Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) PERBANDINGAN KEAKURATAN CAPITAL ASSET PRICING MODEL DAN ARBITRAGE PRICING THEORY DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENDAPATAN SAHAM INDUSTRI MANUFAKTUR SEBELUM DAN SEMASA KRISIS EKONOMI COMPERATION OPTION CAPITAL ASSET PRICING MODEL (CAPM) AND ARBITRAGE PRICING THEORY (APT) ACURASI IMPREDECTING STOCK RETURN ON MANUFACTURING INDUSTRY BEFORE AND DURING ECONOMI CRISIS Gancar Candra Premananto dan Muhammad Madyan*) ABSTRACT The impact of economic crisis in in Indonesia badly affected the capital marketers at Jakarta Stock Exchange. The instability of economy during the crisis period made the capital marketers have dificulty in analyzing and predicting the stocks return of already go-public companies. Two models that can be used by the investors to predict the company stock return, which are up to now still controversial among the financial management experts regarding their accuracy for predicting the company stock return, are Capital Asset Pricing Model (CAPM) and Arbitrage Pricing Theory (APT). This research is to recognize the accuracy of CAPM and APT models in predicting the stock returns of manufacturing industries before and during the periode of Indonesia crisis at Jakarta Stock Exchange. The accuracy of CAPM and APT models is measured by using Mean Absolute Deviation (MAD), while the t test is used to compare the accuracy between CAPM and APT models. The population of this research is all monthly stock returns of the already go-public manufacturing and banking companyies at Jakarta Stock Exchange. Whereas the sample used is the monthlya stock returns of 16 manufacturing companies during 1991 to 2001. The result of the research showed that the CAPM model was more accurate than APT model in predicting the stock return of manufacturing industry before and during crisis era. The less-accuracy of the APT model compared with CAPM model can be as result of; (1) the unsuitable constructing variables of APT model used in *) Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga 125 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 this result; (2) not all investors used ARIMA method in estimating the variables of macro economy; and (3) inability of APT model contructed in this research in expleningthe variation of returns as a result of non economic factors and coorporate actions. Besides, CAPM and APT models constructed during relatively stable economic conditions (before crisis era) were not used to predict the stock returns of the manufacturing companies during crisis era because they only result in high MAD. Keywords: Capital Asset Pricing Model (CAPM), Arbitrage Pricing Theory (APT), manufactur, industry PENDAHULUAN Dampak krisis ekonomi juga sangat dirasakan oleh para pelaku pasar modal di Bursa Efek Jakarta. Ketidakstabilan ekonomi pada masa krisis membuat para pelaku pasar modal terutama para investor mengalami kesulitan dalam menganalisis dan memprediksi pendapatan saham perusahaan. Faktor non ekonomi (politik, sosial, keamanan dll) yang sukar sekali diprediksi seringkali menjadi penyebab ketidak stabilan harga saham perusahaan–perusahaan, sehingga analisis dan prediksi pendapatan saham perusahaan yang dilakukan oleh para investor pada masa krisis tidak lebih baik dibandingkan pada masa sebelum krisis (kondisi perekonomian stabil). Dalam memprediksi pendapatan saham yang diharapkan, ada dua model yang seringkali digunakan para investor, yaitu Capital Assets Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT). Kedua model ini sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli manajemen keuangan tentang ketepatan model tersebut dalam memprediksi tingkat pendapatan suatu saham. Capital Assets Pricing Model yang diperkenalkan oleh Sharp (1964) dan Lintner (1965) merupakan model untuk menentukan harga suatu assets pada kondisi equilibrium. Dalam keadaan equilibrium tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal untuk suatu saham akan dipengaruhi oleh risiko saham tersebut (Tande Lilin, 2001: 90). Dalam hal ini risiko yang diperhitungkan adalah risiko sistematis yang diwakili oleh beta, karena risiko yang tidak sistematik bisa dihilangkan dengan cara diversifikasi. Kelemahan-kelemahan empiris yang terjadi pada model CAPM mendorong para ahli manajemen keuangan untuk mencari model altertanatif yang menerangkan hubungan pendapatan dengan risiko saham. Pada tahun 1976 Stephen A. Ross merumuskan sebuah teori yang disebut dengan Arbitrage Pricing Theory (APT). Meskipun model ini tidak bisa secara keseluruhan memecahkan kekurangan yang terjadi pada model CAPM, tetapi model inilah yang pertama kali dikembangkan 126 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) untuk mencoba mengeliminir kekurangan-kekurangan yang terjadi pada model CAPM dan mempunyai kesempatan untuk menggantikan model tersebut. APT menyatakan bahwa harga suatu aktiva bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya satu faktor (portofolio pasar) seperti yang telah dikemukakan pada teori CAPM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Apakah terdapat perbedaan akurasi antara model CAPM dengan APT dalam memprediksi pendapatan saham industri Manufaktur di Bursa Efek Jakarta sebelum krisis ekonomi? (2) Apakah terdapat perbedaan akurasi antara model CAPM dengan APT dalam memprediksi pendapatan saham industri Manufaktur di Bursa Efek Jakarta semasa krisis ekonomi? Capital Asset Pricing Model (CAPM) CAPM dikembangkan pertama kali pada tahun 1960 oleh William F Sharpe, Lintner dan Mossin. Weston, Besley dan Brigham (1996: 193) mendefinisikan CAPM sebagai berikut : “A Model based on the proposition that any stock’s required rate of return is equal to the risk free of return plus a risk premium, where risk reflect diversification”. CAPM merupakan suatu model yang menghubungkan tingkat pendapatan yang diharapkan dari suatu aset yang berisiko dengan risiko dari aset tersebut pada kondisi pasar yang seimbang. Menurut teori CAPM tingkat pendapatan yang diharapkan dari suatu sekuritas dapat dihitung dengan menggunakan rumus: E ( Ri ) = RF + β i [E ( RM ) − RF ] Keterangan: E(Ri) = Tingkat pendapatan yang diharapkan dari sekuritas i yang mengandung risiko RF = Tingkat pendapatan bebes risiko E(RM) = Tingkat pendapatan yang diharapkan dari portofolio pasar. βi = Tolak ukur risiko yang tidak bisa terdiversifikasi dari surat berharga yang ke-i. Untuk mengestimasi besarnya koefisien beta, bisa digunakan market model. Rumus dari persamaan market model adalah sebagai berikut: Ri = αi + βi RM + ei Keterangan: Ri = Tingkat pendapatan sekuritas i RM = Tingkat pendapatan indeks pasar βi = Slope (beta) αi = Intersep ei = random residual error 127 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 Arbitrage Pricing Theory (APT) Capital Asset Pricing Model bukanlah satu-satunya teori yang mencoba menjelaskan bagaimana suatu aktiva ditentukan harganya oleh pasar. Ross (1976) merumuskan suatu teori yang disebut sebagai Arbitrage Pricing Theory (APT). Seperti halnya CAPM, APT menggambarkan hubungan antara risiko dan pendapatan, tetapi dengan menggunakan asumsi dan prosedur yang berbeda. Tiga asumsi yang mendasari model Arbitrage Pricing Theory (APT) adalah: (Reilly, 2000); (1) Pasar Modal dalam kondisi persaingan sempurna, (2) Para Investor selalu lebih menyukai kekayaan yang lebih daripada kurang dengan kepastian, (3) Hasil dari proses stochastic artinya bahwa pendapatan asset dapat dianggap sebagai K model faktor. Dari asumsi yang menyatakan investor percaya bahwa pendapatan sekuritas akan ditentukan oleh sebuah model faktorial dengan k faktor risiko. Dengan demikian, dapat ditentukan pendapatan aktual untuk sekuritas i dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Ri,t = ai + bi1F1t + bi2 F2t + … …+ bik Fkt + eit Keterangan : Ri,t = Tingkat pendapatan sekuritas i pada periode t ai = Konstanta bik = Sensitivitas pendapatan sekuritas i terhadap faktor k Fkt = Faktor k yang mempengaruhi pendapatan eit = random error. Untuk menghitung pendapatan sekuritas yang diharapkan pada model APT dapat digunakan rumus sebagai berikut: E(Ri,t) = ai + bi1F1t + bi2 F2t + … …+ bik Fkt Keterangan : E(Ri,t) = Tingkat pendapatan yang diharapkan sekuritas i pada periode t ai = Konstanta bik = Sensitivitas pendapatan sekuritas i terhadap faktor k pada periode t. Fkt = Faktor k yang mempengaruhi pendapatan pada periode t eit = random error METODE PENELITIAN Capital Asset Pricing Model (CAPM) Pendapatan sesungguhnya (actual return) adalah pendapatan yang telah diterima para investor dari selisih harga saham pada periode t dengan harga saham pada periode t-1. Pendapatan yang diharapkan (expected return) adalah pendapatan masing-masing saham yang diharapkan oleh para investor pada masa yang akan datang, yang diukur dengan menggunakan model CAPM. 128 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) Pendapatan pasar (market return) adalah pendapatan yang diperoleh dari selisih indeks harga saham gabungan (IHSG) pada periode t dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada periode t-1 di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Arbitrage Pricing Theory (APT) Pendapatan yang diharapkan (expected return) adalah pendapatan yang diharapkan diterima oleh investor pada masa yang akan datang, yang dihutung dengan mengunakan rumus: E ( Rit) = a + b1 F1t + b2 F2t + b3 F3t Keterangan : E ( Rit) = Pendapatan yang diharapkan saham i pada periode t a = Konstanta b1,2,3,4 = Sensitivitas return saham terhadap premi risiko untuk masing- masing faktor. F1t = Tingkat suku bunga yang tidak diharapkan (unexpected intrest rate) pada periode t. F2t = Tingkat inflasi yang tidak diharapkan (unexpected inflation) pada periode t. F3t = Tingkat perubahan kurs yang tidak diharapkan (unexpected exchange rate fluctuation) pada periode t. Tingkat suku bunga yang tidak diharapkan (unxpected intrest rate) adalah selisih tingkat suku bunga sesungguhnya dengan tingkat suku bunga yang diharapkan. Tingkat suku bunga yang diharapkan dihitung dengan menggunakan metode ARIMA. Tingkat inflasi yang tidak diharapkan (unexpected inflation) adalah selisih tingkat inflasi sesungguhnya dengan tingkat inflasi yang diharapkan. Tingkat inflasi yang diharapkan dihitung dengan menggunakan metode ARIMA. Tingkat perubahan kurs yang tidak diharapkan ( unexpected exchange rate fluctuation) adalah selisih tingkat perubahan kurs sesungguhnya dengan tingkat perubahan kurs yang diharapkan. Tingkat perubahan kurs yang diharapkan dihitung dengan menggunakan metode ARIMA. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi data bulanan berupa harga saham perusahaan yang termasuk dalam industri Manufaktur yang dijadikan sampel, Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta, suku bunga deposito bulanan bank pemerintah, tingkat inflasi, kurs (nilai tukar) rupiah dengan dollar Amerika yang berasal dari Laporan Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistik (BPS). Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Teknik ini mengacu pada tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Ketentuan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 129 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 1. Saham perusahaan-perusahaan Manufaktur yang secara terus menerus terdaftar di BEJ dari tahun 1991-2001. 2. Perusahaan-perusahaan Manufaktur yang secara terus-menerus menerbitkan laporan keuangannya dari tahun 1991-2001. Berdasarkan kriteria penentuan sampel di atas, maka diperoleh 16 perusahaan Manufaktur. Teknik analisis dalam penelitian ini mempunyai beberapa tahap, diantaranya adalah sebagai berikut (1) Menentukan periode estimasi (estimation Period) yang akan digunakan untuk mengestimasi parameter alpha dan beta tiap-tiap saham. Periode estimasi dalam penelitian ini dari januari 1991 sampai dengan Desember 1993. (2) Menetukan periode uji (test period), yaitu periode pengamatan keakuratan kedua model tersebut dalam memprediksi pendapatan saham. Periode uji yang digunakan untuk menguji perbedaan keakuratan model CAPM dan APT sebelum dan semasa krisis ekonomi adalah dari Januari 1994 sampai dengan Juni 1997 (sebelum krisis ekonomi) dan Juli 1997 sampai dengan Desember 2001 (semasa krisis ekonomi). (3) Menghitung pendapatan saham yang sesungguhnya (Aktual) perusahaanperusahaan Manufaktur. (4) Menghitung pendapatan pasar (market return) (5) Menghitung beta (β) dengan menggunakan rumus market model yang meregresikan antara pendapatan saham yang sesungguhnya (actual return) dengan pendapatan pasar (market return). (6) Setelah beta (β) masing-masing perusahaan diperoleh kemudian membentuk sebuah model persamaan berdasarkan model CAPM. (7) Menghitung a, b1, b2, b3 dan b4 untuk model APT multi index model pada perusahaanperusahaan Manufaktur. (8) Melakukan uji asumsi-asumsi klasik (Heterokedastisitas, Multikolinieritaas, dan otokorelasi) terhadap model yang diperoleh. (9) Menghitung pendapatan saham yang diharapkan (expected return) dengan menggunakan model CAPM dan APT yang telah dihasilkan dari langkah (6) dan (7)., (10) Menghitung rata-rata penyimpangan absolut (Mean Absolut Deviation (MAD)) untuk model CAPM dan APT dengan rumus Model CAPM : MAD = ∑ Ri − E (Ri ) n (11) Menguji hipotesis. Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata penyimpangan absolut model CAPM (MADCAPM) dengan rata-rata penyimpangan absolut model CAPM (MADAPT) untuk pendapatan saham industri Manufaktur. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Akurasi Model CAPM dan APT dalam Memprediksi Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum Krisis Dalam penelitian ini keakuratan suatu model diukur dengan menggunakan Mean Absolut Deviation (MAD), model yang mempunyai MAD yang lebih kecil berarti lebih akurat dibandingkan model yang mempunyai MAD yang lebih besar. Besarnya MAD model CAPM dan APT untuk masing-masing perusahaan sebelum 130 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) krisis dari 16 perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. MAD Industri Manufaktur Sebelum Krisis No Nama MAD-CAPM MAD-APT 0.1068 0.1626 1 Sampoerna 2 Gudang Garam 0.1103 0.1160 3 Great River 0.0934 0.1159 4 Eratex Djaja 0.1123 0.1487 5 BAT Indonesia 0.0946 0.1910 6 APAC Centertex 0.1858 0.2016 7 Jaya Pari steel 0.1548 0.1995 8 Indocement 0.0788 0.1007 9 Goodyear 0.0774 0.1179 10 Unggul Indah 0.0828 0.1473 11 PAN Brothers 0.1539 0.1749 12 Astra International 0.0991 0.1258 13 Branta Mulia 0.1006 0.1297 14 Unilever 0.0429 0.0574 15 16 United Tractor Astra Graphia 0.0737 0.1211 0.1352 0.1248 Rata-rata 0.1055 0.1406 Standar Deviasi 0.0354 0.0386 Thitung - 2.68 Ttabel ± 2.042 Berdasarkan hasil uji t dengan menggunakan program Minitab versi 13 diperoleh nilai t hitung sebesar – 2,68. Nilai t tabel dengan menggunakan α= 5% dan degree of freedom (DF) 16+16-2=30 adalah –2,042 Karena –2,68 < -2,042 maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara akurasi model CAPM dengan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis. Rata-rata MAD model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis adalah sebesar 0,1055 dengan standar deviasi 0,0354. Adapun rata-rata MAD model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis adalah 0,1406 dengan standar deviasi 0,0386. Secara deskriptif menunjukkan bahwa model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis ekonomi. Hal ini dapat disebabkan oleh : 131 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 1. Variabel-variabel (makro) pembentuk model APT (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat inflasi yang tidak diharapkan dan perubahan kurs yang tidak diharapkan) dalam penelitian ini kecil sekali kontribusi terhadap variasi pendapatan saham industri manufaktur, dengan kata lain variabel-variabel ini kurang sesuai dimasukkan sebagai variabel pembentuk model APT untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh M.Syaichu (2001) yang telah memasukkan beberapa variabel makro (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat inflasi yang tidak diharapkan dan tingkat pertumbuhan yang tidak diharapkan) kedalam model APT untuk memprediksi pendapatan saham di Bursa Efek Jakarta. Kesimpulan dalam penelitian tersebut juga menyatakan bahwa variabel-variabel makro tersebut kurang cocok sebagai pembentuk model APT. Berbeda dengan model CAPM yang menggunakan pendapatan pasar saham (Return market portofolio) sebagai variabel pembentuk model. Pendapatan pasar saham dalam penelitian ini mampu menjelaskan variasi dari pendapatan saham industri manufaktur lebih baik dibandingkan dengan variabel-variabel pembentuk model APT yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini bisa dilihat dari besarnya koefisien determinasi dari model CAPM dan APT pada Tabel 2. Tabel 2. Koefisien Determinasi Model CAPM dan APT Industri Manufaktur Sebelum Krisis Ekonomi No 132 Nama R2-CAPM R2-APT 0.581 0.185 1 Sampoerna 2 Gudang Garam 0.218 0.094 3 Great River 0.126 0.039 4 Eratex Djaja 0.448 0.083 5 BAT Indonesia 0.078 0.081 6 APAC Centertex 0.388 0.068 7 Jaya Pari steel 0.446 0.193 8 Indocement 0.351 0.030 9 Goodyear 0.291 0.182 10 Unggul Indah 0.480 0.176 11 PAN Brothers 0.218 0.256 12 Astra International 0.425 0.047 13 Branta Mulia 0.373 0.198 14 Unilever 0.089 0.120 15 United Tractor 0.306 0.143 16 Astra Graphia Rata-rata 0.076 0.306 0.039 0.121 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa rata-rata koefesien determinasi model CAPM (30,6%) yang menjelaskan kontribusi pendapatan pasar terhadap variasi pendapatan saham industri manufaktur lebih besar dibandingkan rata-rata koefesien determinasi model APT (12,1%). Kemampuan pendapatan pasar saham (return market portofolio) untuk menjelaskan perubahan pendapatan saham pada model CAPM menurut Alexander, GJ., dan Sharpe,WF. (Suad Husnan, 1993: 107) karena pendapatan pasar saham menyatukan semua faktor makro ekonomi. Adapun keterbatasan model APT adalah sampai saat ini tidak ada seorang ahlipun yang dapat menentukan variabel-variabel apa saja yang membentuk model tersebut, dengan kata lain model APT tidak menjelaskan variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi pendapatan saham. 2. Dalam penelitian ini untuk mencari variabel-veriabel yang dimasukkan dalam model APT (tingkat bunga yang tidak diharapkan, tingkat inflasi yang tidak diharapkan dan tingkat pertumbuhan yang tidak diharapkan) adalah dengan cara mengurangi tingkat bunga aktual, tingkat inflasi aktual dan tingkat perubahan kurs aktual dengan nilai pengharapan faktor-faktor tersebut dengan menggunakan model ARIMA (Box-Jenkin). Pada kondisi nyata tidak semua investor menggunakan model ARIMA untuk mengestimasi faktor makro ekonomi tersebut. Ada berbagai macam metode atau cara yang bisa digunakan untuk mengestimasi data time series faktor makro tersebut, diantaranya adalah metode least square, smoothing, exponential smoothing, dekomposisi, moving average dll. Faktor ketidakseragaman penggunaan metode peramalan inilah yang kemungkinan menyebabkan reaksi investor berbeda-beda dalam menanggapi besarnya variabel-variabel makro yang tidak diharapkan (bunga, inflasi dan perubahan kurs) sedangkan salah satu asumsi model CAPM yang masih berlaku dalam model APT adalah bahwa Investor mempunyai kepercayaan yang bersifat homogen (Tande Lilin, 2001; 06), sehingga menyebabkan bias pada model APT tersebut. Di samping itu penggunaan model time series untuk memprediksi faktor makro ekonomi yang relatif panjang dalam penelitian ini memungkinkan terjadinya bias yang cukup besar dalam memprediksi faktor makro ekonomi tersebut, sehingga apabila hasil dari prediksi faktor makro yang bias tersebut digunakan untuk menghitung variabel-variabel yang digunakan dalam pembentukan model APT, maka kemungkinan besar hasil prediksi pendapatan saham industri manufaktur dengan menggunakan model APT juga bias atau tidak akurat. Berbeda dengan model CAPM yang menggunakan pendapatan pasar saham aktual sebagai variabel, lepas dari unsur bias dalam penentuan variabel dan semua investor jika menggunakan model CAPM maka akan menggunakan pendapatan pasar saham aktual sebagai variabel (homogen), sehingga hal ini memungkinkan model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT. 3. Penggunaan variabel-variabel makro ekonomi pada model APT dalam penelitian ini tentunya tidak akan bisa menjelaskan variasi pendapatan saham industri manufktur yang disebabkan oleh faktor non ekonomi (misalnya sosial, politik, keamanan dsb) selama periode sebelum krisis ini, padahal seringkali faktor non 133 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 ekonomi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi pergerakan harga saham di Bursa Efek Jakarta. Selain itu, model APT yang digunakan dalam penelitian ini juga tidak bisa menjelaskan variasi pendapatan saham industri manufaktur yang disebabkan oleh company actions (seperti right isue, stock split, warrant dll.). Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (1996), Nisful laila (1996), Nanang Hamdani ( 1997) dan Neneng Zumainah (2001) diperoleh kesimpulan bahwa company actions (right isue, stock split, warrant) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan saham di BEJ. Pada model CAPM, perubahan faktor non ekonomi dan company actions (perusahaan yang mempunyai kapitalisasi pasar yang besar) sudah tercakup dalam perubahan dari pendapatan pasar saham. Hal ini menyebabkan model CAPM lebih akurat dibandingkan dengan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur periode sebelum krisis ini. Perbandingan Akurasi Model CAPM dan APT dalam Memprediksi Pendapatan Saham Industri Manufaktur Semasa Krisis Berdasarkan hasil uji t dengan menggunakan program Minitab 13, diperoleh nilai t hitung sebesar –3,60 (tabel 3). Nilai t tabel dengan menggunakan α= 5% dan degree of freedom (DF) 16+16-2=30 adalah –2,042, Karena -3,60 < -2,042 maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara akurasi model CAPM dengan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis. Tabel 3. MAD Industri Manufaktur Semasa Krisis No Nama MAD-CAPM MAD-APT 1 Sampoerna 0.1279 1.4203 2 Gudang Garam 0.0845 0.9588 3 Great River 0.1640 0.8065 4 Eratex Djaja 0.2503 0.3367 5 BAT Indonesia 0.1626 0.3239 6 APAC Centertex 0.1393 0.2695 7 Jaya Pari steel 0.2212 1.3328 8 Indocement 0.1143 0.1922 9 Goodyear 0.2845 0.4124 10 Unggul Indah 0.1609 0.4375 11 PAN Brothers 0.1285 2.4387 12 Astra International 0.1650 0.2923 13 Branta Mulia 0.1881 0.5254 134 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) No Nama MAD-CAPM MAD-APT 14 Unilever 0.1200 0.4286 15 United Tractor 0.2561 0.7059 16 Astra Graphia 0.1969 0.4238 Rata-rata 0.1728 0.7066 Standar Deviasi 0.0566 0.5908 Thitung -3.60 Ttabel ± 2.042 Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata MAD model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis adalah sebesar 0.1728 dengan standar deviasi 0.0566. Adapun rata-rata MAD pada model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis adalah sangatlah besar 0.7066 dengan standar deviasi cukup besar pula yaitu 0.5908. Hal ini berarti, model CAPM jauh lebih akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan industri manufaktur semasa krisis ekonomi. Beberapa faktor yang menyebabkan model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis ekonomi: 1. Ketidaksesuaian atau ketidak cocokan variabel-variabel pembentuk model APT itu sendiri, tidak semua investor menggunakan model ARIMA dalam memprediksi varabel-variabel makro ekonomi dan ketidakmampuan model APT menjelaskan variasi pendapatan saham yang disebabkan oleh faktor non ekonomi dan company action, sebagaimana yang diutarakan sebelumnya pada point 1, 2 dan 3 tentang ketidakakuratan model APT dibandingkan model CAPM pada masa sebelum krisis. Alasan ini masih relevan karena, baik model APT dan model CAPM yang digunakan untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur pada masa krisis adalah model yang sama dengan model yang digunakan untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis ekonomi yaitu model CAPM maupun APT yang dibentuk pada periode estimasi (Januari 1991-Desember 1993). 2. Ketidakmampuan model ARIMA (Box-Jenkins) untuk memprediksi tingkat inflasi, tingkat bunga dan tingkat perubahan kurs pada masa krisis karena model ARIMA tersebut dibentuk pada masa sebelum krisis. Pada saat itu tingkat bunga, tingkat inflasi dan tingkat perubahan kurs pergerakannya relatif stabil, sehingga hasil prediksinyapun memiliki pola-pola kestabilan. Pada masa krisis ekonomi tingkat bunga, tingkat inflasi dan tingkat perubahan kurs sangat berfluktuasi, sehingga tingkat inflasi yang tidak diharapkan, tingkat bunga yang tidak diharapkan dan tingkat perubahan kurs yang tidak diharapkan sangat 135 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 berfluktuasi. Apabila hasil tersebut dimasukkan ke dalam model APT yang dibentuk pada saat tingkat inflasi, tingkat bunga dan tingkat perubahan kurs yang stabil, maka hasil prediksinyapun tidak akurat, hal ini dapat dilihat pada rata-rata MAD model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur yang tinggi yaitu sebesar 0.7066. Karena MAD model APT untuk industri manufaktur maka dapat dikatakan bahwa model APT yang dibentuk pada masa sebelum krisis ekonomi tidak dapat digunakan untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur pada masa krisis ekonomi karena menghasilkan error yang tinggi. Berbeda dengan penggunaan model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur, sejak awal variabel bebas pembentuk model ini adalah pendapatan pasar saham yang diukur dengan perubahan IHSG di BEJ, tidak terlibat proses prediksi, artinya pendapatan pasar yang digunakan adalah pendapatan pasar aktual, sehingga besarnya MAD model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis jauh lebih kecil dibandingkan dengan MAD model APT semasa krisis, artinya model CAPM jauh lebih akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur 3. Perubahan sistem kurs di Indonesia dari sistem kurs mengambang terkendali (managed floating rate) menjadi sistem kurs mengambang bebas (free floating rate) sejak tanggl 14 Agustus 1997 cukup berpengaruh terhadap keakuratan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis ekonomi, karena kurs merupakan salah satu varabel makro ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai pembentuk model APT. Model APT yang digunakan dalam penelitian ini adalah model APT yang dibentuk pada periode estimasi (Januari 1991 – Desember 1993), dimana pada waktu itu kurs dollar Amerika terhadap relatif stabil karena berlaku sistem mengambang terkendali, sehingga apabila model APT yang dibentuk pada kondisi dimana salah satu variabelnya stabil (kurs), diterapkan pada kondisi yang tidak stabil karena perubahan sistem kurs dan kondisi krisis, maka penerapan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur akan menjadi bias, hal ini bisa dilihat dari error yang cukup besar pada penerapan model APT sejak diberlakukannya sistem kurs mengambang bebas pada tanggal 14 Agustus 1997. Berbeda dengan model CAPM yang tidak melibatkan variabel kurs dalam pembentukan modelnya, sehingga model ini menghasilkan error yang lebih kecil dibandingkan model APT, dengan kata lain model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis ekonomi. Penerapan model CAPM maupun model APT (yang dibentuk pada saat sebelum krisis ekonomi) dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur pada saat krisis ekonomi menghasilkan prediksi yang tidak akurat, hal ini dapat dilihat dari MAD model CAPM maupun MAD model APT yang sangat tinggi, terutama MAD model APT yang mendekati angka 1 (0.7066). Ketidakakuratan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sudah dijelaskan panjang lebar sebelumnya, sedangkan beberapa faktor yang menyebabkan model 136 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) CAPM kurang tepat dalam memprediksi pendapatan saham indusrtri manufaktur adalah sebagai berikut : 1. Dalam jangka panjang beta saham masimg-masing perusahaan tidak stabil apalagi memasuki masa krisis ekonomi, hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Scoot dan Brown (1990; 49-55) pada tahun 1967-1971 di New York Stock Exchange untuk 1800 perusahaan, sehingga apabila dalam penelitian ini mulai Januari 1991 sampai dengan Desember 2001 (10 tahun) beta dianggap stabil maka penggunaan model CAPM dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur menghasilkan error yang cukup besar, sehingga bisa dikatakan bahwa model tersebut kurang akurat. 2. Dalam penerapan model CAPM tingkat pengembalian bebas resiko (Rf) harus konstan selama periode panaksiran, apabila tingkat pengembalian bebas risiko ternyata dengan berjalannya waktu, dan berkorelasi dengan tingkat pengembalian pasar saham (Rm), akan terjadi bias dalam penaksiran (Suad Husnan; 1993; 116). Berdasarkan tabel 5.4. dapat dilihat tingkat pengembalian bebas resiko dalam hal ini diwakili oleh suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sangat berfluktuasi selama periode penelitian (Januari 1991Desember 2001) terutama pada masa krisis ekonomi , oleh sebab itu model CAPM yang digunakan untuk memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis mengalami bias dalam hal penaksiran, sehingga menghasilkan error yang cukup besar dalam memprediksi pendapatan saham. SIMPULAN DAN SARAN Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara keakuratan model CAPM dengan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum krisis ekonomi, dimana model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara keakuratan model CAPM dengan model APT dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur semasa krisis ekonomi, dimana model CAPM lebih akurat dibandingkan model APT. 3. Model CAPM maupun model APT masih kurang akurat dalam memprediksi pendapatan saham industri manufaktur sebelum dan semasa krisis ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Amling, Frederick. 1989. Investment and Introduction to Analysis and Management. Sixth Edtition. New Jersey: Frentice Hall Arsyad, Lincolin. 1997. Peramalan Bisnis, Edisi I, Yogyakarta: BPFE Boediono. 1993. Ekonomi Makro, Yogyakarta: BPFE Chen, Nai-Fu. 1983. Some empirical test of the Theory or Arbritage Pricing. The Journal of Finance. Desember 1983. 137 Jurnal Penelitian Dinamika Sosial Vol. 5 No. 2 Agustus 2004: 125-139 Dhrymes, Phoebus J., Friend, Irwin, N. Gultekin, Mustofa and Gultekin, Bulent, N. 1985. New Test of the APT and Their Implications. The Journal of Finance, Vol XI. No. 3. Juli 1985. Dhrymes, Phoebus J.,Friend, Irwin and Gultekin, Bulent, N. 1984. Critical Reexamination of the Empirical Evidance on the Arbitrage Pricing Theory. The Journal of Finance, Vol 39. No.3. Juni 1984. Eto, Edwin, Gruber, Martin and Retzler, Joel. 1984. The Arbitrage Pricing Model and Returns on Assets Under Uncetain Inflation. The Journal of Finance. Vol. XXXVIII No. 2. May 1984. Fisher, Donald E. Ronald J. Jordan. 1995. Security Analysis and Portofolio Management. Sixt Edition, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Hamdani, Nanang. 1997. Pengaruh Pengumuman Pemecahan Saham Terhadap Pendapatan Saham. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya. Hasnuryani. 2001. Analisis Pengaruh Pengumuman Tingkat Inflansi yang Tidak Diharapkan Terhadap Pendapatan Saham Di Bursa Efek Jakarta Periode 19941996. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya. Husnan, Suad, 1993. Dasar-Dasar Teori Fortofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi I. UPP AMPYKPN. Yogyakarta. ______, 1993. Konsistensi Beta : Pengamatan di Bursa Efek Jakarta, Usahawan, No. 12, Desember 1993. Jogiyanto H.M, 2000. Teori Fortofolio dan Analisis Investasi. Edisi 2. BPFE. Yogyakarta. J. Supranto. 1995. Ekonometri. Jilid 2. Jakarta: LPFE UI. Krisdijanto, Era. 1994. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Saham di BEJ. Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya. Kolb, Robert W. 1986. Investment, Scott Foresman & Company, USA. Laila, Nisful. 1996. Analisis Dampak Penerbitan Right Issue Terhadap Tingkat Pengembalian Saham (Studi Kasus BEJ) Periode 1994-1995. Skripsi, Surabaya: Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Lapin, Lawrence L. 1990. Statistics for Modern Business decisions. Fifth Edition, Orlando: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, Makridakis, Spyros. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan, Jilid I, Edisi 2, Jakarta: Erlangga Rainganum, Mark. 1981. The arbitrage Pricing Theory: Some Empirical Result, Journal of Finance, pp 313-321. May 1981. Reilly, Frank K. 1992. Investment, Third Edition, New York: The Dryden Press Reilly, Frank K & Keith C. Brown. Investment Analysis and Fortofolio Management, Sixth Edition, New York: The Dryden Press Roll, R. And Ross, S.,A. 1984. Critical Reexemination of the Emprirical Evidence on the Arbitrage Pricing Theory : Reply. Journal of Finance. Vol. XXXV. Juni 1984. _______, Desember 1980, An Empirical Investigation of the Arbitrage Pricing Theory. Journal of Finance. pp. 1073-1103. Santoso, Singgih, 2000. SPSS; Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi 7.5. Jakarta: Elex Media Komputindo Scott, Elton and Brown, Stewart. 1980. Biased Estimators and Unstable Betas. The Journal of Finance, Vol XXXV. 1. Maret 1980. 138 Perbandingan Keakuratan Capital Asset Pricing Model dan Arbitrage Pricing Theory dalam Memprediksi Tingkat Pendapatan Saham Industri Manufaktur Sebelum dan Semasa Krisis Ekonomi (Gancar Candra Premananto, Muhammad Madyan) Sripeni I, Hernik. 1998. Pengaruh Indeks Harga Saham Individu Saham Blue Chips Terhadap Indeks Gharga Saham Gabungan, Skripsi, Surabaya: Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Syaichu, Mohammad. 2000. Perbandingan Keakuratan Keakuratan Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory (APT) dalam Memprediksi Pendapatan Saham Di Bursa Efek Jakarta, Tesis, Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga, Tandelilin, Eduardus. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi pertama. Yogyakarta: BPFE. Van Horne, James; John M. Wachowichs, 1992. Jr. Fundamental of Financial Management, Prentice hall International Edition. Eight edition. Weston, Besle, and Brigham. 1996. Modern Portofolio, Elevent Edition, New York: The Dryden Press. Weston, J. Fred, and Copeland, Thomas, E,. 1995. Terjemahan; Manajemen Keuangan. Jilid I, Edisi 9. Jakarta: Binarupa Aksara. Widyawati. 1996. Analisis Pengaruh Pengumuman Right Issue Terhadap Perubahan Harga Saham dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Harga Saham, Skripsi, Surabaya: .Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Z. Baswir, Yuswar. 2001.Validkah Menilai Investasi dengan CAPM? Usahawan No. 07, Juli 2001. Zumainah, Neneng. 1985. Dampak Pengumuman Konversi Waran Menjadi Saham Biasa Terhadap Pendapatan Abnormal Saham. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, 2001. The Journal of Finance, Vol XL. No. 4 September 1985. 139