8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HEMOGLOBIN A1c (HbA1c

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HEMOGLOBIN A1c (HbA1c)
Glycated hemoglobin (HbA1c) awalnya diidentifikasi sebagai
'unusual’ hemoglobin pada pasien dengan diabetes lebih dari 40 tahun
yang lalu. Setelah penemuan itu, sejumlah kecil penelitian dilakukan
mengkorelasikannya menjadi pengukuran glukosa sebagai hasil dalam
gagasan bahwa HbA1c dapat digunakan sebagai pengukuran objektif dari
kontrol glikemik. Studi A1C-Derived Average glucose (ADAG) termasuk
643 peserta yang mewakili rentang kadar A1C, HbA1c diperkenalkan ke
dalam penggunaan klinis pada 1980-an dan kemudian menjadi landasan
dari praktek klinis.28,29,30
Hemoglobin glikosilat atau HbA1 terdiri dari 3 fraksi yaitu HbA1a,
HbA1b dan HbA1c. HbA1c merupakan fraksi yang terpenting dan
terbanyak yaitu 4-5% dari hemoglobin
total. HbA1c inilah yang
merupakan ikatan antara glukosa dengan hemoglobin sedangkan fraksifraksi yang lain merupakan ikatan antara hemoglobin dengan heksosa
yang lain. HbA1c yang terbentuk dalam tubuh akan disimpan dalam sel
darah merah dan akan terurai secara bertahap bersama dengan
berakhirnya masa hidup sel darah merah (rata-rata umur sel darah merah
adalah 120 hari). HbA1c menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata-
8
rata selama 3 bulan. Jumlah HbA1c yang terbentuk sesuai dengan
konsentrasi glukosa darah.30,31
Penggunaan HbA1c dapat menghindari masalah variabilitas nilai
glukosa sehari-hari. Kadar gula darah berfluktuasi dari menit ke menit, jam
ke jam, dan hari ke hari. Sedangkan kadar HbA1C berubah secara
perlahan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui ‘kualitas’ dari
kontrol gula darah. Pada penderita diabetes, kadar glukosa cenderung
mudah meningkat dibandingkan kondisi normal, menurun dengan olah
raga, meningkat setelah makan, apalagi setelah makan makanan manis,
sehingga sulit untuk dikontrol. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk
dilakukan setiap 3 bulan sekali atau 4 kali dalam setahun. 30,32,33
Normalnya, nilai HbA1C pada yang bukan penderita diabetes
adalah 3,5%-5,5%. Sedangkan untuk penderita diabetes, nilai kontrol gula
darah yang baik adalah di bawah 6.5%. Sejak 2009 ADA telah
menetapkan nilai HbA1c sebesar 6,5% (48 mmol/mol) sebagai kriteria
diagnostik diabetes. ADA
telah menetapkan standar analitis untuk
pengukuran HbA1c intra-laboratorium CV (Coefficient variation) < 2% dan
inter-laboratorium CV<3.5%.2,30,31
Pengukuran kadar HbA1c harus dilakukan secara serial untuk
memperkirakan kontrol glukosa seorang individu, memperkirakan resiko
komplikasi
serta respon pengobatan. Kadar HbA1c dilaporkan pada
mulanya sesuai dengan DCCT (The Diabetes Control and Complications
Trial) dengan target terapi sekitar 6,5-7,5% yang kemudian dikembangkan
9
di Amerika dan dikenal dengan nama NGSP (National Glycohemoglobin
Standardization Program). Namun dengan kemajuan zaman, maka telah
dikembangkan suatu standar baru pengukuran HbA1c yang dibuat oleh
IFCC (International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory
Medicine) dalam satuan unit mmol/mol.34,35
Meskipun
terdapat
perbedaan
satuan
unit
untuk
kedua
metode ini, sejak tanggal 1 juni 2009, hasil HbA1c di Inggris melaporkan
2 satuan. Hal tersebut didasari atas konsensus penetapan standardisasi
pengukuran HbA1c sedunia yang diselenggarakan di Milan Italia
pada tanggal 4 Mei 2007, dimana salah satu pernyataannya menjelaskan
bahwa hasil pengukuran HbA1c sedunia harus dilaporkan dalam satuan
unit mmol/mol-IFCC dan %-NGSP menggunakan tabel konversi.34,35,36
Table 2.1 Hubungan antara kadar HbA1c dalam % DCCT atau
mmol/mol IFCC.34
(%)
(mmol/mol)
4.0
20
5.0
31
6.0
42
6.5
48
7.0
53
7.5
58
10
8.0
64
9.0
75
10.0
86
Untuk itu ditetapkan bahwa penderita diabetes
memiliki target
HbA1c antara 6,5-7,5% atau 48-59 mmol/mol sedangkan nilai rentang
untuk non diabetes antara 4-6% atau 20-42 mmol/mol. Setelah
diadaptasikan selama hampir 2 tahun, sejak tanggal 1 juni 2011 di Inggris,
hasil dilaporkan hanya dalam satuan unit IFCC.34,35,36,37
Cara
pengukuran
HbA1c
terdiri
atas
beberapa
metode,
diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu metode pertama adalah
pemisahan berdasarkan beban yang terdiri atas cation-exchange
chromatography (disposable micro column, high performance liquid
chromatography), dan electrophoresis (agar gel, cellulose acetate,
isoelectric focusing). Metode kedua berdasarkan analisa kimia yaitu
kolorimetri dan spektrofotometri. Metode ketiga berdasarkan perbedaan
struktural yang terdiri atas metode afinitas dan immunoassay.37,38,39,40,41
Metode
cation-exchange
chromatography
didasarkan
pada
perbedaan beban antara fase bergerak dan fase statis. Komponen
hemoglobin memberikan beban positif pada pH netral, komponen yang
kecil (HbA1c) kurang dibanding HbA sehingga komponen yang kecil
tersebut dapat melalui kolum lebih cepat dibanding HbA. Metode ini paling
sering digunakan dan merupakan metode standar jika dibandingkan
11
metode yang lain. Kelemahan metode ini adalah memerlukan banyak
waktu, alat yang besar dan mahal, sangat sensitif terhadap perubahan pH
dan suhu.42
Metoda HPLC mampu mendeteksi hemoglobin abnormal dan
memiliki reprodusibilitas yang baik dengan CV < 1%, namun kelemahan
metoda ini adalah memerlukan alat yang khusus, tenaga yang ahli dan
waktu yang lama sehingga tidak bisa digunakan di rumah sakit dengan
sampel pemeriksaan HbA1c yang banyak.
Metode immunoassay yang tersedia di pasaran umumnya adalah
EIA (enzyme immunoassay) dan latex inhibition immunoassay. Metode
enzyme immunoassay menggunakan poliklonal atau monoklonal antibodi
yang spesifik terhadap N-terminal valin pada rantai beta HbA1c. Antibodi
HbA1c ini terikat pada enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga
reaksi enzim ini dapat diukur. Alat ukur yang ada pada umumnya
berdasarkan micro titer plates.37
Metoda immunoassay ini dapat digunakan pada instrument
otomatik, tidak memerlukan tenaga ahli serta hemat waktu namun
kekurangannya pengukuran glikohemoglobin dan hemoglobin total mesti
terpisah dan reprodusibilitas tidak sebaik metoda HPLC dengan CV
sekitar 3-5%. Selain itu kurva kalibrasi tidak stabil untuk 24 jam sehingga
perlu dikalibrasi lagi.43
Sementara metode kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih
spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated
12
labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran
yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu mmol/L.40
Beberapa faktor yang mendukung penggunaan HbA1c sebagai alat
untuk skrining dan diagnosis diabetes adalah :37,44
•
Pemeriksaan HbA1c tidak perlu puasa dan dapat diperiksa kapan
saja.
•
HbA1c mencerminkan glikemia jangka panjang dibandingkan
glukosa plasma
•
Variabilitas biologisnya dan instabilitas preanalitiknya lebih rendah
dibanding glukosa plasma puasa
•
Kesalahan yang disebabkan oleh faktor non glikemik dapat
diminimalisasi
dengan
melakukan
pemeriksaan
konfirmasi
diagnosis dengan glukosa plasma.
•
Relatif tidak dipengaruhi oleh gangguan akut (stress atau penyakit
lain)
•
Lebih stabil pada suhu kamar dibandingkan glukosa plasma
•
Lebih direkomendasikan untuk monitoring pengendalian glukosa
•
Kadar HbA1c sangat berkorelasi dengan komplikasi DM
Selain itu seperti semua tes laboratorium lainnya HbA1c memiliki
beberapa
keterbatasan,
walaupun
jarang
haemoglobinopati
dapat
menyebabkan nilai HbA1c tinggi palsu atau rendah, tetapi tes paling
modern telah mengatasi kesulitan ini, meskipun staf laboratorium dan staf
klinis perlu untuk waspada. Thalasemia dan hemoglobinopati seperti Hb
13
C, Hb S, Hb E, dan lain-lain yang menyebabkan usia eritrosit memendek
menyebabkan penurunan kadar HbA1c. Pada cara kromatografi penukar
kation Hb C dan Hb S terhitung pada Hb total dan menurunkan hasil
perhitungan HbA1c. Sebaliknya Hb F, Hb H dan Hb Bart mungkin
menyebabkan HbA1c tinggi palsu, tergantung pada cara analisis.
Kekurangan zat besi dapat menyebabkan nilai HbA1c meningkat palsu
dan harus dikenali
ketika mendiagnosis pasien dengan diabetes
menggunakan HbA1c saja. Di sisi lain, pasien dengan “turn over" sel yang
tinggi (terutama anemia hemolitik , malaria kronis, major blood loss,
transfuse, anemia kronis akibat gagal ginjal dan penyakit hati) akan
memiliki nilai HbA1c rendah palsu. Usia dan etnis diduga juga dapat
mempengaruhi
peningkatan
HbA1c
namun
hal
ini
belum
terlalu
jelas.31,37,44,45
2.2. DIABETES MELLITUS (DM)
2.2.1. DEFINISI DIABETES MELLITUS
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya.7,33,46,47
Sementara World Health Organisation (WHO) mendefinisikan
diabetes melitus (DM) sebagai penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein
14
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari
kerja atau sekresi insulin.48
Diabetes merupakan suatu penyakit kronis yang dapat terjadi ketika
tubuh tidak mampu lagi memproduksi
insulin atau tidak dapat
menggunakan insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang
diproduksi di pankreas yang memungkinkan glukosa dari makanan untuk
memasuki sel tubuh dimana kemudian akan diubah menjadi energi yang
dibutuhkan oleh otot dan jaringan untuk menjalankan fungsinya. Orang
dengan diabetes tidak menyerap glukosa dengan benar, dan glukosa
tetap beredar dalam darah (suatu kondisi yang dikenal sebagai
hiperglikemia) kemudian merusak jaringan tubuh dari waktu ke waktu.49
Hiperglikemia kronis atau diabetes berhubungan dengan komplikasi
mikrovaskuler jangka panjang yang mempengaruhi mata, ginjal dan saraf,
serta peningkatan risiko untuk penyakit kardiovaskuler (CVD). Kriteria
diagnostik diabetes didasarkan pada ambang batas glikemia yang
berhubungan dengan penyakit mikrovaskuler, terutama retinopati.46,50,51,52
Diabetes memiliki gejala-gejala karakteristik seperti haus, poliuria,
gangguan mata, kehilangan berat badan dan polyphagia, dan dalam
bentuk-bentuk paling parah, dengan osmolaritas ketoasidosis atau
nonketotik hiperosmolar, yang bila tidak diikuti dengan pengobatan yang
efektif, akan mengarah ke pingsan, koma dan kematian. Gejala sering
tidak parah atau bahkan mungkin tidak ada. Hiperglikemia dapat
menyebabkan perubahan patologis fungsional yang cukup sering muncul
15
untuk waktu yang lama sebelum diagnosis dibuat. Akibatnya, diabetes
sering ditemukan karena adanya hasil yang abnormal dari tes glukosa
darah atau urine rutin atau karena adanya komplikasi.52
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang memerlukan
perawatan medis berkelanjutan serta manajemen rawat jalan yang mandiri
dan dukungan untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko
komplikasi jangka panjang. Pengaruh diabetes mellitus sebagai prediktor
independen angka kejadian stroke iskemik diakui dan berhubungan
dengan
berbagai
sebab.
Demikian
pula,
beberapa
studi
telah
menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes lebih mungkin untuk mati
atau memiliki cacat neurologis substansial setelah stroke akut daripada
subjek nondiabetik.53
2.2.2. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS
Ada beberapa klasifikasi DM yang dipakai sekarang ini, misalnya
menurut American Diabetes Assosiation (ADA) 2010, World Health
Organisation (WHO) dan PERKENI (Perkumpulan Endokrin Indonesia)
2013. Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia menurut
Konsensus
PERKENI 2013, sesuai dengan klasifikasi menurut ADA 2010
Menurut PERKENI 2013 ada 4 klasifikasi DM yaitu:7
1. Diabetes mellitus type 1 ( destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolute ).
•
Autoimune
•
Idiopatik
16
2. Diabetes mellitus type 2 (bervariasi mulai yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi insulin).
3. DM tipe lain
1. Defek genetik fungsi sel beta.
2. Defek genetik kerja insulin.
3. Penyakit endokrin pankreas.
4. Karena obat atau zat kimia
5. Infeksi.
6. Sebab imunologi yang jarang.
7. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
4. Diabetes Mellitus Gestasional.
2.2.3. KRITERIA DIAGNOSA DIABETES MELLITUS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai
keluhan
dapat
ditemukan
pada
penyandang
diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti di bawah ini:7
•
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
17
•
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
≥ 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis
DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa≥
126mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu≥ 200mg/dl pada hari yang lain,
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa
darah pasca pembebanan ≥ 200mg/dl.7
Tabel 2.2 Kriteria laboratorium menurut ADA 2010 yaitu :7,33
1. HbA1c ≥ 6.5%. Tes harus dilakukan di laboratorium menggunakan
metode yang bersertifikat NGSP dan standar untuk pengukuran
DCCT.*
Atau
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa
diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.*
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
18
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan
ke dalam air.*
Atau
4. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
*bila tidak terdapat hiperglikemia nyata/tegas, kriteria 1-3 dikonfirmasi
dengan
pemeriksaan ulang.
Hemoglobin A1c dengan cutoff ≥6,5% termasuk dalam salah satu
kriteria diagnosis ADA 2010 untuk DM. Peningkatan HbA1c ini harus
dikonfirmasi engan pemeriksaan kedua pada hari yang lain kecuali bila
kadar glukosa darah >200mg/dl. Keuntungan penggunaan HbA1c adalah
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menilai paparan glikemia dan
risiko komplikasi, variabilitas intraindividu yang rendah (<2%), tidak
dibutuhkan puasa, lebih memungkinkan untuk dilakukan tes ulangan dan
dapat dipakai sebagai alat diagnosis dan monitoring.33
2.2.4. DIABETES MELLITUS TYPE 2
Diabetes type 2 (DM type 2) adalah jenis yang paling umum pada
diabetes, sekitar 90-95% penderita diabetes berusia ≥20 tahun. Memang
19
pada DM type 2 ini sering terjadi pada orang dewasa, tetapi saat ini
semakin terlihat pada anak-anak dan remaja. Diabetes tipe ini bukan
merupakan penyakit autoimun, pankreas masih mampu menghasilkan
insulin meskipun jumlahnya tidak mencukupi untuk memelihara keadaan
fisiologis, atau tubuh tidak mampu merespon (juga dikenal sebagai
resistensi insulin), sehingga kadarnya di dalam darah meningkat. Banyak
orang dengan DM type 2 tetap tidak menyadari penyakit mereka untuk
waktu yang lama karena gejala dapat muncul bertahun-tahun untuk
muncul atau dikenali, selama itu tubuh menjadi rusak karena kelebihan
glukosa darah. Mereka sering didiagnosis hanya ketika komplikasi
diabetes sudah berkembang. Pada beberapa pasien, tipe ini memerlukan
tambahan insulin dari luar untuk mengatasi hal tersebut.33,49,54
Meskipun alasan untuk perkembangan DM type 2 masih belum
diketahui, ada beberapa faktor risiko penting yang perlu kita ketahui. Ini
termasuk, obesitas atau kelebihan berat badan, makan yang berlebihan,
tidak adanya aktifitas, usia, riwayat keluarga penderita DM, etnis,
peningkatan kadar glukosa darah selama kehamilan mempengaruhi
bayi.33,49
Berbeda dengan orang-orang dengan diabetes type 1, mayoritas
orang-orang dengan DM type 2 biasanya tidak memerlukan dosis harian
insulin untuk bertahan hidup. Banyak orang mampu mengelola kondisi
mereka melalui diet yang sehat dan berolah raga atau pengobatan oral.
Namun, jika mereka tidak mampu mengatur tingkat gula darah mereka,
20
mereka terpaksa akan diberikan terapi insulin. Jumlah orang dengan
diabetes type 2 tumbuh pesat di seluruh dunia. Kenaikan ini terkait
dengan
pembangunan
ekonomi,
usia,
meningkatnya
urbanisasi,
perubahan pola makan, kurangnya aktivitas fisik, dan perubahan dalam
pola gaya hidup.49
DM type 2 dapat disebabkan oleh gangguan aksi insulin (resistensi
insulin) dan / atau gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin merupakan
gambaran defek metabolisme pada sebagian besar pasien, gangguan
aksi insulin dapat dilihat di beberapa jaringan, misalnya, otot rangka,
jaringan adiposa dan hati. Ini mengarah kepeningkatan sekresi insulin dari
pankreas
untuk
mengatasi
gangguan
aksi
insulin.
Kompensasi
hyperinsulinemia mempertahankan kadar glukosa dalam kisaran normal
tetapi pada individu yang ditakdirkan untuk menderita DM, fungsi sel betaakhirnya menurun dan mengarah ke status hiperglikemik.51
2.2.5. PATOGENESA DIABETES MELLITUS TYPE 2
Patogenesis DM tipe 2 adalah kompleks dan melibatkan interaksi
genetik dan faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan menunjukkan
peranan penting dalam perkembangan DM type 2 khususnya intake kalori
yang berlebihan yang mengakibatkan kegemukan dan gaya hidup
modern. Walaupun interaksi dari faktor genetik, lingkungan yang
mengakibatkan onset klinis DM type 2 belum dapat diketahui pasti, tapi
proses ini berjalan bertahap dan meningkat. Kelainan genetik dari DM
21
type 2 adalah bentuk poligenik dan disebabkan oleh kombinasi dari
resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal. Faktor genetik
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian DM.
Kelainan yang diturunkan dapat langsung mempengaruhi sel beta dan
mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebar ransang
sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut
terhadap faktor -faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan
fungsi sel beta pancreas.55
Obesitas juga berpengaruh pada kejadian DM type 2. Obesitas
dapat menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan
glukosa menjadi berkurang, selain itu reseptor insulin di sel seluruh tubuh
berkurang jumlah dan keaktifannya termasuk di otot.Insulin adalah
hormon untuk mengatur glukosa darah. Secara umum, normoglycemia
diatur oleh interaksi seimbang antara sekresi insulin dan efektivitas dari
aksi insulin. Dalam keadaan puasa, bagian utama dari glukosa dihasilkan
oleh hati, dan kira-kira setengah itu digunakan untuk metabolisme glukosa
otak. Sisanya diambil oleh berbagai jaringan, terutama otot dan bagian
kecil jaringan adiposa. Dalam situasi ini tingkat insulin rendah, dan tidak
cukup berpengaruh pada asupan glukosa otot. Hati yang normal mampu
meningkatkan produksi glukosa empat kali lipat atau lebih, dan efek utama
dari kadar insulin yang relatif rendah adalah untuk mengendalikan
produksi glukosa hati. Setelah makan insulin dikeluarkan dalam jumlah
besar, yang mana akan mengurangi produksi glukosa hati lebih jauh dan
22
akan mengarah ke peningkatan asupan glukosa otot (dan jaringan
adiposa).56
Penurunan respon sel beta pankreas dan resistensi insulin
mengakibatkan berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel -sel tubuh
sehingga konsentrasi glukosa darah akan naik, mobilisasi lemak dari
daerah penyimpanan lemak akan meningkat sehingga terjadi metabolisme
lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding
pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya gejala atherosklerosis
serta berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.57
Diabetes jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik,
akan
menyebabkan terjadinya komplikasi kronik vaskuler, mikrovaskuler
maupun makrovaskuler, dan non vaskuler. Komplikasi makrovaskuler
meliputi penyakit jantung, penyakit serebrovaskuler, penyakit pembuluh
darah perifer sedangkan komplikasi mikrovaskuler meliputi nefropati,
retinopati dan neuropati. Komplikasi non vaskuler adalah disfungsi seksual
dan perubahan pada kulit.58
2.2.6. FAKTOR RESIKO DIABETES MELITUS
Faktor risiko diabetes terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa
dimodifikasi yaitu ras dan etnis, riwayat keluarga dengan diabetes, umur
≥45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4 kg
atau riwayat pernah mengalami DMG, faktor risiko yang bisa dimodifikasi
yaitu berat badan lebih (Indek Masa Tubuh
≥23 kg/m
2
), kurangnya
23
aktivitas fisik, hipertensi (≥140/90 mmHg), dislipidemi a (HDL(High Dense
Lipoprotein) ≤35 mg/dl dan trigliserida ≥250 mg/dl), serta faktor lain yang
terkait dengan risiko diabetes yaitu penderita sindroma metabolik dan
Polycystic Ovary Syndrome.7,33
2.3 STROKE ISKEMIK
2.3.1. DEFINISI
Stroke merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya defisit
neurologi fokal atau global yang berlangsung mendadak selama 24 jam
atau lebih atau kurang dari 24 jam yang dapat menyebabkan kematian,
yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Stroke merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di
Indonesia.3,4
Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan
jaringan otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke otak
sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak.
Iskemik/infark serebral terjadi akibat oklusi sementara atau permanen dari
feeding arteri ekstrakranial/intrakranial atau trombosis vena yang akan
menyebabkan kerusakan sel akibat kekurangan suplai oksigen dan
nutrisi.59,60
24
2.3.2. FAKTOR RESIKO
Stroke iskemik dapat disebabkan oleh berbagai risiko, baik yang
dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi adalah :59,61,62,63
a. Usia
Usia merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehingga
merupakan faktor utama terjadinya stroke. Pembentukan ateroma
terjadi seiring bertambahnya usia, dimana stroke paling sering
terjadi pada usia lebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia
dibawah 40 tahun. Dikatakan bahwa proses pembentukan ateroma
tersebut dapat terjadi 20-30 tahun tanpa menimbulkan gejala.
b. Jenis kelamin
Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi
stroke pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya
estrogen
yang
berfungsi
sebagai
proteksi
pada
proses
aterosklerosis. Di lain pihak pemakaian hormon estrogen dosis
tinggi
menyebabkan
peningkatan
kematian
akibat
penyakit
kardiovaskuler pada pria. Oleh karena itu faktor ini sebenarnya
masih diperdebatkan
c. Keturunan
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan
pembuluh darah, dan riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika
25
dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada
usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko terkena stroke.
d. Ras atau etnik
Prevelansi yang berbeda terjadi pada orang dengan kulit putih,
hitam dan Asia, bukan hanya akibat faktor genetik. Hal ini akibat
rendahnya kolesterol serum, tingginya intake alkohol dan konsumsi
makanan tradisional Asia yang rendah lemak dan protein yang
berasal dari hewan berhubungan dengan rendahnya penyakit
jantung koroner tetapi menyababkan tingginya kejadian stroke.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain
a. Hipertensi
Merupakan faktor yang penting pada pathogenesa terjadinya stroke
iskemia dan perdarahan. Biasanya berhubungan dengan tingginya
tekanan diastolik. Mekanismenya belum diketahui secara pasti,
tetapi pada percobaan binatang (anjing) didapatkan bahwa adanya
tekanan darah yang tinggi menyebabkan kerusakan endotel
pembuluh
darah
dan
meningkatkan
permeabilitas
dinding
pembuluh darah terhadap lipoprotein. Pada penelitian Framingham,
resiko relatif terjadinya stroke pada setiap peningkatan 10 mmHg
tekanan darah sistolik adalah 1,9 pada pria dan 1,7 pada wanita
dimana faktor-faktor lain telah diatasi.
b. Penyakit jantung
26
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot
jantung, paska operasi jantung juga memperbesar risiko stroke,
yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium,
karena memudahkan terjadinya pengumpulan darah di jantung dan
dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah otak.
c. Diabetes mellitus
Kadar
gulakosa
dalam
darah
tinggi
dapat
mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah yang berlangsung secara
progresif. Salah satu penyulit vaskuler pada penderita ini adalah
penyakit pembuluh darah serbral. Penderita ini mempunyai resiko
terjadinya stroke 1,5-3 kali lebih sering jika dibandingkan dengan
populasi normal. Hiperlikemi kronis akan menimbulkan glikolisasi
protein-protein dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga
berminggu-mingu, akan terjadi AGES (advanced glycosylate end
products) yang toksik untuk semua protein. AGE protein yang
terjadi diantaranya terdapat pada reseptor makrofag dan reseptor
endotel. AGE reseptor dimakrofag akan meningkatkan produksi
TNF (tumor necrosis factors), IL1 (interleukine-1), IGF-1 (Insuline
like growth factors-1). Produk ini akan memudahkan prolipelisasi
sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor yang terjadi di
endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-1 yang dapat
menyebabkan kontriksi pembuluh darah dan kerusakan pembuluh
darah.
27
d. Hiperkolesterolemia
Produk kolesterol didalan darah yang terbanyak adalah Low
Density Lipoprotein (LDL), LDL ini meningkat dengan adanya
proses aterosklerosis. Sedangkan High Density Lipoprotein (HDL)
merupakan proteksi terhadap terbentuknya aterosklerosis akibat
fasilitas pembuangan (disposal) partikel kolestrol. Akhir-akhir ini
ditemukan adanya lipoprotein(a) yang menyerupai LDL, dan
melekat pada suatu apoprotein yang disebut apolipoprotein (a) oleh
jembatan disulfida. Apo (a) merupakan struktur dalam darah yang
sama dengan plasminogen dimana plasminogen merupakan
plasma protein yang penting dalam proses fibrinolisis pada proses
pembekuan. Sehingga dengan banyaknya lipoprotein (a) akan
menghambat aktivitas trombolitik oleh plasminogen. Akan tetapi
adanya kelainan tersebut lebih sering menyababkan penyakit
jantung koroner dibandingkan menimbulkan stroke.
e. Merokok
Merokok merupakan faktor resiko yang independen. Mekanisme
terjadinya ateroma tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi
kemungkinan akibat:
•
Stimulasi sistim saraf simpatis oleh nikoton dan ikatan O2
dengan hemoglobin akan digantikan dengan karbonmonoksida
•
Reaksi imunologi direk pada dinding pembuluh darah
•
Peningkatan agregasi trombosit
28
•
Peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat
yang terdapat di dalam rokok.
f. Alkohol.
Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis,
biasanya
terjadi pada penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus. Ada
yang mengatakan bahwa alkohol masih merupakan faktor resiko
yang kontroversial. Walaupun behitu angka kejadian stroke
meningkat
pada
peminum
alkohol
sedang
hingga
berat
dibandingkan dengan seseorang yang bukan peminum alkohol.
Selain itu ada pula yang mengelompokkan faktor risiko stroke
menjadi dua yaitu faktor risiko mayor seperti hipertensi, diabetes melitus,
kelainan jantung dan faktor risiko minor yaitu hiperlipidemia, merokok,
kegemukan, hiperkoagulasi, usia lanjut, riwayat transientischemic attacks
(TIA), hiperurikemia, kontrasepsi oral, kelainan pembuluh darah, dan
riwayat stroke dalam keluarga.61,64,65
2.3.3. KLASIFIKASI STROKE
Secara garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi,
stroke dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik 66,67
1. Stroke iskemik yang mencakup
a. Stroke trombotik
29
b. Stroke embolik
2. Stroke hemoragik.68
a. Perdarahan intra serebral
b. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid)
Berdasarkan subtipe penyebab.55
a.
Stroke lakunar
b.
Stroke trombotik pembuluh besar
c.
Stroke embolik
d.
Stroke kriptogenik
Sekitar 80% kasus stroke adalah stroke iskemik dan 20% lainnya
merupakan stroke hemoragik. Stroke iskemik merupakan tipe yang umum,
ini merupakan tipe yang tersering. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi
dari arteri pada leher atau di dalam otak. Etiologi untuk akut iskemik stroke
beragam. Oklusi arteri paling sering disebabkan oleh trombus yang
berjalan ke otak (embolized) dari lokasi yang lebih proksimal di tubuh,
seperti jantung atau dari plak dalam dinding arteri proksimal, seperti aorta
atau arteri karotid interna. Sangat jarang, etiologi dari stroke iskemik
adalah trombus lokal yang berkembang segera di lokasi oklusi, dalam
arteri intrakranial besar (bagian otak tengah atau basilar). Stroke iskemik
mencapai 80–85% dari stroke di sebagian besar dunia, kecuali untuk Asia,
dimana pendarahan intra serebral lebih umum.68
Pendarahan intra kranial disebabkan oleh ruptur pembuluh darah,
dengan perdarahan yang langsung ke parenkim otak, ventrikel dan ruang
30
di sekitar otak. Ruptur dapat terjadi umumnya berkaitan dengan lamanya
hipertensi (small vessel disease), penyakit degeneratif dari arteri
superfisial (amiloid angiopathy), atau dari kelainan struktural arteri
intrakranial besar, seperti malformasi arteri-vena. Pendarahan sub
arachnoid terjadi ketika ruptur aneurisma intrakranial dan darah masuk
keruang di sekitar otak.68
2.3.4. PATOFISIOLOGI STROKE ISKEMIK
.Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan
menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini, pada sumbatan
kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dikompensasi
dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis gejala
yang timbul adalah TIA yang timbul dapat berupa hemiparesis yang
menghilang sebelum 24 jam atau amnesia umum sepintas. Bila sumbatan
agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF (Cerebrospinal
Fluid) regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih
mampu memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai
dengan 2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit
gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic
Neurologic Deficit). Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah
iskemia yang luas sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tak
31
dapat mengatasinya. Dalam keadaan ini timbul defisit neurologi yang
berlanjut.69,70
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah
satunya adalah aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang
menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme
emboli
2.1.3.1.
Aterosklerosis
Aterosklerosis
adalah
radang
pada
pembuluh
darah
yang
disebabkan penumpukan plak ateromatous. Proses peradangan yang
terjadi pada dinding pembuluh darah yang terjadi dengan beberapa fase.
Pada fase awal terjadi disfungsi endotel dengan degradasi ikatan dan
struktur mosaik, sehingga memungkinkan senyawa yang terdapat di
dalam plasma darah seperti LDL untuk menerobos dan mengendap pada
ruang sub endotel akibat peningkatan permeabilitas. Endapan tersebut
dengan perlahan akan mengecilkan penampang pembuluh darah dalam
rentang waktu dekade.69
Keberadaan makrofag pada arteri intima memiliki peran yang
sangat vital bagi perkembangan aterosklerosis, dengan sekresi beragam
sitokin yang mempercepat pathogenesis ini. Hasil studi menunjukkan
bahwa guratan aterosklerosis adalah senyawa fatty streak yang terdiri dari
foam cell, sejenis makrofag yang kaya akan lipid, yang disebut ateroma.
Guratan ateroma akan berkembang menjadi plak fibrous yang terdiri dari
lipid yang tertutup oleh sel otot halus dan kolagen.71
32
Proses penutupan mula-mula berjalan lambat, namun dengan
penumpukan keping darah dan fibrin, proses ini akan berkembang lebih
cepat seiring dengan mekanisme fibrotik yang bergantung trombosis.69
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik
dengan cara menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan
insufisiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena
terjadinya trombus atau peredaran darah aterom, atau menyebabkan
dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian
dapat robek.71,72
2.1.3.2.
Trombosis
Pembentukan trombus arteri dipengaruhi oleh 3 bagian yang
penting, yaitu adanya keadan subendotel vaskuler, trombin dan
metabolisme asam arakhidonat. Trombolis diawali dengan adanya
kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen dibawahnya.
Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan
dinding pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh
darah. Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini
disebabkan karena adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel
endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat
vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami
kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat kolagen
pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit dan agregasi
trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat
33
didalam granula-granula didalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari
makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada
trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen
pembuluh darah.63,69
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia
sickle sel, defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral,
dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat serangan migrain. Setiap
proses
yang
menyebabkan
diseksi
arteri
serebral
juga
dapat
menyebabkan terjadinya stroke trombotik.69
2.1.3.3.
Emboli
Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial
dapat lisis akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang
menyebabkan terbentuknya emboli, yang akan menyumbat arteri yang
lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus dalam pembuluh
darah juga dapat akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak
menjadi tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat
menyebabkan penyumbatan pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli
tersebut akan mengandung endapan kolesterol, agregasi trombosit dan
fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh
darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan
umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran
darah. Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh
34
darah di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan
ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat.63
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa
yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi
penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun.
K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul
di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negative
sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran
sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural
ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera
apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu
bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit.
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan
fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis
menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama
jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi
peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan
perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik.69,71,72,73
2.3.5. DIAGNOSIS STROKE ISKEMIK
Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada
saat ini pasien membutuhkan pertolongan dan sesegera mungkin dibawa
ke
pelayanan
kesehatan.
Diagnosa
stroke
iskemik
ditegakkan
35
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan CT scan kepala
yang dilakukan saat masuk. Kadar mikroalbuminuria dan serum kalsium
diukur dalam 24-76 jam setelah dirawat. Outcome stroke diukur dengan
menggunakan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), modified
Rankin Scale (mRS), Barthel Index (BI) pada hari ke-tujuh.68
2.3.5.1.
Anamnesa
Anamnesis terhadap kasus stroke dapat dilakukan autoanamnesis
apabila keadaan memungkinkan, apabila keadaan tidak memungkinkan
untuk bertanya langsung pada pasien, dapat dilakukan alloanamnesis
terhadap keluarga yang mendampingi pasien. Anamnesis yang perlu
dilakukan meliputi:68
1. Identitas Pasien, meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia
tua), jenis kelamin, pendidikan,alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosis medis.
2. Keluhan utama, bertanya tentang kejadian dan gejala awal. Stroke
emboli ditandai dengan adanya kejang di awal kejadian. Ditanya
perkembangan gejala sama ada timbul secara mendadak atau
bertahap danjuga keluhan lain pasien.
3. Riwayat penyakit sekarang, ditanya adakah pasien mengalami defisit
neurologis, ditanya juga tentang faktor resiko yang mungkin ada pada
pasien. Misalnya, adakah pasien hipertensi, mengalami fibrilasi atrium,
diabetes, merokok dan sering minum alcohol.
36
4. Riwayat penyakit dahulu, ditanya jika pasien pernah mempunyai
riwayat
diserang
stroke
sebelum
ini.
Ditanya
adakah
pasien
menggunakan obat terutama kokain. Penghentian obat secara tiba-tiba
misalnya
klonidin
yang
merupakan
obat
antihipertensi
dapat
menyebabkan hipertensi rebound yang berat.
5. Riwayat penyakit keluarga, ditanya juga jika sebelum ini ada anggota
keluarga pasien yang turut diserang stroke, hipertensi atau diabetes
mellitus.
2.3.5.2.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang umumnya dilakukan seperti mengukur
suhu,tekanan darah, kecepatan nadi, dan kecepatan nafas sangat
membantu diagnosis penderita stroke. Pemeriksaan neurologis. Pada
pasien stroke juga perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti tingkat
kesadaran, kekuatan otot dan tonus otot. Pada pemeriksaan tingkat
kesadaran dilakukan pemeriksaan yang dikenal sebagai Glascow Coma
Scale untuk mengamati pembukaan kelopak mata, kemampuan bicara,
dan tanggap motorik (gerakan). Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan
satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi lainnya, dan terutama
dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan,kelemahan atau
kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan trofi otot
anggota gerak, nyeri punggung atau pinggang gangguan fungsi otonom.
Suatu reflek dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas, dan
respon gerak reflektorik meningkat dari keadaan normal. Rangsangan
yang diberikan harus cepat dan langsung, kerasnya rangsangan
37
tidak boleh melebihi batas sehingga justru melukai pasien. Sifat reaksi
setelah perangsangan tergantung tonus otot sehingga otot yang diperiksa
sebaiknya dalam keadaan sedikit kontraksi, dan bila hendak dibandingkan
dengan sisi kontralateralnya maka posisi keduanya harus simetris.
2.3.5.3.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada stroke akut meliputi
beberapa parameter yaitu pemeriksaan hematologi rutin, pemeriksaan
kimia darah lengkap, pemeriksaan hemostasis.74
Hematologi rutin memberikan data tentang kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit dan trombosit serta morfologi sel darah.
Trombositemia meningkatkan kemungkinan terjadinya agregasi dan
terbentuknya
trombus.
Pemeriksaan
kadar
glukosa
darah
untuk
mendeteksi adanya hipoglikemia maupun hiperglikemia, karena pada
kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan
elektrolit bertujuan mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk
natrium, kalium, kalsium, fosfat dan magnesium yang semuanya dapat
menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Analisa gas darah juga perlu
dilakukan, karena hipoksia dan hiperkapnia juga dapat menyebabkan
gangguan neurologis. Pemeriksaan enzim jantung dikerjakan karena tidak
jarang pasien stroke juga mengalami infark miokard. Penyakit jantung
iskemik dijumpai pada 20% pasien dengan TIA dan stroke. Pemeriksaan
38
PT dan aPTT untuk menilai aktivitas koagulasi serta monitoring terapi.
Sedangkan D-dimer diperiksa untuk mengetahui aktivitas fibrinolisis.74
2.3.5.4. Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis stroke tidak dapat dipastikan melalui pemeriksaan fisik
saja tetapi memerlukan pemeriksaan radiologi supaya diagnosis yang
dibuat lebih tepat. Pemeriksaan yang dapat digunakan adalah:
CT-scan (computed tomography) merupakan suatu alat penunjang
diagnostik
yang
menggunakan
pencitraan
sinar
X
dan
memiliki
kemampuan mendeteksi struktur otak dengan sangat baik, dipakai pada
kasus-kasus emergensi dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada
kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara
jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Pada stroke iskemik akan
nampak gambaran hipodens pada CT-scan, sedangkan stroke hemoragik
akan nampak gambaran hiperdens. Pada infark otak, pemeriksaan CTscan mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada
hari-hari
pertama,
biasanya
tampak
setelah
72
jam
setelah
serangan.68,75,76
Dengan adanya CT-scan, diagnosis stroke dapat lebih ditegakkan
untuk mengkonfirmasi yang sebelumnya ditegakkan secara klinis. Dengan
demikian CT-scan merupakan standar baku emas untuk penegakan
diagnosis stroke. Akan tetapi, di Indonesia alat CT-scan saat ini hanya
39
terdapat di kota-kota besar terutama di beberapa ibukota provinsi karena
harga alat dan biaya perawatannya mahal.68,77,78
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Perdarahan atau infark di
batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan MRI yang secara umum lebih sensitif dibandingkan CT-scan.
Namun kelemahan pemeriksaan MRI ini adalah prosedur pemeriksaan
yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang
mempunyai, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat
dipakai pada pasien
yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran.75,76
Kerangka Teori
40
Download