegiatan ekonomi.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−8
Dari survai yang dilakukan oleh KPPOD (2003), hanya sekitar 14,8 persen perda secara
umum tidak bermasalah. Selebihnya bermasalah dengan bobot tertinggi pada kejelasan
standar waktu, biaya, prosedur, dan struktur tarif (22,7 persen); acuan yuridis (15,7
persen); serta dampak yang negatif terhadap ekonomi (9,2 persen). Secara rinci statistik
peraturan daerah bermasalah yang dilakukan oleh KPPOD dapat dilihat pada Tabel II.3.
Tabel II.3.
STATISTIK PERATURAN DAERAH (PERDA) “BERMASALAH” KPPOD
Jenis Pelanggaran/Masalah
Secara Umum Tidak Bermasalah
Relevansi Yuridis
Up to date Acuan Yuridis
Kelengkapan Yuridis
Diskoneksi Tujuan dan Isi (Konsistensi Pasal)
Kejelasan Obyek
Kejelasan Subyek
Kejelasan Hak dan Kewajiban Wajib Pungut
Kejelasan Standar Waktu, Biaya, Prosedur, Struktur Tarif
Kesesuaian Filosofi dan Prinsip Pungutan
Keutuhan Wilayah Ekonomi Nasional & Prinsip Free Internal Trade
Persaingan Sehat
Dampak Ekonomi Negatif
Menghalangi Akses Masyarakat, Perlindungan Lingkungan Hidup
Pelanggaran Kewenangan Pemerintahan
Jumlah Peraturan Daerah
Sumber: KPPOD, 2003
Jumlah
152
30
162
58
32
76
5
81
234
46
24
9
95
11
15
1030
Persentase
14,8
2,9
15,7
5,6
3,1
7,4
0,5
7,9
22,7
4,5
2,3
0,9
9,2
1,1
1,5
100,0
Dari yang diterima oleh pemerintah, jenis perda yang paling banyak dikeluarkan oleh
daerah berupa retribusi. Komposisi perda yang dikeluarkan oleh daerah dapat dilihat
pada Tabel II.4.
Tabel II.4.
JUMLAH PERDA YG DITERIMA PEMERINTAH SAMPAI DENGAN JUNI 2004
No
Jenis Peraturan Daerah
Jumlah
1
Pajak Daerah
652
2
Retribusi Daerah
2573
3
Sumbangan Pihak Ketiga
21
4
Badan Usaha Milik Daerah
25
5
PAD lain-lain
7
6
Pencabutan Perda
15
7
Lain-lain
100
Jumlah Perda Diterima
3393
Jumlah Perda yang Direkomendasikan Menkeu kepada Mendagri untuk Dibatalkan
293
Jumlah Perda yang Dibatalkan Mendagri atas dasar rekomendasi Menkeu, dan lainnya
255
Sumber: Direktorat Pendapatan Daerah DJPKPD
Persentase
19,2
75,8
0,6
0,7
0,2
0,4
3,0
100,0
8,6
7,5
Sesuai peraturan perundangan, Pemerintah melalui Mendagri dapat membatalkan
perda-perda bermasalah berdasarkan evaluasi dari departemen/instansi teknis lainnya.
Dari Tabel II.3. dan Tabel II.4. dapat dilihat bahwa perda yang dibatalkan oleh Menteri
Dalam Negeri belum mencerminkan persentase yang memadai untuk mencegah
timbulnya perda bermasalah. Sampai dengan bulan April 2005, jumlah perda yang
masuk mencapai 4.574. Menteri Keuangan telah meminta kepada Menteri Dalam
Negeri untuk membatalkan 448 perda dan oleh Menteri Dalam Negeri telah dibatalkan
sebanyak 304 perda.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−9
Keempat, mendorong ekspor non-migas melalui peningkatan daya saing dan
diversifikasi pasar komoditi ekspor. Upaya peningkatan daya saing ini perlu
dilakukan untuk mengimbangi perlambatan ekonomi dunia terutama perekonomian
Amerika Serikat sebagai konsekuensi dari upaya untuk mengurangi kesenjangan
global. Peningkatan daya saing dalam jangka pendek dan menengah dilakukan
dengan mengurangi berbagai kendala yang menghambat arus barang dan jasa,
termasuk peraturan-peraturan daerah yang menghambat, serta dengan
menyederhanakan prosedur kepabeanan.
Diversifikasi pasar komoditi ekspor perlu diperluas dengan mencari pasar baru
di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai kawasan
yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam jangka
menengah dan panjang, peningkatan daya saing perlu didorong oleh penerapan
teknologi yang tepat dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi komoditi ekspor
nasional.
Kelima, mengembangkan insentif yang tepat dalam menarik investasi dan
mendorong ekspor non-migas. Selain melalui penyederhanaan perpajakan, tarif dan
insentif perpajakan perlu ditinjau agar mampu bersaing dengan negara-negara lain
untuk menarik investasi. Saat ini tarif pajak penghasilan badan di Indonesia bersifat
progresif, yaitu sebesar 10 persen, 15 persen, dan 30 persen. Sedangkan untuk tarif
pajak penghasilan perorangan sebesar 5 persen, 10 persen, 15 persen, 25 persen dan
35 persen. Dibandingkan Malaysia (28 persen, single rate) dan Thailand (30 persen,
single rate), tarif pajak penghasilan badan di Indonesia saat ini relatif bersaing, namun
lebih tinggi dibandingkan Vietnam (25 persen) dan Singapura (22 persen). Dalam
RUU Perpajakan, tarif pajak penghasilan perusahaan direncanakan sebagai tarif
tunggal, sebesar 30 persen dan dalam jangka waktu 5 tahun diturunkan menjadi 25
persen; sedangkan tarif pajak penghasilan perorangan untuk lapisan pendapatan
tertinggi (di atas Rp 200 juta) direncanakan diturunkan dari 35 persen menjadi 30
persen dalam jangka waktu 5 tahun.
Disamping melalui penurunan tarif pajak secara bertahap, zona-zona ekonomi
khusus dan kebijakan spasial dalam jangka menengah dan panjang perlu
dikembangkan dalam rangka mendorong kawasan-kawasan strategis dan cepat
tumbuh agar tidak saja memberi manfaat bagi penguatan ekonomi nasional tetapi
juga memberi peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat di daerah.
Keenam, mendorong fungsi intermediasi perbankan agar memberi tekanan yang
lebih besar pada kegiatan investasi dan produksi. Meskipun pemberian kredit oleh
perbankan kepada masyarakat meningkat, namun penyalurannya lebih banyak pada
kegiatan yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan kegiatan investasi dan
produksi. Sampai dengan bulan Oktober 2005, peranan kredit konsumsi meningkat
menjadi 30,0 persen; lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1996 (10,3 persen).
Secara keseluruhan rasio kredit terhadap PDB masih lebih rendah dibandingkan
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−10
sebelum krisis. Perkembangan rasio kredit terhadap PDB dapat dilihat pada Grafik
II.8.
Grafik II.8.
RASIO KREDIT TERHADAP PDB
70
60
50
%
40
30
20
10
0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Upaya untuk memberi perhatian kegiatan sektor riil dalam perubahan kebijakan
moneter ke arah yang lebih ketat juga tercermin dari penerapan Giro Wajib
Minimum (GWM) yang dikaitkan dengan loan-to-deposit (LDR). Dalam Paket
Kebijakan Moneter 30 Agustus, perbankan yang menyalurkan kredit lebih besar
kepada kegiatan usaha dikenakan GWM yang relatif lebih rendah. 1
Dengan meningkatnya resiko di sektor riil, upaya untuk menyalurkan kredit
perbankan perlu dijaga dengan menekan potensi peningkatan non-performing loan
antara lain dengan menyalurkan kredit pada kegiatan-kegiatan usaha yang
mempunyai resiko kecil. Sasaran peningkatan kredit sebesar 22 persen dalam tahun
2006 diperkirakan dapat mendorong kegiatan ekonomi tanpa mengorbankan
kualitas kredit yang diberikan. Upaya penurunan biaya intermediasi juga didorong
dengan melakukan pembenahan di sektor riil untuk memperkecil resiko penyaluran
kredit.
Ketujuh, menjaga ketahanan sektor keuangan berkaitan dengan perubahan
kebijakan moneter negara-negara industri maju dan kebijakan moneter di dalam
negeri yang sebelumnya relatif longgar kepada kebijakan moneter yang lebih ketat.
Perubahan ini dapat mengakibatkan arus modal, terutama jangka pendek, yang
masuk ke Indonesia ke luar kembali. Koordinasi antara otoritas kebijakan moneter,
otoritas kebijakan fiskal, otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal,
serta otoritas lembaga penjamin simpanan perlu ditingkatkan agar mampu menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani gejolak
moneter yang mungkin timbul.
Sejak 6 September 2005 GWM Rupiah dinaikkan: (a) LDR di atas 90 persen,
dikenakan tambahan sebesar 0 persen; (b) LDR 75 – 90 persen dikenakan tambahan 1
persen; (c) LDR 60 – 75 persen dikenakan tambahan 2 persen; (d) LDR 50 – 60 persen
dikenakan tambahan 3 persen; (e) LDR 40 – 50 persen dikenakan tambahan 4 persen;
serta (f) LDR kurang dari 40 persen dikenakan tambahan 5 persen.
1
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−11
Kedelapan, meningkatkan kualitas pertumbuhan yang mampu mengurangi
pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kebijakan ketenagakerjaan perlu
menekankan pada 3 (tiga) upaya pokok, yaitu mengendalikan kenaikan UMP agar
tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi; memastikan agar biaya-biaya
non-UMP mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga kerja; serta
meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri. Upaya untuk meningkatkan
penciptaan lapangan kerja juga perlu diprioritaskan dalam pemanfaatan APBN.
Selain melalui penciptaan lapangan kerja, upaya mengurangi jumlah penduduk
miskin perlu didorong dengan peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan subsidi
langsung tunai dan program penanggulangan kemiskinan lainnya, serta dengan
pelibatan secara aktif pemerintah daerah untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin di daerahnya.
Terkait dengan sasaran penurunan jumlah pengangguran dan penduduk miskin
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004 – 2009 yaitu
menurunnya jumlah pengangguran terbuka dan penduduk miskin masing-masing
menjadi 5,1 persen dan 8,2 persen pada tahun 2009, program pembangunan
perdesaan dan revitalisasi pertanian perlu mendapat perhatian yang sangat serius
mengingat sebagian besar penganggur terbuka dan kemiskinan hidup di sektor
pertanian dan berada di perdesaan. Dari jumlah pengangguran terbuka pada tahun
2004, sebesar 60 persen pengangguran terbuka berada di Jawa dengan konsentrasi
terbesar di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Adapun dilihat dari
persentase desa – kota, sekitar 47 persen penganggur terbuka berada di desa.
Upaya untuk menarik pengangguran terbuka dan menurunkan jumlah penduduk
miskin melalui kegiatan industri yang ada di perkotaan diperkirakan tidak akan
mampu mencapai sasaran yang dimaksud. Dalam kaitan itu kegiatan industri di
pedesaan dan off-farm lainnya perlu ditingkatkan untuk mengurangi pengangguran
dan kemiskinan. Dalam jangka menengah, upaya untuk mengurangi jumlah
pengangguran dan penduduk miskin perlu didorong dengan kebijakan spasial yaitu
dengan mendorong pembangunan di luar Jawa. Tanpa adanya upaya ini,
pembangunan akan terus-menerus hanya memecahkan masalah-masalah
pembangunan jangka pendek yang relatif terpusat di Jawa.
Upaya-upaya pokok tersebut di atas membutuhkan stabilitas politik dan
keamanan serta kepastian hukum yang memadai agar dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat yang sudah terbentuk.
B. LINGKUNGAN GLOBAL DAN DOMESTIK
Pada tahun 2006, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan relatif sama dengan
tahun 2005 dengan berkurangnya stimulus fiskal di beberapa negara maju, kenaikan
suku bunga sebagai kelanjutan siklus pengetatan kebijakan moneter negara-negara
industri maju, serta masih tingginya harga minyak dunia.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−12
Meningkatnya suku bunga di negara-negara industri maju diperkirakan akan
mempengaruhi komposisi arus masuk modal swasta termasuk ke kawasan Asia.
Meskipun arus modal swasta jangka panjang (neto) pada tahun 2006 diperkirakan
relatif tetap yaitu sekitar US$ 83,8 miliar, namun arus modal jangka pendek
diperkirakan menurun. Secara keseluruhan arus masuk modal swasta (neto) ke
negara-negara emerging market diperkirakan turun dari US$ 84,6 miliar pada tahun
2005 menjadi US$ 34,1 miliar pada tahun 2006 (World Economic Outlook, September
2005).
Dalam tahun 2006, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan sekitar 4,3
persen. Perekonomian negara industri maju diperkirakan tumbuh 2,7 persen dengan
perekonomian AS dan Jepang, sebagai mitra dagang utama Indonesia, yang
diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 3,3 persen dan 2,0 persen.
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2006 yang relatif sama dengan tahun 2005
tersebut diperkirakan tetap mendorong volume perdagangan dunia. Permintaan
impor negara-negara industri maju pada tahun 2006 diperkirakan meningkat 5,8
persen termasuk dari negara-negara berkembang; sementara ekspor negara-negara
berkembang diperkirakan tumbuh 10,3 persen. Secara keseluruhan volume
perdagangan dunia pada tahun 2006 diperkirakan meningkat menjadi 7,4 persen
atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2005 yaitu 7,0 persen.
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2006 yang relatif tetap tersebut diperkirakan
berpengaruh terhadap harga komoditi non-migas di pasar internasional. Harga
komoditi non-migas di pasar dunia diperkirakan menurun sebesar 2,1 persen;
sedangkan harga minyak mentah dunia diperkirakan tetap tinggi. Berbagai perkiraan
ekonomi dunia di atas memberikan gambaran mengenai pentingnya upaya untuk
mempertahankan kinerja ekspor nasional yang cukup baik dalam tahun 2006.
Sementara itu lingkungan domestik tahun 2006 diperkirakan akan membaik
apabila tingkat harapan masyarakat dan kepastian usaha mampu dikelola dengan
baik. Perkiraan ekonomi dunia dan pelaksanaan kedelapan upaya pokok tersebut di
atas dalam lingkungan eksternal dan domestik sebagaimana yang diuraikan di atas
diperkirakan akan menghasilkan besaran-besaran ekonomi makro sebagai berikut.
HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH INDONESIA DIPERKIRAKAN SEKITAR US$ 57
PER BAREL. Menjelang akhir tahun 2005, harga minyak dunia dipengaruhi oleh sisi
permintaan dan penawaran sebagai berikut. Musim dingin yang tidak terlalu akut
serta turunnya permintaan minyak dunia terkait dengan beberapa bencana alam
yang terjadi di Amerika Serikat dan kelompok negara OECD diperkirakan akan
mengimbangi kenaikan kebutuhan minyak di China dan India. Dengan
perkembangan ini kenaikan permintaan minyak dunia tahun 2005 yang semula
diperkirakan mencapai 1,9 juta barel/hari melemah menjadi 1,2 juta barel/hari.
Dalam tahun 2006, permintaan minyak dunia diperkirakan meningkat sekitar 1,8
uta barel/hari.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−13
Di sisi suplai, dalam keseluruhan tahun 2005, pasokan minyak dari negaranegara non-OPEC diperkirakan meningkat 0,1 juta barel/hari dan pada tahun 2006
diperkirakan meningkat lagi sebesar 1,4 juta barel/hari. Pasokan OPEC (tidak
termasuk NGL) dalam keseluruhan tahun 2005 mencapai 28,4 juta barel/hari dan
diperkirakan hanya meningkat sebesar 0,2 juta barel/hari pada tahun 2006.
Meskipun pasokan OPEC tahun 2006 diperkirakan relatif sama dengan tahun 2005,
kemampuan produksi OPEC pada tahun 2006 masih dapat ditingkatkan dengan
adanya spare capacity sebesar 2,2 juta barel/hari termasuk kapasitas terpasang yang
dapat ditingkatkan sebesar 1,0 juta barel/hari pada tahun 2006
Berdasarkan perkembangan sisi permintaan, penawaran, dan stok minyak dunia,
serta dengan perkiraan tidak adanya gejolak politik yang berarti di Timur Tengah,
harga minyak dunia pada tahun 2006 diperkirakan masih tetap tinggi. Dengan
gambaran harga minyak dunia tersebut, harga ekspor minyak mentah Indonesia
diperkirakan sekitar US$ 57 per barel. Perkembangan permintaan dan penawaran
minyak dunia dapat dilihat pada Tabel II.5.
Tabel II.5.
PERMINTAAN DAN PASOKAN MINYAK DUNIA
(juta barel/hari)
2002
2003
2004
PERMINTAAN
77,9
79,2
82,2
OECD
48,0
48,7
49,5
Amerika Utara
24,1
24,5
25,3
Eropah
15,3
15,4
15,6
Pasifik
8,6
8,7
8,5
NON-OECD
29,9
30,6
32,7
FSU
3,5
3,6
3,7
Eropah
0,7
0,7
0,7
China
5,0
5,6
6,4
Asia Lainnya
8,0
8,1
8,6
Amerika Latin
4,8
4,7
4,9
Timur Tengah
5,2
5,3
5,6
Afrika
2,7
2,7
2,8
PENAWARAN
77,0
79,6
83,1
OECD
21,9
21,6
21,3
Amerika Utara
14,5
14,6
14,6
Eropa
6,6
6,3
6,1
Pasifik
0,8
0,7
0,6
NON-OECD
24,5
25,5
27,1
FSU
9,4
10,3
11,2
Eropah
0,2
0,2
0,2
China
3,4
3,4
3,5
Asia Lainnya
2,5
2,6
2,8
Amerika Latin
3,9
4,0
4,1
Timur Tengah
2,1
2,0
1,9
Afrika
3,0
3,0
3,4
Processing Gain
1,8
1,8
1,8
OPEC
28,8
30,7
32,9
Minyak Mentah
25,1
26,8
28,6
NGL
3,7
3,9
4,3
Sumber: International Energy Agency
2005
83,4
49,7
25,5
15,6
8,6
33,7
3,7
0,7
6,6
8,8
5,0
5,9
2,9
2006
85,2
50,3
25,9
15,6
8,7
34,9
3,8
0,7
7,0
9,0
5,1
6,2
3,0
20,4
14,1
5,7
0,6
28,0
11,6
0,2
3,6
2,7
4,3
1,9
3,7
1,9
20,4
14,4
5,4
0,6
29,3
12,1
0,2
3,6
2,8
4,5
1,8
4,3
1,9
4,7
5,1
NILAI TUKAR RUPIAH DIPERKIRAKAN SEKITAR RP 9.900,- PER DOLLAR AS.
Dengan respon suku bunga di dalam negeri yang berjalan baik sejak Paket
Kebijakan 30 Agustus 2005, kurs rupiah diperkirakan stabil. Arus modal swasta
diperkirakan akan meningkat baik dalam bentuk investasi langsung maupun
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−14
portfolio sehingga mampu menutup kewajiban pemerintah yang jatuh tempo pasca
debt moratorium serta mengamankan cadangan devisa. Pada tahun 2006, rata-rara
nilai tukar rupiah diperkirakan sekitar Rp 9.900,- per dollar AS.
LAJU INFLASI DIPERKIRAKAN SEKITAR 8 PERSEN PADA AKHIR TAHUN 2006.
Dengan mempertimbangkan dampak lanjutan kenaikan harga BBM pada harga
barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah pada awal tahun 2006, nilai
tukar rupiah yang relatif terjaga, serta komitmen dan konsistensi kebijakan moneter
untuk mengarahkan ekspektasi inflasi jangka menengah, laju inflasi tahun 2006
secara tahunan (y-o-y) diperkirakan menurun mulai triwulan II atau III/2006.
Dengan upaya untuk menjamin pasokan serta distribusi barang dan jasa termasuk
pada perayaan hari besar keagamaan, laju inflasi pada akhir tahun 2006
diperkirakan mampu dikendalikan menjadi sekitar 8 persen.
BI RATE DIPERKIRAKAN SEKITAR 9,5 PERSEN PADA AKHIR TAHUN 2006. Dengan
kecenderungan laju inflasi yang menurun pada triwulan II/2006 dan menurunnya
resiko ketidakstabilan ekonomi dan moneter internasional, suku bunga riil
dipertahankan pada tingkat yang memadai. Dengan perkiraan laju inflasi sekitar 8
persen pada akhir tahun 2006 dan suku bunga riil sekitar 1,5 persen, BI rate pada
akhir tahun 2006 diperkirakan sekitar 9,5 persen.
Beberapa besaran pokok yang mendasari proyeksi perekonomian tahun 2006
dapat dilihat pada Tabel II.6 sebagai berikut.
Tabel II.6
BESARAN-BESARAN POKOK
(dalam persen perubahan)
2002
2003
2004
2005
2006
EKSTERNAL
Pertumbuhan Ekonomi
Dunia
3,0
4,0
5,1
4,3
4,3
2,7
2,5
3,3
1,5
1,9
Negara Industri Maju
Amerika Serikat
3,3
3,5
4,2
2,7
1,6
1,8
1,2
2,0
0,7
0,9
Uni Eropah
2,0
2,0
2,7
1,4
-0,3
Jepang
Negara Emerging Asia
6,6
8,1
8,2
7,8
7,2
Volume Perdagangan Dunia
3,3
5,4
10,3
7,0
7,4
Impor Negara Industri Maju
2,6
4,1
8,8
5,4
5,8
Ekspor Negara Berkembang
6,6
10,8
14,5
10,4
10,3
Inflasi
Negara Industri Maju
1,5
1,8
2,0
2,2
2,0
Negara Berkembang
6,0
6,0
5,8
5,9
5,7
Harga Komoditi Non Migas
0,6
6,9
18,5
8,6
-2,1
LIBOR (6 bulan,%)
1,9
1,2
1,8
3,6
4,5
DOMESTIK
Nilai Tukar rupiah (Rp/US$)
9.318
8.593
8.940
9.705
9.900
Laju Inflasi
10,0
5,1
6,4
17,1
8,0
Harga Ekspor Minas (US$/barel)
24,6
28,8
37,7
52,0
57,0
Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
13,0
8,3
7,4
12,8
9,5
Sumber: World Economic Outlook, IMF, Sept. 2005 (asumsi eksternal); Bappenas (asumsi Domestik)
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−15
C. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2006
1. PERTUMBUHAN EKONOMI
Dengan koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil sebagaimana telah
disebutkan terutama dalam mengatur permintaan agregat, perekonomian dalam
tahun 2006 diupayakan mampu tumbuh 6,1 persen, lebih tinggi dibandingkan
perkiraan tahun 2005 (5,7 persen). Investasi dan konsumsi masyarakat diupayakan
menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan didorong oleh
pengeluaran pemerintah.
Investasi berupa pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa
diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 12,1 persen dan 8,5 persen. Dengan
meningkatnya investasi, impor barang dan jasa diperkirakan tetap tinggi dengan
pertumbuhan sebesar 11,5 persen. Pengeluaran pemerintah didorong tinggi sebesar
12,0 persen dengan pencairan dana yang diupayakan sejak triwulan I/2006.
Luncuran dana yang diupayakan sejak awal tahun ini diharapkan dapat lebih
menggerakkan roda perekonomian yang pada gilirannya akan meningkatkan daya
beli masyarakat. Dalam keseluruhan tahun 2006, konsumsi masyarakat diperkirakan
tumbuh sebesar 4,5 persen.
Dari sisi produksi, dalam tahun 2006 sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,3
persen didorong oleh kondisi iklim dan musim tanam yang lebih baik. Adapun
industri pengolahan non-migas diperkirakan mampu tumbuh 7,8 persen antara lain
oleh perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Adapun
sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 6,6 persen, lebih tinggi dari tahun
sebelumnya.
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen pada tahun 2006 dan jumlah
penduduk sekitar 221,7 juta orang, pendapatan rill per kapita dalam harga konstan
tahun 2000 diperkirakan Rp 8,4 juta atau setara dengan USD 1.436. Gambaran
ekonomi makro dan perkiraan struktur ekonomi, serta proyeksi ekonomi tahun
2006 dapat dilihat pada Tabel II.7 dan Grafik II.9.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
20
15
10
5
0
2002:1
2003:1
PMTB
2004:1
2005:1
Konsumsi RT
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
2006:1
Pertumbuhan PMTB (%)
Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%)
Grafik II.9.
PERTUMBUHAN EKONOMI
-5
PDB
II−16
2. NERACA PEMBAYARAN
Pada tahun 2006, surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan menurun
menjadi US$ 2,1 miliar, lebih rendah dibandingkan perkiraan tahun 2005 (US$ 2,3
miliar). Di sektor ekspor, penerimaan ekspor tahun 2006 diperkirakan meningkat
sebesar 10,8 persen atau melambat dibandingkan perkiraan tahun 2005 (20,5
persen). Meningkatnya penerimaan ekspor terutama didorong oleh ekspor migas
yang diperkirakan meningkat sebesar 19,0 persen dengan mulai beroperasinya
beberapa sumur gas dan minyak bumi baru. Sementara itu ekspor non-migas
diperkirakan meningkat sebesar 8,0 persen, lebih lambat dari tahun sebelumnya
antara lain karena menurunnya harga komoditi non-migas di pasar internasional. Di
sektor impor, meskipun melambat dibandingkan tahun 2005, impor non-migas
diperkirakan tetap tumbuh tinggi yaitu sebesar 13,7 persen. Sedangkan defisit pada
sektor jasa-jasa diperkirakan meningkat dibandingkan perkiraan tahun 2005 dengan
masih tingginya impor barang dan belum pulihnya arus wisatawan asing paska Bom
Bali kedua serta menurunnya daya tarik Pulau Batam.
Surplus neraca arus modal dan finansial diperkirakan sebesar US$ 0,5 miliar atau
lebih rendah dibanding tahun 2005 (US$ 3,3 miliar) dengan tidak adanya fasilitas
penjadwalan utang pemerintah. Arus modal swasta neto diperkirakan meningkat
menjadi US$ 3,6 miliar terutama bentuk PMA dan portfolio. Sementara itu, defisit
arus modal publik diperkirakan meningkat menjadi US$ 3,1 miliar dengan
dibayarkannya kewajiban utang yang ditunda pada tahun 2005.
Dari gambaran neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial
tersebut, neraca keseluruhan (overall balance) pada tahun 2006 diperkirakan menjadi
surplus US$ 2,6 miliar dari semula defisit sebesar US$ 0,5 miliar pada tahun 2005.
Dengan perkiraan tersebut, cadangan devisa diperkirakan meningkat menjadi US$
36,2 miliar. Jumlah cadangan devisa tersebut diperkirakan cukup untuk membiayai
sekitar 4,6 bulan impor (tidak termasuk pembayaran utang pemerintah). Perkiraan
neraca pembayaran tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel II.8.
3. MONETER
Sampai dengan triwulan II dan III/2006, kebijakan moneter diperkirakan relatif
ketat untuk menurunkan tekanan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah
dengan masih tingginya ekspektasi masyarakat terhadap inflasi serta kemungkinan
berlanjutnya siklus pengetatan moneter di Amerika Serikat. Upaya untuk menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi dipertahankan dengan kombinasi kebijakan
fiskal yang relatif ekspansif pada awal tahun 2005.
Dalam keseluruhan tahun 2006, nilai tukar rupiah diperkirakan lebih stabil
sekitar Rp 9.900,- per USD. Dengan tidak adanya pengaruh exchange rate pass-through
terhadap inflasi, tekanan inflasi diperkirakan berkurang sejak triwulan III/2006.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−17
Stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga dan tekanan inflasi yang menurun memberi
ruang bagi kebijakan moneter untuk melunak pada triwulan III atau IV/2006.
Dengan melunaknya tekanan inflasi, BI rate diperkirakan akan turun secara
bertahap sejak triwulan III atau IV/2006. Pada akhir tahun 2006, laju inflasi
diperkirakan sekitar 8,0 persen dan BI rate diperkirakan menjadi sekitar 9,5 persen.
Untuk mencapai sasaran tersebut, berbagai instrumen moneter antara lain operasi
pasar terbuka (OPT), sterilisasi valuta asing, dan intervensi rupiah perlu
dioptimalkan agar peredaran uang mencerminkan kebutuhan likuiditas
perekonomian.
4. KEUANGAN NEGARA
Kebijakan fiskal tahun 2006 tetap dilaksanakan untuk mewujudkan ketahanan
fiskal (fiscal sustainability) dengan memberi stimulan terhadap perekonomian melalui
penyelarasan APBN dan APBD. Stimulan fiskal diperlukan untuk mengimbangi
kebijakan moneter yang relatif ketat sampai dengan semester I/2006.
Dalam tahun 2006, belanja negara diperkirakan mencapai Rp 647,7 triliun, lebih
tinggi dibandingkan perkiraan realisasi APBN 2005 (Rp 565,1 triliun). Sekitar 20
persen belanja modal pemerintah pusat (Rp 10 triliun) akan diluncurkan pada
triwulan I/2006. Meningkatnya pengeluaran pemerintah pada triwulan I/2006
diperkirakan memberikan stimulus terhadap perekonomian pada saat kebijakan
moneter masih relatif ketat dan diperkirakan tidak memberi tekanan pada inflasi.
Dorongan kebijakan fiskal lebih lanjut terhadap perekonomian juga berasal dari
belanja daerah. Peranan belanja daerah ditingkatkan dari 27 persen tahun 2005
menjadi 34 persen tahun 2006 atau sekitar 5,8 persen PDB pada tahun 2005
menjadi 7,2 persen PDB pada tahun 2006. Dengan besarnya dorongan ekspansi
fiskal dalam bentuk belanja daerah, maka keselarasan program pembangunan di
daerah dengan prioritas pembangunan nasional sangat penting. Program-program
pembangunan di daerah perlu diupayakan untuk mendukung pencapaian programprogram nasional. Peningkatan terbesar belanja daerah terutama pada Dana Alokasi
Khusus dari Rp 4,8 triliun menjadi Rp 11,6 triliun terutama untuk memperbaiki dan
membangun gedung sekolah yang rusak. Sementara itu, kenaikan belanja
pemerintah pusat terutama dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
pegawai.
Penerimaan negara dan hibah dalam tahun 2006 diperkirakan meningkat
menjadi Rp 625,2 triliun dari Rp 540,1 triliun pada tahun 2005. Peningkatan
tersebut terutama dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang
dilakukan melalui perbaikan administrasi perpajakan dan upaya pemungutan pajak.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−18
Dengan kebijakan di sisi pengeluaran dan penerimaan tersebut, defisit APBN
dalam tahun 2006 diperkirakan turun menjadi 0,7 persen PDB (Rp 22,4 triliun) dari
0,9 persen PDB tahun 2005 (Rp 24,9 triliun). Defisit tersebut akan dibiayai melalui
penerbitan surat utang negara (SUN) sebesar Rp 24,9 triliun dan pinjaman luar
negeri Rp 35,1 triliun. Sejalan dengan upaya mengurangi ketergantungan terhadap
utang luar negeri, pembiayaan luar negeri neto diperkirakan defisit Rp 28,5 triliun
didorong besarnya pembayaran cicilan utang luar negeri yaitu Rp 63,6 triliun.
Ketahanan fiskal juga tercermin dari turunnya stok utang pemerintah dari 47,8
persen PDB pada tahun 2005 menjadi 41,2 persen PDB pada tahun 2006. Stok
utang luar negeri diperkirakan menurun menjadi 20,2 persen PDB pada tahun 2006
dari 22,6 persen PDB pada tahun 2005 dan stok utang dalam negeri menjadi 21,0
persen PDB dari 25,0 persen PDB dalam periode yang sama.
Pencapaian ketahanan fiskal pada tahun 2006 perlu didukung oleh stabilitas
ekonomi yang lebih baik. Nilai tukar rupiah yang stabil, suku bunga dan tingkat
inflasi yang menurun akan mengurangi beban pengeluaran negara. Rincian
keuangan negara tahun 2004 – 2006 dapat dilihat pada Tabel II.9.
5. KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN
Untuk membiayai pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen pada tahun 2006
dibutuhkan investasi sebesar Rp 805,4 triliun. Sebagian besar dari kebutuhan
investasi tersebut (Rp 688,1 triliun atau sekitar 85,4 persen dari total kebutuhan
investasi) diupayakan berasal dari masyarakat, termasuk swasta; sedangkan sisanya
berasal dari pemerintah. Rincian kebutuhan investasi dan sumber pembiayaannya
dapat dilihat pada Tabel II.10.
D. KONSEKUENSI PERTUMBUHAN EKONOMI 6,1 PERSEN
Pertumbuhan ekonomi 6,1 persen pada tahun 2006 diperkirakan belum cukup
memadai untuk memecahkan masalah-masalah sosial mendasar. Dengan
pertumbuhan tersebut diperkirakan tercipta lapangan kerja baru bagi sekitar 2 juta
orang, relatif sama dengan tambahan angkatan kerja baru. Dengan demikian, jumlah
penganggur terbuka pada tahun 2006 diperkirakan relatif sama dengan tahun 2005
yaitu sekitar 11,6 juta jiwa.
Dalam kaitan itu, pemerintah perlu meninjau berbagai kebijakan di bidang
ketenagakerjaan guna mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Tanpa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ketahanan fiskal akan terpengaruh karena
perekonomian menjadi kurang mampu untuk mengurangi beban pembangunan
termasuk pembayaran utang.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−19
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, upaya untuk mengurangi jumlah
pengangguran dan penduduk miskin dalam jangka menengah perlu didorong
dengan kebijakan spasial terutama dengan membangun perdesaan yang didukung
dengan pembangunan pertanian dan industrialisasi perdesaan.
E. KEMUNGKINAN PERTUMBUHAN EKONOMI LEBIH LAMBAT DARI 6,1 PERSEN
Terdapat kemungkinan pertumbuhan ekonomi tahun 2006 lebih rendah dari 6,1
persen. Faktor-faktor yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi
antara lain: (a) meningkatnya ketidakstabilan politik di Timur Tengah yang
selanjutnya berpotensi mendorong harga minyak dunia serta meningkatnya
ketidakstabilan moneter internasional yang pada gilirannya akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi dunia, meningkatkan tekanan inflasi di dalam negeri, serta
menuntut kebijakan moneter di dalam negeri untuk terus ketat; (b) meningkatnya
ketidakstabilan keamanan di dalam negeri yang akan mempengaruhi iklim usaha di
Indonesia; serta (c) lambatnya penguatan daya beli masyarakat dan perbaikan iklim
investasi di Indonesia.
Berbagai faktor di atas dapat mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah pada
kisaran Rp 11.000 ⎯ Rp 12.000 per USD, laju inflasi pada akhir tahun 2006 antara
9 — 11 persen, BI rate antara 11 ⎯ 13 persen pada akhir tahun 2006; serta
pertumbuhan ekonomi dalam keseluruhan tahun 2006 melambat di bawah 6 persen
menjadi sekitar 5,7 persen.
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−20
Tabel II.7.
GAMBARAN EKONOMI MAKRO DAN STRUKTUR EKONOMI
Realisasi
Proyeksi
2002
2003
2004
2005*)
2006
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan PDB (%)
3,8
4,4
5,1
5,7
6,1
PDB/Kapita Harga Konstan 2000 (Rp
6.144
7.136
7.673
8.010
8.402
PERTUMBUHAN PDB PENGELUARAN (%)
Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi Masyarakat
Konsumsi Pemerintah
Investasi
Ekspor
Impor
4,4
3,8
13,0
4,7
-1,2
-4,2
4,9
3,9
10,0
1,0
8,2
2,7
5,1
4,9
1,9
15,7
8,5
24,9
5,7
3,8
4,1
11,2
8,0
12,5
6,1
4,5
12,0
12,1
8,5
11,5
3,2
5,3
5,7
4,2
4,3
5,3
6,0
4,8
4,1
6,2
7,7
4,9
1,8
5,8
6,7
6,7
2,3
7,0
7,8
6,6
16,0
29,7
26,0
54,2
15,9
28,8
25,0
55,2
15,4
28,3
24,6
56,3
14,6
29,2
24,9
56,2
14,1
29,3
25,6
56,6
10,0
10.241
5,1
9.375
6,4
8.928
17,1
9.705
8,0
9.900
4,2
-11,0
-15,8
28,0
3,9
3,4
0,1
32,0
1,5
11,5
24,4
36,3
0,7
17,0
19,9
34, 7
1,0
8,0
13,7
36,2
2,8
-2,4
11,0
74,6
35,8
38,8
3.3
-1,4
11,1
65,1
31,5
33,6
1,4
-1,3
12,2
54,3
27,0
27,3
1,4
-0,9
12,8
47,8
22,6
25,0
1,8
-0,7
13,1
41,2
20,2
21,0
PERTUMBUHAN PDB PRODUKSI (%)
Pertanian
Industri Pengolahan
Nonmigas
Lainnya
DISTRIBUSI PDB (%)
Pertanian
Industri Pengolahan
Nonmigas
Lainnya
STABILITAS EKONOMI
Laju Inflasi, Indeks Harga Konsumen
Nilai Tukar Nominal (Rp/US$)
NERACA PEMBAYARAN
Transaksi Berjalan/PDB (%)
Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (%)
Pertumbuhan Impor Nonmigas (%)
Cadangan Devisa (US$ miliar)
KEUANGAN NEGARA
Keseimbangan Primer/PDB (%)
Surplus/Defisit APBN/PDB (%)
Penerimaan Pajak/PDB (%)
Stok Utang Pemerintah/PDB (%)
Utang Luar Negeri
Utang Dalam Negeri
*) Perkiraan untuk PDB dan Neraca Pembayaran
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−21
Tabel II.8.
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN
(US$ miliar)
Realisasi
2002
2003
2004
Ekspor
Migas
Nonmigas
(Pertumbuhan, %)
2005*)
Proyeksi
2006
64,1
15,2
48,9
5,5
17.4
-39,5
-7,8
-31,7
9,4
72,2
17,7
54,5
11,5
87,0
23,2
63,7
17,0
96,4
27,6
68,8
8,0
Impor
Migas
Nonmigas
(Pertumbuhan, %)
59,2
12,9
46,3
3,4
16.7
-35,7
-6,7
-29,0
0,1
-50,6
-11,2
-39,5
24,4
-63,7
-16,4
-47,3
19,9
-72,9
-19,2
-53,7
13,7
Jasa-jasa
Pembayaran Bunga Pinjaman
-15,7
-3,1
-16,5
-2,9
-18,4
-2,8
-20,8
-2,6
-21,5
-2,6
7,8
8,1
3,1
2,3
2,1
-1,1
-0,2
2,4
-2,6
-0,9
0,1
1,2
-2,3
-0,9
-0,8
2,2
-3,0
-0,1
-0,6
2,3
-0,6
2,6
-1,8
3,8
-5,6
4,4
1,0
3,1
0,2
3,3
2,1
5,1
-2,9
1,2
2,3
2,4
-3,5
0,5
-3,1
4,7
-7,8
3,6
2,4
2,1
-0,9
6,7
7,2
5,7
6,4
2,6
Selisih Perhitungan
-1,7
-0,1
-5,4
-5,8
0,0
Neraca Keseluruhan
5,0
7,2
0,3
0,6
2,6
2,6
-1,0
3,6
32,0
7,5
25,8
131,3
74,7
56,7
3,7
0,6
3,1
36,3
7,8
29,5
138,2
81,7
56,6
-1,0
-1,0
0,0
36,3
6,4
30,5
139,1
78,1
61,0
-1,5
-1,1
2,7
34,7
4,8
30,0
140,5
78,2
62,3
-1,5
-1,5
0,0
36,2
4,6
32,6
138,8
73,3
65,5
Neraca Transaksi Berjalan
Neraca Modal dan Finansial
Pemerintah
Arus Masuk
Arus Keluar
Swasta
PMA Neto
Portofolio
Lainnya
To t a l
Memorandum Item
Exceptional Financing
IMF Neto
Penjadwalan Hutang
Cadangan Devisa
(Dalam Bulan Impor)
Cadangan Devisa Bersih
Utang Luar Negeri
Pemerintah
Swasta
*) Perkiraan
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−22
Tabel II.9.
KEUANGAN NEGARA
APBN 20041)
APBN P II 2005
Rp
%
Rp
%
I. PENERIMAAN NEGARA DAN HIBAH
407,9
17,7
540,1
20,4
A. Penerimaan Negara
407,6
17,7
532,7
17,8
1. Penerimaan Pajak
280,9
12,2
334,4
12,8
a. Pajak Penghasilan
134,9
5,9
180,2
6,8
b. Pajak Pertambahan Nilai
87,6
3,8
102,7
3,9
c. Lainnya
558,4
2,5
51,5 11,9,
2. Penerimaan Bukan Pajak
126,7
5,5
180,7
6,5
a. Migas
85,3
3,7
138,6
5,0
b. Bukan Migas
41,4
1,8
42,1
1,5
B. Hibah
APBN 2006
Rp %PDB
625,2
20,6
621,6
20,4
399,3
13,1
210,7
6,9
128,3
4,2
60,3
1,9
205,3
6,8
151,6
5,0
53,7
1,7
0,3
0,0
7,5
0,3
3,6
0,1
II. PENGELUARAN NEGARA
A. Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Belanja sosial
8. Belanja lain-lain
437,7
308,1
54,4
16,6
69,4
62,3
85,5
0
0
19,8
19,0
13,4
2,4
0,7
3,0
2,7
3,7
0
0
0,9
565,1
411,7
61,2
42,3
54,7
61,0
119,1
0
30,0
43,4
21,3
15,5
2,3
1,6
2,1
2,3
4,5
0
1,1
23,3
647,7
427,6
78,0
48,1
45,0
76,6
79,5
0
27,3
36,5
21,3
14,1
2,6
1,6
1,5
2,5
2,6
0
0,9
1,2
B. Belanja Daerah
1. Dana perimbangan
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
2. Dana Khusus dan
129,7
122,9
36,7
82,1
4,1
6,8
5,6
5,3
1,6
3,6
0,2
0,3
153,4
146,2
52,6
88,8
4,8
7,2
5,8
5,5
2,0
3,3
0,2
0,3
220,1
216,6
59,4
145,7
11,6
3,5
7,2
7,1
2,0
4,8
0,4
0,1
32,5
1,4
36,0
1,4
54,2
1,8
-29,9
-1,3
-24,9
-0,9
-22,4
-0,7
III. KESEIMBANGAN PRIMER
IV. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN
V. PEMBIAYAAN
29,9
1,3
24,9
0,9
22,4
0,7
A. Pembiayaan Dalam Negeri
52,9
2,3
29,8
1,1
50,9
1,7
1. Perbankan
26,8
1,2
4,3
0,2
23,0
0,8
2. Non Perbankan
26,1
1,1
25,5
1,0
27,9
0,9
a. Privatisasi
3,5
0,2
3,5
0,1
1,0
0,0
b. Penjualan Aset
15,7
0,7
5,1
0,2
2,4
0,1
c. Surat Utang Negara
6,9
0,3
22,1
0,8
24,9
0,8
d. Penyertaan Modal
0
0
-5,2
-0,2
-0,4
0,0
B. Pembiayaan Luar Negeri
-23,0
-1,0
-4,9
-0,2
-28,5
-0,9
1. Penarikan Pinjaman Luar
23,5
1,0
35,5
1,3
35,1
1,2
a. Pinjaman Program
5,1
0,2
11,3
0,4
9,9
0,3
b. Pinjaman Proyek
18,4
0,8
24,3
0,9
25,2
0,8
2. Pembayaran Pokok
-46,5
-2,0
40,4
-1,5
-63,6
-2,1
Keterangan: 1) realisasi per 31 Desember; 2) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 2.651
triliun; 3) menggunakan asumsi PDB nominal Rp 3.040 triliun
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−23
Tabel II.10
KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN
(Rp Triliun)
Realisasi
2002
2003
2004 2005*)
Proyeksi
2006
KEBUTUHAN INVESTASI
a. Pemerintah
persentase terhadap PNB (%)
b. Masyarakat (termsk perubahan stok)
persentase terhadap PNB (%)
389,9
55,2
3,1
334,7
18,5
360,0
70,4
3,6
283,6
14,4
491,3
74,6
3,3
416,7
18,2
646,8
95,0
3,5
551,8
20,2
805,4
117,3
3,7
688,1
21,9
SUMBER PEMBIAYAAN
1.Tabungan Dalam Negeri
persentase terhadap PNB (%)
a. Pemerintah
persentase terhadap PNB (%)
b. Masyarakat
persentase terhadap PNB (%)
2.Tabungan Luar Negeri
persentase terhadap PNB (%)
389,9
450,1
24,9
16,1
0,9
434,0
24,0
-60,2
-3,3
354,0
430,4
22,8
1,9
0,1
428,5
21,7
-76,4
-3,8
491,3
563,1
24,7
38,9
2,0
524,2
22,7
-71,9
-3,1
646,8
680,7
24,9
62,0
2,6
618,6
22,3
-33,8
-1,2
805,4
826,1
26,4
96,4
3,0
729,7
23,4
-20,8
-0,8
3,3
-2,2
5,5
3,8
-3,5
7,4
3,1
-1,3
4,7
1,2
-0,9
2,4
0,8
-0,7
1,3
TABUNGAN - INVESTASI (S-I)
Rasio Terhadap PNB (%)
a. Pemerintah
b. Masyarakat
*) Perkiraan
Direktorat Perencanaan Makro
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
II−24
Download