BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menginfeksi 34 juta orang dan terus berlanjut menjadi masalah kesehatan masyarakat global (WHO, 2015). Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV, namun strategi Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) telah membawa peningkatan yang dramatis pada harapan hidup, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, serta menekan replikasi virus ini (Esté & Cihlar, 2010; Carr & Cooper, 2000), namun kejadian toksisitas turut meningkat akibat terapi yang berlangsung seumur hidup pasien. Salah satunya adalah anemia berat yang prevalensinya mencapai 6,6% (Ssali et al., 2006). Di tengah tingginya prevalensi anemia di Indonesia, hal ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta menurunkan kepatuhan pasien dalam terapi. Sebanyak 1,2 juta orang pada tahun 2014 dinyatakan telah meninggal akibat infeksi dan puluhan juta orang hidup mengidap penyakit HIV (WHO, 2015). Hasil studi Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik 1 2 Indonesia (2014) menyebutkan semenjak tahun 1987 hingga 2014, sebanyak 150.296 orang mengidap HIV dan 55.799 orang memiliki kecenderungan AIDS. Hasil peningkatan itu menunjukkan jumlah kasus HIV adanya setiap tahunnya sejak pertama kali dilaporkan. Jumlah kasus AIDS menunjukkan kecenderungan meningkat secara lambat bahkan mulai menurun semenjak tahun 2012. Penurunan tersebut sangat ditentukan oleh adanya kebijakan yang strategis dalam dan agresif menyediakan dari pemerintah pengobatan efektif beserta berupa dunia HAART, yaitu terapi kombinasi dengan 3 atau lebih agen aktif. Terapi itu telah menurunkan viremia plasma secara signifikan pada hampir seluruh subyek yang menjalani terapi selama 6 bulan. Bukti ini membuat HAART menjadi perawatan standar saat ini (Esté & Cihlar, 2010). Terapi monoterapi antiretroviral yang tidak telah efektif beranjak menuju kombinasi dari obat yang dapat menekan replikasi virus pada hampir seluruh pasien terinfeksi HIV dalam 20 tahun terakhir. Perjalanan alamiah infeksi HIV berubah menjadi penyakit kronis yang dapat dikelola dengan terapi jangka panjang (Tozzi, 2010). 3 Strategi HAART telah berhasil dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas, namun HAART disertai dengan meningkatnya efek samping atau toksisitas obat. Hawkins (2010) menyebutkan bahwa toksistas tersebut dalam jangka pendek dapat berupa diare, mual dan muntah, ruam kulit, reaksi hipersensitivitas, penurunan kesadaran, kehilangan kesimbangan, ikterus, hingga anemia. Gejala jangka panjang masih perlu dipelajari lebih lanjut. Dalam studi Ssali et al. (2006) terhadap 3.312 pasien baru terinfeksi di Uganda dan Zimbabwe, sebanyak 219 orang (6,6%) pada terapi antiretroviral mengandung zidovudine mendemonstrasikan adanya anemia parah. Anemia bertanggung jawab tidak hanya pada gejala yang merepotkan seperti kelesuan, tetapi dapat pula memiliki efek samping langsung pada mortalitas pasien terinfeksi HIV (Murphy et al., 2007). Hal ini dapat pula berimbas pada menurunnya selama terapi, kepatuhan serta dan naiknya kualitas biaya hidup pasien yang diperlukan negara berkembang untuk tata laksana efek samping. Anemia menjadi masalah pada dimana penduduknya cenderung memiliki kadar hemoglobin yang rendah sebagai proses sekunder dari tingginya prevalensi beberapa infeksi atau akibat diet protein 4 dan besi adanya yang rendah. konsiderasi Ancaman terhadap ini bertambah biaya dengan penyediaan obat antiretroviral dan fasilitas pemeriksaan penunjang atau fasilitas terapi toksisitas merupakan tantangan yang besar dalam terbatas. Hal mewujudkan ini terapi antiretroviral yang aman dan efektif (Parkes-Ratanshi et al., 2014; Krakower et al., 2012). Indonesia ancaman yang memaparkan sebagai serupa. proporsi negara Riset penduduk berkembang Kesehatan umur ≥1 memiliki Dasar (2013) tahun dengan keadaan anemia mencapai 21,7%. Angka yang tinggi jika melihat jumlah penduduk Indonesia sebesar 250 juta (BPS, 2015). Pemerintah penyebab Indonesia anemia, yaitu mengeluarkan zidovudine agen dari utama Pedoman Pengobatan Antiretroviral (2014), akan tetapi, beberapa laporan kasus menyebutkan bahwa lamivudine, obat yang hingga kini dipakai secara luas sebagai lini pertama HAART di Indonesia dan dunia, menyebabkan pure red cell aplasia dan anemia (Nakamura et al., 2014; John et al., 2008). Kenyataan bahwa kejadian ini kurang dikenali dan jarang terdokumentasi menunjukkan adanya kemungkinan 5 efek samping yang tak terbatas pada strategi HAART, baik dalam terapi jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai efek samping dari strategi HAART, anemia sering terjadi dan sangat berkaitan dengan mortalitas dan itu, kepatuhan pasien penelitian toksisitas dalam yang dengan menjalani mengkaji HAART, terapi. hubungan terutama Selain kejadian lamivudine belum di dapat banyak dilakukan di Indonesia. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah terdapat perubahan kadar hemoglobin pasien baru terdiagnosis HIV sebelum dan sesudah terapi kombinasi antiretroviral selama 6 bulan? I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perubahan kadar hemoglobin pasien baru terdiagnosis HIV sebelum dan sesudah terapi kombinasi antiretroviral. I.4. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti Ssali et al., 2006 John et al., 2008 Judul Penelitian Parameter yang dinilai Prevalence, Parameter incidence and hematologis predictors of seperti severe anaemia hemoglobin, MCV, with zidovudine- neutrofil, containing platelet, indeks regimens in massa tubuh dan African adults hitung jumlah sel with HIV CD4+. infection within the DART trial. LamivudineProfil hematologis induced red cell pasien, yaitu aplasia hitung sel darah putih, hemoglobin, hematokrit, MCV, platelet dan RPI. Hasil Penelitian Terdapat 23,8% subyek mengalami anemia derajat ≥1 pada minggu ke 48 setelah inisiasi ART. Kelompok perempuan, kadar hemoglobin, hitung CD4+, dan Indeks Massa Tubuh yang lebih rendah secara signifikan memiliki risiko lebih tinggi mengalami anemia (p < 0,05). Pasien menderita pure red cell aplasia yang diinduksi oleh lamivudine. Pasien membaik dengan cepat setelah Pebedaan dengan penelitian Subyek pada penelitian ini merupakan warga negara Uganda dan Zimbabwe dewasa yang berbeda secara ras dengan subyek yang dilibatkan dalam penelitian. Terapi yang diberikan pun berbeda, dimana penelitian ini menggunakan zidovudine yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan case report, berbeda dengan penelitian yang kini yaitu deskrpitif analitik dengan 6 Wisaksana et al., 2011 Anemia and iron homeostasis in a cohort of HIVinfected patients in Indonesia Bunupuradah Incidence and et al., predictors of 2013 severe anemia in Asian HIVinfected children using first-line antiretroviral therapy pengobatan lamivudine berhenti. desain longitudinal prospektif observasional. Kadar hemoglobin, indeks sel darah merah, hitung retikulosit, antibodi anti HCV, hitung jumlah sel CD4+, ferritin plasma, soluble Transferin Receptor (sTfR) dan high sensitive C-Reactive Protein (hsCRP). Anemia ditemukan pada 49,6% pasien baru terapi antiretroviral. Anemia tetap menjadi faktor independen yang berhubungan dengan kematian, bahkan setelah koreksi hitung CD4 dan ART (p = 0.008). Terapi pada penelitian gunakan zidovudine, stavudine dan nevirapine, durasinya 2 tahun. Berbeda dengan penelitian yang kini tidak memakai terapi tersebut dan dilaksanakan dalam waktu 6 bulan. Kadar hemoglobin, hitung jumlah sel CD4+, RNA-HIV, weight for age zscore dan height for age z-score. Anemia parah terindikasi pada 2,9% anak setelah 6 bulan inisiasi HAART, dengan insidensi sebesar 5,4 per 100 childyears. Subyek penelitian ini adalah anakanak berusia ≤18 tahun, berbeda dengan penelitian yang kini menggunakan subyek berusia ≥18 tahun. 7 ParkesRatashi et al., 2014 Development of Kadar hemoglobin, anemia and MCV hitung jumlah changes in sel CD4+, hemoglobin in a cohort of HIVinfected Ugandan adults receiving zidovudine-, stavudine-, and tenofovircontaining antiretroviral regimens. Nakamura et Pure red cell al., 2014 aplasia induced by lamivudine without the influence of zidovudine in a patient infected with human immunodeficiency virus Profil hematologis pasien, yaitu hitung sel darah putih, hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH dan platelet. Insidensi anemia derajat 4, sebesar 8,7 per 100 patient years at risk. Pasien yang memulai terapi dengan zidovudin memiliki risiko lebih besar 2,7 kali lipat mendapat anemia derajat 4 dibandingkan dengan yang menerima stavudin (p < 0,001). Subyek pada penelitian ini merupakan warga negara Uganda dewasa yang berbeda secara ras dengan subyek yang dilibatkan dalam penelitian. Terapi yang diberikan pun berbeda, yaitu zidovudine dan stavudine yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Pasien dengan riwayat terapi antiretroviral 3 bulan memiliki keluhan sesak napas berat. Kadar hemoglobin 7,6 g/dL. Setelah terapi lamivudine berhenti, kadar hemoglobin pasien kembali normal. Penelitian ini merupakan case report, berbeda dengan penelitian yang kini yaitu deskrpitif analitik dengan desain longitudinal prospektif observasional. 8 9 Berdasarkan penulis beberapa tidak menemukan penelitian adanya sebelumnya, kesamaan antara penelitian yang sudah ada dengan penelitian yang akan dilakukan. Topik penelitian ini adalah mengenai perubahan kadar hemoglobin pasien baru terdiagnosis HIV sebelum dan sesudah terapi kombinasi antiretroviral selama 6 bulan. I.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai perubahan kadar hemoglobin pasien baru terdiagnosis HIV sebelum dan sesudah terapi kombinasi antiretroviral selama 6 bulan. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat membawa manfaat kepada klinisi, penyedia layanan kesehatan, masyarakat, pemerintah dan ilmu pengetahuan. kesehatan Bagi diharapkan klinisi dapat dan penyedia meningkatkan layanan kewaspadaan terkait efek samping terapi antiretroviral. Pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi antiretroviral. efek Bagi samping ilmu akibat pengetahuan terapi kedokteran diharapkan dapat memperkaya khazanah mengenai perubahan kadar hemoglobin yang terjadi akibat intoksikasi terapi antiretroviral di Indonesia.