BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HEMOGLOBIN A1c (HbA1c) Glycated hemoglobin (HbA1c) awalnya diidentifikasi sebagai 'unusual’ hemoglobin pada pasien dengan diabetes lebih dari 40 tahun yang lalu. Setelah penemuan itu, sejumlah kecil penelitian dilakukan mengkorelasikannya menjadi pengukuran glukosa sebagai hasil dalam gagasan bahwa HbA1c dapat digunakan sebagai pengukuran objektif dari kontrol glikemik. Studi A1C-Derived Average glucose (ADAG) termasuk 643 peserta yang mewakili rentang kadar A1C, HbA1c diperkenalkan ke dalam penggunaan klinis pada 1980-an dan kemudian menjadi landasan dari praktek klinis.28,29,30 Hemoglobin glikosilat atau HbA1 terdiri dari 3 fraksi yaitu HbA1a, HbA1b dan HbA1c. HbA1c merupakan fraksi yang terpenting dan terbanyak yaitu 4-5% dari hemoglobin total. HbA1c inilah yang merupakan ikatan antara glukosa dengan hemoglobin sedangkan fraksifraksi yang lain merupakan ikatan antara hemoglobin dengan heksosa yang lain. HbA1c yang terbentuk dalam tubuh akan disimpan dalam sel darah merah dan akan terurai secara bertahap bersama dengan berakhirnya masa hidup sel darah merah (rata-rata umur sel darah merah adalah 120 hari). HbA1c menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata- 8 rata selama 3 bulan. Jumlah HbA1c yang terbentuk sesuai dengan konsentrasi glukosa darah.30,31 Penggunaan HbA1c dapat menghindari masalah variabilitas nilai glukosa sehari-hari. Kadar gula darah berfluktuasi dari menit ke menit, jam ke jam, dan hari ke hari. Sedangkan kadar HbA1C berubah secara perlahan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui ‘kualitas’ dari kontrol gula darah. Pada penderita diabetes, kadar glukosa cenderung mudah meningkat dibandingkan kondisi normal, menurun dengan olah raga, meningkat setelah makan, apalagi setelah makan makanan manis, sehingga sulit untuk dikontrol. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan setiap 3 bulan sekali atau 4 kali dalam setahun. 30,32,33 Normalnya, nilai HbA1C pada yang bukan penderita diabetes adalah 3,5%-5,5%. Sedangkan untuk penderita diabetes, nilai kontrol gula darah yang baik adalah di bawah 6.5%. Sejak 2009 ADA telah menetapkan nilai HbA1c sebesar 6,5% (48 mmol/mol) sebagai kriteria diagnostik diabetes. ADA telah menetapkan standar analitis untuk pengukuran HbA1c intra-laboratorium CV (Coefficient variation) < 2% dan inter-laboratorium CV<3.5%.2,30,31 Pengukuran kadar HbA1c harus dilakukan secara serial untuk memperkirakan kontrol glukosa seorang individu, memperkirakan resiko komplikasi serta respon pengobatan. Kadar HbA1c dilaporkan pada mulanya sesuai dengan DCCT (The Diabetes Control and Complications Trial) dengan target terapi sekitar 6,5-7,5% yang kemudian dikembangkan 9 di Amerika dan dikenal dengan nama NGSP (National Glycohemoglobin Standardization Program). Namun dengan kemajuan zaman, maka telah dikembangkan suatu standar baru pengukuran HbA1c yang dibuat oleh IFCC (International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine) dalam satuan unit mmol/mol.34,35 Meskipun terdapat perbedaan satuan unit untuk kedua metode ini, sejak tanggal 1 juni 2009, hasil HbA1c di Inggris melaporkan 2 satuan. Hal tersebut didasari atas konsensus penetapan standardisasi pengukuran HbA1c sedunia yang diselenggarakan di Milan Italia pada tanggal 4 Mei 2007, dimana salah satu pernyataannya menjelaskan bahwa hasil pengukuran HbA1c sedunia harus dilaporkan dalam satuan unit mmol/mol-IFCC dan %-NGSP menggunakan tabel konversi.34,35,36 Table 2.1 Hubungan antara kadar HbA1c dalam % DCCT atau mmol/mol IFCC.34 (%) (mmol/mol) 4.0 20 5.0 31 6.0 42 6.5 48 7.0 53 7.5 58 10 8.0 64 9.0 75 10.0 86 Untuk itu ditetapkan bahwa penderita diabetes memiliki target HbA1c antara 6,5-7,5% atau 48-59 mmol/mol sedangkan nilai rentang untuk non diabetes antara 4-6% atau 20-42 mmol/mol. Setelah diadaptasikan selama hampir 2 tahun, sejak tanggal 1 juni 2011 di Inggris, hasil dilaporkan hanya dalam satuan unit IFCC.34,35,36,37 Cara pengukuran HbA1c terdiri atas beberapa metode, diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu metode pertama adalah pemisahan berdasarkan beban yang terdiri atas cation-exchange chromatography (disposable micro column, high performance liquid chromatography), dan electrophoresis (agar gel, cellulose acetate, isoelectric focusing). Metode kedua berdasarkan analisa kimia yaitu kolorimetri dan spektrofotometri. Metode ketiga berdasarkan perbedaan struktural yang terdiri atas metode afinitas dan immunoassay.37,38,39,40,41 Metode cation-exchange chromatography didasarkan pada perbedaan beban antara fase bergerak dan fase statis. Komponen hemoglobin memberikan beban positif pada pH netral, komponen yang kecil (HbA1c) kurang dibanding HbA sehingga komponen yang kecil tersebut dapat melalui kolum lebih cepat dibanding HbA. Metode ini paling sering digunakan dan merupakan metode standar jika dibandingkan 11 metode yang lain. Kelemahan metode ini adalah memerlukan banyak waktu, alat yang besar dan mahal, sangat sensitif terhadap perubahan pH dan suhu.42 Metoda HPLC mampu mendeteksi hemoglobin abnormal dan memiliki reprodusibilitas yang baik dengan CV < 1%, namun kelemahan metoda ini adalah memerlukan alat yang khusus, tenaga yang ahli dan waktu yang lama sehingga tidak bisa digunakan di rumah sakit dengan sampel pemeriksaan HbA1c yang banyak. Metode immunoassay yang tersedia di pasaran umumnya adalah EIA (enzyme immunoassay) dan latex inhibition immunoassay. Metode enzyme immunoassay menggunakan poliklonal atau monoklonal antibodi yang spesifik terhadap N-terminal valin pada rantai beta HbA1c. Antibodi HbA1c ini terikat pada enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga reaksi enzim ini dapat diukur. Alat ukur yang ada pada umumnya berdasarkan micro titer plates.37 Metoda immunoassay ini dapat digunakan pada instrument otomatik, tidak memerlukan tenaga ahli serta hemat waktu namun kekurangannya pengukuran glikohemoglobin dan hemoglobin total mesti terpisah dan reprodusibilitas tidak sebaik metoda HPLC dengan CV sekitar 3-5%. Selain itu kurva kalibrasi tidak stabil untuk 24 jam sehingga perlu dikalibrasi lagi.43 Sementara metode kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated 12 labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu mmol/L.40 Beberapa faktor yang mendukung penggunaan HbA1c sebagai alat untuk skrining dan diagnosis diabetes adalah :37,44 • Pemeriksaan HbA1c tidak perlu puasa dan dapat diperiksa kapan saja. • HbA1c mencerminkan glikemia jangka panjang dibandingkan glukosa plasma • Variabilitas biologisnya dan instabilitas preanalitiknya lebih rendah dibanding glukosa plasma puasa • Kesalahan yang disebabkan oleh faktor non glikemik dapat diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis dengan glukosa plasma. • Relatif tidak dipengaruhi oleh gangguan akut (stress atau penyakit lain) • Lebih stabil pada suhu kamar dibandingkan glukosa plasma • Lebih direkomendasikan untuk monitoring pengendalian glukosa • Kadar HbA1c sangat berkorelasi dengan komplikasi DM Selain itu seperti semua tes laboratorium lainnya HbA1c memiliki beberapa keterbatasan, walaupun jarang haemoglobinopati dapat menyebabkan nilai HbA1c tinggi palsu atau rendah, tetapi tes paling modern telah mengatasi kesulitan ini, meskipun staf laboratorium dan staf klinis perlu untuk waspada. Thalasemia dan hemoglobinopati seperti Hb 13 C, Hb S, Hb E, dan lain-lain yang menyebabkan usia eritrosit memendek menyebabkan penurunan kadar HbA1c. Pada cara kromatografi penukar kation Hb C dan Hb S terhitung pada Hb total dan menurunkan hasil perhitungan HbA1c. Sebaliknya Hb F, Hb H dan Hb Bart mungkin menyebabkan HbA1c tinggi palsu, tergantung pada cara analisis. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan nilai HbA1c meningkat palsu dan harus dikenali ketika mendiagnosis pasien dengan diabetes menggunakan HbA1c saja. Di sisi lain, pasien dengan “turn over" sel yang tinggi (terutama anemia hemolitik , malaria kronis, major blood loss, transfuse, anemia kronis akibat gagal ginjal dan penyakit hati) akan memiliki nilai HbA1c rendah palsu. Usia dan etnis diduga juga dapat mempengaruhi peningkatan HbA1c namun hal ini belum terlalu jelas.31,37,44,45 2.2. DIABETES MELLITUS (DM) 2.2.1. DEFINISI DIABETES MELLITUS Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.7,33,46,47 Sementara World Health Organisation (WHO) mendefinisikan diabetes melitus (DM) sebagai penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein 14 yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja atau sekresi insulin.48 Diabetes merupakan suatu penyakit kronis yang dapat terjadi ketika tubuh tidak mampu lagi memproduksi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang diproduksi di pankreas yang memungkinkan glukosa dari makanan untuk memasuki sel tubuh dimana kemudian akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan oleh otot dan jaringan untuk menjalankan fungsinya. Orang dengan diabetes tidak menyerap glukosa dengan benar, dan glukosa tetap beredar dalam darah (suatu kondisi yang dikenal sebagai hiperglikemia) kemudian merusak jaringan tubuh dari waktu ke waktu.49 Hiperglikemia kronis atau diabetes berhubungan dengan komplikasi mikrovaskuler jangka panjang yang mempengaruhi mata, ginjal dan saraf, serta peningkatan risiko untuk penyakit kardiovaskuler (CVD). Kriteria diagnostik diabetes didasarkan pada ambang batas glikemia yang berhubungan dengan penyakit mikrovaskuler, terutama retinopati.46,50,51,52 Diabetes memiliki gejala-gejala karakteristik seperti haus, poliuria, gangguan mata, kehilangan berat badan dan polyphagia, dan dalam bentuk-bentuk paling parah, dengan osmolaritas ketoasidosis atau nonketotik hiperosmolar, yang bila tidak diikuti dengan pengobatan yang efektif, akan mengarah ke pingsan, koma dan kematian. Gejala sering tidak parah atau bahkan mungkin tidak ada. Hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan patologis fungsional yang cukup sering muncul 15 untuk waktu yang lama sebelum diagnosis dibuat. Akibatnya, diabetes sering ditemukan karena adanya hasil yang abnormal dari tes glukosa darah atau urine rutin atau karena adanya komplikasi.52 Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang memerlukan perawatan medis berkelanjutan serta manajemen rawat jalan yang mandiri dan dukungan untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang. Pengaruh diabetes mellitus sebagai prediktor independen angka kejadian stroke iskemik diakui dan berhubungan dengan berbagai sebab. Demikian pula, beberapa studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes lebih mungkin untuk mati atau memiliki cacat neurologis substansial setelah stroke akut daripada subjek nondiabetik.53 2.2.2. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS Ada beberapa klasifikasi DM yang dipakai sekarang ini, misalnya menurut American Diabetes Assosiation (ADA) 2010, World Health Organisation (WHO) dan PERKENI (Perkumpulan Endokrin Indonesia) 2013. Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia menurut Konsensus PERKENI 2013, sesuai dengan klasifikasi menurut ADA 2010 Menurut PERKENI 2013 ada 4 klasifikasi DM yaitu:7 1. Diabetes mellitus type 1 ( destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute ). • Autoimune • Idiopatik 16 2. Diabetes mellitus type 2 (bervariasi mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin). 3. DM tipe lain 1. Defek genetik fungsi sel beta. 2. Defek genetik kerja insulin. 3. Penyakit endokrin pankreas. 4. Karena obat atau zat kimia 5. Infeksi. 6. Sebab imunologi yang jarang. 7. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM 4. Diabetes Mellitus Gestasional. 2.2.3. KRITERIA DIAGNOSA DIABETES MELLITUS Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:7 • Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya 17 • Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa≥ 126mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu≥ 200mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200mg/dl.7 Tabel 2.2 Kriteria laboratorium menurut ADA 2010 yaitu :7,33 1. HbA1c ≥ 6.5%. Tes harus dilakukan di laboratorium menggunakan metode yang bersertifikat NGSP dan standar untuk pengukuran DCCT.* Atau 2. Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.* Atau 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban 18 glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.* Atau 4. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir *bila tidak terdapat hiperglikemia nyata/tegas, kriteria 1-3 dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulang. Hemoglobin A1c dengan cutoff ≥6,5% termasuk dalam salah satu kriteria diagnosis ADA 2010 untuk DM. Peningkatan HbA1c ini harus dikonfirmasi engan pemeriksaan kedua pada hari yang lain kecuali bila kadar glukosa darah >200mg/dl. Keuntungan penggunaan HbA1c adalah memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menilai paparan glikemia dan risiko komplikasi, variabilitas intraindividu yang rendah (<2%), tidak dibutuhkan puasa, lebih memungkinkan untuk dilakukan tes ulangan dan dapat dipakai sebagai alat diagnosis dan monitoring.33 2.2.4. DIABETES MELLITUS TYPE 2 Diabetes type 2 (DM type 2) adalah jenis yang paling umum pada diabetes, sekitar 90-95% penderita diabetes berusia ≥20 tahun. Memang 19 pada DM type 2 ini sering terjadi pada orang dewasa, tetapi saat ini semakin terlihat pada anak-anak dan remaja. Diabetes tipe ini bukan merupakan penyakit autoimun, pankreas masih mampu menghasilkan insulin meskipun jumlahnya tidak mencukupi untuk memelihara keadaan fisiologis, atau tubuh tidak mampu merespon (juga dikenal sebagai resistensi insulin), sehingga kadarnya di dalam darah meningkat. Banyak orang dengan DM type 2 tetap tidak menyadari penyakit mereka untuk waktu yang lama karena gejala dapat muncul bertahun-tahun untuk muncul atau dikenali, selama itu tubuh menjadi rusak karena kelebihan glukosa darah. Mereka sering didiagnosis hanya ketika komplikasi diabetes sudah berkembang. Pada beberapa pasien, tipe ini memerlukan tambahan insulin dari luar untuk mengatasi hal tersebut.33,49,54 Meskipun alasan untuk perkembangan DM type 2 masih belum diketahui, ada beberapa faktor risiko penting yang perlu kita ketahui. Ini termasuk, obesitas atau kelebihan berat badan, makan yang berlebihan, tidak adanya aktifitas, usia, riwayat keluarga penderita DM, etnis, peningkatan kadar glukosa darah selama kehamilan mempengaruhi bayi.33,49 Berbeda dengan orang-orang dengan diabetes type 1, mayoritas orang-orang dengan DM type 2 biasanya tidak memerlukan dosis harian insulin untuk bertahan hidup. Banyak orang mampu mengelola kondisi mereka melalui diet yang sehat dan berolah raga atau pengobatan oral. Namun, jika mereka tidak mampu mengatur tingkat gula darah mereka, 20 mereka terpaksa akan diberikan terapi insulin. Jumlah orang dengan diabetes type 2 tumbuh pesat di seluruh dunia. Kenaikan ini terkait dengan pembangunan ekonomi, usia, meningkatnya urbanisasi, perubahan pola makan, kurangnya aktivitas fisik, dan perubahan dalam pola gaya hidup.49 DM type 2 dapat disebabkan oleh gangguan aksi insulin (resistensi insulin) dan / atau gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin merupakan gambaran defek metabolisme pada sebagian besar pasien, gangguan aksi insulin dapat dilihat di beberapa jaringan, misalnya, otot rangka, jaringan adiposa dan hati. Ini mengarah kepeningkatan sekresi insulin dari pankreas untuk mengatasi gangguan aksi insulin. Kompensasi hyperinsulinemia mempertahankan kadar glukosa dalam kisaran normal tetapi pada individu yang ditakdirkan untuk menderita DM, fungsi sel betaakhirnya menurun dan mengarah ke status hiperglikemik.51 2.2.5. PATOGENESA DIABETES MELLITUS TYPE 2 Patogenesis DM tipe 2 adalah kompleks dan melibatkan interaksi genetik dan faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan menunjukkan peranan penting dalam perkembangan DM type 2 khususnya intake kalori yang berlebihan yang mengakibatkan kegemukan dan gaya hidup modern. Walaupun interaksi dari faktor genetik, lingkungan yang mengakibatkan onset klinis DM type 2 belum dapat diketahui pasti, tapi proses ini berjalan bertahap dan meningkat. Kelainan genetik dari DM 21 type 2 adalah bentuk poligenik dan disebabkan oleh kombinasi dari resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal. Faktor genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kejadian DM. Kelainan yang diturunkan dapat langsung mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebar ransang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap faktor -faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pancreas.55 Obesitas juga berpengaruh pada kejadian DM type 2. Obesitas dapat menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa menjadi berkurang, selain itu reseptor insulin di sel seluruh tubuh berkurang jumlah dan keaktifannya termasuk di otot.Insulin adalah hormon untuk mengatur glukosa darah. Secara umum, normoglycemia diatur oleh interaksi seimbang antara sekresi insulin dan efektivitas dari aksi insulin. Dalam keadaan puasa, bagian utama dari glukosa dihasilkan oleh hati, dan kira-kira setengah itu digunakan untuk metabolisme glukosa otak. Sisanya diambil oleh berbagai jaringan, terutama otot dan bagian kecil jaringan adiposa. Dalam situasi ini tingkat insulin rendah, dan tidak cukup berpengaruh pada asupan glukosa otot. Hati yang normal mampu meningkatkan produksi glukosa empat kali lipat atau lebih, dan efek utama dari kadar insulin yang relatif rendah adalah untuk mengendalikan produksi glukosa hati. Setelah makan insulin dikeluarkan dalam jumlah besar, yang mana akan mengurangi produksi glukosa hati lebih jauh dan 22 akan mengarah ke peningkatan asupan glukosa otot (dan jaringan adiposa).56 Penurunan respon sel beta pankreas dan resistensi insulin mengakibatkan berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel -sel tubuh sehingga konsentrasi glukosa darah akan naik, mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak akan meningkat sehingga terjadi metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya gejala atherosklerosis serta berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.57 Diabetes jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik vaskuler, mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan non vaskuler. Komplikasi makrovaskuler meliputi penyakit jantung, penyakit serebrovaskuler, penyakit pembuluh darah perifer sedangkan komplikasi mikrovaskuler meliputi nefropati, retinopati dan neuropati. Komplikasi non vaskuler adalah disfungsi seksual dan perubahan pada kulit.58 2.2.6. FAKTOR RESIKO DIABETES MELITUS Faktor risiko diabetes terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu ras dan etnis, riwayat keluarga dengan diabetes, umur ≥45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4 kg atau riwayat pernah mengalami DMG, faktor risiko yang bisa dimodifikasi yaitu berat badan lebih (Indek Masa Tubuh ≥23 kg/m 2 ), kurangnya 23 aktivitas fisik, hipertensi (≥140/90 mmHg), dislipidemi a (HDL(High Dense Lipoprotein) ≤35 mg/dl dan trigliserida ≥250 mg/dl), serta faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes yaitu penderita sindroma metabolik dan Polycystic Ovary Syndrome.7,33 2.3 STROKE ISKEMIK 2.3.1. DEFINISI Stroke merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya defisit neurologi fokal atau global yang berlangsung mendadak selama 24 jam atau lebih atau kurang dari 24 jam yang dapat menyebabkan kematian, yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia.3,4 Stroke iskemik merupakan tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Iskemik/infark serebral terjadi akibat oklusi sementara atau permanen dari feeding arteri ekstrakranial/intrakranial atau trombosis vena yang akan menyebabkan kerusakan sel akibat kekurangan suplai oksigen dan nutrisi.59,60 24 2.3.2. FAKTOR RESIKO Stroke iskemik dapat disebabkan oleh berbagai risiko, baik yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah :59,61,62,63 a. Usia Usia merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehingga merupakan faktor utama terjadinya stroke. Pembentukan ateroma terjadi seiring bertambahnya usia, dimana stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun. Dikatakan bahwa proses pembentukan ateroma tersebut dapat terjadi 20-30 tahun tanpa menimbulkan gejala. b. Jenis kelamin Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi stroke pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang berfungsi sebagai proteksi pada proses aterosklerosis. Di lain pihak pemakaian hormon estrogen dosis tinggi menyebabkan peningkatan kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada pria. Oleh karena itu faktor ini sebenarnya masih diperdebatkan c. Keturunan Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika 25 dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko terkena stroke. d. Ras atau etnik Prevelansi yang berbeda terjadi pada orang dengan kulit putih, hitam dan Asia, bukan hanya akibat faktor genetik. Hal ini akibat rendahnya kolesterol serum, tingginya intake alkohol dan konsumsi makanan tradisional Asia yang rendah lemak dan protein yang berasal dari hewan berhubungan dengan rendahnya penyakit jantung koroner tetapi menyababkan tingginya kejadian stroke. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain a. Hipertensi Merupakan faktor yang penting pada pathogenesa terjadinya stroke iskemia dan perdarahan. Biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan diastolik. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi pada percobaan binatang (anjing) didapatkan bahwa adanya tekanan darah yang tinggi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Pada penelitian Framingham, resiko relatif terjadinya stroke pada setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik adalah 1,9 pada pria dan 1,7 pada wanita dimana faktor-faktor lain telah diatasi. b. Penyakit jantung 26 Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, paska operasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah otak. c. Diabetes mellitus Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Salah satu penyulit vaskuler pada penderita ini adalah penyakit pembuluh darah serbral. Penderita ini mempunyai resiko terjadinya stroke 1,5-3 kali lebih sering jika dibandingkan dengan populasi normal. Hiperlikemi kronis akan menimbulkan glikolisasi protein-protein dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga berminggu-mingu, akan terjadi AGES (advanced glycosylate end products) yang toksik untuk semua protein. AGE protein yang terjadi diantaranya terdapat pada reseptor makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor dimakrofag akan meningkatkan produksi TNF (tumor necrosis factors), IL1 (interleukine-1), IGF-1 (Insuline like growth factors-1). Produk ini akan memudahkan prolipelisasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor yang terjadi di endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-1 yang dapat menyebabkan kontriksi pembuluh darah dan kerusakan pembuluh darah. 27 d. Hiperkolesterolemia Produk kolesterol didalan darah yang terbanyak adalah Low Density Lipoprotein (LDL), LDL ini meningkat dengan adanya proses aterosklerosis. Sedangkan High Density Lipoprotein (HDL) merupakan proteksi terhadap terbentuknya aterosklerosis akibat fasilitas pembuangan (disposal) partikel kolestrol. Akhir-akhir ini ditemukan adanya lipoprotein(a) yang menyerupai LDL, dan melekat pada suatu apoprotein yang disebut apolipoprotein (a) oleh jembatan disulfida. Apo (a) merupakan struktur dalam darah yang sama dengan plasminogen dimana plasminogen merupakan plasma protein yang penting dalam proses fibrinolisis pada proses pembekuan. Sehingga dengan banyaknya lipoprotein (a) akan menghambat aktivitas trombolitik oleh plasminogen. Akan tetapi adanya kelainan tersebut lebih sering menyababkan penyakit jantung koroner dibandingkan menimbulkan stroke. e. Merokok Merokok merupakan faktor resiko yang independen. Mekanisme terjadinya ateroma tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan akibat: • Stimulasi sistim saraf simpatis oleh nikoton dan ikatan O2 dengan hemoglobin akan digantikan dengan karbonmonoksida • Reaksi imunologi direk pada dinding pembuluh darah • Peningkatan agregasi trombosit 28 • Peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat yang terdapat di dalam rokok. f. Alkohol. Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis, biasanya terjadi pada penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus. Ada yang mengatakan bahwa alkohol masih merupakan faktor resiko yang kontroversial. Walaupun behitu angka kejadian stroke meningkat pada peminum alkohol sedang hingga berat dibandingkan dengan seseorang yang bukan peminum alkohol. Selain itu ada pula yang mengelompokkan faktor risiko stroke menjadi dua yaitu faktor risiko mayor seperti hipertensi, diabetes melitus, kelainan jantung dan faktor risiko minor yaitu hiperlipidemia, merokok, kegemukan, hiperkoagulasi, usia lanjut, riwayat transientischemic attacks (TIA), hiperurikemia, kontrasepsi oral, kelainan pembuluh darah, dan riwayat stroke dalam keluarga.61,64,65 2.3.3. KLASIFIKASI STROKE Secara garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik 66,67 1. Stroke iskemik yang mencakup a. Stroke trombotik 29 b. Stroke embolik 2. Stroke hemoragik.68 a. Perdarahan intra serebral b. Perdarahan ekstra serebral (sub-arakhnoid) Berdasarkan subtipe penyebab.55 a. Stroke lakunar b. Stroke trombotik pembuluh besar c. Stroke embolik d. Stroke kriptogenik Sekitar 80% kasus stroke adalah stroke iskemik dan 20% lainnya merupakan stroke hemoragik. Stroke iskemik merupakan tipe yang umum, ini merupakan tipe yang tersering. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi dari arteri pada leher atau di dalam otak. Etiologi untuk akut iskemik stroke beragam. Oklusi arteri paling sering disebabkan oleh trombus yang berjalan ke otak (embolized) dari lokasi yang lebih proksimal di tubuh, seperti jantung atau dari plak dalam dinding arteri proksimal, seperti aorta atau arteri karotid interna. Sangat jarang, etiologi dari stroke iskemik adalah trombus lokal yang berkembang segera di lokasi oklusi, dalam arteri intrakranial besar (bagian otak tengah atau basilar). Stroke iskemik mencapai 80–85% dari stroke di sebagian besar dunia, kecuali untuk Asia, dimana pendarahan intra serebral lebih umum.68 Pendarahan intra kranial disebabkan oleh ruptur pembuluh darah, dengan perdarahan yang langsung ke parenkim otak, ventrikel dan ruang 30 di sekitar otak. Ruptur dapat terjadi umumnya berkaitan dengan lamanya hipertensi (small vessel disease), penyakit degeneratif dari arteri superfisial (amiloid angiopathy), atau dari kelainan struktural arteri intrakranial besar, seperti malformasi arteri-vena. Pendarahan sub arachnoid terjadi ketika ruptur aneurisma intrakranial dan darah masuk keruang di sekitar otak.68 2.3.4. PATOFISIOLOGI STROKE ISKEMIK .Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini, pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis gejala yang timbul adalah TIA yang timbul dapat berupa hemiparesis yang menghilang sebelum 24 jam atau amnesia umum sepintas. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF (Cerebrospinal Fluid) regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit). Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tak 31 dapat mengatasinya. Dalam keadaan ini timbul defisit neurologi yang berlanjut.69,70 Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme emboli 2.1.3.1. Aterosklerosis Aterosklerosis adalah radang pada pembuluh darah yang disebabkan penumpukan plak ateromatous. Proses peradangan yang terjadi pada dinding pembuluh darah yang terjadi dengan beberapa fase. Pada fase awal terjadi disfungsi endotel dengan degradasi ikatan dan struktur mosaik, sehingga memungkinkan senyawa yang terdapat di dalam plasma darah seperti LDL untuk menerobos dan mengendap pada ruang sub endotel akibat peningkatan permeabilitas. Endapan tersebut dengan perlahan akan mengecilkan penampang pembuluh darah dalam rentang waktu dekade.69 Keberadaan makrofag pada arteri intima memiliki peran yang sangat vital bagi perkembangan aterosklerosis, dengan sekresi beragam sitokin yang mempercepat pathogenesis ini. Hasil studi menunjukkan bahwa guratan aterosklerosis adalah senyawa fatty streak yang terdiri dari foam cell, sejenis makrofag yang kaya akan lipid, yang disebut ateroma. Guratan ateroma akan berkembang menjadi plak fibrous yang terdiri dari lipid yang tertutup oleh sel otot halus dan kolagen.71 32 Proses penutupan mula-mula berjalan lambat, namun dengan penumpukan keping darah dan fibrin, proses ini akan berkembang lebih cepat seiring dengan mekanisme fibrotik yang bergantung trombosis.69 Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran darah aterom, atau menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian dapat robek.71,72 2.1.3.2. Trombosis Pembentukan trombus arteri dipengaruhi oleh 3 bagian yang penting, yaitu adanya keadan subendotel vaskuler, trombin dan metabolisme asam arakhidonat. Trombolis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat 33 didalam granula-granula didalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah.63,69 Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik.69 2.1.3.3. Emboli Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus dalam pembuluh darah juga dapat akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh 34 darah di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat.63 Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negative sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit. Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik.69,71,72,73 2.3.5. DIAGNOSIS STROKE ISKEMIK Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada saat ini pasien membutuhkan pertolongan dan sesegera mungkin dibawa ke pelayanan kesehatan. Diagnosa stroke iskemik ditegakkan 35 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan CT scan kepala yang dilakukan saat masuk. Kadar mikroalbuminuria dan serum kalsium diukur dalam 24-76 jam setelah dirawat. Outcome stroke diukur dengan menggunakan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), modified Rankin Scale (mRS), Barthel Index (BI) pada hari ke-tujuh.68 2.3.5.1. Anamnesa Anamnesis terhadap kasus stroke dapat dilakukan autoanamnesis apabila keadaan memungkinkan, apabila keadaan tidak memungkinkan untuk bertanya langsung pada pasien, dapat dilakukan alloanamnesis terhadap keluarga yang mendampingi pasien. Anamnesis yang perlu dilakukan meliputi:68 1. Identitas Pasien, meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnosis medis. 2. Keluhan utama, bertanya tentang kejadian dan gejala awal. Stroke emboli ditandai dengan adanya kejang di awal kejadian. Ditanya perkembangan gejala sama ada timbul secara mendadak atau bertahap danjuga keluhan lain pasien. 3. Riwayat penyakit sekarang, ditanya adakah pasien mengalami defisit neurologis, ditanya juga tentang faktor resiko yang mungkin ada pada pasien. Misalnya, adakah pasien hipertensi, mengalami fibrilasi atrium, diabetes, merokok dan sering minum alcohol. 36 4. Riwayat penyakit dahulu, ditanya jika pasien pernah mempunyai riwayat diserang stroke sebelum ini. Ditanya adakah pasien menggunakan obat terutama kokain. Penghentian obat secara tiba-tiba misalnya klonidin yang merupakan obat antihipertensi dapat menyebabkan hipertensi rebound yang berat. 5. Riwayat penyakit keluarga, ditanya juga jika sebelum ini ada anggota keluarga pasien yang turut diserang stroke, hipertensi atau diabetes mellitus. 2.3.5.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang umumnya dilakukan seperti mengukur suhu,tekanan darah, kecepatan nadi, dan kecepatan nafas sangat membantu diagnosis penderita stroke. Pemeriksaan neurologis. Pada pasien stroke juga perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti tingkat kesadaran, kekuatan otot dan tonus otot. Pada pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan pemeriksaan yang dikenal sebagai Glascow Coma Scale untuk mengamati pembukaan kelopak mata, kemampuan bicara, dan tanggap motorik (gerakan). Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan dengan pemeriksaan neurologi lainnya, dan terutama dilakukan pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan,kelemahan atau kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak, gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung atau pinggang gangguan fungsi otonom. Suatu reflek dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas, dan respon gerak reflektorik meningkat dari keadaan normal. Rangsangan yang diberikan harus cepat dan langsung, kerasnya rangsangan 37 tidak boleh melebihi batas sehingga justru melukai pasien. Sifat reaksi setelah perangsangan tergantung tonus otot sehingga otot yang diperiksa sebaiknya dalam keadaan sedikit kontraksi, dan bila hendak dibandingkan dengan sisi kontralateralnya maka posisi keduanya harus simetris. 2.3.5.3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada stroke akut meliputi beberapa parameter yaitu pemeriksaan hematologi rutin, pemeriksaan kimia darah lengkap, pemeriksaan hemostasis.74 Hematologi rutin memberikan data tentang kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit dan trombosit serta morfologi sel darah. Trombositemia meningkatkan kemungkinan terjadinya agregasi dan terbentuknya trombus. Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi adanya hipoglikemia maupun hiperglikemia, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit bertujuan mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat dan magnesium yang semuanya dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Analisa gas darah juga perlu dilakukan, karena hipoksia dan hiperkapnia juga dapat menyebabkan gangguan neurologis. Pemeriksaan enzim jantung dikerjakan karena tidak jarang pasien stroke juga mengalami infark miokard. Penyakit jantung iskemik dijumpai pada 20% pasien dengan TIA dan stroke. Pemeriksaan 38 PT dan aPTT untuk menilai aktivitas koagulasi serta monitoring terapi. Sedangkan D-dimer diperiksa untuk mengetahui aktivitas fibrinolisis.74 2.3.5.4. Pemeriksaan Radiologis Diagnosis stroke tidak dapat dipastikan melalui pemeriksaan fisik saja tetapi memerlukan pemeriksaan radiologi supaya diagnosis yang dibuat lebih tepat. Pemeriksaan yang dapat digunakan adalah: CT-scan (computed tomography) merupakan suatu alat penunjang diagnostik yang menggunakan pencitraan sinar X dan memiliki kemampuan mendeteksi struktur otak dengan sangat baik, dipakai pada kasus-kasus emergensi dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Pada stroke iskemik akan nampak gambaran hipodens pada CT-scan, sedangkan stroke hemoragik akan nampak gambaran hiperdens. Pada infark otak, pemeriksaan CTscan mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari-hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam setelah serangan.68,75,76 Dengan adanya CT-scan, diagnosis stroke dapat lebih ditegakkan untuk mengkonfirmasi yang sebelumnya ditegakkan secara klinis. Dengan demikian CT-scan merupakan standar baku emas untuk penegakan diagnosis stroke. Akan tetapi, di Indonesia alat CT-scan saat ini hanya 39 terdapat di kota-kota besar terutama di beberapa ibukota provinsi karena harga alat dan biaya perawatannya mahal.68,77,78 Magnetic Resonance Imaging (MRI), Perdarahan atau infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI yang secara umum lebih sensitif dibandingkan CT-scan. Namun kelemahan pemeriksaan MRI ini adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang mempunyai, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat dipakai pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran.75,76 Kerangka Teori 40