Korupsi Bukan Tak Bisa Dilawan ILUSTRASI. FOTO NET Oleh: Joko Tri Nugraha SSos MSi Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta dan STMIK AMIKOM Purwokerto (Sumber: Satelit Post, Kamis 29 Agustus 2013) BANGSA Indonesia telah hidup dalam masa transisi demokrasi selama 10 tahun. Perlahan namun pasti, angin reformasi malah berbalik arah. Bukan perbaikan yang kita temukan, tapi kebobrokan yang semakin melilit di hampir segala sendi kehidupan. Hasrat untuk melihat Indonesia baru menjadi mimpi di siang bolong. Bangsa Indonesia masih saja bergulat dengan aneka problem yang makin kompleks dan krusial. Kesenjangan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, dan keagamaan semakin tajam. Keadilan terasa semakin jauh. Kondisi seperti ini sebenarnya telah diramalkan oleh Raja Kediri, Prabu Joyoboyo (1135-1157). Joyoboyo dikenal sebagai pujangga Jawa yang memiliki pandangan visioner dan mampu melampaui zaman. Konon, Presiden Soekarno juga menyerap visi Joyoboyo ketika ia menghadapi penjajahan Jepang, yang menurut Joyoboyo hanya seumur jagung. Satu visi penting Joyoboyo yang bisa dibaca dan dikaji hari ini adalah pandangannya tentang jungkir baliknya nilai-nilai dalam masyarakat. Dikatakannya “wong bener thenger-thenger” (orang yang berpegang pada kebenaran justru terpuruk), “wong salah bungah” (orang yang salah justru gembira), “wong apik ditampik-tampik” (orang yang baik justru dihardik atau disingkirkan), dan “wong jahat munggah pangkat” (orang jahat justru naik pangkat). Seluruh pernyataan Joyoboyo di atas kini menemukan kebenarannya. Kekuasaan yang kotor dan busuk telah membuat keruh kehidupan masyarakat. Di antara sekian karut marut permasalahan bangsa Indonesia yang tak pernah bisa teratasi dengan baik adalah masalah penuntasan korupsi. Inkonsistensi Melawan Korupsi Korupsi yang dituding oleh banyak pihak sebagai pemicu kronis bangsa sampai kini belum juga ditemukan obat penangkalnya. Dia bagaikan lingkaran setan. Alih-alih berkurang, dari waktu ke waktu korupsi malah semakin parah. Korupsi juga sumber dari segala bencana dan kejahatan, the root of all evils. Seorang koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah seorang koruptor, misalnya adalah biaya hidup mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itulah, koruptor adalah the real terrorist. Adalah mimpi di siang bolong untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, memperbaiki mutu pendidikan dan lain-lain, apabila korupsi masih dibiarkan menari-nari di depan mata. Upaya untuk memerangi sekaligus memberantas korupsi tidak akan berjalan efektif apabila tidak ada itikad baik (political will) dari aparat penegak hukum untuk menjerat para koruptor dengan jeratan hukum yang maksimal. Lihat saja sekarang, pemberantasan korupsi di Indonesia menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi, ada aparat yang menjerat tetapi di sisi lain ada juga yang melepaskan. Minggu lalu, masyarakat dikejutkan dengan dibebaskannya walikota Medan Rahudman Harahap atas dakwaan korupsi. Bahkan, belum lama ini majelis hakim agung juga membebaskan terpidana korupsi mantan direktur PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Sudjiono Timan. Transformasi Budaya dan Solusi Penanganan Korupsi Korupsi tidak saja akan menghancurkan struktur kenegaraan secara perlahan. Tetapi juga menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Korupsi muncul dari struktur birokrasi dan akan berimbas dengan menggerogoti struktur birokrasi tempat korupsi berlangsung. Korupsi juga akan berakibat pada keruntuhan kekuasaan itu sendiri. Sebagai contoh, fakta sejarah yang terjadi di Tiongkok Cina, menggambarkan tentang bagaimana besarnya pengaruh buruk yang telah ditimbulkan korupsi bagi sebuah negara. Penderitaan rakyat Tiongkok telah menorehkan sejarah kelam dunia akan kekejaman rezim Kuomintang dan berjayanya kembali paham komunis di Cina. Contoh lain adalah Rumania. Konon di negeri itu, Ceaucescu dengan keluarganya memerintah bagai raja yang berkuasa penuh. Mereka membina kekuasaan yang amat korup untuk mengejar kenikmatan hidup bagi diri mereka sendiri dan tanpa hati nurani bersedia mengorbankan kesejahteraan seluruh rakyat Rumania. Rakyat Rumania hidup sengsara hingga sekian tahun, daalam pemerintahan Ceaucescu. Tapi gerakan oposisi rakyat yang bosan melihat penderitaan bagi dirinya, membawa rezim Ceaucescu tumbang oleh kekuatan rakyatnya sendiri. Relevan dengan contoh di atas, maka perlu adanya transformasi budaya sebagai solusi dalam perkara korupsi. Transformasi budaya dalam hal ini berarti spirit pengembangan, redefinisi arti, dan penanaman nilai budaya baru dalam masyarakat Indonesia. Budaya yang harus dikembangkan adalah budaya-budaya yang jauh dari sikap-sikap kebanyakan manusia Indonesia sekarang ini, misalnya mereformasi birokrasi yang patrimonial. Dalam hal ini pemerintah, lembaga legislatif, kehakiman, pers, dan masyarakat luas harus menjadi pilar utama dalam upaya mentransformasi budaya baru. Selain fokus pada budaya baru, sebenarnya korupsi bukanlah tidak bisa dilawan. Di beberapa tempat, koruptor menjadi pesakitan oleh inisiatif advokasi masyarakat, karenanya tidak perlu berkecil hati dalam berjuang melawan korupsi. Membangun sugesti positif menjadi hal yang sangat penting. Bagaimana caranya? Pertama, membuat strategi yang beragam, tidak tunggal. Artinya, membongkar kasus korupsi harus dilakukan dengan langkah yang sistematis dan tidak pernah mengenal kata menyerah. Kalau satu upaya gagal, secara kreatif harus dilakukan cara lain. Satu prinsip, karena pelaku korupsi tidak tunggal, membongkar korupsi juga harus dilakukan secara berjamaah. Kedua, membangun sinergi antarelemen dan memainkan peran yang solid dalam memberantas korupsi. Yang menarik, di beberapa tempat ditemukan, sinergitas tersebut tidak hanya dilakukan antarsesama elemen masyarakat sipil tapi juga melibatkan unsur para penegak hukum reformis. Keberadaan aparat penegak hukum yang reformis ternyata banyak membantu memaksimalkan kerja-kerja advokasi masyarakat agar tercapai seperti yang diidealkan. Ketiga, mengintensifkan pemantauan kasus korupsi yang diadvokasi saat memasuki tahapan peradilan. Lembaga peradilan merupakan instrumen hukum, yang di satu sisi krusial posisinya dalam penegakan hukum, tapi pada sisi yang lain rentan dengan praktik judicial corruption (mafia peradilan). Sudah banyak penelitian yang mengungkap fakta tentang maraknya korupsi di peradilan dan semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa korupsi di peradilan terjadi pada tiga titik penting, yaitu penanganan perkara, aspek-aspek kelembagaan peradilan, dan intervensi kekuatan ekstra yudisial terhadap kasus-kasus berdimensi politis yang sedang diproses di peradilan. Keempat, keberhasilan pemberantasan korupsi di masyarakat juga dipengaruhi oleh sikap persisten dan militan. Sikap persisten dan militan ini terbentuk dari penghayatan atas perasaan menjadi “masyarakat korban korupsi” terutama pada masyarakat yang menerima dampak kerugian langsung dari sebuah perilaku korup.(*)